Anda di halaman 1dari 3

Catcher:

Kebencian di hatiku masih bertarung dahsyat dengan cinta yang


berusaha menyusup kembali masuk ke daratan hatiku.

Hamran Sunu! Sosok itu kembali tertangkap mataku siang kemarin di sekolah. Jika tahu,
sekolah baru ini menyimpan sosok Hamran, aku tak mungkin mau sekolah di sini. Ada
rasa tak percaya saat menemukan sosoknya kemarin. Bahkan, kuanggap itu halusinasi.
Tapi, saat dia
mencoba tersenyum dan menyapaku, aku semakin yakin, dia adalah Hamran. Kuakui, di
antara benci yang selalu membuatku menangis, ada sisa cinta yang tak bisa kubersihkan
di hatiku.

“Vir, kamu kenal Hamran? Dia nitip salam ke kamu,” ucap Ria sambil mendekatiku.Aku
pura-pura tak mendengar kalimat itu. Melanjutkan
kegiatanku, mempermainkan tuts-tuts games handphone-ku.Padahal, mendengar Ria
menyebut nama Hamran, telah membuat
permainanku game over.

“Jangan pura-pura budek, Vir! Atau kamu belum kenal Hamran?


Itu, tuh, kakak kelas yang gondrong sebahu plus kacamata minusnya.”Aku berbalik
menatap Ria. Tanpa kedip!

“Nah, karena nggak kenal dicuekin. Giliran tahu orangnya,


sekarang marah.”
“Aku kembalikan salamnya.”
“Kembali salam apa salam kembali?”
Ria masih menggodaku.
Dia memang tak tahu jika Hamran pernah ada di hatiku, namun kemudian tergilas takdir.
Masih ingin kubalas godaan Ria dengan tatapan seriusku, tapi cowok gondrong sebahu
plus kacamatanya itu, telah berdiri di depanku. Di antara lalu-lalang mahasiswa yang
lain.

“Vir, kuyakin kamu masih ingat padaku….”


Aku melangkah pergi. Hanya Ria yang mengikuti langkahku dengan tatapan tak
mengerti. “Kamu pernah kenal dia sebelumnya?” ucapnya mengiringi
langkahku. Bagaimana mungkin aku melupakan dia. Kakak kelas yang pernah hadir di
hatiku sebagai pacar. Bukan sejenak, tapi setahun

saat masih di SLTP dulu. Dia memang banyak berubah, rambut gondrong. dan
kacamatanya, tak pernah ada sebelumnya. Kalaupun sekarang banyak yang mengagumi
rambut gondrongnya itu, tapi dia lebih cakep saat dengan rambut cepak dulu.
 
Kelihatan lebih bersih dan rapi!Karena cakepnya, aku terjatuh ke pelukannya. Padahal,
kutahu dia playboy. Hati yang dihinggapinya palingan bisa bertahan sebulan, pindah ke
hati lain sambil menenteng muka cakep dan otak cemerlangnya sebagai bahan promosi.
Apalagi dengan reputasinya sebagai anak konglomerat. Aku tak mau berpikir dua kali
saat dia mengungkapkan cintanya
padaku. Aku tak peduli jika dia baru saja hinggap di hati
Yuni
sahabatku. Tangis Yuni di depanku kutepis begitu saja. Barulah kusadar, jika karma itu
memang ada, saat Hamran mencampakkanku seperti dia mencampakkan Yuni. Aku
menangis, tersiksa perih hati. Padahal, aku baru saja terbuai bahagia oleh janji-janji
manis Hamran.
Dan janji itu aku percaya, apalagi kehadirannya di hatiku telah berbilang tahun. Waktu
yang cukup lama dan bisa dianggap pemecah rekor. Karena sebelumnya, pacar-pacar
Hamran hanya bertahan sebulan.
“Kamu cewek terakhir yang akan singgah di hatiku. Bersamamu, barulah kusadari arti
cinta yang sesungguhnya.”

Kalimat itu tak ‘kan pernah kulupa. Rangkaiannya telah melambungkanku, tapi kemudian
di luar dugaan menghempaskanku.
“Tapi kamu masih mencintainya, bukan?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja hadir di hatiku.
Kupejamkan mata. Menenangkan perasaanku, demi mencari jawaban dari pertanyaan itu.
Tapi tetap saja, kenangan manis yang pernah tercipta, bertarung dengan kebencianku
pada sikapnya dulu. Benci yang begitu menyakitkan!Mungkin tidak terlalu sakit,
seandainya saat itu Hamran meninggalkan sekolah dengan kelulusannya, tanpa harus
memutuskan cintanya padaku terlebih dahulu.
“Kuingin kamu mengerti. Cintaku harus berakhir bersama kepergianku dari sekolah ini.”
Aku tersentak. Meski aku juga berharap itu hanyalah canda.

Tapi menit-menit berikutnya, yang terpancar dari matanya adalah sinar kesungguhan.
“Sakit memang. Aku juga merasakan sakit itu….”
“Siapa yang menyakitimu?” potongku membentak. “Atau kamu pikir aku nggak bisa
menjaga kesetiaan saat kamu nggak ada lagi di sekolah ini?”
Dia menggeleng pelan, seolah terpaksa. Tapi, kalimat yang kutunggu darinya, tak pernah
ada.

Dia melangkah pergi tanpa pernah berbalik padaku yang sedang menangisi
kepergiannya.Sekolah sudah sepi. Semua siswa telah masuk kelas. Dadaku berdegup tak
karuan menelusuri koridor sekolah. Apalagi Pak Sungkono, tak segan-segan mengunci
pintu ruang kelas saat mengajar. Yang telat harus sabar menunggu hingga pelajaran
berikutnya. Dan pagi ini, terlambat lima menit membuatku harus masuk dalam golongan
orang-orang bersabar itu.

“Vir, aku ingin bicara.”

Kebencian yang bergemuruh saat mendengar suara itu, membuatku yakin jika suara itu
milik Hamran. Tanpa berbalik, aku mencoba meneruskan langkah. Meski langkah itu
harus berakhir saat dia menghadangku.“Aku masih mencintaimu, Vir!”
Kutancapkan tatapanku ke bola matanya
Dia bergeming, seolah tak bisa membaca kebencian yang terpancar dari sorot mataku.
“Kuingin kamu mengerti. Cintaku harus berakhir bersama kepergianku dari sekolah ini.”
Kalimat yang pernah diucapkannya padaku setahun lalu, kuperdengarkan kembali
untuknya. “Kamu masih ingat kalimatmu itu, kan?”

Dia mengangguk. “Nggak mungkin kulupa!” katanya singkat. “Kamu cewek terakhir
yang akan singgah di hatiku. Bersamamu, barulah kusadari arti cinta yang
sesungguhnya,” ucapnya sambil menatapku. “Aku juga pernah mengucapkan kalimat itu
padamu, kan?”“Gombal!”“Kutahu aku salah. Aku minta maaf!” Aku malah
menamparnya. ”Jangan pikir sakit hati karenamu bisa sembuh hanya mendengar kata
maaf, juga cintamu.”

“Vir!” ucapnya sambil menggenggam tanganku yang habis menamparnya. “Saat itu aku
kehilangan pegangan. Papaku bangkrut! Aku kehilangan muka di depan semua orang.
Sebelum kamu mencampakkanku, menertawaiku. Aku memilih pergi dari hatimu.”“Apa
kamu pikir aku nggak bisa menertawaimu sekarang?”“Silakan! Aku nggak takut lagi
dipandang sebagai orang miskin. Dulu tidak! Aku begitu malu dengan kekurangan dan
kesederhanaan yang tiba-tiba harus kuperankan.”
Aku membisu, bahkan tak berusaha untuk menghindar saat dia telah melepaskan
tanganku dari genggamannya.“Kesederhanaan ternyata bisa membuatku kuat dan tegar.
Berani menunduk ke bumi, berani datang untuk mencintaimu lagi.”

Menit berlalu tanpa kata. Kusadar dia sedang menatapku, tapi aku tak memiliki
keberanian untuk berbalik membalas tatapannya. Apalagi kebencian di hatiku masih
bertarung dahsyat dengan cinta yang berusaha menyusup kembali masuk ke daratan
hatiku. Aku tertunduk. Aku takut saat bola mataku kuarahkan padanya, dia memberiku
senyum. Senyum yang lagi-lagi kuakui begitu manis.“Vir, aku memang playboy. Itu
kemarin! Tanpamu aku memilih untuk istirahat sejenak. Mengosongkan hati di antara
kenangan manis yang pernah kita lalui, untuk merenung!

Ternyata, aku nggak bisa berhenti mencintaimu.”


Kucoba mengangkat wajah untuknya, mencari kesungguhan dari sinar matanya saat
mengucapkan kalimatnya barusan. Tatapan mata tajam itu begitu teduh di bawah
naungan alis tebal dan bulu mata lentiknya. Akh, aku nggak ingin terluka untuk kedua
kalinya. Apalagi dengan orang yang sama. Benci ingin membawaku berbalik, tapi
gerakanku kalah gesit, dia telah meraih pergelanganku lalu menghipnotisku dengan
senyum manisnya.Kurasakan pertarungan benci dan cinta di hatiku telah selesai. Hatiku
lelah, letih tak berdaya, dan memilih pasrah, saat Hamran menyandarkanku di
pelukannya

Anda mungkin juga menyukai