Oleh
Tri Purna Gumelar
2281011031
Komodifikasi tidak hanya berlaku sebatas seni dan budaya yang kemudian diproduksi dan
dikonsumsi saja, tetapi jasa penyedia termasuk amenitas dan aksesibilitas juga termasuk ke dalam
komodifikasi. Dapat dilihat Canggu dan Ubud sebagai pariwisata alternatif yang kemudian mendorong
secara distorsi untuk mengubah desanya menjadi daya Tarik wisata yang sesuai dengan gaya hidup
wisatawan mancanegara, semakin banyaknya wisatawan yang memenuhi daerah ini, tetapi tidak
dibarengi dengan penguatan tata Kelola daerah yang disesuaikan dengan masifnya kegiatan
kepariwisataan ini. Tentu yang terjadi adalah kemacetan, kebisingan, lahan tanah yang diakuisisi bule,
kekurangan air bersih dan masalah lingkungan lainnya. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dan
dimaknai sebagai “alarm” untuk stakeholder bisa bekerja sama untuk menyeimbangkan efek negatif
dari datangnya wisatawan yang menuju ke daerah tersebut. Satu sisi tentu saja bukan suatu yang keliru
melakukan komodifikasi, karena seni seperti juga produk kehidupan lainnya, seni atau kesenian selalu
memiliki dua dimensi, yaitu nilai guna (use values) dan nilai tukar (exchange values). Seni budaya
adalah hasil budi daya manusia yang sudah sewajarnya tidak sebatas untuk dinikmati secara imajinatif,
tetapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.
Dengan demikian dari kedua teori ini, dapat dimaknai sebagai batu loncatan sebagai kausalitas
dari komodifikasi budaya, untuk bisa menyeimbangi konsumsi dari wisatawan mancanegara yang
semakin radikal. Merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan 5/2017 dan Perda 4/2020 tentang
Pemajuan Kebudayaan Bali di mana pemanfaatan budaya bukanlah sesuatu yang tabu, sepanjang tiga
aspek lainnya, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pembinaan terhadapnya sudah dilaksanakan
mendahului atau berjalan serentak dan seimbang dengan pemanfaatannya. Bagaimana pun juga di Bali
budaya dan pariwisata tidak lagi bisa dipisahkan karena keduanya saling membentuk. Seperti kata
Picard dalam buku Bali: Cultural tourism and touristic culture bahwa promosi pariwisata budaya telah
membuat orang Bali sadar akan memiliki kebudayaan (1996:198). Tindakan dan regulasi yang tepat
dari antar aktor seperti pergelaran PKB contohnya, menjadi cara untuk bisa mewadahi masifnya
perkembangan pariwisata di Bali. Jauh lebih dalam pariwisata budaya yang berlandas pada sosio-
ekonomi-budaya tidak hanya berfokus pada pertumbuhan secara kontemporer, tetapi didorong untuk
terus berkelanjutan yang tidak hanya bermanfaat secara sosial-ekonomi bagi masyarakat, tetapi atensi
penting terhadap tatanan ekologis lingkungan dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas.