Anda di halaman 1dari 44

Karya Ilmiah Analisis Pertempuran Terdahsyat pada

Masa Revolusi Fisik di Bali

Oleh

Nama : Ni Kadek Della Aprilia Astuti Abdi

Kelas : XI MIPA 5

Absen : 25

SMA NEGERI 1 KEDIRI

TAHUN PELAJARAN 2022/2023


Analisis Pertempuran Terdahsyat pada Masa Revolusi
Fisik di Bali

KATA PENGANTAR
Sungguh merupakan kewajiban penulis untuk memanjatkan puji
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena, atas kelimpahan rahmat-Nya
penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “Analisis
Pertempuran Terdahsyat pada Masa Revolusi Fisik di Bali”. Karya ilmiah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia, tujuan
dibuatnya karya ilmiah ini yaitu untuk mengetahui segala sesuatu yang ada
kaitannya dengan pertempuran pada masa revolusi di Bali.

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, tentu saja tidak lepas dari
pengarahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka penulis ucapkan
dengan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu.

Pihak-pihak yang terkait diantaranya sebagai berikut:

1. Drs. I Wayan Sutaya M.Pd. selaku Kepala Sekolah

2. Dra. A.A. Istri Ngurah Antari selaku guru Bahasa Indonesia yang telah
membimbing dalam penulisan karya ilmiah ini. Karena kebaikan semua
pihak yang penulis sebutkan tadi, maka penulis bisa menyelesaikan karya
ilmiah ini dengan semaksimal mungkin. Karya ilmiah ini memang jauh dari
kata sempurna, tapi penulis sudah berusaha melakukan sebaik mungkin.
Sekali lagi terima kasih untuk semua pihak yang penulis sebutkan tadi,
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis tidak lupa memohon


kritik dan saran kepada pembaca demi kesempurnaan penyusunan karya
ilmiah ini yang sifatnya membangun, dan tidak lupa penulis pengucapkan
terimakasih apabila dalam penyusunan karya ilmiah ini ada kesalahan
mohon dimaafkan.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
ABSTRAK......................................................................................................1
BAB I..............................................................................................................2
PENDAHULUAN..........................................................................................2
1.1 Latar belakang..................................................................................2
1.2 Rumusan masalah............................................................................3
1.3 Tujuan penelitian.............................................................................3
1.4 Manfaat penelitian...........................................................................3
BAB II............................................................................................................5
LANDASAN TEORITIS...............................................................................5
BAB III.......................................................................................................7
METODE PENELITIAN............................................................................7
BAB IV...........................................................................................................9
PEMBAHASAN.............................................................................................9
2.1 Penyerbuan Tangsi Polisi Belanda...................................................9
2.2 Malam Hiburan dan Persembahyangan Bersama..........................11
2.3 Lahirnya Pasukan Ciung Wanara...................................................12
2.4 Pasukan Ciung Wanara Bergerak Menuju Banjar Kelaci..............14
2.5 Laporan Para Pengawal pada Pagi-pagi Buta................................14
2.6 Teror Serdadu Belanda dan Desa Marga Terkurung Ketat............15
3.1 Pasukan Ciung Wanara Bergerak Menuju Subak Uma Kaang......16
3.2 Peristiwa Dahsyat Puputan Margarana..........................................17
3.3 Berakhirnya Puputan Margarana...................................................19
3.4 Makna Puputan Margarana............................................................20
3.5 Nama-nama Anggota Pasukan Ciung Wanara yang Gugur dalam
Puputan Margarana...................................................................................21
4.1 Jenazah Pasukan Ciung Wanara....................................................26
4.2 Perjuangan Kemerdekaan Terus Berlanjut....................................27
4.3 Peringatan Hari Puputan Margarana..............................................28
4.4 Berdirinya Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana
28

ii
4.5 Pekan Pahlawan Kemerdekaan......................................................30
4.6 Terciptanya Hymne dan Mars........................................................30
BAB V..........................................................................................................32
KESIMPULAN............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................33
LAMPIRAN.................................................................................................35
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS..................................................39

iii
ABSTRAK
Kiranya bagi generasi muda sebagai penentu masa depan bangsa,
dibutuhkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai nilai-nilai
sejarah perjuangan bangsa, khususnya nilai-nilai Puputan Margarana yang
terjadi dalam perjuangan fisik perang kemerdekaan Republik Indonesia.
Sejatinya, nilai-nilai tersebut merupakan modal spiritual yang sangat
ampuh, dalam mengisi dan mengamankan kemerdekaan negeri ini.
Berdasarkan pemikiran itulah pembuatan buku Puputan Margarana ini
dijadikan sebagai salah satu “Program Kerja Yayasan Kebaktian Proklamasi
Provinsi Bali Tahun 2014”, dengan maksud untuk ikut serta dalam
memenuhi kebutuhan tersebut.

Dalam buku “Pertempuran Terdahsyat pada masa Revolusi Fisik di


Bali”, diuraikan secara kronologis mengenai peristiwa heroik Puputan
Margarana, baik sebelum, pada saat maupun setelah terjadinya pertempuran
terdahsyat tersebut. Pada masa pra Puputan Margarana terjadi peristiwa :
Penyerbuan Tangsi Polisi Belanda, Malam Hiburan dan Persembahyangan
Bersama, Lahirnya Pasukan Ciung Wanara, Pasukan Ciung Wanara
Bergerak Menuju Banjar Kelaci, Laporan Para Pengawal pada Pagi-pagi
Buta, dan Teror Serdadu Belanda dan Desa Marga Terkurung Ketat. Pada
saat Puputan Margarana terjadi: Pasukan Ciung Wanara Bergerak Menuju
Subak Uma Kaang, Peristiwa Dahsyat Puputan Margarana, Berakhirnya
Puputan Margarana, Makna Puputan Margarana, Nama-nama Anggota
Pasukan Ciung Wanara yang Gugur dalam Puputan Margarana. Sedangkan
pasca Puputan Margarana terjadi: Perjuangan kemerdekaan Terus Berlanjut,
Jenazah Pasukan Ciung Wanara, Peringatan Hari Puputan Margarana,
Berdirinya Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana, Pekan
Pahlawan Kemerdekaan dan Terciptanya Hymne dan Mars.

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Apabila berbicara tentang Puputan Margarana, maka asosiasi
pemikiran segera tertuju kepada Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa
Margarana. Demikian pula sebaliknya, apabila berbicara tentang Monumen
Taman Pujaan Bangsa Margarana, segera terlintas dalam pikiran peristiwa
heroik Puputan Margarana. Pemikiran itu muncul terutama di kalangan para
pejuang kemerdekaan di Bali khususnya, dan di kalangan orang-orang yang
sudah mengenal kedua hal yang sangat bersejarah tersebut.

Kedua hal yang memiliki nilai sejarah perjuangan kemerdekaan


yang tinggi, mempunyai kaitan yang sangat erat dan tidak dipisahkan.
Karena, pertempuran dahsyat yang dinamakan Puputan Margarana terjadi di
areal Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana dan monumen
ini didirikan justru untuk mengenang dan menghormati jasa leluhur para
pejuang kemerdekaan yang gugur di dalam Puputan Margarana dan di
medan pertempuran pada masa revolusi fisik atau perang kemerdekaan
Republik Indonesia di bali.

Pada masa kerajaan, di Bali terjadi tiga kali peristiwa puputan dalam
melawan penjajahan Belanda, meliputi Puputan Jagaraga tahun 1849,
Puputan Badung pada tahun 1906 dan Puputan Klungkung pada tahun 1908.
Pada masa revolusi di Bali, tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, terjadi
hanya sekali peristiwa puputan dalam menentang penjajahan Belanda, yakni
Puputan Margarana pada tanggal 20 November 1946 di desa Marga,
Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Semua peristiwa puputan itu,
merupakan mata rantai tonggak sejarah perjuangan khas Bali yang tercatat
dengan tinta emas, karena mengandung nilai-nilai yang sangat luhur untuk
menegakan kebenaran dan kemuliaan bangsa. Puputan Margarana,
sesungguhnya merupakan suatu upaya yang gagah berani, untuk membela
dan mempertahankan tetap tegaknya Sang Saka Merah Putih di seluruh
bumi nusantara.

2
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana peristiwa pra Puputan Margarana ?


b. Bagaimana suasana pada saat terjadinya Puputan Margarana ?
c. Bagaimana peristiwa pasca Puputan Margarana itu terjadi ?

1.3 Tujuan penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian dapat
dituliskan sebagai berikut:

a. Agar bisa mengetahui peristiwa Pra Puputan Margarana


b. Untuk mengetahui bagaimana suasana saat terjadinya Puputan
Margarana
c. Mengetahui peristiwa Pasca Puputan Margarana

1.4 Manfaat penelitian


Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara teoritis maupun
praktis. Manfaat teoritis merupakan manfaat jangka panjang dalam
pengembangan teori pembelajaran, sedangkan manfaat praktis memberikan
dampak secara langsung terhadap komponen-komponen pembelajaran.

Berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian dapat dituliskan


sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Mampu mengetahui proses terjadinya peristiwa pertempuran dahsyat


Puputan Margarana setelah menyusun karya ilmiah ini dan tau
Bagai- mana suasana pasca Puputan Margarana.

b. Manfaat praktis

Bagi siswa, penelitian ini diharapkan memberikan salah satu


alternatif model pembelajaran yang efektif digunakan dalam proses
pembelajar- an guna meningkatkan prestasi belajar siswa.

3
Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah
satu acuan untuk melakukan pemilihan model pembelajaran yang
ino- vatif untuk meningkatkan belajar siswa.

Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan


pertimbangan mengenai model pembelajaran yang efektif untuk
siswa

4
BAB II
LANDASAN TEORITIS
Beberapa konsep yang menjadi landasan teoritis dalam penelitian ini yaitu:

1. Pengertian puputan

Istilah puputan ini berasal dari kata bahasa Bali “puput” yang artinya
“tanggal” / “putus” / “habis / “mati”. Nah, dapat disimpulkan
puputan ini merupakan istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada
perang sampai titik darah penghabisan yang dilakukan saat perang daripada
harus menyerah kepada musuh.

2. Pengertian pertempuran

Pertempuran adalah suatu kontak senjata antara dua atau lebih pihak
di mana masing-masing pihak bertujuan mengalahkan pihak lainnya.
Pertempuran umumnya terjadi dalam suatu perang atau kampanye
militer dan biasanya terjadi pada waktu, lokasi, dan aktivitas
tertentu.

3. Pengertian perang

Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit,
adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara
dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di
wilayah yang dipertentangkan.

Arti perang di KBBI adalah: permusuhan antara dua negara (bangsa,


agama, suku, dan sebagainya).

Menurut Kusumaatmadja, seperti yang dikutip oleh Haryomataram,


perang adalah suatu keadaan dimana suatu negara atau lebih terlibat
dalam suatu persengketaan bersenjata, disertai dengan suatu
pernyataan niat salah satu pihak lain.

4. Pengertian revolusi

5
Revolusi adalah suatu perubahan yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pengertian dari


revolusi adalah perubahan ketatanegaraan atau pemerintahan atau
keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan.

5. Pengertian penjajahan

Kolonialisme (atau juga disebut Penjajahan) adalah sistem di mana


negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih
berhubungan dengan negara asal tersebut.

6
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian erat kaitannya dengan riset atau penelitian.
Menyadur dari buku Metode Penelitian oleh Andra Tersiana, riset atau
penelitian merupakan kegiatan mencari kembali guna mendapatkan sesuatu.

Menurut Kerlinger dalam Tersiana, penelitian ialah suatu


penyelidikan yang sistematis, terkendali, empiris, dan kritis mengenai
fenomena di sekitar.

Karena itu, diperlukan metode penelitian untuk mengumpulkan


sejumlah data tentang hal yang sedang diteliti.

Secara umum, metode penelitian merupakan metode ilmiah yang


digunakan untuk mendapatkan data-data yang nantinya dapat dianalisis
untuk keperluan tertentu.

Mengutip buku Metodologi Penelitian, Pedoman Penulisan Karya


Tulis Ilmiah oleh Vigih Hery Kristanto (2018), data-data yang diperoleh
berdasarkan metode penelitian itu merupakan data yang valid, reliabel, dan
objektif.

Metode Penelitian Deskriptif

Metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan


menggambarkan fakta-fakta secara apa adanya tanpa penambahan apa pun.
Data yang diungkap dalam metode deskriptif meliputi fakta yang bersifat
kuantitatif ataupun kualitatif

Kuantitatif yaitu jenis data yang dapat diukur atau dihitung secara
langsung, yang berupa informasi atau penjelasan yang dinyatakan dengan
bilangan atau berbentuk angka. (Sugiyono, 2010).

7
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis.

Mengutip dari buku Penelitian Pendidikan: Metode, Pendekatan, dan


Jenis oleh Dr. H. Salim, M.Pd. dan Dr. Haidir, S.Ag., M,Pd. (2019),
penelitian deskriptif memusatkan perhatian ke masalah-masalah aktual apa
adanya pada saat penelitian tengah berlangsung.

Melalui penelitian ini, penulis berusaha mendeskripsikan peristiwa


dan kejadian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa
tersebut. Adapun variabel yang diteliti dapat tunggal maupun lebih dari satu
variabel.

8
BAB IV
PEMBAHASAN
PRA PUPUTAN MARGARANA

2.1 Penyerbuan Tangsi Polisi Belanda


Dua hari sebelum terjadinya peristiwa Puputan Margarana yang
tidak pernah terbayang dalam pikiran pasukan pejuang atau pemuda gerilya,
dilakukan penyerbuan secara besar-besaran oleh mereka terhadap tengsi
polisi Belanda di Kota Tabanan. Ketika itu, Pimpinan Markas Besar
Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil
beserta pasukan berada di banjar Ole, desa Marga, kecamatan Marga,
kabupaten Tabanan. Tatkala itu pula tersiar berita bahwa pada bulan
Desember 1946 akan diselenggarakan konferensi Denpasar oleh Belanda,
yang dikoordanasikan oleh Van Mook. Konferensi bertujuan untuk
membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), yang berarti ingin memecah
belah Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Berdasarkan berita buruk itulah, I Gusti Ngurah Rai pucuk pimpinan


MBO DPRI Sunda Kecil bertekad untuk menggagalkan konferensi itu
dengan cara melakukan penyerangan ke Kota Denpasar pada waktu
konferensi tersebut berlangsung. Untuk mewujudkan maksud itu, diperlukan
senjata dan peluru dalam jumlah yang cukup oleh pasukan pejuang.

Pengaturan pelaksanaan penyerbuan dipercayakan kepada I Gusti


Wayan Debes pucuk pimpinan Markas Besar Dewan Perjuangan Rakyat
Indonesia (MB DPRI) Tabanan. Sedangkan pemimpin pasukan penyerbu,
dipercayakan kepada I Made Sueta. Pada tanggal 18 November 1946,
sekitar pukul 19.00 pasukan penyerbu terdiri atas pemuda gerilya dan laskar
rakyat yang berkekuatan kurang lebih 380 orang telah siap di banjar Ole,
desa Marga. Ketika itu, ada dua hal penting yang diperintahkan oleh pucuk
pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil kepada pasukan penyerbu. Pertama;

9
pasukan penyerubu bertugas melakukan penyerbuan terhadap tangsi polisi
Belanda di kota Tabanan, untuk merampas semua senjata dan peluru yang
ada di dalam tangsi polisi tersebut. Kedua; dalam penyerbuan tidak boleh
ada korban jiwa, baik di pihak penyerbu maupun di pihak musuh, tapi
apabila terpaksa tangsi tersebut harus dibakar, sehingga menjadi hancur
lebur.

Seorang wanita pejuang dari desa Grokgak kota Tabanan bernama


Wayan Ngedep alias Men Kuwati, yang memiliki karakter perberani dan
cerdik, didukung oleh wajahnya yang cantik jelita, dipandang mampu
menjalankan tugas seperti itu. I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Wayab debes
menaruh kerpercayaan yang tinggi terhadap wanita pejuang yang
mempunyai raut muka elok dan memikat itu.

Wayan Ngedep, ditugaskan untuk melaporkan tentang keberadaan


musuh di kota Tabanan dan mengadakan pendekatan kepada Wigimin,
komandan tangsi polisi Belanda di Tabanan. Sesungguhnya, di mata rakyat
Wigimin terkenal begis dan kejam. Tetapi berhadapan dengan Wayan
Ngedep, Wigimin seketika berubah menjadi pria lembut dan penyayang.
Berkat kelebihannya Wayan Ngedep berhasil menjinakkan Wigimin.
Terbukti Wigimin siap bergabung dengan pasukan pejuang dan sanggup
mengatur strategi agar semua senjata dan peluru yang ada di tangsi polisi
Belanda yang dipimpinnya, berhasil dirampas oleh pasukan pejuang, tanpa
perlu meneteskan darah.

Tanggal 18 November 1946, pukul 20.00 pasukan penyerbu


berangkat dari desa Marga menuju kota Tabanan melalui jalan setapak. Pada
pukul 23.00 pasukan penyerbu sampai di tempat tujuan, yakni di sebelah
Timur Pura Dalem di kota Tabanan, yang berjarak sekitar 500 meter di
sebelah timur tangsi polisi Belanda yang akan diserbu.

Sesudah siap, pasukan penyerbu diperintahkan untuk bergerak


secara serentak menuju tangsi. Wigimin dan I Made Sueta mengambil posisi
terdepan, masing-masing berperan sebagai pengatur dam pemimpin pasukan

10
penyerbu, diikuti oleh pasukan penyerbu yang sebagian besar bersenjatakan
tradisional seperti bambu runcing, kelewang, pentung dan pisau belati.

Secara tiba-tiba, polisi yang bertugas jaga tersebut diperintahkan


oleh Wigimin untuk angkat tangan dan senjata yang dibawakan agar cepat
diserahkan kepada pemuda gerilya atau pasukan penyerbu.

Pada tanggal 19 November 1946, pikul 06.00 Wigimin Bersama


pasukan penyerbu tiba dengan selamat di banjar Ole, desa Marga. Berkat
pendekatan Wayan Ngedep, Wigimin rela mengorbankan jabatannya
sebagai komandan tangsi polisi Belanda di kota Tabanan dan memilih
bergabung denga pasukan pejuang, berjuang Bersama untuk kemerdekaan
RI. Setelah dihitung dalam penyerbuan itu berhasil didapatkan; 42 pucuk
senjata ( terinci menjadi 36 pucuk karben, 2 pucuk pistol mitraliur, 2 pucuk
bren dan 2 pucuk senapan angin), 16 blek peluru yang berisi 500 butir per
blek dan 2 mesin ketik.

Di samping itu, pada tanggal 19 November 1946 siang hari, serdadu


Belanda juga melakukan kurungan di desa Tunjuk kecamatan Marga, yang
berjarak hanya 2 kilometer dari desa Marga ke arah barat. Kurungan ini
bermaksud untuk mengepung dan menangkap pemuda gerilya yang
melakukan penyerbuan terhadap tangsi polisi Belanda di kota Tabanan.

Pada tanggal 19 November 1946 dari pagi sampai sore, pasukan


pejuang beristirahat, diadakan konsolidasi. Para perwira seperti I Gusti
Bagus Putu Wisnu, I Gusti Wayan Debes, I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar
dan Wigimin, dipanggil oleh pucuk pimpinan I Gusti Ngurah Rai untuk
diajak membahas perencanaan siasat perlawanan terhadap musuh
selanjutnya.

2.2 Malam Hiburan dan Persembahyangan Bersama


Pada tanggal 19 November 1946, atas inisiatif rakyat desa Marga
diakan malam hiburan. Hiburan ini diakan untuk menyambut sekaligus
memberikan penghargaan (apresiasi) kepada pasukan pejuang sebagai
pasukan penyerbu tangsi polisi Belanda di kota Tabanan, yang telah sukses

11
melaksanakn tugas. Jenis hiburan yang ditampilkan pada malam hiburan itu,
berupa tari Jangger dari desa Tunjuk kabupaten Tabanan, dan atraksi pencak
silat.

Setelah malam hiburan usai, seluruh anggota pasuka pejuang yang


bermarkas di desa Marga di panggil oleh I Gusti Ngurah Rai untuk
diberikan perintah harian. Isi perintah harian sebagai berikut: Seluruh
anggota pasukan pejuang agar tetap tenang, patuh dan waspada terhadap
segala kemungkinan yang terjadi. Hal penting yang perlu selalu
diperhatikan, semua anggota pasukan harus berdisiplin agar segala
sesuatunya dapat berjalan lancar dan semua tugas dapat dilaksanakan
dengan hasil baik.

Segera setelah diberikan perintah harian itu, semua perwiran dan


anggota pasukan pejuang diajak oleh I Gusti Ngurah Rai untuk melakukan
persembahyangan bersama di pura Dalem Base Ole, desa Marga. Semua
senjata, termasuk senjata yang baru saja didapat dari penyerbuan, dibawa
dan dipersembahyangkan di pura tersebut.

Persembahyangan yang selenggarakan itu, dimaksudkan sebagai


ungkapan rasa syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kelimpahan rahmat-Nya pasukan pejuang telah berhasil secara
mengagumkan dalam penyerbuan tangsi polisi Belanda yang berkedudukan
di kota Tabanan. Selain itu, juga untuk memohon tuntunan dan
perlindungan kehadapan Tuhan agar semua pasukan pejuang dan rakyat
Indonesia yang sedang melakukan tugas perjuangan kemerdekaan dapat
kerahayuan lahir dan batin serta cita-cita para pejuang untuk mewujudkan
kemerdekaan RI segera dapat tercapai. Begitu acara persembahyangan
bersama berakhir, secara spontan dan serentak berkumandang pekik salam
perjuangan para pejuang: Merdeka Merdeka Merdeka. Sekali Merdeka
Tetap Merdeka.

2.3 Lahirnya Pasukan Ciung Wanara


Pada tanggal 19 November 1946, kira-kira pukul 22.00 dibawah
suasana malam yang gelap gulita datang I Nengah Merta ke banjar Ole desa

12
Marga, tempat pertahanan MBO DPRI Sunda Kecil. Dia membawa berbagai
jenis obat, yang dipersiapkan untuk pasukan pejuang. Pada saat itu juga
disampaikan pula laporan olehnya kepada pucuk pimpinan, bahwa pada
pagi hari tangga 20 November 1946 serdadu Belanda merencanakan akan
melakukan pengurungan di sekitar desa Marga, yang meliputi desa Adeng
dan Pengembungan. Pada malam hari itu juga, pasukan pejuang
diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Rai untuk berkumpul melakukan
pertemuan kilat yang bersifat khusus. Ketika itu pasukan pejuang
diberitahukan tentang siasat tempur yang harus diperhatikan dalam upaya
menghadapi kemungkinan kurungan dan serangan dari pihak musuh
(serdadu Belanda). Dalam pertemuan itu, hadir 105 anggota pasukan
pejuang yang bersenjata lengkap. Mereka umumnya mengenakan pakaian
uniform berwarna hitam, dengan peci hitam strip merah dan pada bagian
depannya berisi lencana merah putih. Ritatkala itulah, semua anggota
pasukan pejuang tersebut diberi nama Pasukan Ciung Wanara.

Pasukan Ciung Wanara tersebut, mempunyai simbol atau lambang


Ciung Wanara seperti tampak pada gambar berikut ini:

Berdasarkan gambar diatas, bahwa simbol atau lambang pasukan


Ciung Wanara berupa sebuah lingkaran yang didalamnya terdapat seekor
burung ciung dalam posisi terbang di angkasa. Diatas punggung burung itu

13
duduk seekor wanara dengan tangan mengepak ke depan. Pada kaki burung
ciung tercengkram kuat sebuah pita Sang Dwiwarna Merah Putih.

Burung ciung indentik dengan burung beo, yaitu satwa yang pandai
berbicara, patuh dan terpercaya. Hal ini menunjukkan bahwa burung ini
benar-benar andal dalam menjalankan tugas. Wanara indentik dengan kera,
melambangkan kewiraan, kesaktian dan jiwa soaial kemasyarakatan yang
kuat. Simbol tersebut berbentuk lingkaran, melambangkan persatuan dan
kesatuan yang bulat dan utuh dalam membela, mempertahankan dan
mengamankan kemerdekaan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Angkasa
biru melambangkan ketinggian cita-cita leluhur , yakni kemerdekaan.

2.4 Pasukan Ciung Wanara Bergerak Menuju Banjar Kelaci


Situasi yang dihadapi oleh Pasukan Ciung Wanara pada malam hari
tanggal 19 November 1946 itu, maka sekitar pukul 23.00 pasukan pejuang
yang baru saja diberi nama Pasukan Ciung Wanara tersebut, diperintahkan
oleh pucuk pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil agar segera pindah ke banjar
Kelaci di sebelah timur banjar Ole, desa Marga.

Seluruh rakyar banjar Kelaci gembira setelah mendapat informasi


bahwa I Gusti Ngurah Rai pucuk pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil dan
Pasukan Ciung Wanara akan dating dan bermarkas di banjar Kelaci.
Setibanya disana, Pasukan Ciung Wanara beristirahat di rumah penduduk di
sebelah selatan jalan raya jurusan desa Marga-Tunjuk. Pada malam iti,
Pasukan Ciung Wanara betul-betul ingin melepaskan lelah, karena menurut
rencana besok paginya mereka akan meninggalkan desa Marga menuju ke
tempat yang lebih aman.

Tidak lama setelah itu, tanggal 20 November 1946 dini hari, pucuk
pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil menerima laporan dari laskar
penghubung, bahwa serdadu Belanda telah melakukan pengurungan
terhadap desa Marga. Atas laporan tersebut, seluruh anggota Pasukan Ciung
Wanara seketika itu juga diperintahkan oleh pucuk pimpinan untuk
mengambil kedudukan yang telah ditentukan. Sedangkan Penyelidik Militer

14
Khusus diperintahkan agar segera melakukan penyelidikan. Hasil
penyelidikan menunjukan bahwa laporan laskar penghubung benar.

2.5 Laporan Para Pengawal pada Pagi-pagi Buta


Melihat situasi tersebut, Pasukan Ciung Wanara tidak begitu banyak
dapat beristirahat setelah berkedudukan di Banjar Kelaci. Sebab, pada pagi-
pagi buta tanggal 20 November 1946, ada laporan dari para pengawal
kepada pucuk pimpinan tentang keberadaan sedadu musuh yang berjarak
dekat dengan kedudukan pimpinan MBO PDRI Sunda Kecil atau Pasukan
Ciung Wanara.
Dilaporkan oleh pengawal yang bertugas di sebelah selatan banjar
Kelaci, bahwa di sekitar Subak Babaan Marga berjarak setikar 1 kilometer
dari kedudukan Pasukan Ciung Wanara, ada segerombolan sedadu Belanda
yang berkekuatan kurang lebih 60 orang bersenjata lengkap. Demikian juga
dilaporkan oleh pengawal yang bertugas di sebelah utara Pura Dalem
Sidang Rapuh, bahwa sebelah utara banjar Kelaci berjarak 1 kilometer,
terlihat ada delapan orang serdadu Belanda yang bersenjata lengkap.

2.6 Teror Serdadu Belanda dan Desa Marga Terkurung Ketat


Betapa marah dan geramnya J.B.T. komandan serdadu Belanda
daerah Bali dan Lombok,setelah mendengar adanya penyerbuan dari
pasukan pejuang terhadap tangsi polisi Belanda di Tabanan. Dinas Iltelijen
Belanda dan Jawatan Penerangan Militer atau Militaire Inlinchtigen Diint
(MID), segera diperintahkan oleh J.B.T. Konig untuk mengadakan
penyelidikan tentang pemimpin, cara kerja dan kedudukan MBO DPRI
Sunda Kecil.

Dengan sangat cepat diketahui secara pasti bahwa desa Marga


menjadi pusat pertahanan MBO DPRI Sunda Kecil. Hal itulah yang
menyebabkan sejak tanggal 20 November 1946 tengah malam, Belanda
telah mengerahkan serdadu secara besar-besaran terutama dari tangsi atau
pos di kabupaten Tabanan dan dari tangsi Baha kabupaten Badung. Mereka
bergerak menuju desa Marga tanpa kendaraan. Serdadu Belanda yang
bertugas di tangsi Perean, bergerak dari utara ke selatan, menuju sebelah

15
utara desa Marga. Serdadu yang bertugas di desa Penebel bergerak ke
selatan menuju desa Tunjuk (di sebelah barat desa Marga) dan serdadu
Belanda yang bergerak dari selatan menuju di sebelah selatan dan timur
desa Marga.

Disamping itu, puluhan truk serdadu Belanda secara beriring-iringan


mulai berdatangan di desa Marga. Dalam waktu singkat, mulai pagi hari
pada tanggal 20 November 1946 desa Marga sudah terkurung sangat ketat
oleh serdadu Belanda bersenjata lengkap. Terror terhadap rakyat, segera
pula dilakukan oleh serdadu Belanda yang memiliki tempramen keras dan
perilaku kejam. Siapa saja dijumpai, tua muda, besar-kecil, pria-wanita
digiring secara kasar dan bringas ke pasar Marga. Kerap kali diberengi
dengan todongan, tendangan dan pukulan dengan senjata.

PUPUTAN MARGARANA

3.1 Pasukan Ciung Wanara Bergerak Menuju Subak Uma Kaang


Dalam keadaan gawat (bahaya) ysng berlangsung cepat seperti
tersebut, Pasukan Ciung Wanara diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Rai agar
segera keluar meninggalkan banjar Kelaci dan bergerak menuju areal Subak
Uma Kaang. Dengan segala kecermatan dan kehati-hatian, Pasukan Ciung
Wanara segera bergerak kearah utara memotong jalan raya menuju Subak
Uma Kaang. Tetapi begitu akan melangkah cepat, tiba-tiba menderu sebuah
truk serdadu Belanda dari arah timur menuju ke arah barat, yaitu desa
Tunjuk. Begitu Pasukan Ciung Wanara tiba di Subak Uma Kaang, yakni di
sawah Nang Rudeh dan sekitarnya, diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Rai
untuk segera Menyusun inti-inti pertahanan dalam bentuk pertahanan
melingkar yang diperlebar. Pertahanan ini memanfaatkan medan kritis yang
ada, seperti gundukan lahan,saluran air irigasidan pematang.

Pada posisi pertahanan di sebelah timur yang merupakan sektor


dengan kemungkinan serangan musuh atau serdadu Belanda yang terkuat,
bertahan Pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bagus

16
Sugianyar dan I Gusti Wayan Debes. Menghadapi kemungkinan musuh
yang dating dari arah utara dan barat laut, bertahan Pasukan Ciung Wanara
yang dipimpin oleh I Made Sueta dan I Dewa Nyoman Kaler. Kemudian
menghadapi kemungkinan munculnya musuh dari arah selatan dan barat
daya, bertahan Pasukan Ciung Wanara dipimpin oleh Bung Made (mantan
serdadu Jepang)dengan senapan juki kanju atau senjata 12,7 dibantu oleh I
Ketut Sanur. Sedangkan I Gusti Ngurah Rai, pucuk pimpinan MBO DPRI
Sunda Kecil sekaligus pucuk pimpinan Pasukan Ciung Wanara, mengambil
posisi di tengah-tengah pertahanan Pasukan Ciung Wanara tersebut, yang
kebetulan berlokasi di Pura Ulun Suwi Subak Uma Kaang. Disini beliau
didampingi oleh I Gusti bagus Putu Wisnu. Demikianlah Pasukan Ciung
Wanara sudah siap bertempur dengan gagah berani, di bawah kondisi
sebagaimana adanya.

3.2 Peristiwa Dahsyat Puputan Margarana


Kira-kira pukul 08.00 serdadu Belanda secara berkelompok
meninggalkan pasar Marga. Mereka tersebar melakukan penggeledahan
masuk ke rumah-rumah rakyat, yang dicurigai sebagai tempat bertahan bagi
pemuda gerilya atau Pasukan Ciung Wanara. Pemeriksaan dan
penggeledahan oleh serdadu Belanda tersebut, semasin jauh masuk ke dalam
hamparan sawah Subak Uma Kaang. Hal itu berarti pula mereka semakin
dekat dengan inti-inti pertahanan Pasukan Ciung Wanara. Akan tetapi,
serdadu Belanda tidak dapat melihat Pasukan Ciung Wanara, sebaliknya
Pasukan Ciung Wanara dengan jelas dapat melihat gerak-gerik sedadu
Belanda. I Gusti Ngurah Rai tetap tenang dan cermat memperhatikan gerak-
gerik serdadu tersebut yang semakin mendekat itu. Begitu juga Pasukan
Ciung Wanara tetap berdiam diri, tidak ada diantara mereka yang
melepaskan tembakan sebelum ada isyarat dari I Gusti Ngurah Rai, pucuk
pimpinan.

Sekiranya pukul 09.00, ketika serdadu Belanda dalam jumlah


banyak dan betul-betul dekat dalam jangkauan tembakan yang mematikan,
dilepaskan tembakan pistol pertama oleh I Gusti Ngurah Rai, suatu tanda

17
pertempuran sudah dimulai. Dengan melengkingnya suara pistol tersebut,
bergemuruhlah suara tembakan-tembakan senjata api dan berdentuman juga
suara karben mitraliur dari seluruh inti pertahanan Pasukan Ciung Wanara.
Dalam keadaan sangat panik mereka berusaha pula melakukan pembalasan
dengan melepaskan peluru senjata otomatis, terutama dari jurusan timur laut
dan barat laut. Tetapi semua tembakan mereka tidak terarah pada sasaran
yang tepat. Karena merasa kelelahan, mereka memilih lari terbirit-birit
mengundurkan diri dari medan pertempuran yang berbahaya itu.
Sebaliknya, tembakan yang dilepaskan oleh Pasukan Ciung Wanara
semakin gencar, yang menyebabkan pihak musuh mundur sampai jauh.

Tidak lama kemudian, sedadu Belanda berusaha maju lagi secara


terpencar. Sedangkan Pasukan Ciung Wanara menanti dengan tenang dan
sabar dengan tidak melepaskan tembakan, sebelum mereka sampai pada
jarak tembak efektif. Dengan semangat patriotisme dan heroisme yang
tinggi, Pasukan Ciung Wanara membalas dengan serangan itu secara lebih
gencar. Terjadilah pertempuran dahsyat antara Pasukan Ciung Wanara
dengan serdadu Belanda, yang mengakibatkan lebih banyak lagi yang jatuh
korban di pihak musuh. Oleh karena dengan semangat berapi-api dan
pengalaman tempur yang dimiliki, Pasukan Ciung Wanara bergerak maju di
sela-sela tanaman palawija yang rimbun menghijau, melakukan
penyerangan dengan tembakan gencar. Saat itu sedadu Belanda merasa
mendapat tekanan berat menghadapi Pasukan Ciung Wanara. Akhirnya
seluruh serdadu Belanda mengambil pilihan mengundurkan diri dari medan
pertempuran. Mereka mundur jauh dari medan pertempuran, tetapi masih di
sekeliling desa Marga dan Tunjuk.

Dengan mundurnya seluruh serdadu Belanda tersebut, pertempuran


otomatis berhenti. Pasukan Ciung Wanara bergembira, bersorak-sorai
diselingi dengan pekik merdeka. Menjelang siang hari, pertempuran
berkecamuk kembali. Bantuan serdadu Belanda berdatangan dari segala
penjuru, seperti bantuan serdadu dari Tabanan, Denpasar dan Negara,
bahkan juga dari Lombok. Serdadu Belanda mulai bergerak melakukan
pengurungan terhadap Pasukan Ciung Wanara. Suara peluru mendesing dan

18
berdentum sambung menyambung, yang memekakkan telinga. Sebaliknya,
Pasukan Ciung Wanara melakukan perlawanan secara gigih, walaupun
dalam keadaan terkurung. Terjadilah pertempuran besar yang sangat
dahsyat. Tidak berapa lama, kurang lebih pukul 12.00 datang pesawat tipe B
24 atau pesawat bomber berwarna hitam milik Belanda. Pesawat bomber
Belanda tidak henti-hentinya menjatuhkan bom dan granat. Termasuk bom
asap dan gas air mata.

Karena semangat tempur yang masih menggelora, benci dan dendam


yang lama telah terpendam, secara serentak dan dengan gagah berani
Pasukan Ciung Wanara bangkit dan bergerak maju menyerang serdadu
Belanda. Pada saat itulah I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar, pemimpin
Pasukan Ciung Wanara di sayap timur, terkena peluru musuh. Beliau
seketika gugur, merangkul ibu pertiwi di tengah-tengah kencah medan
pertempuran. Mereka sangat marah dan bertekad untuk menuntut balas.
Seujung rambut pun mereka tidak akan mundur dari medan petempuran.
Akhirnya, seluruh Pasukan Ciung Wanara diperintahkan oleh I Gusti
Ngurah Rai ke luar dari benteng pertahanan untuk menuntut balas. I Gusti
Ngurah Rai dengan gagah berani bergerak maju ke arah selatan, dan dengan
senjata pistolnya terus-menerus dilepaskan peluru kea rah serdadu Belanda.

Pelawanan sengit tersebut, disambut oleh serdadu Belanda dengan


tembakan bertubi-tubi baik dari darat maupun udara, yakni dari kedudukan-
kedudukan mereka yang terlindung. Pada detik detik terakhir pertempuran
besar yang sangat dahsyat itu, gugur pula I Gusti Ngurah Rai pucuk
pimpinan: Pasukan Ciung Wanara, MBO DPRI dan resimen Tentara
Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil. Demikianlah, seluruh pimpinan dan
Pasukan Ciung Wanara akhirnya gugur di medan pertempuran sebagai
prajurit-prajurit sejati di dalam melaksanakan darma bakti mereka, membela
dan mempertahankan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka
bertahan selama 9 jam di medan pertempuran yang berlokasi di Subak Uma
Kaang di wilayah desa Marga tersebut. Pertempuran itulah kemudian
dikemas dengan nama Puputan Margarana, karena pertempuran itu berakhir

19
dengan puputan, yakni pertempuran sampai titik darah penghabisan bagi
Pasukan Ciung Wanara melawan serdadu Belanda.

3.3 Berakhirnya Puputan Margarana


Ketika tembakan dari Pasukan Ciung Wanara sudah tidak terdengar
lagi atau berhenti, hari sudah sore sekitar pukul 17.00. Mayat-mayat yang
berlumuran darah dari kedua belah pihak, bergelimpangan di medan
pertempuran. Pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil gugur di sekitar posisi
Candi Pahlawan Margarana sekarang. I Gusti Ngurah Rai gugur di sekitar
lokasi patung Panca bakti sekarang. Sesudah hari menjelang malam disertai
hujan gerimis, terhitung sebanyak 96 orang anggota Pasukan Ciung Wanara
gugur dalam Puputan Margarana, termasuk 5 orang mantan serdadu Jepang
yang telah bergabung dengan pasukan pejuang kemerdekaan di Bali.

Ketika itu, jumlah serdadu Belanda yang tertembak mati tidak


diketahui, karena sangat dirahasiakan atau disembunyikan, diangkut dengan
mobil tertutup oleh pihak Belanda. Tetapi menurut J.B.T Konig (Komandan
serdadu Belanda wilayah Bali dan Lombok), serdadu Belanda tidak ada
yang tertembak mati, hanya seorang yang menderita luka parah yaitu
seorang polisi militer Belanda bernama Hesmarn dan beberapa orang yang
menderita luka-luka ringan. Menurut catatan pihak Belanda yang diketahui
sekitar 350 orang serdadu Belanda yang tertembak mati dalam pertempuran
besar dan dahsyat tersebut.

3.4 Makna Puputan Margarana


Puputan berasal dari kata puput (Bahasa Bali), artinya selesai atau
habis. Puput mendapat akhitan an, menjadi puputan (Bahasa Bali) juga
artinya selesai atau habis. Berdasarkan pengertian itu, maka dalam
kaitannya dalam perang atau pertempuran, puputan adalah perang atau
pertempuran habis-habisan (sampai titik darah penghabisan) melawan
musuh dengan gagah berani untuk menegakkan kebenaran, dilandasi oleh
perjuangan yang tulus ikhlas.

Dari pemahaman tersebut, maka Puputan Margarana dapat diartikan


sebagai perang atau pertempuran habis-habisan (sampai titik darah

20
penghabisan) yang dilakukan oleh Pasukan Ciung Wanara dengan gagah
berani melawan serdadu Belanda di desa Marga, dilandasi oleh perjuangan
yang tulus ikhlas, untuk membela dan mempertahankan kemerdakaan
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari uraian tersebut dapat dipahami
bahwa puputan bukanlah bermakna bunuh diri secara sia-sia. Menurut
ajaran agama orang yang melakukan bunuh diri bukanlah orang ksatria,
melainkan orang pengecut dan tersesat dalam menghadapi karmanya. Oleh
sebab itu, puputan bukanlah suatu Tindakan putus asa atau bunuh diri secara
sia-sia melainkan suatu tindakan terhormat dan pantang menyerah dalam
membela kebenaran dan memberantas keangkaramurkaan.

3.5 Nama-nama Anggota Pasukan Ciung Wanara yang Gugur dalam


Puputan Margarana
Sebagimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam peristiwa
dahsyat Puputan Margarana pada tanggal 20 November 1946 di Subak Uma
Kaang, desa Marga, kecamatan Marga, kabupaten Tabanan, seluruh anggota
Pasukan Ciung Wanara yang berjumlah 96 orang gugur merangkul ibu
pertiwi sebagai Kusuma bangsa.

Nama-nama anggota Pasukan Ciung Wanara beserta identitasnya


masing-masing tertuang dalam tabel berikut:

Daftar Nama Anggota Pasukan Ciung Wanara yang Gugur dalam Puputan
Margarana di Subak Uma Kaang, Desa Marga,Kecamatan Marga,
kabupaten Tabanan 1946

No. Nama Umur Pangkat Asal/Tempat Tinggal Ket


Urut (Tahun)
1. I Gusti 35 Letkol Carangsari/badung
Ngurah Rai
2. Ida Bagus 30 Serma Sembung/Badung
Gede
3. I Wayan 40 Pelda Penarungan/badung Jepang
Sukera
4. I Made Sukeri 40 Pelda Penarungan/Badung Jepang

21
5. I Gusti Putu 32 Mayor Penataran/Buleleng
Bagus Wisnu
6. Bung Canggu 27 Pelda -/Buleleng Jepang
7. I Gusti Wayan 30 Kapten Jambe
Debes delodan/Tabanan
8. I Nengah 25 Pratu Sakenan
Kadeh Delodan/Tabanan
9. I Nengah Sura 25 Pratu Tegal
Baleran/Tabanan
10. I Ketut Bentir 25 Pratu Kamasan/Tabanan
11. I Ketut Reko 25 Pratu Mal Kangin/Tabanan
12. I Ketut Bau 42 Pratu Banjar
Lebah/Tabanan
13. I Ketut Besog 39 Kopral Beng/Tabanan
14. I Wayan Jeger 37 Pratu Banjar Basa/Tabanan
15. I Wayan Jiwa 24 Pratu Banjar Ole/ Tabanan
16. I Wayan Great 40 Serma Banjar
Lebah/Tabanan
17. I Wayan 38 Sersan Banjar Ole/Tabanan
Gebelag
18. I Nyoman 38 Pratu Geluntug/Tabanan
Gerindem
19. I Ketut Geret 45 Pratu Geluntug/Tabanan
20. I Nyoman 40 Pratu Banjar
Kereg Lebah/Tabanan
21. I Ketut 44 Pratu Banjar
Kuwug Lebah/Tabanan
22. I Wayan 42 Pratu Tembau/Tabanan
Kodet
23. I Wayan 44 Pratu Tembau/Tabanan
Kenyus
24. I Made Kolag 44 Pratu Geluntung/Tabanan
25. I Ketut 43 Pratu Baru/Tabanan
Keliyeb

22
26. I Wayan 30 Kopral Penebel/Tabanan
Kasub
27. I Wayan 45 Pratu Kelaci/Tabanan
Kolag
28. I Kodo 35 Pratu Uma Diwang/Tabanan
29. Men Lumut 43 Sersan Payangan/Tabanan
30. I Londong 43 Kopral Pekandelan/Tabanan
31. I Wayan 38 Pratu Kelaci/Tabanan
Kama
32. Nang Norja 40 Pratu Tunjuk/Tabanan
33. I Made 43 Pratu Geluntung/Tabanan
Manderi
34. I Ketut 43 Pratu Banjar
Manteb Lebah/Tabanan
35. I Ketut Merta 43 Pratu Banjar
Lebah/Tabanan
36. I Made 45 Pratu Tengah/Tabanan
Manderi
37. I Munterik 46 Pratu Uma Diwang/Tabanan
38. I Ketut 43 Pratu Banjar Ole/Tabanan
Ngenik
39. I Made 45 Pratu Geluntung/Tabanan
Nyantig
40. I Wayan 42 Pratu Geluntung/Tabanan
Ongkos
41. I Gusti Ketut 35 Pratu Belayu/tabanan
Oka
42. I Nyoman 45 Pratu Banjar Basa/tabanan
Prodong
43. I Wayan 43 Pratu Kelaci/Tabanan
Perug
44. I Gusti Made 38 Letda Uma Diwang/Tabanan
Pegur
45. I Gusti Made 20 Kopral Gunung Siku/Tabanan
Pating

23
46. I Made Jepang 39 Pelda -/Tabanan Jepang
47. I Gusti Ketut 30 Kopral Tegal
Rambet Baleran/Tabanan
48. I Wayan 35 Pratu Sandan
Gereda Pondok/Tabanan
49. I Gede 40 Pratu Beng/Tabanan
Nyoman
Riasta
50. I Nyoman 25 Pratu Grogak Gede/Tabanan
Rupit
51. Ketut Nerut 40 Pratu Batu sangian/Tabanan
52. I Made Reka 32 Pratu Sandan
Pondok/Tabanan
53. Nang Rajin 48 Pratu Kelaci/Tabanan
54. I Ketut Ruta 45 Serma Kelaci/Tabanan
55. I Wayan 45 Pratu Banjar
Rengkug Lebah/Tabanan
56. Nang Ringan 48 Pratu Payanga/Tabanan
57. I Rontok 39 Pratu Uma Diwang/Tabanan
58. I Made 20 Pratu Banjar
Rembiok Lebah/Tabanan
59. Ida Bagus Rai 45 Pratu Banjar
Lebah/Tabanan
60. Nang Rimbeg 46 Pratu Banjar Ole/Tabanan
61. I Gusti 37 Serma Tengah/Tabanan
Nyoman
Sukera
62. I Ketut 38 Pratu Banjar Basa/Tabanan
Sungkerug
63. I Gede Ngurah 25 Pratu Buahan/Tabanan
Suder
64. I Gede Suli 30 Pratu Cengolo/Tabanan
65. I Ketut Sadera 43 Pratu Kelaci/Tabanan
66. I gusti Made 45 Sersan Gunung Siku/Tabanan

24
Sentor
67. I Wayan 45 Pratu Banjar Ole/Tabanan
Sinterek
68. I Gede 25 Pratu Buahan/Tabanan
Nyoman Tata
69. I Gusti Raka 38 Pratu Tengah/Tabanan
Terak
70. I Nyoman 39 Pratu Tengah/Tabanan
Caeh
71. I Made Tegog 39 Serma Geluntung/Tabanan
72. I Ketut Tonik 46 Pratu Kelaci/Tabanan
73. I Ketut Wardi 25 Pratu Beng/Tabanan
74. Mas Wagimin 46 - Kampung
Jawa/Tabanan
75. I Desek 35 Pratu Tunjuk/Tabanan
76. I Gusti 28 Kapten Dauh Waru/Jembrana
Ngurah Bagus
Sugianyar
77. I Gusti Putu 27 Lettu Dauh Waru/Jembrana
Dwinda
78. Selamet 37 Pratu -/Jembrana Jepang
79. Fadialah 30 - Jawa Timur/Jembrana
80. Rumanhadi 30 Pratu Jawa Timur/Jembrana
81. Suparto 30 Letnan Jawa/Jembrana
82. I Wayan 22 Kopral Dauh Puri/Denpasar
Rangkep
83. I gusti Ngurah 21 Serma Dauh Puri/Denpasar
Tugir
84. I Berata 23 Sersan Bukit
Jengkerik/Gianyar
85. I limbuk 25 Kopral Ketewel/Gianyar
86. I maji 25 Kopral Selekarang/Gianyar
87. Ida Bagus 31 Letnan Tebe Saya/Gianyar
Manik

25
88. I Pugig 21 Sersan Sukawati/Gianyar
89. I Rudeg 24 Kopral Batu Iyang/Gianyar
90. I Rambung 23 Pratu Sasih/Gianyar
91. I Roja 23 Pratu Samu/Gianyar
92. I Sara 28 Kopral Pajeng/Gianyar
93. I Nyoman 28 Letnan Ubud/Gianyar
Suwetha
94. Tidak dikenal
*)
95. Tidak dikenal
*)
96. Tidak dikenal
*)
Keterangan:

*) Tidak dikenal, karena sulit diketahui identitasnya. Hal ini mungkin


disebabkan oleh jenazahnya hancur terkena bom, peluru dan lainnya.

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui, bahwa anggota


Pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam Puputan Margarana rata-rata
berumur 35,6 tahun, berkisar di antara 20 s.d 48 tahun. Dari semua anggota
Pasukan Ciung Wanara yang gugur sebagai pahlawan bangsa itu, 3 orang
sebagai pahlawan tidak dikenal dan 5 orang mantan serdadu Jepang yang
bergabung dengan Pasukan Ciung Wanara bersama-sama bertempur
melawan serdadu Belanda dalam upaya mempertahankan dan membela
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Perlu juga diketahui bahwa pada masa
perjuangan fisik perang kemerdekaan RI (tahun 1945 s.d 1949), tercatat
setidaknya 13 orang mantan serdadu Jepang yang bergabung dengan
pasukan pejuang di daerah Bali.

PASCA PUPUTAN MARGARANA

4.1 Jenazah Pasukan Ciung Wanara

26
Semua jenazah Pasukan Ciung Wanara, diangkut oleh serdadu
Belanda di desa Baha, kecamatan Mengwi,kabupaten Badung. Di tangsi
Belanda itu, telah disediakan kuburan. Menurut rencana pihak Belanda,
semua jenazah Pasukan Ciung Wanara akan dikuburkan di sekitar tangsi
tersebut.

Entah bagaimana pertimbangannya, 3 hari setelah terjadinya


Puputan Margarana, ada perintah dari pihak Belanda kepada warga
masyarakat Bali untuk segera mengambil jenazah-jenazah itu di tangsi
Belanda yang berlokasi di desa Baha tersebut. Jenazah pimpinan MBO
DPRI Sunda Kecil seperti I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Bagus Putu Wisnu
dan I Gusti Ngurah Bagus Sugianyar, di kirim ke rumah sakit umum (RSU)
Wangaya, kota Denpasar.

Jenazah pucuk pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah


Rai, diantar ke desa asalnya yaitu desa Carangsari,kabupaten Badung. Desa
ini berjarak sekitar 30 km ke arah utara dari kota Denpasar. Dari pihak RSU
Wangaya, yang bertugas mengantar Ni Nyoman Sriati dan kawan-kawan.
Rombongan yang mengatar jenazah pucuk pimpinan itu sebanyak 5 truk.
Dalam perjalanan, dihalang-halangi oleh pihak Belanda termasuk mata-mata
Belanda yang terdiri atas orang lokal atau bangsa awak. Keadaan itu, sama
sekali tidak menyebabkan turunnya semangat rombongan untuk mengantar
jenazah. Perjalanan terus berlanjut, akhirnya jenazah dan rombongan yang
mengantar sampai dengan selamat di Puri Agung desa Carangsari.

4.2 Perjuangan Kemerdekaan Terus Berlanjut


Apakah dengan terjadinya Puputan Margarana, berarti juga
perjuangan fisik perang kemerdekaan Republik Indonesia di Bali sudah
berakhir? Tidak, perjuangan kemerdekaan di bali terus berlanjut. Setelah
terjadinya peristiwa heorik Puputan Margarana, perjuangan kemerdekaan di
Bali terus berlanjut. Pucuk pimpinan MBO DPRI Sunda Kecil, setelah I
Gusti Ngurah Rai gugur sebagai kusuma bangsa dalam Puputan Margarana,
dengan cepat diambil alih oleh seorang pemimpin perjuangan gerakan

27
bawah tanah di Bali, yaitu seorang pemuda pejuang dari kalangan sipil
bernama I Made Widjakusuma, yang lebih dikenal dengan nama pak Djoko.

Selama revolisi fisik di Bali, telah terjadi 131 pertempuran atau


peristiwa. Puputan Margarana merupakan pertempuran ke 36. Keadaan ini
menunjukkan bahwa setelah peristiwa Puputan Margarana Telah terjadi
berbagai pertempuran atau peristiwa lain untuk memepertahankan
kemerdekaan Indonesia. Walaupun sedadu Belanda telah berhasil
memenangkan pertempuran di desa Marga, kabupaten Tabanan, yang
dikebal dengan nama Puputan Margarana mereka tidak berhasil
memenangkan perang di bumi Bali. Terbukti penjajah Belanda tidak mampu
melakukan penjajahan kembali di pulau Dewata. Perlawanan sengit dari
pemuda Gerilya dan Laskar rakyat terus berlangsung di seluruh wilayah
Nusantara, sampai akhirnya pihak Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949,
dalam suatu upacara khusus yang sangat bersejarah bertempat di Istana Dam
Amsterdam Belanda.

4.3 Peringatan Hari Puputan Margarana


Seperti hari-hari bersejarah lainnya, khususnya hari bersejarah yang
berkaitan dengan perang kemerdekaan, maka secara berkesinambungan
pada setiap tanggal 20 November yaitu tanggal terjadinya peristiwa Puputan
Margarana, diperingati sebagai Hari Puputan Margarana. Hal ini bertujuan
untuk mengenang dan menghormati jasa leluhur para pejuang kemerdekaan
yang gugur dalam Puputan Margarana sebagai kusuma bangsa.

Ada 2 jenis upacara yang dapat disaksikan dalam setiap peringatan


Hari Puputan Margarana ini sebagai salah satu ciri khasnya, yaitu upacara
militer dan upacara agama. Kedua upacara ini, secara mentradisi
diselenggarakan di Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana.
Di samping upacra militer sebagai acara pokok, dalam peringatan hari
tersebut juga dirangkaikan dengan acara tambahan yang jenis dan
jumlahnya disesuaikan dengan keadaan. Acara tambahan yang pernah
dilakukan selama ini, diantaranya sebagai berikut: (1) Mepeed, yakni parade

28
tradisional yang berpenampilan atraktif dilakukan oleh para wanita
menjungjung gebogan diiringi bleganjur (2) Pementasan drama sebabak
yang mengisahkan secar singkat peristiwa Puputan Margarana pada tanggal
20 November 1946. Seluruh rangkaian tersebut diakhiri dengan acara tabur
bunga di Candi Pahlawan Margarana dan di seluruh nisan yang berjumlah
1.372 nisan, yang berlokasi di Taman Bahagia bagian hulu areal Monumen
Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana.

4.4 Berdirinya Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana


Untuk mengenang dan menghormati jasa para pejuang kemerdekaan
yang telah gugur di medan pertempuran pada masa revolusi fisik di Bali,
maka pada tahun 1953 lahirlah sebuah percikan pemikiran dari seorang
tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di Bali, yang bernama I
Nengah Wirtha Tamu, yang lebih dikenal dengan nama Pak Tjilik.
Pemikiran yang cemerlang dan luhur itu untuk mendirikan monument
pahlawan kemerdekaan dalam wujud candi.

Pada tanggal 08 juli 1953 sekitar pikul 08.00 WITA, tiba-tiba saja
pikiran pak Tjilik Ketua Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP) propinsi bali
periode tahun 1951 s.d 1968 tertuju kepada para pejuang kemerdekaan yang
telah gugur di medan laga sebagai pahlawan kemerdekaan. Seketika itu pula
Pak Tjilik memanggil A.A. Pugur, pengemudi Jeep DK 2000 YKP Bali,
untuk diajak pergi ke rumah I.B Kalem, disamping sebagai seorang pejuang,
juga sebagai seorang pelukis berbakat dan terkenal. Begitu tiba di rumah I.B
kalem, Pak Tjilik mengemukakan gagasannya kepada I.B Kalem dan
mengajaknya dengan semangat berapi-api untuk mengikuti sayembara
Gambar Candi Pahlawan Margarana.

Lokasi yang digunakan untuk mendirikan Candi Pahlawan


Margarana tersebut, tepat di atas areal terjadinya peristiwa Puputan
Margarana, yakni di Subak Uma Kaang, Kawasan desa Marga, kecamatan
Marga, kabupaten Tabanan. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal
15 Mei 1954 dan sekitar 6 bulan kemudian, yakni bertepatan dengan

29
peringatan hari Puputan Margarana yang ke 8, tanggal 20 November 1954
Candi Pahlawan Margarana tersebut berhasil diwujudkan dan diresmikan.

Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Daerah Bali Nomor


1172/SZ.1/3/511, tanggal 1 Oktober 1961, Candi pahlawan Margarana dan
seluruh unit bangunan lainnya di atas tanah seluas 9 hektar, dinamakan
Monumen nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana (Monas TPB
Margarana). Monument yang berdiri megah dan kharismatik itu terbagi
menjadi 3 bagian mengikuti konsep Tri Angga yang bersumber
darinkepercayaan Hindu, yaitu hulu (kepala yang disucikan), tengah
(badan), dan hilir (kaki).

4.5 Pekan Pahlawan Kemerdekaan


Pekan Pahlawan kemerdekaan ini diadakan pada setiap tahun,
memiliki kurun waktu 10 hari mulai tanggal 10 November, Hari Pahlawan
Nasional sampai dengan tanggal 20 November, Hari Puputan Margarana.
Seperti halnya masyarakat di seluruh negeri ini, masyarakat bali juga secara
rutin memperingati hari Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November.
Pada hari yang sangat bersejarah masyarakat Bali melakukan berbagai
kegiatan yang bertemakan atau berorientasi pada nilai-nilai kepahlawanan
secara berkesinambungan sampai dengan Hari Puputan Margarana pada
tanggal 20 November.

Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan sesuai dengan


perkembangan keadaan diantaranya napak tilas, pembudayaan Jiwa,
Semangan dan nilai-nilai 1945 (JSN 1945), lomba melukis atau
menggambar, lomba menulis puisi, lomba menulis cerita pendek, dan
pengabdian kepada masyarakat. Peseta napak tilas terdiri atas komponen
generasi muda, seperti pelajar, Organisasi Kemasyarakatan Pemuda,
Pramuka, Palang Merah Remaja, dan Seka Truna Truni (Kelompok Muda
Mudi). Peringatan Hari Puputan Margarana dan seluruh rangakian kegiatan
Pekan Pahlawan Kemerdekaan di Bali sebagaimana telah dikemukakan
tersebut, dilaksanakan oleh sebuah panitia pelaksana tetap berdasarkan
keputusan Gubernur Bali.

30
4.6 Terciptanya Hymne dan Mars
Pada waktu diadakan acara tatap muka oleh Pimpinan Daerah
Pemuda Panca Marga Bali, yakni I Ketut Gede Dharma Yudha dan I Made
Sanggra pada tanggal 30 Maret 2001 di desa Celuk, kecamatan Sukawati
kabupaten Gianyar dalam rangka Hari Ulang Tahun ke 30 Pemuda Panca
Marga Bali tahun 2001, oleh Wayan Sudarta ketua Pimpinan daerah
Pemuda Panca Marga Bali, diusulkan agar terciptanya Hymne Taman
Pujaan bangsa Margarana dan mars Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai.
Tujuannya untuk mengenang, menghormati dan mengabdikan jasa para
pahlawan kemerdekaan.

Akhirnya, setelah melalui berbagai proses dan tahapan, Hymne


Taman Pujaan Bangsa Margarana dan Mars Pahlawan Nasinal I Gusti
Ngurah Rai ini tecipta. Kepadamu Para Pahlawan Kemerdekaan Kami
Persembahkan Hymne “Taman Pujaan Bangsa Margarana” dan Mars
“Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai”.

Ide lagu : Ir. Wayan Sudarta, MS

Pencipta/penggubah lagu : I Gede Dharna

Arransemen : I Ketut Pitar dan I Gede Arya Iriana

Dinyanyikan pertama kali oleh : Paduan Suara Persatuan Guru


Republik Indonesia (PGRI) Cabang
Buleleng

Penulis Riwayat lagu : Ir. I Gusti Ngurah Wisnu Purwadi

31
BAB V
KESIMPULAN
Peristiwa heroik Puputan Margarana, telah terjadi pada masa perang
kemerdekaan RI di Bali, yakni tanggal 20 November 1946, dari pagi sampai
menjelang petang. Dalam pertempuran terbesar dan terdahsyat di Bali, I
Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinan dan seluruh anggota Pasukan
Ciung Wanara yang berjumlah 96 orang telah gugur bermandikan darah
merangkul ibu pertiwi sebagai kusuma bangsa.

Diakui, Belanda telah berhasil memenangkan pertempuran tersebut.


Tetapi, tidak berhasil memenangkan perang baik di Bali maupun di
Indonesia. Terbukti Belanda tidak berhasil melakukan penjajahan kembali
ke negeri ini. Pasca Puputan Margarana, dengan berpegang teguh mada
motto: “Pantang Mundur dan Tidak Kenal Menyerah”, “Sekali Merdeka
tetap Merdeka”, perjuangan kemerdekaan di Bali terus berlanjut.

Untuk menghormati dan mengabadikan jasa-jasa pejuang


kemerdekaan yang telah gugur di medan laga pada masa perjuangan fisik
perang kemerdekaan, di desa Marga khususnya dan di bali umumnya maka
pada tahun 1954 di lokasi terjadinya Puputan Margarana, didirikan sebuah
Monumen megah yang dinamakan Monumen Nasional Taman Pujaan
Bangsa Margarana. Selain itu, pada setiap tanggal 20 November diperingati
sebagai Hari Puputan Margarana.

Demikianlah peristiwa dahsyat Puputan Margarana telah


meninggalkan nilai-nilai luhur seperti yang terkandung dalam jiwa,

32
semangat dan nilai-nilai 1945 (JNS’ 45). Nilai-nilai luhur tersebut patut
dipahami, dihayati dam diimplementasikan oleh generasi penerus dalam
mengisi dan mengamankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2000. Ciung Wanara dalam Cerita Rakyat Bali. Suara
pejuang. Veteran Mendukung Reformasi Disegala Bidang. Edisi 06
November 2000. Denpasar

Ceraka, Bagus. 2000. Ciung Wanara dan Jati Diri Pahlawan dalam
Puputan Margarana. Suara Pejuang. Veteran Mendukung Reformasi
Disegala Bidang. Edisi 06 November 2000. Denpasar

Djigrug A. Giri, Wayan. 1990. Puputan Margarana tanggal 20


November 1946. Yayasan Kebaktian Proklamasi Daerah Tingkat I Bali.
Denpasar.

Djigrug A. Giri, Wayan dan I Nyoman Suparsa.1986. Puputan


Margarana tanggal 20 November 1946. Yayasan Kebaktian Proklamasi
Daerah Bali. Denpasar.

Kaspin, Sutedjo, Muhadi, dan Driyanto.?. Puputan Margarana. Buku


Mentri Kejuangan. Denpasar.

Narji, I Wayan. 1975. Geguritan Wiracerita Puputan Margarana.


Markas Cabang Legiun Veteran RI daerah Tingat II Tabanan.

Panitia Kerja pembekuan Menteri Kejuangan. 1982-1985. Puputan


Margarana. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Denpasar.

33
Partha, I Gusti Ngurah. 1990. Mengenang Kembali Puputan
Margarana. Dalam rangka Memperingati hari Puputan Margarana XXX.
Marga.

Pendit, Nyoman S. 1979. Bali Berjuang. Gunung Agung. Denpasar.

Penyarikan, ketut Sudiri. 1996. Pahlawan Nasional Brigradir TNI


Anumerta I Gusti Ngurah Rai. IKIP Malang. Malang.

Rama, Ida Bagus. 1970. Puputan Marga 20 November 1946 (skipsi).


Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar.

Sambi, I Putu. 1972. Riwayat Hidup Empat Tokoh Pimpinan dalam


Puputan Marga 20 November 1946 (skipsi). Fakultas Sastra Universitas
Udayana. Denpasar.

Sudarta, wayan; I Gusti Ngurah Wisnu Purwadi; I Ketut Gede


Suaryadala; I Ketut Gede Darma Putra; I Nyoman Suada; 2000. Biografi
veteran RI di Bali (Perjuangan dan Pengabdian) I. Markas daerah Pemuda
Panca Marga Tingkat I Bali. Denpasar.

Sudarta, wayan; I Gusti Ngurah Wisnu Purwadi dan Nyoman Suada.


2001. Puputan Margarana dan Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa
Margarana. Markas Daerah Pemuda Panca Marga Bali. Denpasar.

Sudarta, Wayan. 2011. Enam Puluh Tahun Eksistensi YKP Bali.


Udayana University Press. Denpasar.

Link gambar yang terdapat pada bagian lampiran:

Gambar 1: https://mediapolri.id/kapolres-tabanan-hadiri-apel-peringatan-
puputan-margarana-ke-74-tahun-2020/

Gambar 2: https://www.balipost.com/news/2018/11/21/61744/Tradisi-
Mapeed-di-Hari-Peringatan...html

Gambar 3: https://www.eshiejourney.com/2019/11/makam-pahlawan-i-
gusti-ngurah-rai-taman.html?m=1

34
Gambar 4: https://news.okezone.com/amp/2015/11/20/340/1252784/hut-
puputan-margarana-masyarakat-bali-diminta-mantapkan-nasionalisme

LAMPIRAN

FOTO UPACARA MILITER DAN MEPEED PADA PERINGATAN


HARI PUPUTAN MARGARANA

35
Gambar 1.

Upacara Militer pada Peringatan Hari Puputan Margarana Tanggal 20


November di Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Kabupaten Tabanan.

Gambar 2.

Mepeed atau meleladan (Parade Tradisional) pada Peringatan Hari Puputan


Margarana tanggal 20 November di Taman Pujaan Bangsa Margarana,
Kabupaten Tabanan.

36
Gambar 3.

Mepeed atau Meleladan diakhiri dengan penempatan Gebogan atau Pajegan


di tangga atau sekitar Candi Pahlawan Margarana pada Peringatan Hari
Puputan Margarana tanggal 20 November di Taman Pujaan Bangsa (TPB)
Margarana, Kabupaten Tabanan.

37
Gambar 4.

Para Pengunjung Melakukan Tabur Bunga di Taman Bahagia (di Nisan atau
Pusara) pada Hari Peringatan Puputan Margarana di TPB Margarana,
Kabupaten Tabanan.

38
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS

Wayan Sudarta dilahirkan pada tanggal 24 September 1953 di Desa


Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Merupakan putra
sulung dan tunggal dari dua orang bersaudara hasil pernikahan I Made
Naros (Ayah) dengan Ni Made Ridat (Ibu), adiknya bernama Ni Made
Artini, S.Sos. latar belakang pendidikannya Sarjana Pertanian tamantan
Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Pasca Sarjana (S2) bidang
keahlian Sosiologi Pedesaan tamatan Fakultas Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.

Menikah dengan Ir. Made Saptarini pada tanggal 25 Juni 1985. Dari
pernikahan ini dikaruniai 4 orang anak diantaranya seorang perempuan dan
tiga orang laki-laki, secara berturut-turut bernama: Ni Putu Kurniawati, ST.,
I Made Adiwidya Yowana, SH., MH. Li, I Nyoman Adikarya Nugraha dan I
Ketut Adikresna Handayana.

Organisasi kemasyarakatan pemuda dan profesi yang pernah atau


sedang digeluti diantaranya Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI) Bali, Wakil Ketua Angkatan Muda Pembaharuan
Indonesia (AMPI) Bali, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Bali, Wakil Sekretaris Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Bali, Ketua
Ikatan Alumni Universitas Udayana (IKAYANA) Komisariat Fakultas
Pertanian dan menjadi Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Provinsi Bali.
Sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang menjadi Ketua Dewan Paripurna
Daerah PPM Provinsi Bali.

Sejak tahun 1981 sampai sekarang sebagai tenaga edukatif (dosen)


di Fakultas Universitas Udayana. Menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali selama 2 periode. Menjadi Ketua
Program Ekstensi Fakultas Pertanian Universitas Udayana dari tahun 2005
sampai dengan 2014.

39
Prestasi yang pernah diraih sebagai “Dosen Teladan I Tingkat
Nasional Mewakili Universitas Udayana tahun 1989”, dengan piagam
penghargaan “Adhitya Tridharma Nugraha” dari Dapartemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.

40

Anda mungkin juga menyukai