Anda di halaman 1dari 38

PANCASILA DALAM LINTASAN

SEJARAH BANGSA

KELOMPOK 1
NAMA KELOMPOK :
ADISTRY S. ROSMAN
AGUSTINA W. J. PANUL
ANGELA J. B. TANGGU
ANJELY C. L. GANG
APRILIAN BHARA RAPA
ARNELITHA KABNANI

D-III FARMASI POLTEKKES KEMENKES KUPANG


TAHUN 2022
PANCASILA DALAM LINTASAN SEJARAH
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjalanan hidup suatu bangsa sangat tergantung pada efektifitas


penyelenggaraan suatu negara. Pancasila sebagai dasar negara dalam mengatur
penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial-budaya, maupun pertahanan-keamanan. Berdasar pada latar
belakang historis yang sulit dibantah , bahwa 1 Juni 1945 yang disebut sebagai
lahirnya pancasila, Ir. Soekarno sebagai tokoh nasional yang menggali
Pancasila tidak pernah berbicara ataupun menulis tentang pancasila, baik dalam
sebagai pandangan hidup, atau apalagi sebagai dasar negara. Dalam pidatonya,
beliau menyebutkan atau menjelaskan bahwa gagasan tentang pancasila
tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam
sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat mengenai apa yang
akan dijadikan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk?

Lima dasar atau sila yang buliau ajukan itu dinamakan filosofische


grondslag yaitu nilai-nilai esensial yang terkandung dalam pancasila, yaitu:
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, dalam
kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya negara dan
bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak
zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV dan ke V
kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke
VII ketika timbulnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur dan lainnya.
Dasar-dasar pembentukan Nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang
kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh
pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada
sumpah pemuda pada tahun 1928.

B. Rumusan Masalah

1. Mengetahui pengertian Pancasila.


2. Mengetahui rumusan awal Pancasila.
3. Mengetahui rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta.
4. Mengetahui rumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945
5. Mengetahui proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara.

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Pancasila.


2. Untuk mengetahui rumusan awal Pancasila.
3. Untuk mengetahui rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta.
4. Untuk mengetahui rumusan Pancasila dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar 1945
5. Untuk mengetahui proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan buku ini adalah bisa digunakan sebagai sumber
informasi dan bahan bacaan dalam memahami sejarah munculnya dan
berkembangnya Pancasila sampai masa reformasi saat ini
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pancasila

Pancasila adalah landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi


ideologi tetap bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila
merupakan ideologi bagi negara Indonesia. Dalam hal ini Pancasila
dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Pancasila
merupakan kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang mementingkan
semua komponen dari Sabang sampai Merauke.

 Asal Mula Kata Pancasila

Secara etimologi kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta dari


India (bahasa kasta Brahmana) yaitu panca yang berarti “lima” dan sila yang
berarti “dasar”. Jadi secara harfiah, “Pancasila” dapat diartikan sebagai “lima
dasar”.

 Sejarah Istilah Pancasila

Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan


Majapahit dimana sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu sudah diterapkan
dalam kehidupan masyarakat maupun kerajaan meskipun sila-sila tersebut
belum dirumuskan secara konkrit. Menurut kitab Sutasoma karangan Mpu
Tantular, Pancasila berarti “berbatu sendi yang lima” atau “pelaksanaan
kesusilaan yang lima”.

 ZAMAN PRA SEJARAH


Ahli Geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi dalam
pertengahan Zaman Tersier, kira-kira 60 juta tahun silam. Baru pada Zaman
Quarter yang dimulai sekitar 600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh
manusia berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Berdasarkan artefak yang
mereka tinggalkan, mereka mengalami hidup tiga zaman yaitu: Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolitikum. Pada masa pra sejarah tersebut, sebenarnya inti dari
kehidupan mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu :

1. Nilai Religious
Adanya keyakinan terhadap pemujaan roh leluhur juga dan penempatan
menhir (kubur batu) di tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai
tempat roh leluhur, tempat yang penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia
manusia dan roh leluhur.

2. Nilai Perikemanusiaan
Tampak dalam perilaku kehidupan saat itu misalnya penghargaan terhadap
hakikat kemanusiaan yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi terhadap
manusia meskipun sudah meninggal.

3. Nilai Kesatuan
Adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun bahasa Austronesia,
sehingga muncul kesamaan dalam kosa kata dan kebudayaan. Hal ini sesuai
dengan teori perbandingan bahasa menurut H. Kern dan benda- benda
kebudayaan Pra Sejarah Von Heine Gildern.

4. Nilai Musyawarah
Kehidupan mereka berkelompok dalam desa-desa, klan, marga atau suku
yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih secara musyawarah
berdasarkan Primus Interpares (yang pertama diantara yang sama).

5. Nilai Keadilan Sosial


Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara gotong-royong berarti
masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola hidup foodgathering
menuju ke pola hidup foodproducing. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu
upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bersama sudah ada.

 ZAMAN KERAJAAN KUTAI

Menurut Ismaun, Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M,


dengan ditemukan prasasti yang berjumlah tujuh buah yang berbentuk yupa
(tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Raja
Mulawarman merupakan keturunan dari Raja Aswawarman dan keturunan dari
Raja Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan
kenduri dan memberikan kepada para Brahmana dan para Brahmana
membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih para Brahmana kepada Raja
Mulawarman yang sangat dermawan. (Kaelan, 2014 : 20).

Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya


dengan menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk
kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana.

Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan Raja ini
tampak dalam kerajaan yang muncil kemudian di pulau Jawa dan Sumatera.

 ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA


Pada abad ke- VII muncullah sebuah kerajaan di daerah Sumatera yaitu
kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat
dalam prasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang
Sumatera Selatan yang bertahun 605 Caka atau 683 M dalam bahasa Melayu
Kuno dan huruf Pallawa.
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an,
Kemanusiaan, Persatuan, Tata Pemerintahan atas dasar musyawarah dan
keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa
Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum
dirumuskan secara konkret. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya
unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit,
Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardji, 1974 : 22-
23).
Pada hakekatnya nilai-nilai  budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu :

         Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya  umat agama Budha dan
Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan  Sriwijaya terdapat
pusat kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
         Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India
(Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh
nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
         Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan
konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
         Nilai Sila Keempat,  Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat
luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
         Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan,
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

 ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman


keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah
Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk
menguasai nusantara. Pada waktu itu, agama Hindu dan Buddha hidup
berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca
menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah
“Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku
itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang
bunyi lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda namun satu jua adanya sebab tidak adanya agama yang
dimiliki Tuhan yang berbeda.

Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang


Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331,
yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut:
“Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh Nusantara
bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru,
Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan.”. (M.
Yamin, 1960 : 60).

Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu


agama Hindu dan Budhahidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca
menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah
“Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu
tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan
tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan
realitas beragama saat  itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan
Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk
agama Islam.

Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam


Wuruk dengan  baik dengan kerajaanTiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka
Satata”.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh
Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada
tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang
berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung,
Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).

Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat


yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti
Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat
semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I
Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong
royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah
untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang
dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita  fahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.

 ZAMAN PENJAJAHAN

Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad ke- XVI maka


berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan itu
berkembang pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan
mulailah berdatangan orang-orang Eropa di Nusantara,. Mereka itu antara lain
orang Portugis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin
mencari pusat tanaman rempah-rempah.

Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah


orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai
menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi
praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Pada akhir abad ke- XVI, bangsa Belanda datang juga ke Indonesia. Untuk
menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian mereka
mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni”.

Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya


mengadakan perlawananan dan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan
1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J. P. Coen
tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu.

Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian
kekuasaan kompeni. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital
berhasil juga dikuasai oleh Kompeni tahun 1667 dan timbullah perlawanan dari
rakyat Makasar di bawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Banten (Sultan
Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh Kompeni pada tahun 1684.
Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke-
XVII, nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan Kompeni pada saat
itu. Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis
yang kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke- XVII dan nampaknya
semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.

Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras untuk
memperkuat dan mengintensifkan kekuasaan di Indonesia. Melihat praktek-
praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat di
berbagai wilayah Nusantara, antara lain : Pattimura di Maluku (1817),
Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1837).
Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830), I Ketut Gusti Jelanntik,
Panglima Polim, Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam Perang Aceh (1860),
Anak Agung Made dalam Perang Lombok (1894-1895), Sisingamangaraja XII
di Tanah Batak (1900) dan masih banyak perlawanan lainnya.

Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem


monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan
beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa.

Soekarno pernah mengatakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.


Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu
“Sejarah merupakan guru kehidupan”.  Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka
tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang,
maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).

Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat


oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can
achieve greatness unless it believes in something, and unless that something
has moral dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang
dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menopang peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).

Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila


terus berjaya sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak
Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara,
maka ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan
yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).

 ZAMAN KEBANGKITAN NASIONAL

Pada abad ke- XX di panggung politik Internasional terjadilah pergolakan


kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatan sendiri. Partai
Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia
bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu Kebangkitan Nasional
(1908) dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan Nasional untuk mewujudkan
suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuasaannya
sendiri.

Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang
merupakan pergerakan Nasional, sehingga segera setelah itu muncullah
organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan
nasional itu antara lain : Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian
dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti
namanya menjadi Sarekat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S.
Cokroaminoto.

Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang di pimpin oleh Tiga


Serangkai yaitu : Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi
Suryaningrat (yang kemudian lebih di kenal dengan nama Ki Hajar
Dewantoro), Partai ini sejak awal menunjukkan keradikalannya, sehingga tidak
dapat berumur panjang karena pemimpinnya di buang di luar negeri (1913).
Dalam siuasi yang mengguncangkan itu muncullah Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada tahun 1927 yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto
Mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya. Perjuangan Nasional Indonesia di
titik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan Indonesia Merdeka. Tujuan
itu kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya
antara lain  Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, serta
tokoh-tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan Nasional kemudian
diikuti dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, satu bahasa,
satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat ini
pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan
kesadaran berbangsa.

Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti bentuknya


dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian golongan
Demokrat antara lain Moh. Hatta, dan St. Syahrir mendirikan PNI baru yaitu
Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan Kemerdekaan
Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

 ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI

Sebagai realisasi janji dari Pemerintahan Jepang maka pada hari ulang
tahun Kaisar Hirohito tanggal 29 April 1945 Jepang memberi semacam hadiah
ulang tahun kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kedua dari pemerintahan
Jepang berupa kemerdekaan tanpa syarat. Tindak lanjutnya, pada tanggal 29
Mei 1945 dibentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai.

Pada hari itu juga di umumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para
anggota sebagai berikut.
Ketua              : Dr. K.R.T. Radjiman
Wediodiningrat
Ketua Muda    : Itibangase
Ketua Muda    : R.P. Soeroso

 Enam puluh anggota biasa bangsa Indonesia tidak termasuk ketua dan
ketua muda dan mereka kebanyakan berasal dari Jawa, tetapi juga ada yang
berasal dari Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan beberapa peranakan Eropa, Cina,
dan Arab.

Sidang BPUPKI I dilakukan untuk menentukan dasar Negara Indonesia.


Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil untuk
berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut :

a. Mr. Muh Yamin (29 Mei 1945)


Dalam pidatonya 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengusulkan calon
rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut :
 Peri Kebangsaan
 Peri Kemanusiaan,
 Peri Ketuhanan,
Peri Kerakyatan (Permusyawaratan, Perwakilan, Kebijaksanaan)
 Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial).

b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)


Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori sebagai berikut.
 Teori negara perseorangan (Individualis).
 Paham negara kelas (Class Theory)
Paham negara Integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muler Hegel
(Abad ke- 18 dan 19).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia
Soepomo mengusulkan hal-hal mengenai kesatuan, kekeluargaan,
keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, keadilan rakyat.

c. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)


Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI I berikutnya adalah pidato dari
Ir. Soekarno yang disampaikan lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar
negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut.
 Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
 Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
 Mufakat (Demokrasi)
 Kesejahteraan Sosial
 Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)

Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat


negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan
dasar-dasar sebagai berikut: Sekarang banyaknya prinsip yaitu Kebangsaan,
Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan, dan Ketuhanan, lima bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal
dan abadi.
Oleh karena itu, ditetapkan pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari
lahir Pancasila.

Sidang BPUPKI kedua (10-16 Juni 1945)

Dalam sidang BPUPKI kedua ini pemakaian istilah hukum dasar diganti
dengan istilah Undang Undang Dasar. Keputusan penting dalam rapat ini
adalah tentang bentuk negara republik dan luas wilayah negara baru. Tujuan
anggota badan penyelidik adalah menghendaki Indonesia Raya yang
sesungguhnya, yang mempersatukan semua kepulauan Indonesia. Susunan
Undang Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas tiga bagian yaitu:
 Pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan dimuka dunia atas
Penjajahan Belanda
 Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila
 Pasal-pasal Undang Undang Dasar.

 ERA KEMERDEKAAN

Kemenangan sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa


Indonesia.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 Jendral Terauci memberikan tiga cap kepada
Ir. Soekarno yaitu:
 Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan, Moh.
Hatta sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai anggota.
 Panitia persiapan sudah mulai bekerja pada tanggal 9Agustus1945.
 Cepat atau tidak pekerjaan panitia diserahkan sepenuhnya oleh panitia.

Panitia persiapan kemerdekaan menyelenggarakan Undang Undang Dasar


Negara republik Indonesia dan memilih presiden dan wakil presiden yang pada
hakikatnya sebagai komite nasional memiliki sifat representatif, atau bersifat
perwakilan seluruh rakyat Indonesia. Panitia persiapan kemerdekaan Indonesia
merupakan badan bentukan Jepang, setelah Jepang jatuh badan berubah
menjadi badan nasional.

Era kemerdekaan dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada


tanggal 17 Agustus 1945.

Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan dapat mengandung pengertian


sebagai berikut.
 Dari sudut ilmu hukum proklamasi merupakan saat tidak berlakunya tertib
hukum kolonial, dan saat mulai berlakunya tertib hukum nasional.
 Secara politis ideologi proklamasi mengandung arti bahwa bangsa Indonesia
terbatas nasib sendiri dalam suatu Negara Proklamasi Republik Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda membuat


diamankannya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengas Dengklok agar tidak
dapat pengaruh dari Jepang. Setelah diadakan pertemuan di Pejambon Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 1945 diperoleh kepastian bahwa Proklamasi
kemerdekaan akan tetap dilaksanakan di Jakarta, untuk mempersiapkan
proklamasi tersebut Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda untuk
merumuskan naskah proklamasi dan pada akhirnya konsep Soekarno yang
diterima dan diketik oleh Sayuti Melik. Kemudian pada tanggal 17 Agustus
1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum’at Legi jam 10.00
WIB, Bung Karno dengan didampingi oleh Bung Hatta membacakan naskah
Proklamasi

Sidang PPKI

a. Sidang PPKI pertama (18 Agustus 1945)


Pada sidang pertama ini PPKI menghasilkan suatu kesepakatan tentang naskah
pembukaan Undang Undang Dasar 1945, memilih presiden dan wakil presiden
pertama.

b. Sidang PPKI kedua (19 Agustus 1945)


Sidang PPKI yang kedua menentukan tentang daerah propinsi dengan
pembagian dareah propinsi Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Sunda
Kecil.
c. Sidang PPKI ketiga (20 Agustus 1945)
Pada sidang ketiga PPKI dilakukan pembahasan terhadap agenda tentang Badan
Penolong Korban Perang. Adapun keputusan yang dihasilkan adalah terdiri atas
delapan pasal, salah satu dari delapan pasal tersebut yaitu : pasal 2 dibentuklah
suatu badan yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR).

d. Sidang PPKI keempat (22 Agustus 1945)


Pada sidang keempat PPKI membahas agenda tentang Komite Nasional Partai
Nasional Indonesia, yang pusatnya berkedudukan di Jakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bangsa


Indonesia masih menghadapi kekuatan sekutu yang berupaya menanamkan
kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu pemaksaan untuk mengakui
pemerintahan Nica  (Netherland Indies Civil Administration). Selain itu
Belanda secara licik mempropagandakan kepada dunia luar bahwa negara
Proklamasi RI hadiah pasis Jepang.

Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, maka


pemerintah RI mengelurkan tiga buah maklumat :
 Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang
menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa
waktunya (seharusnya berlaku selama enam bulan).
 Maklumat pemerintah tanggal 03 Nopember 1945, tentang
pembentukan partai politik yang sebanyak –banyaknya oleh rakyat.
 Maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, yang intinya
maklumat ini mengubah sistem kabinet Presidental menjadi kabinet
parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal.

Kemudian tanggal 18 Agustus pada rapat PPKI, ditetapkan UUD 1945 dan
Presiden serta Wakilnya. Sesudah itu dimulailah pergolakan politik dalam
negeri seperti berikut ini.
1. Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Sebagai hasil dari konferensi meja bundar (KMB) maka ditanda tangani
suatu persetujuan (Mantel resolusi) oleh Ratu Belanda Yuliana dan Wakil
Pemerintah RI di Kota Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, maka
berlaku pulalah secara otomatis anak-anak persetujuan hasil KMB lainnya
dengan konstitusi RIS, antara lain:
 Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalis) yaitu 16
Negara. (Pasal 1 dan 2)
 Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintah berdasarkan asas
demokrasi liberal dimana mentri-mentri bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah terhadap parlemen (Pasal 118 Ayat 2).
 Mukadimah RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa dan semangat
maupun isi pembukaan UUD 1945, proklamasi kemerdekaan sebagai naskah
Proklamasi yang terinci.

Sebelum persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan,


oleh karena itu persetujuan 27 Desember 1949 tersebut bukannya penyerahan
kedaulatan melainkan “pemulihan kedaulatan” atau “pengakuan kedaulatan”.

2. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1950


Berdirinya negara RIS dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah
sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap deklarasi
Proklamasi yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu negara
persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa
Pemerintah Negara  “..... yang melindungi segenap bangsa Indoneia dan
seluruh tumpah darah negara Indonesia .....” yang berdasarkan kepada UUD
1945 dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan
rakyat untuk membentuk negara kesatuan yaitu menggabungkan diri dengan
Negara Proklamasi RI yang berpusat di Yogyakarta, walaupun pada saat itu
Negara RI yang berpusat di Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara
bagian RIS saja.

Pada suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara
bagian saja yaitu Negara Bagian RI Proklamasi, Negara Indonesia Timur (NIT),
dan Negara Sumatera Timur (NST).

Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan Negara RI tanggal 19


Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan
Konstitusi Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.

Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita-cita


Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya masih berorientasi
kepada Pemerintah yang berasas Demokrasi Liberal sehingga isi maupun
jiwanya merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut :

         Sistem multi partai dan kabinet Parlementer berakibat silih bergantinya


kabinet yang rata-rata hanya berumur 6 atau 8 tahun. Hal ini berakibat tidak
mempunyai pemerintah yang menyusun program serta tidak mampu
menyalurkan dinamika Masyarakat ke arah pembangunan, bahkan
menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta
penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.

Secara Ideologis Mukadimah Konstitusi Sementara 1950, tidak berhasil


mendekati perumusan otentik Pembukaan UUD 1945, yang dikenal
sebagai Declaration of Independence Bangsa Indonesia. Demikian pula
perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi penyimpangan. Namun
bagaimanapun juga RIS yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dari negara
Republik Indonesia Serikat.
Pada akhir era ini, terjadi pergolakan politik yang tidak berujung. Hal inilah
yang mendorong Presiden Soekarno megeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959.

     Dekrit Presiden 05 Juli 1959


Pada pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan pada
politik, sosial, ekonomi dan hukum. Hal ini disebabkan oleh konstituante yang
seharusnya membuat UUD negara RI ternyata membahas kembali dasar negara,
maka presiden sebagai badan yang harus bertanggung jawab mengeluarkan
dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya :
 Membubarkan Konstituante
 Menetapkan kembali UUD 45 dan tidak berlakunya kembali UUD 50
 Dibentuknya MPR dan DPR dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945 berlaku kembali di


negara Republik Indonesia hingga saat ini. Dekrit adalah suatu putusan dari
orang tertinggi (kepala negara atau orang lain) yang merupakan penjelmaan
kehendak yang sifatnya sepihak. Dekrit dilakukan bila negara dalam keadaan
darurat, keselamatan bangsa dan negara terancam oleh bahaya. Landasan
hukum dekrit adalah “Hukum Darurat” yang dibedakan atas dua macam yaitu :
a. Hukum Tatanegara Darurat Subjektif
Hukum Tatanegara Darurat Subjektif yaitu suatu keadaan hukum yang
memberi wewenang kepada orang tertinggi untuk mengambil tindakan-tindakan
hukum.

b.Hukum Tatanegara Darurat Objektif


Hukum Tatanegara Darurat Objektif yaitu suatu keadaan hukum yang
memberikan wewenang kepada organ tertinggi negara untuk mengambil
tindakan-tindakan hukum, tetapi berlandaskan konstitusi yang berlaku.
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 keadaan tatanegara Indonesia mulai
stabil, keadaan ini dimanfaatkan oleh kalangan komunis dengan menanamkan
ideologi yang belum selesai. Ideologi pada saat itu dirancang oleh PKI dengan
ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom. Puncak peristiwa
pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 untuk merebut kekuasaan
yang sah negara RI, pemberontakan ini disertai dengan pembunuhan para
Jendral yang tidak berdosa. Pemberontakan PKI tersebut berupaya untuk
mengganti secara paksa ideologi dan dasar filsafat negara Pancasila dengan
ideologi komunis Marxis. Atas dasar tersebut maka pada tanggal 1 Oktober
1965 diperingati bangsa Indonesia sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”.

 ERA ORDE LAMA


Era Orde Lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah
menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan
dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terimpin yaitu demokrasi
khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak
sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal
menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan
tertentu.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah


sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD 1945
pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan
lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-
kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi
makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya
pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan
Negara.

Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI


memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde
Baru.

 ERA ORDE BARU


Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto
yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai
diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto
mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat
tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga
mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk
dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar
dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan
(Setiardja, 1994: 5).

Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan


ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1
Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan
hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada
pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari
Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan
Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu       : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua        : Kemanusiaan yang adil dan
beradab
Tiga        : Persatuan Indonesia
Empat    : Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam
  permusyawaratan/ perwakilan
Lima      : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968.


Pada tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa)  Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia,
setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat
dan utuh”.

Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada


tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11
(sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di
negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan
dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan
konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan
Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil
sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).

Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah


dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto
bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak
akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat
sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru
merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer.
Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam
Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43).

Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru


menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas
Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan
semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk
Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi
Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula
demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak
transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai
dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo
dan Endah (ed), 2010: 45).

Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan
yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling
stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya
keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di
segala bidang. Era pembangunan, Era penuh kestabilan, menimbulkan
romantisme dari banyak kalangan.

Di Era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak
lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk
semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-
agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada
rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang
mengganjal.

Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di Era Orde Baru sendiri


terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar
negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal
tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di Era Orde Baru juga dibarengi
dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian
antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan
budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai
tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun
bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan
sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.

Di Era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-


nilai Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Materi penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti
UUD 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara,
dan materi lain yang berkaitan dengan kebangsaan, Nasionalisme dan
Patriotisme. Kebijakan tersebut disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa
sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar
(SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di
Perguruan Tinggi hingga di wilayah kerja. Pelaksanaannya dilakukan secara
menyeluruh melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode indoktrinasi.

Visi Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.

Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan


UUD 1945 menjadi semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal
mengontrol perilaku masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu
dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa,
sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Sikap
politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam
prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.

Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan


dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah.
Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan
masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab
setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai
dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak masyaraka pun
tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan
pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.

Pada Era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila. Secara


pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai
keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-
tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam
Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan
Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada
angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan
Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan
“sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara”
dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda
tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah
hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat
dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia,
pada saat itu, dan dalam Era Orde Baru.

Meskipun dianggap Pancasila hal yang paling luhur dan diagung-agungkan,


pada tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto malah banyak timbul
KKN dan meningkatnya inflasi. Hutang Indonesia semakin banyak dan
ekonomi pun terpuruk. Puncaknya yaitu Mei 1998 yang akhirnya menyebabkan
Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya B.J.
Habibie.

Meskipun pada awalnya Pancasila begitu diagung-agungkan, dan masa


Orde Baru ini menunjukkan kinerja positif, tetapi lama kelamaan hanya
menjadi alat untuk orang yang berkepentingan. Sehingga Indonesia mencapai
masa terburuk pada tahun 1998. Peristiwa lengsernya Soeharto membawa
Indonesia pada Era Reformasi.

 ERA REFORMASI

Memahami peran Pancasila di Era Reformasi, khususnya dalam konteks


sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar
setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya
memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara
hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-
pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi
landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak
bertentangan dengan sila-sila pancasila.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik


mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia
merdeka di implementasikan sebagai berikut :
 Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
 Mementingkan kepentingan rakyat/ demokrasi dalam pengambilan
keputusan.
 Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
 Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
 Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung
pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan
sistematis dalam kehidupan nyata.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan


mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana
pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat
majemuk.
Oleh karena itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD
1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi
prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan
media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia
adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka
paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah
meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.

Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan


filsafat ilmu (Philosophy of Science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas
pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu
bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik
henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan
kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya
sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang
melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi,
komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan.
Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud
karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik.
Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah
didalam pengembangan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta
kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila itu sendiri. Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan
epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu
pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara
positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara
cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda
seluruh penjuru dunia, khususnya di abad ke- XXI sekarang ini, bersamaan arus
reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah
merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa
orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka
mempertahankan jati diri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-
lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus
diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan
pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.

Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya


dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein
im sollen dan sollen im sein”.

Idealitasnya bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah


sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja
untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna
melihat hari depan secara prospektif.

Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang


sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka
bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus
berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila
menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai penyangga bagi
kehidupan bangsa dan negara.
Di Era Reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti
pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
vitalnya. Sebab utamannya karena rezim Orde Lama dan Orde Baru
menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya
bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-
pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif,
sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan
aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi
politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang
menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum
(Kaelan, 2000: 245).

Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara
itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik
dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal
dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana
yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak
masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).

Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi


ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti,
namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan
sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-
konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan
sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang
budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai
luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti
dengan rusaknya moral generasi muda.

Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai


sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian
Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh
aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan
golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido
dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas
memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut
marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).

Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik


Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR
NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan,
meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi


sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945”.

Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen
masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas
perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen
identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses
amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan
kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51).

Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan


agama. Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah disejumlah daerah.
Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama
reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi.
Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang
Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari
Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali,
2009: 52).

Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara


intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan
tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres
Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres
Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan
sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat Pilar
Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012:
249-252) mengandung; 1) linguisticmistake  (kesalahan linguistik) atau dapat
pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu
pada realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa,
melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’
itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya,
wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi
pengetahuannya.

Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali


Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara
tegas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan
Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara
sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut
tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa
perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini
mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat
yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu
kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di
kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan
Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan
Bahasa Indonesia.

Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen
bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan
Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup
Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD
1945.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami Pancasila secara
lengkap dan utuh tertama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa indonesia.
Secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggung jawaban Ilmiah, bahwa
Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan hidup
bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian luruh bangsa
indonesia pada waktu mendirikan negara.
Keputusan-keputusan lain adalah untuk membentuk panitia kecil yaitu: (1)
Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai Ir. Soekarno, (2) Panitia
Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Moh. Hatta, (3) Panitia Pembelaan
Tanah Air diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso.

Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para


pendiri negara dan dijadikan sebagai dasar negara RI. Proses cara formal
tersebut di lakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, bidang panitia 9,
sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar
negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia ini membentuk negara yang
sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan. Dalam kenyataannya secara
objektif telah di miliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Isi Tritura
sebagai berikut:
 Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
 Pembersihan kabinet dari unsure-unsur G30S PKI
 Penurunan harga

Daftar Pustaka

1. http://mylife578.blogspot.com/2016/03/pancasila-dalam-konteks-
lintas-agama.html

2. https://kuliahkumanajemenpendidikan.wordpress.com/
2013/04/17/pancasila-dalam-sejarah-perjuangan-bangsa-indonesia/

3. http://diary-mybustanoel.blogspot.com/2012/02/makalah-pancasila-
dalam-konteks-sejarah.html

4. http://shareilmurahma.blogspot.com/2016/03/pancasila-dalam-
kajian-sejarah-bangsa.html

Anda mungkin juga menyukai