Anda di halaman 1dari 3

KAPITA SELEKTA

PARADIGMA KOMODIFIKASI BUDAYA PADA PERKEMBANGAN PARIWISATA


KONTEMPORER DI BALI TERHADAP TATANAN MORAL ETIS SOSIO-
EKONOMI-BUDAYA

Oleh
Tri Purna Gumelar
2281011031

PROGRAM STUDI MAGISTER PARIWISATA


FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
Setelah melihat video tersebut, penulis melihat pariwisata Bali sejak diperkenalkan sebagai
daya tarik wisata budaya, Bali selalu diimajinasikan, dikemas, dan disajikan sebagai daya tarik wisata
yang memiliki kekayaan dan keunikan seni budaya sebagai esensi dari pariwisata budaya. Selain daya
tarik seni budaya, keramahtamahan penduduk sebagai kebiasaan hidup masyarakat ikut mendukung
keunikan pariwisata budaya Bali. Dalam pariwisata kontemporer, penulis mencoba melihat kasus
wisatawan nomade dengan durasi tinggal yang cukup lama, secara masif dan konsisten sukses
memenuhi wilayah yang dulunya desa menjadi daya tarik wisata alternatif, seperti yang ada pada
video yaitu Canggu dan Ubud. Wisatawan kerap membawa cara hidup mereka yang kemudian
dipraktekkan di daerah tersebut, tentunya hal tersebut dalam tatanan sosio-budaya cukup memberikan
dampak. Indikasi dimulai dari kurs mata uang Indonesia yang lebih lemah dibanding negara
wisatawan, membuat wisatawan dengan mudah mendapatkan hal yang lebih “baik” dan “murah”
negara mereka sebelumnya, walaupun sebenarnya hal tersebut sangatlah legal. Dalam beberapa
pandangan bahwa seni budaya di tekan lebih “murah” untuk bisa menarik minat wisatawan, padahal
hal tersebut syarat akan historis, filosofis dan estetika. Kemudian cara hidup wisatawan juga
mempengaruhi permintaan dari pasar, yang kemudian penyedia internal, seperti masyarakat,
pengusaha dan pemerintah mencoba untuk “berinovasi”. Dalam hal ini biasa disebut dengan
komodifikasi.

Menurut The Oxford English Dictionary (1989) Komodifikasi didefinisikan sebagai


‘tindakan’ mengubah sesuatu menjadi, atau menjadikan sesuatu sebagai, (sekadar) komoditas;
komersialisasi suatu kegiatan, dan sebagainya, yang tidak bersifat komersial’ (Kitiarsa, 2007:6).
Bentuk komersialisasi inilah yang kemudian menjadi kontradiktif dari berbagai kalangan. Dalam
ekonomi global baru, komodifikasi budaya telah menjadi isu sentral bagi pengembangan pariwisata,
menurut Greenwood (1989) pertunjukan tersebut tidak lagi menjadi milik para pelaku saja, melainkan
menjadi tontonan bagi pihak luar. Ditambahkannya, pertunjukan tersebut dikomodifikasi dan dianggap
sebagai objek yang diminiaturkan dengan membuat pertunjukan menjadi lebih singkat dan variatif
untuk menarik wisatawan. Hal tersebut sejalan dengan landasan kekhawatiran akan terjadinya
komersialisasi berlebihan atas seni dan budaya, sesuatu yang sudah dikhawatirkan Spies dan Bonnet
tahun 1920-an/1930-an dengan berusaha menyelamatkan seni budaya Bali agar jangan sampai merosot
mutunya atau diabadikan sepenuhnya untuk komersial atau komoditisasi.

Komodifikasi tidak hanya berlaku sebatas seni dan budaya yang kemudian diproduksi dan
dikonsumsi saja, tetapi jasa penyedia termasuk amenitas dan aksesibilitas juga termasuk ke dalam
komodifikasi. Dapat dilihat Canggu dan Ubud sebagai pariwisata alternatif yang kemudian mendorong
secara distorsi untuk mengubah desanya menjadi daya Tarik wisata yang sesuai dengan gaya hidup
wisatawan mancanegara, semakin banyaknya wisatawan yang memenuhi daerah ini, tetapi tidak
dibarengi dengan penguatan tata Kelola daerah yang disesuaikan dengan masifnya kegiatan
kepariwisataan ini. Tentu yang terjadi adalah kemacetan, kebisingan, lahan tanah yang diakuisisi bule,
kekurangan air bersih dan masalah lingkungan lainnya. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dan
dimaknai sebagai “alarm” untuk stakeholder bisa bekerja sama untuk menyeimbangkan efek negatif
dari datangnya wisatawan yang menuju ke daerah tersebut. Satu sisi tentu saja bukan suatu yang keliru
melakukan komodifikasi, karena seni seperti juga produk kehidupan lainnya, seni atau kesenian selalu
memiliki dua dimensi, yaitu nilai guna (use values) dan nilai tukar (exchange values). Seni budaya
adalah hasil budi daya manusia yang sudah sewajarnya tidak sebatas untuk dinikmati secara imajinatif,
tetapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.

perspektif sosio-ekonomi (Granovetter & Swedberg, 2019) disebut keterlekatan bahwa


kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari hubungan sosial dan kelembagaan yang ada dapat
digunakan bisa menyeimbangkan dampak negatif dari datangnya wisatawan. Komodifikasi budaya
tersebut membuka relasi baru antar aktor, seperti hubungan antar personal dan hubungan antar
lembaga pemerintah, sektor swasta, Pokdarwis, dan masyarakat Osing. Dengan hubungan yang kuat
ditemukan bahwa hubungan yang mengalami komodifikasi budaya adalah yang didorong oleh
kepentingan tertentu seperti keuntungan ekonomi, sehingga perluasan jejaring sosial bermanfaat bagi
masyarakat Bali untuk mendapatkan identitas budaya yang lebih kuat. Berkaitan dengan etika moral,
menggunakan utilitarianisme Bentham (1781). Konsep utilitarianisme menunjukkan kebahagiaan
sebagai konsekuensi dari aturan dalam masyarakat. Karena kebaikan menjadi sarana, maka secara
moral, ia setuju sebagai tujuan akhir. Namun, tujuan akhir dapat dikategorikan baik jika memiliki
kesenangan intrinsik dan tidak ada konsekuensi lebih lanjut. Suatu tujuan dianggap baik sejauh
keputusan itu dibuat berdasarkan pertimbangan kebahagiaan maksimum yang dapat diperoleh oleh
sebagian besar anggota masyarakat. Dengan masyarakat mendapatkan keuntungan dari sisi ekonomi
dengan berbagai pertimbangan dari keputusan umum, maka hal tersebut dianggap benar, demikian
pula dengan komodifikasi budaya terhadap tatanan sosio-budaya di Bali.

Dengan demikian dari kedua teori ini, dapat dimaknai sebagai batu loncatan sebagai kausalitas
dari komodifikasi budaya, untuk bisa menyeimbangi konsumsi dari wisatawan mancanegara yang
semakin radikal. Merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan 5/2017 dan Perda 4/2020 tentang
Pemajuan Kebudayaan Bali di mana pemanfaatan budaya bukanlah sesuatu yang tabu, sepanjang tiga
aspek lainnya, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pembinaan terhadapnya sudah dilaksanakan
mendahului atau berjalan serentak dan seimbang dengan pemanfaatannya. Bagaimana pun juga di Bali
budaya dan pariwisata tidak lagi bisa dipisahkan karena keduanya saling membentuk. Seperti kata
Picard dalam buku Bali: Cultural tourism and touristic culture bahwa promosi pariwisata budaya telah
membuat orang Bali sadar akan memiliki kebudayaan (1996:198). Tindakan dan regulasi yang tepat
dari antar aktor seperti pergelaran PKB contohnya, menjadi cara untuk bisa mewadahi masifnya
perkembangan pariwisata di Bali. Jauh lebih dalam pariwisata budaya yang berlandas pada sosio-
ekonomi-budaya tidak hanya berfokus pada pertumbuhan secara kontemporer, tetapi didorong untuk
terus berkelanjutan yang tidak hanya bermanfaat secara sosial-ekonomi bagi masyarakat, tetapi atensi
penting terhadap tatanan ekologis lingkungan dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai