Anda di halaman 1dari 62

Tugas Rangkum Jurnal

”ILMU TERNAK PERAH”

OLEH:
NAMA : RAHMAT
NIM : L1A121077
KELAS :B

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
Materi Tentang Sapi Perah

Jurnal 1

PENGARUH PEMBERIAN RANSUM BERBAGAI KUALITAS PADA


PRODUKSI AIR SUSU PERANAKAN SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN
DI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

Ternak sapi perah merupakan salah satu usaha andalan sub sektor peternakan yang
prospektif dalam kegiatan agribisnis. Pengembangan usaha ternak ini berdampak
positif terhadap penciptaan lapangan kerja dan menjanjikan pendapatan tunai,
sehingga dapat memotivasi peternak untuk berperan aktif dalam kegiatan agribisnis
guna meningkatkan pendapatan keluarganya (Kaliky dan Hidayat, 2006).

Produksi air susu dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi.
Sulistyowati (1999) melaporkan bahwa peningkatan konsumsi konsentrat diikuti
peningkatan produksi air susu. Pakan konsentrat merupakan pakan untuk melengkapi
kebutuhan nutrisi, yang pada umumnya mengandung protein lebih dari 20% dan serat
kasar kurang dari 18%. Konsentrat biasanya diberikan bersama hijauan untuk
meningkatkan keseimbangan gizi dari keseluruhan pakan. Menurut Tillman et al.
(1991), konsentrat berfungsi sebagai suplai energi tambahan dan protein. Protein
konsentrat bercampur dalam rumen dengan protein hijauannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan formula ransum yang berpengaruh terhadap produksi
air susu pada sapi perah Friesian Holstein (FH)

Penelitian dilaksanakan pada JuliOktober 2013 di Unit Pelayanan Terpadu


Daerah, Balai Pengembangan Bibit Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan
(UPTD, BPBPTDK) Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sebanyak 16 ekor sapi perah jenis
peranakan Friesian Holstein (FH) yang sedang laktasi ke 2 dan ke 3 dibagi ke dalam
empat (4) kelompok berdasarkan rata-rata produksi susu perbulan pada laktasi
sebelumnya yaitu: kelompok 1 produksi susu berkisar antara 200 l/bulan ± 240
l/bulan, kelompok 2 produksi susu berkisar antara 160 l/bulan ± 200 l/bulan,
kelompok 3 produksi susu berkisar antara 100 l/bulan ± 160 l/bulan, dan kelompok 4
produksi susu < 100 l/bulan. Perlakuan yang diuji adalah pemberian pakan konsentrat
berbagai kualitas berdasarkan tiga kadar protein kasar. Dalam hal ini satu ekor sapi
ditetapkan sebagai satu unit pengkajian. Kandungan protein kasar perlakuan pakan A
sekitar 15%, perlakuan B sekitar 13%, perlakuan C, dan D sekitar 12%. Ransum
perlakuan yang diberikan disusun dari beberapa bahan lokal, seperti empok jagung,
bekatul super, bekatul halus, dan tetes tebu ditambah dengan beberapa bahan pakan
dari luar negeri seperti corn gluten feed (CGF) dan whet pollard Tabel 1.

Konsumsi ransum

Pakan yang diberikan pada sapi penelitian terdiri dari hijauan dan konsentrat.
Dosis pakan konsentrat yang diberikan pada sapi penelitian sebanyak 5 kg/ekor/hari
dengan komposisi bahan pakan seperti tertera pada Tabel 1, sedangkan untuk pakan
kontrol (eksisting) sebanyak 6 kg/ekor/hari ditambah dengan menir kedelai sebanyak
1 kg/ekor/hari. Pakan hijauan yang diberikan pada sapisapi penelitian adalah rumput
raja dan batang beserta daun tanaman jagung muda (tebon) baik untuk sapi perlakuan
maupun untuk sapi kontrol, diberikan dengan porsi yang sama. Pemberian hijauan
pada dasarnya adalah ad libitum tetapi diperkirakan tidak berlebihan, sehingga tidak
banyak hijauan yang terbuang. Pengukuran hijauan dilakukan satu hari dalam satu
minggu dengan cara penimbangan hijauan yang akan diberikan, kemudian dilakukan
penimbangan kembali pada sisa pakan yang tersisa pada hari berikutnya. Selisih
penimbangan antara hijauan yang diberikan dengan hijauan yang tersisa merupakan
jumlah hijauan yang dikonsumsi.

Bobot badan

Pengukuran bobot badan ditujukan untuk mengetahui peningkatan bobot


badan selama penelitian dan sebagai pendekatan untuk mengetahui perubahan kondisi
tubuh Body Condition Score (BCS) selama pemberian pakan hasil perbaikan.
Penilaian kondisi tubuh. dilakukan dengan cara pengamatan dan perabaan terhadap
deposit lemak pada bagian tubuh ternak, yaitu pada bagian punggung dan seperempat
bagian belakang, seperti pada bagian processus spinosus, processus spinosus ke
processus transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara
tuber coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan
pangkal ekor ke tuber ischiadicus dengan skor 1-5 (skor 1=sangat kurus, skor 3=
sedang, dan skor 5= sangat gemuk) (Edmonson et al.,1989 dalam Widianatias,
2015.). Sapi memiliki skor 1 adalah sangat kurus, yaitu bila processus spinosus
pendek tampak jelas, menonjol, dan dapat diraba, Tuber coxae dan Tuber ischiadicus
sangat jelas terlihat, pangkal ekor (anus) kedalam/menyusut, vulva menonjol.
Sebaliknya, sapi dengan skor 5 atau sangat gemuk yaitu bila struktur tulang bagian
atas Tuber coxae, Tuber ischiadicus dan Processus spinosus pendek tidak terlihat.

Produksi Air Susu

Produksi air susu tertera pada Gambar1. Pengukuran produksi air susu pada
perlakuan kontrol dilakukan pada sapi yang berbeda dengan sapi perlakuan tetapi ada
dalam kandang yang sama. Rata-rata hasil produksi air susu per ekor per hari yang
tertera pada Gambar 1 masih jauh dari kemampuan. Kemampuan genetik sapi
keturunan FH untuk memproduksi air susu di Indonesia adalah 15-20 liter/ekor/hari
(Rustamadji, 2004), tetapi masih lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Pakan
perlakuan C mengandung protein kasar 12% ternyata dapat memberikan jumlah
produksi air susu lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan A atau B yang
masing-masing mengandung protein kasar 15% dan 13%. Berdasarkan analisis sidik
ragam antara perlakuan A, B, C dan kontrol tidak terdapat perbedaan secara statistik
yang nyata (P> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa semua perlakuan perbaikan
pakan berbahan baku lokal belum dapat meningkatkan jumlah produksi air susu.
Namun demikian pakan yang terbaik di antara pakan perlakuan adalah pada pakan
perlakuan C karena memiliki kandungan energi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pada pakan perlakuan A dan B, seperti yang dikemukakan oleh Ensminger
(1971) dalam Fajar Birul (2014) bahwa energi berperan sebagai penutup kekurangan
zat makanan di dalam pakan keseluruhan.
Jurnal 2

EFISIENSI PRODUKSI SUSU DAN KECERNAAN RUMPUT GAJAH


(Pennisetum purpureum) PADA SAPI PERAH FH DENGAN PEMBERIAN
UKURAN POTONGAN YANG BERBEDA

Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi FH laktasi pertama bulan keenam
dengan estimasi umur berdasarkan dengan estimasi umur 24-36 bulan yang ditandai
dengan bergantinya sepasang gigi seri I1 . Bobot ternak diukur sebesar 381.25 ±
20.17 kg. Pakan rumput yang digunakan yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum)
dan konsentrat dengan kandungan gizi pada Tabel 1. Pemberian pakan dihitung
berdasarkan kebutuhan yaitu 60% hijauan dan 40% konsentrat. Rumput gajah
dipotong dengan 4 (empat) ukuran yaitu tanpa pemotongan (kontrol), 5 cm, 10 cm,
dan 15 cm.

Kondisi lingkungan selama penelitian dari pukul 6.30– 17.30 berkisar 22–32o
C, dengan THI sekitar 68–90 dan suhu kandang berkisar 22–32 oC dengan THI
sekitar 70–85 dimana menurut Bohmanova et al (2007), THI sapi perah yang nyaman
dibawah 72 dimana suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi,
yaitu berkisar antara 24–34 0 C dan kelembaban 60-90%. Hal tersebut akan sangat
mempengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Untuk sapi FH, penampilan produksi
terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 % (Yani
dan Purwanto 2006). Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan
penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behavior), ternak biasanya
lebih selektif mengurangi pakan hijauan, relatif memilih konsentrat sebagai upaya
mengurangi suhu inti tubuh melalui pengurangan produksi panas dari fermentasi,
pencernaan dan proses metabolisme lainnya (Beede dan Collier 1986; Chase 2006).

Perlakuan fisik pada pakan ternak dapat dilakukan dengan pemotongan untuk
memperkecil ukuran hijauan. Ukuran yang lebih kecil akan memperluas permukaan
sehingga enzim-enzim pencernaan akan lebih mudah meresap dan pada ternak
ruminansia akan lebih mencerna (McDonald et al. 2002). Pakan yang diberikan pada
sapi perah laktasi yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebanyak 36.29 ± 2.2
kg per hari dan konsentrat sebanyak 7.25 ± 1.31 kg per hari dengan rataan konsumsi
BK rumput gajah sebesar 4.68 ± 0.28 kg per hari dan konsentrat sebesar 0.93 ± 0.17
kg perhari. Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan pemotongan rumput tidak
berbeda nyata (p>0.05) terhadap konsumsi pakan. Rataan konsumsi pakan per hari
selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK perhari yang dapat menghasilkan rataan
susu sebesar 5.54 ± 1.45 liter per hari. Pengaruh ukuran potongan rumput terhadap
performa konsumsi pakan dan produksi susu disajikan pada Tabel 2.
Pada Tabel 2, ukuran potongan rumput 5 cm didapatkan rataan konsumsi BK
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini
memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir seluruh bagian rumput
termakan, dibandingkan dengan konsumsi BK tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan
15 cm. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk memproduksi susu
yang maksimal. Namun kondisi lingkungan pun berpengaruh terhadap kondisi tubuh
sapi. Sapi dengan kondisi nyaman akan menghasilkan susu yang baik. Peningkatan
produksi susu dapat dilihat dari peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk bahan
kering, TDN dan protein yang terkandung di dalam bahan pakan yang disintesa
menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan terjadi penyerapan yang dapat
meningkatkan produksi susu dan kadar protein serta lemak dalam susu (McDonald et
al. 2002). Konsumsi bahan kering (BK), protein kasar dan TDN pakan dan susu tidak
berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput (p>0.05). Konsumsi bahan kering,
protein kasar dan TDN pakan pada ukuran potongan rumput 5 cm lebih tinggi
dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm sejalan dengan hasil analisa
bahan kering, protein dan lemak susu dimana ukuran potongan rumput 5 cm lebih
tinggi dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm (Gambar 3 dan 4).
Berdasarkan NRC (2001), kebutuhan konsumsi bahan kering pakan sapi laktasi
sebesar 12.4 kg menghasilkan susu 10 kg, sehingga dibandingkan dengan nilai
konsumsi bahan kering pakan penelitian masih dibawah nilai kebutuhan sapi (rata-
rata konsumsi bahan kering sebesar 9.08 ± 1.12 kg dan produksi susu sebesar 5.7 ±
1.5 kg). TDN erat kaitannya dengan energi yang dihasilkan. Nilai rata-rata TDN pada
pakan didapatkan sebesar 51.65%, Berdasarkan NRC (2001), nilai TDN pada pakan
untuk ternak laktasi dengan bobot 350 kg sebesar 56.2% dibandingkan dengan nilai
TDN pakan masih dibawah kebutuhan ternak, sehingga perlu adanya suplemen kaya
protein dan lemak untuk meningkatkan nilai TDN.

Perlakuan pemotongan rumput terhadap produksi susu tidak berbeda nyata


(p>0.05). Produksi susu pada pemotongan ukuran rumput 5 cm (6.06 ± 1.39 liter hari-
1) lebih besar dibandingkan kontrol (5.35 ± 1.55 liter hari-1), 10 cm (5.28 ± 1.42 liter
hari-1) dan 15 cm (5.49 ± 1.93 liter hari-1). Rataan produksi susu terjadi peningkatan
sekitar 0.2- 0.5 liter antar ukuran potongan rumput (Tabel 3) namun hasil yang
didapatkan kurang dari rata-rata produksi susu sapi di daerah tropis pada suhu
nyaman yang berkisar antara 9-12 liter per hari (Asmaki et al. 2008). Energi di dalam
tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake),
karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
energi. Panas yang diproduksi oleh ternak laktasi sebanyak dua kali lipat
dibandingkan ternak yang tidak sedang laktasi (McDonald et al. 2002). Ukuran
potongan rumput tidak berbeda nyata terhadap kadar protein dan lemak, namun
terjadi peningkatan kadar pada masing-masing potongan sekitar 0.02%-0.03 %
(protein) dan 0.03%-0.19 % (lemak). Rataan kadar protein dan lemak pada ukuran
potongan 5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran kontrol, 10 cm dan 15 cm.
Peningkatan kadar protein pada susu tergantung pada asupan protein dalam pakan
ternak yang membentuk asam amino dan diserap tubuh melalui darah (Mc Donald et
al. 2002). Kandungan protein dan lemak pada susu sapi penelitian didapatkan hasil
lebih dari standar SNI yaitu rataan kadar Protein yaitu 3.54% dan kadar lemak yaitu
4.62% (Tabel 3). BSN (1998) menyatakan susu segar memiliki kadar protein minimal
2.7% dan lemak minimal 3%.

Pada Tabel 3 dapat dilihat kadar protein baik pada konsumsi pakan maupun
sintesa susu dengan ukuran potongan rumput 5 cm lebih besar dibandingkan ukuran
potongan lainnya. Hal ini menurut LeLiboux et al. (1999) dengan mengurangi ukuran
partikel pakan dapat mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir
dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen, namun besarnya efek ini
tidak tergantung pada jumlah material organik yang difermentasi yang memasuki
rumen dalam satu kali makan. Begitu pula dengan kadar lemak susu yang didapatkan
lebih besar dari standar SNI, sehingga sesuai dengan pendapat Sudono et al. (2003),
pakan hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung
dari kandungan serat kasar dalam pakan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa konsumsi pakan dan


kecernaan beberapa nutrien tidak berpengaruh terhadap ukuran potongan rumput.
Semakin kecil ukuran potongan semakin banyak konsumsi pakan ternak namun tidak
berbeda nyata dalam mempengaruhi kualitas susu. Kecernaan protein dipengaruhi
ukuran potongan rumput. Kecernaan bahan kering yang didapatkan lebih tinggi dari
kisaran normal kecernaan sehingga dapat dikatakan bahwa rumput yang diberikan
perlakuan pemotongan ukuran dapat mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan
penyerapan nutrient pakan. Efisiensi BK, protein dan lemak tidak dipengaruhi ukuran
potongan rumput.
Jurnal Ke 3

PERBAIKAN PAKAN PADA INDUK SAPI PERAH SEDANG LAKTASI DI


KABUPATEN ENREKANG, SULAWESI SELATAN

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tanete, Kecamatan Anggeraja,


Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kegiatan penelitian menggunakan 12 ekor
induk sapi perah sedang laktasi dengan rata-rata bobot badan 400 kg, umur 3-4 tahun,
status laktasi 2-3 periode. Dibagi dalam 3 perlakuan dengan 4 ulangan yaitu:
Perlakuan A: 60% rumput gajah + 30% jerami jagung fermentasi + 10% konsentrat
formula lokal; Perlakuan B: 30% rumput gajah + 60% jerami jagung fermentasi +
10% konsentrat formula lokal; dan Perlakuan C: Kontrol (sesuai kebiasan petani).
Limbah jerami jagung terlebih dahulu difermentasi dengan menggunakan
decomposer selama 21 hari. Proses fermentasi adalah tahap pertama jerami jagung
yang baru panen (kandungan air sekitar 65%) dipotong kecil-kecil, setelah itu
dikumpulkan pada tempat yang tersedia. Jerami jagung ditumpuk hingga ketebalan
±20 cm, kemudian ditaburi urea dan dekomposer dan diteruskan pada lapisan
timbunan jerami berikutnya hingga mencapai 1-2 m. Takaran urea dan probiotik
masing-masing 6 kg untuk setiap ton jerami jagung segar. Pencampuran urea dan
probiotik pada jerami dilakukan secara merata, kemudian didiamkan selama 21 hari.

Untuk pakan tambahan berupa konsentrat berbahan baku lokal dapat dilihat
pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan selama empat bulan. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan uji lanjut
beda nyata terkecil. Parameter yang dikumpulkan adalah produksi susu, konsumsi
pakan dan analisis usaha tani.
Konsumsi pakan dan produksi susu

Di samping kualitas, jumlah pakan yang diberikan untuk tiap ekor/hari perlu
pula diketahui agar kebutuhan zat gizi untuk mencapai kemampuan berproduksi susu
yang tinggi terpenuhi. Jumlah konsentrat yang diberikan untuk tiap ekor/hari ternyata
habis dikonsumsi oleh masing-masing sapi perah yang digunakan sebagai materi
penelitian ini. Sementara itu, hijauan yang diberikan setiap harinya masih ada sisa.
Rata-rata pakan konsentrat dan hijauan yang mampu dikonsumsi oleh setiap ekor sapi
setiap harinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian rumput Gajah dan


jerami jagung (A dan B) menghasilkan konsumsi bahan kering yang tidak berbeda
nyata (P>0,05) dengan kontrol yaitu 7,52 dan 7,42 vs 7,8 kg. Konsumsi pakan tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan jerami jagung tidak berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi bahan
kering. Jumlah konsumsi pada perlakuan A, B dan C agak rendah, karena dengan
rataan bobot badan ketiga perlakuan sebesar 388 kg seharusnya bisa mengkonsumsi
pakan dalam bentuk bahan kering sebanyak 9,7 kg atau 2,5% dari bobot badan
(Preston & Leng 1987). Dengan demikian, sapi-sapi tersebut mengalami kekurangan
pakan sekitar 1-2 kg bahan kering atau sekitar 0,1-0,2% dari bobot badannya.
Imbangan rumput gajah dan konsentrat perlu diperhatikan pada induk sapi perah agar
gizi ternak berimbang sehingga zat-zat makanan dapat dicerna, difermentasi dan
diabsorbsi dengan baik untuk keperluan produksi secara maksimal (Musnandar
2011).
Materi Tentang Kambing Perah

Jurnal 1

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN HIJAUAN YANG BERBEDA


TERHADAP PRODUKSI DAN BAHAN KERING SUSU KAMBING PERAH

Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan bangsa kambing hasil


persilangan antara bangsa kambing Ettawa dengan kambing Lokal, yang memiliki
sifat seperti kambing tetuanya kambing PE termasuk genus Capra aegagrus. Bangsa
kambing ini merupakan jenis kambing dwiguna yaitu penghasil susu dan daging yang
potensial dengan produksi susu sekitar 0,45 – 2,2 liter/hari. Peningkatan produktivitas
kambing melalui seleksi memerlukan waktu yang cukup panjang dan biaya yang
tidak sedikit, oleh karena itu upaya lain yang dapat ditempuh adalah melakukan
perbaikan manajemen pemeliharaan yang salah satunya adalah manajemen pemberian
pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Manajemen pemberian pakan dengan
mengatur jarak waktu antara pemberian konsentrat dan hijauan termasuk frekuensi
pemberian pakannya sehingga dapat meningkatkan produktivitas kambing perah.
Menurut Yulistiani et al. (1999), menyatakan bahwa peningkatan konsumsi bahan
kering pada kambing disebabkan oleh tingkat palatabilitas kambing dan tingkat
kebutuhan zat gizi lebih banyak sehingga kambing berusaha memenuhi kebutuhan
tersebut dengan mengkonsumsi lebih banyak pakan yang tersedia. Menurut Siti et al.
(2012), bahwa tingkat konsumsi bahan kering pakan pada kambing PE dapat
dijadikan indikasi untuk menentukan konsumsi nutrisi yang lain dari pakan tersebut,
artinya bahwa konsumsi bahan kering berkorelasi positif dengan konsumsi bahan
organik, protein kasar dan energi bruto. Menurut Salama et al. (2003), bahwa
kemampuan memproduksi susu pada kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa dan
lingkungannya, sedangkan perbedaan produksi tersebut bisa disebabkan oleh bobot
badan induk, umur induk, ukuran ambing, jumlah anak, nutrisi pakan, dan suhu
lingkungan. Menurut Sidik (2003) dan Mardalena et al. (2011), bahwa kandungan
bahan kering susu tergantung pada zat-zat pakan yang dikonsumsi oleh ternak yang
kemudian digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di
dalam susu.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing perah (PE)
laktasi sebanyak 12 ekor yang berada pada bulan laktasi ke 3 dan ke 4, penelitian
dilakukan dengan 3 perlakuan masing-masing 4 ulangan, dengan bobot badan awal
40-45 kg. Kambing penelitian diberikan pakan BK (bahan kering) sesuai dengan
kebutuhannya (4 % x bobot badan). Pakan yang digunakan dalam penelelitian ini
adalah konsentrat dan hijauan (tebon jagung dan rumput gajah) dengan perbandingan
kosentrat : hijauan adalah 40% : 60% dari total bahan kering ransum, sedangkan
hijauannya terdiri dari 42 % tebon jagung dan 18% rumput gajah BK dari total
hijauan yang diberikan setiap hari.

Komposisi pakan yang digunakan oleh Instansi Unit Pelaksana Teknis


Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak, Singosari, Malang. 40 %
Konsentrat, 42 % tebon jagung dan 18 % rumput gajah atau formulanya kandungan
Nutrisi ransum kambing penelitian dapat disusun seperti Tabel 2.

Rataan konsumsi protein pakan pada kambing penelitian masing – masing;


T1=175,02; T2 = 175,36 dan T3 = 180,49 g/ekor/hari (Tabel 3.), artinya terjadi
peningkatan konsumsi protein kasar pakan dari T1 ke T2 dan T2 Ke T3. Perlakuan
frekuensi pemberian pakan yang berbeda, frekuensi pemberian pakan yang semakin
sering diaplikasikan maka konsumsi pakannya akan semakin banyak, yang pada
gilirannya konsumsi protein kasar pakannya juga lebih banyak. Peningkatan
konsumsi PK pakan sangat bermanfaat untuk ternak ruminansia, dimana ternak yang
berproduksi tinggi disamping memerlukan protein yang berasal dari mikrobia,
sehingga penyediaan asam amino untuk penyerapan usus halus menjadi lebih baik.
Asam amino yang dibutuhkan ternak ruminansia sebagian bersal dari protein pakan
yang lolos dari fermentasi di dalam rumen (Soebarinoto et al., 1991). Menurut Arora
(1995) bahwa protein bermanfaat sebagai zat-zat yang digunakan untuk pertumbuhan
dan mempertahankan seluruh jaringan tubuh.
Produksi Susu

Pada Tabel 3. Nampak bahwa rataan produksi susu masing – masing; T1


sebesar: 307,50; T2 = 347,30 dan T3 = 380,70 g/ekor/hari. Pemberian perlakuan
frekuensi pakan hijauan perhari meningkat, menjadikan produksi susu kambing
penelitian meningkat pula, yang mana peningkatan produksi susu tersebut secara
umum diduga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BK pakan dari perlakuan
frekuensi pemberian T1, T2, dan T3, selanjutnya mengakibatkan meningkatkan
jumlah kandungan PK pada bahan kering pakan yang terkonsumsi sebagai bahan
pakan pada sintesis susu. Menurut Herawati (2003) dan Salama et al. (2003), bahwa
produksi susu dipengaruhi oleh pakan kuantitas (jumlah BK dan PK pakan yang
dikonsumsi) dan bobot badan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan peningkatan
frekuensi pemberian pakan perhari pada kambing perah PE dapat meningkatkan
konsumsi pakan, produksi susu dan kandungan BK susu.
Jurnal 2

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMENTASI SAKURA BLOK PLUS


TERHADAP KUALITAS SUSU KAMBING NUBIAN

Penelitian ini dilakukan selama 40 hari (16 Juli sampai 24 Agustus 2018) di
LPPB (Lembaga Pengembangan Pertanian Baptis) Pondok Kubang, Kabupaten
Bengkulu Tengah. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 ekor indukan
kambing Nubian umur 3-4 tahun dan sedang dalam fase laktasi akhir. Sakura blok
yang digunakan memiliki bahan baku yang terdiri dari: urea, dedak halus, sagu,
jagung giling, gula merah, top mix, mineral mix, TSP, garam dapur. Komposisi
sakura blok disajikan pada Tabel 1.

Pakan yang diberikan berupa hijauan segar yang terdiri dari rumput- rumput
dan legum. Hijauan yang diberikan yaitu sebanyak 10% dari berat badan ternak yaitu
5 kg (terdiri dari 1 kg rumput Brachiria decumben dan 4 legum Indigofera sp),
sedangkan untuk konsentrat yang diberikan yaitu ampas tahu dan dedak (4 : 0.25).
Suplemen Sakura blok dosis pemberiannya 150 g/ekor/hari. Pakan tambahan
diberikan kepada ternak dengan cara meletakkannya di tempat pakan. Pakan
tambahan ini diberikan pada pagi hari dengan jumlah yang sesuai dengan tingkat
konsumsi yang dianjurkan pada setiap jenis ternak. Pemeliharaan Kambing Pada
penelitian ini menggunakan 4 ekor kambing perah Nubian yang sedang laktasi akhir.
Kambing ditempatkan di kandang terpisah untuk memudahkan proses sanitasi,
pemerahan, pemberian pakan dan air minum. Kemudian penelitian dilakukan dengan
pemberian pakan hijauan, konsentrat dan suplemen Sakura blok terhadap indukan
yang nantinya berpengaruh terhadap kualitas susunya.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL), dengan


menggunakan 4 perlakuan,4 ulangan, 4 periode, dimana dalam satu periode selama
10 hari, 7 hari masa adaptasi dan 3 hari masa pengambilan data.Pada penelitian ini
perlakuan yang disusun sebagai berikut:

P0 = Sakura blok

P1 = Sakura blok + 2% Tepung kunyit + 2% Tepung daun katuk

P2 = Sakura blok + 4% Tepung kunyit

P3 = Sakura blok + 4% Tepung daun katuk

Konsumsi BK

ransum BK ransum merupakan pengukuran yang dilakukan setiap hari.


Konsumsi ransum (kg/ekor/hari) = Jumlah bahan ransum yang diberikan (kg) -
ransum sisa.

Kualitas susu

Pengujian kualitas susu meliputi : kadar lemak (%) dan kadar protein (%).
Pengukuran lemak susu (%) dan protein (%) dari pemerahan tiga hari terakhir dengan
pemerahan terakhir setiap periode, sampel disimpan dalam termos es untuk kemudian
dianalisis kadar lemak dan protein di laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian UNIB. Sampel dikompositkan sebanyak 100 ml kemudian dikeringkan
didalam oven, setelah kering

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Data hasil konsumsi bahan kering ransum yang diberi pakan tambahan berupa
suplementasi Sakura blok disajikan pada Tabel 2. Pemberian suplementasi Sakura
blok sebagai pakan indukan kambing Nubian menghasilkan konsumsi bahan kering
ransum yang tidak berbeda pada semua perlakuan. Hal ini dapat dikarenakan jumlah
hijauan yang diberikan selama proses penelitian sama. Rataan konsumsi bahan kering
ransum untuk P0, P1, P2, dan P3 secara berurutan yaitu 1.40kg/ekor/hari, 1.45
kg/ekor/hari, 1.49kg/ekor/hari dan 1.45kg/ekor/hari.
Konsumsi bahan kering yang tidak berbeda dapat diakibatkan karena bobot
badan ternak saat penelitian hampir seragam, sehingga kebutuhan bahan kering
masing-masing ternak sama. Pada ternak perah, konsumsi pakan sangat penting untuk
memproduksi susu yang maksimal, kondisi lingkungan yang nyaman akan
menghasilkan susu yang baik. Menurut Widiastuti dan Firmansyah (2005) bahwa
pakan merupakan komponen terbesar, yakni mencapai 60% - 80% dari biaya
produksi peternakan dan sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
dalam usaha peternakan. Kebutuhan nutrisi akan hidup pokok dan produksi susu
mempengaruhi konsumsi bahan kering. Menurut NRC (1981) pada bobot badan 50
kg pada kambing perah dengan produksi 3 kg/ekor/hari dibutuhkan bahan kering
sebesar 4.1% dari bobot badan. Faktor pakan yang dapat mempengaruhi konsumsi
BK pada ternak ruminansia antara lain sifat fisik dan komposisi kimia pakan. Tingkat
palatabilitas juga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi BK ransum antara lain
dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan suhu (Pond et al.,1995). Adhani et al. (2012)
menyatakan bahwa tingkat konsumsi ternak dapat dipengaruhi oleh bobot badan,
jenis kelamin, umur, faktor genetik, bangsa sapi, pakan dan faktor lingkungan
(temperatur, kelembaban dan sinar matahari).
Jurnal 3

PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIBERI


RANSUM BERBASIS JERAMI PADI FERMENTASI

Konsumsi bahan kering dan protein kasar pada kambing betina yang
mendapat ransum KRG lebih tinggi dari kambing yang mendapat ransum KJP dan
KJG (Tabel 2). Keadaan ini menunjukkan bahwa ransum KRG mempunyai
palatabilitas yang lebih baik dibanding jerami padi fermentasi. Berbeda dengan
kambing jantan, konsumsi bahan kering dan protein kasar kambing betina tidak
berbeda antar perlakuan, walaupun ada kecenderungan perlakuan KRG menyebabkan
konsumsi yang lebih tinggi. Perbedaan konsumsi diduga terjadi karena jenis kelamin,
kondisi fisiologis dan masa pengamatan yang berbeda. Pengamatan konsumsi pada
kambing jantan dilakukan selama dua minggu, sementara pada kambing betina
pengamatan dilakukan mulai kambing dikawinkan hingga masa laktasi berakhir.
Kondisi ini menunjukkan bahwa jenis kelamin, kondisi fisiologis dan lama
pemeberian pakan meneybabkan perbedaan konsumsi. Pada periode yang relatif
pendek perlakuan ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering dan
protein kasar, akan tetapi pada periode yang lebih panjang perlakuan ransum
memberikan pengaruh yang nyata Kecernaan bahan kering tidak dipengaruhi oleh
jenis ransum. Penambahan urea diduga menyebabkan terlepasnya ikatan antara lignin
dan selulosa atau hemiselulosa sehingga karbohidrat tersebut dapat dicerna.
Kandungan lignin pada jerami padi yang diberi urea berkurang dibanding yang tidak
diberi perlakuan (87,0% vs 63,5%),

Produksi Susu

Produksi susu selama 3 bulan laktasi tidak dipengaruhi jenis ransum. Rataan
produksi susu mencapai 754 g/hari dengan kisaran 585 - 970 g/ekor/hari. Rataan yang
tertinggi terdapat pada perlakuan KRG dan yang terendah pada perlakuan KJP (Tabel
6). Produksi susu pada kambing PE dapat berkisar antara 567,1 g/ekor/ hari (Adriani,
2003) hingga 863 g/ekor/hari (Subhagiana, 1998). Produksi susu pada penelitian ini
masih cukup baik, mengingat bahwa kambing induk yang digunakan rata-rata
kambing yang baru pertama laktasi. Sutama et al. (1995) menyatakan bahwa umur
ternak merupakan faktor yang mempengaruhi produksi susu, dan pada umumnya
produksi pada laktasi pertama adalah yang terendah dan akan meningkat pada
periode-periode laktasi berikutnya. Puncak produksi susu pada penelitian ini dicapai
rata-rata pada minggu ke-5 laktasi. Puncak produksi dapat dicapai pada minggu ke 2-
3 laktasi (Subhagiana, 1998; Adriani, 2003). Beragamnya hasil yang diperoleh dapat
disebabkan oleh jenis ransum yang diberikan, potensi produksi dan tingkat produksi.
Kurva produksi susu selama tiga bulan laktasi pada penelitian ini menunjukkan
keadaan yang cenderung persisten pada perlakuan KRG dan KJG. Akan tetapi pada
perlakuan KJP menunjukkan penurunan yang drastis pada minggu ke-7 (Gambar 3).
Keadaan ini diduga terkait dengan kondisi bahwa pakan KJP kurang mendukung
metabolisme yang optimum. Ransum KJP tidak mendukung terjadinya deposit
nutrien sedangkan mobilisasi dengan jerami padi tanpa perlakuan urea.
PENGARUH PEMBERIAN RANSUM BERBAGAI KUALITAS PADA
PRODUKSI AIR SUSU PERANAKAN SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN
DI KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

Supriadi1, Erna Winarti1 dan Agus Sancaya2

1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta .
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
2
Balai Pengembangan Bibit Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan. Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta
Jl. Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Email: supri.yadi20@yahoo.co.id

Diterima: 28 Juli 2016; Perbaikan: 25 Oktober 2016; Disetujui untuk Publikasi: 8 Februari 2017

ABSTRACT

Effect of Feeding Ratio with Various Quality on Milk Production of Friesian Holstein Crossbred Cattle
in Sleman District of Yogyakarta. The research was conducted from July to October 2013 at the District Integrated
Services Unit – Development Unit for Seeds and Feed of Livestocks and Animals Diagnostic under the Sleman
Agricultural Agency of Yogyakarta Province. Total of 16 cows on the 2nd or 3rd lactating periods were divided into 3
groups of dietary treatments including a group as the control treatment. Dietary treatments were various feed
supplements in the protein contains of (A) 15%, (B) 13% and (C) 12% with energies of (A) 255 cal/100gr, (B) 261 cal
/100gr and (C) 274 cal/100gr respectively. The control treatment was local feed product with 12% of crude protein.
The mixture of young corn forage and king grass was provided ad libitum as well as water. The result showed that the
milk production of treatments group had no differences (p>0.05) from the control group's. However the average
production of milk of group C was higher than group A and B, while the lowest production was from the control
group. The milk production of cows of treated groups increased up to 18%. The financial efficiency of feed were
IDR3.000 (group A), IDR4.000 (group B) and IDR5.000 (group C). As a result, even the feed treatments have not
increase the milk production yet, on the other hand the feed supplements could considerably maintain body condition
score (BCS).
Keywords: Feed supplement, milk production, financial efficiency

ABSTRAK

Penelitian dilaksanakan bulan Juli sampai Oktober 2013 di Unit Pelayanan Terpadu Daerah – Balai
Pengembangan Bibit Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan (UPTD BPBPTDK) Dinas Pertanian Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sebanyak 16 ekor sapi perah yang sedang laktasi ke 2 dan 3 dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan
pakan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor ulangan. Kandungan protein kasar masing-masing
perlakuan berkisar 15% (A); 13% (B); dan 12% (C) dengan kandungan energy 255 kal/100gr (A), 261 kal/100gr (B)
dan 274 kal/100gr (C). Kontrol perlakuan berupa pakan konsentrat yang dibeli di pasar sekitar wilayah penelitian yang
mengandung 12% protein kasar. Hijauan yang diberikan berupa tanaman jagung muda (tebon) dan rumput raja
diberikan ad libitum begitu pula air minum. Hasil penelitian menunjukan rata–rata produksi air susu sapi penelitian
berdasarkan analisis sidik ragam tidak ada perbedaan (P>0,05) antara perlakuan dan kontrol. Perbandingan produksi
air susu antara sebelum dan sesudah diperlakukan berdasarkan uji t menunjukkan perbedaan nyata. Produksi setelah
perlakuan menunjukan kenaikan 18% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi sebelum perlakuan. Perhitungan
efisiensi harga pakan dalam satu kali pemberian per ekor per hari antara harga pakan kontrol dengan harga pakan

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 47
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
perlakuan, lebih murah harga pakan perlakuan dengan selisih harga untuk masing-masing perlakuan adalah: perlakuan
A (Rp3.000), perlakuan B (Rp4.000) dan perlakuan C (Rp5.000). Perlakuan pakan A, B dan C secara umum dapat
mempertahankan BCS (body condition score). Dengan demikian, formula pakan perlakuan dapat mempertahankan
BCS, tetapi belum bisa meningkatkan jumlah produksi air susu selama laktasi.
Kata kunci: Konsentrat, produksi air susu, efisiensi

PENDAHULUAN Produksi air susu dipengaruhi oleh


kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi.
Sulistyowati (1999) melaporkan bahwa
Ternak sapi perah merupakan salah satu peningkatan konsumsi konsentrat diikuti
usaha andalan sub sektor peternakan yang peningkatan produksi air susu. Pakan konsentrat
prospektif dalam kegiatan agribisnis. merupakan pakan untuk melengkapi kebutuhan
Pengembangan usaha ternak ini berdampak nutrisi, yang pada umumnya mengandung protein
positif terhadap penciptaan lapangan kerja dan lebih dari 20% dan serat kasar kurang dari 18%.
menjanjikan pendapatan tunai, sehingga dapat Konsentrat biasanya diberikan bersama hijauan
memotivasi peternak untuk berperan aktif dalam untuk meningkatkan keseimbangan gizi dari
kegiatan agribisnis guna meningkatkan keseluruhan pakan. Menurut Tillman et al.
pendapatan keluarganya (Kaliky dan Hidayat, (1991), konsentrat berfungsi sebagai suplai energi
2006). tambahan dan protein. Protein konsentrat
Kabupaten Sleman merupakan sentra bercampur dalam rumen dengan protein
produksi susu sapi di Daerah Istimewa hijauannya.
Yogyakarta (DIY). Jumlah populasi sapi perah di Penelitian ini bertujuan untuk
DIY terus meningkat. Pada tahun 2012 sebanyak mendapatkan formula ransum yang berpengaruh
3.556 ekor dengan total produksi air susu yang terhadap produksi air susu pada sapi perah
dihasilkan sebanyak 3.063.750 kg. Pada tahun Friesian Holstein (FH).
2013 populasi meningkat menjadi 4.326 ekor
dengan total produksi air susu yang dihasilkan
sebanyak 4.912.000 kg. Dari jumlah tersebut
3.954 ekor (91,4%) diantaranya berada di
BAHAN DAN METODE
Kabupaten Sleman dengan produksi air susu
sebanyak 4.489.608 kg atau 91,40% dari total
produksi air susu sapi DIY (BPS Provinsi Penelitian dilaksanakan pada Juli-
Yogyakarta, 2013). Produksi air susu di Oktober 2013 di Unit Pelayanan Terpadu Daerah,
Kabupaten Sleman khususnya di lereng Gunung Balai Pengembangan Bibit Pakan Ternak dan
Merapi merupakan produk unggulan (Pemerintah Diagnostik Kehewanan (UPTD, BPBPTDK)
Kabupaten Sleman, 2016). Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penampilan produksi sapi perah Penelitian menggunakan Rancangan Acak
ditentukan oleh faktor genetik (30%) dan Kelompok (RAK). Sebanyak 16 ekor sapi perah
manajemen pemeliharaan hingga 70% (Anang et jenis peranakan Friesian Holstein (FH) yang
al., 2010; Misrianti et al., 2011. Di Indonesia sedang laktasi ke 2 dan ke 3 dibagi ke dalam
produktivitas sapi perah yang umumnya masih empat (4) kelompok berdasarkan rata-rata
rendah diduga akibat cara pengelolaan yang produksi susu perbulan pada laktasi sebelumnya
belum optimal. yaitu: kelompok 1 produksi susu berkisar antara
200 l/bulan – 240 l/bulan, kelompok 2 produksi
susu berkisar antara 160 l/bulan – 200 l/bulan,

48 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
kelompok 3 produksi susu berkisar antara 100
l/bulan – 160 l/bulan, dan kelompok 4 produksi Variabel yang Diamati
susu < 100 l/bulan. Perlakuan yang diuji adalah Produksi air susu
pemberian pakan konsentrat berbagai kualitas
berdasarkan tiga kadar protein kasar. Dalam hal Pengukuran produksi air susu dilakukan
ini satu ekor sapi ditetapkan sebagai satu unit sesuai dengan jadwal pemerahan, yaitu pagi dan
pengkajian. Kandungan protein kasar perlakuan sore hari selama 100 hari (3 bulan) sebagai
pakan A sekitar 15%, perlakuan B sekitar 13%, ekuivalen produksi air susu selama 305 hari (10
perlakuan C, dan D sekitar 12%. Ransum bulan) seperti yang dilakukan oleh Sitorus
perlakuan yang diberikan disusun dari beberapa (1984). Untuk mengukur peningkatan produksi
bahan lokal, seperti empok jagung, bekatul super, air susu karena perlakuan pakan dilakukan
bekatul halus, dan tetes tebu ditambah dengan melalui dua cara, yaitu 1) dibandingkan dengan
beberapa bahan pakan dari luar negeri seperti sapi kontrol, yaitu sapi-sapi yang sedang
corn gluten feed (CGF) dan whet pollard Tabel 1. produksi tanpa perbaikan pakan, dan 2)
dibandingkan dengan produksi susu pada laktasi
sebelumnya.
Tabel 1. Susunan ransum pengkajian
Ransum Percobaan
Bahan Pakan A B C
Empok jagung (kg) 13 20 22
CGF (kg) 14 20 23
Wheat pollard (kg) 14 10 10
Bekatul super (kg) 17 7 -
Bungkil kedelai (kg) 17 10 5
Bungkil kopra (kg) 14 10 10
Bungkil inti sawit (kg) 13 15 15
Bekatul halus (kg) - - 5
Kulit kopi (kg) - - 2
Tetes tebu (kg) 6 5 5
Mineral (kg) 3 3 3
Jumlah (kg) 112 112 112
Harga (Rp/kg) 3.000 2.800 2.600

Pakan perlakuan pada sapi penelitian Kualitas air susu sapi


diberikan pagi dan sore hari dalam bentuk kering.
Hijauan berupa tanaman jagung muda (tebon) Air susu diperoleh dengan jalan
dan rumput raja diberikan secukupnya (ad pemerahan seekor sapi atau lebih secara teratur,
libitum) begitu pula air minum. Sapi FH yang terus-menerus, hasil perahannya tanpa dicampur,
menjadi obyek penelitian ini merupakan sapi dikurangi atau ditambah apapun serta mempunyai
perah peranakan yang berwarna hitam putih, Bobot Jenis minimal 1,027 pada temperatur
berwarna merah dan putih. Produksi air susu sapi 27,50C dan kadar lemak 2,8%. Pengukuran
FH dalam penelitian ini berasal dari keturunan kualitas air susu yang dihasilkan dilakukan setiap
yang dapat mencapai produksi 12.352 liter per hari dengan uji alkohol untuk melihat susu yang
laktasi selama 300 hari dengan kadar lemak rusak atau pecah dan susu yang baik, disamping
3,7%. Di Indonesia, rerata produksi susu berkisar itu dilakukan pula pengukuran bobot jenis air
antara 2.500 sampai 3.000 kilogram (ekuivalen susu.
dengan 2.450 liter sampai dengan 2.941 liter) per
laktasi (Hardjosubroto, 1994).

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 49
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
Konsumsi ransum dilakukan dengan cara pengamatan dan perabaan
terhadap deposit lemak pada bagian tubuh ternak,
Pakan yang diberikan pada sapi
yaitu pada bagian punggung dan seperempat
penelitian terdiri dari hijauan dan konsentrat.
bagian belakang, seperti pada bagian processus
Dosis pakan konsentrat yang diberikan pada sapi
spinosus, processus spinosus ke processus
penelitian sebanyak 5 kg/ekor/hari dengan
transversus, processus transversus, legok lapar,
komposisi bahan pakan seperti tertera pada Tabel
tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber
1, sedangkan untuk pakan kontrol (eksisting)
ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan
sebanyak 6 kg/ekor/hari ditambah dengan menir
kiri, dan pangkal ekor ke tuber ischiadicus
kedelai sebanyak 1 kg/ekor/hari.
dengan skor 1-5 (skor 1=sangat kurus, skor 3=
Pakan hijauan yang diberikan pada sapi- sedang, dan skor 5= sangat gemuk) (Edmonson et
sapi penelitian adalah rumput raja dan batang al.,1989 dalam Widianatias, 2015.). Sapi
beserta daun tanaman jagung muda (tebon) baik memiliki skor 1 adalah sangat kurus, yaitu bila
untuk sapi perlakuan maupun untuk sapi kontrol, processus spinosus pendek tampak jelas,
diberikan dengan porsi yang sama. Pemberian menonjol, dan dapat diraba, Tuber coxae dan
hijauan pada dasarnya adalah ad libitum tetapi Tuber ischiadicus sangat jelas terlihat, pangkal
diperkirakan tidak berlebihan, sehingga tidak ekor (anus) kedalam/menyusut, vulva menonjol.
banyak hijauan yang terbuang. Pengukuran Sebaliknya, sapi dengan skor 5 atau sangat
hijauan dilakukan satu hari dalam satu minggu gemuk yaitu bila struktur tulang bagian atas
dengan cara penimbangan hijauan yang akan Tuber coxae, Tuber ischiadicus dan Processus
diberikan, kemudian dilakukan penimbangan spinosus pendek tidak terlihat.
kembali pada sisa pakan yang tersisa pada hari
berikutnya. Selisih penimbangan antara hijauan
yang diberikan dengan hijauan yang tersisa Analisis Data
merupakan jumlah hijauan yang dikonsumsi.
Analisis sidik ragam menurut rancangan
acak kelompok untuk semua data pengamatan.
Analisis dilanjutkan dengan Duncan's Multiple
Bobot badan
Range Test (DMRT) untuk membedakan
Pengukuran bobot badan dilakukan setiap perlakuan yang memberikan kualitas terbaik.
dua minggu dengan cara mengukur lingkar dada
dengan rumus:
(G  22)2
W HASIL DAN PEMBAHASAN
124
W = bobot badan (kg)
Karakteristik Wilayah Penelitian
G = lingkar dada (cm) diperoleh dengan cara
melingkarkan pita ukur pada bagian tulang Lokasi penelitian di Desa
rusuk 3-4 (tulang belikat) yang terletak pada Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten
belakang kaki depan (Srigandono, 1995) Sleman berada pada ketinggian 600 meter di atas
permukaan laut, memiliki suhu udara yang sejuk
Pengukuran bobot badan ditujukan untuk berkisar antara 26,1–27,40C (BPS Kab Sleman,
mengetahui peningkatan bobot badan selama 2013) namun kondisi ini masih kurang cocok
penelitian dan sebagai pendekatan untuk untuk pertumbuhan dan berproduksi sapi perah.
mengetahui perubahan kondisi tubuh Body Menurut Williamson dan Payne (1993) suhu
Condition Score (BCS) selama pemberian pakan udara yang nyaman untuk ternak sapi perah
hasil perbaikan. Penilaian kondisi tubuh

50 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
adalah 10 – 270C. Hasil penelitian Sudono et al. sapi perah. Peningkatan kenyamanan lingkungan
(2010) dalam Suherman et al. (2013) di daerah agar dapat sesuai dengan performent sapi perah
tropis memperlihatkan produksi tidak berbeda dapat dilakukan dengan manajemen suhu
dengan di daerah subtropis, apabila suhu lingkungan yang tepat sehingga dapat mengatasi
lingkungan sekitar 18,3oC dan kelembaban udara cekaman panas pada tubuh ternak (Nardone et
sekitar 55%, serta penampilan produksi masih al., 2010).
cukup baik bila suhu lingkungan meningkat
sampai 21,10C dan suhu kritis sekitar 270C
memperlihatkan penampilan produksi semakin Pakan Konsentrat
menurun.
Untuk memproduksi pakan konsentrat
Kelembaban udara tertinggi terjadi pada yang diberikan pada sapi penelitian, bekerja sama
bulan November hingga mencapai 87% dan dengan Koperasi Usaha Bersama (KUB)
terendah terjadi pada Bulan Agustus hingga Puspetasari Klaten, sedangkan pakan konsentrat
mencapai 74%. Kelembaban udara banyak kontrol diperoleh dari pasar bebas yang berada
mempengaruhi tingkat produksi, Williamson dan disekitar wilayah penelitian. Komposisi dan
Payne (1993) menyatakan ternak dapat nyaman nutrisi pakan tertera pada Tabel 2.
pada kelembaban 50-60%. Menurut (Sugeng.

Tabel 2. Hasil uji laboratorium pakan konsentrat yang diberikan pada sapi percobaan
Kontrol/Tertera pada Label
Jenis Analisis A B C Kemasan
Air (%) 12,76 11,22 12,14 6,66
Abu (%) 11,43 12,61 8,12 -
Protein (%) 15,15 13,54 12,01 12,09
Lemak (%) 3,08 2,95 1,96 4,58
Serat Kasar (%) 15,29 13,78 12,44 22,39
Kabohidrat (%) 42,28 46,03 53,33 -
Energi (kalori/100gr) 255,35 261,14 274,31 -
Calsium (%) 2,32 2,24 2,10 -
Phospor (%) 0,42 0,42 0,35 -
Bahan Organik (%) 75,80 76,17 79,73 -
Sumber: Hasil analisis laboratorium Chem-Mix Pratama, 2013

1998), kelembaban yang baik adalah kurang lebih Kadar protein kasar pada pakan
60%. Kelembaban yang tinggi bisa mengurangi konsentrat perlakuan hasil uji laboratorium,
atau menurunkan jumlah panas yang hilang masing-masing adalah perlakuan A sebanyak
akibat penguapan, sedangkan penguapan 15,15%, perlakuan B sebanyak 13,54% dan
merupakan salah satu cara untuk mengurangi perlakuan C sebanyak 12,01%. Kadar protein ini
panas tubuh sehingga tubuh menjadi sejuk. lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein
Jumlah panas yang hilang tersebut tergantung yang ada pada pakan kontrol. Kadar serat
dari luas permukaan tubuh, bulu yang kasarnya yaitu di bawah 18%, dengan kadar
menyelubungi kulit, jumlah dan besar kelenjar bahan organik diatas 70% dan kadar bahan
keringat, suhu lingkungan, dan kelembaban udara keringnya di atas 85% atau kadar air yang
(Sugeng, 1998). Suhu lingkungan merupakan terkandung dalam konsentrat dibawah 12%.
salah satu faktor eksternal yang dapat Dengan demikian konsentrat yang digunakan
mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 51
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
pada penelitian ini sudah cukup baik meskipun
kadar proteinnya masih rendah. keturunan FH untuk memproduksi air susu di
Beberapa ahli peternakan sapi perah Indonesia adalah 15-20 liter/ekor/hari
menganjurkan tingkat protein sebesar 20% untuk (Rustamadji, 2004), tetapi masih lebih baik
pakan sapi yang sedang berproduksi. Siregar dibandingkan dengan kontrol. Pakan perlakuan C
(1996) merekomendasikan kualitas pakan mengandung protein kasar 12% ternyata dapat
konsentrat untuk sapi perah yang sedang memberikan jumlah produksi air susu lebih
berproduksi minimal mengandung 18% protein banyak dibandingkan dengan perlakuan A atau B
kasar dan 75% TDN atau sekitar 4,75 Mkal/kg yang masing-masing mengandung protein kasar
bahan kering. Pada pakan kontrol sesuai dengan 15% dan 13%. Berdasarkan analisis sidik ragam
yang tertera pada kemasan, kandungan serat antara perlakuan A, B, C dan kontrol tidak
kasarnya kurang baik karena masih di atas 18% terdapat perbedaan secara statistik yang nyata
sedangkan kandungan nutrisi lainnya sudah (P> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa semua
cukup memadai. perlakuan perbaikan pakan berbahan baku lokal
belum dapat meningkatkan jumlah produksi air

14 12,42 12,65
Produksi air susu (l/ekor/hari)

12 11,45
10 9,3
8
6
4
2
0

A: Pakan mengandung B: Pakan mengandung C: Pakan mengandungD: Pakan kontrol


15,15% PK13,54% PK12,01% PK

Gambar 1. Rata-rata produksi air susu sapi yang diamati

Produksi Air Susu Sapi susu. Namun demikian pakan yang terbaik di
Produksi air susu tertera pada Gambar1. antara pakan perlakuan adalah pada pakan
Pengukuran produksi air susu pada perlakuan perlakuan C karena memiliki kandungan energi
kontrol dilakukan pada sapi yang berbeda dengan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada
sapi perlakuan tetapi ada dalam kandang yang pakan perlakuan A dan B, seperti yang
sama. dikemukakan oleh Ensminger (1971) dalam Fajar
Birul (2014) bahwa energi berperan sebagai
Rata-rata hasil produksi air susu per ekor penutup kekurangan zat makanan di dalam pakan
per hari yang tertera pada Gambar 1 masih jauh keseluruhan.
dari kemampuan. Kemampuan genetik sapi

52 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
Tabel 3. Produksi air susu sapi liter/ekor/hari

Kode sapi*) Periode Laktasi


Sebelum perlakuan Setelah perlakuan
Pt 14,84 11,18
Li 9,32 12,23
An 6,54 9,70
Wa 9,03 12,71
Me 8,74 10,35
Ro 13,22 10,61
Ha 12,19 10,83
Lu 7,19 12,46
La 11,88 14,52
R 11,05 13,06
He 10,87 14,03
Se 8,12 12,82
Rata-rata 10,24a 12,04b
Keterangan: a,b) perbedaan nyata diuji dengan T test. T hitung = 2,10, T tabel (10%) = 1,75
Perbandingan jumlah produksi air susu konsentrat tidak memberikan dampak
harian antara periode laktasi sebelum peningkatan terhadap rata-rata bobot jenis susu.
diperlakukan dengan periode laktasi saat Hasil yang diperoleh pada penelitian ini masih
diperlakukan pada sapi yang sama dengan posisi dibawah dari yang dipersyaratkan minimal 1,027
hitungan bulan laktasi yang sama di antara dua pada suhu 27,50C. Hasil penelitian ini tidak jauh
periode laktasi tersebut, berdasarkan T-tes tingkat berbeda dengan hasil penelitian Siregar (2001)
kepercayaan 10% menunjukkan perbedaan yang bahwa peningkatan konsumsi zat gizi berakibat
nyata (P<0,10) antara sebelum dan sesudah terhadap peningkatan produksi susu rata-rata
perlakuan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada harian dan peningkatan lemak susu, kandungan
Tabel 3. bahan kering tanpa lemak dan total bahan kering
Dari tabel tersebut, angka rata-rata susu tetapi tidak berdampak terhadap bobot jenis
produksi air susu harian pada periode laktasi susu. Rendahnya rata-rata bobot jenis air susu
sebelum perlakuan dan produksi air susu harian yang diproduksi dari hasil penelitian ini bukan
pada periode laktasi saat perlakuan dengan posisi disebabkan oleh kondisi suhu lingkungan, karena
bulan yang sama di setiap periode laktasi suhu kingkungan yang ada di wilayah penelitian
menunjukkan angka berbeda. Angka produksi berkisar antara 26,1–27,40C. Rendahnya angka
setelah diperlakukan lebih tinggi dibandingkan bobot jenis banyak disebabkan oleh rendahnya
dengan sebelum diperlakukan untuk semua nutrisi yang terkandung dalam ransum yang
perlakuan pakan. Besaran peningkatannya diberikan, Tillman et al. (1991), menyatakan
mencapai 18% dari produksi air susu bahwa pakan konsentrat merupakan komposisi
sebelumnya. pakan yang dilengkapi kebutuhan nutrisi utama,
mengandung protein lebih dari 20% dan serat
kasar kurang dari 18%. Energi tinggi berperan
Kualitas Air Susu Sapi sebagai penutup kekurangan zat makanan di
dalam pakan keseluruhannya. Kandungan protein
Kualitas air susu dapat ditentukan kasar pada konsentrat yang digunakan untuk
berdasarkan bobot jenis dan uji alkohol. Pada penelitian ini adalah perlakuan A (15%),
Tabel 4 dapat dilihat hasil uji kualitas susu pada perlakuan B (13%), dan perlakuan C (12%),
sapi yang diamati. Pemberian pakan suplemen sehingga kandungan protein kasarnya masih jauh

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 53
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
Tabel 4. Rata-rata kualitas air susu sapi berdasarkan berat jenis dan uji alkohol per minggu

Perlakuan / 1 2 3 4 5 6
minggu Bj Akl Bj Akl Bj Akl Bj Akl Bj Akl Bj Akl
Pakan 1,023 Baik 1,023 Baik 1,023 Baik 1,023 Baik 1,035 Baik 1,024 Baik
mengandung
15% PK
Pakan 1,022 Baik 1,023 Baik 1,023 Baik 1,024 Baik 1,025 Baik 1,023 Baik
mengandung
13% PK
Pakan 1,022 Baik 1,023 Baik 1,022 Baik 1,023 Baik 1,023 Baik 1,023 Baik
mengandung
12% PK
Keterangan: Bj=Berat jenis, Akl = Uji alkohol, PK= Protein kasar

dari yang dibutuhkan oleh sapi yang sedang Konsumsi ransum yang terdiri dari
berproduksi susu. konsentrat dan hijauan segar secara kasar dapat
Uji alkohol yang dilakukan pada air susu diperkirakan kurang lebih sebanyak 10% dari
yang dihasilkan setiap hari sudah menunjukkan bobot badan. Hasil pengukuran konsumsi hijauan
hasil yang baik, artinya tidak ada susu yang pada Tabel 5 dapat dilihat setelah ditambah
pecah akibat dari kontaminasi bakteri yang dengan konsumsi konsentrat yang diberikan
berlebihan dan berbahaya bagi kesehatan sebanyak 5 kg/ekor/hari sudah memenuhi
manusia (Murdiati et al., 2004). Selanjutnya kebutuhan ransum kurang lebih sebanyak 10%
Nugroho et al. (2009) menyatakan bakteri dari bobot badan. Pada Tabel 6 untuk perlakuan
Mycobacterium avium sub species A, B dan C rata-rata konsumsi ransum ber turut-
paratuberculosis (MAP) yang terbawa air susu turut adalah 25,67-29,1 kg/ekor/hari dan 27,12-
dan dikonsumsi oleh manusia dapat 33,15 kg/ekor/hari, serta antara 27,92-34,02
menyebabkan gangguan kesehatan yang ditandai kg/ekor/hari (Tabel 6). Rata-rata bobot badan
dengan radang granulomatosa kronis saluran (BB) pada Tabel 7 untuk perlakuan A, berkisar
pencernaan bagian bawah. Kandungan bakteri antara 310,85-321,35 kg/ekor. Hal ini
yang berlebihan akan mengakibatkan air susu menunjukkan bahwa rata-rata pakan yang
cepat busuk. Apabila air susu tersebut di uji terkonsumsi berkisar antara 8,25% sampai 9.05%
alkohol akan terlihat pecah artinya akan terjadi dari bobot badan. Perlakuan B rata-rata antara
penggumpalan dan pemisahan antara lemak susu 341,5 kg/ekor sampai 352,45 kg/ekor, rata-rata
dengan airnya. pakan yang terkonsumsi 8-9,4% dari bobot
badan. Perlakuan C rata-rata BB berkisar antara
315,4 kg/ekor sampai 325,95kg/ekor, rata-rata
Konsumsi dan Efisiensi Pakan pakan yang terkonsumsi 8,85-10,43% dari bobot
badan. Dari penjelasan di atas menunjukkan
Konsumsi dan efisiensi pakan diukur bahwa kebutuhan pakan sudah terpenuhi.
berdasarkan selisih antara jumlah pakan yang
diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa.
Hasil pengukuran konsumsi tertera pada Tabel 5.

54 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
Tabel 5. Konsumsi hijauan dalam satuan kg segar/ekor/hari selama pengkajian
Penimbangan ke
Perlakuan Kode sapi
1 2 3 4 5
Pt 28,6 29,5 28,7 24,3 30,7
Pakan 28,6 27,3 20,1 25 28,5
mengandung Li
15% PK An 28,4 28,9 29,1 29 26,5
Ri 29,9 29,5 24,8 26,5 30,7
Jumlah 115,5 115,2 102,7 104,8 116,4
Rataan 28,875 28,8 25,675 26,2 29,1
Wa 29,8 35,3 27,2 27,6 31,3
Pakan 32,5 33,1 31,4 25,7 32
mengandung Me
13% PK Ro 33 36 30 26 30
He 30,2 28,2 30,4 29,2 30,3
Jumlah 125,5 132,6 119 108,5 123,6
Rataan 31,375 33,15 29,75 27,125 30,9
Ha 31 37 33,6 24,6 32
Pakan 35 33,1 32 28 32
Lu
mengandung
12% PK Le 27,3 35,3 27,9 29,9 29,7
Se 30 30,7 29,9 29,2 29,6
Jumlah 123,3 136,1 123,4 111,7 123,3
Rataan 30,825 34,025 30,85 27,925 30,825

Keterangan: PK= Protein kasar


Efisiensi pakan dapat dilihat pada dosis demikian pakan konsentrat hasil perbaikan lebih
konsentrat yang diberikan antara sapi penelitian efisien dibandingkan dengan pakan kontrol.
dan sapi kontrol. Pada sapi penelitian dosis
konsentrat yang diberikan sebanyak 5
kg/ekor/hari, dinilai dengan rupiah untuk setiap Bobot Badan
ekor sapi penelitian akan mengkonsumsi pakan
Kondisi tubuh sapi dewasa yang ideal
masing-masing seharga: perlakuan A = Rp15.000
berkaitan erat dengan produksi susu optimal. Sapi
(5 kg x Rp3.000) perlakuan B = Rp14.000 (5 kg
dewasa yang berada pada kondisi tubuh terlalu
x Rp2.800) dan perlakuan C = Rp13.000 (5 kg x
gemuk atau terlalu kurus akan menurunkan
Rp2.600). Sedangkan pada pakan kontrol dosis
produksi susu. Cadangan lemak tubuh digunakan
yang diberikan adalah 6 kg ditambah dengan 1 kg
sapi periode laktasi saat tidak cukup mendapat
menir kedelai, dihitung dengan nilai rupiah satu
energi terutama selama awal laktasi. Pengukuran
ekor sapi akan mengkonsumsi pakan seharga 6
bobot badan dan penilaian skor tubuh dilakukan
kg konsentrat x Rp2.500 + 1 kg menir kedelai x
setiap dua minggu selama penelitian, hasilnya
Rp3.000 = Rp18.000. Maka pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 6.
terjadi efisiensi pakan per ekor per hari masing-
masing sebanyak perlakuan A (Rp3.000), Produksi air susu berkaitan erat dengan
perlakuan B (Rp4.000), dan perlakuan C kondisi tubuh, untuk menilai kondisi tubuh dapat
(Rp5.000). Dengan tingkat produksi air susu menggunakan sistem Body Condition Score
lebih tinggi dibandingkan kontrol, dengan (BCS). Hasil penilaian BCS pada sapi-sapi yang

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 55
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
Tabel 6. Penimbangan bobot badan (kg) dan penilaian Body Condition Score (BCS)

Nama Minggu2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu 10 Minggu 12


Perlakuan Sapi Bobot BCS Bobot BCS Bobot BCS Bobot BCS Bobot BCS Bobot BCS
Pakan Pe 294,2 3 294,7 3 288 3 288 3 288 3 288 3
mengandung Li 306,6 2 310 2 310 2 310 2 313 2 313 2
15% PK An 349 3 349 3 335,6 3 335,6 3 335,6 3 335,6 3
Ri 335,6 3 312,9 3 309,8 3 309,8 3 312,9 3 312,9 3
Rataan 321,35 2,75 316,65 2,75 310,85 2,75 310,85 2,75 312,37 2,75 312,37 2,75
Pakan Wa 362,4 2 362,4 2 362,4 2 349 2 352,2 2 352,2 2
mengandung Me 342,2 3 342,2 3 335,6 3 332,3 3 329 3 329 3
13% PK Ro 329 2 319,3 2 329 2 329 2 325,8 2 325,8 2
He 376,2 3 372,7 3 365,8 3 362,4 3 359,0 3 359,0 3
Rataan 352,45 2,5 349,15 2,5 348,2 2,5 343,17 2,5 341,5 2,5 341,5 2,5
Pakan Ha 303,5 2 342,2 2 352,2 2 359 2 345,5 2 345,5 2
mengandung Lu 319,3 3 319,3 3 319,3 3 322,05 3 329 3 329 3
12% PK Le 309,8 2 300,4 2 309,8 2 297,3 2 300,8 2 297,3 2
Se 329,0 3 316,1 3 322,5 3 316,1 3 319,3 3 316,1 3
Rataan 315,4 2,5 319,5 2,5 325,95 2,5 323,61 2,5 323,65 2,5 321,97 2,5
Keterangan: BCS menggunakan skala 1-5 (1 = kurus dan 5 = gemuk), PK=Protein Kasar

diteliti selama 3 bulan (Tabel 6) terlihat cukup KESIMPULAN


stabil, namun belum bisa menaikkan dari skor 2
menjadi skor 3. Pada umumnya BCS akan sedikit
menurun pada 3-4 bulan laktasi. Hal ini Pemberian pakan kosentrat dengan
disebabkan adanya perlambatan konsumsi pakan, perbedaan kualitas protein kasar yang berkisar
dan adanya peningkatan produksi air susu yang antara 12-15% dengan energi berkisar 255–274
cepat, sehingga terjadi mobilisasi cadangan kalori/100g pakan pada sapi yang sedang laktasi
lemak tubuh untuk melengkapi ketidakcukupan tidak mempengaruhi (p>0,05) produksi air susu
konsumsi pakan akibat peningkatan kebutuhan (9,30–12,63 l/ekor). Namun pemberian pakan
produksi air susu tinggi saat awal laktasi. Untuk konsentrat tersebut dapat meningkatkan rata-rata
itu sejumlah cadangan lemak tubuh dimobilisasi produksi susu 18% dari sapi yang tanpa
saat awal laktasi yang menurunkan cadangan perlakuan.
lemak tubuh selama 1-2 minggu setelah beranak, Formula pakan A, B dan C secara umum
sampai pengembalian kondisi tubuh terjadi dapat mempertahankan selama penelitian
(Domeq et al., 1997). Pola perubahan BCS secara berlangsung sehingga diharapkan dapat
umum akan menurun selama 2–3 bulan awal mempertahankan jumlah produksi air susu
laktasi kemudian berlangsung pengembalian selama laktasi.
kondisi sampai dengan pertengahan laktasi.
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas,
menunjukan bahwa formula pakan yang
diberikan pada sapi yang sedang laktasi sudah
dapat mempertahankan kondisi tubuh selama
penelitian.

56 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
UCAPAN TERIMA KASIH Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian sebagai Penggerak Ketahanan
Pangan. Mataram, 5 – 6 Sepetember 2006.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Ibu Drh. Kurnia Tejawati selaku Kepala UPTD Teknologi Pertanian, Balai Pengkajian
BPBPTDK Dinas Pertanian Provinsi Daerah Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Istimewa Yogyakarta dan Bapak Dr. Sudarmaji Hal: 353-358.
selaku Kepala BPTP Yogyakarta atas kerjasama
dan pendanaan pada penelitian ini. Ucapan Misrianti, R., C. Sumantri, dan A. Anggraeni.
terimakasih juga disampaikan kepada teknisi 2011. Keragaan gen hormon pertumbuhan
BPTP dan Ibu Drh. Yeni sebagai penanggung reseptor (GHR) pada sapi perah friesian
jawab perkandangan sapi perah di UPTD holstein. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
BPBPTDK. (JITV), Vol.16(4): 253-259.
Murdiati, T. B., A. Priadi, S. Rachmawati, dan
Yuningsih. 2004. Susu pasteurisasi dan
penerapan HACCP (Hazard Analysis
DAFTAR PUSTAKA Critical Control Point). Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner (JITV), Vol. 9(3): 172-180.
Anang. A, H. Indrijani, dan D. Tasripin. 2010. Nugroho,W. S, M. Sudarwanto, D. W. Lukman,
Analisis efek tetap dalam evaluasi genetik S. Setiyaningsih, dan E. Usleber. 2009.
produksi susu pada sapi perah Kajian deteksi Mycobacterium avium sub
menggunakan catatan tes day di Indonesia. species paratubercolosis pada sapi perah di
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
(JITV),Vol. 15(2): 138-146. (JITV),Vol.14(4): 307-315.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sleman. Nardone, A., C. T. Kadzere, and E. Maltz. 2010.
2013. Kabupaten Sleman dalam Angka. Effects of climate change on animal
BPS Kabupaten Sleman, Yogyakarta. 430 production and sustainability of livestock
hal. systems. Livest. Prod Sci., Vol.130: 57-69.
Domeq, J. J., A. L. Skidmore, J. W. Lloid, and J. Rustamadji, B. 2004. Dairy Science Laboratory
B. Kaneene. 1997. Relationship between of Dairy Animal. Faculty of Animal
body condition score and milk yield in a Science. Gadjah Mada University,
large dairy herd of heigh yielding Holstein Yogyakarta.
cows. J. Dairy Sci., Vol. 80: 101 – 112. Siregar, S. B. 1996. Sapi Perah, Jenis, Teknik
Birul, F. 2014. Peternakan Sapi Perah. Pemeliharaan, dan Analisis Usaha. PT
http://fajarbirul12.blogspot.co.id/2014/12/ Penebar Swadaya, Jakarta.
peternakan-sapi-perah.html. [7 November Siregar, S. 1995. Sapi Perah, Jenis, Teknik
2016]. Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Swadaya, Jakarta.
Ternak di Lapangan. Gramedia Sulistyowati, E. 1999. Imbangan hijauan–
Widiasarana, Jakarta. konsentrat optimal untuk konsumsi ransum
Kaliky, R. dan N. Hidayat. 2006. Karakterstik dan produksi susu sapi perah Holstein
peternak sapi perah di Desa Kepuharjo laktasi. Prosiding Semnas Peternakan dan
Kecamatan Cangkringan Kabupaten veteriner. Pusat Penelitian dan
Sleman. Prosiding. Seminar Nasional, Pengembangan Peternakan, Bogor.

Pengaruh Pemberian Ransum berbagai Kualitas pada Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian 57
Holstein di Kabupaten Sleman Yogyakarta (Supriadi, Erna Winarti dan Agus Sancaya)
Srigandono, B. 1995. Kamus Istilah Peternakan. Pemerintah Kabupaten Sleman. 2014. Kelompok
Ed.2. Gadjah Mada Universitas Press., Tani Sedyo Mulyo Peroleh Bantuan
Yogyakarta. Pengembangan Klaster Sapi Perah.
http://www.slemankab.go.id/5975/kelompo
Sugeng, Y. B. 1998. Sapi Potong. Penebar
k-tani-sedyo-mulyo-perol. (diakses tanggal
Swadaya, Jakarta.
3 November 2016).
Sitorus, S. S. 1984. Korelasi antara produksi susu
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. An
180 hari dan 305 hari pada sapi perah.
Introduction To Animal Husbandary in
Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner,
The Tropic. (Diterjemahkan: S.G.N. Dwija
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Darmadja). Longman Group Limited,
Peternakan, Vol. 1(7).
London.
Tillman, A. D. Hartadi, H. Reksohadiprojo, S.
Widianatias. 2015. Makalah Judging Sapi Perah.
Prawirokusumo, dan S. Soekojo, S.L.
widianatias.blogspot.com/
1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
2015/06/makalah-judging-sapi-perah.html .
Mada University Press, Yogyakarta.
(diakses tanggal, 3 November 2016).

58 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58
Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil
Vol. 02 No. 1, Januari 2014
Peternakan ISSN 2303-2227
Hlm: 224-230

EFISIENSI PRODUKSI SUSU DAN KECERNAAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum


purpureum) PADA SAPI PERAH FH DENGAN PEMBERIAN
UKURAN POTONGAN YANG BERBEDA

Milk Production Eficiency and Digestibility of Elephant Grass (Pennisetum purpureum) on FH Dairy
Cow with Different Cutting Size

Novianti, J1); B.P. Purwanto2); A. Atabany3)


1
Sekolah Pascasarjana, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor
2
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor
3
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, FakultasPeternakan, InstitutPertanian
Bogor email : jodie1179@yahoo.com

ABSTRACT
Animal feeds with the requirements were given to support production and productivity of livestock.
Production and productivity were related with feed consumption and digestibility. Superior grass that was
given without cutted causing a lot of wasted parts, so the grass size would be cutted to see an increase in feed
consumption and digestibility, and milk production efficiency. The study was conducted on July-October
2013 in Field Laboratory of Animal Husbandry IPB, using four lactation dairy cattle. The research designs
were RBSL and analyzed by ANOVA on the four stage treatment with feed consumption, digestibility, and
milk production efficiency as observed variables. The results showed that cage condition and environmental
could potentially caused mild to moderate stress (THI : 68–90), the size of grass cutted were not significant
effect to the digestibility of Dry Material (BK), Crude Fat (LK), Crude Fiber (SK), BETN and TDN but
significant effect to the digestibility of crude protein (P<0.05). Digestibility of proteins on cutting size in 5
cm (66.35 ± 5.29%) and 15 cm (67.44
± 4.83%) higher than controls (63.40 ± 7.65%) and 10 cm (64.61 ± 5.92%). Treatments of the grass cutting
were not significant effect to dry material and feces, as well as the efficiency of dry material, crude protein
and crude fat were not significantly affect the size of elephant grass clippings. The size pieces of grass were
not effect to feed consumption, efficiency and nutrient digestibility of feed but effect on protein digestibility.

Keywords : The size pieces of grass, feed consumption, nutrient digestibility and milk production efficiency

PENDAHULUAN dengan kecernaan nutrien yang dikandungmya, sedangkan


kecernaan dipengaruhi oleh jumlah serta kandungan
Pemeliharaan sapi perah pada kondisi iklim nutrient yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Besarnya
tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat kecernaan menentukan banyaknya nutrien yang dapat
menurunkan produktivitas ternak dan produksi susu (Amir dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
2010). Kebutuhan energi pada sapi perah laktasi ditentukan pertumbuhan (Widya et al. 2008). Penentuan nilai
oleh kebutuhan untuk hidup pokok yang dipengaruhi kecernaan dapat dilakukan dengan beberapa teknik yakni
oleh berat badan, sedangkan kebutuhan untuk produksi teknik in vivo menggunakan ternak hidup, in sacco
susu dipengaruhi oleh banyaknya susu yang disekresikan menggunakan ternak yang difistula dan teknik in vitro
dan kadar lemak yang terkandung di dalam susu (Bath menggunakan rumen buatan yang dikondisikan seperti
et al. 1985). Kebutuhan nutrisi sapi perah laktasi erat rumen asli. Teknik yang paling murah untuk menentukan
hubungannya dengan bobot badan dan produksi susu yang nilai kecernaan adalah teknik in vitro tetapi kurang akurat
dihasilkannya, sedangkan konsumsi pakan erat kaitannya dibanding kedua teknik lainnya. Penilaian kualitas bahan
dengan kandungan serat kasar pakan sehingga konsumsi pakan secara in-vivo adalah dengan cara melihat
pakan akan menurun apabila kandungan serat kasar pengaruhnya terhadap penampilan ternak melalui
pakan tinggi (Sutardi 1981). Asupan pakan merupakan konsumsi maupun kecernaan.
salah satu faktor untuk mempertahankan produksi susu. Pemanfaatan sumber daya yang efisien merupakan
Sapi seharusnya diusahakan agar dapat memaksimalkan komponen ekonomi yang penting. Pada peternakan sapi,
intake pakan selama laktasi sehingga susu yang dihasilkan pakan merupakan biaya terbesar dari produksi, oleh karena
dapat meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. itu, konversi efisiensi dan pemberian nutrisi pakan ke
Kecernaan atau daya cerna adalah bagian dari nutrien dalam susu yang dijual langsung mempengaruhi
pakan yang tidak diekskresikan dalam feses terhadap profitabilitas susu. Efisiensi pakan sebagai ukuran untuk
konsumsi pakan apabila dinyatakan dalam persentase mengubah nutrisi ke dalam produk hewan telah digunakan
disebut koefisien cerna (Tillman dkk 1991; Orskov 1992). dalam industri daging sapi, babi dan unggas, tetapi hanya
Tingkat kecernaan nutrien makanan dapat menentukan baru- baru ini industri susu mulai mengevaluasi efisiensi
kualitas dari ransum tersebut, karena bagian yang dicerna pakan untuk sapi laktasi. Efisiensi pakan tidak hanya
dihitung dari selisih antara kandungan nutrien dalam dilihat dari kepentingan ekonomi, tetapi juga merupakan
ransum yang dikonsumsi dengan nutrien yang keluar lewat monitor untuk pengelolaan hara pada pertanian. Apabila
feses atau berada dalam feses. Konsumsi pakan berkaitan efisiensi pakan meningkat, maka lebih banyak nutrisi yang
diarahkan ke dalam produksi susu dengan sedikit pupuk
dan nutrisi yang
224 Edisi Januari 2014
Noviani et al. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan

diekskresikan (Linn et al. 2007) pukul 07.00 WIB dihitung dari pakan yang diberikan 1
Hijauan menjadi sumber kehidupan penting dalam hari sebelumnya dengan sisa pakan pada hari berikutnya.
perkembangan ternak, oleh karena itu hijauan diharapkan Pemerahan dilakukan dua kali sehari pada pukul 05.00 dan
yang berkualitas baik dan mudah dicerna oleh ternak. 14.00. Produksi susu diambil dari hasil pemerahan setiap
Menurut Riyanthi (2006), tidak adanya pengaruh harinya dan untuk uji kualitas susu dilakukan selama 7
pemberian pakan rumput gajah dengan ukuran pemotongan hari. Pengamatan terhadap kecernaan pakan dengan
yang berbeda terhadap tingkah laku makan pada sapi PFH melakukan pengambilan (collecting) feses dalam 24 jam
laktasi. Pemotongan pada hijauan unggul khususnya selama 7 hari pengamatan.
rumput gajah (Pennisetum purpureum) menjadi perhatian
dalam penelitian ini. Ukuran rumput yang dimulai dari Kecernaan.
batang hingga daun dapat tumbuh cepat dan tegak Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang sisa
mencapai 2–4 meter (Reksohadiprodjo 1985), maka ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum setiap hari.
diperlukan perlakuan yang memudahkan ternak untuk Tingkat kecernaan dilakukan dengan penampungan
menghabiskan keseluruhan bagian rumput. Penelitian ini kotoran ternak selama 24 jam dan diambil sampel
bertujuan untuk menganalisa pengaruh ukuran potongan sebanyak 10% dari keseluruhan feses. Selama masa
rumput terhadap respon fisiologis ternak yang dapat koleksi data, feses dikumpulkan, ditimbang basah,
mempengaruhi tingkat kecernaan bahan pakan dan dikeringkan dan dianalisis untuk mengetahui zat-zat
efisiensi produksi susu. makanannya (Anggorodi 1994). Perhitungan kecernaan
(semu) bahan pakan menurut Soejono (1990) adalah
MATERI METODE sebagai berikut :
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai
dengan Oktober 2013 di Laboratorium Lapang A, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Produksi dan Kualitas Susu
Ternak dan Pakan Ternak Selama masa koleksi data dilakukan pengumpulan
Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi FH data jumlah produksi susu harian dengan dilakukannya
laktasi pertama bulan keenam dengan estimasi umur pemerahan susu selama 2 kali pada pukul 06.00 WIB dan
berdasarkan dengan estimasi umur 24-36 bulan yang 14.00 WIB. Selain itu untuk mengetahui kualitas susu
ditandai dengan bergantinya sepasang gigi seri I1. Bobot dilakukan analisa susu setiap hari dengan milkotester
ternak diukur sebesar 381.25 ± 20.17 kg. Pakan rumput selama 7 hari.
yang digunakan yaitu rumput gajah (Pennisetum
purpureum) dan konsentrat dengan kandungan gizi pada Efisiensi Produksi Susu
Tabel 1. Pemberian pakan dihitung berdasarkan kebutuhan Dilakukan analisa dalam susu, pakan yang dikonsumsi
yaitu 60% hijauan dan 40% konsentrat. Rumput gajah (rumput gajah dan konsentrat) untuk mendapatkan nilai
dipotong dengan 4 (empat) ukuran yaitu tanpa pemotongan efisiensi produksi susu. Efisiensi produksi susu dihitung
(kontrol), 5 cm, 10 cm, dan 15 cm. berdasarkan protein yang terkandung dalam produksi susu
dalam kalori atau gram dibagi dengan protein dalam pakan
Peubah yang dikonsumsi (Budiarsana dan Sutama 2001) :
Tabel 1 Analisa Proksimat Pakan Ternak 𝑃
Pakan 𝐸𝑃 = 𝑥 100
𝐹
Parameter
Rumput Gajah Konsentrat Keterangan :
Kadar Air* 87.12 22.21 EP : Efisiensi produksi susu (%)
P : produk.(susu) yang dinyatakan dalam protein (gram)
Kadar Abu* 11.03 11.83
F : protein dalam pakan (gram)
Kadar Protein* 15.37 10.35
Serat Kasar* 30.20 13.05 Analisa Data
Konsumsi pakan dan produksi susu menggunakan
Kadar Lemak* 3.18 5.48 sidik ragam (ANOVA). Perbedaan nilai rata-rata pada
Bahan Kering* 12.88 77.79 peubah yang diukur dari setiap perlakuan pakan diketahui
BETN**) 40.22 59.30 melalui uji Duncan apabila nyata atau signifikan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah
TDN*** 58.31 46.14 Rancangan Bujur Sangkar Latin pola 4 X 4 dengan taraf
Sumber : *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, 2013 perlakuan yang diujikan yaitu
berdasarkan Bahan Kering;
**) Berdasarkan Hasil Perhitungan; A (Hijauan tanpa potongan sebagai kontrol)
Pakan rumput dan konsentrat diberikan pada pukul B (Hijauan dengan potongan 5 cm)
08.00 dan 15.00. Masa adaptasi ternak terhadap ukuran C (Hijauan dengan potongan 10 cm)
potongan rumput selama dua minggu, dan masa koleksi D (Hijauan dengan potongan 15 cm)
data selama satu minggu setelah masa adaptasi. Konsumsi
pakan diukur dengan timbangan 50 kg setiap hari pada
Edisi Januari 2014 225
Vol. 02 No. 1 Efisiensi Produksi Susu dan Kecernaan Rumput Gajah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 2, ukuran potongan rumput 5 cm


didapatkan rataan konsumsi BK yang lebih tinggi
Kondisi Mikroklimat Kandang
dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini
Kondisi lingkungan selama penelitian dari pukul 6.30–
memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir
17.30 berkisar 22–32oC, dengan THI sekitar 68–90 dan
seluruh bagian rumput termakan, dibandingkan dengan
suhu kandang berkisar 22–32 oC dengan THI sekitar 70–85
konsumsi BK tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan 15 cm.
dimana menurut Bohmanova et al (2007), THI sapi perah
Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk
yang nyaman dibawah 72 dimana suhu udara dan
memproduksi susu yang maksimal. Namun kondisi
kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi, yaitu
lingkungan pun berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi.
berkisar antara 24–34 0C dan kelembaban 60-90%. Hal
Sapi dengan kondisi nyaman akan menghasilkan susu yang
tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas
baik.
sapi FH. Untuk sapi FH, penampilan produksi terbaik akan Peningkatan produksi susu dapat dilihat dari
dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk bahan kering,
55 % (Yani dan Purwanto 2006). Bila melebihi suhu TDN dan protein yang terkandung di dalam bahan pakan
tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara yang disintesa menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan
fisiologis dan secara tingkah laku (behavior), ternak terjadi penyerapan yang dapat meningkatkan produksi susu
biasanya lebih selektif mengurangi pakan hijauan, relatif dan kadar protein serta lemak dalam susu (McDonald et
memilih konsentrat sebagai upaya mengurangi suhu inti al. 2002). Konsumsi bahan kering (BK), protein kasar dan
tubuh melalui pengurangan produksi panas dari fermentasi, TDN pakan dan susu tidak berbeda nyata terhadap ukuran
pencernaan dan proses metabolisme lainnya (Beede dan potongan rumput (p>0.05). Konsumsi bahan kering,
Collier 1986; Chase 2006). protein kasar dan TDN pakan pada ukuran potongan
rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan
Konsumsi Pakan dan Produksi Susu
kontrol, 10 cm dan 15 cm sejalan dengan hasil analisa
Perlakuan fisik pada pakan ternak dapat dilakukan
bahan kering, protein dan lemak susu dimana ukuran
dengan pemotongan untuk memperkecil ukuran hijauan.
potongan rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran
Ukuran yang lebih kecil akan memperluas permukaan
potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm (Gambar 3 dan 4).
sehingga enzim-enzim pencernaan akan lebih mudah
Berdasarkan NRC (2001), kebutuhan konsumsi bahan
meresap dan pada ternak ruminansia akan lebih mencerna
kering pakan sapi laktasi sebesar 12.4 kg menghasilkan
(McDonald et al. 2002). Pakan yang diberikan pada sapi
susu 10 kg, sehingga dibandingkan dengan nilai konsumsi
perah laktasi yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum)
bahan kering pakan penelitian masih dibawah nilai
sebanyak 36.29 ± 2.2 kg per hari dan konsentrat sebanyak
7.25 ± 1.31 kg per hari dengan rataan konsumsi BK rumput kebutuhan sapi (rata-rata konsumsi bahan kering sebesar
gajah sebesar 4.68 ± 0.28 kg per hari dan konsentrat sebesar 9.08 ± 1.12 kg dan produksi susu sebesar 5.7 ± 1.5 kg).
0.93 ± 0.17 kg perhari. Hasil penelitian didapatkan bahwa TDN erat kaitannya dengan energi yang dihasilkan. Nilai
perlakuan pemotongan rumput tidak berbeda nyata rata-rata TDN pada pakan didapatkan sebesar 51.65%,
(p>0.05) terhadap konsumsi pakan. Rataan konsumsi Berdasarkan NRC (2001), nilai TDN pada pakan untuk
pakan per hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK ternak laktasi dengan bobot 350 kg sebesar 56.2%
perhari yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 dibandingkan dengan nilai TDN pakan masih dibawah
± 1.45 liter per hari. Pengaruh ukuran potongan rumput kebutuhan ternak, sehingga perlu adanya suplemen kaya
terhadap performa konsumsi pakan dan produksi susu protein dan lemak untuk meningkatkan nilai TDN.
Perlakuan pemotongan rumput terhadap produksi
disajikan pada Tabel 2. susu tidak berbeda nyata (p>0.05). Produksi susu pada
Tabel 2 Konsumsi pakan dan produksi susu selama penelitian

Keterangan Pemotongan (cm)


Kontrol 5 10 15
Pemberian pakan (kg)
Hijauan 36.25±2.50 36.25±2.50 36.43±2.41 36.25±2.50
Konsentrat 7.25±1.50 7.25±1.50 7.25±1.50 7.25±1.50
Sisa pakan (kg)
Hijauan 10.33±5.89 7.66±5.11 10.71±4.38 9.65±7.22
Konsentrat 0 0 0 0
Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) :
Bahan Kering 8978.00±1287.48 9322.49±1361.39 8929.83±749.68 9089.27±1430.25
Protein Kasar 1096.80±151.98 1149.76± 153.93 1089.39±61.33 1113.90±187.89
TDN 4548.71±635.99 4749.58± 658.81 4520.63±303.66 4613.59±751.22
Susu (g/ekor/hari) :
Bahan Kering 777.33±221.69 858.05±172.65 752.79±131.09 755.23±174.04
Protein 29.69±9.13 32.17±6.51 28.61±3.91 27.88±5.52
Lemak 44.45±13.14 47.78±11.18 43.17±9.66 40.14±7.11

226 Edisi Januari 2014


Noviani et al. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan

pemotongan ukuran rumput 5 cm (6.06 ± 1.39 liter hari -1) Pada Tabel 3 dapat dilihat kadar protein baik pada
lebih besar dibandingkan kontrol (5.35 ± 1.55 liter hari -1), konsumsi pakan maupun sintesa susu dengan ukuran
10 cm (5.28 ± 1.42 liter hari-1) dan 15 cm (5.49 ± 1.93 liter potongan rumput 5 cm lebih besar dibandingkan ukuran
hari-1). Rataan produksi susu terjadi peningkatan sekitar potongan lainnya. Hal ini menurut LeLiboux et al.
0.2- (1999) dengan mengurangi ukuran partikel pakan dapat
0.5 liter antar ukuran potongan rumput (Tabel 3) namun mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir
hasil yang didapatkan kurang dari rata-rata produksi susu dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen,
sapi di daerah tropis pada suhu nyaman yang berkisar
namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah
antara 9-12 liter per hari (Asmaki et al. 2008). Energi di
material organik yang difermentasi yang memasuki rumen
dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan
dalam satu kali makan. Begitu pula dengan kadar lemak
dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan
susu yang didapatkan lebih besar dari standar SNI,
pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk
sehingga sesuai dengan pendapat Sudono et al. (2003),
memenuhi kebutuhan energi. Panas yang diproduksi oleh
pakan hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi
ternak laktasi sebanyak dua kali lipat dibandingkan ternak
yang tidak sedang laktasi (McDonald et al. 2002). karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar
Ukuran potongan rumput tidak berbeda nyata dalam pakan.
terhadap kadar protein dan lemak, namun terjadi Kecernaan Pakan dan Efisiensi Produksi Susu
peningkatan kadar pada masing-masing potongan sekitar Kecernaan zat-zat makanan pada ternak berhubungan
0.02%-0.03 erat dengan kemampuan mikrob rumen dalam melakukan
% (protein) dan 0.03%-0.19 % (lemak). Rataan kadar
proses fermentasi dalam rumen. Rataan Bahan Kering
protein dan lemak pada ukuran potongan 5 cm lebih tinggi
(BK) dan Bahan organik (BO) pakan, feses dan kecernaan
dibandingkan dengan ukuran kontrol, 10 cm dan 15 cm.
zat-zat makanan pakan disajikan pada Tabel 4.
Peningkatan kadar protein pada susu tergantung pada
Berdasarkan Tabel 4 didapatkan bahwa ukuran
asupan protein dalam pakan ternak yang membentuk asam
potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap bahan
amino dan diserap tubuh melalui darah (Mc Donald et al.
kering (BK) konsumsi pakan dan BK Feses (P>0.05)
2002). Kandungan protein dan lemak pada susu sapi
dengan rataan bahan kering konsumsi pakan sebesar 9.08
penelitian didapatkan hasil lebih dari standar SNI yaitu
± 1.12 kg hari-1 dan BK feses sebesar 3.33 ± 0.44 kg hari -1.
rataan kadar Protein yaitu 3.54% dan kadar lemak yaitu
Hal ini dapat menunjukkan bahwa ukuran potongan
4.62% (Tabel 3). BSN (1998) menyatakan susu segar
rumput memiliki tingkat palatabilitas yang sama yang
memiliki kadar protein minimal 2.7% dan lemak minimal
merupakan
3%.
Tabel 3 Produksi dan kualitas susu
Pemotongan (cm)
Keterangan
Kontrol 5 10 15
Produksi Susu (liter/hari) 5.35 ± 1.55 5.80 ± 1.13 5.28 ± 1.42 5.49 ± 1.93
Berat Jenis (gr/ml) 1.03 ± 0.001 1.03 ± 0.001 1.03 ± 0.001 1.03 ± 0.001
Bahan Kering (%) 14.18 ± 0.96 13.95 ± 1.39 14.24 ± 2.12 13.94 ± 2.18
Lemak (%) 5.69 ± 0.74 5.53 ± 1.13 5.72 ± 1.42 5.47 ± 1.64
SNF (%) 8.49 ± 0.32 8.42 ± 0.27 8.52 ± 0.72 8.47 ± 0.59
Protein (%) 3.79 ± 0.14 3.74 ± 0.16 3.81 ± 0.37 3.71 ± 0.34
satu jenis pakan yang sama. Menurut Faverdin et al. (1995) bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan
palatabilitas merupakan faktor utama yang menjelaskan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum,
perbedaan konsumsi bahan kering antara pakan dan ternak- persentase lemak dan mineral Kecernaan sering erat
ternak yang berproduksi rendah. Selanjutnya dikatakan hubungannya dengan konsumsi, yaitu pada pemberian
bahwa palatabilitas pakan umumnya berasosiasi dengan hijauan tua yang sifatnya sangat voluminous dan lamban
kecernaan yang tinggi dari suatu pakan. Begitu pula dicerna dibanding dengan bagian tanaman yang tidak
dengan bahan organik (BO) konsumsi pakan dan feses berserat. Hubungan tersebut didapatkan pada hijauan yang
tidak berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput kecernaannya di bawah 66%. Kecernaan bahan kering
(P>0.05) dengan rataan masing – masing sebesar 8.03 ± yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya
0.99 kg hari dan
-1
zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh
2.83 ± 0.37 kg hari .
-1
mikroba rumen (Tilman et al. 1991; Anggorodi 1994).
Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata Menurut Tilman et al. (1991), kisaran normal bahan
terhadap kecernaan BK dan BO (P>0.05) dengan rataan kering yaitu 50.7%-59.7% sehingga dapat dilihat bahwa
kecernaan BK sebesar 62.73 ± 6.26% dan kecernaan BO rataan kecernaan bahan kering konsumsi pakan yang
sebesar 64.28 ± 5.85%. Kandungan dan kualitas nutrien diberikan potongan lebih tinggi dibandingkan tanpa
bahan pakan menentukan kecernaan bahan pakan dan dipotong (kontrol). Walaupun dalam statistik tidak terdapat
peningkatan kecernaan bahan kering sejalan dengan perbedaan yang nyata diantara perlakuan, namun terdapat
peningkatan kecernaan bahan organik (Surono et al. 2003; kecenderungan bahwa ukuran potongan 5 memberikan
Yurleni 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai konsumsi yang lebih tinggi daripada ukuran potongan
kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang 10, 15 dan kontrol. Namun walaupun konsumsi pakan pada
dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran ukuran potongan 5 cm lebih tinggi daripada ukuran
pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung potongan 10, 15 dan kontrol, nilai kecernaannya hampir
dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang sama pada
mempengaruhi nilai kecernaan
Edisi Januari 2014 227
Vol. 02 No. 1 Efisiensi Produksi Susu dan Kecernaan Rumput Gajah

Tabel 4 Hasil kecernaan nutrien terhadap perlakuan ukuran potongan rumput gajah
Pemotongan
Keterangan
Kontrol 5 10 15
Bahan Kering (kg/hr) :
Konsumsi Pakan 8.98 ± 1.29 9.32 ± 1.36 8.93 ± 0.75 9.09 ± 1.43
Feses 3.44 ± 0.53 3.36 ± 0.66 3.24 ± 0.37 3.29 ± 0.29
Bahan Organik (kg/hari) :
Konsumsi Pakan 7.94 ± 1.14 8.25 ± 1.20 7.90 ± 0.66 8.04 ± 1.27
Feses 2.92 ± 0.44 2.84 ± 0.57 2.75 ± 0.29 2.79 ± 0.27
Kecernaan (%) :
Bahan Kering 61.01 ± 7.87 63.31 ± 8.12 63.32 ± 6.66 63.29 ± 4.32
Bahan Organik 62.66 ± 7.31 64.92 ± 7.89 64.81 ± 6.14 64.75 ± 3.64
Protein Kasar 63.40 ± 7.65b 66.35 ± 5.29a 64.61 ± 5.92ab 67.44 ± 4.83a
Serat Kasar 40.73 ± 12.02 46.83 ± 13.01 45.92 ± 1.00 44.74 ± 8.38
BETN 68.16 ± 7.41 69.43 ± 7.91 69.53 ± 8.96 69.07 ± 6.51
Lemak Kasar 88.61 ± 1.62 87.58 ± 7.21 89.29 ± 1.28 89.14 ± 1.32
Ket : Superskrip (a, ab dan b) pada baris yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 5 Efisiensi Produksi Susu

Keterangan Pemotongan (cm)


Kontrol 5 10 15
Efisiensi bahan kering 8.54 ± 1.39 9.28 ± 1.58 8.48 ± 1.60 8.37 ± 1.82
Efisiensi lemak 10.58 ± 2.03 11.24 ± 1.61 10.32 ± 1.29 9.59 ± 0.52
Efisiensi
pakan protein
yang 2.67 ± 0.56
dipotong dibandingkan dengan kontrol (tanpa2.81 ±membentuk
0.39 2.63 ± persentase
rumpun, 0.33 batang2.51
daun± 0.23
yang cukup
dipotong). tinggi dibandingkan jenis tanaman lain sehingga ternak
Menurut Parrakasi (1999) bahwa bahan organik menyukai rumput tersebut, namun seiring pertumbuhan
merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, tanaman, proporsi komponen tercerna seperti karbohidrat
komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen terlarut, protein dan abu akan menurun namun karbohidrat
akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan selulosa seperti selulosa dan hemiselulosa maupun lignin
sumber energi bagi ternak. Kecernaan bahan organik meningkat sehingga kecernaan akan menurun (Whiteman
dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat- 1980; Sudarnadi 1996; Rinne et al. 1997; McDonald et al.
zat makanan berupa komponen bahan organik seperti 2002).
karbohidrat, protein dan lemak. Faktor yang Ketersediaan karbohidrat maupun protein dalam bahan
mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan pakan berperan besar dalam proliferasi dan proses
serat kasar dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik fermentasi oleh mikroba rumen karena karbohidrat
erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber kerangka
sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik. carbon, sedangkan protein dimanfaatkan sebagai sumber N
Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap untuk menyusun tubuh mikrobia rumen. Menurut
kecernaan bahan organik yang terdiri dari serat kasar, McDonald et al. (2002), dalam mengevaluasi sumber
bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan lemak kasar protein bagi hewan ruminansia, diambil dari penguraian
(P>0.05). Rataan nilai kecernaan masing – masing nutrien protein dalam rumen, efisiensi protein yang terdegradasi
yaitu 44.56 ± 9.09%, yang ditangkap oleh mikroba rumen, hasil perombakan
69.05 ± 6.95%, 88.66 ± 3.48%. Ukuran potongan rumput dari mikroba protein, daya cerna sejati dari protein yang
gajah yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kecernaan mencapai usus kecil dan efisiensi pemanfaatan nitrogen
protein (P<0.05). yang diserap dari usus kecil. Pada ukuran potongan 5 dan
Ukuran potongan rumput 5 cm dengan nilai kecernaan 15 cm, jumlah konsumsi pakan lebih tinggi dibandingkan
66.35 ± 5.29 % dan 15 cm dengan nilai kecernaan dengan ukuran potongan 10 cm dan kontrol, sehingga
67.44 proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen dalam
± 4.83% berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput mensintesa protein bahan pakan lebih besar karena ukuran
10 cm dengan nilai kecernaan 64.61 ± 5.92% dan kontrol partikel yang lebih kecil yang dapat meningkatkan
dengan nilai kecernaan 63.40 ± 7.65%. Berdasarkan hasil kecernaan (Surono et al. 2003).
penelitian dapat dikatakan kecernaan protein pada Menurut Maulfair et al. (2011), efisiensi pakan (kadang-
potongan 5 dan 15 cm memiliki tingkat cerna protein yang kadang disebut efisiensi susu atau efisiensi konsumsi
sama. Rumput gajah merupakan tanaman perenial yang bahan kering) adalah ukuran sederhana untuk menentukan
merupakan rumput potong yang mempunyai perakaran
dalam, tegak dan

228 Edisi Januari 2014


Novianti et al. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan

kemampuan relatif sapi untuk mengubah nutrisi pakan ke KESIMPULAN


dalam susu atau komponen susu. Manfaat tambahan untuk
meningkatkan efisiensi pakan sapi adalah nutrisi lebih Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa
sedikit yang akan diekskresikan dalam kotoran, sehingga konsumsi pakan dan kecernaan beberapa nutrien tidak
efisiensi pakan mempengaruhi baik efisiensi ekonomi dan berpengaruh terhadap ukuran potongan rumput. Semakin
lingkungan. Hal ini merupakan hal penting untuk kecil ukuran potongan semakin banyak konsumsi pakan
perusahaan susu dengan manajemen aplikasi pupuk ternak namun tidak berbeda nyata dalam mempengaruhi
kandang. Ada dua cara untuk meningkatkan efisiensi kualitas susu. Kecernaan protein dipengaruhi ukuran
pakan, salah satunya adalah untuk meningkatkan produksi potongan rumput. Kecernaan bahan kering yang
susu bahan kering yang sama, dan yang lainnya adalah didapatkan lebih tinggi dari kisaran normal kecernaan
mengurangi asupan bahan kering dan menjaga produksi sehingga dapat dikatakan bahwa rumput yang diberikan
susu yang sama. perlakuan pemotongan ukuran dapat mempengaruhi
Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan
jumlah konsumsi pakan dan penyerapan nutrient pakan.
pemotongan rumput tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap
Efisiensi BK, protein dan lemak tidak dipengaruhi ukuran
efisiensi nutrien produksi susu. Rataan konsumsi pakan per
potongan rumput.
hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK kg -1 hari-1
yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 ± 1.45 DAFTAR PUSTAKA
liter per hari dengan nilai rataan efisiensi BK sebesar 8.67
± 1.48%, protein kasar sebesar 3.76 ± 0.25% dan lemak Amir, A. 2010. Respon termoregulasi dan tingkah laku
kasar sebesar 10.43 ± 1.45%. Menurut Zamani (2012), bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada
banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi termasuk energi ransum yang berbeda. Tesis. Sekolah Pasca
protein dan lemak pakan juga mempengaruhi efisiensi. Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
Hijauan pakan memiliki pengaruh terbesar pada efisiensi Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta
pakan. Karena hijauan dapat membuat sebuah komponen (ID) : PT. Gramedia.
lambat dicerna dari pakan sapi laktasi, hijauan sangat Asmaki AP, Hasanawi M, Tidi DA. 2008. Budidaya
penting untuk menjaga efisiensi pakan diinginkan. Hijauan Usaha Pengelolaan Agribisnis Ternak Sapi. Bandung
memiliki dampak besar pada efisiensi pakan karena hijauan (ID): CV. Pustaka Grafika
merupakan bahan pakan yang paling variabel dalam hal Bath, DL, Dickinson, FN, Tucker HA, Applemen RD.
kecernaan dan komposisi gizi dan diberikan dengan 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems,
proporsi yang lebih besar. Pemberian pakan hijauan Profits. 3rd edition. Philadelphia (US) : Lea and
dengan kualitas tertinggi untuk sapi laktasi adalah sangat Febiger.
penting. Telah terbukti bahwa efisiensi pakan secara Beede DK, Collier RJ. 1986. Potential nutritional
langsung berkaitan dengan kecernaan hijauan dimana strategies for intensively managed cattle during
dengan peningkatan kecernaan terjadi peningkatan thermal stress, J. Anim. Sci. 62 (1986) 543–554.
efisiensi pakan. Selain hijauan, ternak diberikan http://www.
konsentrat. Konsentrat hampir selalu lebih mudah dicerna journalofanimalscience.org/content/62/2/543.full.pdf
dari hijauan. (Maulfair et al. 2011) Bohmanova J, Misztal I, Cole, JB. 2007. Temperature-
Pada Tabel 5, ukuran potongan rumput 5 cm humidity indices as indicators of milk production
didapatkan
rataan efisiensi BK, protein dan lemak lebih tinggi losses due to heat stress. J. Dairy Sci. 90:1947–1956.
dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini https://
www.aipl.arsusda.gov/publish/jds/2007/90_1947.pdf
memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI –
seluruh bagian rumput termakan dan dicerna, dibandingkan
Standar Mutu Susu Segar No. 01-3141-1998. Jakarta
dengan efisiensi BK, protein dan lemak tanpa potongan
(ID): Departemen Pertanian
(kontrol), 10 cm dan 15 cm. Hal ini menurut LeLiboux et
Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Efisiensi produksi
al. (1999) dengan mengurangi ukuran partikel pakan dapat
susu kambing Peranakan Etawah (The efficiency of
mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir
milk production of Peranakan Etawah goats). Seminar
dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen,
Nas. Tek. Peternakan dan Vet. Pronas (2001) : 427
namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah
– 434.
material organik yang difermentasi yang memasuki rumen
Chase, Larry E. 2006. Climate change impacts on dairy
dalam satu kali makan. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan
cattle. Climate Change and Agriculture: Promoting
sangat penting untuk memproduksi susu maksimal dan
Practical and Profitable Responses. http://dbccc.onep.
berkualitas baik dengan didukung oleh kondisi lingkungan
go.th/climate/attachments/article/105/Climate%20C
nyaman yang berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi.
hange%20Impacts%20on%20Dairy%20Cattle.pdf [9
Menurut Zamani (2012), semakin banyak jumlah pakan Februari 2014].
yang dimakan, semakin tinggi nilai protein yang disintesa Faverdin, P, Baumont R, and Ingvartsen KL. 1995.
dan diserap pada sapi laktasi namun kelebihan dari protein Control and prediction of feed intake in ruminants. In:
dibuang dalam bentuk urea. Sehingga dapat dikatakan M. Journet, E. Grenet, M-H. Farce, M. Theriez, and
efisiensi nutrien susu pada ukuran potongan 5 cm lebih C. Demarquilly (eds), Proceedings of the IVth
baik dibandingkan ukuran potongan lainnya dimana International Symposium on The Nutrition of
menurut Budiarsana dan Sutama (2001) nilai ini akan Herbivores. Recent Development in the Nutrition of
sangat situasional, tergantung tempat dan waktu dimana Herbivores. INRA. Paris. Pp. 95-120.
perhitungan itu dilakukan. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S,
Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel
dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk
Indonesia.
Edisi Januari 2014 229
Vol. 02 No. 1 Efisiensi Produksi Susu dan Kecernaan Rumput Gajah

Utah (US): International Feedstuffs Institute Utah Steel RDG, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur
Agricultural Experiment Station. Statistika Suatu Pendekatan Biometri. Ed ke-2.
LeLiboux S, Peyraud JL. 1999. Effect of forage particle Terjemahan Bambang S. Jakarta (ID) : PT Gramedia
size and feeding frequency on fermentation patterns
Pustaka Utama.
and sites and extent of digestion in dairy cows fed Sudarnadi, H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Jakarta (ID) :
mixed diets. Anim. Feed Sci. and Tech.76 (1999) 297 Penebar Swadaya.
– 319.
Sudono A, Rosdiana F, Setiawan B. 2003. Beternak
Linn J, Raeth-Knight M, Fredin S, and Bach A. 2007.
sapi perah secara intensif. Jakarta (ID): Agromedia
Feed efficiency in lactating dairy cows. Colorado State
Pustaka.
University Animal Sciences - Fort Collins. http://www. Surono, Soejono M, Budhi SPS. 2003. Kecernaan bahan
cvmbs.colostate.edu/ilm/proinfo/cdn/2007/Feed%20E kering dan bahan organik in vitro silase rumput gajah
fficiency%20in%20Lactating%20Dairy%20Cows.pdf pada umur potong dan level aditif yang berbeda (In
Maulfair D, Heinrichs J, and Ishler V. 2011. Feed vitro dry matter and organic matter digestibility of
eficiency for lactating dairy cows and its relationship Napier grass silage at cutting age and level of additive
to income over feed costs. DAS 2011-183. Penn state differences). J. Indon. Trop. Anim. Agric. 28 (4) : 204
extension. http://extension.psu.edu/animals/dairy/ – 210.
nutrition/nutrition-and-feeding/diet-formulation-and- Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian
evaluation/feed-efficiency-in-lactating-dairy-cows- Makanannya. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Nutrisi
and-its-relationship-to-income-over-feed-costs dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan Pertanian Bogor
CA. 2002. Animal Nutrition 6th Edition. London (GB) Tilman A.D, Hartadi H, Reksohadiprodjo S,
: Pearson Education. Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Requirements of Dairy Cattle. 7th revised edition. Press. Yogyakarta.
Washington, DC (US) : Natl. Acad. Sci. Whiteman, PC. 1980. Tropical Pasture Science. New
Orskov, ER 1992. Protein Nutrition in Ruminants. 2nd York (US) : Oxford University Press.
ed. London (GB) : Harcount Brace Jovanovich, Widya PL, Susanto WE, Yulianto AB. 2008. Konsumsi
Publishers. dan kecernaan bahan kering dan bahan organik dalam
Parrakasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak haylase pakan lengkap ternak sapi Peranakan Ongole.
Ruminansia. Jakarta (ID) : UI Press. Media Kedokteran Hewan Vol. 24, No. 1: 59 – 62.
Reksohadiprodjo S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro
Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi. terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries
Yogyakarta (ID) : UGM. Holland dan modifikasi lingkungan untuk
Rinne M, Jaakkola, Huhtanen P. 1997. Grass maturity meningkatkan produktivitasnya (ulasan). Med Pet
effect on cattle fed silage-basal diet. 1. Organic matter 1:35-46.
digestion, rumen fermentation and nitrogen Yurleni. 2013. Produktivitas dan karakteristik daging
utilization. Anim. Feed Sci. and Tech. 67 : 1 – 17. kerbau dengan pemberian pakan yang mengandung
Riyanthi. 2006. Tingkah laku makan sapi peranakan asam lemak terproteksi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana.
Friesian Holstein laktasi yang diberi pakan rumput Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).
gajah dengan ukuran pemotongan yang berbeda. Zamani P. 2012. Efficiency of Lactation. Milk Production
Skripsi. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas – An Up-to-Date Overview of Animal Nutrition,
Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang (ID). Management and Health. Chapter 7. Zamani, license
Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan InTech. http://www.intechopen.com/download/get/
Evaluasi Pakan. Yogyakarta (ID) : Fakultas type/pdfs/id/39467. (26 Februari 2014)
Peternakan, UGM.

230 Edisi Januari 2014


DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2017-p.132-138

Perbaikan Pakan pada Induk Sapi Perah sedang Laktasi di Kabupaten


Enrekang, Sulawesi Selatan
(Feed Improvement on the Lactating Dairy Cows in Enrekang, South Sulawesi)
Nurhayu A, Ella A, Sariubang M
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan km 17,5 Makassar
a_nurhayu@yahoo.com

ABSTRACT

The research was conducted in of Tanete village, Anggeraja sub district, Enrekang district
South Sulawesi. The objective of this research was to determine the effect of feed improvement to
increase milk production of lactating dairy cow. This research was carried out with a completely
randomized design using 12 lactating dairy cows which divided into 3 treatments with 4
replications: (A) 60% of elephant grass + 30% corn straw + 10% local formula concentrate; (B)
30% of elephant grass + 60% corn straw + 10% local formula concentrate; and (C) Controls. The
results showed that milk production obtained during the feeding period reached the highest
improvement in treatment B and A with an average milk production of 7.66 and 6.90 l/cow/day
respectively. The lowest one was C (control) that produved 4.90 l/cow/day. The analysis of
farming showed that treatment B had the highest profit (Rp. 6,778/cow/day), followed by the
treatment A (Rp. 3,962/cow/day) and the treatment C (Rp 1,030/cow/day). It can be concluded that
feed improvement in lactating dairy cows with grass, fermented corn straw and the addition of
concentrates was good combination to increase milk production in lactating dairy cows.
Key Words: Lactating Dairy Cows, Feed, Milk Production

ABSTRAK

Kajian dilaksanakan di Kelurahan Tanete Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang,


Sulawesi Selatan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbaikan pakan
terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah sedang laktasi. Kajian dilakukan dengan
rancangan acak lengkap menggunakan 12 ekor induk sapi perah sedang laktasi dibagi dalam 3
perlakuan dengan 4 ulangan yaitu: (A) 60% rumput Gajah + 30% jerami jagung + 10% konsentrat
formula lokal; (B) 30% rumput Gajah+ 60% jerami jagung + 10% konsentrat formula lokal; dan
(C) Kontrol. Hasil kajian menunjukkan produksi susu yang diperoleh selama periode perbaikan
pakan adalah tertinggi pada perlakuan B dan A dengan rata-rata produksi susu sebesar 6,90-7,66
l/ekor/hari serta terendah adalah perlakuan C (kontrol) sebesar 4,90 l/ekor/hari. Analisis usaha tani
menunjukkan bahwa perlakuan B memberikan keuntungan yang paling tinggi (Rp.
6.778/ekor/hari), diikuti perlakuan A (Rp. 3.962/ekor/hari) dan perlakuan C (Rp. 1.030/ekor/hari).
Dapat disimpulkan bahwa perbaikan pakan pada induk sapi perah sedang laktasi melalui
pemberian rumput yang dikombinasi dengan jerami jagung fermentasi serta penambahan pakan
penguat konsentrat sangat baik untuk meningkatkan produksi susu pada induk sapi perah sedang
laktasi.
Kata Kunci: Induk Sapi Laktasi, Pakan, Produksi Susu

PENDAHULUAN
Dalam usaha peternakan sapi perah, memperoleh produksi susu yang tinggi dan
berkesinambungan merupakan suatu hal yang didambakan oleh setiap peternak. Saat ini,
produksi susu di Indonesia masih sangat rendah, produksi susu sapi perah yang dihasilkan
hanya sebesar 6-10 l/ekor/hari, padahal idealnya menghasilkan 15-20 l/ekor/hari (Sunu et
al. 2008). Pada tahun 2016 Indonesia memiliki populasi sapi perah sebanyak 533.860 ekor

132
Nurhayu et al.: Perbaikan Pakan pada Induk Sapi Perah sedang Laktasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

dengan pasokan susu segar yang dihasilkan sejumlah 341.986 ton/tahun. Dengan
kebutuhan susu dalam negeri sebesar 1.427.000 ton, Indonesia masih harus mengimpor
susu sebesar 1.085.014 ton (Ahmad et al. 2008). Di Sulawesi Selatan, populasi sapi perah
mencapai 1.553 ekor dengan populasi tertinggi di Kabupaten Enrekang sebesar 696 ekor
(BPS Provinsi Sulawesi Selatan 2015).
Rendahnya produksi susu di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan disebabkan oleh
beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi,
penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana,
serta pencegahan penyakit dan pengobatan. Manajemen pakan memiliki proporsi sebesar
tujuh puluh persen dalam produktivitas susu, dan sisanya adalah breeding dan manajemen
kandang (Hartutik 2009).
Kendala yang sering dijumpai pada usaha pemberian pakan pada sapi perah yaitu
ketersediaan pakan. Ketersediaan hijauan tidak mencukupi kebutuhan ternak disebabkan
semakin sempitnya lahan penggembalan yang banyak dikonversi menjadi lahan-lahan
pertanian bahkan perumahan. Selain itu, pada musim kemarau tingkat produksi hijauan
akan rendah, atau bahkan dapat berkurang sama sekali. Peranan pakan sangat penting
khususnya untuk induk sapi perah karena pakan merupakan salah satu sumber pendukung
meningkatnya tampilan produksi dan kadar lemak susu. Penambahan mutu pakan dengan
perbandingan hijauan dan konsentrat yang seimbang akan memberikan tampilan produksi
dan kadar lemak susu yang bagus (Setyaningsih et al. 2013).
Di pihak lain, produk samping/ikutan tanaman berupa limbah berpotensi untuk diolah
menjadi pakan ternak. Meningkatnya intensifikasi tanaman pangan mengakibatkan
peningkatan produksi limbah tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan.
Pengembangan industri sapi perah mempunyai prospek yang sangat baik dengan
memanfaatkan sumberdaya lahan maupun sumberdaya pakan (limbah pertanian dan
perkebunan) (Pomolango et al. 2016).
Peranan induk-induk yang berkemampuan repoduksi tinggi adalah cukup penting,
meskipun performa produksi susu mempunyai heritabilitas yang rendah. Sapi perah laktasi
terlebih yang berproduksi tinggi, memerlukan nutrien yang cukup memadai baik kuantitas
maupun kualitasnya. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbaikan pakan
terhadap peningkatan produksi susu induk sapi perah sedang laktasi.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tanete, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten


Enrekang, Sulawesi Selatan. Kegiatan penelitian menggunakan 12 ekor induk sapi perah
sedang laktasi dengan rata-rata bobot badan 400 kg, umur 3-4 tahun, status laktasi 2-3
periode. Dibagi dalam 3 perlakuan dengan 4 ulangan yaitu: Perlakuan A: 60% rumput
gajah + 30% jerami jagung fermentasi + 10% konsentrat formula lokal; Perlakuan B: 30%
rumput gajah + 60% jerami jagung fermentasi + 10% konsentrat formula lokal; dan
Perlakuan C: Kontrol (sesuai kebiasan petani).
Limbah jerami jagung terlebih dahulu difermentasi dengan menggunakan decomposer
selama 21 hari. Proses fermentasi adalah tahap pertama jerami jagung yang baru panen
(kandungan air sekitar 65%) dipotong kecil-kecil, setelah itu dikumpulkan pada tempat
yang tersedia. Jerami jagung ditumpuk hingga ketebalan ±20 cm, kemudian ditaburi urea
dan dekomposer dan diteruskan pada lapisan timbunan jerami berikutnya hingga mencapai
1-2 m. Takaran urea dan probiotik masing-masing 6 kg untuk setiap ton jerami jagung
segar. Pencampuran urea dan probiotik pada jerami dilakukan secara merata, kemudian
didiamkan selama 21 hari.

133
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017

Untuk pakan tambahan berupa konsentrat berbahan baku lokal dapat dilihat pada
Tabel 1. Pengamatan dilakukan selama empat bulan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan uji lanjut beda nyata
terkecil. Parameter yang dikumpulkan adalah produksi susu, konsumsi pakan dan analisis
usaha tani.

Tabel 1. Komposisi bahan pakan konsentrat


Bahan pakan Komposisi (%)
Dedak 43,0
Bungkil kelapa 20,0
Tepung ikan 20,0
Jagung giling 15,0
Garam 0,5
Mineral 0,5
Molases 1,0
Jumlah 100,0

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis dan jumlah pemberian pakan

Hijauan yang diberikan adalah rumput gajah yang banyak terdapat di sekitar kandang
di lokasi pengkajian. Selain itu, pemanfaatan limbah jerami/batang jagung banyak terdapat
di lokasi pengkajian untuk memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan. Pakan tambahan
berupa konsentrat berdasarkan komposisi untuk induk sapi perah laktasi dengan
kandungan protein sebesar 19%. Pemberian konsentrat adalah untuk memenuhi kebutuhan
protein induk sapi perah laktasi. Kualitas dari konsentrat dan hijauan yang diberikan
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi pakan untuk induk laktasi sapi perah di Enrekang, 2016
Protein kasar Serat kasar Lemak kasar ME
Jenis
% - (kkal/kg BK)
Rumput Gajah 9,82 27,74 2,75 3.570
Jerami jagung fermentasi 7,82 20,89 2,44 3.799
Konsentrat 19,04 18,50 4,60 2.629
Sumber: Laboratorium Tanah Maros (2016)

Berdasarkan Tabel 2, jerami jagung yang telah difermentasi kandungan protein


kasarnya sebesar 7,82%, SK sebesar 20,89% dan lemak kasar sebesar 2,44%. Kandungan
protein kasar jerami jagung sebelum difermentasi adalah 4,77%; serat kasar 30,53%; dan
lemak kasar 1,06% (Nursiam 2010). Pada Tabel 3 terlihat kandungan protein kasar
perlakuan yang tertinggi adalah A sebesar 10,14% dan terendah adalah C sebesar 7,54%.
Meningkatnya kandungan protein kasar serta menurunnya nilai serat kasar akan lebih
memudahkan ternak untuk mencerna jerami jagung. Seperti yang dikemukakan oleh
Martawidjaya (2003) bahwa kandungan protein yang rendah dan serat kasar yang tinggi
penyebab rendahnya daya cerna menjadi faktor pembatas dari pemanfaatan jerami sebagai
pakan ruminansia.

134
Nurhayu et al.: Perbaikan Pakan pada Induk Sapi Perah sedang Laktasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

Tabel 3. Kandungan nutrisi pakan perlakuan untuk induk laktasi sapi perah di Enrekang, 2016
Perlakuan
Jenis
A B C
Rumput Gajah/alam (%) 60,00 30,00 99,00
Jerami jagung (%) 30,00 60,00 -
Konsentrat (%) 10,00 10,00 -
Dedak 0 0 1
Komposisi pakan (%)*
Protein kasar (%) 10,14 9,50 7,54
Serat kasar (%) 24,76 22,07 23,00
Lemak kasar (%) 2,84 2,74 5,54
*Dihitung berdasarkan Tabel 2

Pakan konsentrat sebagaimana tertera pada Tabel 2, telah sesuai kualitasnya untuk
sapi-sapi perah yang berproduksi susu tinggi. Konsentrat yang diberikan mempunyai
kandungan PK sebesar 19,04% lebih tinggi dari yang telah direkomendasikan. Para pakar
nutrisi sapi perah merekomendasikan, bahwa kualitas pakan konsentrat untuk sapi-sapi
perah yang berproduksi susu tinggi minimal mengandung 18% protein kasar dan 75%
TDN atau sekitar 4,75 Mkal/kg bahan kering (Siregar 1996). Kandungan energi yang
diberikan sebesar 2.629 kkal/kg lebih rendah dari yang direkomendasikan sebesar 4.750
kkal/kg. Tingginya pemberian pakan berenergi menyebabkan peningkatan konsumsi dan
daya cerna dari rumput atau hijauan kualitas rendah. Penambahan konsentrat tertentu dapat
juga bertujuan agar zat makanan lebih mudah diserap di usus tanpa terfermentasi di rumen,
mengingat fermentasi rumen membutuhkan energi lebih banyak.

Konsumsi pakan dan produksi susu


Di samping kualitas, jumlah pakan yang diberikan untuk tiap ekor/hari perlu pula
diketahui agar kebutuhan zat gizi untuk mencapai kemampuan berproduksi susu yang
tinggi terpenuhi. Jumlah konsentrat yang diberikan untuk tiap ekor/hari ternyata habis
dikonsumsi oleh masing-masing sapi perah yang digunakan sebagai materi penelitian ini.
Sementara itu, hijauan yang diberikan setiap harinya masih ada sisa. Rata-rata pakan
konsentrat dan hijauan yang mampu dikonsumsi oleh setiap ekor sapi setiap harinya dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4. Konsumsi pakan konsentrat dan hijauan pada sapi perah di Enrekang, 2016
Perlakuan(kg/ekor/hari)
Jenis pakan
A B C
Konsumsi BK
Rumput Gajah 4,30 2,20 6,80
Jerami jagung fermentasi 2,08 4,10 -
Konsentrat 1,14 1,12 -
Dedak 0,00 0,00 1,10
Jumlah 7,52 7,42 7,80

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian rumput Gajah dan jerami
jagung (A dan B) menghasilkan konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan kontrol yaitu 7,52 dan 7,42 vs 7,8 kg. Konsumsi pakan tidak menunjukkan

135
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017

perbedaan nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jerami
jagung tidak berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi bahan kering. Jumlah konsumsi
pada perlakuan A, B dan C agak rendah, karena dengan rataan bobot badan ketiga
perlakuan sebesar 388 kg seharusnya bisa mengkonsumsi pakan dalam bentuk bahan
kering sebanyak 9,7 kg atau 2,5% dari bobot badan (Preston & Leng 1987). Dengan
demikian, sapi-sapi tersebut mengalami kekurangan pakan sekitar 1-2 kg bahan kering
atau sekitar 0,1-0,2% dari bobot badannya. Imbangan rumput gajah dan konsentrat perlu
diperhatikan pada induk sapi perah agar gizi ternak berimbang sehingga zat-zat makanan
dapat dicerna, difermentasi dan diabsorbsi dengan baik untuk keperluan produksi secara
maksimal (Musnandar 2011).
Tabel 5 menunjukkan rata-rata produksi susu yang diperoleh selama periode
perbaikan pakan adalah tertinggi pada perlakuan B dengan rata-rata produksi susu yang
tidak berbeda dengan perlakuan A dan terendah adalah perlakuan C (kontrol) yang hanya
diberi rumput dan dedak sebesar 4,90 liter/ekor/hari. Hasil uji lanjut menunjukkan,
produksi susu perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P>0,05) kemungkinan disebabkan
jumlah pakan yang dikonsumsi tidak terlalu beda, demikian pula dengan kandungan nutrisi
pakannya. Penambahan konsentrat yang dikosumsi sebesar 1,1 kg BK disertai pemberian
rumput dan subtitusi jerami jagung fermentasi berdampak besar terhadap peningkatan
kemampuan berproduksi susu sapi-sapi perah di lokasi pelaksanaan kajian. Adanya
peningkatan kemampuan berproduksi susu tersebut sekaligus juga mengungkapkan, bahwa
potensi genetik dalam berproduksi susu dari sapi-sapi perah induk di lokasi penelitian
masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan pakan (kuantitas dan kualitas). Hal ini sesuai
dengan pendapat Reist et al. (2000) bahwa status nutrisi pada sapi perah mempengaruhi
produksi yang dihasilkannya. Sapi yang mempunyai produksi susu tinggi akan
membutuhkan energi hidup pokok untuk fungsi jaringan tubuh dan produksi yang melebihi
dari energi yang dapat dikonsumsinya.
Tabel 5. Produksi susu sapi selama periode perbaikan pakan di Enrekang, 2016
Perlakuan (l/ekor/hari)
Periode laktasi (bulan)
A B C
1 5,97 7,19 4,00
2 7,47 8,10 5,50
3 7,32 8,02 5,55
4 6,84 7,33 4,55
Rata-rata 6,90 b
7,66 b
4,90a

Periode laktasi pada semua perlakuan mencapai puncaknya pada periode laktasi ke-2
dan 3. Pada periode laktasi ke-4, terjadi penurunan produksi susu pada semua perlakuan.
Kondisi produksi susu mencapai puncak pada periode ke-2 laktasi sesuai yang
dikemukakan oleh Siregar (1993) bahwa dari sejak melahirkan, produksi susu akan
meningkat dengan cepat sampai mencapai puncak produksi pada 35-50 hari setelah
melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi, produksi susu harian akan mengalami
penurunan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Hadisutanto et al. (2013)
mengungkapkan bahwa puncak laktasi dicapai pada periode laktasi kedua dan ketiga, di
mana periode laktasi I memiliki kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih
rendah dari periode laktasi II dan III. Adanya perbedaan produksi susu yang dihasilkan
disebabkan karena tingkat kebutuhan dari induk sapi perah yang pertama kali melahirkan
(primipara) dan induk sapi perah yang melahirkan lebih dari satu kali (pluripara) yang
berbeda.

136
Nurhayu et al.: Perbaikan Pakan pada Induk Sapi Perah sedang Laktasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

Analisis usaha tani

Analisis usaha tani pada induk sapi perah sedang laktasi dengan perlakuan perbaikan
pakan yaitu pemberian hijauan rumput Gajah disubtitusi dengan jerami jagung fermentasi
serta penambahan pakan penguat konsentrat, dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Analisis usaha sapi induk laktasi di Enrekang, 2016


Perlakuan
Uraian
A B C
Bobot badan awal (kg) 380 378 382
Bobot badan akhir (kg) 389 394 385
PBB (g/ekor/hari) 75 133 25
Jumlah pengeluaran (Rp/ekor/hari) 28.466 29.216 22.000
Produksi susu rata-rata (l)
Harian (1 ekor/hari) 6,90 7,66 4,90
Jumlah penerimaan 32.484,04 35.993,19 23.030,0
Keuntungan (Rp/ekor/hari) 3.962 6.778 1.030
R/C ratio 1,14 1,23 1,05
Rumput: Rp. 500/kg; Jerami jagung fermentasi: Rp. 600/kg; Konsentrat: Rp. 3.020/kg; Dedak: Rp.
2500/kg; harga estimasi

Tujuan utama dalam pembukaan usaha yang direncanakan adalah keuntungan.


Menurut Prawirokusumo (1990), keuntungan adalah jumlah rupiah yang didapat dari
pendapatan bersih suatu usaha. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan total
dengan biaya (biaya tetap dan biaya tidak tetap). Usaha sapi perah petani layak diusahakan
dan menguntungkan dengan nilai R/C perlakuan A sebesar 1,14, perlakuan B sebesar 1,23
dan perlakuan C sebesar 1,05, yang artinya lebih dari satu, ketika R/C lebih dari satu maka
usaha tersebut dikatakan untung.

KESIMPULAN

Perbaikan pakan pada induk sapi perah sedang laktasi dengan pemberian rumput serta
penambahan jerami jagung fermentasi dan penambahan pakan penguat konsentrat mampu
meningkatkan produksi susu pada induk sapi perah sedang laktasi. Pemberian 30% rumput
Gajah + 60% jerami jagung fermentasi + 10% konsentrat memberikan keuntungan
tertinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Peternakan, penyuluh
serta kelompok tani di Kabupaten Enrekang yang telah bekerjasama dan memberikan
bantuan selama berlangsungnya kegiatan kajian.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad I, Hermiyeti. 2008. Analisis produksi dan konsumsi susu di Indonesia. Dalam: Diwyanto
K, Wina E, Priyanti A, Natalia L, Herawati T, Purwandaya B, penyunting. Prosiding Prospek

137
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017

Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Bogor
(Indonesia): Puslitbangnak dan STEKPI. hlm. 413-419.
BPS Provinsi Sulawesi Selatan. 2015. Sulawesi Selatan dalam angka. Makassar (Indonesia): Badan
Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
Hadisutanto B, Purwantara B, Darodjah S. 2013. Involusi uteri dan waktu estrus pada induk sapi
perah FH pasca partus. J Ilmu Ternak. 13:4-7.
Hartutik. 2009. Strategi manajemen pemberian pakan dalam upaya peningkatan produktivitas sapi
perah rakyat. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang (Indonesia): Universitas Brawijaya.
Martawidjaya M. 2003. Pemanfaatan jerami padi sebagai pengganti rumput untuk ternak
ruminansia kecil. Wartazoa. 13:120-121.
Musnandar C. 2011. Efisiensi energi pada sapi perah Holstein yang diberi berbagai imbangan
rumput dan konsentrat. J Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 13:53-58.
Nursiam I. 2010. Bahan makanan ternak, limbah pertanian. [Internet]. Available from:
https://intannursiam.wordpress.com.
Pomolango R, Kaunang ChL, Elly FH. 2016. Analisis produksi limbah tanaman pangan sebagai
pakan ternak sapi di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. J Zootek. 36:302-311.
Prawirokusumo S. 1990. Ilmu usaha tani. Yogyakarta (Indonesia): BIEP.
Preston TR, Leng RA. 1987. Matching ruminant production system with avalilable resources in the
tropics and sub-tropics. New South Wales (Australia).
Reist M, Koller A, Busato A, Kupfer U, Blum JW. 2000. First ovulation and ketone body status in
the early postpartum period of dairy cows. Theriogenology. 54:685-701.
Setyaningsih W. Budiarti C, Suparyogi TH. 2013. Peran massage dan pakan terhadap produksi dan
kadar lemak susu kambing Peranakan Ettawah. Anim Agric. 2:329-335.
Siregar SB. 2008. Penggemukan sapi. Jakarta (Indonesia): Penebar Swadaya.
Sunu KPW, Hartutik, Hermanto. 2008. Pengaruh penggunaan ajitein pakan terhadap produksi dan
kualitas sapu perah. J Ilmu-ilmu Peternakan. 23:42-51.

138
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014
On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP


PRODUKSI DAN BAHAN KERING SUSU KAMBING PERAH
(The Effect of Differents by Forage Feeding Frequency on Total Solid and Milk Production for
Dairy Goat)

R. Amrudin, P. Sambodho dan T. H. Suprayogi*


Program Studi S-1 Peternakan
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang
*fp@undip.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performans produksi kambing Perah yaitu
produksi susu dan kandungan bahan kering susu akibat dari perlakuan pakan hijauan dengan cara
mengatur frekuensi pemberiannya (frekuensi pemberian pakan perhari). Materi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kambing perah (PE) laktasi sebanyak 12 ekor yang berada pada bulan
laktasi ke 3 dan ke 4. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrat dan hijauan
(tebon jagung dan rumput gajah dengan perbandingan kosentrat : hijauan adalah 40% : 60% dari
total bahan kering ransum. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 3 perlakuan (T1, T2 dan T3) dan 4 kali ulangan (kambing). Hasil penelitian
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,05) frekuensi pemberian hijauan terhadap
konsumsi BK pakan dan PK pakan, produksi susu dan bahan kering susu, selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa peningkatan frekuensi pemberian hijauan ekor/hari pada kambing perah dapat
meningkatkan konsumsi hijauan, produksi susu dan BK susu.
Kata Kunci : Kambing perah; hijauan; konsentrat; produksi susu

ABSTRACT

The experiment aimed to determine the performance of dairy goat of total solid and milk
production dairy goat. The result of feed treatment by regulation the frequencies of feeding.
Material used are 12 dairy goats in 3rd and 4th lactating periods. Ration that used in this
experiment are concentrate and forages (corn hay and Elephant grass) with ration : 40 %
(concentrate) : 60 % (forages). Design of experiment used Completely Randomized Design ( CRD
) that consisted of 3 treatments ( T1, T2 and T3 ) and 4 replications. The result indicates a
significant by frequencies of forages on dry matter intake, crude protein intake, total solid and
milk production. The conclusions, that the increased of forage feeding frequencies in dairy goats
can be improve for feed intake , total solid and milk production.
Keywords: Dairy goat; forage; concentrate; milk production

PENDAHULUAN

Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara
bangsa kambing Ettawa dengan kambing Lokal, yang memiliki sifat seperti kambing tetuanya
kambing PE termasuk genus Capra aegagrus. Bangsa kambing ini merupakan jenis kambing
dwiguna yaitu penghasil susu dan daging yang potensial dengan produksi susu sekitar 0,45 – 2,2
liter/hari. Peningkatan produktivitas kambing melalui seleksi memerlukan waktu yang cukup
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

panjang dan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu upaya lain yang dapat ditempuh adalah
melakukan perbaikan manajemen pemeliharaan yang salah satunya adalah manajemen pemberian
pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Manajemen pemberian pakan dengan mengatur jarak
waktu antara pemberian konsentrat dan hijauan termasuk frekuensi pemberian pakannya sehingga
dapat meningkatkan produktivitas kambing perah. Menurut Yulistiani et al. (1999), menyatakan
bahwa peningkatan konsumsi bahan kering pada kambing disebabkan oleh tingkat palatabilitas
kambing dan tingkat kebutuhan zat gizi lebih banyak sehingga kambing berusaha memenuhi
kebutuhan tersebut dengan mengkonsumsi lebih banyak pakan yang tersedia. Menurut Siti et al.
(2012), bahwa tingkat konsumsi bahan kering pakan pada kambing PE dapat dijadikan indikasi
untuk menentukan konsumsi nutrisi yang lain dari pakan tersebut, artinya bahwa konsumsi bahan
kering berkorelasi positif dengan konsumsi bahan organik, protein kasar dan energi bruto.
Menurut Salama et al. (2003), bahwa kemampuan memproduksi susu pada kambing dipengaruhi
oleh faktor bangsa dan lingkungannya, sedangkan perbedaan produksi tersebut bisa disebabkan
oleh bobot badan induk, umur induk, ukuran ambing, jumlah anak, nutrisi pakan, dan suhu
lingkungan. Menurut Sidik (2003) dan Mardalena et al. (2011), bahwa kandungan bahan kering
susu tergantung pada zat-zat pakan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan
sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.

MATERI DAN METODE

Penelitian telah dilaksanakan tanggal 15 September sampai dengan 20 Oktober 2013.


Penelitian dilakukan di Unit Pelayanan Teknis Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak
Divisi Pembibitan Kambing PE, Singosari, Malang.
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing perah (PE) laktasi sebanyak
12 ekor yang berada pada bulan laktasi ke 3 dan ke 4, penelitian dilakukan dengan 3 perlakuan
masing-masing 4 ulangan, dengan bobot badan awal 40-45 kg. Kambing penelitian diberikan
pakan BK (bahan kering) sesuai dengan kebutuhannya (4 % x bobot badan). Pakan yang
digunakan dalam penelelitian ini adalah konsentrat dan hijauan (tebon jagung dan rumput gajah)
dengan perbandingan kosentrat : hijauan adalah 40% : 60% dari total bahan kering ransum,
sedangkan hijauannya terdiri dari 42 % tebon jagung dan 18% rumput gajah BK dari total hijauan
yang diberikan setiap hari.

243
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan Penelitian kambing PE

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan pakan “Camry” kapasitas
5 kg dengan ketelitian 50 g, timbangan ternak “Airlux” kapasitas 120 kg dengan ketelitian 500 g,
takaran susu kapasitas 500 ml untuk menakar atau mengukur produksi susu serta botol kaca
kapasitas 50 ml untuk menampung sampel susu.

Tabel 2. Formula Kandungan Nutrisi Pakan Kambing Penelitian

Komposisi pakan yang digunakan oleh Instansi Unit Pelaksana Teknis Pembibitan Ternak

dan Hijauan Makanan Ternak, Singosari, Malang. 40 % Konsentrat, 42 % tebon jagung dan 18 %

rumput gajah atau formulanya kandungan Nutrisi ransum kambing penelitian dapat disusun

seperti Tabel 2.

Metode Penelitian
Tahap persiapan meliputi mempersiapkan kandang dengan memberi sekat pada setiap
individu kambing penelitian agar kambing yang akan digunakan untuk materi penelitian
mendapatkan pakan sesuai dengan perlakuan. Perlakuan pemberian pakan hijauan hanya
dilakukan pada siang hari dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB. Tahap adaptasi
dilakukan selama dua minggu untuk membiasakan kambing dengan pola pemberian pakan
perlakuan (T1,T2,T3) yang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya. Pemberian pakan perlakuan
didahului pemberian konsentrat sehari satu kali sebanyak 804 BS g/ekor/hari atau 680 BK
244
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

g/ekor/hari. Pemberian hijauan dilakukan 2 jam setelah pemberian konsentrat. Tahap perlakuan
adalah pengumpulan data dilakukan selama 17 hari. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
mengamati / mengukur produksi BK susu, konsumsi BK pakan, dan PK pakan setiap individu
kambing (ulangan) penelitian pada masing-masing perlakuan (T1; T2; T3).
Parameter Penelitian
Parameter penelitian ini yaitu produksi susu dan kandungan BK susu. Konsumsi BK
pakan, PK pakan sebagai parameter pendukungnya.
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan
(T1, T2 dan T3) dan 4 kali ulangan (kambing) (Widodo, 2009). Perlakuan yang ditetapkan adalah
frekuensi pemberian pakan hijauan :
T1 = Frekuensi 2 kali perhari (pukul 08.00 dan 11.00 WIB)
T2 = Frekuensi 3 kali perhari (pukul 08.00; 11.00 dan 14.00 WIB)
T3 = Frekuensi 4 kali perhari (pukul 08.00; 11.00; 14.00 dan 16.00 WIB)
Data hasil penelitian dianalisis dengan Uji F dengan taraf kepercayaan 5%, bila terjadi8
perbedaan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Differents) atau uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) digunakan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari masing-masing perlakuan pada uji
F taraf kepercayaan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari perlakuan Frekuensi pemberian pakan (T1;T2 danT3) pada konsumsi BK, PK
pakan terhadap Produksi dan kandungan BK susu menujukan adanya perbedaan yang nyata
(P<0,05). Menurut Herawati (2003) dan Salama et al. (2003), bahwa produksi dan bahan kering
susu dipengaruhi oleh pakan kuantitas (jumlah BK dan PK pakan yang dikonsumsi) dan bobot
badan.
Konsumsi Bahan Kering Pakan
Pada Tabel 3. Nampak bahwa rataan konsumsi BK pakan semakin meningkat, dari T1 ke
T2, dan T2 ke T3 dengan rataan masing-masing yaitu T1 = 1.589,68 ; T2 = 1.594,70 ; T3 =
1.655,59 g/ekor/hari. Peningkatan konsumsi BK pakan diduga oleh frekuensi pemberian pakan
yang semakin banyak, hal ini disebabkan oleh daya tampung rumen (kapsitas rumen terbatas).
Perbedaan konsumsi BK pakan pada masing-masing perlakuan diduga disebabkan oleh kapasitas
perut dari setiap individu kambing untuk menampung pakan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Parakkasi (1999) dan Serment et al. (2011), yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering
pakan dapat di pengaruhi oleh kuantitas pakan yaitu tinggi rendahnya kandungan bahan kering

245
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

pakan akan berpengaruh pada konsumsinya, artinya bahwa kemampuan kambing untuk
mengkonsumsi pakan berhubungan erat dengan palatabilitas pakan dan saluran pencernaan secara
keseluruhan terutama kapasitas rumen.
Tabel 3. Rataan Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan pada kambing PE terhadap
konsumsi BK, PK Pakan, serta Produksi dan BK susu

Konsumsi Protein Kasar Pakan

Rataan konsumsi protein pakan pada kambing penelitian masing – masing; T1=175,02; T2
= 175,36 dan T3 = 180,49 g/ekor/hari (Tabel 3.), artinya terjadi peningkatan konsumsi protein
kasar pakan dari T1 ke T2 dan T2 Ke T3. Perlakuan frekuensi pemberian pakan yang berbeda,
frekuensi pemberian pakan yang semakin sering diaplikasikan maka konsumsi pakannya akan
semakin banyak, yang pada gilirannya konsumsi protein kasar pakannya juga lebih banyak.
Peningkatan konsumsi PK pakan sangat bermanfaat untuk ternak ruminansia, dimana ternak yang
berproduksi tinggi disamping memerlukan protein yang berasal dari mikrobia, sehingga
penyediaan asam amino untuk penyerapan usus halus menjadi lebih baik. Asam amino yang
dibutuhkan ternak ruminansia sebagian bersal dari protein pakan yang lolos dari fermentasi di
dalam rumen (Soebarinoto et al., 1991). Menurut Arora (1995) bahwa protein bermanfaat sebagai
zat-zat yang digunakan untuk pertumbuhan dan mempertahankan seluruh jaringan tubuh.
Produksi Susu
Pada Tabel 3. Nampak bahwa rataan produksi susu masing – masing; T1 sebesar: 307,50;
T2 = 347,30 dan T3 = 380,70 g/ekor/hari. Pemberian perlakuan frekuensi pakan hijauan perhari
meningkat, menjadikan produksi susu kambing penelitian meningkat pula, yang mana
peningkatan produksi susu tersebut secara umum diduga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi
BK pakan dari perlakuan frekuensi pemberian T1, T2, dan T3, selanjutnya mengakibatkan
meningkatkan jumlah kandungan PK pada bahan kering pakan yang terkonsumsi sebagai bahan
pakan pada sintesis susu. Menurut Herawati (2003) dan Salama et al. (2003), bahwa produksi
susu dipengaruhi oleh pakan kuantitas (jumlah BK dan PK pakan yang dikonsumsi) dan bobot
badan.

246
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

Produksi Bahan kering susu


Hasil rataan Produksi BK susu masing – masing; T1 sebesar 46,74; T2 = 52,87 dan T3 =
57,87 g/ekor/hari (Tabel 3.). Perbedaan rataan Produksi BK susu ini diduga disebabkan oleh
perbedaan konsumsi BK pakan dan produksi susu, yang mana konsumsi BK pakan dan produksi
susu pada perlakuan pemberian pakan 4 kali per hari lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
pemberian pakan 3 kali per hari dan 2 kali per hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardalena et
al. (2011), yang menyatakan bahwa konsumsi BK dan PK pakan serta produksi susu pada
kambing perah berbanding lurus dengan jumlah produksi BK susunya. Dalam penelitian ini
didapatkan kadar BK sebesar 14,07 % dan 16,4 %, dengan rataan 15,20 % (diukur pada awal dan
akhir penelitian). Standar yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional Indonesia. (1998)
dalam SNI 01-3141-1998, tentang susu segar dan secara umum produksi susu yang menyatakan
bahwa syarat minimal susu segar diantaranya harus memiliki kadar lemak minimal 3,0 %; kadar
bahan kering tanpa lemak 8,0%; kadar protein minimal 2,7 % ; berat jenis (pada suhu
27,50 C) minimal 1,0280.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan peningkatan frekuensi pemberian pakan perhari


pada kambing perah PE dapat meningkatkan konsumsi pakan, produksi susu dan kandungan BK
susu.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z dan A Sodiq. 2002. Kambing Peranakan Ettawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat.
Cetakan Pertama. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Arora (1995) Evaluasi Komposisi dan Tingkat konsumsi 16 daun Provenance gamal (Grliricidia
sepium) yang ditanam pada lahan kering di provinsi Bali. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
(Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Davendra, C.D. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB,
Bandung. (Diterjemahkan oleh: Harya Putra).
Dewan Standarisasi Nasional. (1998). Tentang Susu Segar, SNI 01-3141-1998. Dewan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Haenlein, G.F.W.2002. Feeding Goats For Improved Milk and Meat Production. Available at
http: // ag.udel .ed/ extention/information/goatmgt/gm-02htm accession date: December
21, 2013.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lekdosoekojo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia, Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

247
Animal Agriculture Journal 3(2): 242-248, Juli 2014

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta.
Herawati. 2003. Pengaruh substitu’si hijauan pakan dalam ransum dengan nanas afkir terhadap
produksi dan kualitas susu pada sapi perah laktasi. J. Indon. Anim. Agric. 28(2) : 56-63.
Lampert, L.M. 1975. Modern Dairy Products. Chemical Publishing Company Inc. New York.
Mardalena, L. Warly, E. Nurdin, W.S.N. Rusmana, and Farizal. 2011. Milk quality of dairy goat
bay giving feed supplement as antioxidant source. J. Indonesian Trop. Agric. 36(3) : 205-
212.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Puguh A.W, Y.A. dan Triana, S. Pramono. 2013. Kajian total salid (TS) dan solid non fat (SNF)
susu kambing Peranakan Ettawa (PE) pada satu periode laktasi. Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. J. Ilmiah Pet. 1(1): 214-221.
Salama, A.A.K., X. Such, G. Caja, M. Rovai, R. Casals, E. Albanell, M.P. Marin, and A. Marti.
2003. Effects of once versus twice daily milking troughout lactation on milk yield and
milk composition in dairy goats. J. Dairy Sci. 86: 1673-1680.
Serment, A., P. Schmidely, S. Giger-Reverdin, P. Chapoutot, and D. Sauvant. 2011. Effects of the
percentage of concentrate on rumen fermentation, nutrient digestibility, plasma
metabolities, and milk composition in mid-lactation goats. J. Dairy Sci. 94: 3960-3972.
Setiawan, T. dan T. Arsa. 2005. Beternak Kambing Perah Peranakan Ettawa. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sidik, R. 2003. Estimasi kebutuhan Net Energi laktasi sapi perah produktif yang diberi pakan
komplit Veteriner. Med. Kedokteran Hewan. 19(3): 135-138.
Siti, Ni W., I G. M. A. Sucipta., I.M. Mudita., I.B.G. Pratama dan I G.L.O. Cakra. 2012.
Suplentasi urea molasis blok untuk meningkatkan penampilan kambing peranakan ettawa
yang diberi pakan hijauan gamal. Agripet. 12(2): 10-17.
Soebarinoto, S., S. Chuzaemi dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Sutama, I. K. dan I. G. M. Budiarsana,. 2009. Panduan Lengkap Kambing dan Domba. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Suwandyastuti, S.N.O. 2007. Produk metabolisme rumen pada domba jantan. J. Anim. Prod. 9(1):
9-13.
Widodo, M. W. 2009. Statistika- terapan I (Biometrika) dalam biologi. Dikemas untuk mahasiswa
dan praktisi yang menggeluti ilmu-ilmu peternakan dan atau Pertanian / biologi. ISBN:
978-979-3925-92-9, Serang, Banten.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.Prawirakusomo dan S. Lebdosoekojo. 1991.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yulistiani, D., L.W. Mathius, I.K. Suthama, A. Umi, S.G. Ria, Sianturi, Hastono dan L.G.M.
Budiarsana. 1999. Respon produksi kambing PE induk sebagai akibat perbaikan
pemberian pakan pada fase bunting dan laktasi. JITV 4: 88 – 93.
Zurriyati. Y, R.R. Noor dan R.R.A. Maheswari, 2011. Analisis molekuler genotipe kappa kasein
(Κ-Kasein) dan komposisi susu kambing Peranakan Ettawa, Saanen dan persilangannya.
JITV 16(1): 61-70.

248
Jurnal Sain Peternakan Indonesia P-ISSN 1978-3000
Available at https://ejournal.unib.ac.id/index.php/jspi/index E-ISSN 2528-7109
DOI: https://doi.org/10.31186/jspi.id.14.2.208-214 Volume 14 Nomor 2 edisi April-Juni 2019

Pengaruh Pemberian Suplementasi Sakura Blok Plus terhadap Kualitas


Susu Kambing Nubian
The Effect of Sakura Blok Plus Suplementation on Quality of Nubian Milk Goat

E. Soetrisno, Jarmuji, A. N. N. Andana, A. H. K. Amrullah dan A. S. Harahap

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu


Corresponding email: edi.soetrisno@unib.ac.id

ABSTRACT

This research aimed to evaluate the effect of Sakura Blok Plus suplementattions on quality of Nubian milk
goat. This research have been done in 40 days (16 July - 24 August 2018) at Lembaga Pengembangan
Pertanian Baptis (LPPB), Pondok Kubang Subdistrict, District of Bengkulu Tengah. The design used was the
Latin Square Design (LSD), with four treatments, (P0 Sakura blok, P1 Sakura blok + 2% turmeric flour + 2%
katuk leaf flour, P2 Sakura blok + 4% turmeric flour, P3 Sakura blok + 4% katuk leaf flour). This research
used four treatments, four replications, 4 periods, in one periode have 10 days (7 days for adaptation, 3 days for
sampling data). Variables observed included dry matter consumption, fat and protein milk composition. The
result showed that the average fat composition were P0: 3.63 %, P1: 3.54 %, P2: 3.62 % and P3: 3.33 %. The
protein composition were P0: 3.37 %, P1: 3.27 %, P2: 3.12 % and P3: 3.15 %. Best on analysis (anova) showed
that there is no impact of treatments on composition of fat and protein in Nubian milk goat. Suplementation of
Sakura Blok Plus katuk leaf flour and tumeric flour did not impact on quality of Nubian milk goat.

Key words: Sakura blok, milk quality, Nubian

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian suplementasi sakura blok plus terhadap kualitas
susu kambing Nubian. Penelitian ini dilakukan selama 40 hari (16 Juli sampai 24 Agustus 2018) di LPPB
(Lembaga Pengembangan Pertanian Baptis), Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL), dengan perlakuan (P0 sakura blok,
P1 sakura blok + 2% tepung kunyit + 2% Tepung daun katuk, P2 sakura blok + 4% tepung kunyit, P3 sakura
blok + 4% tepung daun katuk). Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan,4 ulangan, 4 periode, dimana dalam
satu periode selama 10 hari, 7 hari masa adaptasi dan 3 hari masa pengambilan sampel susu. Kambing perah
yang digunakan pada penelitian ini adalah bangsa kambing perah Nubian. Variabel yang diamati yaitu kadar
lemak dan kadar protein susu. Berdasarkan hasil penelitian rataan kadar lemak yang didapat yaitu P0 sebesar
3.63 %, P1 sebesar 3.54 %, P2 sebesar 3.62 % dan P3 sebesar 3.33 %. Kadar protein yaitu P0 sebesar 3.37 %,
P1 sebesar 3.27 %, P2 sebesar 3.12 % daan P3 sebesar 3.15 %. Hasil analisi varian (anova) menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak susu dan protein susu pada kambing Nubian.
Suplementasi sakura dengan penambahan daun katuk dan kunyit tidak mempengaruhi kualitas susu kambing
Nubian.

Kata kunci: Sakura blok, kualitas susu, Nubian.

PENDAHULUAN kambing itu sendiri. Bangsa kambing


merupakan faktor yang bisa mempengaruhi
Kambing perah adalah jenis kambing
produktivitas susu. Sehingga kebutuhan dan
yang bisa memproduksi susu dengan jumlah
kualitas pakan yang diberikan pada kambing
melebihi kebutuhan anaknya (Atabany,
perah berbeda dengan kambing potong.
2002). Kambing perah disebut juga kambing
Kambing perah membutuhkan pakan dengan
bertipe dwiguna karena selain bisa
kualitas yang baik yang akan mempengaruhi
menghasilkan susu, dagingnya juga bisa
produksi dan kualitas susu yang dihasilkan.
dikonsumsi (Kaleka dan Haryadi, 2013).
Kualitas dan kuantitas susu yang
Perbedaan antara kambing perah dengan
dihasilkan salah satunya dipengaruhi oleh
kambing pedaging terletak pada bangsa
pakan yang diberikan. Salah satu cara yang

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 14 (2) 2019 Edisi April-Juni | 208


dapat digunakan untuk meningkatkan makan, menghilangkan bau amis dan bersih
kualitas ransum ruminansia dan darah. Banyak kasiat diperoleh dari kunyit
meningkatkan hasil produksi yang optimal disebabkan oleh senyawa- senyawa yang
yaitu dengan cara kombinasi bahan pakan terkandung didalamnya terutama kukumin
atau penambahan pakan suplemen. Pakan dan minyak atsiri. Kurkumin yang
suplemen terdiri atas bahan baku yang terkandung dalam kunyit ini mempunyai
memiliki kandungan karbohidrat dan protein aktivitas biologis berskala luas, diantaranya;
yang tinggi, sehingga kebutuhan ternak dapat anti bakteri, anti oksidan, dan anti hepatoksik
terpenuhi (Suharyono et al., 2010). Upaya (Rahmat, 1994).
yang bisa dilakukan untuk meningkatkan Sakura Blok merupakan suplemen
produksi susu antara lain yaitu melalui pakan yang mengandung urea, dedak halus,
suplementasi pakan. Suplementasi pakan sagu, jagung giling, gula merah, top mix,
salah satunya dapat dilakukan dengan mineral mix, TSP, garam dapur (Jarmuji et
penambahan sakura blok yang mengandung al, 2017). Penggunaan Sakura blok yang
daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) mengandung daun katuk dan kunyit sebagai
dan kunyit. pakan tambahan diharapkan dapat berfungsi
Menurut Bimantoro (2009) daun sebagai karbohidrat mudah terlarut, protein
katuk sudah banyak dikonsumsi oleh lolos degradasi dan sebagai sumber glukosa
masyarakat untuk meningkatkan produksi air dalam pembentukan bahan baku produksi
susu ibu (ASI). Zat aktif yang terkandung susu. Dilaporkan pula bahwa penambahan
didalam daun katuk adalah Sauropi folium UMB pada pakan sapi perah sedang laktasi
yang baik untuk melancarkan ASI. Sauropi dapat meningkatkan susu sebesar 3.60%
folium dalam daun katuk bisa meningkatkan (Yusran et al.,1988). Sakura blok diketahui
aliran nutrien ke dalam kelenjar mammae dapat meningkatkan konsumsi BK, BO. PK,
dan mempengaruhi aktivitas sel sekretorik. air minum, PBB, kecernaan BO, dan
Daun katuk kaya asam amino yang bisa efisiensi pakan pada ternak kambing (Jarmuji
merangsang produksi susu. Daun katuk bisa et al., 2006). Sehingga penelitian ini
meningkatkan produksi ASI karena diduga bertujuan untuk mengetahui efek
efek hormonal dari kandungan kimia sterol suplementasi pakan berbentuk sakura blok
yang terkandung di dalamnya yang bersifat yang mengandung daun katuk dan kunyit
estrogenik. Pidada (1999) menyatakan terhadap kualitas susu kambing Anglo
bahwa daun katuk juga diketahui Nubian
mengandung steroid. Steroid dan vitamin A
berperan merangsang proliferasi epitel MATERI DAN METODE
alveolus sehingga akan terbentuk alveolus
yang baru, dengan demikian terjadi Pakan Tambahan dan Hewan
peningkatan jumlah alveolus dalam kelenjar Penelitian ini dilakukan selama 40
ambing. hari (16 Juli sampai 24 Agustus 2018) di
Kunyit banyak tersedia dan sering LPPB (Lembaga Pengembangan Pertanian
dipergunakan untuk pengobatan tradisional Baptis) Pondok Kubang, Kabupaten
antara lain untuk menghilangkan bau amis Bengkulu Tengah. Materi yang digunakan
(anyir). Hembing et al. (1991) menyatakan dalam penelitian ini adalah 4 ekor indukan
bahwa kunyit dapat digunakan sebagai anti kambing Nubian umur 3-4 tahun dan sedang
radang dan digunakan manusia untuk dalam fase laktasi akhir. Sakura blok yang
menurunkan kolesterol. Disebutkan pula digunakan memiliki bahan baku yang terdiri
bahwa kunyit dapat merangsang kantong dari: urea, dedak halus, sagu, jagung giling,
empedu sehingga pencernaan lebih sempurna gula merah, top mix, mineral mix, TSP,
dan minyak atsiri yang terkandung garam dapur. Komposisi sakura blok
didalamnya dapat mengurangi peristaltic disajikan pada Tabel 1.
usus yang terlalu kuat. Oleh karena itu
pemanfaatan kunyit dapat menambah nafsu

209 | Pengaruh pemberian suplementasi sakura blok plus terhadap kualitas… (Soetrisno et al., 2019)
Tabel 1. Komposisi sakura blok laktasi akhir. Kambing ditempatkan di
Bahan baku Formula (%) kandang terpisah untuk memudahkan proses
Dedak 28 sanitasi, pemerahan, pemberian pakan dan
Gula merah 32 air minum. Kemudian penelitian dilakukan
Sagu 15 dengan pemberian pakan hijauan, konsentrat
Jagung giling 15 dan suplemen Sakura blok terhadap indukan
Urea 5 yang nantinya berpengaruh terhadap kualitas
Garam dapur 2 susunya. .
TSP 1
Mineral mix 1 Perlakuan
Top mix 1 Penelitian ini menggunakan
Jumlah 100 Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL),
Sumber : Jarmuji et al. (2017) dengan menggunakan 4 perlakuan,4 ulangan,
4 periode, dimana dalam satu periode selama
Proses pembuatan sakura blok 10 hari, 7 hari masa adaptasi dan 3 hari
dengan mencairkan gula merah diatas nyala masa pengambilan data.Pada penelitian ini
api kompor dengan wadah panci. Gula merah perlakuan yang disusun sebagai berikut:
yang sudah cair seutuhnya, selanjutnya
dicampur dengan seluruh bahan lainnya di P0 = Sakura blok
dalam wadah besar hingga merata. P1 = Sakura blok + 2% Tepung kunyit + 2%
Kemudian dilanjutkan dengan pencetakan Tepung daun katuk
dengan takaran timbangan 150 gram di alat P2 = Sakura blok + 4% Tepung kunyit
pencetak. Sakura blok yang sudah dicetak P3 = Sakura blok + 4% Tepung daun katuk
dibungkus plastik agar tahan lama. Sakura
blok siap diberikan ke kambing dengan Konsumsi BK ransum
pemberian 1 sakura blok/ekor/hari. Untuk BK ransum merupakan pengukuran
kelompok perlakuan yang menggunakan yang dilakukan setiap hari. Konsumsi
tepung daun katuk dan tepung kunyit, bahan ransum (kg/ekor/hari) = Jumlah bahan
tersebut dicampur dengan bahan-bahan ransum yang diberikan (kg) - ransum sisa.
lainnya untuk dibuat menjadi Sakura blok.
Kualitas susu
Pakan Ternak Pengujian kualitas susu meliputi :
Pakan yang diberikan berupa hijauan kadar lemak (%) dan kadar protein (%).
segar yang terdiri dari rumput- rumput dan Pengukuran lemak susu (%) dan protein (%)
legum. Hijauan yang diberikan yaitu dari pemerahan tiga hari terakhir dengan
sebanyak 10% dari berat badan ternak yaitu pemerahan terakhir setiap periode, sampel
5 kg (terdiri dari 1 kg rumput Brachiria disimpan dalam termos es untuk kemudian
decumben dan 4 legum Indigofera sp), dianalisis kadar lemak dan protein di
sedangkan untuk konsentrat yang diberikan laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas
yaitu ampas tahu dan dedak (4 : 0.25). Pertanian UNIB. Sampel dikompositkan
Suplemen Sakura blok dosis pemberiannya sebanyak 100 ml kemudian dikeringkan
150 g/ekor/hari. Pakan tambahan diberikan didalam oven, setelah kering dianalisis
kepada ternak dengan cara meletakkannya di menggunakan metode AOAC.
tempat pakan. Pakan tambahan ini diberikan
pada pagi hari dengan jumlah yang sesuai Analisis Data
dengan tingkat konsumsi yang dianjurkan Analisis data menggunakan ANOVA
pada setiap jenis ternak. dan jika ada perbedaan nyata dilanjutkan
dengan uji DMRT.
Pemeliharaan Kambing
Pada penelitian ini menggunakan 4
ekor kambing perah Nubian yang sedang

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 14 (2) 2019 Edisi April-Juni | 210


HASIL DAN PEMBAHASAN kering ransum yang tidak berbeda pada
semua perlakuan. Hal ini dapat dikarenakan
Konsumsi Bahan Kering Ransum jumlah hijauan yang diberikan selama proses
Data hasil konsumsi bahan kering penelitian sama. Rataan konsumsi bahan
ransum yang diberi pakan tambahan kering ransum untuk P0, P1, P2, dan P3
berupa suplementasi Sakura blok disajikan secara berurutan yaitu 1.40kg/ekor/hari, 1.45
pada Tabel 2. Pemberian suplementasi kg/ekor/hari, 1.49kg/ekor/hari dan
Sakura blok sebagai pakan indukan kambing 1.45kg/ekor/hari.
Nubian menghasilkan konsumsi bahan

Tabel 2. Rataan konsumsi bahan kering ransum yang diberi pakan tambahan berupa
suplementasi Sakura blok
Variabel P0 P1 P2 P3
Bahan kering ransum 1.49 ± 0.02ns 1.45 ± 0.03ns
(kg/ekor/hari) 1.40 ± 0.02ns 1.45 ± 0.05ns
Keerangan: P0 Sakura blok, P1 Sakura blok + 2% Tepung kunyit + 2% Tepung daun katuk, P2 Sakura blok
+ 4% Tepung kunyit, P3 Sakura blok + 4% Tepung daun katuk; ns: non significant (P>0,05)

Konsumsi bahan kering yang tidak ruminansia antara lain sifat fisik dan
berbeda dapat diakibatkan karena bobot komposisi kimia pakan. Tingkat palatabilitas
badan ternak saat penelitian hampir juga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
seragam, sehingga kebutuhan bahan kering BK ransum antara lain dipengaruhi oleh bau,
masing-masing ternak sama. Pada ternak rasa, tekstur dan suhu (Pond et al.,1995).
perah, konsumsi pakan sangat penting Adhani et al. (2012) menyatakan bahwa
untuk memproduksi susu yang maksimal, tingkat konsumsi ternak dapat dipengaruhi
kondisi lingkungan yang nyaman akan oleh bobot badan, jenis kelamin, umur,
menghasilkan susu yang baik. Menurut faktor genetik, bangsa sapi, pakan dan
Widiastuti dan Firmansyah (2005) bahwa faktor lingkungan (temperatur, kelembaban
pakan merupakan komponen terbesar, dan sinar matahari).
yakni mencapai 60% - 80% dari biaya
produksi peternakan dan sebagai salah satu Kadar Lemak dan Protein susu
faktor yang menentukan keberhasilan dalam Data hasil kadar lemak dan protein
usaha peternakan. Kebutuhan nutrisi akan susu kambing yang diberi pakan tambahan
hidup pokok dan produksi susu berupa suplementasi Sakura blok disajikan
mempengaruhi konsumsi bahan kering. pada Tabel 3. Kualitas susu ditentukan toleh
Menurut NRC (1981) pada bobot badan 50 komposisi zat gizi yang terdapat di dalam
kg pada kambing perah dengan produksi 3 susu. Menurut Pulina et al. (2008), diantara
kg/ekor/hari dibutuhkan bahan kering faktor non genetik, pakan adalah faktor
sebesar 4.1% dari bobot badan. utama yang berpengaruh terhadap kualitas
Faktor pakan yang dapat susu yang dihasilkan. Kualitas susu yang
mempengaruhi konsumsi BK pada ternak dimaksud dalam penelitian ini adalah kadar
lemak dan kadar protein.

Tabel 3. Rataan kadar lemak dan protein susu kambing yang diberi suplementasi Sakura
blok Rataan P0 P1 P2 P3
Lemak susu (%) 3.63 ± 0.27 ns
3.54 ± 0.26 ns
3.62 ± 0.42 ns
3.33 ± 0.21 ns
Protein susu (%) 3.37 ± 0.41 ns 3.27 ± 0.34 ns 3.12 ± 0.46 ns 3.15 ± 0.41 ns
Keterangan : P0 Sakura blok, P1 Sakura blok + 2% Tepung kunyit + 2% Tepung daun katuk, P2 Sakura
blok + 4% Tepung kunyit, P3 Sakura blok + 4% Tepung daun katuk. ns: non significant (P>0,05)

211 | Pengaruh pemberian suplementasi sakura blok plus terhadap kualitas… (Soetrisno et al., 2019)
Hasil kualitas susu sangat beragam nutrisi, tahap laktasi, umur dan interval
tergantung dari berbagai faktor diantaranya pemerahan (Fox dan McSweeney, 1998).
adalah manajemen perkandangan, pakan, Kadar protein susu yang dihasilkan
pemerahan, penanganan susu, bangsa dan untuk setiap perlakuan masih didalam angka
masa laktasi. Hasil penelitian menunjukkan standar kualitas kadar protein yaitu sebesar
bahwa kadar lemak dan kadar protein susu 3.10-3.40% (Thai Agricultural Standar,
kambing yang diberi pakan tambahan berupa 2008). Menurut Sukmawati et al. (2011),
suplementasi sakura blok tidak berbeda kadar protein susu tidak dipengaruhi oleh
(P>0,05) pada masing-masing perlakuan. perlakuan pakan, meskipun konsumsinya
Hal ini dapat diakibatkan karena ternak lebih tinggi. Le Jaoven (1974) menyatakan
penelitian yang digunakan jenis yang sama, bahwa variasi dalam kadar protein adalah
dimana ternak kambing tersebut dapat lebih kecil jika dibandingkan dengan
menghasilkan produksi susu dan kualitas kadar lemak susu, karena protein susu lebih
susu yang sama. Kadar lemak dan kadar banyak dipengaruhi oleh faktor genetik
protein susu yang dihasilkan masih dalam dibandingkan faktor lingkungan termasuk
angka standar yaitu lemak 3.25-3.50% dan pakan.
protein 3.10-3.40% (Thai Agricultural
Standar, 2008). Persentase kandungan lemak KESIMPULAN
susu pada kambing perah yang diberi
suplemen ASIFIT dan Curcuma xanthorriza Berdasarkan hasil penelitian
Roxb. berturut-turut sebesar 6.65% dan disimpulkan bahwa pemberian suplementasi
6.60%, sedangkan persentase protein susu Sakura blok tidak berpengaruh terhadap
pada kambing perah yang diberi suplemen kualitas susu kambing perah. Kadar lemak
ASIFIT dan Curcuma xanthorriza Roxb dan kadar protein susu yang dihasilkan
beruturt-turut sebesar 4.73% dan 4.70% masih dalam angka standar.
(Sulityowati, 2014).
Kadar lemak susu yang dihasilkan DAFTAR PUSTAKA
suatu ternak dipengaruhi oleh kandungan Adhani, N., T. Nurhajati dan A. T. S.
serat kasar di dalam ransum yang diberikan. Estoepangestie. 2012. Potensi
Menurut Sudono (1999), apabila kadar serat emberian formula pakan konsentrat
kasar rendah maka dapat menurunkan kadar komersial terhadap konsumsi dan
lemak susu yang dihasilkan. Secara umum kadar bahan kering tanpa lemak susu.
kadar lemak susu merupakan komponen Agroveteriner 1 (1): 11-16.
nutrisi yang paling mudah berubah dan
sangat bergantung pada kadar serat kasar Atabany, A. 2002. Strategi Pemberian
makanan (Sutardi, 1980; Esminger 2001). Pakan Induk Kambing Perah Sedang
Serat kasar dalam makanan yang rendah Laktasi dari Sudut Neraca Energi.
akan menghasilkan kandungan asetat Makalah Pengantar Sains. Program
didalam rumen yang rendah, sehingga lemak Pascasarjana IPB. Bogor.
susu menjadi rendah karena asetat
merupakan bahan pembentukan lemak susu. Marwah, M. P., Y. Suranindyah dan T.
Kualitas susu dapat ditentukan oleh W. Murti. 2010. Produksi dan
kadar laktosa, lemak, protein, vitamin dan Komposisi Susu Kambing
mineral. Selain itu juga ditentukan oleh Peranakan Ettawa yang Diberi
struktur dan beberapa sifat fisik seperti Suplemen Daun Katuk (Sauropus
densitas, keasaman dan potensial redoks androgynus (L.) Merr) Pada Awal
(Walstra et al., 1999). Kualitas susu yang Masa Laktasi. Buletin Peternakan.
dihasilkan ternak perah sangat bervariasi 4(2): 94-102. ISSN 0126-4400.
tergantung berbagai faktor diantaranya Fakultas Peternakan Universitas
individu ternak, bangsa, kesehatan, status Gadjah Mada. Yogyakarta.

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 14 (2) 2019 Edisi April-Juni | 212


Ensminger, M.E. 2001. Sheep and Goat Nutrition and Quality of Goat’s Milk.
Science. 6th ed. Interstate In: Dairy Goats Feeding and
Publisher.Inc. Danville, Illinois. Nutrition. Cannas, A. And G. Pulina
(Editors). Department of Animal
Fox, P.F., P.L.H. McSweeney. 1998. Dairy
Science University of Sasari. Italy.
Chemistry and Biochemistry.
London: Department of Food Rahmat, R. 1994. Kunyit. Penerbit Kanisius.
Chemistry University Collage Cork. Yogyakarta.
Hembing, W., Setawan, A.S. Wirian. 1991 Sudono, A., I.K. Abdulgani, H. Nadjib.
Tanaman Berkhasiat Obat di 1999. Penuntun Praktikum Ilmu
Indonesia. Jilid 3. Pustaka Kartini. Produksi Ternak Perah. Jurusan
Jakarta. Ilmu Produksi Ternak, Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian
Jarmuji, U. Santoso and B. Brata. 2017.
Bogor, Bogor.
Effect of Oil Palm Fronds and Setaria
sp. as Forages Plus Sakura Block on Suharyono, Y., Widiawati and M.
the Performance and Nutrient Winugroho. 2010. Effects of multi-
Digestibility of Kaur Cattle. Pakistan nutrient feed supplement in beef
Jurnal of Nutritrion 16 (4): 200-206. cattle on methane production, manure
quality and rice yield. Improving
Jarmuji, U. Santoso dan I. Badarina. 2006.
Livestock Production Using
Uji palatabilitas dan penyimpanan
Indigenous Resources and
Sakura blok dan pengaruhnya
Conserving the Environment.
terhadap kecernaan kambing kacang
jantan. Jurnal Penelitian UNIB 12 Sulistyowati, E. 2014. Ruminal
(1): 26-31. Fermentation, Production and Fatty
Acid Quality of Milk of Late
Kaleka, N dan N. K. Haryadi. 2013.
Lactation Dairy Goat Fed PUFA-Diet
Kambing Perah. Solo: Arcita.
Supplemented with Yeast and
Le Jaoven J.C. 1974. Simposium on Goat Temulawak (C. xanthorrhiza Roxb).
Breeding in Mediterrannian Dissertation. Graduate School. Bogor
Countries. EAAP and Spanish Agricultural University. Bogor.
National Comitte Animal Production, Indonesia.
Madrid.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi.
[NRC]. National Research Council. 1981. Jilid I. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Nutrient Requirements of Goats: Makanan Ternak. Fakultas
Angora, Dairy, and Meat Goats in Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Temperate and Tropical Countries. Bogor.
National Academy Press.
Thai Agricultural Standard. 2008. Raw Goat
Washington, D.C.
Milk. Thailand: National Bureau of
Pidada, I. R. (1999). Pengaruh Pemberian Agricultural Commodity and Food
Oksitosin Daun Katuk dan Daun Standards. Ministry of Agriculture
Lampes terhadap Sekresi Air Susu and Cooperatives.
dan Gambaran Histologi Kelenjar
Walstra, P., T. J. Geurs, A. Noemen, A.
Ambing pada Mencit. Journal of
Jellema and M. A. J. S. Van Boekel.
Biological Researches. 5(1): 1-9.
1999. Dairy Tecnology, Principles of
Pulina, G., A. Nudda, G. Battacone, S. Milk Properties and Processes.
Fancellu, Francesconi AHD. 2008. Marcel Dekker. New York.

213 | Pengaruh pemberian suplementasi sakura blok plus terhadap kualitas… (Soetrisno et al., 2019)
Widiastuti, R., dan R. Firmansyah. 2005. pemakaian Urea Molasis Block dalam
Cemaran Zearalenon dan pakan ransum sapi perah. Prosiding
Deoksinivalenol pada Pakan Sapi dan Seminar Pengembangan Peternakan
Babi. Seminar Nasional Teknologi Pedesaan. Fakultas Peternakan,
Peternakan dan Veteriner. Balai Universitas Jendral Soedirman.
Penelitian Veteriner. Bogor. Purwokerto.
Yusran, H.A., A. Musofie dan K. Ma’sum.
1988. Evaluasi nilai ekomomi

Jurnal Sain Peternakan Indonesia 14 (2) 2019 Edisi April-Juni | 214

Anda mungkin juga menyukai