(ACICIS)
Desember 2008
Halaman Pengesahan
Dengan selesainya skripsi ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam penelitian saya. Saya berhutang budi pada banyak pihak. Bantuan sejumlah
narasumber, dosen dan teman memungkinkan saya untuk merampungkan skripsi ini. Saya berterima
kasih kepada ACICIS yang memberikan kesempatan luar biasa ini. Terutama kepada Dr. Phillip King
dan Ms. Elena Williams, saya menyampaikan terima kasih atas dukungan serta bantuan mengenai
banyak hal yang terkait dengan tulisan ini dalam bentuk pengaturan program ACICIS, pengoreksian
serta nasihat yang diberikan. Teri a kasih u tuk Ketua Progra di Mala g, M. Mas ud “aid, PhD. da
semester ini. Terima kasih terutama untuk Ibu Yuli dan Pak Soeparto yang bersedia menjadi
pembimbing-pembimbing saya.
Kalimantan Tengah. Terima kasih saya haturkan kepada narasumber yang bekerja sama dengan saya:
Drs. Abrary Pesel, Gunawan, Tajarudin, Dr. H. Khairil Anwar, M. Ag., H. Silem D. Agil Smit, Pak Petrus,
Pak Bugar, Syairil Fadli, Sardini, Linggua Sanjaya Usop, Prof. Drs. Kumpiady Widen M.A PhD., Lewis
KDR, Durjen, Adris Ladju, Nasrullah, Pak Juju, Ibu Juju dan penduduk desa Juju Baru. Kejujuran dan
Terima kasih saya sampaikan pula kepada Melanie Wood dan Andrew Whitmarsh yang telah
menyediakan ruang serta waktu bagi saya agar proses penulisan kembali dapat dilaksanakan dengan
Dengan penuh penghargaan saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Rahmawati,
Agustiana, Endang Meirina dan Wahyu Handoyo Mukti yang telah dengan sabar memberikan
memungkinkan kajian ini. Bantuannya merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya dalam
Halaman Pengesahan.............................................................................................................1
Halaman Persembahan..........................................................................................................4
Abstract.................................................................................................................................6
Abstrak..................................................................................................................................8
Bab I: Pendahuluan................................................................................................................11
3.3 Narasumber..........................................................................................................................25
4.4Pembahasan..........................................................................................................................52
5.1 Kesimpulan...........................................................................................................................54
Daftar Pustaka....................................................................................................................70
Abstract
when this belief system was officially accepted as Hindu Kaharingan under the political banner of
agama, many features of Kaharingan have been politicised and coerced into fitting into the model of
agama upheld by the Indonesian state. The process of religious codification and bureaucratisation,
which has been operating for at least the last 30 years, has been the cause of cleavages in the Dayak
Ngaju community based on identity and insider-outsider status. Significantly, the characteristics of the
Tiwah and other Dayak Kaharingan cultural markers have undergone an intense period of
transformation as they negotiate with political authorities. This process continues. The Tiwah, as the
third, and most prominent, stage of the Ngaju Kaharingan death ceremony, is widely recognised as
instrumental as a reference point for ethnic identities.1 The spectrum of Dayak cosmology is marked
by the Tiwah, located at the interface between life and death. Weinstock claims that Kaharingan is a
dualistic belief system which can be divided into two sets of rituals; the alia and a a .2 These
ritualistic practises and associated beliefs support life and death respectively. The Tiwah is the most
prominent part of wara; this is the period where the soul proceeds through the liminal phase in order
to reach Syurga Loka (heaven) to reside with ancestral spirits.3 The role which Dayak Ngaju converts
to world religions such as Islam play in the Tiwah ceremony has been subject to considerable
vacillation from 1980 to the present. Political demands and misrepresentation of Kaharingan by
outsiders has exacerbated friction between religious and ethnic identity in Dayak Ngaju communities.
1
See Miles, D. (1976). Cutlass and Crescent Moon. Sydney, Australia: University of Sydney Press, pp. 47 for
more information.
2
For a more detailed account of the wara-balian distinction, see Weinstock, J.A. (1991). Kaharingan and the
Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central-East Borneo. Michigan, United States: Cornell University, pp.
35-37.
3
Ibid. Pp. 53-55.
Issues concerning tensions between Kaharingan and Islamic groups are consistently prominent in the
lead up to local elections.4 Such pressures have subsequently contributed to the Dayak-Jakarta
dialogue.
unstructured, were the main research methods employed in this study. Respondents included
representatives from the regional government, religious teachers, lecturers and the chancellor of
Palangka Raya University and STAIN University, Dayak anthropologists, the chairman of MBAHK,
Dayak Ngaju community in Palangka Raya, Muara Teweh and Juju Baru, Central Kalimantan. Adherants
of the Hindu Kaharingan religion, Islam and Protestantism were included in the aforementioned group
of respondents.
This study investigates the complex religious dialogue taking place in Central Kalimantan. The
fundamental importance of kinship values in Dayak society represent the key to a greater
understanding of Dayak culture. My work analyses how kinship values are supported by the Tiwah
ceremony. Several elements have contributed to the religious dialogue in this heterogeneous
province. My analysis focuses on the changes in the Tiwah ceremony which have occurred because of
the influence of outside forces. Aside from that, my research endeavours to assess potential threats
towards the continuation of the Tiwah ceremony. Finally, greater government transparency, more
effective communication with Dayak communities and more regulation of missionaries needs to be
implemented.
4
See Kusni, J. (2005). “u at Ka Du a g Paha i: Me a a Notule si Ma ko Mahi te ta g Diskusi Buku LIPI.
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg01319.html.
Abstrak
Salah satu bagian penting bagi identitas suku Dayak adalah kepercayaan Kaharingan5. Pada
tahun 1980, kepercayaan Kaharingan diterima secara resmi sebagai agama Hindu Kaharingan.
Sejumlah ciri khas Hindu Kaharingan dihambat tokoh-tokoh serta badan-badan dari luar masyarakat
Dayak sejak tahun 1980. Sejak tahun 1950an, masyarakat Kaharingan mengalami pergeseran yang
Kaharingan dalam masyarakat Dayak berlanjut sejak tahun 1980. Keterkaitan antara identitas serta
agama diperkuat oleh nilai kekeluargaan yang sangat menonjol dalam masyarakat Dayak. Di samping
nilai kekeluargaan, masyarakat Dayak bersandar pada tiga hal: hak, kewajiban serta tanggung jawab6.
Dalam penelitian ini, saya akan mengajukan argumen bahwa pemerintah serta misionaris Protestan
tak henti-hentinya melakukan campur tangan dalam persoalan kepercayaan Kaharingan. Akibat
Upacara Tiwah merupakan tingkat ketiga dari seluruh rangkaian upacara kematian suku Dayak
Ngaju. Tiwah menjadi bagian paling lama serta rumit dalam upacara kematian. Demikian besarnya
peran Tiwah dalam mengantar arwah ke surga, ritual ini dianggap bagian paling penting dalam upacara
kematian. Upacara Tiwah menggarisbawahi pentingnya kerukunan sosial dalam masyarakat Dayak
Ngaju. Upacara Tiwah merupakan penghubung kehidupan dan kematian dalam spektrum kosmologi
5
Dalam tulisan berjudul A Old ‘eligio i Ne O de I do esia: Notes o Eth i it a d ‘eligious
Affiliation (1996), Schiller menulis: Geertz has argued that in Indonesia, religion often ranks high among the
"gross actualities" within which a "people's" sense of self remains bound up," and with which the state must
come to terms (Geertz 1973: 258). For purposes of this paper it is useful to extend the argument to include
adat.
6
Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, Lewis KDR, menyebutkan ketiga hal ini sebagai asas
masyarakat Dayak dalam wawancara, Karena filosofi Dayak ya duduk di atas tiga hal: hak, kewajiban,
tanggung jawab. Upacara kematian juga (...) dari sana.
Dayak. Menurut Weinstock,7 Kaharingan sebagai sistem kepercayaan memiliki dia sisi, yaitu alia
dan a a . Kedua bagian ini melambangkan berturut-turut kehidupan dan kematian. Upacara Tiwah
merupakan bagian paling utama dalam a a ; pada tahap ini, nyawa seseorang pergi sampai ke
Syurga Loka (surga) agar dapat bertemu serta tinggal bersama roh-roh leluhur. Semenjak tahun
1980, peranan orang Dayak yang menganut agama lain dalam upacara Tiwah mengalami pergeseran.
Terjadi pergolakan antara identitas etnik dan agama dalam masyarakat Dayak. Pokok persoalan ini
diperparah oleh tuntutan pemerintah dan penggambaran Kaharingan yang keliru. Isu-isu dalam
pemilihan kepala daerah tampaknya dipengaruhi juga oleh ketegangan antara kelompok Kaharingan
dan pemerintah.
dalam penelitian ini adalah para wakil pemerintah daerah, guru agama, mantan damang (kepala adat),
rektor dan dosen Universitas Palangka Raya serta Universitas STAIN, antropolog Dayak, Ketua MBAHK,
wakil SKDI, wakil Muhammadiyah Palangka Raya, anggota masyarakat Dayak Ngaju di Kota Palangka
Raya, Muara Teweh dan Juju Baru, Kalimantan Tengah. Baik penganut agama Hindu Kaharingan, Islam,
7
Weinstock, J.A. (1991). Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central-East Borneo.
Michigan, United States: Cornell University
Universitas Palangka Raya dan Sekretariat Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan,
Muara Teweh
Dalam kajian ini, kemajemukan wacana keagamaan di Kalimantan Tengah dicermati. Dalam
risalah ini, saya menitikberatkan asas kekeluargaan yang menjadi kunci pemahaman masyarakat
Dayak. Penelusuran berjenjang ini bertujuan menguraikan lika-liku pelaksanaan upacara Tiwah serta
bagaimana nilai kekeluargaan ditopang oleh upacara ini. Tidak dapat dipungkiri, banyak unsur berbeda
memiliki andil dalam wacana keagamaan di propinsi yang berpancaragam ini. Dengan demikian,
pangkal uraian saya dipusatkan pada perubahan dalam pelaksanaan upacara Tiwah yang terjadi akibat
kekuatan-kekuatan di luar masyarakat Kaharingan. Selain itu, kajian ini bertujuan menemukan
Pendahuluan
Agama Hindu Kaharingan8 merupakan agama terbesar di Indonesia yang berasal dari
kepercayaan kesukuan.9 Kaharingan diciptakan pada tahun 1957 dari unsur-unsur sejumlah
kepercayaan dalam masyarakat Dayak.10 Suku Dayak Ngaju merupakan suku asli paling besar di
Propinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di kampung-kampung di
tepi sungai. Sejak tahun 1957, perkembangan agama Hindu Kaharingan dipermainkan oleh kekuatan-
kekuatan dari pihak politik serta agama. Upacara paling menentukan dalam kehidupan penganut
agama Hindu Kaharingan adalah Tiwah, yaitu upacara kematian terakhir. Upacara ini berlangsung
paling sedikit tujuh hari danpaling lama tiga puluh tiga hari. Tujuan upacara ini adalah pengangkatan
arwah orang yang meninggal ke surga agar dapat bersatu dengan nenek moyangnya serta sangiang11,
mahkluk halus. Di sinilah letak pentingnya upacara rumit ini. Identitas Dayak berhubungan erat baik
berangsur-angsur mengalami proses perubahan sesuai tuntutan dari Departemen Agama serta pihak
lain dari luar masyarakat Kaharingan. Salah satu tujuan tulisan ini adalah menjabarkan perubahan yang
8
Kaharingan merupakan suatu sistem kepercayaan hingga tahun 1980, ketika diakui sebagai agama, dan
dengan demikian berada di bawah aturan Departemen Agama yang mengurus serta mengontrol semua hal-hal
yang bersangkutan dengan agama termasuk kegiatan, upacara, pendidikan dan ritual.
9
Baier, M. (2006). Perkembangan Sebuah Agama Baru di Kalimantan Tengah.
10
“ hiller, A. . A Old ‘eligio i Ne Order I do esia: Notes o Eth i it a d ‘eligious Affiliatio .
Sociology of Religion, 57:4 409-417.
11
Sangiang adalah roh-roh tersuci yang tinggal di lapis langit yang paling tinggi bersama Ranying Hatalla Langit
serta para malaikat dan dewa.
muncul akibat usaha pemerintah yang mengatur bentuk agama agar sesuai dengan patokan yang
Segala sistem kepercayaan serta agama tumbuh dalam lingkungan serta zaman yang tertentu.
Kajian ini bermaksud mencermati perkembangan yang mengancam keberadaan upacara Tiwah di
masa depan. Jika unsur-unsur tertentu yang membentuk pangkal pokok suatu masyarakat dapat
dileburkan, dibatasi atau diubah oleh tokoh-tokoh dari luar masyarakat, berarti pusat kekuasaan
Campur tangan pemerintah sejak tahun 1950 menjadi salah satu unsur yang mengubah arah
kelompok etnis Banjar yang beragama Islam di Propinsi Kalimantan Selatan mulai menjadi pokok
persoalan besar dalam hubungan etnik serta keagamaan dengan kelompok Dayak Ngaju yang
sebagian besar memeluk kepercayaan Kaharingan. Pada saat yang sama, mulai tumbuh keinginan dari
berbagai suku Dayak untuk bersatu di bawah struktur pemerintahan yang terpisah dan lebih
Kalimantan Tengah, yang pada saat itu secara geografis meliputi banyak wilayah berpenduduk suku-
suku Dayak. Dorongan untuk membangun propinsi khusus Dayak untuk menghindari adanya
aspirasi politik masyarakat Dayak. Beraneka ragam kepercayaan animis yang kuno disatupadukan
12
In the past, southern Bornean peoples engaged in mostly private ecstatic religious practices and an array of
kin group-centered rituals. By the mid-1950s, this indigenous configuration of beliefs and practices had been
Pada tanggal 20 Juli, 1950, Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) didirikan di Sampit,
Kalimantan Tengah. SKDI merupakan salah satu lembaga utama yang mewadahi serta mewakili cita-
cita pemeluk Kaharingan.13 Bersama dengan Gubernur Kalimantan Tengah pertama, Tjilik Riwut14,
yang memahami pentingnya pelestarian kepercayaan Kaharingan, SKDI menciptakan visi dan misi
untuk pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah15 yang berakar pada kebudayaan serta kepercayaan
Dayak.
Pada tahun 1957 di tengah keresahan sosial yang diakibatkan ketegangan di antara suku
Banjar dan Dayak mengenai kendali pemerintahan, Propinsi Kalimantan Tengah dibentuk.16 Tanah
untuk membangun Balai Induk Kaharingan, tempat ibadah dan pusat kebudayaan Dayak yang
pertama disediakan Gubernur Tjilik Riwut di Palangka Raya, ibu kota propinsi baru itu, pada tahun
yang sama. Sebagian besar penduduk propinsi baru ini memeluk sistem kepercayaan Kaharingan,
berbeda dengan penduduk propinsi Kalimantan Selatan yang sebagian besar merupakan suku Banjar
yang beragama Islam. Tjilik Riwut mengusahakan kursi bagi wakil Kaharingan di DPRD17 disusunkan.
Agama Kaharingan Dayak Indonesia (BAKDI) dibentuk di Kalimantan Tengah. Pemimpin Kaharingan
berupaya keras memenuhi segala syarat-syarat agama yang ditetapkan pemerintah. Agar dapat
diterima sebagai Hindu Kaharingan, sejumlah unsur-unsur baru harus dimasukkan. Salah satu syarat
adalah semua agama wajib berasaskan kitab suci serta Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada
tahun 1970an, kitab suci yang namanya uku su i pa utu a diciptakan18. Tuhan Yang Maha Esa
dalam agama Hindu Kaharingan adalah Ranying Hatalla Langit Jata Balawang Bulau. Meskipun dalam
Pada tahun 1967, Tjilik Riwut menjadi fungsionaris Golkar20 di Banjarmasin serta sekaligus
memegang jabatan sebagai koordinator masyarakat suku Dayak se-Kalimantan21. Riwut berusaha
menjalin hubungan yang erat antara SKDI dengan Golkar. Golkar mulai menyumbang dana untuk
keberlangsungan SKDI pada tahun 1960an. Pada tahun 1971, Tjilik Riwut berhasil menjadi wakil Golkar
dari Kalimantan di DPR22. Setiap tahun, jumlah dana yang diterima MAKRI serta BAKDI bertambah
terus setelah Tjilik Riwut mendapat kursi di DPR. Golkar menjadi pendukung keuangan yang utama
pedoman keagamaan umat Kaharingan, serta pembinaan Balai Kaharingan yang membentangkan di
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Nama lengkap Golkar adalah Golongan Karya. Partai ini merupakan partai politik yang berkuasa pada zaman
Orde Baru.
21
Hendrijani, A. et al., (2006). Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta, Indonesia:
Galangpress.
22
DPR artinya Dewan Perwakilan Rakyat.
Hendrijani, A. et al., (2006). Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta, Indonesia:
Galangpress.
lima belas kabupaten di Kalimantan Tengah dibiayai Golkar pada tahun 197323. Pada tahun
berikutnya, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) didirikan. Perjuangan SKDI
untuk berhasil mendapatkan pengakuan resmi dari Departemen Agama dilanjutkan oleh majelis
tersebut. Pada bulan Desember 1979, Majelis Agama Hindu Kaharingan (MAHK) mengambil alih peran
permohonan kepada pemerintah agar Kaharingan diakui sebagai salah satu agama resmi. Kesepakatan
ini menjadi langkah maju yang sangat menentukan bagi umat Kaharingan. Ketentuan pemerintah
menyatakan bahwa penolakan terhadap aga a aru di luar lima agama yang saat itu diakui negara
tetap menjadi kebijaksanaan pemerintahan. Menyusuli keputusan pemerintah tersebut, para wakil
MBAUKI dianjurkan Kanwil24 Departemen Agama Kalimantan Tengah agar Kaharingan menginduk
pada agama Hindu. Dengan kepercayaan pada banyaknya bentuk roh-roh, termasuk roh leluhur serta
roh alami, Hindu dianggap sebagai agama yang paling mirip dengan Kaharingan. Saran tersebut
tanggal 28 April 1980. Surat tersebut berisi persetujuan peleburan umat Kaharingan ke dalam agama
Hindu Dharma. Bahkan, Departemen Agama menasihatkan agar nama Majelis Agama Hindu
Pengakuan negara terhadap Hindu Kaharingan ini membuka peluang bagi pemerintah untuk mendikte
lembaga-lembaga yang menaungi para penganut kepercayaan Kaharingan. Menteri Agama menuntut
agar penghayatan serta pelajaran agama disesuaikan dengan ajaran agama Hindu. Penggeseran
identitas keagamaan serta etnis yang telah diserap masyarakat Dayak sejak penggabungan berbagai
23
Ibid.
24
Kantor Wilayah.
aliran animis tahun 1950an, kini berada di bawah tuntutan dari Jakarta. Sejak saat itu, Kepala Kanwil
Departemen Agama serta Ditjen Bimas Hindu dan Budha memegang kendali dan bertanggung jawab
untuk mengikuti tuntutan-tuntutan pemerintah tanpa syarat, artinya, pada masa depan, keputusan
kunci akan dibuat di bawah kendali pemerintah. Manfaat-manfaat yang diperoleh dengan pengakuan
resmi juga membawa kerugian. Meski demikian, pemimpin-pemimpin Kaharingan harus bertindak
dalam batas-batas yang ditetapkan pemerintah. Wacana keagamaan antara Departemen Agama dan
umat Kaharingan bercirikan ketidakseimbangan kekuasaan semenjak tahun 1950an. Mulai dari tahun
1980, kekuasaan untuk mengatur kegiatan Agama Hindu Kaharingan dipegang sepenuhnya oleh
Di bawah pemerintahan Orde Baru, Departemen Agama menetapkan bahwa setiap agama
harus memenuhi persyaratan berikut: agama wajib berasaskan pada ketuha a serta Kitab Suci atau
sejenis naskah suci; suatu gedung khusus untuk pelayanan ibadah harus didirikan; dan agama resmi
wajib mengakui beberapa hari keagamaan tahunan. Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK)
kemudian memasukkan sejumlah penyesuaian di dalam Kaharingan agar dapat memenuhi segala
syarat Departemen Agama. Tuhan Yang Maha Kuasa Kaharingan, yang menciptakan serta melengkapi
dunia dan alam semesta, diberikan nama Ranying Hatalla Langit Jatha Balawang Bulau . Buku
menjadi kitab Suci Kaharingan. De ga su sidi dari pe eri tah I do esia, gedu g Balai Basa ah
dibangun di Palangka Raya untuk pelayanan tetap umat Kaharingan. Kemudian, untuk memenuhi
syarat keempat, tiga hari keagamaan ditetapkan MBAHK, yakni: Hari Pertanian, Hari Kebudayaan dan
Hari Syukuran Umum. Tidak cukup hanya mengatur pembentukan serta perkembangan melalui
keempat syarat tersebut pembentukan serta perkembangan agama Hindu Kaharingan melalui
keempat syarat tersebut, pemerintah juga menyusun daftar peraturan mengenai pelaksanaan
Upacara Tiwah merupakan ritual kematian yang terbesar, terpenting dan termahal bagi
penganut Kaharingan. Sebelum pendudukan Belanda, jipen25 dibeli di pasar perbudakan dan
dikorbankan dalam upacara Tiwah. Pemerintah Belanda melarang kebiasaan ini pada tahun 185926.
Sebagai pengganti, kerbau boleh digunakan sebagai persembahan korban. Karena banyaknya hewan
yang dikorbankan, biaya upacara Tiwah sangat mahal. Hewan yang dapat dikorbankan termasuk
kerbau, ayam, sapi, kambing dan babi. Orang yang meninggal dunia membawa hewan korban dalam
perjalanan ke tanah suci, yaitu Gunung Lumut27, di mana sangiang dan roh leluhur menunggu. Karena
biaya upacara kematian Tiwah sangat mahal, orang sering pindah masuk agama Kristen atau Islam
yang upacara kematian serta ritual lain jauh lebih murah28. Dalam upacara Tiwah, roh orang yang telah
meninggal diantarkan ke Syurga Loka29 agar dapat tinggal bersama dengan roh-roh leluhur. Pengikut
upacara Tiwah harus mengikuti kepada sejumlah peraturan yang ditentukan pemerintah. Suatu jadwal
yang menguraikan kegiatan-kegiatan dalam upacara Tiwah secara terperinci harus diajukan kepada
Departemen Agama30. Pemimpin upacara Tiwah wajib memperoleh surat izin dari polisi daerah
25
Jipen artinya budak dalam bahasa Dayak Ngaju.
26
Baier, M. (2007). Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Esa – Teologi Sistematika Agama Hindu
Kaharingan. Pontianak, Indonesia: Balai Penerbit Pontianak Amu Lanu.
27
Penganut Kaharingan percaya bahwa Gunung Lumut merupakan gunung yang suci. Tuhan Kaharingan,
Ranying Hatalla Langit Jata Bulau Balawang berasal dari Gunung Lumut.
28
Baier, M. (2007). Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Esa – Teologi Sistematika Agama Hindu
Kaharingan. Pontianak, Indonesia: Balai Penerbit Pontianak Amu Lanu.
29
Syurga Loka artinya surga.
Tujuan yang ingin saya capai dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menemukan apa saja ancaman terhadap keberadaan serta masa depan upacara Tiwah.
3. Untuk menemukan penyebab mengapa generasi muda Dayak memilih masuk agama lain
danpemerintah.
5. Untuk menguraikan pengaruh dari luar masyarakat Dayak terhadap upacara kematian Tiwah.
Dilihat dari perspektif yang lebih luas, penyelarasan a tara tradisi a g ke il da tradisi
a g agu g kini terjadi di seluruh dunia. Kebudayaan-kebudayaan yang dahulu terpencil sedang
menghadapi globalisasi dan pengaruh dari agama-agama dunia yang lebih kuat. Hasil yang penting
dari interaksi dan hubungan-hubungan ini adalah munculnya identitas keagamaan yang diperbarui.
Penelitian ini bermanfaat untuk membangun pemahaman lebih dalam antar kebudayaan,
kepercayaan dan agama-agama yang berbeda di Kalimantan terutama dalam masyarakat Dayak Ngaju
di Kalimantan Tengah. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu
peranan nilai kekeluargaan, kajian ini dapat memberikan uraian mengenai kemajemukan masyarakat
Dayak Ngaju.
Bab II
Kajian Pustaka
Ahli antropologi Perancis, R. Hertz, mempelajari sebagian besar bahan etnografi yang
Kalimantan31. Hertz memahami upacara kematian sebagai kegiatan yang diselenggarakan setelah
kematian seseorang yang diatur dalam adat-istiadat . Upacara ini menuntut keikutsertaan kolektif.
Hertz melihat bahwa peristiwa kematian memiliki dampak yang luas terhadap perilaku masyarakat
Dayak dipengaruhi oleh peristiwa upacara kematian. Hertz dan sosiolog Perancis terkenal, E.
Durkheim, mentamatkan bahwa perilaku sebagian besar anggota masyarakat Indonesia banyak
ditentukan oleh gagasan kolektif dalam masyarakat itu32. Kematian dipahami sebagai proses
perpindahan dari suatu kedudukan sosial dalam dunia yang fana ini ke suatu kedudukan sosial di alam
arwah33. Di samping itu, riset Hertz menggarisbawahi bahwa pada umumnya upacara berdasarkan
1. Masa kegentingan atau masa penuh ancaman gaib muncul pada saat nyawa beralih dari suatu
kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain. Bahaya yang terletak di sini dapat
2. Kerabat orang yang meninggal serta jenazah itu sendiri dianggap memiliki sifat suci (sacre);
31
Koentjaraningrat (2007). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta, Indonesia: Penerbit Universitas Indonesia.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.
4. Sifat bahwa ketiga tahap adalah, pertama, tingkat yang membebaskan roh itu dari kaitannya
kedudukan serta lingkungan yang baru, dan tingkat yang mengantarnya masuk ke lingkungan
baru;
5. Roh itu harus menjalani prosesi pengkukuhan melalui sejumlah upacara ilmu gaib karena roh
Dalam penelitian saya, poin ketiga serta poin keempat merupakan poin yang paling penting
Seperti tercantum dalam uraian Hertz, penyelenggaraan upacara kematian bersusun tiga
merupakan ciri khas sejumlah suku bangsa Indonesia. Pengamatan ini sejalan dengan upacara Tiwah.
Dalam masyarakat Dayak, upacara berfungsi sebagai sumber kerukunan serta kepaduan sosial.
Pentingnya upacara semakin diperkuat oleh nilai-nilai kekeluargaan yang kokoh. Anggota keluarga
wajib hadir dan ikut serta dalam upacara di kampung halamannya. Sejumlah unsur yang bergabung
membentuk teori sistem upacara dilukiskan dalam riset Hertz. Dengan merujuk kepada ritual yang
menggambarkan teori upacara Hertz, pengertian mengenai kebudayaan Dayak yang lebih mendalam
dapat diperoleh.
35
Tahap terakhir dalam karya Hertz dikenal sebagai ceremonie finale, Kedudukan yang baru untuk roh yang
meninggal itu dicapai pada ceremonie finale, yaitu pada upacara di mana tulang-belulang dan sisa-sisa
jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (...) lalu ditempatkan di pemakamannya yang tetap. Kecuali itu
ada upacara yang maksudnya meresmikan kedatangan roh orang yang meninggal itu di antara para roh
nenek-moyengnya di dunia mahluk halus. Sedangkan bagi kaum kerabat yang masih hidup ada upacara yang
maksudnya mengahlikan mereka itu dari keadaan mereka yang sacre ke keadaan yang biasa kembali di dalam
kehidupan sosial sehari-hari. (Koentjaraningrat 2007: 73)
Antropolog Inggris, Victor Turner, mencurahkan banyak perhatiannya terhadap pentingnya
ritual dalam masyarakat Ndembu dan Nyakyusa di Afrika bagian selatan36. Dalam pemahaman Turner,
ritual mengandung simbol yang bermakna. Ritual mewakili nilai-nilai yang paling menonjol dalam
masyarakat. Dengan demikian, sikap serta tindak-tanduk manusia dapat diubah melalui pelaksanaan
ritual. Turner memahami si ol se agai e pressi e phe o e a 37 Berkenaan dengan definisi ritual
Turner, pernyataan ritual merupakan perwujudan kepercayaan pada para mahluk gaib. Dalam
pengertian Turner, ritual serta simbol berasal dari perumpamaan.38 Deflem mengemukakan bahwa
Turner melihat ritual sebagai salah satu unsur dalam proses penyatuan masyarakat.39 Demikian juga
dalam perspektif Gluckman yang melihat ritual sebagai unsur yang berguna dalam pemeliharaan
keseimbangan sosial.40 Ritual memainkan peranan penting dalam upacara Tiwah. Bahkan, menurut
pendapat Geertz, ritual yang terdapat dalam upacara memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
36
Tu e : defi ed itual as p es i ed fo al eha iou fo o asions not given over to
te h ologi al outi e, ha i g efe e es to eliefs i sti al ei gs a d po e s. ... ‘itual, eligious eliefs
a ds ols a e i Tu e s pe spe ti e esse tiall elated. ... ‘itual is a ste eot ped se ue e of activities
involving gestures, words, and objects, performed in a sequestered place, and designed to influence
p ete atu al e tities o fo es o ehalf of the a to s goals a d i te ests (Turner 1977a: 183). - Deflem, M.
(1991). Ritual, Anti-Structure and Religion: A Dis ussio of Vi tor Tur er s Pro essual “ oli A al sis.
Journal for the Scientific Study of Religion 30(1): 1-25.
37
Arti ungkapan itu adalah kejadia a g e sifat e ataka pe asaa .
Fernandez, J. & Turner, V. (1973). Analysis of Ritual: Metaphoric Correspondences as the Elementary Forms.
Science, New Series, Vol. 182, No. 4119, pp. 1366-1368.
38
Metaphor, not symbol, should be considered the basic analytic unit of ritual because ritual and ritual
symbols spring from metaphor. (...) A metaphor is an image predicated upon a subject by virtue of some sense
of apt o espo de e pe ei ed i the ultu e, a d it is this i age hi h is effi a ious i the su je t s
e pe ie e a d i pla i g his pe fo a e i the itual p o ess. Ibid.
39
Rituals, ... e e t eated Tu e as e el the so ial glue that holds Nde u so iet togethe . -
Deflem, M. (1991). Ritual, Anti-“tru ture a d ‘eligio : A Dis ussio of Vi tor Tur er s Pro essual “ oli
Analysis. Journal for the Scientific Study of Religion 30(1): 1-25.
40
I Glu k a s fu tio alist app oa h, the ole of ituals is to sustai a so iet s e uili iu a d to se u e
solida it a o g its e e s. ‘ituals a e looked upo as e ha is s to e su e so ial u it – Ibid.
gambaran agama mereka serta kepercayaan terhadap alam baka yang akan dialami arwah susudah
itual a ot e the pla e he e eligious faith is attai ed, ut he e it is lite all pla ed out a d
o fi ed. 42
Gellner menunjukkan bahwa menurut kesimpulan Geertz, ritual mengandung pesan yang
jelas. Berlawanan dengan pandangan Geertz, Bloch menguraikan bahwa pesan yang terdapat dalam
Dalam karyanya, Maurice Bloch, antropolog Inggris, menegaskan pentingnya ritual serta
simbolisme. Keanekaragaman pandangan terhadap ritual muncul akibat kerumitan ritual tersebut.44
Di sinilah terletak kekuatan serta pentingnya ritual. Ketiga tahap45 upacara kematian Tiwah dapat
disamakan dengan susunan ritual bertingkat tiga yang dibahas dalam kajian Van Gennep. Tiwah dapat
41
Co siste t ith p e ious a gu e ts a out the fu tio s of eligious s ols is Gee tz s e a k that it is i
ritual – that is, consecrated behaviour – that this conviction that religious conceptions are veridical and that
eligious di e ti es a e sou d is so eho ge e ated ( : . Asad, T. . A thropologi al
Conceptions of Religion: Reflections on Geertz. Man, New Series, Vol. 8, No. 2, pp. 237–259.
42
Ibid.
43
Whereas Geertz insists that the ritual has a clear message – that the king is close to the gods – Bloch argues
that the message can never be entirely clear: its fuzziness is of the essence. - Gellner, D. (1999). Religion,
politics, and ritual. Remarks on Geertz and Bloch. Social Anthropology, Vol. 7, No. 2, 135-153.
44
‘itual should ot e see si pl as doing something social (the functionalist position). Nor should it be seen
either as expressing something (the symbolicist position), or as saying something (the intellectualist position).
‘ituals, he e a ks, lie so e he e et ee a a tio a d a state e t : ; thus the a ot e
edu ed eithe to the o e o to the othe . ‘ituals e tai l do , e p ess , a d sa thi gs, ut the do so
ambiguously, and this ambiguity is of the essence. The ambiguity permits different and opposed levels of
understa di g a o g those ho sha e allegia e to the sa e itual. – Ibid.
45
Ketiga tahap ritual yang diciptakan Van Gennep termasuk: . “epa atio o the p eli i al afte li e , Lati
for threshold), when a person or group becomes detached from an earlier fixed point in the social structure or
from an earlier set of social conditions; 2. Margin or the liminal, when the state of the subject is ambiguous; he
is no longer in the old state and has not yet reached the new one; and 3. aggregation or the post-liminal, when
the ritual subject enters a new stable state with its own rights and obligations (Turner 1967: 94; 1968b: 567-
. - Deflem, M. (1991). Ritual, Anti-“tru ture a d ‘eligio : A Dis ussio of Vi tor Tur er s Pro essual
Symbolic Analysis. Journal for the Scientific Study of Religion 30(1): 1-25.
dijabarkan dengan menggunakan dalam model Van Gennep, terutama tahap ketiga di mana arwah
masuk ke keadaan yang baru, yaitu Syurga Loka. Agama Kaharingan memang berasaskan pada
tahapan. Pada umumnya, agama yang bertingkat-tingkat cenderung dilihat mengandung unsur-unsur
sinkretisme.
Sebagaimana diusulkan Rutherford dala After Syncretism: The Anthropology of Islam and
Christianity in Southeast Asia (2002), pengabar Injil dari Eropa serta pejabat negara pada awal abad
ke-duapuluh menyebutkan bahwa penduduk asli Asia Tenggara masih bercirikan oleh sistem
kepercayaan yang bersifat sinkretistik. Sinkretisme tersebut menjadi pembenaran bagi pengabar Injil
untuk melanjutkan usahanya mengkristenkan penduduk asli46. Dalam pandangan pengabar Injil serta
pejabat negara, hanya agama yang monoteistik dapat diakui sebagai agama yang benar.
Menurut pendapat Gellner, sebelum sinkretisme dan ritual dapat diuraikan, harus ada
pengertian yang jelas mengenai agama47. Dalam pandangan Gellner, definisi agama berasal dari
disebabkan oleh pandangan Barat mengenai agama. Kategori aga a du ia dike a se agai gagasa
yang mengada-ada. Berusaha memahami agama Asia seperti Hindu, Shinto serta Budha dengan
kacamata aga a du ia a g erasal dari tradisi Kriste -Yahudi adalah langkah yang keliru. Nilai-nilai,
46
The lai that the ati es e ai ed s etisti – and not yet civilised – justified the issio a ies a d
offi ials e e -e di g o k. - Rutherford, D. (2002). After Syncretism: The Anthropology of Islam and
Christianity in Southeast Asia. Society for Comparative Study of Society and History.
47
Gellner, D. (1999). Religion, politics, and ritual. Remarks on Geertz and Bloch. Social Anthropology, Vol. 7,
No. 2, 135-153.
kitab suci, nabi, upacara serta ritual agama Asia seharusnya dibiarkan tumbuh tanpa tekanan dari
48
Ibid.
Bab III
Metode Penelitian
Penelitian ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia. Penelitian ini bertujuan menghasilkan
gambaran yang tepat mengenai upacara Tiwah. Kajian ini berdasarkan pada metode penelitian
kualitatif. Artinya, riset ini melihat lingkungan secara keseluruhan serta mengikuti desain penyelidikan
yang mudah disesuaikan dengan konteksnya. Riset ini mengandalkan pada pengumpulan data primer
dalam keadaan normal, baik dari pengamatan dan wawancara informal. Ditinjau dari bidang ilmu,
Sumber data menggunakan sejumlah jurnal dan artikel akademik; buku-buku, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris; informasi dari situs internet; film dokumentasi mengenai
upacara Tiwah; dan percakapan dengan ahli dalam bidang antropologi serta orang yang mempunyai
pengetahuan mendalam mengenai upacara Tiwah atau kebudayaan Dayak yang dipergunakan sebagai
3.3: Narasumber
Dalam penelitian ini beberapa narasumber yang diwawancarai dalam proses pengumpulan
data adalah; penganut agama Hindu Kaharingan, Tokoh Masyarakat Islam, Peneliti di Universitas
Palangka Raya dan Sekolah Tinggi Agama Dayak Kaharingan serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Palangka Raya, antropolog Dayak, tokoh pemimpin agama Kaharingan dan beberapa informan staf
Museum Belanga Palangka Raya serta komunitas masyarakat di Kabupaten Barito Utara Kalimantan
Tengah.
keburukan yang satu dapat ditutupi dengan kelebihan dari yang lain, penelitian ini akan menggunakan
lebih dari satu instrument pengumpulan data. Tujuan penelitian dan variable yang bermacam-macam
bersama-sama menentukan metode pengumpulan data apa yang tepat. Cara pengumpulan data yang
dilaksanakan dalam kajian ini termasuk: teknik observasi non-sistematis; teknik dokumentasi; dan baik
wawancara bebas maupun wawancara terstruktur. Melalui wawancara, subyek dapat menyampaikan
pengalaman, pendapat serta pikirannya. Subyek dapat memberikan informasi yang dibutuhkan secara
jujur dalam suasana santai tetapi terfokus. Dalam mengadakan wawancara, pewawancara harus tetap
menjaga suasana agar subyek yang sedang diwawancara merasa nyaman sehingga bisa
menyampaikan jawaban yang bermutu tinggi, yaitu, penjelasan yang terperinci dan tidak berbelit-
belit. Kebenaran data yang dikumpulkan serta kesimpulan yang sesuai dengan kenyataan tergantung
pada ketepatan teknik pengumpulan data yang dipilih serta metode analisis data yang dipakai.
Teknik deskriptif-analitik diterapkan dalam riset ini. Metode ini sesuai dengan pelaksanaan
teknik penelitian kualitatif dan dengan bidang ilmu yang bersangkutan yakni antropologi.
Bab IV
Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Tengah. Propinsi Kalimantan Tengah dengan luas
wilayah 153 546 km persegi merupakan propinsi terluas kedua di Kalimantan setelah Propinsi
Kalimantan Timur49. Kalimantan Tengah terletak di antara tiga propinsi tetangga yaitu di sebelah utara
dengan sebagian wilayah Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, di sebelah timur dengan
sebagian Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, di selatan dengan Laut Jawa dan di
sebelah barat dengan Propinsi Kalimantan Barat. Salah satu ciri khas Propinsi Kalimantan Tengah
adalah keberadaan sebelas sungai besar dan tiga puluh tiga sungai kecil. Sungai Barito dengan panjang
mencapai 900km, dengan kedalaman rata-rata 8 meter, merupakan sungai terpanjang50. Sungai besar
Gubernur Agustin Teras Narang memimpin Kalimantan Tengah sekarang. Selain gubernur
tersebut, Propinsi Kalimantan Tengah dipimpin 13 bupati dan 1 walikota51. Propinsi Kalimantan
Tengah membawahi 13 kabupaten dan satu daerah kota, terdiri atas 105 Kecamatan dan 1407 desa.
Salah satu ciri khas propinsi ini merupakan adanya 67 Kedamangan yang terdapat di Propinsi
Dayak52.
49
Kalimantan Tengah Dalam Angka 2005. (2005). Palangka Raya, Indonesia: BPS Propinsi Kalimantan Tengah.
50
Ibid.
51
Ibid.
52
Setiap kedamangan dipimpin oleh seorang damang atau kepala adat.
Dayak adalah nama kolektif untuk merangkum ratusan kelompok-kelompok ethno-linguistik
di Kalimantan. Penduduk Kalimantan Tengah hingga tahun 2008 sekitar dua juta orang53. Jika
dibandingkan dengan luas daerahnya, tingkat kepadatan penduduk Kalimantan Tengah relatif rendah,
yaitu, 12 jiwa per km persegi54. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk secara nasional adalah 115 jiwa
per km persegi. Sebagian besar (60%) penduduk Kalimantan Tengah bekerja di sektor pertanian
sedangkan sektor paling kecil penduduk (1%) bekerja dalam sektor keuangan55.
Kabupaten Barito Utara didirikan pada tanggal 29 Juni 195056. Ibukota kabupaten Barito Utara
adalah Muara Teweh. Sejumlah wawancara untuk kajian ini dilakukan di kota Muara Teweh.
Kemudian, Kecamatan Lahei terletak di Kabupaten Barito Utara. Desa Juju Baru, yang terletak di
Kecamatan Lahei, merupakan sumber informasi yang amat penting untuk penelitian ini.
Desa Juju Baru merupakan wilayah penelitian utama. Saya memilih wilayah Desa Juju Baru
sebagai lokasi penelitian karena upacara Tiwah masih dilaksanakan di kawasan tersebut. Upacara
Tiwah dalam konteks masyarakat Dayak Ngaju di Kawasan Sungai Barito merupakan bagian dari
Masyarakat Juju Baru dengan 60% persen beragama Hindu Kaharingan, 30% persen Protestan
dan 10% beragama Islam57. Masyarakat Juju Baru bekerja sebagai penyadap karet, penghasil rotan
53
www.bps.go.id
54
Kalimantan Tengah Dalam Angka 2005. (2005). Palangka Raya, Indonesia: BPS Propinsi Kalimantan Tengah.
55
Ibid.
56
http://www.baritoutarakab.go.id
57
Sumber informasi adalah wawancara dengan Penduduk Juju Baru.
dan sebagian lain memiliki mata pencaharian sebagai petani ladang berpindah. Sebagian kecil
Di Juju Baru terdapat sebuah Sekolah Dasar Inpres dengan 6 kelas. Jumlah siswa 80 orang.
Jumlah guru yang mengajar di sekolah ini adalah 6 orang dengan 1 orang guru mengajar 3 atau 4 kelas.
Dalam kunjungan lapangan, saya menemukan bahwa tidak ada guru Agama Kaharingan. Menurut
seorang guru, tidak adanya guru agama disebabkan tidak adanya bantuan keuangan untuk menggaji
Juju Baru terletak di sepanjang tepian sungai Lahei dan berjarak 1 jam perjalanan dengan
perahu dari Kecamatan Sungai Lahei atau 2 jam dari Muara Teweh. Desa Juju Baru merupakan
kawasan yang selalu terancam oleh banjir. Dalam dua tahu terakhir banjir menenggelamkan desa ini.
Desa Juju Baru merupakan salah satu dari dua desa di Sungai Lahei selain desa Hurung Ehep.
Rumah kebanyakan penduduk adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan atap
rumah dari kayu Ulin atau Masupang. Sebagian rumah penduduk sangat sederhana, dengan dinding
Juju Baru merupakan sebuah kawasan yang mewakili profil desa Dayak yang masih
mempertahankan nilai-nilai budaya asli dan belum banyak dipengaruhi dunia luar. Ini bisa terlihat dari
bentuk rumah panggung yang mereka huni, dan penggunaan Bahasa Dayak yang mereka sebut Bahasa
Dayak Malang yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Dayak Ngaju.
Masyarakat Juju Baru dapat bicara dalam beberapa Bahasa Dayak seperti Bahasa Dayak Ngaju
Kahayan, Bahasa Bakumpai, Bahasa Taboyan dan Bahasa Maanyan. Selain itu mereka juga dapat
berbahasa Banjar dan Bahasa Indonesia. Bahasa Ngaju terutama bahasa Dayak Bakumpai digunakan
sebagai lingua franca terutama dalam konteks komunikasi dengan pihak luar.
Balai Basarah terletak di RT 5 di tengah desa. Di depan balai basarah terletak rumah kepala
desa. Kemudian di depan rumah kepala desa mengalir sungai Lahei. Desa Juju Baru hanya dapat
Dengan penduduk desa Juju Baru dan persiapan untuk upacara Tiwah, Juju Baru
Ritual Kaharingan dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: balian dan wara58. Kedua
bagian ini melambangkan kehidupan dan kematian dalam agama Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah59
merupakan unsur yang paling menonjol dalam bagian wara. Selaras dengan kehendak Ranying Hatalla
Langit, arwah harus menempuh setiap jenjang menuju alam baka sebelum mencapai kesempurnaan.
Intinya, Tiwah merupakan wahana untuk menuju tahap surga yang paling tinggi agar arwah dapat
bersatu dengan roh-roh nenek moyang yang menetap di sana. Upacara Tiwah diselenggarakan pada
tahap akhir dari keseluruhan upacara wara dengan persembahan dan biaya yang paling besar. Arwah
diarahkan menuju surga loka60 atau alam yang serba berkecukupan untuk bersatu dengan para leluhur
bertujuan mencapai kesempurnaan. Hewan korban serta sesajen yang dibawa membantu arwah
58
Wei sto k, dala uku Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central-East Borneo.
Mi higa , U ited “tates: Cor ell U i ersit , e erika pe jelasa a g ukup le gkap e ge ai
perincian balian dan wara.
59
Untuk penjelajahan yang menceriterakan kemajemukan upacara Tiwah dengan panjanglebar, lihat: Miles,
D. (1976). Cutlass and Crescent Moon. Sydney, Australia: University of Sydney Press.
60
Syurga Loka arti a surga .
dalam perjalanan dari perpisahan dengan kerabat sampai ke tingkat surga yang paling tinggi untuk
berkumpul dengan roh-roh nenek moyang. Jika kekurangan sesajen, perjalanan arwah akan diganggu
dan tidak akan sampai ke sana. Jika demikian, arwah akan tersesat antara dunia dan surga. Roh seperti
Sesuai peraturan-peraturan wara, segala upacara kematian harus dilakukan pada hari, bulan
atau tahun yang ketiga, kelima atau ketujuh setelah wafatnya seseorang. Dalam pengertian wara,
angka ganjil mewakili kematian. Sebaliknya, bilangan genap mewakili kehidupan dalam pengertian
upacara balian.
Sesuai dengan ajaran wara, jumlah liau61 dan sangiang62 juga digambarkan dalam bilangan
ganjil. Liau dan sangiang serta roh-roh63 nenek moyang terletak di hulu sungai, langit dan gunung
tertentu yang suci seperti Gunung Lumut. Dalam wawancara dengan mantan damang64, Pak Adris
Penganut Kaharingan percaya ada berbagai golongan makhluk gaib. Di tempat tertinggi adalah
Ranying Hatalla Langit. Sangiang65 dan patahu66 menempati posisi lebih rendah, sementara lapisan
61
Liau adalah roh-roh yang memberi manusia kehidupan, terdiri atas roh yang menghidupkan manusia, roh
yang menghuni tubuh manusia, dan roh yang mendiami tulang, kuku dan rambut, yang tinggal dalam peti mati
setelah kematian. “odiki , A. Ma du g, ‘itual Ke atia di Kaki Muller-S h a er
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0506/17/daerah/1821581.htm.
kepada mahkluk- ahkluk super atural kelas e egah , seperti sangiang dan patahu. Melalui
upacara Tiwah, jiwa orang yang meninggal dapat mencapai Syurga Loka67, yakni, tempat dari mana
jiwa penganut Kaharingan berasal. Di Syurga Loka, jiwa bersatu kembali dengan roh-roh nenek
moyangnya68.
Dalam keyakinan Agama Hindu Kaharingan, Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu Ranying Hatalla
Langit Jata Balawang Bulau69, berasal dari Gunung Lumut dan merupakan awal dari segala yang ada.
67
Dalam wawancara dengan Pak Durjen di Muara Teweh, dijelaskan bahwa Syurga Loka dikenal dalam bahasa
Sangiang sebagai Lewu Tatau: Jadi kalau dalam bahasa Sangiang itu, nah, dia tinggal di Lewu Tatau. (...)
Kalau Lewu Tatau itu dalam bahasa Sangiang itu ya itu tadi, tempat kehidupan yang tidak ada, pokoknya tidak
ada kekurangan, nah itu serba ada, hidup (...) karena roh yang sudah (...)dicucikan dan menyatu kepada yang
Kuasa.
68
Perluasan mengenai hubungan yang cukup erat antara upacara Tiwah dan nenek moyang diberikan Qoyim,
I. dalam buku Aga a da Pa da ga Hidup “tudi te ta g Lo al ‘eligio di Beberapa Wilayah Indonesia.
Jakarta, Indonesia: PMB – LIPI. (2003)
69
Argumen yang diajukan Schiller mengenai peranan Ranying Hatalla Langit Jata Balawung Bulau dalam
tulisannya A Old ‘eligio i Ne O de I do esia: Notes o Eth i it a d ‘eligious Affiliatio ,
sebagai berikutnya: The content of contemporary Hindu Kaharingan dogma, as well as the form of worship,
reveals the intrusion of the national discourse of agama. One clear example is the prominence accorded to the
notion of a supreme deity. As noted earlier, in the past, a supreme deity did not figure prominently in most
people's religious understandings. However the faithful are now exhorted to develop a personal relationship
with "Ranying Hatalla Langit," i.e., the Creator's male aspect, and to pray for individual salvation.
Nama dewa pencipta Hatalla diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1848 oleh penulis J.F
Becker. Dahulu, Mahatara merupakan dewa paling tinggi bagi suku Dayak. Lama-kelamaan Mahatara
diganti dengan Hatalla. Sebutan Hatalla berasal dari kaum Melayu yang beragama Islam dan tinggal
di pesisir Kalimantan. Di sini kemiripan dengan sebutan allah dari agama Islam dapat dilihat. Dalam
wawancara di Universitas STAIN, Palangka Raya, Rektor Dr. H. Khairil Anwar M. Ag. memaparkan:
Nama-nama Tuhan mereka, Hatalla, it is meaning God but Hatalla it is from Islam, Allah,
istilah, istilah yang dipakai. Nah magic-magic itu, kalau mantra itu, rupanya terbawa juga oleh
Kaharingan, (...) mereka kalau acara-acara tertentu, itu diberkati laillaillah juga, walaupun dia
Kaha i ga , tapi e e ut laillahillah ... ka e a pe ga uh i i, pengaruh Islam, dulu kekuatan magic
itu ke... apa ke masyarakat, itu background ini ikut (...) Kaharingan. Istilah-istilah di dalam Kaharingan
justru yang dipakai (...) dari Islam.
Pada tahun 1853, peneliti Belanda, Schwaner, menyebut nama Tuhan Kaharingan dengan
gelar ranying, ‘a i g Atalla . Zimmermann mencatat bahwa Hatalla, yang memiliki air kehidupan,
beranak sembilan putri dan dua putra70. Penganut jarang berkomunikasi dengan Hatalla. Hatalla tidak
turut campur dalam segala urusan dan tidak mahahadir (omnipresent). Yang sangat menarik, Baier
berpendapat bahwa Gubernur Kalimantan Tengah pertama, Tjilik Riwut, yang juga cukup berpengaruh
ulai a ipuli agama suku dan dulu: dia menyesuaikan derajat Ranying Hatalla Langit
dengan Allah Islam dan Kristen: tidak boleh berkeluarga, beranak, beristeri, anggota keluarga yang
dulu ditu u ka e jadi alaikat. 71
Artinya, bahkan sebelum zaman Orde Baru Kaharingan mulai dipengaruhi oleh tokoh-tokoh
70
Ibid.
71
Ibid.
Kedua aspek Tuhan Kaharingan, yaitu Hatalla dan Jata, masing-masing mewakili aspek
maskulin dan feminin serta berturut-turut. Mahatalla dan Jata dipersatukan menjadi satu mahluk
Ilah sede ikia itu adalah du ia atas da du ia a ah, o a g laki-laki dan orang
pe e pua , ataha i da ula , kehidupa da ke atia . 73
Tjilik Riwut, melaporkan pada tahun 1944 bahwa Ranying Hatalla Langit menetap dalam lapis
langit yang ketujuh, yakni yang paling tinggi, dengan para dewa, sangiang serta malaikat74. Akan tetapi,
Pada tahun 1969, Zimmermann menulis bahwa lapis langit ketiga merupakan tempat tinggal Hatalla
serta Jata. Jata menjaga dunia dan mahluk di bawah tanah. Nama Jata dipercaya diimpor dari para
penduduk pantai. Dewa seperti Jata yang berasal dari budaya Banjar di pesisir Kalimantan makin
berpengaruh karena orang Banjar, antara tahun 1935 dan 1960, makin merambah ke pedalaman.75
Selanjutnya, Baier menjelaskan bahwa yang paling mencolok dalam penelitian Schwaner ialah
Saya rasa ini adalah pengaruh dari Barito Selatan dan Timur. Menurut pendapat saya Jata
seharusnya menggantikan peranan Kaloe setidak-tidaknya dalam wilayah Kalimantan bagian
“elata . 77
72
Ibid.
73
Ibid.
74
Ibid.
75
Baier, M. (2007). Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Esa – Teologi Sistematika Agama Hindu
Kaharingan. Pontianak, Indonesia: Balai Penerbit Pontianak Amu Lanu.
76
Ibid.
77
Ibid.
Seperti ditulis Zimmermann pada tahun 1960an, di masa lampau, anak Jata turun ke bumi
dan menciptakan kerajaan di sungai dan di bawah tanah78. Meski Jata tidak disembah, masyarakat
Dayak memuja anaknya.79 Yang paling menarik, menurut kepercayaan Kaharingan, anak Jata
dipengaruhi oleh agama Islam80. Artinya, jika upacara untuk memuja anak Jata akan terselenggara,
daging babitidak boleh disuguhkan81. Zimmermann beranggap bahwa pengaruh Hindu juga dapat
dilihat dalam agama Kaharingan. Dalam riset Zimmermann ditulis bahwa Sangiang serta Dewa
merupakan pengaruh Hindu Bali.82 Pada hakekatnya, dalam kitab suci Kaharingan terdapat unsur-
Kitab suci Kaharingan disebut Panaturan. Panaturan yang pertama diterbitkan pimpinan
Agama Hindu Kaharingan di Palangka Raya pada tahun 1970an83. Kemudian pada tahun 1973 muncul
naskah Panaturan yang diperbaiki, disunting serta dibukukan. Dalam kitab suci itu, asal-usul dunia
dituturkan secara panjang lebar. Salah satu perintah dalam Panaturan termasuk ajakan untuk menaati
aturan yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Sejarah silsilah, yaitu daftar keturunan para dewa dan
nenek moyang manusia, diceritakan. Meskipun dewi Jata jarang disebut, Ranying Hatalla Langit
digambarkan sebagai sebagai tokoh yang berkuasa. Langkah ini berhubungan dengan persiapan agar
upaya mencapai pengakuan resmi berhasil. Pimpinan Kaharingan menyadari bahwa Kaharingan harus
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Ibid.
81
Ibid.
82
Ibid.
83
Baier, M. (2007). Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Esa – Teologi Sistematika Agama Hindu
Kaharingan. Pontianak, Indonesia: Balai Penerbit Pontianak Amu Lanu.
memenuhi segala syarat sebagaimana ditetapkan pemerintah, termasuk syarat bahwa semua agama
Dalam Panaturan yang ditulis pada tahun 1996, enam belas tahun setelah pengakuan resmi
sebagai Hi du Kaha i ga , nama Ranying Hatalla Langit seringkali disambungkan dengan Jata
di sini timbul pengaruh Agama Hindu Bali, bahwa Jatha adalah manifestasi/ perwujudan
Hatalla. 85
Bahkan, Baier melaporkan bahwa pengaruh agama Islam dapat ditemukan dalam ayat 8,
Panaturan 199687. Namun Baier tidak mencantumkan pengaruh apa yang ditemukan dalam ayat
84
Baier menjelaskan bahwa:
Dua ilah te ti ggi e te ta ga de ga Ketuha a Ya g Maha Esa dan Agama Kaharingan belum bisa
diakui dan disahkan oleh negara Indonesia. Ranying Hatalla Langit dan Jata harus disatukan. Tindakan itu dapat
dilaksanakan dengan pendekatan dan persesuaian kepada Agama Hindu, secara konkrit kepada Parisada Hindu
Dharma Indo esia. Jata diu ah e jadi pe ujuda / a ifestasi ‘a i g Hatalla La git. Ibid.
85
Ibid.
86
Ibid.
87
Ibid.
tersebut. Baik Baier maupun Schiller menyinggung soal cara-cara bagaimana upacara Tiwah serta ciri
khas Kaharingan pada umumnya mengalami perubahan akibat tekanan dari pemerintah.
Kesimpulan saya mengenai hal ini sama dengan Baier dan Schiller. Dalam proses penelaahan,
saya menemukan sejumlah contoh adanya pengaruh-pengaruh dari luar masyarakat Kaharingan
terhadap upacara Tiwah serta agama Hindu Kaharingan. Penyusupan pengaruh tersebut dimulai
dengan usaha-usaha pimpinan Kaharingan antara tahun 1950 sampai tahun 1980 untuk menyesuaikan
diri dengan peraturan pemerintah agar dapat diakui sebagai agama resmi. Perubahan yang dapat
diamati dalam Kaharingan serta Tiwah termasuk penggabungan Jata serta Hatalla menjadi satu Ilah;
asal a a Hatalla sendiri; bentuk bangunan Balai Basarah yang sangat menyerupai candi Hindu
Dharma; mimbar yang dipengaruhi bentuk mimbar gereja; muatan buku ajaran SMA serta SMP yang
menunjukkan pengaruh dari pemerintah, agama Hindu Dharma, Islam serta Kristen; adanya kitab suci
yaitu Panaturan; kemiripan sikap duduk yang dianjurkan saat berdoa yang menyerupai sikap duduk
Hi du Dhar a; serta ada a li a ruku Hi du Kahari ga a g dipe garuhi aga a Isla . Pengakuan
resmi sebagai Agama Hindu Kaharingan pada tahun 1980 tidak berarti bahwa proses perubahan
tersebut telah berakhir. Malah setelah tahun 1980 pemerintah justru menentukan dan menerapkan
bentuk Agama Hindu Kaharingan yang sesuai dengan keinginan mereka. Perkembangan ini
menggarisbawahi bahwa peralihan sesudah tahun 1980 pimpinan Agama Hindu Kaharingan sampai
pada taraf tertentu di mana mereka tidak lagi menggenggam kekuasaan. Pemerintah semakin
Dalam Panaturan ditulis bahwa manusia pada akhirnya akan kembali pada Sang Pencipta.
Penyatuan kembali ini merupakan pokok yang paling penting upacara Tiwah. Perpisahan dari kerabat
yang ditinggalkan, perjalanan ke syurga loka serta pada akhirnya penyatuan kembali dengan nenek
moyang diwakili melalui kegiatan simbolis dalam setiap tahap upacara Tiwah.
Upacara Tiwah merupakan salah satu upacara adat yang memiliki nilai ritual yang sangat tinggi
bagi penganut agama Hindu Kaharingan. Serangkaian ritual dan kegiatan simbolis diselenggarakan
dalam upacara Tiwah. Sepanjang minggu setelah meninggalnya seseorang, di rumah duka lampu yang
disebut apui (api) dinyalakan. Lampu ini tidak boleh padam atau digantikan dengan lampu lainnya.
Tatkala apui dinyalakan, keluarga yang ditinggalkan serta masyarakat desa berkumpul di rumah duka.
Pemukulan gong tujuh kali memberi tanda untuk permulaan upacara. Pada saat menjelang matahari
terbenam, keluarga mengantarkan sesajen ke pemakaman. Gong tersebut dipukul untuk memanggil
turun roh para leluhur yang sebelumnya menunggu di Gunung Lumut agar dapat menerima sesajen
serta menjemput roh yang baru meninggal. Roh yang baru meninggal dunia serta roh yang
menjemputnya diberi sesajen. Sesajen tersebut berupa tujuh jenis makanan. Jumlah ini tidak boleh
lebih dan tidak boleh kurang. Upacara yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam ini diakhiri
dengan mengantar kembali roh tersebut ke Gunung Lumut. Pada hari ketujuh pemberian sesajen,
lampu dimatikan dengan menyelenggarakan acara adat. Upacara ini merupakan upacara adat terakhir
Puncak upacara Tiwah dicapai dengan menyembelih hewan korban yaitu kerbau atau babi.
Karena banyaknya binatang yang akan dipotong, termasuk babi, kerbau, sapi, kambing dan ayam,
upacara Tiwah sangat mahal. Di samping tingginya biaya upacara Tiwah dalam bentuk hewan korban,
perlengkapan serta makanan untuk arwah yang ditiwahkan harus disiapkan. Ada dua alasan untuk
langkah ini; untuk menemani jiwa orang yang telah meninggal dalam perjalanan menuju Syurga Loka
maupun untuk menjamin roh dapat memperoleh tempat yang tinggi dan lengkap di Syurga Loka.
Proses penelitian di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa, oleh karena mahalnya upacara Tiwah,
maka keluarga-keluarga para almarhum sering dikumpulkan sehingga sejumlah orang dapat
ditiwahkan dalam satu upacara. Bahkan, Tiwah dapat ditunda sampai beberapa tahun hingga biaya
mencukupi. Sebagai contoh, Pak Juju menguraikan bahwa upacara Tiwah yang berlangsung pada
bulan Oktober 2008 menelan biaya lebih dari Rp 50 juta. Dalam upacara kematian itu, tujuh orang
ditiwahkan. Sesuai dengan peraturan upacara wara, jumlah orang yang akan ditiwahkan harus ganjil.
Dalam Tiwah, setiap anggota keluarga, termasuk adik, ipar, menantu dan kerabat lainnya wajib terlibat
dalam persiapan, artinya menyumbang biaya, sebagai tanda kecintaan mereka terhadap orang yang
telah meninggal. Kehadiran seluruh anggota keluarga serta penduduk desa artinya seringkali penganut
Islam, Protestan atau agama lain akan ikut serta dalam upacara ini. Dengan demikian, hewan yang
dikorbankan akan dipotong secara halal jika tamu yang beragama Islam hadir. Para basir88
memutuskan hal tersebut di Palangka Raya pada tahun 1990an. Di sini nilai kerukunan serta
Pemimpin yang mengurus kegiatan-kegiatan upacara wara dikenal sebagai basir. Selama
upacara Tiwah berlangsung, basir memainkan peranan utama. Jumlah basir yang hadir tatkala Tiwah
dilaksanakan tidak boleh lebih atau kurang dari tiga, lima atau paling banyak tujuh orang. Basir
bertugas mengantarkan arwah orang yang meninggal menuju ke kesempurnaan atau Syurga Loka.
Basir bernyanyi dan terus-menerus melantunkan mantra-mantra selama berjam-jam dalam basa
sangiang (bahasa suci). Ini merupakan puncak acara. Selain itu, sang Basir membacakan nama-nama
88
Dalam wawancara dengan Kompas pada tahun 2005, Sodikin melukiskan peranan Basir baik dalam upacara
Tiwah, maupun upacara sebelumnya namanya Mandung secara panjanglebar. Lihat, Ma du g, ‘itual
Kematian di Kaki Muller-“ h a er http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0506/17/daerah/1821581.htm.
Tulang orang yang telah meninggal diangkat dan dibersihkan. Sesuai ajaran Kaharingan,
tulang- tulang tersebut dibersihkan dengan air dan minyak kelapa. Proses pembersihan ini biasanya
berlangsung sekitar dua jam. Setelah itu, tulang disimpan di dalam sandung. Ukuran sandung biasanya
besar. Satu sandung memuat tulang-tulang dari beberapa anggota keluarga. Jenazah orang dari luar
keluarga dilarang dimasukkan ke dalam sandung keluarga tersebut89. Dengan masuknya tulang ke
dalam sandung, orang yang meninggal telah memperoleh tempat peristirahatannya yang terakhir.
Sandung di Palangka Raya; sandung di Muara Teweh dan sandung di Palangka Raya
Untuk pelaksanaan upacara Tiwah, patung-patung dibuat dari kayu ulin ditanam di samping
sandung. Kemudian, patung yang melambangkan orang yang akan ditiwahkan disiram dengan darah
hewan yang dikorbankan. Keluarga orang yang meninggal diperciki dengan darah itu agar segala
keterikatan dengan arwah itu dilepaskan. Salah satu unsur upacara Tiwah yang penting ialah
perpisahan antara keluarga yang masih ditinggalkan dan arwah. Selain itu, ada pula patung-patung di
tengah lapangan digunakan sebagai tempat pengikat hewan yang akan dikorbankan. Sebelum
menanam patung-patung tersebut ke dalam tanah, berbagai macam sesajen ditaruh oleh basir,
termasuk beras, telur, rokok, sirih serta pinang. Ada dua alasan untuk langkah ini, yang pertama, untuk
89
Sebagaimana dijelaskan Schiller, alasan untuk peraturan ini adalah, jika jenazah orang yang tidak bersanak
saudara dimasukkan ke dalam sandung, muncul bahaya bahwa roh itu sebetulnya merupakan roh jahat yang
tersembunyi. Informasi lebih lengkap dapat dilihat di: Adhere ts of Kahari ga a o g the Ngaju Da ak
(2007), http://www.museum.upenn.edu/expedition.
menunjukkan bahwa patung-patung tersebut didirikan dengan tulus-ikhlas; yang kedua, untuk
memperlihatkan bahwa tanah itu adalah tempat manusia. Kemudian, pengikut acara menari-nari
Beras ditebarkan di atas mayat, korban serta keluarga. Beras itu melambangkan penyucian
serta merupakan alat penghubung antara Ranying Hatalla Langit Jata Balawang Bulau, para leluhur,
orang yang telah meninggal serta keluarga yang ditinggalkan. Maknanya, beras menjadi lambang
penyatuan sosial dalam masyarakat Dayak Ngaju, baik di antara kerabat yang beragama Hindu
Kaharingan, maupun yang beragama lain. Dalam Bahasa Sangiang, behas (beras) disebut dengan nama
pada masa penciptaan alam semesta, Ranying Hatalla Langit menciptakan beras untuk menjaga
kelangsungan kehidupan Raja Bunu yang menjadi asal mula umat manusia di dunia ini dan
kelangsungan hubungan dengan Ranying Hatalla Langit. Di dalam beras itu telah terkandung
kekuasaan Ranying Hatalla Langit sehingga menjadi sarana yang menghubungkan manusia dengan
Ranying Hatalla Langit. Dalam Buku Kandayu (Penuntun Persembahyangan)90 dijelaskan bahwa:
Terbukti, bahwa penggunaannya dalam ayat suci Manawur yang mengatakan, (bhs. Dayak)
Behas Ma a ge Ti ga g adalah uka saja se agai kela gsu ga hidup a usia, ia juga
sebagai perantara manusia dengan Yang Maha Kuasa Ranying Hatalla Langit serta sebagai
pe a ta a pula a ta a a usia de ga pa a leluhu .
Beras merupakan simbol kehidupan. Beras telah mengandung wahyu Ranying Hatalla Langit
dan seluruh manifestasi-Nya. Beras juga berfungsi sebagai wujud kekuatan kemahakuasaan Ranying
90
Nau, R. (2003). Buku Kandayu (Penuntun Persembahyangan). Palangka Raya, Indonesia: Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
Hatalla Langit. Beras Hambaruan – sebanyak tujuh91 biji beras - dipilih karena beras ini melambangkan
Pelaksanaan Tiwah menjadi tanggung jawab anggota keluarga orang yang telah meninggal
Bagi saya, (...) nenek saya, kakek saya itu orang Kaharingan, anak cucunya ini, walaupun
berbeda agama, dia wajib melaksanakan itu. Ya. Kalau ada kemampuan. Supaya mereka sampai sana
maksudnya. (...) Bukan kita mau sinkretisme, bukan. Mempercampurkan agama bukan. Bukan. Sudah
ada batasan-batasan.
Sejak tahun sembilanpuluh-an, kerabat serta kawan yang tidak beragama Hindu Kaharingan
diajak mengikuti upacara Tiwah. Semua responden yang diwawancarai dalam riset ini menegaskan
91
Angka tujuh sering muncul dalam kegiatan agama atau upacara kematian Hindu Kaharingan sebagai
bilangan yang suci. Sebagaimana dukutip oleh responden namanya Pak Juju: Ndak ada angka delapan, cuma
tujuh, satu sampai tujuh, (...) itu angka kematian itu. Cuma tujuh ndak bisa lebih. Perhitungannya sampai
tujuh, tujuh. Nah, setiap kali laksanakan hanya sampai tujuh, tujuh ya, itu, itu hitungan orang arwah sana.
Untuk penjelasan dari perspektif historis mengenai pentingnya angka tujuh dalam pengertian agama di Asia,
lihat: Tylor, E.B. (1882). Notes on the Asiatic Relations of Polynesian Culture. The Journal of the Anthropological
Institute of Great Britain and Ireland, Vol. 11, pp. 401-405. Retrieved November 6, 2008, from Jstor database.
Dalam buku pelajaran, tujuh lapis langit, tujuh pintu langit serta tujuh tingkat dalam Balai Paseban disebutkan.
Lihat, Nau, R. (2003). Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan Untuk Sekolah Dasar Kelas II. Palangka Raya,
Indonesia: Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
92
Responden lain menunjukkan sikap yang sama. Durjen mengatakan:
Karena itu merasa, apa itu, hutang, ya jadi semasa hidup itu anak cucunya (...) anak yang
melaksanakan upacara Tiwah itu, karena merasa berhutang buat orang tuanya, nah jadi dengan acara yang
diadakan upacara Tiwah, sehingga hutang kepada orang tua itu kan istilahnya kan sudah, sudah terbalas ya
demikian, itu sehingga ada, ada upacara Tiwah itu.
Saya sendiri, nenek saya adalah agama Kaharingan, begitu upacara Tiwah, (...) upacara massal, bagi
orang Kaharingan, kami dari anak cucu beliau, yang beragama lain, tetap mendukung. Itu pekerjaan yang paling
terakhir, adalah Tiwah.
Semua orang bisa masuk. Bisa melihat. Bisa hadir. – Bu Juju
Kalau yang sekarang, diundang. Diundang. Kalau yang sekarang, jadi sekarang diundang, (...)
tidak peduli kalau agama Kristen, agama Protesten, Islam, mereka diundang, tokoh-tokoh (...) Masih
kuat, masih kuat, rasa kekeluargaan, masih kuat, seolah-olah mungkin er, orang yang beragama Islam
juga (...) memberikan doa-doa, seolah-olah itu. Sepertinya kan, mereka hadir di situ, di upacara,
sampai selesai, tapi, memang, untuk orang yang di luar Kaharingan, dia tidak ikut melaksanakan
kegiatan. Ya, duduk saja, – Tajarudin
Pentingnya kekeluargaan serta kerukunan sosial dalam masyarakat Dayak Ngaju dapat dilihat
dari perkembangan yang tercantum di atas94. Upacara Tiwah mencerminkan sikap hormat Dayak
Dua faktor yang paling kerap disebut-sebut dalam wawancara dengan responden adalah
gagasan kekeluargaan serta nilai kerukunan sosial dalam masyarakat Dayak95. Sebagaimana telah
93
Responden lain menjelaskan bahwa:
Mereka toleran, menjaga etika pergaulan, tidak saling singgung-menyinggung itu kan, masing-masing
– Khairil Anwar
Anda ini datang ke sini. Ada upacara adat. (...) Oh ini Islam jangan potong babi, potong ayam. (...)
Gotong royong. Jadi inilah kerukunan. – Lewis KDR
Saya memperhatikan selama ini, komunikasi dan kerjasama antara agama itu bagus. Itu bagus nah
mereka bisa saling mendukung, jika ada upacara Tiwah, er, wara, upacara wara, orang beragama Islam selalu
memberikan dukungan, bisa hadir, bisa ikut menyumbang, mereka selalu mendukung, begitukah seperti agama
lain, Kristen, Protestan, dan lain-lainnya, ya, – Tajarudin
94
Sebagaimana dijelaskan Pak Silem:
Tapi lebih dominan, adalah kekeluargaan. Saling menghormati. Itu prinsip bagi orang Dayak. Jadi itu
... sifat da sikap.
95
Untuk informasi lebih mendalam mengenai pentingnya peranan kerukunan serta pentingnya nenek moyang
dalam masyarakat Dayak, lihat: Geddes, W.R. (1973). Nine Dayak Nights. New York, United States: Oxford
University Press.
dipaparkan dalam wawancara di Kalimantan Tengah, pentingnya kekeluargaan merupakan kunci
dalam pemahaman masyarakat Dayak sekarang ini. Berkat pentingnya nilai sosial ini, kemungkinan
adanya perselisihan di dalam masyarakat Dayak dapat dikurangi. Dengan demikian, kemampuan
Keputusan kelompok Hindu Kaharingan untuk mengizinkan orang dari semua agama ikut
dalam upacara Tiwah semenjak tahun ke-sembilanpuluh-an menunjukkan pertalian yang ketat di
antara anggota masyarakat. Dengan demikian, upacara Tiwah tidak hanya mewakili pengutuhan
kehidupan di jagat yang fana ini tetapi juga persatuan dengan alam baka. Persatuan tersebut tersirat
Diantar apa kehidupan arwah sana itu ada hubungan dengan orang yang hidup. Ah, dengan
yang hidup. Kalau diantar, dikasih apa-apa, mungkin kehidupannya sana sangat sederhana
kayak itu ya kita yang kasih dia peningkatan.
Dapat dilihat bahwa hubungan antara nenek moyang di alam baka serta masyarakat
Kaharingan di dunia ini begitu kuat karena perilaku di dunia akan berpengaruh terhadap keberadaan
para leluhur di surga. Tiwah tidak hanya menjadi penghubung antara masyarakat Dayak yang berbeda
Akan tetapi, nilai-nilai tradisional Tiwah banyak mendapat tantangan sejak diakui sebagai
salah satu agama negara. Pengaruh-pengaruh dari agama lain dan dari pemerintah untuk yang diserap
96
Responden-responden menegaskan:
Lebih dominan rasa kekeluargaan, bukan agama. Makanya, orang Dayak itu susah akan dipolitisasi
terjadi (...) jadi, orang Dayak itu merupakan lambang anu, apa, lambang kerukunan umat agama. – Pak Silem.
unsur dari agama Protestan, Katolik, Islam serta Hindu Dharma semakin menonjol dalam agama Hindu
Kaharingan. Padahal jika para pemimpin Kaharingan tidak memperbolehkan pengaruh-pengaruh dari
luar Kaharingan masuk ke dalam sistem kepercayaan ini, kemungkinan besar kepercayaan Kaharingan
Jika kita menyimak Buku Kandayu (Penuntun Persembahyang),98 unsur-unsur dari luar
Kaharingan, baik yang tersirat maupun tersurat, dapat dilihat. Pengaruh dari agama Hindu Dharma
dapat disimak dalam bahasa yang digunakan. Dalam bagian 3. Bulu Ekor Tingang ditulis:
Sebetulnya, Brahman tidak pernah diakui dalam agama Hindu Kaharingan. Brahman
memainkan peranan dalam agama Hindu Bali serta Hinduisme yang ditemukan di India. Artinya,
pengaruh ini bukan datang hanya dari daerah lain di Indonesia, tetapi bahkan dari negara asing.
b. Warna hitam di tengah, berarti alam kehidupan manusia di dunia ini yang penuh dengan
pertentangan antara kebenaran dengan yang ketidakbenaran (Dharma melawan Adharma).
Walaupun gagasan dharma serta adharma merupakan konsep yang asing bagi penganut
Hindu Kaharingan, kata-kata ini dapat disimak dalam buku-buku pelajaran yang disebarkan di sekolah-
97
Bahkan, Schiller menulis dalam A Old ‘eligio i Ne O de I do esia: Notes o Eth i it a d ‘eligious
Affiliation (1996): I would suggest that in Indonesia, "religion," agama, as it is popularly understood, is an
emergent field of discourse which seeks to supplant local discourses on the nature of the sacred and of the
super atural orld.
98
Nau, R. (2003). Buku Kandayu (Penuntun Persembahyangan). Palangka Raya, Indonesia: Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
sekolah yang berada di Kalimantan Tengah. Artinya, melalui ajaran-ajaran agama, pemerintah serta
agama Hindu Dharma campur tangan dalam pengertian agama Hindu Kaharingan99.
c. Warna putih di bagian bawah berarti kesucian yang dapat dicapai melalui usaha individu
melawan ketidakbenaran (adharma) yang pada saatnya, bila dihubungkan dengan upacara
keagamaan yaitu sampai kepada Upacara Tiwah (A-Ti ah/ Nga e
Sekali lagi muncul konsep Hindu Dharma dalam tulisan ini. Di sini upacara kematian Ngaben
disamakan dengan Tiwah walaupun ada cukup banyak perbedaan antara Tiwah dan Ngaben.
Masuknya gagasan-gagasan dari agama lain sangat mempersulit para pelajar. Tulisan yang kurang
jelas ini dapat menghalangi pengertian yang jelas terhadap agama Hindu Kaharingan. Tidak hanya
upacara Ngaben, tetapi juga upacara Nyepi yang sering terlihat dalam buku-buku pelajaran.100
Dalam wawancara dengan seorang Guru Agama, Pak Durjen, di Muara Teweh, Kalimantan
99
Schiller menunjukkan bahwa Departemen Agama sangat berpengaruh dalam pendidikan Hindu Kaharingan
dan pendidikan agama pada umumnya di Kalimantan Tengah: In 1985, in a decision made jointly with the
Ministry of Education and Culture, for example, it was announced that all school-goers, from primary through
tertiary levels, would have to register for religion classes (Kompas 1985; Pelita 1985; Suara Karya 1985).
According to the "new curriculum," which went into effect in 1994, elementary school pupils must attend
agama classes for two hours weekly (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1993). It is official Ministry
policy to encourage the absorption of indigenous belief systems into one of the recognized religions provided
they satisfy certain prerequisites. Thus, the freedom of the people to profess and exercise their own religion
ot ithsta di g, it is u likel that the state ill e og ize a o e " e eligio s." - Schiller, A. (1996). An
Old ‘eligio i Ne O de I do esia: Notes o Eth icity and Religious Affiliation.
100
Kegiata dala pelaksa aa Upa a a Tiwah adalah sebagai berikut: Neneng Katambung (Nyepi) selama dua
puluh empat ja .
Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan untuk Tingkat SMTP Kelas III; oleh tim penyusun – Drs. Rangkap I.
Nau, Parada L. KDR. Sag., Osoh T. Agan, Mantikei R. Hanyi. Sag.; penyusun – Lembaga Pengembangan Tandak
dan Upacara Keagamaan Umat Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya, 2003.
Ada Hindu Dharma, ya itu Dharma kan ada di Bali kan, nah itu jadi kalau dilihat ajaran-ajaran
itu memang, memang beda ya jadi Hindu ini bermacam-macam, jadi yang ada di, di
Kalimantan Tengah ini ya itu Hindu Kaharingan. Iya jadi kalau kita lihat dari er segi anu ya apa
itu ajarannya, ya memang, memang tidak, memang sulit ya dimengerti (...) umat ya Hindu
Kaharingan (...) karena Kaharingan ini punya kitab suci. Kitab suci sendiri ya, kalau kitab suci
ya itu Panaturan, (...) jadi kan kalau Hindu Kaharingan itu, itu kan beda ya,
Kalau menurut aku (...) Sebenarnya Hindu ini ada, ada Hindu ini, ada Hindu Bali. Sebenarnya
orang kepercayaan Kaharingan ini jauh berbeda. Ndak ada sama itu.
Apa pun agama yang dianut, sebagian besar responden seringkali menekankan bahwa
terdapat perbedaan antara Hindu Kaharingan dan Hindu Dharma. Dengan demikian, perbedaan ini
sepatutnya dapat dilihat dengan jelas dalam buku-buku pelajaran.Seringkali, ajaran Hindu Dharma
serta Hindu Kaharingan tampak serupa dalam buku-buku pelajaran ini. Akibatnya, pelajar maupun
pembaca mendapatkan gambaran yang keliru mengenai Hindu Kaharingan, dalam buku-buku
pelajaran tersebut.
Tak bisa dipungkiri, banyak unsur dari agama yang berbeda-beda terkandung dalam buku-
buku pelajaran ini. Bahkan pengaruh dari agama Protestan dapat dilihat:
. Ta pu g Ta a .
Dengan pengertian bahwa selesai melaksanakan Basarah selayaknya menerima anugerah
dari Ranying Hatalla Langit dan sebaliknya segala sesuatu yang sifatnya jahat, baik pikiran
maupun perasaan dapat dinetralisir oleh kesucian air su i kehidupa te se ut.
Air suci tersebut merupakan pengaruh dari agama Protestan. Ritual-ritual Hindu Kaharingan
dimodifikasi agar dapat memenuhi tuntutan dari pemerintah, yaitu agar tampak lebih mirip dengan
Pengaruh-pengaruh dari sumber di luar masyarakat Dayak dapat pula dilihat dari informasi
keprihatinannya yang mendalam atas akibat-akibat dari globalisasi serta modernisasi terhadap
masyarakat Kaharingan.Ia menyatakan bahwa tradisi, kebudayaan serta agama Hindu Kaharingan
harus dilindungi. Pak Lewis mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melindungi tradisi-
tradisi tersebut. Pada sisi lain, menurut pendapat Pak Tajarudin, pemerintah daerah hanya
muncul artikel-artikel dalam koran dan majalah yang membahas unsur kepariwisataan di Kalimantan
101
Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan untuk Sekolah Dasar Kelas II; disusun oleh Lembaga
Pengembangan Tandak dan Upacara Keagamaan Umat Agama Kaharingan Palangka Raya, 2003.
102
Pak Tajarudin berpendapat bahwa:
Pemerintah daerah berperan hanya sebatas perlambangan pariwisata, yang tugas beratnya itu dititipkan para
demang, kepala adat. Kepala daerah, khususnya pemerintah, yang menitipkan kepada para demang,
103
Lihat Adiati, T. Ti ah, Me ga tar Ar ah ke Peristirahata Terakhir http:// e s.
indosiar.com/news_read.htm?id=39439; Sodikin, A. Ma du g, ‘itual Ke atia di Kaki Muller –
Tengah dari daerah lain di Indonesia. Disebutkan bahwa pengabar Injil beragama Protestan memasuki
masyarakat beragama Kaharingan karena mereka mempunyai sistem penyebaran agama yang kuat104.
Wakil serta pengabar Injil dari agama Protestan digambarkan sebagai ofe sif. 105 Dengan ini,
perkembangan agama Hindu Kaharingan dipengaruhi oleh tindakan pengabar Injil. Pak Tajarudin
mengatakan bahwa akibat pengabar Injil, semakin banyak orang muda masuk agama Protestan atau
Katolik.
Ada kemungkinan yang begini, er, sekarang penganut Hindu Kaharingan itu hanya tokoh-
tokoh yang tua. Yang muda tidak ada, mereka Kristen dan Katolik, semua (...) jadi penganut Hindu
Kaharingan hanya orang tua. Sekarang.
Kemudian ia menguraikan:
Bahkan, yang lebih jelek, ini, sekarang ini, para demang itu, demang kepala adat, lebih
banyak beragama Kristen, Protestan, Katolik, bukan beragama Kaharingan, nah ini, ini saya berpikir
bahwa pada suatu saat, nanti, Hindu Kaharingan akan hilang, tidak ada penganut, hanya tertulis
hanya catatan budaya. Ya, sudah merasa takut.
Maka dapat disimpulkan bahwa satu isu yang sangat menonjol sekarang ini dalam masyarakat
Hindu Kaharingan adalah ketakutan akan kehilangan agama serta budayanya. Pengerahan pengabar
Injil yang berhubungan dengan proses modernisasi dapat menyebabkan hilangnya agama Hindu
Kaharingan. Dengan demikian, pemerintah serta Departemen Agama harus memainkan peranan yang
lebih banyak dalam melestarikan agama, budaya serta upacara di Kalimantan Tengah.
104
Pak Tajarudin menguraikan, Yang jelas, di Barito itu, Kaharingan sudah makin terdesak. Yang, yang lebih
kuat adalah Kristen, Protestan dan Katolik. Jadi yang memasuki Kaharingan lebih banyak Kristen, Protestan,
dan Katolik. Er, sebab mereka punya system penyeberang agama yang lebih bagus, mereka bisa Memang
dijabarkan bahwa, Sistem pendekatan, penyeberang agama mereka dengan menggunakan apa er... Pengabar
Injil. Jadi sana lebih banyak pengabar Injil masuk ke desa-desa, ke rumah-rumah dan menyebarkan agama
Kristen, Protestan da, dan Katolik. Sekarang ini. Masih tetap. Masih. Tapi saya lihat lebih, lebih banyak orang
Toraja atau, atau orang Batak, er, banyak. Dari Indonesia. Tidak dari luar.
105
Dalam wawancara dengan Dr. Khairil Anwar dikatakan, Kemudian, Kaharingan ini saya katakan ia
cenderung defensif, karena itu defensif, dia tidak bisa menyebarkan kecuali keturunan ya kan, hanya
mengumbangkan internal aja ya yang ofensif itu adalah Protestan, Kristen, Katolik, Kristen.
Semua bukti yang disajikan di atas menunjukkan bahwa pemerintah sangat berpengaruh
dalam mengarahkan keyakinan pada agama Hindu Kaharingan. Pemerintah dapat melindungi agama
serta upacara Hindu Kaharingan. Namun, tampaknya pemerintah justru berminat mempolitikkan
unsur-unsur Kaharingan. Dalam Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan untuk Sekolah Dasar Kelas
II, 2003, dicatat dalam bagian 4.2 bahwa ada empat guru yang harus dihormati, termasuk Ranying
Pemerintah memakai ajaran agama sebagai wahana untuk mencapai ketenteraman sosial.
Lebih buruk lagi, di bagian ketiga dalam Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan untuk Tingkat SMTP
Kelas III, 2003, murid-murid disuruh secara terperinci bahwa mereka harus menaati kepada
106
Dari . Pe e i tah – “etiap o a g ha us patuh da e akti kepada ega a da Pe e i tah. (...)
Pengorbanan dan pengabdian kepada pemerintah dan negara lebih utama di atas kepentingan
pribadi. (...) Penghormatan kepada pemerintah dilaksanakan dengan mentaati segala perintah,
peraturan atau hukum yang dikeluarkannya. Pengabdian kita sebagai umat manusia ini adalah untuk
menciptakan keamanan dan ketertiban hidup masyarakat yang selalu didambakan oleh setiap orang.
2. Tidak melanggar tat tertib dan aturan-aturan disiplin yang telah ditetapkan.
dari pemerintah serta polisi. Semua pengikut harus menaati peraturan serta syarat yang ditentukan
Sekarang kalau satu keluarga mengadakan wara, itu sulit sekali, masalahnya apa,
pemerintah daerah akan lebih sulit memberikan izin pelaksanaan
Ternyata keamanan merupakan persoalan yang paling penting bagi pihak pemerintah
daerah108. Ini adalah alasan yang diberikan untuk sulitnya mendapat izin untuk mengadakan upacara
Tiwah. Responden dari tempat penelitian utama, yaitu Juju Baru, menegaskan bahwa pihak polisi
serta pemerintah memainkan peranan dalam memutuskan bagaimana upacara Tiwah akan
dilaksanakan109.
107
Untuk penjelasan yang cukup terperinci mengenai peraturan dan syarat pemerintah berkaitan dengan
upacara Tiwah, lihat Schiller, A. (1996). A Old ‘eligio i Ne Order I do esia: Notes o Eth i it a d
Religious Affiliation. Sociology of Religion, 57:4 409-417.
108
Dalam wawancara dengan Pak Tajarudin digamblangkan bahwa, Pemerintah daerah tidak mau kasih izin.
Untuk upacara wara. Ada alasan dari pemerintah daerah. Keamanan. Keamanan. Security. Ya, karena
mayoritas apabila ada upacara wara didampingi dengan upacara judi nah, maksudnya tradisi kan, pada saat
upacara judi, akan keribut-ributan. Ah, itu pemerintah daerah, khususnya keamanan (...) takut. Kalau ada, ada
keributan itu. Jadi, mempersulit izin dan memperpendek masa izin. Itu. Jadi itulah sebabnya di sana orang
susah untuk melaksanakan wara, Tiwah, upacara Hindu Kaharingan.
109
Dalam wawancara dengan Pak Juju dijelaskan bahwa, Kita kasih semacam pemberitahuan, lalu ada
jawaban dari ya, kepolisian seperti ini jadi tanggal dan ini harus tepat kalau apa kalau dia keluar tanggal 18,
kita laksanakan tanggal 18 sampai tanggal 25. Ndak boleh kita mundur atau lebih maju, ndak boleh, kita harus
tepat sesuai dengan suratnya. Memang itu, itu. Jadi, dari pihak pemerintah, ada minimal pemberitahuan akan
laksanakan upacara seperti ini ya kan selama ini kegiatan.
4.4: Pembahasan
Selaras dengan pengertian upacara yang dipaparkan oleh Hertz, upacara Tiwah menjadi acara
kekeluargaan dapat dilihat dalam upacara Tiwah. Pengamatan Hertz bahwa upacara kematian
Masih tidak jelas apakah akan lahir generasi yang tidak lagi melihat upacara Tiwah sebagai
upacara yang penting dalam pembentukan identitas masyarakat Kaharingan, betapapun sudah sangat
nyata bahwa upacara Tiwah sedang mengalami proses perubahan yang dipengaruhi pemerintah serta
agama lain. Poin Hertz yang pertama mengenai bahaya yang dapat mempengaruhi kerabat yang
ditinggalkan pada masa peralihan arwah tercermin dalam pelaksanaan upacara Tiwah. Dalam
pengertian Kaharingan, keluarga yang ditinggalkan akan terkena kutukan sampai upacara Tiwah
dilaksanakan. Karena kutukan ini, janda atau duda tidak boleh menikah lagi atau menjual rumah
sebelum Tiwah dilaksanakan. Sebagaimana dinyatakan Hertz, peralihan nyawa dari satu kedudukan
sosial ke kedudukan sosial lain memang merupakan proses yang berjenjang dalam upacara Tiwah.
Upacara Tiwah sendiri adalah tingkat ketiga dalam upacara wara. Bahkan gagasan surga bertingkat
setelah ajal dapat ditemukan dalam pengertian Kaharingan mengenai alam baka. Dengan demikian,
ciri-ciri khas upacara Tiwah digambarkan dalam poin keempat Hertz. Mengenai anggapan kelima
Hertz, saya berpendapat bahwa arwah dikukuhkan melalui banyaknya sesajen yang diberikan dalam
upacara Tiwah, dan tidak melalui ilmu gaib. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa upacara
Dengan ini, kerabat serta penduduk desa yang beragama apa pun dapat mengikuti upacara
Tiwah. Pentingnya nilai kekeluargaan serta kerukunan dicerminkan dalam hal tesebut. Dalam
pengertian Turner, ritual dilihat sebagai salah satu unsur dalam proses mempersatukan masyarakat.
Inti dari teori ritual Turner serta Gluckman, yang mengutamakan ritual sebagai kegiatan yang penting
dalam pemeliharaan keseimbangan masyarakat, dapat dilihat dalam penyelenggaraan upacara Tiwah.
Geertz menegaskan bahwa ritual upacara memperkuat kepercayaan masyarakat dalam alam baka
Jika kita bandingkan anggapan mengenai politeisme dari pengabar Injil, pejabat negara serta
pemerintah Orde Baru, yang tidak berubah sejak awal abad ke-duapuluh, dapat disimpulkan bahwa
pada asasnya, keduanya bersifat serupa. Walaupun pemikiran mereka muncul pada masa yang
berbeda, keduanya merendahkan sistem kepercayaan yang mengakui sejumlah ilah seperti yang
dianut kaum Kaharingan. Di sini, sinkretisme disamakan dengan suku bangsa yang tidak beradab.
Dengan pernyataan tersebut, mereka meletakkan penganut Kaharingan di luar peradaban. Agama
Kriste serta Isla , se agai aga a du ia e akili oder isasi, sedangkan agama atau kepercayaan
politeis melambangkan keter elaka ga serta uda a pri itif . Peru aha dengan memeluk agama
Tampaknya pejabat negara, pemerintah, penganut agama Islam dan Kristen masih terpaku
dalam gagasan-gagasan yang datang dari aga a du ia . De ga de ikia , aga a a g belum masuk
ke dalam golongan maupun definisi ini cenderung ditolak. Meski demikian, penolakan ini tidak berarti
bahwa perselisihan dan pertentangan akan muncul. Memang, keikutsertaan dalam upacara Tiwah
sangat penting bagi semua anggota keluarga dan penduduk desa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
Tiwah, walaupun tidak diakui sebagai upacara dunia seperti Hari Natal atau Idul Fitri, berfungsi sebagai
lambang kerukunan masyarakat Dayak. Di sini dapat dilihat pentingnya kekeluargaan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bab V
Penutup
5.1: Kesimpulan
Tujuan yang paling menonjol dalam kajian ini berakar pada adanya kekuatan politik dan
keagamaan yang mempengaruhi agama Hindu Kaharingan serta upacara Tiwah. Setelah pengakuan
resmi dicapai pada tahun 1980, keputusan yang paling penting berkenaan dengan persoalan agama
memperhatikan pengaruh-pengaruh luar Dayak yang terkandung dalam agama Hindu Kaharingan
sekarang ini, diharapkan di kemudian hari masyarakat Dayak Ngaju dapat membuat kebijakan-
kebijakan yang lebih matang dan lebih mendukung pelestarian unsur-unsur asli dalam upacara Tiwah.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, dalam riset ini, baik faktor-faktor yang dapat tergolong
sebagai ancaman terhadap kelestarian upacara Tiwah maupun hal-hal yang mendukung
Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan upacara Tiwah dan agama Hindu Kaharingan
dapat dilihat dalam bentuk bantuan keuangan yang diperoleh dari pemerintah daerah setiap tahun
sesuai dengan jumlah penganut agama Hindu Kaharingan110; kekuatan nilai kekeluargaan; dan
pernyataan dari beberapa responden bahwa izin untuk menggunakan upacara Tiwah dapat diperoleh
dengan mudah. Pak Lewis KDR mengatakan bahwa pendidikan agama Hindu di Kalimantan dapat
menjamin bahwa upacara Tiwah khususnya dan agama Kaharingan pada umumnya akan berlanjut di
kemudian hari111.
110
Hal ini dijelaskan dalam wawancara dengan Pak Silem di Palangka Raya.
111
Saat ditanya apa yang dapat dilakukan untuk melestarikan upacara Tiwah serta tradisi-tradisi Kaharingan
lain, Pak Lewis menjawab: Pendidikan. Ada sekolah negeri Hindu (...) biar Hindu ya terkuat.
Di sisi lain, dapat dilihat bahwa ancaman terhadap pelestarian upacara Tiwah lebih besar.
Bukti yang disajikan di atas mengindikasikan bahwa sejumlah unsur dari agama Hindu Dharma, Islam
serta Kristen termuat dalam buku pelajaran yang digunakan dalam kelas agama Hindu. Lebih
dikhawatirkan lagi, dalam buku agama Hindu, para murid dipaksa untuk menaati pemerintah.
Seringkali murid-murid Kaharingan mendapat kesulitan untuk memahami agamanya sendiri karena
adanya campur tangan pihak luar. Tidak heran jika orang muda memilih untuk pindah agama seperti
Berkenaan dengan pernikahan, penganut Hindu Kaharingan biasanya dituntut untuk pindah
agama113. Semua responden bersetuju bahwa alasan ini merupakan alasan yang paling utama114.
Aga a Hi du Kahari ga dilukiska se agai aga a a g defe sif serta tidak di a is di a di gka
dengan agama lai a g ofe sif 115. Artinya, walaupun Agama Hindu Kaharingan sudah 28 tahun
diakui oleh negara, dapat dilihat bahwa agama ini masih belum mendapat pengakuan luas masyarakat.
Hanya seorang responden menyebutkan bahwa penganut agama lain dapat pindah ke Agama Hindu
112
Dalam wawancara, Pak Tajarudin menyatakan bahwa: “ekarang penganut Hindu Kaharingan itu hanya
tokoh-tokoh yang tua. Yang muda tidak ada, mereka Kristen dan Katolik, semua.
113
Sebagaimana diceritakan Pak Tajarudin: Biasanya, salah satu faktor, adalah faktor perkawinan, jadi orang
Islam bisa kawin dengan orang Kaharingan, yang, yang orang Kaharingan pindah ke Islam. Harus pindah.
Harus pindah.
114
Bahkan, sebagai dikatakan Pak Tajarudin, agama Islam ditunjuk sebagai agama yang paling disukai oleh
orang yang ingin pindah agama: Kaharingan ke Muslim. Yang paling sering. Ada perkawinan. Jadi satu-satunya
alasan hanya perkawinan.
115
Dr. Khairil Anwar menyinggung soal perkembangan, Kaharingan ini saya katakan ia cenderung defensif,
karena itu defensif, dia tidak bisa menyebarkan kecuali keturunan ya kan, hanya mengumbangkan internal (...)
Kalau perkembangan itu tidak dinamis seperti Islam atau Kristen (...) dampaknya (...) dia kan animistik, dia
hanya di dalamnya melestarikan budayanya sepertinya. (...) Kaharingan itu perkembangan tidak, tidak seperti
Islam atau Kristen.
Kaharingan116. Responden lain mengatakan bahwa penganut Hindu Kaharingan yang harus masuk atau
berpindah ke agama lain117. Dengan demikian, sebagai kesimpulan perlu dinyatakan kembali argumen
utama yang saya ajukan yaitu bahwa pada masa yang akan datang, Agama Hindu Kaharingan serta
upacara Tiwah akan menghadapi kesulitan dan kemerosotan. Malah, ketika pada tahun 2007, para
wakil Agama Hindu Kaharingan, Arton Ndorong serta Agung Sasongko, berusaha memperkuat posisi
sebagai Agama Kaharingan, mereka tidak sempat bertemu dengan Menteri Agama dan usaha ini
gagal118. Dapat disimpulkan bahwa, meskipun kebebasan agama terjamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945, masyarakat Kaharingan menghadapi sejumlah rintangan sebelum cita-citanya tercapai.
pemeliharaan agama Hindu Kaharingan serta upacara Tiwah. Yang pertama, upacara Tiwah diperkuat
oleh nilai kekeluargaan karena adanya sifat keterbukaan. Seperti sudah disebutkan di atas, sekarang
ini pemeluk agama lain boleh ikut upacara Tiwah. Keikutsertaan dalam upacara Tiwah oleh anggota
keluarga serta desa yang menganut agama lain berarti bahwa, sebagaimana diungkapkan oleh Hertz,
upacara Tiwah membangun kerukunan sosial. Tetapi, memeluk agama lain diperbolehkan karena tidak
ada ancaman untuk keutuhan keluarga dan anggota keluarga tidak akan disingkirkan jika memilih
berubah masuk agama lain. Salah satu penyebab lain yang mempermudah perubahan pindah ke
agama lain merupakan misi pengabar Injil Protestan dan Katolik yang bertujuan mengkristenkan
116
Dalam wawancara dengan Pak Durjen, disebutkan bahwa saat dua orang menikah, biasanya perempuan
yang masuk agama suaminya. Artinya, dalam keadaan di mana perempuan penganut Islam atau Kristen dan
suami penganut Hindu Kaharingan, perempuan yang akan masuk Agama Hindu Kaharingan.
117
Seperti disebutkan Dr. Khairil Anwar, Tidak ada yang ke, ke Islam ke Kaharingan ya kan.
dan polisi-lah yang memegang keputusan mengenai pemberian izin untuk melakukan Tiwah.
Masyarakat Kaharingan akan sangat puas jika semua keputusan yang berhubungan dengan upacara
5.2: Saran-saran
Dalam proses penelitian, ditemukan bahwa salah satu unsur sumber ketegangan dalam
masyarakat Dayak merupakan kegiatan-kegiatan pengabar Injil yang mempengaruhi kaum muda.
Menurut pendapat peneliti, seharusnya ada peraturan-peraturan untuk kegiatan pengabar Injil.
Pengabar Injil dapat memainkan peranan yang penting baik dalam kegiatan keagamaan maupun
dalam bidang pendidikan. Sepertiga waktu pengabar Injil seharusnya digunakan untuk pendidikan
pada umumnya, termasuk ajaran seperti perikanan, kehutanan, pertanian; sepertiga untuk
pendidikan kebudayaan Dayak dan agama Hindu Kaharingan dan sepertiga untuk pelajaran agama
mereka. Dengan mengikuti sistem ini, pengabar Injil dapat melakukan kegiatannya secara terbatas.
Seperti tercantum dalam bab keempat, salah satu guru di Kecamatan Lahei telah mengatakan bahwa
sekolah-sekolah di kawasan itu tidak mempunyai cukup uang untuk biaya gaji untuk guru yang
119
Berhubungan dengan persoalan kuasa, Dr. Khairil Anwar menyebutkan bahwa, Mereka toleran, menjaga
etika pergaulan, tidak saling singgung-menyinggung itu kan, masing-masing, yang khawatir merusak, itu ada
di atas ini, kalau di bawah ikut cenderungan itu bagus hanya khawatir-khawatir kalau nanti provokasi dari
atas. Dalam kalimat ini, e eka serta di a ah artinya masyarakat Kaharingan; da i atas artinya pihak
pemerintah dan kepolisian. Ketidakseimbangan kekuasaan dapat dilihat dalam kata-kata seperti atas dan
a ah .
Dalam wawancara-wawancara, dapat disimpulkan bahwa, jika izin untuk pelaksanaan upacara
Tiwah ditolak, alasannya tidak selalu jelas. Pihak pemerintah dan polisi seharusnya lebih jernih.
Sebuah badan penengah dapat dibentukkan agar hubungan antara masyarakat Kaharingan dan
Anwar, K. (2006). Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai. Palangka Raya, Indonesia: STAIN
Palangka Raya bekerjasama dengan MUI.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta, Indonesia: PT Rineka
Cipta.
Asad, T. (1983). Anthropological Conceptions of Religion: Reflections on Geertz. Man, New Series,
Vol. 8, No. 2, pp. 237–259. Retrieved November 2, 208, from JStor database.
Baier, M. (2006). Perkembangan Sebuah Agama Baru di Kalimantan Tengah. Retrieved July 15, 2008,
from the author, Dr. Martin Baier, visiting lecturer at Kampung Baru, Kerayan, East Kalimantan,
Indonesia.
Baier, M. (2007). Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Esa – Teologi Sistematika
Agama Hindu Kaharingan. Pontianak, Indonesia: Balai Penerbit Pontianak Amu Lanu.
Bakker, F. (1997). Balinese Hinduism and the Indonesian State; Recent developments. Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, 153: 1, 15-41. Retrieved May 10, 2008, from KITLV database.
Chalmers, I. (2006). The Dynamics of Conversion: the Islamisation of the Dayak peoples of Central
Kalimantan. Retrieved April 22, 2008, from
http://espa e.lis. urti .edu.au/ar hi e/ / / _A“AA_paper_ Isla isatio _of_Da ak_i
_Kalte g _paper.pdf.
Deflem, M. (1991). Ritual, Anti-Structure and ‘eligio : A Dis ussio of Vi tor Tur er s Pro essual
Symbolic Analysis. Journal for the Scientific Study of Religion 30(1): 1-25. Retrieved November 2,
2008, from JStor database.
Dove, M. (1998). Living rubber, dead land, and persisting systems in Borneo; indigenous
representations of sustainability. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 154: 1, 20-54.
Retrieved May 10, 2008, from KITLV database.
Fernandez, J. & Turner, V. (1973). Analysis of Ritual: Metaphoric Correspondences as the Elementary
Forms. Science, New Series, Vol. 182, No. 4119, pp. 1366-1368. Retrieved November 2, 2008, from
JStor database.
Geddes, W.R. (1973). Nine Dayak Nights. New York, United States: Oxford University Press.
Gellner, D. (1999). Religion, politics, and ritual. Remarks on Geertz and Bloch. Social Anthropology,
Vol. 7, No. 2, 135-153. Retrieved November 2, 2008, from JStor database.
Goenner, C. (2001). Muster und Strategien der Ressourcennutzung: Eine Fallstudie aus einem Dayak
Benuaq Dorf in Ost Kalimantan, Indonesien. Retrieved May 10, 2008, from http://e-
collection.ethbib.ethz.ch/eserv/eth:24417/eth-24417-01.pdf
Hendrijani, A. et al., (2006). Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta, Indonesia:
Galangpress.
Kaharingan Religious Believers Demand Fair Treatment. (2001, June 5). Antara: Jakarta, p. 1.
Retrieved March 19, 2008 from ProQuest database.
Kalimantan Tengah Dalam Angka 2005. (2005). Palangka Raya, Indonesia: BPS Provinsi Kalimantan
Tengah.
Klokke, A.H. (1998). Traditional Medicine Among the Ngaju Dayak in Central Kalimantan. Phillips,
United States: Borneo Research Council.
Kuhnt-Saptodewo, J. (2005). Dayak: Die Gemeinschaft des Langhauses. Retrieved May 10, 2008,
from www.ems-online.org/fileadmin/download/Doku_Infobriefe/Indonesien/EMS-
Dokumentationsbrief_Nr._5-2005_Vielfalt_in_Einheit._Indonesiens_Ethnien_im _Wandel.pdf
Miles, D. (1976). Cutlass and Crescent Moon. Sydney, Australia: University of Sydney Press.
Nau, R. (2003). Buku Kandayu (Penuntun Persembahyangan). Palangka Raya, Indonesia: Majelis
Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
Nau, R. (2003). Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan Untuk Sekolah Dasar Kelas II. Palangka
Raya, Indonesia: Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
Nau, R. (2003). Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan Untuk Tingkat SMTP Kelas III. Palangka
Raya, Indonesia: Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka Raya.
Nau, R. (2003). Kita Seperti Orang Asing Di Rumah Sendiri. Banjarmasin Post. Retrieved March 20,
2008, from www.indomedia.com/bpost/032005/20/persona/person1.htm.
Persoon, G. (1998). Isolated groups or indigenous peoples; Indonesia and the international
discourse. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Globalization, Localization and Indonesia,
154: 2, 281-304. Retrieved May 10, 2008, from KITLV database.
Qoyim, I. (Ed.). (2003). Aga a da Pa da ga Hidup “tudi te ta g Lo al ‘eligio di Beberapa
Wilayah Indonesia. Jakarta, Indonesia: PMB – LIPI.
Rutherford, D. (2002). After Syncretism: The Anthropology of Islam and Christianity in Southeast
Asia. Society for Comparative Study of Society and History. Retrieved November 2, 2008, from JStor
database.
Schefold, R. (1998). The domestication of culture; Nation-building and ethnic diversity in Indonesia.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Globalization, Localization and Indonesia, 154: 2, 259-
280. Retrieved May 10, 2008, from KITLV database.
Schiller, A. (1997). Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity Among the Ngaju of
Indonesia. United States: Oxford University Press.
Schiller, A. (2002). Religion and inter-ethnic violence in Indonesia. Journal of Contemporary Asia,
32:2, 244-254. Retrieved May 11, 2008, from Informaworld database.
Schiller, A. (2007). Activism and Identities in an East Kalimantan Dayak Organization. The Journal of
Asian Studies, Vol. 66, No. 1. 63-95. Retrieved March 25, 2008, from ProQuest database.
Sutresna, M., Sudiarsa, I.N., Manuaba, I.B. (2004). Buku Pelajaran Agama Hindu Untuk SLTP Kelas 1
(Semester 1 & 2). Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.
Turner, V. (1975). Symbolic Studies. Annual Review of Anthropology, Vol. 4, pp. 145-161. Retrieved
November 2, 2008, from JStor database.
Tylor, E.B. (1882). Notes on the Asiatic Relations of Polynesian Culture. The Journal of the
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol. 11, pp. 401-405. Retrieved November 6,
2008, from Jstor database.
Wadle , ‘.L . ‘e o sideri g a eth i la el i Bor eo; the Maloh of West Kali a ta .
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Globalization, Localization, and Indonesia, 156:1, 83-
101. Retrieved May 10, 2008, from KITLV database.
Weinstock, J.A. (1991). Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central-East
Borneo. Michigan, United States: Cornell University.
a o ous Ti ah, Me ga gkat Leluhur ke “urga
http://mobile.liputan6.com/?c_id=8&id=741
http://www.baritoutarakab.go.id.
http://www.bps.go.id.