Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar
2.1.1 Pengertian Belajar
Sejarah perkembangan pendidikan manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya pradigma pembelajaran telah mengalami banyak perubahan dan
perkembangan, terutama dalam kaitan dengan cara anak didik sebagai komponen
utama kegiatan pembelajaran. Selama ini siswa ditempatkan sebagai objek
pembelajaran yang hanya menerima apa saja yang diajarkan kepadanya, ibarat
kertas putih yang dapat ditulisi apa saja yang diinginkan penulisnya atau tong
kosong yang dapat diisi apapun yang diinginkan pengisinya. Konstruktivisme
berpandangan bahwa belajar bukanlah semata-mata mentransfer pengetahuan
yang ada di luar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana otak memproses dan
menginterprestasikan pengalaman yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya dalam format yang baru (Wahab, 2015).
Pendidikan adalah sebagai sebuah proses dengan motedo-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku
yang sesuai dengan kebutuhan. Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan dan kepribadian individu melalui proses atau kegiatan tertentu
(pengajaran, bimbingan, latihan serta ada interaksi antara individu dengan
lingkungan untuk mencapai usaha seutuhnya. Pada hakekatnya, belajar adalah
suatu proses perubahan yang sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidupnya (Syah,
2010).
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan nyata dalam aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,
2010).
Sardiman (2011) menyebutkan beberapa defenisi tentang belajar, antara lain
dapat diuraikan diantaranya: (1) Cronbach memberikan definisi: Belajar

11
12

merupakan perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman, (2) Harold Spears
memberikan batasan : Belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba
sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti arah, dan (3) Geoch, Mengatakan :
Belajar adalah perubahan dalam kinerja sebagai hasil dari praktek.
Dari definisi-definisi diatas, maka dapat diterangkan bahwa belajar itu
senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan
serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan
meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik, kalau si subjek
belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar
merupakan suatu sadar individu untuk mencapai tujuan peningkatan diri atau
perubahan diri melalui latihan-latihan dan pengulangan-pengulangan dan
perubahan yang terjadi bukan karena peristiwa kebetulan. Belajar adalah proses
interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya untuk mengubah tingkah laku
seseorang agar dapat memperoleh pemahaman-pemahaman misalnya dengan
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya sehingga
tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-
masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
2.1.2 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Jihad (2013) hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak
setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari
seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku
yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional,
biasanya guru menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar
adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan
instruksional.
Menurut Benyamin S. Bloom Inti dari pembelajaran adalah interaksi dan
tiga ranah (domain) hasil belajar yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Menurut A.J. Romizowski hasil belajar merupakan keluaran (output) dari suatu
sistem pemroresan masukan (input).
Dapat kita simpulkan bahwa hasil belajar pencapaian bentuk perubahan
perilaku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris
dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu. Selanjutnya, Benyamin
13

S.Bloom berpendapat bahwa hasil belajar dapat dikelompokkan ke dalam dua


macam yaitu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan terdiri dari empat
kategori yaitu (1) pengetahuan tentang fakta, (2) pengetahuan tentang prosedural,
(3) pengetahuan tentang konsep, dan (4) pengetahuan tentang prinsip.
Keterampilan juga terdiri dari empat kategori yaitu (1) keterampilan untuk
berpikir atau keterampilan kognitif, (2) keterampilan untuk bertindak atau
keterampilan motorik, (3) keterampilan bereaksi atau bersikap, dan (4)
keterampilan berinteraksi. Untuk memperoleh hasil belajar, dilakukan evaluasi
atau penilaian yang merupakan tindak lanjut atau cara untuk mengukur tingkat
penguasaan siswa. Kemajuan prestasi belajar siswa tidak saja diukur dari tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sikap dan keterampilan. Dengan
demikian penilaian hasil belajar siswa mencakup segala hal yang dipelajari di
sekolah, baik itu menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat
dari kegiatan belajar yang dilakukannya (Jihad, 2013). Menurut Hamalik hasil-
hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, dan
sikap-sikap, serta apersepsi dan abilitas. Dari kedua pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa
secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan
pengajaran.
Setelah melalui proses belajar maka siswa diharapkan dapat mencapai tujuan
belajar yang disebut juga hasil belajar yaitu kemampuan yang dimiliki siswa
setelah menjalani proses belajar. Menurut Sudjana dalam (Jihad, 2013), hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya.
Merujuk pemikiran Gagne dalam (Sutikno, 2013) menyebutkan lima macam
hasil belajar, yaitu : (1) Keterampilan intelektual atau keterampilan prosedural
yang mencakup belajar konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang
kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan oleh guru di sekolah, (2)
Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru
dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam
memperhatikan, mengingat, dan berpikir, (3) Informasi verbal, yaitu kemampuan
14

untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur


informasi-informasi yang relevan, (4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan
untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan
dengan otot, dan (5) Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi
tingkah laku seseorang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor
intelektual.
2.1.3 Kesulitan Belajar
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukan oleh The United States
Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikutip oleh Hallahan,
Kauffman, dan Lioyd (1985) yaitu suatu gangguan dalam satu atau lebih dari
proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa
ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk
kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau
berhitung (Abdurrahman, 2003).
Menurut Djamarah (2002), bahwa gangguan yang menyebabkan seseorang
kesulitan belajar adalah dapat berupa sindrom psikologis yang dapat berupa
ketidakmampuan belajar (learning disability). Sindrom berarti gejala yang muncul
sebagai indikator adanya ketidaknormalan psikis yang menimbulkan kesulitan
belajar anak.
Menurut Abdurrahman (2003), kesulitan belajar merupakan masalah yang
nyaris dialami oleh semua siswa. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu
kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai dengan adanya hambatan-
hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis,
sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Ahmadi dan Supriyono (2004) mengatakan setiap individu memang tidak
ada yang sama. Perbedaan individual ini pulalah yang menyebabkan perbedaan
tingkah laku belajar di kalangan anak didik. Dalam keadaan dimana anak didik
tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan
belajar. Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang
rendah (kelainan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor
15

non-intelegensi. Dengan begitu, IQ yang tinggi belum tentu menjamin


keberhasilan belajar.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada
umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata,
sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang
terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori di luar rata-rata itu
(sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk
berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah yang
disebut kesulitan belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa
berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan
tinggi (Syah, 2012).
2.1.3.1 Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal.
Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal
yaitu kemungkinan adanya disfungsi naurologis, sedangkan penyebab utama
problema belajar (learning problems) adalah faktor eksternal yaitu antara lain
berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak dan pemberian ulangan penguatan
(reinforcement) yang tidak tepat (Abdurrahman, 2003).
Syah (2012), mengatakan fenomena kesulitan belajar seorang siswa
biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Namun, kesulitan belajar juga dapat dibutikan dengan munculnya kelainan
perilaku (misbehavior) siswa seperti suka berteriak-teriak di dalam kelas,
mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari
sekolah. Selanjutnya dikemukan lebih jauh oleh Slameto (2010) faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu faktor
intern dan ekstern. Faktor intern terdiri dari faktor jasmaniah berupa kesehatan,
bakat, minat, motuvasi, dan intekegensi. Sedangkan faktor ektern meliputi
bagaimana cara orangtua mendidik, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,
faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum yang dipakai, alat
pelajaran, dan sebagainya.
16

2.2 Model Pembelajaran


Model-model pembelajaran sendiri biasanya disusun berdasarkan berbagai
prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran
berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, sosiologis
analisis system, atau teori-teori yang mendukung (Rusman, 2013). Model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu,dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran
dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Model
pembelajaran dapat dijadikan pola plihan, artinya para guru boleh memilih model
pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikanya.
(Trianto, 2011).
2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang
dalam pelaksanaannya mengedepankan manfaat kelompok-kelompok peserta
didik. Menurut Robert E. Slavin (2010), “Pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran dimana peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-5 orang dengan struktur
kelompok heterogen”. Menurut Trianto (2009) menyatakan “bahwa dalam belajar
kooperatif peserta didik belajar bersama sebagai satu tim dalam menyelesaikan
tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama”. Menurut Isjoni (2010)
menyatakan “pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan belajar peserta didik
dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial”. Pembelajaran
koperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari
konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang
sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja
dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang
kompleks. Jadi hakekat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek
utama dalam pembelajaran koperatif.
Model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
mengutamakan adanya kerjasama, yaitu kerjasama kelompok untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Adapun beberapa tipe pembelajaran kooperatif diantaranya
17

adalah STAD (Student Team Achievement Division), Jigsaw, TAI (Team


Accelerated Instruction), TGT (Team Games Turnamen), NHT (Numbered Heads
Together).
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagan
(1993) untuk melibatkan lebih banyak peserta didik dalam menelaah materi yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi
pelajaran tersebut. Menurut Miftahul Huda (2012) “Pada umumnya NHT
digunakan untuk melibatkan peserta didik dalam penguatan pemahaman
pembelajaran atau mengetahui pemahaman peserta didik terhadap materi
pembelajaran”.
2.2.2 Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengutamakan kerjasama di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif memiliki tujuan sebagai berikut (1) Untuk
menuntaskan materi belajar, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif. (2)
Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan
rendah. (3) Jika dalam kelas, terdapat siswa-siswa terdiri dari beberapa ras,
budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda maka diupayakan agar dalam tiap
kelompok terdiri dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda pula. (4)
Penghargaan lebih diutamakan pada kelompok daripada perorangan.
2.2.3 Tahap-Tahap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Langkah-langkah metode pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan
strategi yang menempatkan peserta didik belajar dalam kelompok (4-5) orang
dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda-
beda. Dalam belajar kelompok masing-masing anak diberi nomor pin, setelah
mereka selesai berdiskusi dalam menjawab pertanyaan guru, guru akan
memanggil salah satu nomor dan peserta didik yang disebutkan nomornya oleh
guru harus mewakili masing-masing kelompoknya untuk menyampaikan hasil
diskusi kepada semua temannya. Oleh karena itu, dengan metode NHT ini peserta
didik lebih aktif karena mereka semua harus benar-benar siap dalam menjawab
pertanyaan, karena mereka belum tahu siapa yang kan mewakili setiap kelompok
untuk mempresentasikan hasil diskusinya tersebut.
18

Menurut Miftahul Huda (2012), langkah-langkah yang dilakukan dalam


penerapan metode pembelajaran Kooperatif tipe NHT yaitu: (1) Guru
menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada peserta didik
sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai, (2) Guru memberikan kuis secara
individual kepada peserta didik untuk mendapatkan skor dasar atau awal, (3) Guru
membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5
peserta didik, setiap anggota kelompok diberi nomor pin, (4) Guru mengajukan
permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok, (5) Guru mengecek
pemahaman peserta didik dengan memanggil salah satu nomor anggota kelompok
untuk menjawab. Jawaban salah satu peserta didik yang ditunjuk oleh guru
merupakan wakil jawaban dari kelompok, (6) Guru memfasilitasi peserta didik
dalam membuat rangkuman, mengarahkan dan memberikan pebegasan pada akhir
pembelajaran, (7) Guru memberikan tes/kuis kepada peserta didik seecara
individual, dan (8) Guru memberikan penghargaan kepada kelompok melalui
penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individu dari
skor dasar ke skor kuis berikutnya.
NHT atau penomoran bersama merupakan jenis pembelajaran kooperatif
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif
terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Heads Together pertama kali
dikembangkan Spencer Kagan (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam
memahami materi yang tercakup dalam suatu pembelajaran dan mengetahui
pemahaman siswa terhadap isi pelajaran tersebut.

Tabel 2.1. Langkah-langkah pembelajaran Kooperatif Tipe NHT


Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1 Guru membagi peserta didik kedalam kelompok
Penomoran 4-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok
diberi nomor antara 1-5.
Fase 2 Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada
Pengajukan pertanyaan peserta didik. Pertanyaan dapat bervariasi.
Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk
kalimat tanya.
Fase 3 Peserta didik menyatukan pendapatnya terhadap
Berpikir bersama jawaban pertanyaan dan meyakinkan tiap anggota
dalam timnya mengetahui jawaban itu.
19

Fase 4 Menjawab Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian


peserta didik yang nomornya sesuai
mengacungkan tangannya dan mencoba untuk
menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
(Trianto, 2009).
Penghargaan atas keberhasilan kelompok dapat dilakukan guru dengan
melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Skor perkembangan individu
dalam satu kelompok dapat dilihat dari niali tes hasil belajarnya, apakah nilai tes
hasil belajar terkini mereka menyamai atau melampui nilai awal mereka. Besar
poin yang disumbangkan tiap individu kedalam kelompoknya ditentukan oleh
berapa nilai yang melampaui nilai awalnya. Siswa tidak mendapat skor
perkemabangan apabila nilai tes yang diperoleh siswa lebih dari 10 poin dibawah
skor awal. Apabila nilai tes yang diperoleh siswa 1 – 10 poin dibawah skor awal
maka siswa mendapat skor perkembangan 10 poin, apabila nilai tes yang
diperoleh siswa 0 – 10 poin diatas skor awal maka siswa mendapat skor
perkembangan sebanyak 20 poin sedangkan siswa yang nilai tesnya lebih dari 10
poin diatas skor awal maka mendapat skor perkembangan sebanyak 30 poin. Poin-
poin yang diperoleh tersebut akan digunakan dalam menghitung skor
perkembangan kelompok. (2) Selanjutnya skor perkembangan kelompok. Tiga
macam tingkatan penghargaan dapat diberikan disini. Ketiganya didasarkan pada
rata-rata skor tim, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Penghargaan Tim

Kriteria (Rata-rata Tim) Penghargaan


15 Tim Baik
16 Tim Sangat Baik
17 Tim Super

Kriteria ini merupakan suatu rangkaian sehingga untuk menjadi Tim Sangat
Baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor diatas skor awal mereka,
dan untuk menjadi Tim Super sebagian besar anggota tim harus memiliki skor
setidaknya sepuluh poin diatas skor dasar mereka (Slavin, 2005).
20

2.3 Aktivitas Belajar


Asas aktivitas belajar digunakan dalam semua jenis metode mengajar, baik
metode dalam kelas maupun metode mengajar di luar kelas. Hanya saja
penggunaannya di laksanakan dalam bentuk yang berlain-lainan sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai dan disesuaikan pula pada orientasi sekolah yang
menggunakan jenis kegiatan itu.
Richard Schmuck dan Patricia Schmuck, mengembangkan kerangka yang
sedikit berbeda dalam memandang kelas. Duo Schmuck mengidentifikasi enam
proses kelompok yang ketika saling berhubungan satu sama lain menghasilkan
komunitas kelas yang positif, yaitu : (1) Komunikasi. Sebagian besar interaksi
kelas dicirikan oleh komunikasi verbal dan nonverbal dan ini merupakan proses
timbal balik, (2) Persahabatan dan Kepaduan. Proses ini meliputi seberapa banyak
orang-orang di dalam kelas menghormati dan menghargai satu sama lain dan
bagaimana pola-pola persahabatan dalam kelas memengaruhi iklim dan
pembelajaran, (3) Harapan-harapan. Dalam kelas, orang memiliki harapan untuk
satu sama lain dan juga untuk diri mereka sendiri, (4) Norma-norma. Norma
merupakan harapan-harapan bersama siswa dan guru mengenai perilaku kelas, (5)
Kepemimpinan. Proses ini mengacu pada cara kekuatan dan pengaruh yang
diberikan dalam ruang kelas dan dampaknya pada interaksi serta kepaduan
kelompok, dan (6) Konflik. Konflik ada dalam semua konteks manusia, dan kelas
juga tanpa pengecualian.

Tabel 2.3 Aktivitas Siswa Pada Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT

Sintaks NHT
(Numbered
Aktivitas / Deskriptor Penilaian
Head
Together)
Fase I 1. Menyimak penjelasan guru 1 jika deskriptor tidak tampak
Penomoran 2. Mendengar arahan guru 2 jika deskripot mulai tampak
3. Bergabung dengan kelompok 3 jika deskriptor tampak
Fase II 1. Berdiskusi dengan kelompok 1 jika deskriptor tidak tampak
Pengajuan 2. Mencari jawaban dari 2 jika deskripot mulai tampak
Pertanyaan Pertanyaan yang diberi guru 3 jika deskriptor tampak
Bersama kelompok
3. Mencari informasi dari buku
Pelajaran
21

Fase III 1. Melakukan percobaan 1 jika deskriptor tidak tampak


Berpikir 2. Merancang alat dan bahan 2 jika deskripot mulai tampak
Bersama praktikum 3 jika deskriptor tampak
3. Mengambil data hasil
praktikum
4. Membuat kesimpulan hasil
Praktkum
Fase IV 1. Menjawab pertanyaan 1 jika deskriptor tidak tampak
Menjawab 2. Mendengar jawaban teman 2 jika deskripot mulai tampak
3. Mendengar penjelasan guru 3 jika deskriptor tampak

Proses interpersonal dan kelompok yang membantu peserta kelas


berhubungan dengan masalah-masalah harapan, kepemimpinan, daya tarik,
norma, komunikasi, dan kepaduan merupakan unsur-unsur penting dalam
mengembangkan komunitas pembelajaran yang produktif (Arends, 2013).

2.4 Materi Elastisitas dan Hukum Hooke


2.4.1 Elastisitas
Sifat elastis atau elastisitas adalah kemampuan suatu benda untuk kembali
ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar yang diberikan kepada benda itu
dihilangkan (dibebaskan). Pegas dan karet adalah contoh benda yang bersifat
elastis karena pegas dan karet mampu kembali ke bentuk awalnya ketika pegas
dan karet diberi gaya luar yang diberikan
kepadanya dihilamgkan.

Gambar 2.1 Pegas


Beberapa benda, seperti tanah liat (lempung), adonan tepung kue, dan lilin
mainan (plastisin) tidak segera kembali kebentuk awalnya setelah gaya luar
dihilangkan. Benda-benda seperti itu disebut benda tak elastis atau benda plastis.
Pemberian gaya tekan (pemampatan) dan gaya tarik (penarikan) bias mengubah
bentuk suatu benda tegar. Jika suatu benda tegar diubah bentuknya (dideformasi)
22

sedikit, benda segera kembali ke bentuk awalnya ketika gaya tekan atau gaya tarik
ditiadakan. Jika benda tegar diubah bentuknya melampaui batas elastisnya, benda
tidak akan kembali ke bentuk awalnya ketika gaya ditiadakan, melainkan akan
berubah bentuk secara permanen.
Setiap benda memiliki batas elastisitasnya masing-masing. Bahkan, jika
perubahan bentuknya jauh melebihi batas elastisnya, benda akan patah. Karet
merupakan benda yang elastis dan karet memikiki batas elastisitas. Jika karet terus
ditarik melebihi batas elastisitasnya maka karet akan putus dan tidak mampu
kembali ke bentuk semula.
Sebagi contoh, sebuah mobil yang menabrak pohon pada kelajuan rendah
mungkin tidak rusak, tetapi pada kelajuan yang lebih tinggi, mobil bisa
mengalami kerusakan yang permanen dan pengemudinya bisa patah tulang.
Besaran-besaran yang berkaitan dengan elastisitas zat padat yang terjadi akibat
adanya gaya yang diberikan kepada suatu benda yaitu tegangan (stress), regangan
(strain), dan modulus elastisitas (modulus Young).
1. Tegangan
Tegangan adalah hasil bagi gaya antara gaya Tarik F yang dialami suatu
benda dengan luas penampang (A) tertentu. Tegangan juga didefinisikan sebagai
gaya yang bekerja pada benda tiap satu satuan waktu. Suatu benda mengalami
tegangan karena suatu benda berusaha mempertahankan keadaan awalnya.
Tegangan adalah besaran scalar yang memiliki satuan N/m2 atau Pascal (Pa).

Rumus tegangan yaitu : Tegangan = atau (2-1)

Keterangan :
σ = tegangan/stress (N/m2)
F = gaya (N)
A = luas penampang (m2)

Gambar 2.2 Seutas kawat dengan luas penampang


(A) ditarik dengan gaya (F)
2. Regangan
23

Regangan atau e didefenisikan sebagai hasil bagi antara pertambahan


panjang ΔL dengan panjang awal L. Regangan terjadi karena adanya gaya yang
bekerja pada suatu benda yang mengakibatkan benda tersebut mengalami
perubahan atau bertambah panjang dari semulanya sehingga mengalami regangan.
Gaya Tarik
yang terjadi
pada suatu
benda
berusaha meregangkan benda tersebut.

(a) (b)
Gambar 2.3 (a) Pegas yang mengalami regangan dan (b) Kawat yang
mengalami perubahan panjang.

Rumus regangan yaitu : e= (2-2)

Keterangan :
e = regangan (strain)
ΔL = perubahan panjang (m)
L0 = panjang mula-mula (m)

3. Grafik Tegangan
terhadap Regangan

Tegangan

Regangan
24

Gambar 2.4 Grafik tegangan terhadap regangan


Pada gambar 2.4 di atas menunujukkan variasi tegangan terhadap regangan
ketika suatu kawat atau suatu benda diberi gaya tarik hingga kawat atau benda
tersebut patah. Grafik yang menunjukkan daerah elastis sampai batas elastis
mengalami deformasi. Ini berarti jika gaya yang kita berikan dihilangkan, benda
atau kawat tersebut masih mampu kembali ke bentuk awalnya. Dalam daerah
diantara elastis dan batas elastisitas disebut batas Hukum Hooke sehingga berlaku
Hukum Hooke.
Daerah plastis merupakan daerah yang membuat suatu benda atau kawat
tidak bisa kembali ke bentuk semula walaupun gaya yang diberikan kepadanya
dihilangkan. Kawat akan mengalami deformasi permanen karena kawat tersebut
ditarik melampaui batas elastisitasnya sehingga kawat tidak mampu kembali
kebentuk awalnya. Jika suatu kawat terus ditarik sampai kepanjangan tertentu
sampai titik patah maka suatu kawat atau suatu benda akan patah.
4. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas suatu bahan didefinisikan sebagai
perbandingan antara tegangan dan regangan yang dialami
bahan atau suatu benda. Adapun persamaan modulus
elastisitas adalah :

Modulus elastisitas = Atau

E= (2-3)

Modulus elastis juga disebut Modulus Young (diberi lambing Y) untuk


menghargai Thomas Young.
25

Gambar 2.5 Thomas Young (1773 – 1829), fisikawan yang termasuk


memperkenalkan modulus elastis. Ia paing dikenal karena kerjanya di
bidang optik.
Jika kita substitusikan tegangan σ = F/A dan regangan e = ΔL/L0 ke dalam
persamaan (2-3), maka diperoleh hubungan antara gaya tarik F dengan modulus
elastis E.

(2-4)

Modulus elastis bergantung hanya pada jenis zat dan tidak pada ukuran atau
bentuknya seperti tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Modulus Elastis Berbagai Zat
Zat Modulus Elastis E
(N/m2)
Besi 100 x 109
Baja 200 x 109
Perunggu 100 x 109
Aluminium 70 x 109
Beton 20 x 109
Batu bara 14 x 109
Marmer 50 x 109
Granit 45 x 109
Kayu 10 x 109
Nilon 5 x 109
Tulang muda 15 x 109

2.4.2 Hukum Hooke


Hukum Hooke pertama kali dikemukan oleh Robert
Hooke. Robert Hooke mengamati sebuah pegas yang apabila diberi beban pegas
akan bertambah panjang. Adapun bunyi Hukum Hooke adalah :
Jika gaya tarik tidak melampaui batas elastis pegas, pertambahan panjang
pegas berbanding lurus (sebanding) dengan gaya tariknya.

Gambar 2.6 Pegas yang mengalami pertambahan


26

panjang setelah diberi beban.


Dari gambar dapat disimpulkan jika semakin besar beban yang diberi
kepada pegas, maka pegas juga akan bertambah panjang. Perubahan panjang
pegas sebanding dengan besar beban yang diberikan kepada pegas. Pada saat
pegas digantungi beban F, pegas bertambah panjang x. selanjutnya pegas
digantungi beban 2F, pegas bertambah panjang 2x, dan seterusnya. Apabila dibuat
grafik hubungan beban dengan pertambahan panjang pegas, grafik tersebut adalah
garis lurus. Akibatnya diperoleh hubungan :
F x atau F = - kx (2-5)

2.4.2.1 Tetapan Gaya Benda Elastis


Kita telah memahami tetapan kaya k dari pegas yang muncul pada hukum
Hooke (persamaan (2-5)). Tetapan gaya k adalah tetapan umum yang berlaku
untuk benda elastis jika diberi tidak melampaui titik batas hukum Hooke seperti
pada gambar (2-4). Gaya tarik F yang dikerjakan pada benda padat dinayatakan
dengan persamaan (2-4), yaitu :

Jika persamaan di atas kita olah hingga di ruas kiri hanya terdapat gaya tarik F,
dan persamaan tersebut kita identikkan dengan Hukum Hooke persamaan (2-5),
kita peroleh rumus umum untuk menghitung tetapan gaya k suatu benda elastis.

dari persamaan (2-4)

dari persamaan (2-5)


dengan
Dengan menyamakan ruas kanan kedua persamaan di atas, kita peroleh rumus
umum tetapan gaya k untuk suatu benda elastis, yaitu:

(2-6)

Dengan E adalah modulus elastis bahan (N/m2), L adalah panjang bebas benda
(panjang benda tanpa ditarik), dan A adalah luas penampang (m2).
2.4.2.2 Hukum Hooke untuk Susunan Pegas
a. Susunan Seri Pegas
27

Gambar 2.7 Dua buah pegas yang disusun secara seri


Dari gambar di atas terdapat dua pegas yang disusun secara seri yaitu pegas
pertama dengan tetapan k1, dan pegas yang kedua dengan tetapan k2 diberi beban
sehingga pegas mengalami perubahan panjang dengan masing-masing tetapan
pegas yaitu k1 dan k2. Kedua pegas tersebut dapat diserikan yang memenuhi:

atau (2-7)

Gaya tarik yang dialami tiap pegas yang disusun secara seri adalah sama
besar dangaya tarik ini sama dengan gaya tarik yang dialami pegas pengganti.
Misalkan, gaya tarik yang dialami tiap pegas adalah F1 dan F2 maka gaya tarik
pada pegas pengganti adalah F.
(2-8)
Pertambahan panjang pegas pengganti seri Δx sama dengan total pertambahan
panjang tiap-tiap pegas.

(2-9)
Untuk membuktikan persamaan (2- 7), dengan memasukkan nilai Δx,
Δx1, dan Δx2 di atas ke dalam persamaan (2-9), kita peroleh :

b. Susunan Pararel Pegas


Prinsip susunan pararel pada pegas adalah jika gaya tarik
pada pegas pengganti F sama dengan total gaya tarik pada
setiap pegas (F1 dan F2).
(2-10)
28

Gambar 2.8 Dua buah pegas yang disusun pararel


2.5 Kerangka Konseptual
Keberhasilan siswa dalam menguasai suatu materi pelajaran dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam siswa seperti motivasi yang kuat sedangkan faktor
eksternal adalah faktor lingkungan luar, salah satunya adalah ketepatan guru
dalam menjalankan pembelajaran.
Model yang digunakan seorang guru sangat mempengaruhi keberhasilan
siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Untuk itulah diharapkan guru
mampu memilih dan menerapkan model pembelajaran yang tepat. Penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT diharapkan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih menekankan kepada kerja
sama kelompok dan bagaimana membentuk rasa tanggung jawab individu
terhadap keberhasilan kelompok tersebut. Tujuan yang dicapai tidak hanya
keberhasilan akademik dan pencapaian pemahaman bahan yang diajarkan oleh
guru melainkan kerjasama dan solidaritas dalam kelompok. Dengan demikian
minat belajar fisika siswa menjadi lebih baik sehingga nilai fisikanya memuaskan.
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka konseptual
maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Hipotesis 1: Hasil belajar fisika siswa dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) pada materi
Elastisitas Zat Padat dan Hukum berbantuan media PhET di kelas
XI IPA semester Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019 SMAN 13
Medan mengalami peningkatan.
Hipotesis 2: Hasil belajar fisika siswa dengan menerapkan pembelajaran
konvensional pada materi Elastisitas Zat Padat dan Hukum
berbantuan media PhET di kelas XI IPA semester Ganjil Tahun
29

Ajaran 2018/2019 SMAN 13 Medan sedikit mengalami


peningkatan.
Hipotesis 3: Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar fisika
siswa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Numbered Head Together) pada materi Elastisitas Zat Padat
dan Hukum berbantuan media PhET di kelas XI IPA semester
Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019 SMAN 13 Medan.

Anda mungkin juga menyukai