Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENGERTIAN PANCASILA DAN TUJUAN PENDIDIKAN

PANCASILA A. PENGERTIAN PANCASILA

Beberapa pengertian Pancasila, jika kita kaji secara ilmiah Pancasila memiliki
pengertian yang luas, baik fungsi maupun dalam kedudukannya sebagai dasar
Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa bahkan dalam
proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus kita deskripsikan
secara objektif. Maka untuk memahami pancasila secara kronologis, ada beberapa
ruang lingkup pengertian Pancasila yaitu :

A.1. Pengertian Pancasila secara etimologi


Secara etimologi Pancasila memiliki makna yang berbeda dari berbagai sumber
salah satunya seperti pancasila berasal dari bahasa sanskerta dari India. Dengan
masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu dan
Buddha, maka ajaran Pancasila buddhismepun masuk ke dalam pustakaan Jawa,
terutama pada zaman Majapahit. Perkataan Pancasila dalam khasanah kesustraan
nenek moyang kita di zaman keemasan di bawah raja Hayam Wuruk dan Maha
Patih Gajah Mada dapat ditemukan dalam keropak negarakertagama, yang berupa
syair pujian dalam pujangga istana bernama Empu Prapanca yang berbunyi
“Yatnaggegwani Pancasyiila Kertasangskarbhisekaka Karma” artiya raja
menjalankan dengan setia kelima pantangan (pancasila), begitu pula upacara-
upacara ibadat dan penobatan-penobatan.
Begitulah perkataan Pancasila dari bahasa Sanskerta menjadi bahasa Jawa Kuno
yang artinya tetap sama yang terdapat dalam zaman Majapahit demikian juga pada
zaman Majapahit mereka hidup berdampingan secara damai. Setelah Majapahit
runtuh dan agama Islam mulai tersebar ke seluruh Indonesia sehingga sisa-sisa
pengaruh ajaran moral Buddha (pancasila) masih juga di kenal di dalam
masyarakat Jawa yang di sebut dengan “lima larangan” atau “lima pantangan”
moralitas yang dilarang :

∙ Mateni, artinya membunuh

∙ Maling , artinya mencuri

∙ Madon, artinya berzina

∙ Mabok, artinya meminum minuman keras

∙ Main, artinya berjudi


A.2. Pengertian pancasila secara historis

Proses perumusan pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama Dr.
Radjiman Widyodiningrat mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahasa
pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar
Negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampillah pada sidang tersebut
tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Prof.Dr. Soepomo dan Ir.Soekarno.
Pada tanggal 01 juni 1945, dalam sidang tersebut Ir.Soekarno berpidato secara
lisan mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia. Kemudian untuk memberi
nama istilah dasar Negara tersebut soekarno member nama “pancasila” yang artinya
lima dasar. Hal ini menurut soekarno atas saran dari salah seorang temanya yaitu
orang yang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah Undang-undang
Dasar 1945 termasuk pembukaan UUD 1945 dimana didalamnya termuat isi
rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar Negara yang di beri nama
Pancasila.

A.3. Pengertian pancasila secara terminologi


Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan Negara
republik indonesia untuk melengkapi alat-alat perlengkapan Negara sebagaimana
lazimnya Negara-negara yang merdeka. Maka panitia persiapan kemerdekaan
Indonesia segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18
Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia
yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua
bagian yaitu pembukaan UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan peralihan yang
terdiri atas 4 pasal dan 1 aturan tambahan terdiri atas 2 ayat.
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah
yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

B. TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA

Pendidikan Pancasila bertujuan untuk Menghasilkan mahasiswa yang beriman dan


bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seperti sikap-sikap di bawah ini,
sehingga dapat diamalkan dikemudian hari:
1. Memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggungjawab sesuai
dengan hati nuraninya.
Sebagai pengajar tentunya memegang tanggungjawab yang besar, yaitu
dapat menghasilkan mahasiswa yang baik. Dengan mengikuti mata kuliah
Pendidikan Pancasila semester ini maka sebagai mahasiswa STABM
diharapkan nantinya dapat menjadi Guru yang dapat bertanggung jawab
penuh sebagai Pengajar yang sesuai dengan hati nurani. Yang tentunya
sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila.
2. Memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan
serta cara-cara pemecahannya.
Di dalam pembelajaran tentunya tidak lepas dengan adanya masalah
masalah. Sebagai guru diwajibkan dapat menyelesaikan masalah-masalah
tersebut dengan baik. Sehingga dapat diselesaikan dengan cepat. Dengan
mengikuti mata kuliah Pendidikan Pancasila diharapkan dapat mendapat
pembelajaran tentang bagaimana menghadapi permasalahan dan bagaimana
mencari jalan keluar disetiap permasalahan.
3. Mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni.
Perubahan dan perkembangan IPTEK dan Seni di dunia pendidikan pasti
akan selalu terjadi disetiap saat. Sebagai calon pengajar yang baik tentunya
harus siap dan dan dapat mengenali tanda-tandanya, sehingga dapat
menyikapinya dengan baik. Ini tidak lepas dari Pendidikan Pancasila, di
dalam perkuliahan ini sedikit banyak dapat membekali sebagai calon Guru
untuk menyikapi perubahan dan perkembangan IPTEK dan Seni.
4. Memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai
budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.
5. Dapat memahami, menghayati dan melaksanakan pancasila dan undang – undang
dasar 1945 dalam kehidupan sebagai warga negara republik Indonesia. 6. Memupuk
sikap dan prilaku yang sesuai dengan nilai – nilai dan norma pancasila (Dirjen Dikti,
1995:3)
BAB II
PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
INDONESIA

A. Pancasila Pra Kemerdekaan

Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam pancasila dalam kenyataannya secara


objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia jauh sebelum mendirikan Negara,
dimana bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang sejak timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV, ke V, kemudian dasar-
dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad VII. Mulai dari zaman
kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah
serta menguasai bangsa Indonesia.

A.1. Zaman Kutai


Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan di temukannya
prasasti yang berupa 7 yupa (tiang baru). Berdasarkan prasasti tersebut dapat
diketahui bahwa raja Mulawarman mengadakan kenduri dan memberikan sedekah
kepada para Brahmana, dan para Brahmana membangun yupa tersebut sebagai
tanda terimakasih kepada raja yang dermawan. Sehingga dapat kita pahami bahwa
masyarakat kutai pertamakali menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan
dalam bentuk kerajaan, kenduri serta sedekah kepada Brahmana.

A.2. Zaman Sriwijaya


Pada abad ke VII muncullah suatu kerajaan di Sumatra yaitu kerajaan Sriwijaya, di
bawah kekuasaan Wangsa Syailendra. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya merupakan
kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan, karena kerajaan itu
adalah kerajaan martim yang mengandalkan kekuatan lautnya. Dalam sistem
perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai
raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat
sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam melakukan pemasaran. Dalam sistem
pemerintah sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, serta
pengawas pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga saat itu
kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai ketuhanan.
Agama dan kebudayaan di kembangkan dengan mendirikan suatu universitas
agama Buddha, yang sangat terkenal di Negara lain di Asia. Banyak musafir dari
Negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di Universitas tersebut
terutama tentang agama Buddha dan bahasa Sanskerta sebelum melanjtukan
studinya ke India. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam suatu Negara telah
tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi “marvuat vanua criwijaya
siddhayatra subhiksa” yang artinya suatu cita-cita Negara yang adil dan makmur”.
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu terwujud dengan adanya umat agama
Buddha dan Hindu hidup berdampingan secara damai, serta tumbuhnya nilai-nilai
politik luar negri yang bebas dan aktif dapat dilihat dari hubungan antara Sriwijaya
dengan India. kerajaan Sriwijaya juga menjadi pusat pelayaran dan perdagangan
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.

A.3. Zaman Majapahit


Sebelum kerajaan Majapahit berdiri, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa.
Adapun agama yang diakui oleh beberapa kerajaan berbeda-beda ada agama
Buddha, agama Wisnu, dan agama Syiwa telah hidup berdampingan secara damai.
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungan nya dengan berdirinya kerajaan Majapahit. Zaman Keemasan Majapahit
yaitu pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada.
Sumpah palapa yang di ucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang ratu dan
mentri-mentri di Paseban keprabuan majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita cita
mempersatukan seluruh nusantara. Selain itu dalam hubungannya dengan Negara
lain raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik
dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa, dan Kamboja. Menurut prasasti
(1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat
yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Sehingga menumbuhkan adat
bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak
meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme Negara kebangsaan
Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor keadaan dalam
negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara, sehingga kejayaan Majapahit
berangsur angsur mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan.
A.4. Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama
Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah
kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-
orang Eropa di nusantara. Bangsa Indonesia yang masuk ke Indonesia yang pada
awalanya pedagang adalah orang-orang Portugis. Namun lama kelamaan bangsa
Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang
meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai
oleh Portugis.
Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang ke Indonesia. Untuk
menghindarkan persaingan diantara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka
mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama VOC (verenigde oost
indische compagnie) yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah kompeni.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat
mulai mengadakan perlawanan. Pada hakekatnya perlawanan terhadap Belanda itu
terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia akan tetapi perlawanan secara fisik
terjadi secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta
koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa
Indonesia mengusir kolonialis.

A.5. Kebangkitan Nasional


Pada abad ke XX, bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam melakukan
perlawanan terhadap penjajahan belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik yang
tidak adanya koordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia
abad ke XX itu untuk merubah bentuk perlawanan. Usaha yang dilakukan ialah
dengan mendirikan berbagai macam organisai politik di samping organisasi yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Organisasi sebagai pelopor pertama
adalah Budi Otomo pada tanggal 20 Mei 1908. Mereka yang tergabung dalam
organisasi itu memulai merintis jalan baru kearah tercapainya cita-cita perjuangan
bangsa Indonesia. Kemudian bermunculan organisasi pergerakan yang lain yaitu
sarikat dagang Islam (1909), namun namanya berubah menjadi sarikat Islam
(1991). Kemudian muncul pula Indische Partij (1913), yang dipimpin oleh tiga
serangkai yaitu : Douwes Dekker, Ciptomangunkosomo, Suryadi Suryaningrat,
namun karena terlalu radikal sehingga pemimpinnya di buang ke luar negeri. Akan
tetapi perjuangan tidak kendur karena munculnya Partai Nasional Indonesia (1927)
yang di pelopori oleh Soekarno, Ciptomangunkusomo, Sartono, dan tokoh lainnya.
Mulailah ini perjuangan nasional Indonesia dititikberatkan pada kesatuan nasiona
dengan tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka.

A.6. Zaman Penajajahan Jepang


Janji Belanda tentang Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam kenyataan
hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan
zaman ini bangsa Indonesia mengalami penderitaan dan
penindasan yang sampai kepada puncaknya. Sejarah berjalan terus, dimana perang
pasifik menunjukkan tanda-tanda akan berakhirnya dengan kekalahan Jepang di
mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia, janji kemerdekaan
diumumkan oleh Jepang berupa kemerdekaan tanpa syarat, yang disampaikan
seminggu sebelum Jepang menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan
kemerdekaannya, bahkan menganjuran agar berani mendirikan Negara Indonesia
merdeka di hadapan musuh Jepang.
Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai
realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk
menyelidiki usaha-usaa persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu BPUPKI (badan
penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia) atau dokuritsu zyunbi tioosakai
yang di ketuai oleh Dr.K.R.T Radjiman Wediodiningrat. Sidang BPUPKI pertama,
dalam sidang BPUPKI ini menghasilkan rumusan dasar Negara dimana sidang
pertama ini dilaksanakan selama empat hari. Yang di selenggarakn pada tanggal 28
Mei sampai 01 Juni, beberapa tokoh yang merumuskan dasar Negara, yaitu :

Muh. Yamin (29 Mei 1945) :


1. Peri kebangsaa
2. Peri kemanusiaan
3. Peri ketuhanan
4. Peri kerayatan dan
5. Kesejahteraan sosial
Prof.Dr. Soepomo (30 Mei 1945) :
1. Individualis
2. Paham Negara kelas
3. Paham Negara integralistik
Ir. Soekarno (01 Juni 1945) :
1. Nasionalisme
2. Internasionalisme
3. Mufakat
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Lima perinsip sebagai dasar Negara tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan
agar diberi nama “pancasila”. Beliau mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai
dasar filsafah Negara dan pandangan bangsa Indonesia atau philoscopische
grondslag. Selain ucapan yang disampaikan Ir.Soekarno di
atas, pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia, karena nilai-nilai
tersebut hidup dalam sejarah Indonesia.

B. Pancasila Era Kemerdekaan


Kemenangan sekutu dalam perang dunia membawa hikmah bagi bangsa Indonesia.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka kesempatan tersebut digunakan
sebaik-baiknya oleh para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat setelah
kemerdekaan Indonesia pada 1945, pada waktu itu Indonesia masuk ke dalam era
percobaan demokrasi multi partai dengan sistem kabinet parlementer. Partai-partai
politik yang ada cenderung selalu berhasil dalam mengungsi kelima sila sebagai
dasar Negara (Somantri, 2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa
kejayaannya.

Selanjutnya, pada akhir tahu 1959, pancasila melewati masa kelamnya


dimana presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu,
presiden dalam rangka tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistic (somantri,2006). Pada
akhirnya sistem ini menghianati nilai-nilai yang ada dalam pancasila itu sendiri,
salah satunya sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa
bersejarah di indonesia dimana partai komunis berusaha melakukan
pemberontakan . Pada 11 Maret 1965, presiden Soekarno memberikan wewenang
kepada jendral Soeharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru dimana
kemudian pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu menjadi kaku
dan mutlak pemaknaannya. Pada 1998, pemerintahan presiden Soeharto berakhir
dan pancasila kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari
ini.

BAB III

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologi, filsafat adalah istilah atau kata yang berasal
dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Kata itu terdiri dari dua kata
yaitu philo, philos, philein, yang mempunyai arti cinta/ pecinta/
mencintai dan sophia yang berarti kebijakan, kearifan, hikmah, hakikat
kebenaran. Jadi secara harafiah istilah filsafat adalah cinta
pada kebijaksanaan atau kebenaran yang hakiki.
Berfilsafat berarti berpikir sedalam-dalamnya (merenung)
terhadap sesuatu secara metodik, sistematik, menyeluruh dan universal
untuk mencari hakikat sesuatu. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu
yang paling umum yang mengandung usaha mencari kebijaksanaandan
cinta akan kebijakan.
Kata filsafat untuk pertama kali digunakan oleh Phythagoras
(582 – 496
SM). Dia adalah seorang ahli pikir dan pelopor matematika yang
menganggap bahwa intisari dan hakikat dari semesta ini adalah
bilangan. Namun demikian, banyaknya pengertian filsafat sebagaimana
yang diketahui sekarang ini adalah sebanyak tafsiran para filsuf itu
sendiri. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk
berfilsafat yaitu :
a. Keheranan, sebagian filsuf berpendapat bahwa adanya kata heran
merupakan asal dari filsafat. Rasa heran itu akan mendorong
untuk menyelidiki.
b. Kesangsian, merupakan sumber utama bagi pemikiran manusia
yang akan menuntun pada kesadaran. Sikap ini sangat berguna
untuk menemukan titik pangkal yang kemudian tidak
disangsikan lagi.
c. Kesadaran akan keterbatasan, manusia mulai berfilsafat jika ia
menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila
dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Kemudian muncul
kesadaran akan keterbatasan bahwa diluar yang terbatas pasti
ada sesuatu yang tdak terbatas.
Pada umumnya terdapat dua pengertian filsafat yaitu filsafat
dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk. Selain itu, ada
pengertian lain, yaitu filsafat sebagai ilmu dan filsafat sebagai
pandangan hidup. Disamping itu, dikenal pula filsafat dalam arti
teoritis dan filsafat dalam arti praktis.

Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk,


filsafat sebagai pandangan hidup, dan filsafat dalam arti praktis. Hal itu
berarti Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan
pegangan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bagi bangsa Indonesia dimanapun mereka berada.

1. Obyek Filsafat
Filsafat merupakan kegiatan pemikiran yang tinggi dan murni
(tidak terikat langsung dengan suatu obyek), yang mendalam dan daya
pikir subyek manusia dalam memahami segala sesuatu untuk mencari
kebenaran. Berpikir aktif dalam mencari kebenaran adalah potensi dan
fungsi kepribadian manusia. Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran
yang sedalam-dalamnya tentang kesemestaan, secara mendasar
(fundamental dan hakiki). Filsafat sebagai hasil pemikiran
pemikir (filsuf) merupakan suatu ajaran atau sistem nilai, baik
berwujud pandangan hidup (filsafat hidup) maupun sebagai ideologi
yang dianut suatu masyarakat atau bangsa dan negara. Filsafat
demikian, telah tumbuh dan berkembang menjadi suatu tata nilai yang
melembaga sebagai suatu paham (isme) seperti kapitalisme,
komunisme, fasisme dan sebagainya yang cukup mempengaruhi
kehidupan bangsa dan negara modern.
Filsafat sebagai kegiatan olah pikir manusia menyelidik obyek
yang tidak terbatas yang ditinjau dari dari sudut isi atau substansinya
dapat dibedakan menjadi :
a.obyek material filsafat : yaitu obyek pembahasan filsafat yang
mencakup segala sesuatu baik yang bersifat material kongkrit
seperti manusia, alam, benda, binatang dan lain-lain, maupun
sesuatu yang bersifat abstrak spiritual seperti nilai-nilai, ide-ide,
ideologi, moral, pandangan hidup dan lain sebagainya.
b. obyek formal filsafat : cara memandang seorang peneliti terhadap
objek material tersebut.
Suatu obyek material tertentu dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandang yang berbeda. Oleh karena itu, terdapat berbagai macam
sudut pandang filsafat yang merupakan cabang-cabang filsafat. Adapun
cabang-cabang filsafat yang pokok adalah :
Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksistensi
di balik fisis yang meliputi bidang : ontologi (membicarakan teori sifat
dasar dan ragam kenyataan), kosmologi (membicarakan tentang teori
umum mengenai proses kenyataan, dan antropologi.
i. Epistemologi, adalah pikiran-pikiran dengan hakikat pengetahuan
atau kebenaran.
ii. Metodologi, adalah ilmu yang membicarakan cara/jalan untuk
memperoleh pengetahuan.
iii. Logika, ádalah membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar
dapat mengambil kesimpulan yang benar.
iv. Etika, membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku
manusia tentang baik-buruk
v. Estetika, membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat
keindahan- kejelekan.

2. Aliran-Aliran Filsafat
Aliran-aliran utama filsafat yang ada sejak dahulu hingga
sekarang adalah sebagai berikut :
a. Aliran Materialisme, aliran ini mengajarkan bahwa hakikat realitas
kesemestaan, termasuk mahluk hidup dan manusia ialah materi.
Semua realitas itu ditentukan oleh materi (misalnya benda ekonomi,
makanan) dan terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat
(hukum kausalitas) yang bersifat objektif.
b. Aliran Idealisme/Spiritualisme, aliran ini mengajarkan bahwa ide dan
spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia.
Subjek manusia sadar atas realitas dirinya dan kesemestaan karena
ada akal budi dan kesadaran rohani manusia yang tidak sadar atau
mati sama sekali tidak menyadari dirinya apalagi realitas
kesemestaan. Jadi hakikat diri dan kenyataan kesemestaan ialah
akal budi (ide dan spirit)
c. Aliran Realisme, aliran ini menggambarkan bahwa kedua aliran
diatas adalah bertentangan, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak
realistis). Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan
bukanlah benda (materi) semata-mata. Kehidupan seperti tampak pada
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia mereka hidup berkembang
biak, kemudian tua dan akhirnya
mati. Pastilah realitas demikian lebih daripada sekadar materi. Oleh
karenanya, realitas adalah panduan benda (materi dan jasmaniah)
dengan yang non materi (spiritual, jiwa, dan rohaniah). Khusus
pada manusia tampak dalam gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi
menurut aliran ini, realitas merupakan sintesis antara jasmaniah-
rohaniah, materi dan nonmateri.

B. PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


1. Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia
Kedudukan dan fungsi Pancasila harus dipahami sesuai dengan
konteksnya, misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, sebagai
ideologi bangsa dan negara Indonesia. Seluruh kedudukan dan fungsi
Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana
dikelompokan maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi
Pancasila yaitu sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup
bangsa Indonesia.
Pancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system)
yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa
Indonesia sepanjang sejarah, yang berakar dari unsur-unsur
kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu
menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari proses
terjadinya
Pancasila yaitu melalui suatu proses yang disebut kausa
materialisme karena nilai-nilai dalam Pancasila sudah ada dan hidup
sejak jaman dulu yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan yang diyakini kebenarannya itu menimbulkan tekad bagi
bangsa Indonesia untuk mewujudkan dalam sikap dan tingkah laku
serta perbuatannya. Di sisi lain, pandangan itu menjadi motor
penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya.
Dari pandangan inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai
bangsa, gagasan kejiwaan apa saja yang akan coba diwujudkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Satu
pertanyaan yang sangat fundamental disadari sepenuhnya oleh para
pendiri negara Republik Indonesia adalah :”di atas dasar apakah
negara Indonesia didirikan” ketika mereka bersidang untuk pertama
kali di lembaga BPUPKI. Mereka menyadari bahwa makna hidup bagi
bangsa Indonesia harus ditemukan dalam budaya dan peradaban
bangsa Indonesia sendiri yang merupakan perwujudan dan
pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini dan dihayati
kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah
perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahirnya.
Nilai-nilai itu adalah buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-
gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik.
Mereka menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial
dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberi corak, watak dan
ciri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
masyarakat dan bangsa lainnya. Kenyataan yang demikian itu
merupakan suatu kenyataan objektif yang merupakan jatidiri bangsa
Indonesia.
Jadi nilai-nilai Pancasila itu diungkapkan dan dirumuskan dari
sumber nilai utama yaitu :
a. nilai-nilai yang bersifat fundamental, universal, mutlak, dan abadi
dari Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam inti kesamaan
ajaran- ajaran agama dalam kitab suci
b. nilai-nilai yang bersifat kolektif nasional yang merupakan intisari
dari nilai-nilai yang luhur budaya masyarkat (inti kesatuan adat
istiadat yang baik) yang tersebar di seluruh nusantara.

2. Rumusan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem


Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu
sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian
yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan
tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Lazimnya sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. suatu kesatuan bagian-bagian
b. bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri sendiri
c. saling berhubungan dan saling ketergantungan
d. kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan
bersama (tujuan sistem)
e. terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Pada hakikatnya setiap sila Pancasila merupakan suatu asas


sendiri- sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun demikian secara
keseluruhan adalah suatu kesatuan yang sistematis dengan tujuan
(bersama) suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.

3. Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Bersifat Organis Isi sila-


sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan peradaban,
dalam arti, setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari
kesatuan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan suatu
kesatuan yang majemuk tunggal, dengan akibat
setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila
lainnya. Di samping itu, di antara sila satu dan lainnya tidak saling
bertentangan.
Kesatuan si;a-sila yang bersifat organis tersebut pada
hakikatnya secara filisofis bersumber pada hakikat dasar ontologis
manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu
hakikat manusia ”monopluralis” yang memiliki unsur-unsur susunan
kodrat jasmani-rohani, sifat kodrat individu-mahluk sosial, dan
kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri-mahluk Tuhan Yang
Maha Esa. Unsur-unsur itu merupakan suatu kesatuan yang bersifat
organis harmonis.

4. Susunan Kesatuan Yang Bersifat Hirarkhis Dan Berbentuk Piramida.


Hirarkhis dan piramida mempunyai pengertian yang sangat matematis
yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sila-sila
Pancasila dalam hal urut-urutan luas (kuantiítas) dan juga dalam hal isi
sifatnya. Susunan sila-sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian
tingkatan luas dan isi sifatnya dari sila- sila sebelumnya atau diatasnya.
Dengan demikian, dasar susunan sila-sila Pancasila mempunyai
ikatan yang kuat pada setiap silanya sehingga secara keseluruhan
Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Oleh karena itu,
sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari sila-
sila Pancasila berikutnya.
Secara ontologis hakikat Pancasila mendasarkan setiap silanya pada
landasan, yaitu : Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil. Oleh karena
itu, hakikat itu harus selalu berkaitan dengan sifat dan hakikat negara
Indonesia. Dengan demikian maka, sila pertama
adalah sifat dan keadaaan negara harus sesuai dengan hakikat Tuhan;
sila kedua sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat
manusia; sila ketiga sifat dan keadaan negara harus satu; sila keempat
adalah sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat rakyat;
dan sila kelima adalah sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan
hakikat adil. Contoh rumusan Pancasila yang bersifat hirarkis dan
berbentuk piramidal adalah : sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah meliputi dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Saling


Mengisi Dan Saling Mengkualifikasi
Kesatuan sila-sila Pancasila yang majemuk tunggal, hirarkhis
piramidal juga memiliki sifat saling mengisi dan salng
mengkualifikasi. Hal itu dimaksudkan bahwa setiap sila terkandung
nilai keempat sila lainnya, dengan kata lain, dalam setiap sila Pancasila
senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.
Contoh rumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang mengisi dan
saling mengkualifikasi adalah sebagai berikut : sila Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan
Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

C. KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI


SUATU SISTEM FILSAFAT
Apabila kita bicara tentang filsafat, ada dua hal yang patut
diperhatikan, yaitu filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu
pandangan, keduanya sangat berguna untuk memahami Pancasila. Di
sisi lain, kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya
merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga
meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologi dan dasar
aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang
Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa dengan
tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertian secara mendasar
dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif
(dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan
menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif dan secara induktif (dengan mengamati gejala-gejala
sosial budaya masyarakat, merefleksikannya dan menarik arti dan
makna yang hakiki dari gejala-gejala itu). Dengan demikian, filsafat
Pancasila akan mengungkapkan konsep-konsep kebenaran yang bukan
saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan bagi manusia pada
umumnya.

1. Aspek Ontologis
Ontologi menurut Runes, adalah teori tentang adanya
keberadaan atau eksistensi. Sementara Aristoteles, menyebutnya
sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu dan disamakan artinya
dengan metafisika. Jadi ontologi adalah bidang filsafat yang
menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada,
jenis ada, dan hakikat ada, termasuk ada alam, manusia, metafisika dan
kesemestaan atau kosmologi.
Dasar ontologi Pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat
mutlak monopluralis, oleh karenanya disebut juga sebagai dasar
antropologis. Subyek pendukungnya adalah manusia, yakni: yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan yang berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia.
Hal yang sama juga berlaku dalam konteks negara Indonesia, Pancasila
adalah filsafat negara dan pendukung pokok negara adalah rakyat
(manusia).
2. Aspek Epistemologi
Epistemologi adalah bidang/cabang filsafat yang menyelidiki
asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.
Pengetahuan manusia sebagai hasil pengalaman dan pemikiran,
membentuk budaya. Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia tahu
atau mengetahui bahwa sesuatu itu pengetahuan menjadi penyelidikan
epistemologi. Dengan kata lain, adalah bidang/cabang yang
menyelidiki makna dan nilai ilmu pengetahuan, sumbernya, syarat
syarat dan proses terjadinya ilmu, termasuk semantik, logika,
matematika dan teori ilmu.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah
suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila
menjadi pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang
realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang
makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia Indonesia untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup
dan kehidupan.
Pancasila dalam pengertian seperti itu telah menjadi suatu
sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief system) sehingga
telah menjelma menjadi ideologi mengandung tiga unsur yaitu :
1. logos (rasionalitas atau penalaran),
2. pathos (penghayatan), dan
3. ethos (kesusilaan).

3. Aspek Aksiologi
Aksiologi mempunyai arti nilai, manfaat, pikiran dan atau
ilmu/teori. Menurut Brameld, aksiologi adalah cabang filsafat yang
menyelidiki :
a. tingkah laku moral, yang berwujud etika,
b. ekspresi etika, yang berwujud estetika atau seni dan
keindahan,
c. sosio politik yang berwujud ideologi.
Kehidupan manusia sebagai mahluk subyek budaya, pencipta dan
penegak nilai, berarti manusia secara sadar mencari memilih dan
melaksanakan (menikmati) nilai. Jadi nilai merupakan fungsi rohani
jasmani manusia. Dengan demikian, aksiologi adalah cabang fisafat
yang menyelidiki makna nilai, sumber nilai, jenis nilai, tingkatan nilai
dan hakikat nilai, termasuk estetika, etika, ketuhanan dan agama.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikemukakan pula bahwa
yang mengandung nilai itu bukan hanya yang bersifat material saja
tetapi juga sesuatu yang bersifat nonmaterial/rokhaniah. Nilai-nilai
material relatif mudah diukur yaitu dengan menggunakan indra maupun
alat pengukur lainnya, sedangkan nilai rokhaniah alat
ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu indra manusia yaitu
cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.

D. NILAI-NILAI PANCASILA MENJADI DASAR DAN


ARAH KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN
KEWAJIBAN
Pandangan mengenai hubungan antara manusia dan masyarakat
merupakan falsafah kehidupan masyarakat yang memberi corak dan
warna bagi kehidupan masyarakat. Pancasila memandang bahwa
kebahagiaan manusia akan tercapai jika ditumbuh-kembangkan
hubungan yang serasi antara manusia dengan masyarakat serta
hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Apabila memahami nilai-nilai dari sila-sila Pancasila akan
terkandung beberapa hubungan manusia yang melahirkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban antar hubungan tersebut, yaitu
sebagai berikut :

1. Hubungan Vertikal
Adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai penjelmaan
dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya
dengan itu, manusia memiliki kewajiban-kewajiban untuk
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhkan/menghentikan larangan
Nya, sedangkan hak-hak yang diterima manusia adalah rahmat yang
tidak terhingga yang diberikan dan pembalasan amal perbuatan di
akhirat nanti.

2. Hubungan Horisontal
Adalah hubungan manusia dengan sesamanya baik dalam
fungsinya sebagai warga masyarakat, warga bangsa maupun warga
negara. Hubungan itu melahirkan hak dan kewajiban yang seimbang.

3. Hubungan Alamiah
Adalah hubungan manusia dengan alam sekitar yang meliputi
hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam dengan segala kekayaannya.
Seluruh alam dengan segala isinya adalah untuk kebutuhan manusia.
Manusia berkewajiban untuk melestarikan karena alam mengalami
penyusutan sedangkan manusia terus bertambah. Oleh karena itu,
memelihara kelestrian alam merupakan kewajiban manusia, sedangkan
hak yang diterima manusia dari alam sudah tidak terhingga
banyaknya.
Kesimpulan yang bisa diperoleh dari filsafat Pancasila adalah
Pancasila memberikan jawaban yang mendasar dan menyeluruh atas
masalah-masalah asasi filsafat tentang negara Indonesia.
BAB IV

PANCASILA SEBAGAI DASAR DAN IDEOLOGI NEGARA

A. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Apa itu Dasar Negara? Analogi sederhananya, sebuah dasar yang sengaja
dibuat dan sebagai landasan atau pondasi tempat berpijaknya “sesuatu”. Sesuatu ini
bentuknya bisa berbeda-beda, sebagai contoh bangunan atau rumah. Bangunan atau
rumah yang tidak mempunyai dasar, maka tidak akan berdiri dengan kokoh dan
mudah roboh. Analogi sederhana ini bisa kita gunakan untuk membahas tentang
Negara. Sebuah Negara bisa kita pandang sebagai “bangunan” atau “rumah”.
Supaya sebuah Negara bisa berdiri kokoh, maka harus mempunyai dasar negara.
Apabila dasar negaranya semakin kuat, maka negara tersebut akan semakin kuat.
Jika kita maknai dari frasa kata yang membentuknya, maka pengertian Pancasila
sebagai dasar Negara artinya setiap hal yang menyangkut dengan urusan – urusan
atau pun masalah kenegaraan harus diputuskan dengan dilandasi atau pun didasari
dengan nilai – nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Mengapa pancasila dijadikan sebagai dasar Negara? Negara tanpa dasar,
bagaikan rumah tanpa fondasi. Maksudnya adalah ketika Negara tidak mempunyai
dasar mengapa Negara itu terbentuk, maka akan mudah runtuh atau dijajah oleh
bangsa lain. Dasar Negara merupakan kaki untuk berpijak, dimana kaki tersebut
harus kuat dan kokoh. Pancasila mempunyai peran penting dalam pembangunan
bangsa Indonesia. Pancasila adalah dasar Negara yang menjadi sebuah sumber dari
segala sumber hukum yang yang mengatur seluruh pemerintahan, wilayah dan
masyarakat Indonesia. Pancasila terlibat secara langsung dalam hukun Indonesia,
yang terikat dengan formal oleh struktur kekuasaan dan cita – cita hukum yang
menjadi seluruh dasar Negara Indonesia.
B. FUNGSI DASAR NEGARA

∙ Sebagai Dasar Berdiri dan berdaulatnya Suatu Negara, artinya Suatu negara
akan kuat dan berdaulat sebagai negara apabila memiliki suatu Dasar, yang
menjadi landasan dan pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan
bernegara.

∙ Sebagai Dasar Penyelenggaraan Negara, Artinya Dasar negara berfungsi


menjadi pedoman nasional dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan untuk
kemajuan negara tersebut.

∙ Sebagai Dasar dan Sumber Hukum, artinya setiap aktivitas dan tingkah laku
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasari atas
hukum yang berlaku di negara tersebut, nah sumber dari hukum yang
berlaku ini merupakan Dasar Negara.

∙ Dasar Bagi Hubungan Antar warga negara, artinya selama terjadi interaksi
sosial, warga negara menjadikan Dasar Negara sebagai pedoman, sehingga
dapat melancarkan kerjasamanya dan tidak mengganggu kebebasan individu
warga negara tersebut karena memiliki pedoman yang sama.
∙ Dasar berdirinya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah menunjukan bahwa Pancasila telah berperan dalam pembentukan
negara Indonesia merdeka. Lebih dari itu Pancasila juga menjadi landasan
bagi pengelolaan NKRI.

∙ Dasar kegiatan penyelenggaraan negara. Negara Indonesia didirikkan untuk


mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, sebagai mana
diwujudkan dalam pembukaan UUD 1945. Para penyelenggara negara
dituntut untuk memimpin pencapaian tujuan itu.

∙ Dasar partisipasi warga negara. Setiap warga negara Indonesia mempunyai

hak dan kewajiban yang sama untuk mempertahankan negara dan


berpartisipasi dalam upaya mencapai tujuan bangsa.

∙ Dasar pergaulan warga negara. Pancasila bukan hanya menjadi dasar


perhubungan warga negara Indonesia dengan negara Indonesia, melainkan
juga menjadi dasar perhubungan antar sesama warga negara Indonesia.

C. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA


Ideologi berasal dari kata “idea” yang artinya gagasan, pengertian kata
“logi” yang artinya pengetahuan. Jadi ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang
gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang
pengertian dasar. Istilah ideologi pertama kali di kemukakan oleh Destutt de Tracy
seorang Perancis pada tahun 1796. Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai
pandangan hidup yang di kembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau
kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial atau sosial ekonomi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis
yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia. Notonegoro sebagaimana di
kutip oleh Kaelan mengemukakan, bahwa ideologi negara dalam arti cita-cita
negara atau cita-cita yang menjadi dasar atau yang menjadi suatu sisitem
kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya
merupakan asas kerohanian yang antara lain memiliki ciri-ciri:
i. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan
kenegaraan
ii. Mewujudkan suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pedoman hidup,
pegangan hidup, yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan,
kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan
kesediaan berkorban
Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang
sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-citanya. Ideologi
merupakan sesuatu yang di hayati menjadi sesuatu keyakinan. Semakin mendalam
kesadaran ideologis seseorang maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk
melaksanakannya.
Ideologi berintikan seperangkat nilai yang bersifat menyeluruh dan
mendalam yang dimiliknya dan dipegang oleh seseorang atau suatu masyarakat
sebagai wawasan atau pedoman hidup mereka. Pengertian yang demikian itu juga
dapat di kembangkan untuk masyarakat yang lebih luas, yaitu masyarakat bangsa.

1. Pengertian Ideologi sebagai Ideologi Negara


Nilai-nilai pancasila yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Nilai-nilai pancasila sebagai sumber nilai bagi manusia Indonesia dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, maksudnya sumber acuan dalam
betingkah laku dan bertindak dalam menetukan dan menyusun tata aturan hidup
berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian nilai-nilai pancasila menjadi ideologi yang tidak
diciptakan oleh negara, melainkan digali dari harta kekayaan rohani moral dan
budaya masyarakat Indonesia sendiri.
Sebagai ideologi yang tidak diciptakan oleh negara menjadikan pancasila
sebagai ideologi juga merupakan sumber Indonesia dan meliputi suasana kebatinan
dari undang–undang nilai sehingga pancasila merupakan asa kerohanian bagi tertib
hukum Indonesia dan meliputi suasana kebatinan dari undang undang dasar 1945
serata mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara.
2. Perbandingan Ideologi Pancasila Dengan Ideologi lain ideologi liberalisme dan
ideologi sosialisme)

No Aspek Ideologi Ideologi Ideologi


Liberalisme Sosialisme Pancasila

1 Politik Negara sebagai Kepentingan Hubungan

(hubungan penjaga negara lebih antara warga


negara malam. diutamakan negara
dengan Rakyat atau daripada dengan
warga warganya kepentingan negara
negara) mempunyai warga negara. adalah
kebebasan Kebebasan seimbang.
atau atau Artinya
bertindak apa kepentingan kepentingan
saja asal warga negara negara
tidak dkalahkan dengan
melanggar untuk warga
tata tertib kepentingan negara
hukum, negara. sama-sama
kepentingan dipentingkan
dan hak
warganegara
lebih
diutamakan
dari, pada
kepentingan
Negara
2 Agama Negara tidak Kehidupan Agama erat
(hubungan mempunyai agama terpisah hubungannya
negara urusan agama. dengan negara. dengan
dengan Agama Warga negara negara.
agama) menjadi bebas Setiap
urusan pribadi beragama, warganegara
setiap warga bebas tidak dijamin pula
negaranya. beragama kebebasanya
Warga dan bebas untuk
negara pula memilih
bebas untuk salah satu
beragama, propaganda agama yang
tetapi juga anti-agama. diakui oleh

bebas tidak pemerintah.


beragama. Setiap orang
harus
beragama,
dan tidak
diperbolehk
an
propaganda
anti-agama
3 Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan
(tujuan diarahkan diarahkan diarahkan
pendidikan) pada untuk untuk
pengembang membentuk membentuk
an warga negara warga
demokrasi yang negara
senantiasa yang
patuh atau bertanggung
taat pada jawab
perintah memiliki
Negara akhlak mulia
dan taqwa
kepada
Tuhan
Yang Maha
Esa.

4 Ekonomi Sistem Sistem Sisitem


(sistem ekonomi ekonomi ekonomi
pereko yang sosialisme ini pancasila
nomian ) pengelolaann bertujuan terdiri dari
ya diatur untuk beberapa
oleh memperoleh prinsip
kekuatan suatu antara lain
pasar. Sistem distribusi berkaitan
ekonomi ini yang lebih
baik dan
perolehan
menghenda produksi dengan
ki adanya kekayaan prinsip
kebebasan yang lebih kemanusiaan
individu baik. dengan
dalam Sistem prinsip
kegiatan sosialisme kemanusiaan
ekonomi dan berpandang ,

pemerintah an bahwa nasionalisme

tidak ikut kemakmuran ekonomi,

campur individu demokrasi

dalam hanya ekonomi


kegiatan mungkin yang

ekonomi. tercapai bila diwujudkan

Pemerintah berpondasik dalam

hanya an ekonomi

bertugas kemakmuran kerakyatan

melindungi, dan keadilan


bersama dan
menjaga dan merupakan
memberi faktor-faktor
fasilitas produksi
yang
merupakan
kepemilikan
sosial

3. Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara

a) Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan


kesatuan bangsa. Fungsi ini sangat penting bagi bangsa Indonesia karena
mempersatukan masyarakat majemuk yang sering terancam perpecahan
b) Membimbing dan mengarahkan bangsa Indonesia menuju tujuannya.
Pancasila sebagai pemberi gambaran, motivasi, dan cita-cita bangsa,
serta menggerakan bangsa dalam melakukan pembangunan nasional
dalam pengamalan pancasila
c) Memberikan tekad untuk menngembangkan dan memeliharakan identitas
bangsa. Pancasila memberi gambaran identitas bangsa Indonesia
d) Menyoroti keadaan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita
cita yang terkandung dalam pancasila tersebut. Pancasila menjadi ukuran
untuk melakukan kritik mengenai keadaan bangsa dan Negara

4. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Pancasila sebagai ideologi terbuka maksudnya adalah Pancasila bersifat aktual,


dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan
jaman. Sebagai suatu ideologi terbuka, Pancasila memiliki dimensi : a) Dimensi
idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila yang
bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai yang terkandung dalam lima
sila Pancasila.
b) Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan
dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.
c) Dimensi realistis, harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila harus dijabarkan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga bersifat realistis artinya mampu
dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam berbagai bidang.
Keterbukaan Pancasila dibuktikan dengan keterbukaan dalam menerima budaya
asing masuk ke Indonesia selama budaya asing itu tidak melanggar nilai-nilai yang
terkandung dalam lima sila Pancasila. Misalnya masuknya budaya India, Islam,
barat dan sebagainya.
BAB V
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI
PENGEMBANGAN ILMU

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah unsur-unsur yang pokok dalam


kebudayaan manusia, dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat dua pandangan yang
berbeda yaitu :
(1) pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, artinya
tidak ada sangkut pautnya dengan moral, dengan etika, dengan
kemanusiaan, dengan ketuhanan.
(2) pendapat kedua menyatakan bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya
untuk kesejahteraan umat manusia.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah terikat nilai yaitu nilai moral, nilai
kemanusiaan, nilai religius. Bagi Pancasila ilmu pengetahuan itu ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan beradilan.

Dengan perkataan lain ilmu pengetahuan harus dilandasi etika ilmiah dan yang
paling penting dalam etika ilmiah adalah menyangkut hidup mati orang banyak,
masa depan, hak-hak manusia dan lingkungan hidup. Hal-hal yang perlu ditekankan
adalah sebagai berikut:
1. Risiko percobaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. Kemungkinan penyalahgunaannya
3. Kompatibilitas dengan moral yang berlaku
4. Terganggunya sumber daya dan pemerataannya
5. Hak individu untuk memilih sesuatu sesuai dengan dirinya

Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan


terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif
pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik aspek epistemologis,
aksiologi maupun ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak
validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan
sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of
discovery).

Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta saling
mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi,
epistemologi dan aksiologi.

1. Pilar ontologi (ontology)


Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi). a) Aspek
kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme,
pluralisme)
b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu
(mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar
dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat
hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada
kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu
bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.

2. Pilar epistemologi (epistemology)


Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran,
cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan
sumbangan bagi kita :
a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu b)
memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu c)
mengembangkan ketrampilan proses
d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.

3. Pilar aksiologi (axiology)

Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius)


dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman
aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan
etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009).
Landasan pengembangan ilmu secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis
keilmuan tersebut yang bersifat integratif dan prerequisite.

Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan


1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

a) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor


subjektif (misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) . b)
Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang
lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
c) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/konsisten, implikatif.
Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis
selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
d) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam
setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik,
intuitif).
e) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah
prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah
tujuan yang jelas.

2. Masalah nilai dalam IPTEK


a. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa
mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem
manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih
menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal
perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan
dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk
mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini.
Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara
metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami
hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan
adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu
pengetahuan berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu.

a.1) Mengapa timbul spesialisasi?


Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu
kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu
dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan.
Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu.
Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau
psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan
tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum
keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana
biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme organisme yang tidak
dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin
maju dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai
dasar-dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun
kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat dalam rangka spesialisasi.
Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan
masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia,
tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di samping tuntutan
kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia untuk menguasai ilmu dan
mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi generalis,
yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo,1982).

a.2) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi


Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan
segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan
kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu
spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan
intensif membawa dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu
lain. Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya
dari rumpun keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap
ilmunya otonom dan paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya
sehingga tidak tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus
diberikan bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu
diperoleh dari ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang
dipelajari atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu
pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada manusianya,
maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan
bahkan dari dirinya karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktik
praktik ilmu spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan
dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dan lain-lain..
Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan
merelativisir jika ada kerjasama ilmu ilmu pengetahuan dan terutama di antara
ilmuwannya. Hal ini tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan,
tetapi akan memudahkan penempatan tiap tiap ilmu dalam satu peta ilmu
pengetahuan manusia. Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia
dan segala kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan
memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu.
Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan akhir apalagi bila
keputusan itu menyangkut manusia sendiri.

b. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu


pengetahuan Tema ini membawa kita ke arah pemikiran:

∙ apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu pengetahuan, ∙ saat mana

dalam pengembangan ilmu memerlukan pertimbanganmoral/etik? Akhir-akhir ini


banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada
jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah
mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu
pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika?
Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral? Untuk
menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama,
kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kaitannya dengan manusia. Kedua,membicarakan dimensi etis serta kriteria etis
yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam
usulan jalan keluar dari permasalahan yang muncul.

b.1) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kalau


perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati janji awalnya 200
tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan
sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-
1900an dengan menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan
manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka
pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan
ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam
seperti pada abad ini.
Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu
menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia.
Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem
mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh
kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas
permasalahan dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran
serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi
manusia. Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi?
b.2) Akibat teknologi pada perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomena penerapan
kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan kemampuan
untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si
pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding).
Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan
munculnya masalah masalah etis seperti berikut.
· Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan
perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak melalui
”psychosurgery‟s infuse” kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation mampu
merangsang secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan
disusun. Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang
kemusnahan.
· Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan
manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media
lain.
· Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk
menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak,
menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia. ·
Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol
oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si
pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol
dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.
· Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi
Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia
justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri
eksistensial manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern
condong mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana
manusia tidak mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak
manusia diganti dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas
manusia (T. Yacob, 1993).

c. Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi
Ada empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan
secara konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap
manusiawi.
· Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan
terhadap manusia. Individu individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan
ilmu pengetahuan.
· Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak.
Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi
maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi
berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam
bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu
kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.
· Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi
sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada
seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang
satu dengan benda yang lain di alam ini.
· Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia
dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor
tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut
kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu
sistem. Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan
penghayatan hidup sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan
teknologi mau manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh
kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi
(T. Yacob, 1993).
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil budaya manusia
harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan. Pancasila yang sila-silanya merupakan satu kesatuan yang sistemik
haruslah menjadi sistem etika dan moral dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


Mengembangkan ilmu pengetahuan harus tetap menjaga perimbangan
antara rasional dan irasional, perimbangan antara akal, rasa, dan kehendak.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya memikirkan apa
yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga harus
mempertimbangkan maksud dan akibatnya apakah merugikan manusia dan
sekitarnya. Sila pertama ini menempatkan manusia di alam semesta bukan
sebagai sentral, melainkan sebagai bagian yang sistemik dari alam yang
diolahnya.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis
bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang
berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang lihur. Ilmu
pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan untuk mengamalkan komitmen etis
ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa ia
bukanlah agama yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem
peribadatan, sistem norma dan identitaskeagamaan dalam ranah privat dan
ranah komunitas agama masing-masing.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Nilai kemanusiaan memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah beradab
demi kesejahteraan umat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus
diabdikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat memiliki ilmu
pengetauan dan teknologi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkeadilan harus


disertai sikap empati, solidaritas, dan kepedulian yang merupakan nilai nilai
manusiawi. Visi kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi panduan
bagi proses peradaban yang meliputi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
serta bernegara, dan dalam pergaulan antara bangsa.

3. Persatuan Indonesia
Nilai persatuan Indonesia memberikan kesadaran kepada bangsa
Indonesia akan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi persatuan dan kesatuan bangsa bangsa dapat terwujud dan
terpelihara. Oleh karena itu ilmu pengetahuan dan
teknologi harus dapat dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan
kesatuan bangsa. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya
diarahkan demi kesejahteraan umum manusia termasuk di dalamnya
kesejahteraan bangsa Indonesia dan rasa nasionalismenya.
Negara persatuan Indonesia, sebagai ekspresi dan pendorong semangat
kegotong-royongan, harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
timpah darah Indonesia, bukan membela atau mendiamkan suatu unsur
masyarakat atau bagian tertentu dari teritorial Indonesia. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan negara persatuan itu diperkuat
dengan budaya gotong royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik
dengan tersus mengembangkan pendidikan
kewargaan dengan dilandasi prinsip-prinsip kehidupan publik yang lebih
partisipatif dan non-diskriminatif.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawa-ratan/Perwakilan

Nilai kerakyatan mendasari pengembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi secara demokratis, yang artinya setiap ilmuwan haruslah memiliki
kebebasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah teruji kebenarannya harus dapat
dipersembahkan kepada kepentingan rakyat banyak.

Nilai kerakyatan juga mensyaratkan adanya wawasan ilmu pengetahuan


dan teknologi yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang materi
yang dimusyawarahkan. Melalui hikmah itulah, mereka yang mewakili rakyat
bisa merasakan, menyelami, dan mengambil keputusan yang bijaksana yang
membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Berdasarkan nilai keadilan, mengimplementasikan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus menjadi kesimbangan dan keadilan dalam
kehidupan manusia, yaitu keseimbangan dan keadilan dalam hubungan antara
manusia dengan sesamanya, manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan
lingkungan di mana mereka berada. Pengembangan ilmu pengetahuan yang
berkeadilan harus dapat teraktualisasi dalam pengelolaan kekayaan alam
sebagai milik berasama bangsa Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dan mencegah penguasaan oleh modal perorangan atau kelompok.
(Tama Sembiring dkk, 2012: 148-150).
BAB VI

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN INDONESIA

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang


dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (pilisophisce
gronslag). Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber
norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk dalam sumber tertib
hukum di Indonesia, sehingga Pancasila merupakan sumber nilai, norma dan kaidah
baik moral maupun hukum di Indonesia. Oleh karenanya, Pancasila merupakan
sumber hukum negara baik yang tertulis maupun yang tak tertulis atau convensi.
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, oleh
karena itu dalam segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur
dalam sistem peraturan perundang – undangan. Hal inilah yang dimaksud dengan
pengertian Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini
tidaklah lepas dari eksistensi pembukaan UUD 1945, yang dalam konteks
ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting karena
merupakan suatu staasfundamentalnorm dan berada pada hierarkhi tertib hukum
tertinggi di Indonesia.
Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia,
pada hakikatnya merupakan suatu dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara termasuk dalam penyusunan tertib hukum di Indonesia.
Maka kedudukan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, sesuai dengan
yang tercantum dalam penjelasan tentang pembukaan UUD yang termuat dalam
Berita Republik Indonesia tahun II no. 7, hal ini dapat disimpulkan bahwa
pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber hukum positif Indonesia. Dengan
demikian seluruh peraturan perundang – undangan di Indonesia harus bersumber
pada Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung dasar filsafat Indonesia.
Pancasila dalam konteks ketatanegaraan RI. Dalam beberapa tahun ini
Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar mengenai sistem
ketatanegaraan. Dalam hal perubahan tersebut Secara umum dapat kita katakan
bahwa perubahan mendasar setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah
komposisi dari UUD tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh
dan Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung
kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian dimasukkan, diubah dan ada pula
yang dirumuskan kembali ke dalam pasal-pasal amandemen. Perubahan mendasar
UUD 1945 setelah empat kali amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana
kedaulatan rakyat, dan penjelmaannya ke dalam lembaga-lembaga negara.
Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat,
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang
terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya. Antara lain
mengangkat dan memberhentikan Presiden, menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar.
Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum
cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan
yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi
manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:

Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan
terpusat pada presiden. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan
organisasi masyarakat. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk
memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan
pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal
33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan
oligopoli.
Walaupun sudah banyak lembaga yang terdapat didalamnya namun
kenyataannya aplikasi belum bisa dijalankan. Sistem ketatanegaraan bangsa
Indonesia sudah memadai namun aplikasinya masih belum sesuai dengan yang
diharapkan. Aplikasi yang menjalankannya belum seperti yang diharapkan. Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
adalah sebuah negara besar. Negara yang diperjuangkan dengan segenap
pengorbanan, baik melalui perang maupun diplomasi.
Perjuangan itu, melahirkan banyak pahlawan pejuang kemerdekaan. Mulai
dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Teuku Umar, hingga Kiyai Haji Zaenal Mustafa, adalah sebagian dari
para tokoh yang gigih berjuang mengangkat senjata melalui perang melawan
penjajah.
Dalam bidang diplomasi, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad
Roem, Syafroeddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir, misalnya, adalah para
tokoh yang gigih memperjuangkan kedaulatan negara dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan itu sangat panjang, penuh pengorbanan
darah dan air mata. Diplomasi itu pun, sangat gigih, penuh negoisasi dan
kompromi.Itulah kilas balik perjuangan bangsa kita, Bangsa Indonesia dalam
meraih kemerdekaan hingga saat sekarang ini. Masa yang kita kenal dengan sebutan
ERA REFORMASI.
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999, membawa perubahan perubahan yang
mendasar dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan kita sebagaimana nampak
pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang
Undang Dasar 1945. Perubahan undang-undang dasar ini, sebenarnya terjadi
demikian cepat tanpa dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi
karena didorong oleh tuntutan perubahan-perubahan yang sangat kuat pada awal
reformasi antara lain tuntutan atas kehidupan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih demokratis, penegakan hukum yang lebih baik,
penghormatan atas hak- hak asasi manusia dan berbagai tuntutan perubahan
lainnya.
Begitu luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk
menghindari disorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan, seluruh
fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu menyepakati lima
prinsip yaitu :
Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pembukaan UUD 1945
memuat dasar-dasar filosofis dan dasar normatif dari berdirinya NKRI. Oleh karena
itu, perubahan atas Pembukaan UUD 1945 akan berarti mengubah negara RI.
Dengan demikian, amandemen UUD 1945 pun tidak boleh bertentangan dengan
dasar filosofis dan dasar normatif yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, amandemen UUD 1945 pada hakikatnya dilakukan untuk
menyempurnakan, melengkapi, dan memperjelas implementasi dasar filosofi dan
dasar normatif dalam Pembukaan UUD ke dalam batang tubuh UUD 1945.
Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia Kesepakatan
atas NKRI didasari oleh pertimbangan, bahwa para pendiri negara RI. Selain itu
pengalaman sejarah ketika berdiri negara Republik Indonesia Serikat (27 Desember
1949-17 Agustus 1950) ternyata telah mengancam integrasi bangsa Indonesia,
sehingga muncul kehendak bangsa Indonesia untuk kembali kepada bentuk NKRI.
Mempertegas sistem pemerintahan presidensil. Kesepakatan untuk
mempertahankan sistem presidensial dimaksudkan untuk mempertegas sistem
presidensial dalam UUD 1945 agar tidak kembali kepada sistem parlementer
sebagaimana terjadi pada era parlementer tahun 1950-an yang dipandang telah
melahirkan instabilitas politik nasional. Dengan demikian, pada hakikatnya
kehendak untuk mempertahankan sistem presidensial adakah untuk menciptakan
pemerintahan yang kuat dan efektif.
Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Keberadaan Penjelasan UUD 1945 selama masa
Orde Baru menimbulkan masalah yuridis karena sering menjadi dasar penafsiran
bagi praktik otoritarian Orde Baru, padahal kedudukan hukumnya tidak jelas,
apakah Penjelasan UUD 1945 termasuk bagian dari UUD atau hanya memorie van
toelechting yang tidak bersifat mengikat. Selain itu secara teoretik tidak dikenal
adanya Penjelasan atas suatu UUD di negara manapun. Oleh karena itu, Penjelasan
UUD 1945 harus dihapuskan, tetapi muatan yang bersifat normatif dimasukkan ke
dalam batang tubuh.
Perubahan dilakukan dengan cara addendum. Perubahan dilakukan secara
„adendum‟ dimaksudkan untuk tetap melestarikan nilai historis UUD 1945 serta
mempertahankan prinsip-prinsip para pendiri negara yang terkandung dalam UUD
1945. Secara politis, nilai historis UUD 1945 itu perlu dilestarikan karena terdapat
sebagian rakyat Indonesia yang tidak menghendaki terjadinya amandemen atas
UUD 1945.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah dilakukan
selama 4 kali Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000,
Perubahan Ketiga tahun 2001 dan Perubahan Keempat tahun 2002, telah membawa
implikasi politik yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kalau kita membaca dengan cermat perubahan tersebut, akan nampak
bahwa empat kali perubahan merupakan satu rangkaian perubahan yang dilakukan
secara sistematis dalam rangka menjawab tantangan baru kehidupan politik
Indonesia yang lebih demokratis sesuai dengan perkembangan dan perubahan
masyarakat. Tuntutan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan dalam bentuk
perubahan Undang Undang Dasar 1945, adalah pesan yang sangat jelas
disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai sejak tahun 1998.

Sistem Ketatanegaran RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945 Undang-


undang diartikan sebagai : Peraturan yang mengatur suatu negara, baik yang tertulis
ataupun tidak tertulis. Undang-Undang Dasar adalah kumpulan aturan yang
ketentuan dalam suatu kodifikasi mengenai hal-hal mendasar atau pokok
ketatanegaraan suatu Negara diberikan sifat kekal dan luhur, sedangkan untuk
merubahnya diperlukan cara yang istimewa serta lebih berat kalau dibandingkan
dengan pembuatan atau perubahan peraturan perundang-udangan. UUD 1945 adalah
keseluruhan naskah yang terdiri atas; (1) pembukaan yang terdiri atas 4 alinea; (2)
Batang tubuh yang berisi Pasal 1 sampai Pasal 37, terdiri dari 16 BAB, 3 peraturan
peralihan dan 2 ayat aturan tambahan (3) penjelasan UUD 1945 yang terbagi dalam
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Sehingga dengan demikian, baik
Pembukaan UUD, batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 merupakan satu
kesatuan yang utuh yang merupakan bagian satu sama lainnya tidak dapat
dipisahkan.
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat
dasar Negara dan garis besar hukum penyelenggaraan Negara (TAP MPR
No.III/MPR/2000). UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis, artinya UUD 1945
mengikat pemerintah, setiap lemabga Negara, lembaga masyarakat, dan seluruh
warga engara Indonesia dimanapun mereka berada, dan setiap penduduk yang
berdomisili di wilayah NKRI.

Hubungan UUD dengan Batang Tubuh UUD


Sistematika UUD 1945 yang terdiri dari :
1. Pembukaan
2. Batang Tubuh
3. Penjelasan

Dari sistematika diatas, jelas Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan Lebih
tinggi dibanding Batang tubuh, alasannya dalam Pembukaan terdapat : ∙ Dasar

Negara (Pancasila)

∙ Fungsi Dan Tujuan Bangsa Indonesia

∙ Bentuk Negara Indonesia (Republik)

Oleh karena begitu pentingnya pembukaan UUD maka pembukaan tidak bisa
diubah, mengubah sama saja membubarkan negara, sedangkan Batang tubuh bisa
diubah (diamandeman). Dalam sistem tata hukum RI, Pembukaan UUD 1945
memenuhi kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, alasan:

∙ Dibuat oleh pendiri negara (PPKI)

∙ Pernyataan lahirnya sebagai bangsa yang mandiri

∙ Memuat asas rohani (Pancasila), asas politik negara (republik berkedaulatan

rakyat), dan tujuan negara (jadi negara adil makmur)

∙ Memuat ketentuan yang menetapkan adanya suatu UUD

Sedangkan Batang Tubuh nisa dirubah asal syarat terpenuhi : Diusulkan ≥ 2/3
anggota MPR, Putusan disetujui ≥ 2/3 anggota yang hadir, Kenyataan Batang tubuh
UUD 45, sekarang sudah diamandemen 4 x , yaitu : Amandemen I (14-21 Okt
1999), Amandemen II ( 7-8 Agust 2000), Amandemen III (1-9 Nov 2001),
Amandemen IV (1-11 Agust 2002).

Atas dasar paparan diatas, maka dalam hubungannya dengan Batang Tubuh UUD
1945, menempatkan pembukaan UUD 1945 Alinea IV pada kedudukan yang amat
penting. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebenarnya hanya alinea IV Pembukaan
UUD 1945 inilah yang menjadi inti sari Pembukaan dalam arti yang sebenarnya.
Hal ini sebagaimana termuat dalam penjelasan resmi Pembukaan dalam Berita
Acara Republik Indonesia Tahun II no. 7 yang hampir keseluruhanya mengenai
bagian keempat Pembukaan UUD 1945. (Pidato Prof. Mr. Dr. Soepomo tanggal 15
Juni 1945 didepan Rapat Badan Penyelidik Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).

Hubungan UUD Dengan Pancasila


Perkataan Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari 2 suku kata
yaitu : Panca berarti lima, Sila berarti dasar atau azas. Jadi Pancasila berarti lima
dasar atau lima azas. Diatas kelima dasar inilah berdirinya Negara Republik
Indonesia.

Pancasila bagi Negara Indonesia adalah sama halnya dengan fundamen bagi sebuah
gedung. Kalau kita ingin mendirikan sebuah gedung haruslah gedung itu kita
dirikan di atas fundamen yang kuat dan kokoh. Akan demikian pulalah halnya kalau
kita ingin mendirikan suatu negara Indonesia yang kekal dan abadi, maka haruslah
bangunan Negara Indonesia itu kita dirikan di atas suatu dasar (fundamen) yang
kuat dan kokoh pula.

Kita telah meletakkan bangunan Negara Indonesia diatas suatu fundamen yaitu
Pancasila. Kita telah memilih Pancasila sebagai dasar yang fundamental bagi negara
kita. Mengapa kita harus memilih Pancasila ? Jawabannya adalah karena Pancasila
itu sesuai dengan alam kejiwaan bangsa kita sendiri, seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Bung Karno. Dalam Pancasila pengertian ini sering disebut dasar
falsafah negara (dasar negara). Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar
mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai
dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara seperti dimaksudkan di atas sesuai
dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menyatakan : “….., maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang
dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada …..”.

Pancasila Masa Reformasi


Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah
pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir
1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi bangsa
Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah
agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu UUD 45 sebagai penjabaran Pancasila dan sekaligus
merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk mengatur kehidupan
bernegara mengalami perubahan agar sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Karena itu pula orde yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Orde Reformasi
melakukan aneka perubahan mendasar guna membangun tata pemerintahan baru.
Namun upaya untuk menyalakan pamor Pancasila -setelah ideologi tersebut
di mata rakyat tidak lebih dari rangkaian kata-kata bagus tanpa makna karena
implementasinya diselewengkan oleh pemimpin selama lebih kurang setengah
abad- tidak mudah dilakukan. Bahkan, ada kesan bahwa sejalan dengan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru yang selalu gembar-gembor mengumandangkan Pancasila,
masyarakat terutama elit politiknya terkesan sungkan meskipun hanya sekedar
menyebut Pancasila.
Hal itu juga menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
negara tidak hanya pamornya telah meredup, melainkan sudah mengalami
degradasi kredibilitas yang luar biasa sehingga bangsa Indonesia memasuki babak
baru pasca jatuhnya pemerintahan otoritarian laiknya sebuah bangsa yang tanpa roh,
cita-cita maupun orentasi ideologis yang dapat mengarahkan perubahan yang
terjadi. Mungkin karena hidup bangsa yang kosong dari falsafah itulah yang
menyebabkan berkembangnya ideologi pragmatisme yang kering dengan empati,
menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang mabuk kuasa, aji
mumpung, dan lain-lain sikap yang manifestasinya adalah menghalalkan segala
cara untuk mewujudkan kepentingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau
kelompoknya.

Membangkitkan Pancasila
Tiadanya ideologi yang dapat memberikan arah perubahan politik yang
sangat besar dewasa ini dikuatirkan akan memunculkan kembali gerakan-gerakan
radikal baik yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat dalam menghadapi
ketidakpastian hidup maupun akibat dari manipulasi sentimen-sentimen primordial.
Gerakan-gerakan radikal semacam ini tentu sangat berbahaya karena dapat
memutar kembali arah reformasi politik kepada situasi yang mendorong munculnya
kembali kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial yang tidak
berkesudahan. Tidak mustahil kalau Pancasila tidak segera kembali menjadi roh
bangsa Indonesia, dikhawatirkan akan muncul ideologi alternatif yang akan
djadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan- gerakan radikal.
Karena itu, bagi bangsa Indonesia tidak ada pilihan lain selain mengembangkan
nilai-nilai Pancasila agar keragaman bangsa dapat dijabarkan sesuai dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam hubungan itu, perlu pula dikemukakan bahwa persatuan dan kesatuan
bangsa bukan lagi uniformitas melainkan suatu bentuk dari suatu yang eka dalam
kebhinekaan. Pluralitas juga harus dapat diwujudkan dalam suatu struktur
kekuasaan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola
kekuasaan agar dapat diperoleh elit politik yang lebih lejitimet, akuntabel serta peka
terhadap aspirasi masyarakat. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat
berharga bahwa konsep persatuan dan kesatuan yang memusatkan kewenangan
kepada pemerintah pusat dalam implementasinya ternyata lebih merupakan upaya
penyeragaman (uniformitas) dan membuahkan kesewenang-wenangan serta
ketidakadilan.
Nasionalisme yang merupakan identitas nasional yang dilakukan oleh
negara melalui indoktrinasi dan memanipulasi simbol-simbol dan seremoni yang
mencerminkan supremasi negara tidak dapat dilakukan lagi. Negara bukan lagi
sebagai satu-satunya aktor dalam menentukan identitas nasional. Hal ini juga
seirama dengan semakin kompleksnya tantangan global, masyarakat merasa berhak
menentukan bentuk dan isi gagasan apa yang disebut negara kesatuan yang sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Sementara itu, perubahan paling mendasar terhadap UUD 45 adalah
bagaimana prinsip kedaulatan rakyat yang pengaturannya sangat kompleks dalam
sistem kehidupan demokrasi dapat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu harus
dilakukan secara rinci dan disertai dengan rumusan yang jelas agar tidak terjadi
multi interpretasi sebagaimana terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut telah
dilakukan dengan mengamandemen UUD 45 antara lain yang berkenaan dengan
pembatasan jabatan Presiden/Wakil Presiden sebanyak dua periode, pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung, pembentukan
parlemen kedua (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah),
pembentukan Mahkamah Konstitusi, pembentukan Komisi Yudisial, mekanisme
pemberhentian seorang Presiden dan/Wakil Presiden dan lain sebagainya. Namun
sayangnya perubahan tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan
berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga meskipun telah dilakukan
perubahan empat kali, ternyata UUD Tahun 1945 masih mengandung beberapa
kekurangan.
Pengalaman selama lebih kurang setengah abad praktek-praktek kenegaraan
yang menyeleweng dari Pancasila telah mengakibatkan berbagai tragedi bangsa
harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Akibat
lain adalah ketertinggalan bangsa dibandingkan dengan negara-negara lain karena
bangsa Indonesia selalu disibukkan dengan masalah-masalah internal bangsa seperti
kesewenangan-wenangan penguasa, pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa serta
hal-hal yang tidak produktif lainnya sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia
kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Untuk bangkit dari keterpurukan tidak ada pilihan lain bagi bangsa
Indonesia, pertama-tama dan terutama harus kembali kepada Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi bangsa. Caranya adalah para pemimpin bangsa dan negara
tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato, tetapi
mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam
bentuk seremonial, melainkan benar-benar bisa dirasakan langsung oleh
masyarakat.

Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi Kemerdekaan


Berpegang pada sifat hubungan antara proklamasi 17 Agustus dengan Pembukaan
UUD 1945 yang tidak hanya menjelaskan dan menegaskan akan tetapi juga
mempertanggungjawabkan proklamasi, maka hubungan itu tidak hanya bersifat
fungsional korelatif melainkan juga bersifat kausal organis. Hal ini menunjukkan
hubungan antara Proklamasi dengan Pembukaan merupakan suatu kesatuan yang
utuh, dan apa yang terkandung dalam pembukaan adalah merupakan amanat dari
seluruh Rakyat Indonesia takkala mendirikan negara dan untuk mewujudkan tujuan
bersama. Oleh karena itu merupakan suatu tanggung jawab moral bagi seluruh
bangsa untuk memelihara dan merealisasikannya.
Apa buktinya Proklamasi dan Pembukaan UUD adalah merupakan satu kesatuan
yang utuh.

Dengarkan sekali lagi bunyi naskah Proklamasi itu :


“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara
saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Dan dengarkan sekali lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 : Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat


yang berbahagia dengan sela-mat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melak-sanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
“Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Demikianlah bunyi Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan
Undang- Undang Dasar 1945. Alangkah jelasnya! Alangkah sempurnanya ia
melukiskan kita punya pandangan hidup sebagai bangsa, kita punya tujuan hidup,
kita punya falsafah hidup, kita punya rahasia hidup dan kita punya pegangan hidup!
17 Agustus 1945 mencetuskan keluar satu proklamasi kemerdekaan beserta satu
dasar kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sebenarnya satu
proclamation of independence dan satu declaration of independence.

Maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu.
Naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tak dapat
dipisahkan satu dari yang lain. Naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah loro loroning a tunggal, maka proclamation of independence
berisikan pula declaration of independence. Sedangkan bangsa-bangsa lain didunia,
hanya mempunyai proclamation of independence saja. Atau hanya mempunyai
declaration of independence saja. Kita mempunyai proclamation of independence
dan declaration of independence sekaligus.

Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia,
bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Proklamasi kita
adalah sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan kita, oleh karena seperti tadi
saya katakan, Proklamasi kita itu adalah ledakan pada saat memuncaknya kracht
total semua tenaga-tenaga nasional, badaniah dan batiniah – fisik dan moril, materiil
dan spirituil. Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-
Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa
Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia
apa prinsip-prinsip kita itu.

Declaration of independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,


memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita,
untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam
memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup
dalam kalbu rakyat kita. Maka dari Proklamasi kita tak dapat dipisahkan dari
declaration of independence kita yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan
Pembukaannya itu.
“Proklamasi” tanpa “declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai
falsafah. Tidak mempunyai dasar penghidupan nasional, tidak mempunyai
pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d‟etre”, tidak
mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi.

Sebaliknya, “declaration” tanpa “proklamasi”, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa


kemerdekaan, maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala
“isme”, akan merupakan khayalan belaka, – angan-angan kosong-melompong yang
terapung-apung di angkasa raya.

Proklamasi Kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif
saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang
bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai ke akar-akarnya
segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan
imperialisme dari tanah air Indonesia, – tidak, proklamasi kita itu, selain melahirkan
kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali kepribadian bangsa
Indonesia dalam arti seluas-luasnya :

∙ kepribadian politik

∙ kepribadian ekonomi,

∙ kepribadian sosial,

∙ kepribadian kebudayaan, pendek kata kepribadian nasional.

Kemerdekaan dan kepribadian nasional adalah laksana dua anak kembar yang
melengket satu sama lain, yang tak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana
kepada masing-masing. Sekali lagi, semua kita, terutama sekali semua pemimpin
pemimpin, harus menyadari sangkut-paut antara Proklamasi dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 :

1. kemerdekaan untuk bersatu kemerdekaan untuk berdaulat,


2. kemerdekaan untuk adil dan makmur,
3. kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum,
4. kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
5. kemerdekaan untuk ketertiban dunia,
6. kemerdekaan perdamaian abadi,
7. kemerdekaan untuk keadilan sosial,
8. kemerdekaan yang berkedaulatan rakyat,
9. kemerdekaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
10. kemerdekaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
11. kemerdekaan yang berdasarkan persatuan Indonesia;
12. kemerdekaan yang berdasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
13. kemerdekaan yang mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia,

Semua ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung
atau saudara kembar daripada Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi orang yang benar
benar sadar kita punya proclamation dan sadar kita punya declaration, maka
Amanat Penderitaan Rakyat tidaklah khayalan atau abstrak. Baginya, Amanat
Penderitaan Rakyat terlukis sangat nyata dan jelas dalam Proklamasi dan Undang
Undang Dasar 1945. Amanat Penderitaan Rakyat adalah konkrit-mbahnya-konkrit.

Bagi seorang pemimpin yang melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat berarti


setia dan taat kepada Proklamasi. Bagi yang mengerti Amanat Penderitaan Rakyat
berarti mempunyai orientasi yang tepat terhadap rakyat. Bukan rakyat sebagai kuda
tunggangan, tetapi rakyat sebagai satu-satunya yang berdaulat di Republik
Proklamasi, sebagai tertulis di dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.
Menerima Amanat Penderitaan Rakyat berarti : mencintai rakyat, memperhatikan
kepentingan-kepentingan rakyat, mengabdi rakyat, mendahulukan kepentingan
rakyat dari pada kepentingan diri sendiri, atau kepentingan kantong sendiri, atau
kepentingan pundi-pundian sendiri.

Sumber:DosenPendidikan.Co.id
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam
hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang
saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran lainnya. Di
samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat
adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi
manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau


kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam
norma-norma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi : 1.
Norma Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik
maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila. 2. Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan
waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah
Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hokum. Dengan
demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai
nilai etika yang merupakan sumber norma.
PENGERTIAN ETIKA

Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan
bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah
sebagai berikut :
1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya
dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual)
maupun mahluk sosial (etika sosial)

PENGERTIAN NILAI, NORMA DAN MORAL


1. Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas
yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu


dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu
pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu
unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin
dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi
yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di
samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai
nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai
teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.

2. Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –
masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang
bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai
nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilainilai dapat
dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :

∙ nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang

memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,

∙ nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani,

kesehatan serta kesejahteraan umum,

∙ nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan


dan pengetahuan murni,

∙ nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :


a) nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
b) nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan
suatu aktivitas atau kegiatan,
c) nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang
dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :

∙ nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta
manusia.

∙ nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia

∙ nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur

kehendak manusia

∙ nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak

Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan


kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak
dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang
menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani,
kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber
pada berbagai sistem nilai.

3. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan
aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap
sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi
itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang
benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap
nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

4. Pengertian Norma
Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang,
serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan
alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai
mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma
dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan,
norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena
adanya sanksi.

5. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praktis


a. Nilai Dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra
manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau
berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai
dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif
dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya.
Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat
mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang
diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan
hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan
yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi
manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda
((kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai
norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang
bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang
merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika
bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

b. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar.
Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu
berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu
akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan
suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan,
kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga
dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat
ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran
Pancasila.

c. Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan
secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai
praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya.
Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua
perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan
pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.
6. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya
tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara
menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di
atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila
dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya
dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh
moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika
kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian,
etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang
memberikan ajaran moral.

PANCASILA SEBAGAI NILAI FUNDAMENTAL BAGI BANGSA DAN


NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Dasar Filosofis
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia
pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu
sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis.
Dalam pengertian itu maka Pancasila merupakan suatu sistem filsafat sehingga
kelima silanya memiliki esensi makna yang utuh. Dasar pemikiran filosofisnya
adalah sebagai berikut : Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik
Indonesia mempunyai makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan,
kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu
adalah negara adalah suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi
kemasyarakatan manusia.
Nilai-nilai obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya, hakikatnya,
maknanya yangterdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum,
universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
2) Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan
bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain dalam adat
kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
3) Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu
hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental
sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena
itu, dalam hierarkhi tata tertib hukum Indonesia berkedudukan sebagai
tertib hukum tertinggi dan tidak dapat diubah secara hukum sehingga
terlekat pada kelangsungan hidup negara.

Sebaliknya nilai-nilai subyektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaannya


bergantung dan atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan
sebagai berikut :
1) Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia
sebagai kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran, penilaian
kritik serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.
2) Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia
sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai
sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3) Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian
yaitu nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan
religius yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia
karena bersumber pada kepribadian bangsa.

Nilai-nilai Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi landasan, dasar serta motivasi
atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
kenegaraan. Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen
atau cita-cita tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan
atau das sein.

2. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Negara


Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas humanisme.
Oleh karena itu, Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Meskipun
Pancasila mempunyai nilai universal tetapi tidak begitu saja dengan mudah diterima
oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai Pancasila
secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai
basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dengan kata lain, bahwa Pancasila
milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat
legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis


memiliki kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Adapun
Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung
empat pokok pikiran yang merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai
Pancasila itu sendiri.
Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini
merupakan penjabaran sila ketiga.

Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini adalah penjabaran dari sila kelima.

Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan


atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan
bahwa negara Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan ditangan rakyat. Hal ini sesuai
dengan sila keempat.
Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran
ini sebagai penjabaran dari sila pertama dan kedua. Berdasarkan uraian di atas
menunjukkan bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan
sebagai pokok-pokok kaidah negara yang fundamental, karena di dalamnya
terkandung pula konsep-konsep sebagai berikut.
a) Dasar-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara
(negara Indonesia republik dan berkedaulatan rakyat) dan asas kerohanian
negara (Pancasila).
b) Ketentuan diadakannya Undang – Undang Dasar 1945, yaitu, ”.....maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia.” Hal ini menunjukkan adanya sumber
hukum.

Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan
yang tetap kuat dan tidak berubah, dalam arti dengan jalan hokum apa pun tidak
mungkin lagi untuk diubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai
dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat
Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti
pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah
maka dapat disimpulkan bahwa ancasila merupakan dasar yang fundamental bagi
negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Di
samping itu, nilai-nilai ancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam
kehidupan kenegaraan. Hal itu ditegaskan dalam pokok pikiran keempat yang
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas
kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya dalam penyelenggaraan
kenegaraan antara lain operasional pemerintahan negara, pembangunan negara,
pertahanan-keamanan negara, politik negara serta pelaksanaan demokrasi negara
harus senantiasa berdasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan.

3. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila


Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan
nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini
dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja
ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai
dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan
letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat
sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah
pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam
kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap
warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah
sesuai dengan keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin
dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada
paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).

2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya dengan
memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan
manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma
norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai
dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan
kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan
susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan
pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila
ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan
umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan
hewan.
Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea
Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya
dalam Batang Tubuh UUD.

3) Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan
mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam
menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup
persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan.
Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah
Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan
yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia
merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan
perdamaian dunia yang abadi.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang
dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi
menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku
bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD
1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam
Batang Tubuh UUD 1945.

4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam


Permusyawaratan/ Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam
satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia
menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam
hirarki kekuasaan.
Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat.
Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut sertanya
rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan
tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusankeputusan. Sila ini
merupakan sendi asas kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip
tata pemerintahan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :”...maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”

5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk
setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena
keadilan sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara
manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Konsekuensinya meliputi :
a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya
dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta
kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban.
b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap
negara, dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan
dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
negara
c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan
lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan
keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai.
Hakikat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan
perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA

Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat akan


muatan ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup,untuk dijadikan dasar dan
arah pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah,paradigma kemudian
berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan
lain,misalnya politik,hukum,ekonomi,budaya,serta bidang-bidang lainnya. Pada
dasarnya, konsep “paradigma” yang pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas
Kuhn, berarti sebuah model berpikir dalam ilmu pengetahuan.

Paradigma besara manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu


menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi
separangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa
diubah jika paradigm yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas
fenomena yang hendak diterangkannya itu.

Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah
mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah
paradigma yang mapu menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada
khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai
yang dikandung Pancasila itu baik, hanya terasa bahwa sila-silanya bagaikan
terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum
sesuai dengan kandungan normanya. Jika kritik itu benar, bukankah hal itu berarti
bahwa Pancasila masih belum merupakan suatu paradigma, atau jika sudah pernah
menjadi paradigma, ia tidak mampu lagi
menerangkan kenyataan politik di Indonesia dewasa ini? Jika memang demikian
halnya, bukankah kewajiban kita bersama mengembangkannya sedemikian rupa
sehingga mampu menerangkan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernagara di Indonesia ini?
A. Pengertian Paradigma

Istilah paradigma dalam dunia ilmu pengetahuan dikembangkan oleh Thomas S.


Khun dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1970:49). Secara
testimologis paradigma diartikan sebagai asumsi-asumsi dasar dan asumsi asumsi
teoritis yang umum (merupakan sumber nilai). Dengan demikian maka paradigma
merupakan sumber hokum,metoda yang diterapkan dalam ilmu
pengetahuan,sehingga sangat menentukan sifat,ciri dan karakter ilmu pengetahuan
itu sendiri.

Paradigma dapat diartikan sebagai keutuhan konseptual yang sarat dengan muatan
ajaran,teori,dalil,bahkan juga pandangan hidup untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan segala hal. Dalam istilah ilmiah, paradigma kemudian berkembang
dalam berbagai bidang kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan lain, misalnya
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya. Istilah paradigma
kemudian berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, pola pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu
perkembangan,perubahan serta proses pembangunan.

B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional

Pancasila harus dipahami sebagaisatu kesatuan organis, dimana masingmasing


silanya saling menjiwai atau mendasari sila-sila lain, mengarahkan dan mambatasi.
Pemahaman pancasila juga harus diletakkan dalam suatu kesatuan

Anda mungkin juga menyukai