Anda di halaman 1dari 186

Model Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam: Total

Quality Management Approach

Penulis : Dr. Nurodin Usman, Lc.,MA


Agus Miswanto, MA
Subur,S.Pd.I.,M.Si
Layout : Okti Martilawati, SE
Desain Sampul : Adi Suprayitno, S.Kom
Cetatakan : Pertama, April 2021
23 x 15 cm v + 207
ISBN : 978-623-7292-65-4

ANGGOTA IKAPI SUMSEL


Penerbit : TUNAS GEMILANG PRESS
Perwakilan Yogyakarta : Jl. PGRI II No. 240 Sonopakis Lor Ngestiharjo
Kasihan Bantul Yogyakarta
Email: tunas_gemilang@ymail.com 0852 7364 4075
Kantor Pusat : Perumnas Talang Kelapa Blok 4 No. 4 Alang-Alang Lebar,
Palembang Sumsel 0711-5645 995 – 0852 7364 4075 email:
tunas_gemilang@ymail.com / yusronmasduki@gmail.com
Dicetak oleh : Percetakan Tunas Gemilang Magelang
Kompleks Masjid Kamal Iman, Kadipolo Wetan, Salam Magelang, Jawa
Tengah email: yusronmasduki@gmail.com 085273644075 Kode Pos
56464

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA


1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
PENGANTAR PENERBIT

ِ‫للاِ َّامر ْْح ِِنِ َِّامر ِح ْ ِي‬


ِِ ِ‫ث ِْس ِِم‬
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ba’da salam, semoga kita senantiasa tetap dalam keadaan
sehat wal afiat, sehingga kita dapat beraktifitas sehari-hari dengan
baik dan lancer, shalawat teriring salam kami haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia ke
jalan yang diridhai Allah SWT, amien.
Buku Model Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam: Total
Quality Management Approach, yang ditulis oleh Dr. Nurodin
Usman, Lc.,MA., Agus Miswanto, MA., dan Subur,S.Pd.I.,M.Si ini
merupakan hasil dari penelitian tentang model pengelolaan, yakni
menyangkut analisis , memetakan model-model tata kelola
lembaga filantropi dan merumuskan model tata kelola lembaga
filantropi di Kota Palembang dan Kabupaten Magelang. Penelitian
ini ditujukan untuk mengimplementasikan model tata kelola
lembaga filantropi yang dihasilkan pada tahap sebelumnya, yang
mana pada buku ini berhasil mengidentifikasikan 10 lembaga
filantropi, dalam menjalankan pengelolaan secara Islami berupa
zakat, infak, sadaqah, dan wakaf yang tersebar di Kota Magelang
dan di wilayah Kabupaten Magelang Jawa Tengah, meliputi:
Lembaga Amil Zakat Dana Kemanusiaan Dhu’afa, Yayasan
Kesejahteraan Sosial Kota Magelang, Lembaga Amil Zakat Mandiri,
Lazis Jawa Tengah, PKPU Jawa Tengah, Baitul Mal Hidayatullah,
LAZISMU, Dompet Dhu’afa’, Tabung Wakaf Dompet Dhu’afa,
LAZISNU-CARE, Badan aml Zakat Nasional, Badan Wakaf
Indonesia.
Kesemua lembaga filantropi ini dikemas dalam Total Quality
Management dalam rangka meningkakan kualitas pelayanannya
dalam mengelola lembaga tersebut. Diharapkan dengan
diterbitkanya buku ini dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dalam mengelola lembaga-lembaga filantropi di
daerah lain di Indonesia.

iii
Demikian kata pengantar kami, atas nama Percetakan dan
Penerbit CV. Tunas Gemilang mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Nurodin Usman, Lc.,MA., Agus Miswanto, MA., dan
Subur,S.Pd.I.,M.Si selaku penulis yang telah mempercayakan
kepada kami unerbitkan buku tersebut, mudah-mudahan dapat
memberkan kemanfatan bagi pemangku kebijakan dalam
mengelola lembaga filantropi dan mendapat pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT, Allahuma Amien.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, Februari 2021


Direktur,

Dr. Yusron Masduki, S. Ag., M. Pd. I

iv
KATA PENGANTAR

Di antara permasalahan yang dihadapi lembaga filantropi


Islam di Indonesia adalah kesadaran masyarakat mengenai derma
masih relatif rendah dan manajemen yang belum menerapkan
prinsip-prinsip manajemen modern. Di antara efek negatif yang
muncul dari masalah ini adalah sikap menyepelekan makna infak,
dikelola oleh pekerja secara sampingan, mengabaikan prinsip-
prinsip manajemen, tanpa seleksi sumber daya manusia, minim
kreativitas, minus monitoring dan evaluasi. Buku ini menawarkan
rumusan model tata kelola lembaga filantropi yang didasarkan
pada manajemen modern, yaitu teori Total Quality Management.
Studi ini merupakan penelitian yang dilaksanakan dalam
dua tahap. Penelitian tahap pertama ditujukan untuk mengkaji
unit-unit analisis, memetakkan model-model tata kelola lembaga
filantropi, dan merumuskan model tata kelola lembaga filantropi
di Kota dan Kabupaten Magelang. Penelitian tahap kedua
ditujukan untuk mengimplementasikan model tata kelola yang
dihasilkan pada tahap sebelumnya.
Obyek penelitian pada tahun pertama dalam penelitian yang
dilakukan adalah lembaga-lembaga filantropi Islam yang ada di
Kota dan Kabupaten Megelang. Lembaga-lembaga yang berhasil
diidentifikasi sebanyak 10 lembaga. Namun, penelitian ini tidak
menafikan adanya lembaga-lembaga lain di wilayah Kota dan
Kabupaten Magelang yang menjalankan kegiatan filantropi Islam.
Selanjutnya, pada Bab II dari buku ini ditambahkan sejumlah
lembaga-lembaga filantropi Islam yang menjalankan kegiatan
filantropi di Indonesia dan sebagian dari lembaga-lembaga
tersebut tidak memiliki kantor atau cabang di wilayah Kota dan
Kabupaten Magelang.
Model tata kelola tersebut diujicobakan pada Lembaga Amil
Zakat Dana Kemanusiaan Dhuafa (DKD) yang merupakan lembaga
filantropi di Magelang yang fokus menjalankan program funding
dan penyaluran dana filantropi dari masyarakat. Lembaga ini
dipilih karena merupakan satu-satunya lembaga fiantropi di
Magelang yang telah berhasil mendapatkan rekomendasi dari

v
BAZNAS dan mendapatkan Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Nomor 551
Tahun 2018 untuk menyelenggarakan kegiatan operasionalnya.
LAZ DKD Kota Magelang tercatat menjadi LAZ ke-4 di wilayah
Jawa Tengah yang telah mendapat izin operasional tersebut. Hasil
analisis pada tahap ini diharapkan dapat merumuskan model tata
kelola lembaga filantropi berdasar teori Total Quality
Management. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Proses analisis
dimaksudkan untuk mendiskusikan, melakukan konfirmasi, dan
menginterpretasikan berbagai macam fenomena yang muncul
terkait aktifitas pengelolaan dan pengembangan dana filantropi.
Untuk memudahkan penelitian ini, peneliti menggunakan teori
Total Quality Management untuk menganalisis model tata kelola
lembaga filantropi pada obyek penelitian. Dari hasil analisis
tersebut, diharapkan dapat dirumuskan model tata kelola yang
dikembangkan dalam bentuk pedoman pengelolaan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada DRPM
Kemenristekdikti yang telah membiayai penelitian ini melalui
skema Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT)
berdasarkan SK Nomor 0045/E3/LL/2018 dan Kontrak No:
009/PDUPT-LP3M/II.3.AU/F/2018. Ucapan terimakasih juga
kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (LP3M) Universitas
Muhammadiyah Magelang yang telah menyediakan sarana dan
prasarana dalam penyelesaian penelitian ini. Kami menyadari,
karya sederhana ini masih banyak kekurangan dan kelemahan,
baik yang berkaitan dengan konten maupun format penyusunan
buku ini. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun dari
pembaca sangatlah diharapkan untuk perbaikan karya
berikutnya.

Magelang, 15 Desember 2020

Tim Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................................i
PENGANTAR PENERBIT ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR............................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Dasar Pemikiran................................................................................ 2
C. Metode Penelitian............................................................................. 4
BAB II FILANTROPI ISLAM .............................................................................. 7
A. Makna Filantropi Islam .................................................................. 7
B. Zakat sebagai Instrumen Filantropi Islam ........................ 11
C. Infak dan Sedekah sebagai Instrumen Filantropi
Islam .................................................................................................... 38
D. Wakaf sebagai Instrumen Filantropi Islam ....................... 56
BAB III PROFIL LEMBAGA FILANTROPI ISLAM ............................... 59
A. Lembaga Amil Zakat Dana Kemanusiaan Dhu’afa
(LAZ DKD) ......................................................................................... 59
B. Yayasan Kesejahteraan Islam (YKI) Kota
Magelang............................................................................................ 62
C. LAZ Yatim Mandiri ........................................................................ 65
D. Lazis Jateng ....................................................................................... 66
E. PKPU Jawa Tengah ........................................................................ 67
F. Baitul Maal Hidayatullah............................................................ 69
G. LAZISMU ............................................................................................ 74
H. Dompet Dhuafa ............................................................................... 77
I. Tabung Wakaf Dhompet Dhuafa ............................................ 81
J. LAZISNU NU-CARE ........................................................................ 83
K. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ................................ 84
L. Badan Wakaf Indonesia (BWI) ................................................ 89
BAB IV TQM SEBAGAI MANAJEMEN MUTU ........................................ 91
A. Manajemen dan Fungsi-fungsi Manajemen ...................... 91
B. TQM sebagai Manajemen Mutu .............................................. 92
1. Kepuasan Pelanggan ............................................................ 93
2. Penghormatan terhadap Setiap Orang ....................... 95

vii
3. Manajemen Berbasis Fakta............................................... 97
4. Perbaikan Berkesinambungan........................................ 99
BAB V MODEL TQM UNTUK FILANTROPI ISLAM ......................... 102
A. Prinsip TQM: Implementasi pada Lembaga
Filantropi Islam ............................................................................ 102
1. Analisis Prinsip Kepuasan Pelanggan........................ 103
2. Analisis Prinsip Penghormatan terhadap Setiap
Orang ........................................................................................ 108
3. Analisis Prinsip Manajemen Berdasarkan Fakta . 114
4. Analisis Prinsip Perbaikan Berkesinambungan. .. 117
B. Model TQM pada Lembaga Filantropi Islam .................. 123
C. Rumusan Model Tata Kelola Lembaga Filantropi
Islam: TQM Approach ................................................................ 126
1. Komitmen Stakeholders Internal terhadap
LAZ DKD .................................................................................. 128
2. Visi dan Impian Responden tentang Masa Depan
LAZ DKD .................................................................................. 134
3. Implementasi Prinsip-prinsip TQM pada
LAZ DKD. ................................................................................. 137
4. Kepuasan Pelanggan dan Service
Excellence................................................................................ 145
5. Lima Pilar Manajemen Lembaga Filantropi
Islam.......................................................................................... 152
6. Perbaikan Berkesinambungan dan Penyusunan
Proker....................................................................................... 157
7. Pengembangan Program Unggulan melalui
Networking: Rumah Gemilang Indonesia ............... 162
BAB VI PENUTUP.............................................................................................. 167
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 170

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga filantropi Islam telah berkembang pesat di
Indonesia. Sebagian dari lembaga tersebut mengelola dana zakat,
infak, dan sedekah (ZIS), dan sebagian lainnya mengelola dana
wakaf. Lembaga yang mengelola dana ZIS dibina oleh BAZNAS dan
lembaga yang mengelola dana wakaf dibina oleh Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Dari segi wilayah operasional, lembaga tersebut
dibagi menjadi tiga skala, yaitu skala nasional, skala propinsi, dan
skala kabupaten atau kota.
Namun demikian, lembaga-lembaga filantropi tersebut
masih banyak menghadapi kendala yang perlu dicarikan
solusinya. Penelitian Sudirman menyimpulkan bahwa manajemen
yang tidak profesional masih menjadi penghambat bagi
perkembangan lembaga filantropi di Indonesia. Dampaknya
anrara lain sikap pengelola yang menyepelekan makna infak atau
donasi, dikelola secara sampingan, tanpa seleksi sumber daya
manusia, minim kreativitas, minus monitoring dan evaluasi.
Penelitian ini menawarkan solusi mengenai problematika
manajerial tersebut melalui pendekatan Total Quality
Management (TQM). TQM merupakan terobosan manajemen yang
umumnya dilakukan oleh perusahaan besar untuk meningkatkan
kualitas produk yang pada muaranya dapat memuaskan
konsumen. TQM juga banyak dilirik oleh perusahaan penyedia
jasa. Belakangan ini, TQM juga diadopsi oleh lembaga-lembaga
yang berbasis non-profit. Sayangnya, TQM belum banyak
dilakukan oleh lembaga-lembaga filantropi di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan tidak banyaknya lembaga jenis ini yang berniat
menerapkan manajemen mutu di lingkungannya. Padahal, untuk
menjadi lembaga filantropi modern, mau tidak mau, standar yang
telah ditetapkan oleh TQM harus menjadi spirit bagi organisasi.
Secara khusus, studi ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan tata kelola lembaga filantropi Islam dengan
pendekatan Total Quality Management.

1
2. Merumuskan model sistem tata kelola pada lembaga filantropi
Islam berdasarkan pendekatan Total Quality Management.
Sedangkan urgensi studi ini dapat dijelaskan dari tiga sudut
pandang, yaitu:.
1. Secara strategis, temuan tentang model tata kelola lembaga
filantropi Islam dapat dijadikan acuan bagi lembaga-lembaga
filantropi Islam di Indonesia untuk meningkatkan mutu
lembaga dengan pendekatan teori Total Quality Management
(TQM).
2. Secara metodologis, penggunaan teori Total Quality
Management yang telah menjadi jaminan mutu bagi
organisasi-organisasi besar di dunia dapat dimanfaatkan oleh
lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia untuk
meningkatkan kinerja mutu lembaga-lembaga tersebut.
3. Secara teoritis, kajian tentang penjaminan mutu bagi lembaga-
lembaga filantropi Islam belum banyak dikembangkan oleh
para peneliti dalam bidang ini. Penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi temuan-temuan penelitian sejenis dan dapat
mengisi ruang kosong bagi kajian mutu pada lembaga non
profit yang berbasis pada ajaran agama Islam.

B. Dasar Pemikiran
Lembaga filantropi Islam telah berkembang pesat di
Indonesia. Hal ini ditandai dengan maraknya lembaga-lembaga
Islam yang menjalankan kegiatan filantropis, baik dalam bentuk
lembaga zakat, lembaga sedekah, maupun lembaga wakaf. Salah
satu bukti nyata mengenai maraknya lembaga ini, di Magelang
yang merupakan kabupaten dan kota yang termasuk kategori kota
kecil terdapat banyak lembaga fiantropi Islam. Lembaga-lembaga
tersebut tidak hanya lahir dan berkembang di Magelang saja,
melainkan banyak dari lembaga-lembaga tersebut yang
merupakan lembaga cabang dari lembaga pusat yang berusaha
melebarkan sayapnya di wilayah Kota dan Kabupaten Magelang.
Spirit mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga
filantropi tersebut memang layak mendapa apresiasi sekaligus
menunjukkan betapa besarnya potensi filantropi bagi umat Islam,

2
khususnya warga Magelang. Asumsinya, jika warga Magelang
tidak memiliki komitmen tinggi untuk melakukan kegiatan
filantropi, mestinya lembaga-lembaga tersebut tidak datang ke
Magelang karena potensi filantropisnya yang rendah atau tidak
ada.
Seiring dengan berjalannya waktu, lembaga-lembaga
filantropi tersebut belajar dari pengalaman dan menjalankan
kegiatan yang semakin kompleks. Prinsip awal yang didasari
dengan semangat saja, dalam keadaan yang sudah semakin
kompleks menjadi tidak relevan dan rawan terjadi
penyelewengan, mengingat lembaga filantropi mengelola dana
masyarakat yang seharusnya diserahkan kepada bagian dari
masyarakat lainnya.
Studi ini mengaitkan lembaga filantropi Islam dengan teori
Total Quality Management. Pendekatan Total Quality Management
menjadi penting dilakukan untuk menganalisis kinerja mutu bagi
lembaga-lembaga tersebut mengingat prinsip-prinsip TQM sudah
teruji dan menjadi alat untuk menetapkan standar mutu bagi
lembaga-lembaga besar di dunia, baik yang bergerak dalam
bidang profit maupun nonprofit. Melalui pendekatan ini,
diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi kinerja
lembaga filantropi Islam sehingga dapat mengikuti standar-
standar mutu yang berlaku secara internasional dan menjadi
lembaga yang akuntabel dan mendapatkan kepercayaan yang
lebih baik dari masyarakat atau stakeholders.
Studi tentang tema ini sudah banyak dilakukan oleh para
pemerhati lembaga filantropi Islam sebelumnya. Penelitian
mengenai lembaga filantropi dengan menggunakan pendekatan
manajemen pernah dilakukan oleh Sudirman pada Dompet
Dhuafa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengelola
Dompet Dhuafa telah memberikan pelayanan yang baik kepada
pelanggan, melakukan sejumlah kegiatan yang berorientasi
kepada perbaikan, dan melibatkan seluruh elemen lembaga
(Sudirman, 2013)
Secara khusus, sebagian dari penulis buku ini juga terlibat
dalam penelitian mengenai lembaga filantropi, yaitu studi pada

3
Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah
telah berhasil mengembangkan dana zakat, infak, sedekah, dan
wakaf dalam bentuk unit-unit usaha produktif sehingga mampu
menghasilkan keuntungan yang signifikan dan berdampak positif
bagi kemandirian lembaga yang dikelola (Usman, 2013)
Penelitian lain yang terkait dengan masjid adalah pada
Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Secara spesifik,
penelitian ini fokus kepada tema wakaf dalam bentuk Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa Masjid Agung Semarang telah berhasil
mengelola salah satu aset wakafnya secara produktif dan
memberikan hasil yang mencukupi pendanaan masjid (Usman,
2013)
Penelitian berikutnya berkaitan wakaf produktif dalam
bentuk layanan kesehatan berupa Rumah Sakit Islam Kota
Magelang dari segi implementasi prinsip akuntabilitas yang
diterapkan oleh pengelola rumah sakit tersebut. Dalam konteks
ini, pihak pengelola rumah sakit menerapkan audit internal
melalui pengawasan administrasi dan keuangan yang dilakukan
oleh Dewan Pengawas Yayasan (Usman, 2016).

C. Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian research and development
(R&D) yang dilaksanakan dalam dua tahap. Penelitian tahap
pertama mencakup analisis dan perumusan model tata kelola
lembaga filantropi Islam yang berada di wilayah Kota dan
Kabupaten Magelang dengan pendekatan Total Quality
Management.
Penelitian tahap kedua adalah implementasi model tata
kelola tersebut pada LAZ Dana Kemanusiaan Dhuafa Kota
Magelang. Hasil dari uji coba dan implementasi ini akan
diwujudkan dalam bentuk dokumen pedoman tata kelola lembaga
filantropi.
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan manajemen. Menurut Putra (2013: 102), penelitian

4
kualitatif manajemen dilakukan untuk menggali makna yang
dihayati oleh para pengelola (manager) dalam menjalankan
fungsi-fungsi manajemen, proses-proses dalam pengambilan
keputusan, sistem pengawasan, aspek kepemimpinan, dan aspek-
aspek manajemen lainnya. Pendekatan manajemen dipandang
cocok untuk memahami data-data penelitian yang berkaitan
dengan model manajemen lembaga filantropi. Secara spesifik,
penelitian ini menjadikan prinsip-prinsip Total Quality
Management sebagai pisau analisis untuk mendeskripsikan
pengelolaan obyek penelitian. Dalam pengumpulan data,
penelitian ini menggunakan teknik observasi, in depth interview,
dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan dianalisa secara
menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Objek penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu objek
penelitian pada tahap pertama dan objek penelitian pada tahap
kedua. Pada tahap pertama, objek penelitian adalah seluruh
lembaga filantropi yang menjalankan kegiatannya di Kota dan
Kabupaten Magelang yang terdiri dari LAZ Dana Kemanusiaan
Dhuafa Kota Magelang, LAZ Yatim Mandiri Kota Magelang, Lazis
Muhammadiyah Kota Magelang, Lazis Muhammadiyah Kabupaten
Magelang, Lazis NU Kota Magelang, Lazis NU Kabupaten Magelang,
Lazis Jateng cabang Magelang, Baitul Maal Hidayatullah (BMH)
cabang Magelang, PKPU Human Initiative cabang Magelang, dan
Badan Pengelola Wakaf pada Yayasan Kesejahteraan Islam Kota
Magelang.
Pada tahap kedua, objek penelitian adalah LAZ Dana
Kemanusiaan Dhuafa Kota Magelang. Dipilihnya lembaga ini
sebagai tempat implementesi model karena merupakan lembaga
filantropi yang sejak awal berdirinya secara spesifik bergerak
dalam bidang filantropi, yaitu mengumpulkan dan menyalurkan
dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Teknik observasi dilakukan untuk mengamati,
mencatat, dan memotret segala sesuatu yang berkaitan tema
penelitian. Teknik wawancara dilakukan secara terbuka terhadap
para pengelola lembaga untuk menggali berbagai macam

5
informasi yang berkaitan dengan tema penelitian. Teknik
dokumentasi dilakukan untuk mengungkap data-data yang
tersimpan dalam dokumen, untuk menggali data-data yang tidak
dapat diperoleh melalui observasi dan wawancara, atau untuk
melengkapi dan memperkuat data-data yang diperoleh dari
penggunaan teknik observasi dan wawancara.
Data yang telah berhasil digali, kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dalam
penelitian ini, metode ini dilakukan dengan memaparkan hasil
penelitian tentang model pengelolaan lembaga filantropi untuk
ditarik sebuah kesimpulan. Proses analisis dilakukan untuk
memahami, menelaah, mendalami, dan menginterpretasikan
fenomena yang muncul terkait aktifitas pengelolaan obyek
penelitian. Untuk memudahkan penelitian ini dalam rangka
merumuskan model unit analisis, peneliti menggunakan teori
Total Quality Management atau TQM.
Analisis data kualitatif dalam bidang manajemen dapat
dilakukan banyak cata atau teknik, salah satunya yang digunakan
dalam penelitian ini, adalah model Miles dan Huberman. Menurut
Miles dan Huberman dalam Emir (2012: 129), proses analisis data
dilakukan melalui serangkaian aktifitas yang saling berkaitan dan
dinamis. Langkah-langkahnya meliputi reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Data yang berhasil dikumpulkan,
selanjutnya diuji keabsahannya dengan cara menyandingkan data
tersebut dengan data-data lain yang diperoleh dengan teknik
berbeda. Teknik ini disebut teknik triangulasi yang dapat
dilakukan dengan cara triangulasi sumber, metode, waktu, dan
teori.

6
BAB II
FILANTROPI ISLAM

A. Makna Filantropi Islam


Kata filantropi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan
gabungan dari dua suku kata, yaitu philos yang berarti cinta dan
anthropos yang berarti manusia (Abidin, 2012). Jadi, secara
bahasa, kata filantropi berarti mencintai sesama manusia. Dalam
bahasa Inggris disebut philantrophy. Dalam kehidupan sehari-hari,
kata filantropi dimaksudkan sebagai praktik pemberian secara
sukarela untuk membantu pihak-pihak yang membutuhkan atau
untuk kepentingan bersama (publik). Istilah-istilah lain yang erat
kaitannya dengan filantropi dalam bahasa Inggris adalah charity,
giving, services, association, dan voluntary. Dalam bahasa
Indonesia, istilah yang terkait dengan filantropi adalah
kedermawanan dan pemberian secara sukarela. Sebagian peneliti
di Indonesia menerjemahkan charity dengan istilah karitas dan
merupakan terjemahan dari bahasa Latin yaitu caritas yang
berarti cinta tak bersyarat (unconditioned love). Hanya saja,
terminologi charity atau karitas dimaknai sebagai pemberian
untuk menyelesaikan problem temporer atau sesaat dan bukan
merupakan program jangka panjang yang berkesinambungan.
Dalam terminologi bahasa Arab, istilah-istilah yang
semakna dengan filantropi adalah al-atha’ (pemberian), al-ihsan
(kebajikan), al-takaful al-ijtimai (solidaritas sosial), atau shadaqah
(sedekah).
Secara umum, filantropi dipahami berdasarkan dua
pendekatan, yaitu filantropi tradisional dan filantropi keadilan
sosial (Prihatna, 2005). Filantropi tradisional dipahami sebagai
gerakan filantropi secara apa adanya, yaitu memberi bantuan
kepada orang lain, hanya melihat dari sisi luar dan tidak berusaha
mencari akar masalahnya, tidak memiliki program-program yang
bersifat pemberdayaan, dan memperhatikan dampak jangka
panjang. Pendekatan ini biasa disebut sebagai pendekatan karitas
atau charity approach. Pendekatan ini lebih tepat digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang sifatnya mendesak dan temporer.

7
Sedangkan filantropi keadilam sosial dimaknai sebagai
gerakan filantropi yang bersifat pemberdayaan dan memiliki
dampak jangka panjang. Pemahaman filantropi keadilan sosial
bertujuan untuk menjawab permasalahan sosial dengan
menawarkan program-program pemberdayaan, berkelanjutan,
bergerak secara menyeluruh (komprehensif) dan makro, dan
menawarkan solusi dengan cara merubah cara berpikir, sistem,
budaya, dan perilaku masyarakat agar dapat meningkatkan taraf
hidup mereka sehingga menjadi sejahtera.
Filantropi juga tidak hanya terbatas pada dimensi material
semata. Pakar-pakar filantropi juga memperkenalkan konsop
filantropi yang berkaitan dengan waktu, tenaga, pikiran,
partisipasi, motivasi, dedikasi, gagasan, ide, ilmu pengetahuan,
teknologi, sain, sistem, dan program-program sosial yang dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan bersama atau publik.
Konsep Pertama, pendekatan karitas (charity approach),
pendekatan ini cenderung menyoroti gejala-gejala dari problem
sosial daripada akar permasalahannya sehingga dampaknya tidak
begitu terasa bahkan hanya temporer. ilantroi ini disebut dengan
“creative philantrophy” dan dinilai sebagai pendepatan yang
sesuai dan tepat untuk diterapkan pada masyarakat modern
(Latief, 2010). Pendekatan filantropi ini dikenal juga dengan
pendekatan filantropi ilmiah atau scientific philantropy. Ciri
utamanya adalah berusaha mencari jawaban bagi permasalahan
sosial dari akar masalahnya. Pada perkembangan berikutnya,
pendekatan filantropi ilmiah ini dikembangkan lagi sehingga
menjadi “new scientific philantropy”. Dalam pendekatan ini, peran
secara langsung dari lembaga-lembaga filantropi tidak lagi
ditonjolkan karena lebih mengedepankan perbaikan proses dalam
sistem filantropi yang berkembang di masyarakat.
Beranjak dari konsep di atas, filantropi Islam dalam
dipahami sebagai sedekah yang dimaksudkan untuk mewujudkan
keadilan sosial atau maslahat bagi masyarakat umum. Praktik
filantropi dalam agama Islam sebenarnya sudah melekat pada
ajaran Islam itu sendiri, yaitu berupa syariat zakat, infak, sedekah,
dan wakaf. Praktik-praktik ritual-sosial tersebut telah berjalan

8
semenjak dahulu hingga sekarang di seluruh negara Islam,
termasuk Indonesia.
Penelitian Abdur Razzaq (2014) menjelaskan bahwa
praktik-praktik tersebut telah berlangsung semenjak dahulu dan
masih dipertahankan hingga saat ini. Hanya saja, sifatnya masih
konvensional, dilakukan secara individual, disalurkan secara
langsung oleh pemberi kepada penerima, dan masih banyak yang
bersifat konsumtif. Pemberian jenis ini diduga menjadi sebab
tidak efektifnya praktik filantropi di Indonesia untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial. Padahal, praktik-praktik
filantropi konvensional tersebut suka atau tidak suka akan
ditinggalkan oleh zaman karena tidak mampu merespon
perkembangan dan perubahan sosial dan ekonomi yang bersifat
komprehensif dan masif.
Di Indonesia, praktik filantropi yang paling subur adalah
dalam bentuk zakat. Pada mulanya, praktik zakat yang paling
dominan adalah zakat fitrah yang dikeluarkan oleh setiap muslim
pada akhir bulan Ramadhan. Kemudian dalam perkembangannya,
zakat maal atau zakat harta juga mulai dipromosikan secara masif
dan didirikanlah lembaga-lembaga amil zakat, baik oleh
pemerintah melalui Badan Amil Zakat (BAZ) maupun oleh
masyarakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Sebagai bentuk aksi kedermawanan, filantropi tidak hanya
berupa pemberian material saja, namun juga meliputi sumbangan
yang sifatnya non material. Jika dikaitkan dengan tujuan, filantrofi
berbeda dengan lembaga non filantrofi, karena mendukung
kegiatan sosial dan tidak mengharapkan balas jasa dari pihak
yang diberi. Karakteristik filantropi yang mulia tersebut
merupakan bagian dari praktik kemanusiaan sebagai bentuk
solidaritas sesama umat manusia. Tradisi filantropi bukan produk
budaya tertentu, agama tertentu, atau era tertentu, karena
solidaritas dan rasa peduli terhadap sesama sudah dikenal sejak
umat manusia itu ada di muka bumi ini. Penelitian Saripudin
(2016) menyimpulkan bahwa seluruh agama besar di dunia
mengajarkan praktik filantropi. Islam, Kristen, Yahudi, Budha,
Hindu, dan lainnya menekankan pentingnya praktik filantropi

9
bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. Dari sebaran kawasan,
filantropi juga sudah dipraktikkan dan ditemukan di seluruh
dunia, baik di Asia, Afrika, Eropa, dan belahan bumi lainnya.
Saripudin (2016) juga menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk
filantropi di seluruh dunia secara umum memiliki kemiripan,
meskipun berbeda dari segi nama dan sebagian aturan detailnya.
Sebagian peneliti, seperti W. Haffening dalam Saripudin (2016),
meyakini bahwa praktik filantropi dalam sejarah merupakan
warisan turun-temurun dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya.
Dalam agama Islam, semangat filantropi dijelaskan dalam
banyak ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang
menganjurkan pengikutnya untuk saling memberi dalam bentuk
zakat, infak, sedekah, hadiah, dan wakaf.
Diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 215:
َ ‫ونِكُ ْلِ َماِ َبه َف ْل ُُتِ ِ ّم ْنِخ ْ ٍَْيِفَ ِووْ َو ِ َاِل ٍْ ِن َِوا َأل ْك َرت َِني َِوامْ ََ َتا َم‬
ِ ِ‫ىِوامْ َم َسا ِنني‬ َ ‫ٌ َْسبَمُوه ََمِ َما َذاًُِن ِف ُل‬
ِ‫ِاّللِ ِت ِوِؽَ ِو ٌي‬ َ ّ ‫ِامسخِِلِ َِو َماِتَ ْف َؾوُو ْاِ ِم ْنِخ ْ ٍَْيِفَا َّن‬
َّ ‫َوا ْج ِن‬
ّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan". Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (QS.2:215)
Dalam hadis, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
“Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan,
sedekah sembunyi-sembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan,
silaturahim dapat memperpanjang umur, dan setiap kebaikan
adalah sadaqah. Pemilik kebaikan di dunia adalah pemilik
kebaikan di akhirat, dan pemilik keburukan di dunia adalah
pemilik keburukan di akhirat, dan yang pertama masuk surga
adalah pemilik kebaikan”.
Dalam Islam, kata filantropi disebutkan secara umum
melalui terminologi shadaqah atau sedekah. Sedekah dalam Islam
memiliki makna yang sangat luas, sebagaimana konsep filantropi
di atas, baik berupa material maupun non material. Pernyataan

10
berikut menggambarkan betapa luasnya konsep sedekah dalam
Islam, yaitu:
ٌِ َ‫كِ َم ْؾ ُر ْو ٍص ََََِ ك‬
ِ‫ُ ل‬
“Setiap kebaikan adalah sedekah” (HR. Bukhari dari Jabir).
Agama Islam memberikan kedudukan yang istimewa bagi
konsep sedekah ini dan menawarkan berbagai macam
keuntungan bagi para pemberi sedekah, seperti memadamkan
murka Tuhan, memperpanjang usia, menolak balak,
menyembuhkan penyakit, menambah rizki, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk filantropi dalam Islam terdiri dari zakat,
infak, sedekah, dan wakaf. Berikut ini penjelasan singkat
mengenai bentuk-bentuk filantropi tersebut.

B. Zakat sebagai Instrumen Filantropi Islam


Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang biasa disebut
sebagai ibadah maaliyah ijtimaiyah (ibadah yang berkaitan
dengan harta dan berdampak sosial). Pentingnya zakat dapat
dilihat dari penyebutannya yang seringkali disandingkan dengan
kewajian shalat dalam Alquran.
Zakat dimaksudkan untuk mempertemukan pihak yang
memiliki kelebihan harta (muzakki) dengan pihak yang berhak
mendapatkan bantuan (mustahiq). Konsep manajemen zakat
memproyeksikan adanya pemerataan pendapatan dan distribusi
kekayaan di tengah-tengah masyarakat dan mengentaskan pihak
yang penerima zakat menjadi pihak yang mengeluarkan zakat.
Pengelolaan zakat di Indonesia telah mengalami
transformasi yang sangat panjang hingga saat ini telah memasuki
babak baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 1 ayat 2 dari UU
tersebut mendefinisikan zakat sebagai harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.
Karakteristik zakat adalah adanya persyaratan khusus
mengenai jenis harta yang dikenakan zakat, batas minimal bagi

11
harta yang wajib dizakati, beberapa jenis harta disyaratkan waktu
kepemilikan yang sudah lebih dari satu tahun, dan persyaratan
khusus berkaitan dengan pihak-pihak yang menjadi penerima
zakat.
Adanya karakteristik yang spesifik tersebut berdampak
pada model tata kelola lembaga zakat yang juga harus
memperhatikan karakteristik zakat. Lembaga pengelola zakat
tidak memiliki kebebasan absolut dalam menghimpun dan
menyalurkan harta zakat. Lembaga zakat hanya berfungsi sebagai
mediator antara pihak muzakki dengan pihak mustahik. Dalam
menjalan program mediasi tersebut, lembaga zakat berhak
mendapatkan hak pengelolaan yang biasa disebut sebagai hak
amil zakat. Lembaga zakat yang profesional harus aktif menyusun
program kerja yang berkelanjutan baik pada saat penghimpunan
maupun pada saat penyaluran. Progarm-program kreatif sangat
diperlukan agar kinerja lembaga zakat mampu menjalankan
tugasnya secara maksimal.
1. Pengertian Zakat
Secara bahasa, kata zakat berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
zakatu. Dalam kamus Bahasa Arab, kata tersebut berasal dari kata
dasar “zakaa-yazkuu” yang berarti suci, tumbuh, baik, berkah dan
berkembang.
Menurut Ibnu Manzhur dalam kitabnya Lisanul ‘Arabi, zakat
berarti ‫( النماء‬an-namaa) yang berarti pertumbuhan atau
perkembangan. Zakat juga bisa berarti ‫( الطھارة‬ath-thaharah)
yang berarti suci dan bisa juga berarti ‫( البركت‬al-barakah) yang
berarti keberkahan (Ibnu Manzhur, 1988: 4/386).
Di dalam Mu’jam al-Wasith dijelaskan bahwa zakat
merupakan bentuk mashdar yang berarti:
ِ‫امامنءِوامربِن ِوامطھارتِوامصالح‬
Dalam hal ini, Mu’jam al-Wasith sebagaimana dijelaskan
oleh Fuad Bustami (1986: 287) memberikan makna tambahan
bagi zakat selain tiga arti yang disebutkan dalam kamus Lisan al-
Arab di atas. Makna tambahan tersebut adalah ‫( الصالح‬ash-shalah)
yang berarti baik atau kebaikan.

12
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dapat diketahui
bahwa orang yang mengeluarkan zakat diharapkan akan
mendapatkan makna-makna tersebut, baik dalam hartanya,
dirinya, maupun kehidupannya. Orang yang berzakat diharapkan
akan mendapatkan pertumbuhan atau kesuburan, keberkahan,
kebaikan, dan kesucian pada harta dan dirinya sehingga akan
berdampak positif bagi kehidupannya. Makna tersirat yang
dipahami dari segi mafhum mukhalafah, orang yang membayar
zakat akan dijauhkan dari kekurangan, kehinaan, keburukan, dan
kekotoran pada harta dan dirinya. Orang yang berzakat
diharapkan mendapat kebaikan dalam hidup dan dijauhkan dari
kesulitan dan mara bahaya pada diri dan hartanya.
Sedangkan secara istilah, zakat didefinisikan oleh banyak
ahli agama Islam dengan redaksi yang berbeda-beda.
Diantaranya didefinisikan oleh Asy-Syarbiny (1994: 2/62)
dalam mazhab Syafii, zakat adalah:
ِ‫امسِمؾلَِخمصوِصِمنِمالِخمصوصِجیةِرصفياِ ْالَناصِخمصوَِ ِثرشط‬
“Suatu nama bagi akad tertentu, dari harta yang telah
ditentukan, yang wajib dibagikan kepada golongan-golongan
tertentu serta dengan syarat-syarat yang telah ditentukan”.
Sedangkan Yusuf al-Qardhawi (2006: 37) seorang fuqaha
kontemporer mendefenisikan zakat sebagai berikut:
ِ‫احلص ِامللَرتِمنِاملالِامىتِفرضھاِللاِنومس تحلني‬
“Bagian tertentu dari harta yang diwajibkan Allah SWT
untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak”.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditemukan kesamaan
arti yaitu bahwa zakat merupakan kewajiban yang dibebankan
kepada pemilik harta yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu,
untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya,
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan pula.
2. Urgensi Zakat
Dalam Islam, zakat merupakan rukun Islam yang ketiga,
setelah syahadat dan shalat.
Urgensi zakat juga dapat dilihat dari keterkaitan antara
zakat dan shalat yang seringkali disebutkan secara beriringan

13
dalam Alquran. Katerkaitan ini mengindikasikan adanya kedekatan
yang kuat antara keduanya, baik dari segi tujuan
mengamalkannya maupun dari segi dampak bagi yang
meninggalkannya.
Dari segi tujuan, zakat diharapkan dapat menyucikan atau
membersihkan pelakunya dari kesalahan, menambah berkah pada
harta yang dimiliki, dan membuktikan derajat iman dan takwanya.
Dari sudut pandang berkah, mengeluarkan zakat tidak
berarti mengurangi jumlah harta yang dimiliki, tetapi sebaliknya
justru hartanya akan bertambah, bahkan berlipat-lipat
sebagaimana tumbuhan yang muncul tunas-tunas baru akibat dari
keberkahan dan rahmat dari Allah yang diberikan kepada
muzakki.
Dari segi hubungan sosial kemasyarakatan, zakat akan
menyucikan harta yang dimiliki seorang mukmin dari kotoran-
kotoran dan dosa-dosa yang diakibatkan oleh hubungan sosial
kemayarakatan. Sebagaimana diketahui, tidak semua warga
masyarakat merasa senang melihat orang lain memiliki harta yang
berlimpah. Dengan membayar zakat, perasaan tersebut akan
hilang sehingga dapat mewujudkan hubungan sosial yang lebih
sehat. Selain itu, dalam konteks agama Islam, pada harta yang
berlimpah terdapat hak orang lain yang menempel pada harta
tersebut, terutama orang-orang yang membutuhkan. Dengan
membayar zakat, hak-hak orang lain tersebut akan tertunaikan
sehingga terhindar dari sikap memakan harta yang haram.
3. Orang yang Enggan Membayar Zakat
Orang yang enggan membayar zakat dianggap telah
melakukan dosa besar dan boleh diperangi. Orang yang enggan
membayar zakat karena menolak kewajibannya dihukumi sebagai
orang kafir karena telah menolak dan mengingkari kewajiban
agama yang menjadi dasar atau rukun. Sedangkan orang yang
tidak membayar zakat karena merasa enggan dan didorong oleh
perasaan kikir maka ia dianggap telah melakukan perbuatan dosa
besar dan bermaksiat kepada Allah karena telah meninggalkan
perintah yang sangat ditekankan dalam urusan agama, baik

14
disebutkan dalam Alquran maupun hadis yang sudah jelas dan
tidak dapat diragukan lagi kewajibannya.
4. Istilah-istilah Zakat dalam Alquran
Dalam Alquran, istilah zakat disebutkan dalam beberapa
istilah. Paling tidak ada empat istilah yang digunakan untuk
menyebutkan kata zakat. Istilah-istilah tersebut adalah zakat,
shadaqah, haq atau hak, dan nafaqah.
a. Terminologi Zakat
Istilah zakat merupakan kata yang paling banyak
banyak disebutkan dalam Alquran untuk menyebut kata zakat.
Diantaranya disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 43
sebagai berikut:
ِ‫ِامرا ِن ِؾ َني‬
َّ ‫ِامز ََكت ََِو ْار َن ُؾو ْاِ َم َػ‬ َّ ‫َو َب ِكميُو ْا‬
َّ ‫ِامص َالت ََِوبٓتُو ْا‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku'”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 43).
Dalam ayat di atas, kata zakat disebutkan secara
eksplisit sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang-
orang yang beriman. Ayat itu juga menghubungkan perintah
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Sebagaimana shalat
harus didirikan dengan memenuhi syarat dan rukunnya,
menunaikan zakat juga harus memenuhi syarat dan rukunnya.
Dalam terminologi Ushul Fiqh, hubungan antara shalat dan
zakat seperti ini disebut dengan istilah dalalatul iqtiran, yaitu
dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya,
tidak bisa dipilih, dan tidak dibisa diprioritaskan satu dengan
lainnya. Akan tetapi keduanya merupakan dua hal yang saling
terkait dan harus dilaksanakan semuanya. Menunaikan
kewajiban zakat juga harus dilaksanakan secara sempurna,
tidak boleh dikurangi dari ketentuan yang telah ditetapkan,
tidak boleh ditangguhkan, dan hanya boleh disalurkan kepada
pihak-pihak yang berhak menerimanya saja.
Hubungan antara shalat dan zakat juga dapat dilihat
dari segi kesimbangan antara hablun minallah dan hablun
minannas. Shalat merupakan bukti kongkrit dari hablun
minallah atau hubungan manusia dengan Tuhannya.

15
Sedangkan zakat merupakan bukti kongkrit dari hablun
minannas atau hubungan antar sesama manusia. Hablun
minallah disebutkan terlebih dahulu karena menjadi dasar
bagi hablun minannas. Sedangkan hablun minannas menjadi
bukti dari kuatnya hablun minallah. Dengan demikian,
keterkaitan antara shalat dan zakat memiliki dimensi yang
sangat luas dan mendalam.
b. Terminologi Shadaqah
Istilah lain yang digunakan untuk menjelaskan
kewajiban zakat adalah kata shadaqah. Penyebutan kata
shadaqah seperti ini disebutkan dalam surat at-Taubah ayat
60 sebagai berikut:
ِ‫ِامركَ ِاة‬ َ َ ْ‫اءِوامْ َم َسا ِننيِ َِوامْ َؾا ِم ِو َنيِؽَوَْي‬
ِ ّ ‫اِوامْ ُم َؤمَّفَ ِ ِكُوُوُبُ ُ ْم َِو ِِف‬ َ ‫اثِ ِنوْ ُفلَ َر‬
ُ َ‫اِامصََ ك‬
َّ ‫اه َّ َم‬
ّ
ِ‫اّللِؽَ ِو ٌيِ َح ِك ٌي‬
ُّ ‫ِاّلل َِو‬ِ ّ ‫ِامسخِِلِ ِفَ ِرًضَ ً ِ ِ ّم َن‬ ‫ن‬
َّ ِ ْ َ‫ج‬ ‫ا‬‫ِو‬ ِ
‫ِاّلل‬
ّ ِ‫ِِل‬‫خ‬‫ِس‬ َ َ َ ‫ِف‬ِ ‫ِو‬‫ني‬ ِ
‫م‬ ‫َار‬
ِ ‫غ‬ْ ‫م‬ ‫ا‬‫و‬َ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana (QS. At-Taubah: 60)
Ayat di atas secara eksplisit menggunakan kata
shadaqah namun dapat secara mudah dipahami bahwa yang
dimaksud adalah zakat. Hal ini dapat diketahui dari uraian
dalam ayat yang menjelaskan tentang pihak-pihak yang
berhak menjadi penerima zakat (mustahiq). Ayat ini juga
menjadi ayat yang dijadikan sebagai dasar atau dalil bagi
pentasharufan zakat yang terdiri dari delapan golongan
(ashnaf), yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekaan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah (sabilillah), dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan (ibnu sabil).

16
c. Terminologi Haq
Kewajiban zakat juga disebutkan dengan terminologi
haq atau hak. Kata ini disebutkan dalam surat al-An’am ayat
141, yaitu:
ِ ْ ‫ُِي لةِامْ ُم‬
ِ‫ْسِف َني‬ ِ ْ ُ ‫ُ ُُكو ْاِ ِمنِجَ َم ِر ِهِا َذاِ َبجْ َم َر َِوبٓتُو ْاِ َحلَّوًُِ َ ْو َمِ َح َصا ِد ِه َِو َالِت‬
ِ ُ ‫ْسفُو ْاِاهَّوُِ َال‬
ّ ّ
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu)
bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan
janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S. al-An’am (6) :
141).
Secara eksplisit, ayat ini berbicara tentang zakat
pertanian atau hasil bumi. Perintah dalam ayat tersebut
adalah agar zakat hasil bumi dikeluarkan pada saat dipetik
untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Sebagaimana diketahui, perintah untuk mengeluarkan hak
dari hasil bumi pada saat dipetik adalah perintah yang
berkaitan dengan zakat. Ayat ini sekaligus menjadi dalil
tentang waktu untuk mengeluarkan zakat hasil pertanian,
yaitu setiap kali dipanen jika telah mencapai nishab.
Penjelasan tentang nishab ini dijelaskan oleh dalil yang lain,
yaitu dari hadis Rasulullah SAW.
d. Terminologi Nafaqah
Terminologi terakhir untuk menyebut kewajiban zakat
dalam Alquran adalah kata nafaqah. Dalam konteks yang lebih
umum, kata nafaqah digunakan untuk menjelaskan
pengeluaran yang dilakukan oleh kepala rumah tangga kepada
anggota keluarganya. Namun kontek ayat berikut ini tidak
tepat jika dimaknai sebagai nafkah keluarga tersebut. Makna
yang lebih sesuai adalah makna zakat. Ayat tersebut adalah
surat At-Taubah ayat 34, yaitu:
ِ‫رش ُه‬ ِ ّ ِ‫ِاَّلى ََة َِوامْ ِفضَّ َ َِو َالًُِن ِف ُلوَنَ َ ِاِِف َِسخِِل‬
ْ ّ ِ َ‫ِاّللِفَخ‬ َّ ‫ون‬َ ‫َو َّ ِاَّل ٍَنٍَِ ْك ِ ُِن‬
‫ِ ِت َؾ َذ ٍاةِ َب ِم ٍِي‬

17
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih”. (Q.S. At-Taubah (9) : 34).
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ancaman pada akhir
ayat ditujukan bagi orang-orang yang menyimpan harta benda
mereka dan tidak menunaikan haknya, yaitu berzakat.
Sedangkan harta yang telah dikeluarkan zakatnya tidak
termasuk dalam kateogori harta disimpan yang diancam oleh
azab yang pedih tersebut.
Ayat tersebut menyebut kata “yaknizuun” yang berarti
menyimpan. Dalam riwayat Imam Malik ketika Ibnu Umar
ditanya apa saja yang termasuk kategori “menyimpan” yang
diancam dengan azab pedih tersebut, ia menjawab: itu adalah
harta yang tidak ditunaikan zakatnya (Ibnu Katsir, 1981:
2/139)
5. Dasar Hukum Zakat
a. Dalil dari Alquran
Sebagaimana dijelaskan di atas, di dalam Alquran
terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang zakat,
diantaranya sebagai berikut:
1) Surat an-Nuur ayat 56
َ‫َوأَلِي ُموا الص ََّالةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُكم تُر َح ُمون‬
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta'atlah
kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.(QS.24:56)
2) Surat al-An’am: 141
ُِ‫اث َِوامنَّ ْخ َل َِو َّامز ْرعَِ ُم ْخ َت ِو ًفاِبُ ُ ُُكو‬ ٍ ‫وش‬َ ‫اث َِوغَ ْ َْيِ َم ْؾ ُر‬ٍ ‫وش‬ َ ‫اثِ َّم ْؾ ُر‬ ٍ َّ ‫ِاَّليِ َبوشَ بَِ َجن‬ ِ َّ ‫َوى َُو‬
ُ ُ ‫اِوغَ ْ َْيِ ُمتَشَ ا ِت ٍو‬
ِ‫ُِكو ْاِ ِمنِجَ َم ِر ِهِا َذاِ َبجْ َم َر َِوبٓتُو ْاِ َحلَّوًُِ َ ْو َم‬ َ ً ِ‫ون َِوام لر َّم َانِ ُمتَشَ اُب‬َ ‫َو َّامزًْ ُت‬
ّ
ِ‫ْسِف َني‬ِ ْ ‫ُِي لةِامْ ُم‬ ِ ْ ُ ‫َح َصا ِد ِه َِو َالِت‬
ِ ُ ‫ْسفُو ْاِاهَّوُِ َال‬
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
ّ
berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermaca-
macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya

18
dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
(QS.6:141)
3) Surat At-taubah: 103
ُ ّ ‫اِو ََ ِ ّلِؽَوَْيْ ِ ْمِا َّن ََِ َالِتَ َم َِس َك ٌنِمَّيُ ْم َِو‬
ِ‫اّلل‬ َ َ ِ‫خ ُْذِ ِم ْنِ َب ْم َوا ِمي ِْم ََََِ كَ ً ِت َُطيّ ُِر ُ ْه َِوتُ َز ِنّ ِْيمُِب‬
ّ
ِ‫َ َِسَ ٌػِؽَ ِو ٌي‬
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan
mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu
(menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS.9:103).
b. Dalil dari Hadis Nabi SAW.
Banyak hadis menjelaskan tentang kewajiban zakat.
Diantaranya hadis Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda:
ِ‫ِواكَا ِم‬،ِ ِ َّ ‫اّلل َِو َب َّنِ ُم َح َّمًَ َاِر ُسو ُل‬
َ ‫ِاّلل‬ ُ َّ َِّ‫َِخ ٍس َِشيَا َد ِتِ َب ْنِ َالِا ََلَِاال‬
ْ َ ‫ت ُ ِ َِنِاال ْس َال ُمِؽَ ََل‬
ّ ّ ّ ّ
َِ َ‫ِو ََ ْو ِم َِر َمض‬،ِ
‫ان‬ َ ‫ِوامْ َح ّ ِج‬،ِ َ ‫ِامز ََك ِت‬ َ ‫امص َال ِت‬
َّ ‫ِواًتَا ِء‬،ِ َّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa
ّ
tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah
melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya;
menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji;
dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis di atas menunjukkan kewajiban zakat sebagai
salah satu rukun Islam yang terdiri dari lima perkara, yaitu
syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan
ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Di awal hadis
dinyatakan bahwa agama Islam dibangun di atas lima rukun
tersebut. Agama Islam tidak dapat terpenuhi dalam diri
seseorang jika tidak menjalankan semua atau salah satu dari
lima rukun tersebut. Zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga dan merupakan salah satu rukun agama Islam
sebagaimana rukun-rukun Islam yang lain.
19
Begitu juga dalam sabda Nabi SAW ketika memberikan
perintah kepada Mu’az bin Jabal yang ditugaskan berdakwah
ke Yaman, Rasulullah SAW bersabda:
ِ‫ِت ُْؤخ َُذِ ِم ْن‬،ِ‫ِاّللِافْ َ ََت َضِؽَوَْيْ ِ ْم ََََِ كَ ً ِِِفِ َب ْم َوا ِمي ِْم‬
َ َّ ‫اَِّل ِ َِلِفَبَؽْ ِو ْمي ُْمِ َب َّن‬
َ ِ ‫ِهِ َب َطا ُؼو‬ ْ ُ ‫فَا ْن‬
ّ
‫َب ْغ ِن ََاِئِ ِ ْم َِوتُ َردلِؽَ ََلِفُلَ َراِئِ ِ ِْم‬
“Jika mereka telah mentaati engkau (untuk bertauhid
dan mendirikan shalat), maka sampaikan kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk
menunaikan sedekah (zakat) dari harta benda mereka. Zakat
tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan
kemudian disebar kembali oleh orang miskin di antara
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menyebutkan kata shadaqah sebagai ganti
dari kata zakat. Dari segi konteks, kata shadaqah tersebut
dimaknai sebagai zakat karena sifatnya yang wajib. Redaksi
hadis juga menyebutkan kalimat yang tidak dapat dipahami
lain selain Allah mewajibkan shadaqah atau zakat tersebut
kepada pemeluk agama Islam. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar
menyebutkan kewajiban zakat ini sebagai suatu kepastian
dalam agama Islam yang tidak dapat dipungkiri lagi. Dalil-
dalil tentang zakat sudah sangat banyak dan jelas
menegaskan kewajiban zakat. Dalil-dalil tersebut sangat
mudah diperoleh dan tidak perlu bersusah payah
menemukannya. Banyaknya dalil tersebut membuat para
ulama sepakat bahwa hukum zakat adalah wajib dan tidak ada
yang menyelisihinya. Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa
orang yang mengingkari kewajiban zakat termasuk dalam
kategori orang kafir karena telah mengingkari salah satu
rukun Islam. Kalau pun ada perbedaan di kalangan ulama,
maka hal itu terjadi pada hukum-hukum fikih yang sifatnya
rincian dari permasalahan zakat, bukan pada hukum asal
tentang kewajiban zakat itu sendiri (Al-Asqalany: 3/262).
6. Syarat-Syarat Wajib Zakat
Zakat merupakan rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh
setiap orang yang beragama Islam. Namun demikian, ada syarat-

20
syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menunaikan
kewajiban zakat, yaitu:
a. Beragama Islam
Zakat hanya diwajibkan bagi orang yang beragama
Islam. Orang yang beragama Islam disebut seorang muslim.
Setiap muslim wajib menunaikan zakat. Dengan demikian,
orang yang tidak beragama Islam tidak wajib menunaikan
zakat. Apabila mereka membayar zakat maka zakatnya tidak
sah.
b. Merdeka
Kewajiban zakat hanya diperuntukkan bagi seorang
seorang muslim yang merdeka dan berstatus sebagai budak.
c. Berakal dan baligh.
Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan di
antara ulama. Sebab perbedaannya terletak pada posisi zakat
yang merupakan kewajiban terkait dengan harta. Sebagian
ulama mengatakan bahwa kewajiban membayar zakat hanya
dikenakan bagi orang muslim yang merdeka, baligh, dan
berakal. Orang yang tidak berakal dan belum baligh tidak
wajib membayar zakat. Sebab, orang yang belum baligh dan
tidak berakal tidak wajib membayar zakat karena belum
terkena taklif agama.
Pendapat lain yang lebih rajih (kuat) mengatakan bahwa
anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan mengeluarkan zakat.
Akan tetapi kepada wali yang mengelola hartanya, diwajibkan
untuk mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat
berhubungan dengan hartanya.
7. Syarat Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya.
Dalam Islam, tidak semua harta yang dimiliki seorang
muslim wajib dikeluarkan zakatnya. Zakat hanya diambil dari
harta yang memiliki syarat-syarat tertentu. Hal ini karena zakat
dikeluarkan dari harta yang dimiliki oleh orang yang kaya dan
tidak menjadi tanggungan bagi orang lain. Artinya, orang yang
tidak mampu membayar zakat tidak mungkin dibebankan
kewajiban zakat. Bahkan sebaliknya, orang yang tidak mampu

21
memenuhi kebutuhannya maka bisa berhak mendapatkan zakat
atau menjadi mustahik zakat.
Berikut ini adalah syarat-syarat harta yang wajib dizakati,
yaitu:
a. Kepemilikan Penuh
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta
yang dimiliki secara penuh oleh orang Islam yang merdeka.
Maksud dari kepemilikan penuh di sini adalah benar-benar
berada di bawah kontrol dan kekuasannya, atau berada di
tangannya, tidak berkaitan dengan hak orang lain, dapat ia
pergunakan tanpa campur tangan pihak lain, dan manfaat dari
harta tersebut dapat dinikmatinya dengan tanpa syarat atau
ketentuan dari pihak lain.
Termasuk dalam syarat kepemilikan penuh adalah
berkaitan dengan cara memperolehnya. Harta yang dimiliki
secara penuh adalah harta yang didapat dengan cara yang
benar dan halal, seperti hasil usaha atau perdagangan yang
halal, harta warisan, atau hibah yang didapat secara benar.
Sebaliknya, harta yang diperoleh dengan cara yang tidak
benar, seperti hasil merampok, korupsi, atau mencuri,
merupakan harta yang tidak dimiliki secara penuh sehingga
tidak wajib dizakati. Harta yang diperoleh dengan cara
tersebut tidak akan berubah menjadi hak milik dan wajib
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah.
b. Harta Berkembang
Maksud dari dari harta berkembang adalah harta yang
bersifat produktif atau berpotensi produktif. Secara lebih
sederhana, harta berkembang adalah harta memberi atau
berpotensi memberi keuntungan atau pendapatan. Harta akan
produktif dan berkembang apabila dijadikan sebagai modal
usaha untuk meningkatkan nilanya, seperti usaha dalam
bidang perdagangan, pertanian, perkebunan, peternakan, atau
diinvestasikan dalam berbagai bidang investasi yang halal.
c. Mencapai Nishab
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta
yang telah mencapai nishab. Disebut mencapai nishab jika

22
harta tersebut telah melebihi batas minimum yang dapat
dikateogrikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Harta yang telah mencapai nishab dimasukkan dalam kategori
harta yang banyak dan harta yang belum mencapai nishab
dimasukkan dalam kategori harta yang sedikit. Demikian pula
pemiliknya, orang yang memiliki harta yang melebihi nishab
termasuk dalam kategori orang kaya sehingga wajib
mengeluarkan zakat apabila terpenuhi syarat-syarat lainnya.
Besarnya nishab tidak sama antara jenis harta yang satu
dengan lainnya. Penjelasan lebih rinci akan dibahas pada
macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
d. Melebihi Kebutuhan Pokok
Harta yang wajib dizakati adalah harta yang telah
melebihi kebutuhan pokok bagi orang yang memilikinya.
Secara sederhana, kebutuhan pokok dapat didefinisikan
sebagai kebutuhan minimum yang diperlukan untuk
keberlangsungan hidup seseorang. Standar dari kebutuhan
pokok adalah kelayakan hidup seseorang dalam lingkungan
orang tersebut. Orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokoknya diasumsikan dia tidak mampu menjalani
hidup secara layak karena kebutuhan hidup sehari-hari yang
bersifat primer tidak terpebuhi, seperti belanja untuk makan
dan minum, tempat tinggal, sarana transportasi, biaya
pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan pokok biasa disebut
kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM).
Secara teoritis, syarat ini hanya berlaku bagi umat Islam
yang memiliki penghasilan rendah atau di bawah standar
paling rendah di daerah tersebut. Sedangkan pada strata
masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi, maka syaratnya
adalah mencapai nishab seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Hal ini disebabkan standar kebutuhan pokok yang bisa jadi
sudah bergeser dan merambah pada jenis-jenis kebutuhan
yang pada masa dahulu tidak termasuk kebutuhan pokok.
Sebagaimana dirasakan oleh masyarakat modern yang selalu
dituntut oleh standar hidup tertentu, makna kebutuhan pokok
bagi kalangan ini bisa meliputi sarana tranportasi yang mahal,

23
biaya pendidikan yang tinggi, maupun gaya hidup yang
disesuaikan dengan pergaulan. Jika standar kebutuhan pokok
seperti ini yang ditetapkan, maka semakin banyak orang yang
merasa belum wajib membayar zakat karena belum mampu
memenuhi kebutuhan, atau lebih tepatnya, menuruti
keinginan dan gaya hidup mereka.
Oleh karena itu, pemahaman tentang zakat tetap perlu
disampaikan dengan benar dan tidak mengikuti pola
pemikiran yang bersifat relatif dan berbeda antara daerah
yang satu dengan lainnya. Kebutuhan pokok harus dimaknai
sebagai kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan,
bersifat primer, dan rutin. Selain itu, bagi mereka yang
sebenarnya telah mencapai nishab tapi enggan membayar
zakat karena merasa belum mampu memenuhi kebutuhannya,
perlu dijelaskan lagi fungsi atau manfaat zakat bagi mereka,
seperti membersihkan harta dari perkara-perkara yang
syubhat, membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang
mengotorinya, dan menumbuhkan barokah bagi rizki yang
telah dinikmati selama ini.
e. Terbebas dari Hutang
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta
yang terbebas dari hutang. Dalam hal ini, hutang dijadikan
sebagai pengurang zakat. orang yang memiliki sejumlah harta,
tai masih memiliki hutang, lalu bermaksud membayar zakat,
maka perhitungan zakatnya dilakukan dengan mengurangkan
besarnya hutang tersebut pada harta yang akan dizakati. Jika
harta tersebut menjadi di bawah nishab setelah dikurangi
hutang, maka harta tersebut menjadi tidak wajib zakat.
Sebaliknya, meskipun sudah dikurangi hutang dan hasilnya
masih di atas nishab, maka ia tetap terkena wajib zakat. Hal
ini disebabkan prinsip zakat yang hanya dibebankan kepada
orang-orang yang mampu saja. Orang yang memiliki hutang
dianggap orang yang tidak mampu sedangkan orang yang
terbebas dari hutang dan memiliki harta di atas nishab
dianggap orang mampu atau kaya. Selain itu, orang yang
berhutang memiliki kewajiban yang lebih urgen, yaitu

24
melunasi hutang-hutangnya terlebih dahulu. Di sisi lain, orang
yang tidak mampu membayar hutang justru termasuk
kategori orang-orang yang berhak menerima zakat atau
mustahik zakat karena sedang berada dalam kesulitan dan
berhak mendapatkan santunan.
f. Berlalu Satu Tahun atau Haul.
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta
yang sudah dimiliki selama satu tahun atau lebih. Satu tahun
yang dimaksud di sini adalah dua belas bulan berdasarkan
penanggalan Hijriyah atau Qamariah. Akan tetapi, syarat satu
tahun atau haul ini tidak berlaku bagi semua harta zakat.
Syarat ini hanya berlaku bagi harta zakat yang dapat
digolongkan sebagai “zakat modal”, yaitu zakat uang, emas,
perak, zakat barang dagangan, dan zakat peternakan.
Sedangkan jenis zakat yang termasuk dalam kategori “zakat
pendapatan”, seperti hasil pertanian, buah-buahan, zakat
madu, harta karun atau rikaz, serta harta-harta lain yang
dapat dianalogikan dengan jenis-jenis harta tersebut tidak
disyaratkan berlalu satu tahun. Termasuk dalam hal ini adalah
zakat profesi. Zakat profesi tidak disyaratkan berlalu satu
tahun karena waktu mengeluarkannya dianalogikan dengan
zakat pertanian.
8. Macam-macam Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Mengenai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, ulama
berbeda pendapat. Ada yang membatasinya pada empat macam
harta, yaitu nuqud yang terdiri dari emas dan perak, tanam-
tanaman dan buah-buahan, hewan ternak yang terdiri dari unta,
sapi, dan kambing, dan harta perdagangan. Pendapat lain
menyebutnya ada lima, yaitu dengan menambahkan satu jenis lagi
dari empat harta zakat tersebut. Jenis yang ditambahkan tersebut
adalah barang tambang dan barang temuan (rikaz).
Selain itu, ulama juga berbeda pendapat apakah macam-
macam harta zakat hanya terbatas pada apa yang sudah
disebutkan tersebut ataukah bisa dianalogikan sehingga
macamnya bisa diperluas dan mencakup berbagai macam harta
atau sumber penghasilan yang belum pernah dikenal sebelumnya.

25
Berikut ini penjelasan mengenai macam-macam harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya.
a. Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak termasuk jenis harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Syaratnya apabila telah mencapai
nishab dan telah berlalu satu tahun. Harta berbentuk emas
tetap dikeluarkan zakatnya meskipun berbentuk mata uang,
emas batangan, atau bentuk lain yang memenuhi syarat-syarat
wajib zakat.
Kewajiban zakat emas dan perak ini dijelaskan oleh
firman Allah SWT berikut ini:
ِ‫رش ُه‬ ِ ّ ِ‫ِاَّلى ََة َِوامْ ِفضَّ َ َِو َالًُِن ِف ُلوَنَ َ ِاِِف َِسخِِل‬
ْ ّ ِ َ‫ِاّللِفَخ‬ َّ ‫ون‬َ ‫َو َّ ِاَّل ٍَنٍَِ ْك ِ ُِن‬
‫ِ ِت َؾ َذ ٍاةِ َب ِم ٍِي‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih” (Q.S. At-Taubah (9) : 34).
Berikut ini ketentuan-ketentuan mengenai zakat emas
dan perak:
1) Termasuk dalam kategori zakat emas dan perak adalah
zakat perhiasan.
2) Para ulama sepakat atas wajibnya zakat atas perhiasan
yang terbuat dari emas yang dipakai oleh laki-laki,
meskipun mereka sendiri diharamkan hukumnya
memakai perhiasan tersebut.
3) Hukum zakat emas dan perak juga berlaku terhadap emas
atau perak yang dijadikan sebagai bejana yang dijadikan
sebagai tempat makan atau minum, ataupun sebagai
pajangan.
4) Mayoritas ulama berpendapat bahwa perhiasan yang
dipakai wanita selain emas dan perak, seperti intan,
mutiara, dan permata hukumnya tidak wajib dizakati.
Menurut mereka, perhiasan selain emas dan perak
termasuk benda yang tidak berkembang dan dipakai

26
hanya untuk sekedar perhiasan dan kesenangan yang
diizinkan Allah.
Dalilnya adalah firman Allah dalam surat an-Nahl : 14
ِ‫اِوتََِرى‬ َ ‫يَِس ََّرِامْ َح ْح َرِ ِمتَبِ ُ ُُكو ْاِ ِمنْوُِم َ ْح ًم‬
َ َ َ‫اِط ِر اًّي َِوت َ ْس تَ ْخ ِر ُجو ْاِ ِمنْوُِ ِحوْ ََ ً ِتَوْخَ ُسوَن‬ َ ‫ِاَّل‬ ِ َّ ‫َوى َُو‬
َِ ‫ْلِ َم َوا ِخ َرِ ِفِ ِو َِو ِمتَخْتَ ُغو ْاِ ِمنِفَضْ ِ ِِل َِوم َ َؾو َّ ُ ُْكِت َ ْش ُك ُر‬
‫ون‬ َ ْ ‫امْ ُف‬
“Dan dia-lah, Allah yang menundukkan lautan
(untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging
yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera
berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (Q.S. An-Nahl
(16) : 14).
b. Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak termasuk jenis harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. dalilnya adalah firman Allah:
ِ‫ون َومَ ُُِْك‬
َِ ‫َوا َألهْ َؾا َمِ َخوَلَيَاِمَ ُ ُْكِ ِفْيَاِ ِد ْص ٌء َِو َمنَا ِف ُػ َِو ِمْنْ َاِتَبِ ُ ُُك‬
َِ ‫ْس ُح‬
‫ون‬ َ ْ َ ‫ون َِو ِح َنيِت‬ َ ‫اَِجا ٌلِ ِح َنيِتُ ِر ُُي‬ َ َ َ‫ِفْي‬
ِ‫َو َ َْت ِم ُلِبَجْلَامَ ُ ُْكِا ََلِت َ َ ٍَلِم َّ ْمِتَ ُكوهُو ْا ََِب ِم ِغَ ِوِاالَِّث ِِش ّ ِقِا َأله ُف ِس‬
ّ ّ
‫ِر َّ ُ ُْكِم َ َر ُؤ ٌوص َِّر ِح ٌِي‬
‫ا َّن َ ج‬
ّ
“Dan dia telah menciptakan binatang ternak untuk
kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-
bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup
sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran
(yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-
benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-Nahl
(16) :5-7).
Jenis hewan ternak yang disepakti oleh para ulama
mengenai kewajiban zakatnya adalah unta, sapi dan domba.

27
Selain tiga jenis hewan tersebut menjadi bahan perbedaan
ulama. Misalnya, kuda, apakah wajib dikeluarkan zakatnya?
Ulama berbeda pendapat. Mazhab Hanafi mengatakan kuda
termasuk hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan mazhab Syafii dan mazhab Maliki mengatakan
kuda tidak termasuk hewan yang wajib dizakati. Begitu pula
dengan kerbau, sebagian ulama mengatakan kerbau termasuk
hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya karena dianalogikan
dengan sapi.
Sebagaimana diketahui, pada zaman sekarang ini
konsep hewan ternak sudah berkembang pesat dan meliputi
jenis-jenis hewan yang pada masa lalu tidak populer
diternakkan secara massal. Saat ini kita mengenal peternakan
ayam, bebek, ikan, dan sejenisnya. Kebutuhan akan daging
dari hewan-hewan tersebut saat ini sangat banyak seiring
dengan pesatnya perkembangan bisnis kuliner di berbagai
belahan dunia. Menyikapi hal ini, hewan-hewan tersebut tidak
termasuk dalam kategori zakat hewan ternak sebagaimana
sapi, unta, dan kambing. Zakat pada hewan-hewan tersebut
jika memang pada mulanya direncanakan sebagai bisnis
peternakan maka masuk dalam kategori zakat perdagangan.
c. Zakat Pertanian
Hasil pertanian merupakan salah satu harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah ayat: 267, yaitu:
ِ‫اثِ َماِ َن َسخْ ُ ُْت َِو ِم َّماِ َبخ َْر ْجنَاِمَ ُُكِ ِ ّم َنِا َأل ْر ِض َِو َال‬ ِ َّ َ ‫ًَّيِ َبُّيل‬
َ ‫اِاَّل ٍَنِب ٓ َمنُو ْاِ َبه ِف ُلو ْاِ ِم‬
ِ ‫نِط ِ َّ َح‬
َ ّ ‫ون َِوم َ ْسِ ُُتِ ِتب ٓ ِخ ِذً ِوِاالَِّ َبنِتُ ْغ ِمضُ و ْاِ ِفِ ِو َِوا ْؽوَ ُمو ْاِ َب َّن‬
ِ‫ِاّللِغَ ِ ٌِّن‬ َ ‫ُِثِ ِم ْنوُِتُن ِف ُل‬ َ ‫تَ ََ َّم ُمو ْاِامْ َخح‬
ّ
ٌَِ َ‫َ ِْح‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata

28
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 267).
Dalam hadis Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda:
ُ ْ ‫ونِ َب ْو ََِك َنِؽَ َ َِث اًّيِامْ ُؾ‬
ِ،ِ‫رش‬ ُ َُ ‫ِامس َما ُء َِوامْ ُؾ‬ َ َ ‫ِفمي‬
َّ ‫اِسلَ ِت‬
ِِ ْ ‫اِس ِل َى َِِبمنَّضْ ِحِ ِه ْص ُفِامْ ُؾ‬
‫رش‬ ُ ‫َو َم‬
“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan
mata air atau dengan air tada hujan, maka dikenai zakat 1/10
(10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan
biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%) (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kewajiban mengenai zakat pertanian merupakan
kewajiban yang disepakati oleh para ulama. Namun, ulama
berbeda pendapat mengenai jenis-jenis tanaman apa saja yang
wajib dizakati. Dalam riwayat sahabat Nabi SAW, Ibnu Umar
ra dan sekelompok sahabat dan tabiin berpendapat bahwa
zakat pertanian hanya diwajibkan pada empat jenis makanan
pokok, yaitu: yaitu gandum, jagung, kurma dan anggur.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki,
zakat pertanian meliputi tanaman yang menjadi makanan
pokok yang dapat disimpan, seperti kurma, gandum, jagung
dan padi. Dalam mazhab Hambali, zakat pertanian wajib
dikeluarkan pada setiap tanaman atau buah-buahan yang
dapat mengering, tahan lama, dan dapat ditakar atau
disimpan.
Mazhab yang paling luas dalam menjelaskan jenis zakat
pertanian adalah mazhab Hanafi. Menurut mazhab ini, semua
jenis tanaman yang tumbuh dibumi, ditanam manusia, dan
mempunyai nilai termasuk jenis harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
d. Zakat Perdagangan
Harta perdagangan termasuk harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 267, yaitu:
ِ‫اثِ َماِ َن َسخْ ُ ُْت َِو ِم َّماِ َبخ َْر ْجنَاِمَ ُُكِ ِ ّم َنِا َأل ْر ِض‬ ِ َّ َ ‫ًَّيِ َبُّيل‬
َ ‫اِاَّل ٍَنِب ٓ َمنُو ْاِ َبه ِف ُلو ْاِ ِم‬
ِ ‫نِط َِّ َح‬

29
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kalian”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 267).
Kewajiban mengenai zakat harta perdagangan
merupakan kewajiban yang disepakati oleh para ulama. Hanya
saja, mereka berbeda pendapat mengenai syarat-syarat harta
yang termasuk harta perdagangan.
Dalam mazhab Hambali, syarat zakat perdagangan ada
dua, yaitu (1) harta tersebut diperoleh melalui kegiatan
perdagangan yang riil, seperti praktik jual beli, dan (2) orang
yang mendapatkan harta tersebut sejak awal memang
memiliki niat untuk memperdagang-kannya.
Menurut mazhab Hanafi, syarat zakat harta
perdagangan terdiri dari empat syarat, yaitu telah mencapai
nishab, berlalu satu tahun, diperoleh dari praktik perdagangan
yang riil, dan harta tersebut tergolong harta yang layak
dijadikan obyek perdagangan.
Ulama juga berbeda pendapat mengenai kapan
disyaratkannya nishab pada harta perdagangan, yaitu apakah
di awal, di tengah, di akhir, atau sepanjang masa penghitungan
zakat? mazhab Syafii dan Maliki menyatakan kewajiban
nishab hanya berlaku pada akhir tahun saja. Alasannya, harta
perdagangan mengalami proses yang ada kalanya menjadi
sulit untuk mensyaratkan nishab sepanjang tahun.
Mazhab Hambali menyatakan penghitungan nishab
wajib dilakukan sepanjang tahun. Apabila pada terjadi
penurunan jumlah hartanya sehingga di bawah nishab pada
tahun tersebut, maka kewajiban zakat perdagangan menjadi
gugur.
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa perhitungan nishab
dihitung pada awal dan akhir tahun. Harta perdagangan
menjadi wajib zakat apablia pada awal tahun dan akhir tahun,
jumlah harta tersebut mencapai nishab, meskipun pada
pertengahan tahun jumlahnya di bawah nishab.

30
e. Harta Hasil Tambang
Harta pertambangan termasuk harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 267, yaitu:
ِ‫اثِ َماِ َن َسخْ ُ ُْت َِو ِم َّماِ َبخ َْر ْجنَاِمَ ُُكِ ِ ّم َنِا َأل ْر ِض‬ ِ َّ َ ‫ًَّيِ َبُّيل‬
َ ‫اِاَّل ٍَنِب ٓ َمنُو ْاِ َبه ِف ُلو ْاِ ِم‬
ِ ‫نِط َِّ َح‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kalian”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 267).
Harta hasil tambang merupakan harta yang diambil dari
dalam perut bumi. Harta ini sama dengan harta hasil bumi
lainnya, seperti tanaman dan buah-buahan. Harta hasil
tambang bisa berupa emas, perak, batubara, granit, belerang,
minyak bumi, dan lainnya. Besarnya zakat dari harta hasi
tambang adalah 2,5 %.
9. Mustahik Zakat
Istilah mustahiq tidak disebutkan dalam ayat maupun hadis.
Istilah ini lahir dari kajian fikih. Istilah lain yang digunakan untuk
menjelaskan kata ini adalah masharifuz zakat. Kata mustahiq
dimaksudkan sebagai pihak-pihak yang berhak menerima zakat.
Dalam kajian fikih zakat Indonesia, kata mustahiq sering diartikan
sebagai sasaran zakat.
Adapun ayat yang membahas tentang mustahiq zakat
adalah Surat At-Taubah ayat 60, Allah berfirman:
َ َ ْ‫اثِ ِنوْ ُفلَ َرا ِء َِوامْ َم َسا ِننيِ َِوامْ َؾا ِمِِو َنيِؽَوَْي‬
ِ ّ ‫اِوامْ ُم َؤمَّفَ ِ ِكُوُوُبُ ُ ْم َِو ِِف‬
ِ‫ِامركَ ِاة‬ ُ َ‫اِامصََ ك‬
َّ ‫اه َّ َم‬
ّ
‫اّللِؽَ ِو ٌيِ َح ِك ٌِي‬ ِ َّ ‫ِامسخِِلِ ِفَ ِرًضَ ً ِ ِم َن‬
ُ َّ ‫ِاّلل َِو‬ َّ ْ َ‫ن‬ ِ ‫ج‬ ‫ا‬‫ِو‬ ِ
‫ِاّلل‬
َّ ِ‫ِِل‬ ‫خ‬‫ِس‬ َ َ ‫ِف‬ِ ‫ِو‬‫ني‬
َ ِ
‫م‬ ‫َار‬
ِ ‫غ‬ْ ‫م‬ ‫ا‬‫و‬َ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(al-Taubah: 60)

31
Ayat tersebut menggunakan kata “shadaqah” atau sedekah.
Akan tetapi, sedekah yang dimaksud adalah sedekah wajib, yaitu
zakat (al-Maraghi, 1974: 10/142).
Kata “innama” atau ‫ ِإنَّ َما‬di dalam kaidah bahasa Arab adalah
bentuk hashr (pembatasan) dan al pada ‫اث‬ ُ َ‫ص َدل‬
َّ ‫ ال‬adalah lil jinsi
(menunjukkan jenis). Hal ini berarti bahwa sedekah ini (zakat)
terbatas atas delapan asnaf yang telah disebutkan dalam ayat ini
dan tidak boleh didistribusikan kepada selain delapan asnaf ini.
Selain kelompok tersebut tidak termasuk mustahiq zakat
mengambil zakat sehingga tidak dibolehkan mengambil bagian
dari harta zakat. Jika ia telah mendapatkannya atau telah
mengambilnya, maka wajib mengembalikannya.
Berikut ini uraian mengenai delapan kelompok tersebut,
khususnya dalam tinjauan tafsir dan didukung dengan praktik
historis umat Islam.
a. Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha
untuk menutupi kebutuhannya. Dalam tafsir al-Maraghi
(1974: 10/142), orang fakir adalah orang memiliki harta yang
sedikit. Kata sedikit dalam konteks ini adalah kurang dari satu
nishab.
b. Miskin orang yang memiliki pekerjaan atau penghasilan
namun kurang dari/tidak mencukupi kebutuhannya. Dalam
tafsir al-Maraghi (1974: 10/142), kata miskin diartikan
sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa, sehingga dia akan
meminta-minta untuk memenuhi keutuhan hidup seperti
makanan dan pakaian. Dalam tafsir al-Manar, Abduh (t.th:
10/490) menjelaskan panjang lebar tentang fakir dan miskin.
Banyak pendapat tentang definisi keduanya, termasuk
manakah di antara keduanya yang keadaannya lebih buruk1.

1 Menurut mazhab Hanafiyah, fakir adalah orang yang memiliki harta kurang dari
satu nishab sedangkan miskin adalah orang tidak memiliki harta sama sekali
sehingga dia perlu meminta-minta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (al-
Jazairy, t.th.: 1/621). Berbeda degan mazhab Syafii yang mengatakan bahwa
orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali dan tidak
memiliki pekerjaan yang halal atau memilikinya tetapi tidak mencukupi,
misalnya kurang dari separuh dari batasan kecukupan untuk orang sebayanya.
Sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan pekerjaan yang

32
Selain itu, mayoritas ulama menyatakan bahwa keduanya
adalah dua kelompok yang berbeda sedangkan pilihan penulis
al-Manar sendiri menyatakan bahwa keduanya berbeda secara
istilah tetapi masuk dalam satu kelompok. Dalam konteks saat
ini, fakir dan miskin sering disebut dengan istilah kaum
dhuafa atau kaum yang lemah.
c. ‘Amil adalah orang yang bekerja dan pengumpul yang diutus
oleh pemimpin untuk mengumpulkan zakat, mereka diberi
seukuran kebutuhan mereka sebagai upah atas pekerjaan
mereka, mereka diberi zakat walaupun orang kaya. Dalam
tafsir al-Maraghi (1974: 10/142), kata amil adalah orang yang
diberi tugas oleh negara atau wakilnya untuk mengumpulkan
harta zakat dari orang-orang kaya atau muzakki. Kata amil,
menurut Sayyid Sabiq (1997: 1/327), meliputi orang-orang
yang terlibat dalam pengelolaan zakat, seperti para penjaga
harta zakat, penggembala hewan ternak yang merupakan
hewan zakat, dan para penulis dalam dewan zakat. Para amil
yang berhak mendapatkan harta zakat disyaratkan harus
beragama Islam dan tidak termasuk kelompok yang
diharamkan menerima sedekah, seperti keturunan Nabi SAW,
yaitu Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Sayyid Sabiq
(1997: 1/328) juga menyatakan bahwa hak amil dari zakat ini
seyogyanya mencapai batas kecukupan yang layak.
d. Al-muallafatu qulubuhum, yaitu sekelompok kaum yang
diharapkan akan memeluk agama Islam, atau menguatkan
keyakinan bagi mereka yang masih lemah imannya, atau yang
diharapkan akan mencegah kejahatan mereka, atau dapat
menolong dan membantu umat Islam (al-Maraghi, 1974:
10/143).
Al-Maraghi (1974: 10/143) membagi kelompok al-
muallafatu qulubuhum ini menjadi tiga kategori2, yaitu:

halal tetapi tidak mampu mencukupinya, misalnya hanya mampu mencukupi


separuh kebutuhannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi batas kecukupan bagi
orang sebaya pada umumnya (al-Jazairy, t.th.: 1/625).
2 Muhammad Abduh (t.th.: 10/494) membagi kelompok ini menjadi enam. Dua

kelompok merupaka orang kafir dan empat kelompok dari orang Islam. Selain
tiga kelompok dalam pembagian al-Maraghi, Muhammad Abduh menambahkan

33
1) Kelompok orang kafir yang diharapkan akan memeluk
agama Islam seperti Shafwan bin Umayyah3.
2) Kelompok orang Islam yang masih lemah imannya dan
diharapkan dapat memperteguh keyakinan4.
3) Kelompok orang-orang Islam yang tingal di wilayah yang
berbatasan dengan musuh-musuh Islam, karena
diharapkan akan memberikan pertolongan dan bantuan
ketika musuh menyerang umat Islam (al-Maraghi, 1974:
10/144).
e. Hamba sahaya atau hamba sahaya yang memiliki perjanjian
dengan tuannya untuk dibebaskan jika mereka membayar
uang pembebesan mereka5. Harta zakat juga diberikan untuk
membeli budak agar bisa menjadi merdeka dan bergaul
dengan orang lain sebagaimana orang-orang merdeka lainnya
(al-Maraghi, 1974: 10/144).
f. Al-Gharim, yaitu orang yang terbelit dengan utang dan mereka
tidak memiliki harta yang cukup untuk melunasi utang
mereka (al-Maraghi, 1974: 10/144). Termasuk dalam kategori
al-gharimin adalah mereka yang memikul beban berat, atau
menanggung utang yang wajib dibayarnya sehingga
melunaskan hartanya, atau dia bangkrut untuk membayar

penerima zakat dari kelompok ini adalah para pemimpin kabilah muslim karena
kedudukan mereka, meskipun Islamnya baik. Zakat juga bisa diberikan kepada
kelompok muslim yang membutuhkan zakat dan mengancam keamanan jika
tidak diberi zakat. Dalam kategori ini, kadiahnya adalah mengambil dharar yang
lebih ringan. Sedangkan dari kelompok kaum kafir, zakat boleh diberikan kepada
orang kafir yang diharapkan bisa memeluk agama Islam dan kaum kafir yang
dengan diberikan zakat kepada mereka, umat Islam dapat terhindar dari
kejahatannya (Abduh, t.th.: 10/495).
3 Shofwan diberikan jaminan rasa aman pada saat penaklukan Kota Mekkah dan

diberi waktu selama empat bulan untuk menentukan pilihan. Dia juga diberi
sejumlah harta. Pada akhirnya, Shofwan memeluk agama Islam dan mengatakan,
“Demi Allah, dia (Muhammad) telah memberikan (harta) kepadaku, padahal dia
adalah orang yang paling aku benci. Dia terus saja memberiku, sampai akhirnya
dia menjadi orang yang paling aku cintai” (al-Maraghi, 1974: 10/144)
4 Seperti pemberian harta yang sangat banyak kepada orang-orang kafir di

Mekkah yang kemudian masuk Islam setelah peristiwa Fathu Mekkah. Mereka ini
disebut dengan istilah “ath-Thulaqa” atau orang-orang yang bebas. Di antara
mereka ada yang termasuk kategori kaum munafik dan dha’iful iman, kemudian
semakin yakin dan mantap dengan keislamannya (al-Maraghi, 1974: 10/144).
5 Mereka disebut al-Mukatabah (al-Maraghi, 1974: 10/144).

34
utangnya, atau dia menghabiskan hartanya dalam
kemaksiatan, kemudian dia bertobat.
g. Fi sabilillah atau di jalan Allah. Yang dimaksud “jalan Allah”
adalah jalan yang mengantarkan seseorang untuk
mendapatkan ridha Allah (Sabiq, 1977: 1/333). Secara
spesifik, kelompok ini adalah para mujahid dan orang-orang
yang berperang dalam rangka membela agama Allah dan tidak
mendapatkan hak/upah dari negara (al-Maraghi, 1974:
10/145). Mereka diberi zakat walaupun kaya untuk
menyemangati mereka dalam berjihad6. Berkaitan dengan
makna jihad ini, zakat boleh disalurkan untuk membangun
rumah sakit militer, perlengkapan perang seperti pesawat
tempur, senjata, kendaraan lapis baja, dan kebutuhan lainnya
yang digunakan untuk kepentingan jihad atau perang dalam
rangka membela agama Islam (Sabiq, 1977: 1/334). Selain itu,
kata fi sabilillah secara umum meliputi semua kegiatan yang
membawa maslahat bagi umat manusia, seperti mengkafani
jenazah, membangun jembatan, benteng pertahanan,
memakmurkan masjid, dan lain sebagainya (al-Maraghi, 1974:
10/145). Menurut Sabiq (1997: 1/334), termasuk kebutuhan
mendesak yang dibiayai oleh zakat pada masa sekarang ini
adalah menyiapkan para dai dan mengirim mereka ke daerah-
daerah yang belum banyak pengikut agama Islam di sana.
Termasuk dalam kategori fi sabilillah adalah biaya untuk
menyelenggarakan lembaga pendidikan yang mengajarkan
ilmu-ilmu yang bermanfaat, baik ilmu agama maupun ilmu

6 Dalam konteks ini, sebagian orang memasukkan orang-orang yang menjalankan


ibadah haji dalam kelompok ini karena terdapat hadis yang menyatakan bahwa
orang yang berjalan menuju Baitullah dalam rangka ibadah haji adalah fi
sabilillah (HR. Ahmad). Sabiq (1997: 1/333), tidak sepakat memasukkan ibadah
haji dalam konteks fi sabilillah, meskipun hadis tersebut menyatakan fi sabilillah.
Alasannya, ibadah haji berkaitan dengan kemampuan seseorang. Sedangkan
menurut Al-Maraghi (1974: 10/145), berkaitan dengan urusan haji ini, hanyalah
berkaitan dengan urusan yang merupakan tugas dari pemangku agama dan
negara, bukan seperti biaya haji yang sifatnya kewajiban pribadi. Sehingga, kata
fi sabilillah dalam konteks haji meliputi jaminan keamanan dalam perjalanan
haji, persediaan makanan dan minuman, layanan kesehatan, dan lainnya,
khususnya jika untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ditemukan sumber
dana yang lain (Abduh, t.th.: 10/504).

35
umum. Dana fi sabilillah juga disalurkan kepada para pengajar
di lembaga-lembaga pendidikan tersebut selama mereka
menjalankan tugas tersebut secara profesional dan tidak
memungkinkan untuk melakukan perkerjaan lain. Akan tetapi,
dana zakat tidak diberikan kepada ahli ilmu yang kaya,
semata-mata karena mengajarkan ilmu tersebut, meskipun
banyak orang yang mengambil manfaat dari ilmu yang telah
diajarkannya tersebut (Sabiq, 1997: 1/334).
Berdasarkan uraian di atas, makna fi sabilillah termasuk
permasalahan yang mendapatkan banyak perhatian dari ulama
Islam. Di antara mereka ada yang memberikan arti yang sempit
dan sebagian lainnya memberikan arti yang luas. Batasan makna
fi sabilillah dalam arti sempit adalah berorientasi bagi mereka
yang berjuang di jalan Allah dengan jalan berperang (ghazwah
atau al-qital). Ini adalah makna yang sangat mungkin serta sesuai
dengan kondisi masa itu dan perlu diperbaharui. Sebaliknya, bagi
yang memaknai secara luas adalah mencakup seluruh
kepentingan yang bermanfaat bagi umat manusia.
Di antara dua kutub yang memperluas dan mempersempit
itu ada penengah yang menggabungkan keduanya, yaitu tetap
membatasi makna fi sabilillah dalam konteks berjihad, namun
memperluas makna jihad itu sendiri sehingga tidak terbatas
hanya pada perang secara konvensional. Jihad yang dimaksud bisa
dalam bentuk tulisan, lisan, pemikiran, pendidikan, sosial, budaya
serta politik yang kesemuanya itu digunakan untuk keagungan
Islam. Fi sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum mencakup
segala amal perbuatan ikhlas, yang dipergunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala
perbuatan wajib, sunat, dan berbagai macam kebaikan lainnya (al-
Qaradawy, 2006: 610). Termasuk dalam makna fi sabilillah adalah
mempersiapkan dai-dai muda yang kuat dan cerdas untuk
menegakkan agama Allah dan melemahkan argumentasi orang-
orang yang ingin menghancurkan Islam (al-Qaradawy, 2006:
624).

36
h. Ibnu sabil yaitu orang yang melakukan perjalanan jauh atau
musafir yang kehabisan bekal pada perjalanannya tersebut,
meskipun sebenarnya dia termasuk orang mampu atau kaya
di tempat tinggalnya. Ibnu sabil diberikan hak zakat untuk
membantunya kembali ke tempat tinggalnya (al-Maraghi,
1974: 10/145). Berkaitan dengan kelompok ini, al-Maraghi
(1974: 10/145) membahas urusan “as-siyahah” atau
berwisata. Menurutnya, dana zakat boleh digunakan untuk
menopang kegiatan wisata ini dengan syarat bukan
merupakan perjalanan maksiat. Selama kegiatan wisata
dilakukan dalam konteks yang benar, maka membantunya
termasuk dalam kategori ta’awun dalam hal kebaikan dan
takwa (al-Maraghi, 1974: 10/145). Tetapi, perlu juga
dipertimbangkan bahwa kondisi zaman sekarang
berpengaruh dalam konteks ibnu sabil ini. Misalnya, seorang
musafir telah kehabisan bekal dalam perjalanannya, tetapi dia
memiliki akses untuk mendapatkan bekal tambahan melalui
layanan transfer atau lainnya, sehingga orang kaya, kapanpun
dan dimanapun berada, dia akan mudah untuk mendapatkan
hartanya (al-Maraghi, 1974: 10/145).
Berdasarkan urian di atas, dapat disimpulkan bahwa
mustahiq zakat telah dijelaskan secara tegas dalam Alquran, yaitu
surat al-Taubah ayat 60, yaitu delapan asnaf (kelompok atau
golongan). Makalah ini juga menyimpulkan bahwa zakat hanya
boleh diberikan kepada kelompok-kelompok tersebut dan tidak
boleh ditasarufkan kepada yang lain. Dalam kajian tafsir mengenai
ayat tersebut, para mufassir menjelaskan secara beragam
mengenai kriteria masing-masing asnaf tersebut. Kitab-kitab tafsir
yang menjadi referensi bagi makalah ini memberikan pemahaman
kepada kita tentang makna yang sangat luas bagi kriteria masing-
masing asnaf tersebut, khususnya bagi kelompok yang sering
menjadi bahan polemik seperti makna fi sabilillah.

37
C. Infak dan Sedekah sebagai Instrumen Filantropi Islam
Kata infak berasal dari bahasa Arab, yaitu anfaqa-yunfiqu-
infaq, yang berarti membelanjakan (Munawwir, 2002: 1449).
Dalam terminologi Islam, kata infak berarti membelanjakan harta
untuk kebaikan yang diperintahkan Allah. Kata infak biasa
disandingkan dengan fi sabilillah (di jalan Allah) sebab kata ini
merupakan terminologi agama Islam yang dimaksudkan untuk
menjalankan perintah agama. Dari segi jenisnya, infak dibagi
menjadi dua, yaitu infak wajib dan infak sunnah. Infak yang
diwajibkan agama adalah nama lain dari zakat sedangkan infak
sunnah adalah infak yang dikeluarkan secara suka rela sebagai
bentuk rasa syukur seorang muslim atas karunia yang Allah
berikan kepadanya. Istilah infak wajib juga bisa disematkan
kepada kewajiban membayar sejumlah harta yang ditetapkan oleh
lembaga tertentu kepada anggotanya yang akan digunakan untuk
kebaikan bersama.
Berbeda dengan zakat yang memiliki ketentuan-ketentuan
khusus, infak bersifat sangat fleksibel, baik dari segi jenis harta,
besarnya infak, maupun penyalurannya. Infak tidak mengenal
batas minimal atau nishab sebagaimana zakat, sehingga orang
bisa berinfak sesuai kemampuannya, baik oleh orang kaya
maupun orang miskin. Infak juga bisa dikeluarkan pada saat
kondisi lapang maupun sempit. Demikian pula, infak tidak
mengenal istilah mustahik seperti zakat sehingga penyaluran
infak bisa lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan atau program
yang diprioritaskan.
Terminologi sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti
benar (Munawwir, 2002: 770). Kaitannya dengan keimanan,
sedekah merupakan bukti yang membenarkan keimanan
seseorang. Iman berada dalam hati dan tidak dapat dibuktikan
secara lahiriah. Salah satu bukti keimanan itu diwujudkan dalam
bentuk sedekah.
Secara teoritis, sedekah bisa dibagi menjadi dua, yaitu
sedekah wajib dan sedekah sunnah. Sedekah wajib sama dengan
infak wajib, yaitu zakat. Sedangkan sedekah sunnah sama dengan
infak sunnah. Perbedaan antara sedekah dan infak adalah pada

38
jenis obyek sedekah yang dikeluarkan. Sedekah memiliki arti yang
lebih luas dari infak, sebab infak hanya berupa materi sedangkan
sedekah bisa berupa materi dan non materi. Namun dalam
praktiknya, sedekah yang berupa materi biasanya diberikan
kepada orang-orang miskin sedangkan infak biasanya dikaitkan
dengan donasi yang diberikan kepada kepentingan agama yang
lebih bersifat luas, seperti infak untuk pembangunan masjid,
sekolah, panti asuhan, pondok pesantren, dan lain sebagainya.
Islam menganjurkan umatnya agar banyak bersedekah.
Banyak hikmah yang ditawarkan agama bagi orang yang
bersedekah. Bahkan, sedekah diklaim sebagai solusi bagi
permasalahan yang dihadapi seseorang. Sebagai contoh, orang
yang tidak menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, maka orang
tersebut dianjurkan untuk banyak bersedekah agar kebahagiaan
hidupnya kembali.
1. Definisi Sedekah
Sedekah atau shadaqah merupakan istilah dalam bidang
filantropi yang sangat populer di kalangan umat Islam. Kata
sedekah berasal dari bahasa Arab, yaitu “ash-shadaqatu” atau
“‫ ” الصدلت‬yang berarti pemberian atau derma. Secara etimologi
Bahasa Arab, kata tersebut berasal dari kata dasar “sha-da-qa”
atau “‫ ”صدق‬yang berarti jujur atau benar.
Di antara makna sedekah dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Sedekah merupakan suatu pemberian yang diberikan oleh
seorang kepada orang lain secara spontan dan sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu.
b. Sedekah merupakan suatu pemberian yang diberikan oleh
seseorang sebagai amal shaleh untuk mengharap ridha Allah
SWT semata.
c. Sedekah merupakan pemberian kepada orang lain yang
menjadi bukti bagi kebenaran keimanan seseorang dan
menunjukkan kebenaran pengham-baan seseorang
kepada Allah SWT.
d. Sedekah juga diartikan memberikan sesuatu yang berguna
bagi orang lain yang memerlukan bantuan (fakir-miskin)
dengan tujuan untuk mendapat pahala. (Shadiq, 1988:
289)
39
Dari segi obyek pemberian, sedekah memiliki cakupan yang
sangat luas karena tidak hanya bersifat materi semata, tetapi juga
meliputi pemberian yang sifatnya non materi. Sedekah juga tidak
mengenal waktu, jumlah, bentuk, dan penerima manfaat sedekah.
Setiap kebaikan akan dianggap nilai sedekah, baik manfaatnya
dirasakan oleh sesama manusia ataupun makhluk Allah lainnya.
Bahkan sedekah akan dianggap nilai kebaikan meskipun penerima
sedekah tidak diketahui dan tidak membutuhkan sedekah itu.
Makna sedekah seperti ini dapat ditemui dalam hadis Nabi
SAW yang menjelaskan luasnya konsep sedekah, yaitu:
ِ ٌ َ‫لَِت ِمَََ ٍت ََََِ ك‬ْ َ ‫ُكِت َ ْسخِِ َح ٍ ََََِ كَ ٌ ِ َو ُك‬‫ِك ُِس َال َمىِ ِم ْنِ َب َح َِ ُ ُْك ََََِ كَ ٌ ِفَ ُ ل‬ ّ ِ ُ ‫ً ُ ْصح ُِحِؽَ ََل‬
ِ‫وص ََََِ كَ ٌ َِوَنَ ْ ٌييِ َؼ ْنِامْ ُم ْن َك ِر‬
ِ ‫كِتَ ْكد َِْي ٍت ََََِ كَ ٌ َِو َب ْم ٌر َِِبمْ َم ْؾ ُر‬ ٍ َ ‫َو ُكلَِتَ ْ ِو‬
‫ََل ََََِ كَ ٌ َِو ُ ل‬
‫ََََ كَ ٌ َِو ُ ْجیزِئُ ِ ِم ْنِ َذ ِ َِل َِر ْن َؾتَ ِانٍَِ ْر َن ُؾيُ َماِ ِم ْنِامضل َحى‬
“Hendaklah masing-masing kamu bersedekah untuk setiap
ruas tulang badanmu pada setiap pagi. Sebab tiap kali bacaan
tasbih itu adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap
tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh
kepada yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah yang mungkar
adalah sedekah. Dan sebagai ganti dari semua itu, maka cukuplah
mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.” (HR Muslim).
Lebih luas lagi, sedekah dijelaskan dalam sebuah hadis
adalah sesuatu yang ma’ruf atau kebajikan. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW dalam riwayat Bukhari (Al-Bukhari, 2000: 79)
dari Jabir ra, Rasulullah SAW bersabda:
ِ ٌ َ‫وص ََََِ ك‬
ٍ ‫كِ َم ْؾ ُر‬
‫ُل‬
“Setiap kebaikan adalah sedekah.”
Berdasar ini hadis ini, semua bentuk kebajikan termasuk
sedekah, seperti mencegah diri dari maksiat, amar ma’ruf nahi
mungkar, bahkan tersenyum pun merupakan sedekah
sebagaimana hadis Nabi SAW dari
Abu Dzar ra, Rasulullah SAW bersabda:
َ ‫تَخَ لس ُم َم ِِِف َِو ْج ِوِ َب ِخ‬
َِ َ ‫ِم‬
ٌِ َ‫ِِلِ ََََ ك‬

40
“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim)
adalah (bernilai) sedekah bagimu (HR. Tirmizi).
Meskipun demikian, secara istilah, sedekah merupakan
yang bersifat materi yang diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan, kaum dhuafa, orang-orang fakir, miskin, dan
pihak-pihak lain yang berhak menerimanya dengan tanpa disertai
imbalan.
Secara umum, hukum sedekah adalah sunnah dan
dimaksudkan untuk meningkatkan kedekatannya kepada Allah.
Sedangkan dalam terminologi yang lebih spesifik, sedekah juga
mengenal istilah sedekah wajib. Namun yang dimaksud dengan
sedekah wajib adalah zakat seperti dijelaskan pada bab khusus
mengenai zakat sebagai instrumen filantropi Islam (al-Zuhaili,
1996: 916).
Jika hukum asal sedekah adalah sunnah, maka sedekah
adakalanya menjadi wajib dan bisa jadi menjadi haram.
Sedekah menjadi wajib bagi pemberi sedekah yang
mendapati orang lain yang sedang dalam keadaan darurat dan
benar-benar membutuhkan bantuan dalam bentuk sedekah,
sementara pada saat itu pemberi sedekah sedang berada dalam
keadaan lapang dan memiliki sejumlah harta yang cukup atau
melebihi dari kebutuhan pokoknya. Sedekah menjadi wajib
apabila terjadi keadaan darurat dan pemberi sedekah dalam
keadaan berkecukupan. Pada saat itu, orang yang berkecukupan
memiliki kewajiban untuk membantu dan menghilangkan kondisi
darurat tersebut.
Sebaliknya, sedekah bisa menjadi haram hukumnya apabila
orang yang bersedekah mengetahui atau menduga kuat bahwa
harta yang diberikannya tersebut akan digunakan untuk
keperluan yang dilarang Allah (Hawwas, 2010: 426).
2. Konsep Infak fi Sabilillah
Kata infak berasal dari bahasa Arab, yaitu “anfaqa” ( – ‫أنفك‬
‫ إنفالا‬- ‫)ينفك‬, yang berarti mengeluarkan atau membelanjakan harta.
Berdasarkan makna ini, maka kata infak merupakan istilah yang
sangat luas karena meliputi berbagai macam pengeluaran dan
pembelanjaan harta yang dimiliki. Membelanjakan harta bisa

41
digunakan untuk kepentingan konsumtif sehari-hari maupun
untuk kepentingan lain seperti membantu orang lain, donasi, atau
pemberian seorang suami kepada anggota keluarganya yang biasa
disebut dengan nafkah. Kata nafkah memang berasal dari akar
kata yang sama dengan infak. Hanya saja, secara khusus, istilah
nafkah digunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga
(Shofwan, 2011: 18-19).
Kata infak juga digunakan untuk menjelaskan kewajiban
zakat. terdapat banyak ayat yang menggunakan kata infak,
padahal maksudnya adalah zakat.
Diantaranya, surat Al-Baqarah ayat 267, yaitu:
ِ‫اثِ َماِ َن َسخْ ُ ُْت َِو ِم َّماِ َبخ َْر ْجنَاِمَ ُُكِ ِ ّم َنِا َأل ْر ِض‬ ِ َّ َ ‫ًَّيِ َبُّيل‬
َ ‫اِاَّل ٍَنِب ٓ َمنُو ْاِ َبه ِف ُلو ْاِ ِم‬
ِ ‫نِط َِّ َح‬
Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah infak (zakat)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Al-Baqarah (2):
267).
Ayat tersebut menggunakan kata infak ketika
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan
zakat dari sebagian hasil usaha yang baik dan dari hasil bumi.
Bahkan, kata infak juga digunakan untuk mendefinisikan
harta yang dikeluarkan oleh orang-orang kafir untuk kepentingan
agama mereka, meskipun untuk memusuhi agama Islam. Hal itu
dijelaskan dalam surat Al-Anfal (8) ayat 36, yaitu:
ِ‫ونِؽَوَْيْ ِ ْم‬ َّ ُ َ َ‫ِاّللِفَ َسُُن ِف ُلوَن‬
ُ ‫اُِثِتَ ُك‬ ِ ّ ِ‫نِسخِِل‬
َ ‫ونِ َب ْم َوامَي ُْمِ ِم ََ ُص لَو ْاِ َؼ‬ ِ َّ ‫ا َّن‬
َ ‫ِاَّل ٍَنِ َن َف ُرو ْاًُِن ِف ُل‬
ُ ّ
َُ ‫ُِي‬
َِ ‫رش‬
‫ون‬ َ َ ‫ون َِو َّ ِاَّل ٍَنِ َن َف ُرو ْاِا ََل‬
ْ ُ َ َّ‫َِجَّن‬ ‫ح‬َ ‫و‬‫غ‬ْ
َ ُ ُ ََْ ًِ‫ًُِث‬
َّ ‫ت‬‫ْس‬ ‫ح‬
ّ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkah-kan
harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka
akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi
mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka
Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan (Al-Anfal
(8) :36).
Dalam ayat tersebut, orang-orang kafir melakukan infak
dari sebagian harta mereka untuk menghalangi orang-orang yang
beriman dari jalan Allah. Dengan demikian, jelas bahwa kata infak

42
secara bahasa digunakan untuk menjelaskan makna
mengeluarkan atau membelanjakan harta secara umum, baik
dalam urusan agama maupun urusan kehidupan sehari-hari, baik
untuk urusan kebaikan maupun kejahatan, baik dikelaurkan oleh
orang beriman maupun oleh orang kafir (Shihab, 2007: 439).
Sedangkan makna kata infak secara terminologis atau istilah
agama adalah mengeluarkan sebagian hartanya atau
pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diajarkan
agama Islam (Hafiduddin, 1998: 14-15).
Definisi ini seperti ini menjadi mirip dengan definisi
sedekah, yaitu sama-sama mengeluarkan atau membelanja-kan
sejumlah harta untuk kepentingan agama dan untuk mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta. Hanya saja, terminologi sedekah
memiliki arti yang lebih luas dari terminologi infak. Infak akan
selalu dikaitkan dengan harta atau bersifat materiil sedangkan
kata sedekah tidak hanya berkaitan dengan harta tapi cakupannya
lebih luas karena meliputi segala bentuk kebaikan.
3. Keutamaan Sedekah
Sedekah memiliki banyak keutamaan dan manfaat, baik bagi
orang yang mengeluarkan sedekah, bagi orang yang menerima
sedekah, dan bagi masyarakat yang berada di lingkungan ahli
sedekah. Berikut ini manfaat sedekah bagi ketiga pihak tersebut.
a. Keutamaan sedekah bagi orang yang bersedekah.
Sedekah bukan hanya memberikan manfaat bagi orang
yang menerima sedekah tersebut. Lebih dari itu, dalam konsep
agama Islam, sedekah diperintahkan oleh Allah karena akan
membawa kebaikan bagi orang yang melakukannya. Di antara
keutamaan sedekah bagi orang yang bersedekah adalah
sebagai berikut:
1) Orang bersedekah dicintai Allah dan manusia.
Orang yang gemar bersedekah akan mendapatkan
gelar dermawan. Dalam sebuah hadis, kata dermawan
diungkapkan dengan kata “as-Sakhiyyu”. Orang yang
gemar berderma akan mendapatkan cinta dari Allah dan
cinta dari sesama manusia. Orang tersebut juga akan

43
didekatkan dengan surga dan dijauhkan dari neraka.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW berikut ini:
ِ‫امسخيِكرًةِمنِللاِكرًةِمنِامناسِوامحخَلِتؾََِمنِللاِتؾََِمنِامناس‬
َ‫ومسخيِجاىلِ ٔبحةِاَلِللاِمنِخبَلِؽات‬
“Orang yang dermawan itu dekat kepada Allah dan
dekat kepada manusia. Sedangkan orang yang kikir jauh
dari Allah dan jauh dari manusia. Orang yang dermawan
tapi bodoh lebih disukai oleh Allah daripada orang yang
ahli ibadah tapi kikir.” (HR. Tirmizi dari Abu Hurairah ra.
Hadis ini diperselisihkan ulama antara shahih dan dhaif).
Orang yang gemar bersedekah akan dicintai Allah
karena Allah berjanji akan mengasihi hamba-Nya yang
mengasihi orang lain. Salah satu bukti mengasihi sesama
adalah dengan membantu mereka, baik dengan harta
maupun lainnya. Dalam hadis juga disebutkan:
َّ ‫رْح ُ ُْكِ َم ْن ِِِف‬
ِ‫ِامس َما ِء‬ ْ َ ٍَِ‫ِا ْر َ ُْح ْواِ َم ْن ِِِفِا َأل ْر ِض‬
“Sayangilah yang di bumi, niscaya yang dilangit akan
menyayanginmu” (HR. Abu Daud).
Sebaliknya, orang yang enggan bersedekah akan
dibenci Allah karena Allah tidak suka hamba-Nya yang
bakhil dan tidak mensyukuri atas nikmat yang
dianugerahkan kepadanya. Bakhil atau kikir bukan
merupakan sifat Allah yang Maha Pemurah dan Maha
Pemberi. Selain itu, berbagi sedekah merupakan salah satu
cara yang paling utama untuk bersyukur.
Orang yang bersedekah akan dicintai sesama
manusia karena mendapatkan perhatian, pemberian,
simpati, dan empati merupakan salah satu tabiat manusia.
Setiap orang yang diberi kebaikan, apapun itu bentuknya,
pasti akan merasa senang dengan pemberiannya tersebut.
Apalagi, pemberian tersebut memang merupakan sesuatu
yang dibutuhkan.
Sebaliknya juga, orang yang enggan bersedekah
akan dibenci oleh sesama manusia karena hal itu

44
menunjukkan sikap anti sosial yang tidak bisa ditolerir
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam logika masyarakat,
orang yang membantu akan dibantu, orang yang memberi
akan diberi, orang yang memperhatikan akan
diperhatikan, dan seterusnya. Mereka yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan sosial akan dikucilkan dari
kehidupan sosial dalam masyarakat tersebut.
2) Sedekah dapat menyucikan jiwa.
Sifat dermawan merupakan salah satu sifat terpuji
yang diajarkan oleh agama Islam. Melalui sedekah, sifat
tersebut akan tertanam dengan kuat dan menumbuhkan
rasa simpati dan empati kepada sesama makhluk Allah.
Orang yang memiliki jiwa tersebut akan terhindar dari
sifat egoistik atau “ananiyah” yang merupakan poros dari
kesalahan, yaitu cinta diri dan cinta harta. Sifat egois yang
berlebihan akan membuat hati manusia menjadi keras,
bahkan mati. Salah satunya dengan mencintai harta secara
berlebihan. Alquran secara tegas mencela perilaku
mencintai harta secara berlebihan, seperti hanya
mengumpulkan harta benda dan menghitung-hitungnya,
tanpa mau berbagi kepada sesama. Sebagaimana
dijelaskan Allah dalam surat al-Humazah ayat 1-2 berikut
ini:
َ َ ‫ُِه َز ٍتِم ل َم َز ٍتِ َّ ِاَّل‬
ًِ ‫يَِج َػِ َم‬
ِ‫االِ َوؽَََّ َد ُه‬ ّ ِ ُ ّ ‫َوًْ ٌلِ ِم‬
َ ُ ‫ُك‬
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
yang mengumpulkan harta dan meng-hitung-hitungnya.
(QS. Al-Humazah :1-2).
Selain itu, sifat bakhil merupakan salah satu
penyakit atau kotoran jiwa tidak boleh dipelihara dalam
hati manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas, bakhil
merupakan sifat tercela yang dibenci oleh Allah dan tidak
disukai oleh sesama manusia. Sifat bakhil juga merupakan
sifat yang berdampak buruk bagi pelakunya karena
hatinya akan selalu merasa kurang, merasa sempit, sesak,
dan tidak bisa bersyukur. Dampak dari itu semua adalah

45
hidup yang tidak bahagia. Oleh karena itu, perilaku bakhil
harus diminimalisir atau dihilangkan.
Cara yang efektif untuk mengurangi sifat bakhil
dengan melawan kemauan dari sifat tersebut, yaitu
dengan cara memberikan sebagian harta yang dicintainya
itu kepada orang lain. Sedekah merupakan cara ampuh
untuk membuat hidup terasa lapang, berkah, dan
berkecukupan. Dengan banyak bersedekah, ia akan
menyadari betapa banyaknya karunia Allah yang telah dia
terima dan betapa banyaknya orang-orang di sekitar kita
yang masih dalam keadaan susah dan kekurangan. Dengan
demikian, jiwa ahli sedekah akan lebih bersih dan hidup
mereka terasa lebih indah.
3) Sedekah adalah bukti kesempurnaan iman.
Sedekah merupakan ujian bagi keimanan seseorang.
Sebagaimana diketahui, iman merupakan sesuatu
keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati, diikrarkan
dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan. Karena
iman tidak dapat diketahui secara lahiriah, maka ucapan
dan amal lahir menjadi bukti dari apa yang ada di dalam
hati tersebut. Hal ini dijelakan oleh hadis Nabi SAW yang
berbunyi:
ِ‫امصََ كَ ُ ِجُ ْرى ٌَان‬
َّ ‫َو‬
“Dan sedekah adalah bukti.” (HR. Muslim)
Selain itu, sedekah juga merupakan ciri orang yang
beriman dan bertakwa. Bahkan, sedekah tersebut tidak
hanya dikeluarkan oleh mereka yang sedang dalam
keadaan lapang dan berkecukupan. Orang mukmin yang
bertakwa, dalam keadaan susah sekalipun tetap
diperintahkan untuk segera berinfak, membantu, dan
menolong orang lain.

46
Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah berikut
ini:
ِ‫َاِامس َم َاو ُاث َِوا َأل ْر ُضِ ُب ِؽَ َّْثِ ِنوْ ُمتَّ ِل َني‬
َّ ‫نِر ّ ُ ُْك َِو َجن َّ ٍ ِ َؼ ْرضُ ي‬
‫َو َس ِار ُؼو ْاِا ََلِ َم ْغ ِف َر ٍتِ ِ ّم َّ ِج‬
ّ
ِ‫ُِي لة‬ ُ ّ ‫اءِوامْ ََك ِع ِم َنيِامْغَ َْظ ََِواِمْ َؾا ِف َنيِ َؼ ِنِامنَّ ِاس َِو‬
ِ ُ ‫اّلل‬ ‫امَّض‬
َ َّ َ َّ ََّّ ‫اءِو‬ ‫ِامْس‬ ‫ِِف‬ ِ َ ‫َّ ِاَّل ٍَنًُِن ِف ُل‬
‫ون‬
َِ ‫امْ ُم ْح ِس ِن‬
‫ني‬
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa,
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan (Ali
Imran (3):133-134)
b. Manfaat Sedekah bagi Penerima Sedekah
Bagi penerima sedekah, manfaat sedekah dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat yang sifatnya
materiil dan manfaat yang sifatnya non materiil. Secara
materiil, penerima sedekah akan mendapatkan kebaikan
dari sedekah tersebut. Melalui sedekah, orang yang sedang
dalam kekurangan dapat mencukupi kebutuhannya, orang
yang sakit dapat berobat, orang yang terbelit hutang dapat
membayar hutangnya, orang lapar dapat menjadi kenyang,
dan lain sebagainya.
Apabila sedekah dilakukan secara produktif, maka
akan dapat membantu mengurangi pengangguran dan
kemiskinan. Melalui sedekah produktif, orang yang tidak
bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, orang yang tidak
memiliki modal bisa menjalan usaha, dan orang yang tidak
memiliki keahlian bisa menjadi ahli dalam bidang tertentu.
Konsep sedekah produktif adalah memberikan kail atau
pancing dan tidak memberikan ikan kepada penerima
sedekah. Dengan kail, ia dapat mencari ikan yang akan
dijual, dikonsumsi, atau dijadikan sebagai sumber
penghasilan. Dengan demikian, sedekah produktif

47
memiliki tujuan jangka panjang untuk mengubah nasib
dan status: dari penerima sedekah menjadi pemberi
sedekah, dari miskin menjadi kaya, dari tidak berdaya
menjadi berdaya, dari mustahik menjadi muakki, dan dari
dhuafa menjadi aghniya.
Secara psikologis atau non materiil, sedekah juga
berdampak positif bagi orang yang sedang dalam keadaan
susah. Biasanya, kaum dhuafa akan selalu merasa
terpinggirkan dan tidak diperhatikan. Melalui sedekah,
mereka akan mendapatkan rasa percaya diri kembali dan
berpikiran positif untuk turut memberikan kontribusi bagi
kebaikan bersama. Melalui jalinan sedekah seperti ini,
mereka juga akan merasa yakin bahwa permasalahan yang
dihadapi akan menemukan jalan keluar. Mereka akan
terhindar dari keterasingan dan kesendirian karena
menemukan orang-orang baik di sekitarnya yang
memberikan perhatian dan empati. Selain itu, mereka juga
merasakan bahwa permasalahan yang dihadapi
sebenarnya merupakan permasalahan sosial yang sifatnya
kronis dan dialami oleh banyak orang selain dirinya. Hal
itu akan berdampak positif bagi perubahan cara berpikir
dan pola hidup menuju kehidupan yang lebih baik kelak di
kemudian hari. Perasaan kebersamaan dan motivasi
psikologis ini sangat berarti, terutama bagi setiap orang
yang sedang membutuhkannya.
c. Manfaat sedekah bagi sosial masyarakat
Sedekah tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh
pemberi dan penerima saja, akan tetapi juga memberikan
dampak positif bagi warga masyarakat secara
keseluruhan, yaitu:
1) Memperkuat ikatan emosional dalam masyarakat
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang
diikat oleh ikatan emosional yang kuat untuk saling
mengenal, memahami, menolong, dan menanggung beban
sesama warganya. Dalam struktur masyarakat, masing-
masing individu memiliki karakter dan strata yang

48
berbeda-beda. Stratifikasi dalam masyarakat yang paling
menonjol adalah status sosial dan kepemilikan terhadap
harta. Strata masyarakat yang memiliki status sosial yang
tinggi dan harta yang banyak tentu saja memiliki banyak
perbedaan dengan kelompok masyarakat yang sebaliknya.
Untuk menjaga keutuhan sosial, perbedaan tersebut tidak
boleh diperbesar atau diperuncing. Sebaliknya, harus
didekatkan dan direkatkan.
Konsep sedekah merupakan salah satu cara yang
efektif untuk merekatkan dan menguatkan ikatan
emosional di antara warga masyarakat tersebut. Jika tidak,
maka yang terjadi hanyalah kecemburuan dan rasa iri
yang dapat merusak tatanan keamanan dan ketentraman
warganya. Kecemburuan dan rasa iri tersebut dapat
dicegah apabila strata sosial atas mengedepankan rasa
keadilan dan kedermawanan kepada kelompok
masyarakat dengan strata di bawahnya. Selain
menghilangkan rasa iri, kedermawanan orang kaya juga
akan mumunculkan rasa cinta kepada orang kaya yang
banyak berbagi.
2) Meminimalisir kejahatan.
Sikap kedermawanan yang ditunjukkan oleh
kelompok masyarakat atas dapat mengurangi dan
meminimalisir tingkat kejahatan dalam masyarakat.
Motivasi berbuat jahat banyak didasari oleh kondisi sosial
ekonomi pelakuknya. Kondisi sosial yang buruk dapat
menumbuhkan bibit permusuhan dan dendam di antara
warganya. Permasalahan ekonomi dan kesenjangan yang
tinggi dapat memicu perilaku jahat yang bertujuan untuk
menguasai harta tertentu. Banyak kejahatan yang pada
mulanya didasari oleh upaya pemenuhan kebutuhan
pokok, seperti lapar dan sakit, namun pada
perkembangannya bisa berubah menjadi profesi yang
didasari oleh keinginan untuk menguasai dan
mendominasi. Melalui sedekah, penumpukan harta pada
sebagian kelompok dapat dikurangi dan dapat

49
didistribusikan secara lebih merata di antara sesama
warga masyarakat.
3) Sedekah produktif menciptakan lapangan pekerjaan
Sedekah produktif merupakan konsep yang
menawarkan solusi kemiskinan secara simultan dan
jangka panjang. Sedekah produktif bisa dimaknai
membantu permodalan bagi usaha kaum dhuafa atau
mendirikan usaha produktif yang dihasilkan dari modal
sedekah yang dikumpulkan dari orang-orang kaya. Banyak
warga miskin yang memiliki keahlian tertentu dan
bermaksud menjalankan usaha dalam bidang tersebut,
namun terkendala masalah pendanaan. Dalam kasus
seperti ini, sedekah dalam bentuk modal dapat menjadi
solusi yang berdampak jangka panjang dan menjadi amal
jariyah bagi para donatur. Demikian pula, apabila berdiri
usaha-usaha produktif yang diinisiasi oleh kaum aghniya
dari harta sedekah, lalu merekrut kaum dhuafa sebagai
bagian dari proses usaha tersebut, tentunya dapat
memberikan kontribusi riil bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
4. Ketentuan dalam Bersedekah
Selain sebagai bentuk filantropi Islam, sedekah merupakan
ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SAW. Oleh karena itu, sedekah memiliki sejumlah ketentuan yang
harus diperhatikan agar sedekah tersebut menjadi sempurna.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ikhlas dalam Bersedekah
Ikhlas merupakan ketulusan niat di dalam hati dengan
semata-mata mengharapkan ridha Allah. Dalam konteks
beribadah, ikhlas merupakan satu dari dua syarat diterimanya
amal. Syarat yang kedua adalah ittiba’ atau sesuai tuntunan
agama. Artinya, perbuatan apapun yang dikerjakan jika tidak
didasari dengan niat yang ikhlas karena Allah dan tidak sesuai
dengan tuntunan agama maka dipastikan amal tersebut tidak
akan diterima.

50
Orang yang bersedekah perlu memperhatikan masalah
ini. Meskipun sedekah memiliki keutamaan yang banyak
sekali, niat yang ikhlas karena Allah harus menjadi dorongan
yang utama. Jika tidak, maka yang muncul adalah sikap pamer,
riya, dan ingin mendapat pujian. Jika itu terjadi, maka sedekah
tersebut menjadi tidak bernilai di hadapan Allah SWT.
Sedangkan orang ikhlas dalam bersedekah adalah orang yang
tidak mengharapkan apapun dari orang yang diberi sedekah
dan juga dari masyarakat yang ada di sekitarnya. Niatnya
hanya ditujukan untuk mendapatkan pahala dan balasan dari
Allah semata.
b. Bersedekah dengan Harta yang Terbaik
Ketentuan berikutnya dalam bersedekah adalah
memberikan yang terbaik kepada orang yang menerima
sedekahnya. Harta yang diberikan adalah harta yang terbaik
dari apa yang dimiliki. Jika tidak bisa harta terbaik, maka harta
baik atau “thayyib”, yaitu harta yang masih layak
dimanfaatkan oleh umumnya orang. Allah juga melarang umat
Islam bersedekah dengan harta yang buruk dan tidak bisa
dimanfaatkan secara layak. Firman Allah SWT:
ِ‫اثِ َماِ َن َسخْ ُ ُْت َِو ِم َّماِ َبخ َْر ْجنَاِمَ ُُكِ ِ ّم َنِا َأل ْر ِض َِو َال‬ ِ َّ َ ‫ًَّيِ َبُّيل‬
َ ‫اِاَّل ٍَنِب ٓ َمنُو ْاِ َبه ِف ُلو ْاِ ِم‬
ِ ‫نِط ِ َّ َح‬
َ ّ ‫ون َِوم َ ْس ُُتِ ِتب ٓ ِخ ِذً ِوِاالَِّ َبنِتُ ْغ ِمضُ و ْاِ ِفِ ِو َِواؽْوَ ُمو ْاِ َب َّن‬
ٌِّ ِ َ‫ِاّللِغ‬
ِ‫ِن‬ َ ‫ُِثِ ِمنْوُِتُن ِف ُل‬ َ ‫تَ ََ َّم ُمو ْاِامْ َخح‬
ّ
ٌَِ َ‫َ ِْح‬
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk- buruk lalu kamu
nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji. (Al-Baqarah (2): 267)
Harta yang buruk atau “khabits” dalam ayat ini bukan
berarti harta yang haram. Harta yang haram tidak boleh

51
disedekahkan, tetapi harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Tetapi buruk di sini lebih pada kualitas barangnya.
Bersedekah dengan harta yang buruk atau kualitas jelek
juga akan berdampak negatif bagi orang yang melakukannya.
Selain itu, keutamaan-keutamaan sedekah seperti yang
dijelaskan di atas juga tidak akan tercapai. Orang yang
menerima sedekah sejujurnya juga tidak senang dengan
pemberian yang tidak layak. Masyarakat yang mengetahui hal
itu juga akan bersikap negatif, terlebih lagi jika orang yang
bersedekah tersebut sebenarnya memiliki banyak harta yang
lebih baik daripada yang disedekahkan. Namun, terlebih dari
itu semua, Allah juga tidak suka dengan perilaku seperti itu.
Itu adalah sikap orang yang tidak pandai bersyukur kepada
Allah yang telah bermurah hati memberikan banyak nikmat
yang baik kepadanya.
Selain kualitas bendanya, bersedekah hendaknya
dilakukan dengan cara yang terbaik. Bersedekah tidak boleh
diberikan dengan cara-cara yang dapat merendahkan orang
yang menerima sedekahnya, misalnya dengan kata-kata yang
tidak layak atau dengan sikap-sikap yang menunjukkan
penghinaan. Hendaknya kembali ke prinsip awal, bahwa
bersedekah merupakan ibadah yang harus dilakukan dengan
tata cara orang yang sedang beribadah. Kata kunci dari ibadah
adalah ketaatan dan ketertundukan hati.
Orang yang beriman harus tetap menjaga etika ketika
bersedekah dengan mengedapankan sikap tawadhu’ dan
menjauhi perasaan angkuh di hadapan orang yang menerima
sedekah, tidak boleh menge-luarkan kata-kata yang
menyakitkan, mengungkit-ungkit sedekah, ataupun
merendahkan mereka.
Allah memuji orang-orang beriman yang bersedekah
dengan menghormati perasaan orang-orang yang menerima
sedekah.

52
Firman Allah:
ِ‫اِو َالِ َب ًذىِمَّيُ ْمِ َب ْج ُر ُ ْه‬ َّ ُ ‫ِاّلل‬
َ ‫ُِثِ َالًُِتْ ِد ُِؾ‬
َ ‫ونِ َماِ َبه َف ُلو ُاِ َمن ا‬ ِ ّ ِ‫ونِ َب ْم َوامَي ُْم ِِِف َِسخِِل‬ َ ‫َّ ِاَّل ٍَنًُِن ِف ُل‬
ِ‫ُون‬
َ ‫ُِي َ هز‬ ْ َ ‫ِه‬ْ ُ ‫ِؼنََ َِر ِ ّ ُِب ْم َِو َالِخ َْو ٌصِؽَوَْيْ ِ ْم َِو َال‬
‫اّللِغَ ِ ٌِّنِ َح ِو ٌِي‬
ُ ّ ‫ىِو‬َ ‫نَََِ كَ ٍ ًَِتْ َد ُؾيَاِ َب ًذ‬ َ ‫وص َِو َم ْغ ِف َر ٌتِخ ْ ٌَْيِ ِ ّم‬
ٌ ‫كَ ْو ٌلِ َّم ْؾ ُر‬
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya
itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun
(Al-Baqarah (2): 262-263)
c. Merahasiakan Sedekah
Prinsip lain dalam bersedekah adalah berusaha untuk
merahasiakan sedekah. Dalam bahasa hadis Nabi SAW,
merahasiakan atau menyembunyikan sedekah diibaratkan
dengan apa yang diberikan oleh tangan kanan tidak diketahui
oleh tangan kiri. Ini adalah bahasa kiasan yang sangat indah
dan merepresentasikan makna rahasia yang dalam.
Dalam hadis tersebut, ada tujuh golongan manusia yang
akan mendapatkan perlindungan Allah kelak pada hari
kiamat, yaitu (1) pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda
yang tumbuh berkembang dalam beribadah kepada Allah, (3)
seorang pemuda yang hatinya selalu terikat dengan masjid,
(4) dua orang yang bertemu dan berpisah karena Allah, (5)
seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang
cantik dan berkedudukan tinggi lalu berkata, “aku takut
kepada Allah”, (6) orang yang berzikir pada malam hari lalu
matanya berlinang air mata, dan (7) orang yang bersedekah
dengan tangan kanannya lalu menyem-bunyikannya sehingga
tangan kirinya tidak dapat mengetahuinya (HR. Bukhari dan
Muslim).

53
Hadis di atas menjelaskan keutamaan sedekah yang
dilakukan secara rahasia. Namun hal itu tidak berarti
melarang sedekah yang diketahui oleh orang lain. Ayat berikut
juga menguatkan makna hadis di atas, yaitu bersedekah
secara sembunyi memiliki keutamaan yang lebih banyak
dibandingkan dengan sedekah terang-terangan.
Firman Allah SWT:
ُِ ‫َاِوت ُْؤتُوىَاِامْ ُفلَ َراءِفَي َُوِخ ْ ٌَْيِم ل ُ ُْك َِوٍُ َك ِفّ ُرِؼ‬
ِ‫َنُك‬ ْ ُ ‫اِِه َِوا‬
َ ‫نُِت ُفوى‬ َ ِ ‫اثِفَ ِن ِؾ َّم‬ ِ َ‫ِامصََ ك‬
َّ ‫انِتُ ْحَُ و ْا‬
ّ
ٌِ‫ونِ َِخّدِْي‬ ُ ّ ‫نِس ُِ ّئَا ِت ُ ُْك َِو‬
َ ُ‫اّللِ ِت َماِتَ ْؾ َمو‬ َ ‫ِ ّم‬
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah
baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu
berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu
lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan (Al-Baqarah (2): 271)
Pada sisi lain, sedekah secara terang-terangan,
ditampakkan, atau diketahui oleh orang lain ada kalanya
diperlukan. Misalnya, sedekah yang diumumkan dengan maksud
agar dicontoh oleh orang lain.
ِ‫اِوؽ َ َال ِه ََ ً ِفَوَي ُْمِ َب ْج ُر ُ ْهِ ِؼنََ َِر ِ ّ ُِب ْم َِو َالِخ َْو ٌص‬ ‫ونِ َب ْم َِو مَيُمِِِتبِم َّ َْلِ َِِوبِهْنَّ َ ِار ِ ا‬
َ ‫ِِس‬ َ ‫بِ َّ َِّل ٍَنًُِن ِف ُل‬
َِ ‫ُِي َ هز‬
‫ُون‬ ْ ُ ‫ؽَوَْيْ ِ ْم َِو َال‬
ْ َ ‫ِه‬
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan
di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka
mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati (Al-Baqarah: 274).
d. Sedekah dalam Keadaan Butuh dan Sehat
Kondisi orang yang bersedekah bisa jadi berbeda-beda
antara yang satu dengan lainnya. Orang kaya bisa bersedekah
dengan harta yang sangat banyak sedangkan orang miskin
atau yang memiliki harta pas-pasan tentu saja tidak bisa
melakukannya.
Demikian pula, orang yang sudah tua, apalagi sedang
sangat tua dan sakit-sakitan, bisa jadi lebih memiliki motivasi
54
lebih untuk bersedekah sebagai ikhtiyar untuk
mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat.
Orang yang beriman diperintahkan untuk tetap
bersedekah meskipun ajal hampir menjelang dan sebelum
kesempatan untuk bersedekah itu hilang. Jika ajal sudah tiba,
tidak ada lagi kesempatan untuk beramal shaleh sehingga ia
pun akan menyesalinya. Allah berfirman:
ِ‫اِر َزكْنَ ُاُكِ ِ ّمنِكَ ْدلِ ِ َبنًَِبِ ِ َِتِ َب َحََ ُُكُِامْ َم ْو ُثِفَ َِ ُلو َل َِر ِ ّةِم َ ْو َالِ َبخ َّْرت َِِن ِِا ََل‬
َ ‫َو َبه ِف ُلواِ ِمنِ َّم‬
ّ
َِ ‫ِامصا ِم ِح‬
‫ني‬ َّ ‫ًةِفَبَ ََََّّ َق َِو َب ُننِ ِ ّم َن‬ ٍ ‫َب َج ٍلِكَ ِر‬
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa
Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu
yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku
termasuk orang-orang yang saleh (Al-Munafiqun (63): 10).
Sedekah dalam kondisi apapun tetaplah baik dan
memiliki keutamaan. Akan tetapi, ada sedekah yang lebih
utama dibandingkan sedekah lainnya, yaitu dalam bab ini
adalah sedekah yang diberikan oleh mereka yang masih muda,
sehat, dan memiliki kebutuhan pribadi yang masih banyak.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang
yang menemui Nabi SAW, lalu ia berkata,
ْ َ ‫َِش ٌَح‬
ِ‫ُِت ََش‬، ِ َ ‫َِص ٌَح‬ِ َ ‫ِامصََ كَ ِ ِ َبؼ َْغ ُمِ َب ْج ًراِكَا َلِ َب ْنِت ََص ََّ َق َِو َبه َْت‬
َّ ‫ِاّللِ َب لى‬ ِ َّ ‫ًَّي َِر ُسو َل‬
َ ‫ِو َالِتُ ْميِ ُلِ َح َّىت ِّا َذاِتَوَغ َِتِامْ ُحوْ ُلو َمِ ُكوْ َتِ ِم ُف َال ٍنِ َن َذ‬،
ِ‫ِومِ ُف َال ٍن‬،‫ا‬ َ ‫امْ َف ْل َر َِوتَبِ ُم ُلِامْ ِغ َِن‬
‫ِوكََْ ََِك َنِ ِم ُف َال ٍِن‬،‫ا‬
َ ‫َن َذ‬
“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar
pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat
kamu masih sehat, saat kamu takut menjadi fakir, dan saat
kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau
menunda-nunda sedekah itu, hingga apabila nyawamu telah
sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan
sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi
hak si fulan” (HR. Bukhari dan Muslim).

55
D. Wakaf sebagai Instrumen Filantropi Islam
Bentuk filantropi Islam selanjutnya adalah wakaf. Kaitannya
dengan sedekah, wakaf biasa disebut juga dengan sedekah jariyah,
yaitu jenis sedekah yang pahalanya diharapkan terus mengalir
kepada orang yang berwakaf, meskipun orang tersebut sudah
meningga dunia. Hal ini dapat terjadi karena manfaat dari harta
yang diwakafkan masih terus berjalan dan dalam konsep wakaf
produktif, manfaat wakaf tersebut terus berkembang dan meng-
hasilkan keuntungan yang semakin besar.
Namun demikian, wakaf berbeda dengan terminologi sedekah
atau infak karena dua istilah yang disebut terakhir biasanya
bersifat konsumtif dan bersifat temporal. Sedangkan wakaf
memiliki karakteristik yang spesifik terkait dengan kelanggengan
harta wakaf, yaitu pada prinsipnya bersifat abadi (muabbad).
Wakaf merupakan istilah yang sagat populer dalam sejarah
peradaban Islam karena warisan sejarah berupa wakaf masih
bertahan hingga saat ini dan masih terus berkembang. Institusi-
institusi wakaf hingga sekarang masih dapat ditemukan di seluruh
dunia Islam, baik berupa tempat ibadah, sarana pendidikan,
fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Secara singkat, wakaf
dapat didefinisikan sebagai akad menahan aset wakaf dan
menyalurkan manfaatnya pada sabilillah (Hammad, 1995: 353).
Pada perkembangannya, wakaf dapat dibagi menjadi
beberapa kategori. Dari segi produktifitas harta wakaf, wakaf
dibagi menjadi wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Dari segi
jangka waktu wakaf, wakaf dibagi menjadi dua, yaitu wakaf abadi
dan wakaf sementara. Dari segi penerima, wakaf dibagi menjadi
dua, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi.
Di Indonesia, hukum tentang wakaf sudah diatur dalam UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Berdasarkan UU ini, wakaf
harus memenuhi beberapa unsur, diantaranya unsur wakif
(selaku pemberi wakaf), unsur penerima manfaat wakaf (mauquf
alaih), unsur harta benda wakaf (mauquf), dan unsur pengelola
wakaf (nazhir). UU tersebut juga mengamanahkan bagi pengelola
wakaf agar mengelola secara produktif sehingga memberikan
dampak keadilan dan kesejahteraan bagi penerima manfaat

56
wakaf. Mengenai pihak penerima manfaat wakaf, UU tersebut juga
menjelaskan secara detail tentang pihak-pihak yang ditunjuk
untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf
sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam Akta
Ikrar Wakaf.
Kaitannya dengan sedekah, wakaf biasa disebut juga dengan
sedekah jariyah, yaitu jenis sedekah yang pahalanya diharapkan
terus mengalir kepada orang yang berwakaf, meskipun orang
tersebut sudah meningga dunia. Hal ini dapat terjadi karena
manfaat dari harta yang diwakafkan masih terus berjalan dan
dalam konsep wakaf produktif, manfaat wakaf tersebut terus
berkembang dan meng-hasilkan keuntungan yang semakin besar.
Namun demikian, wakaf berbeda dengan terminologi sedekah
atau infak karena dua istilah yang disebut terakhir biasanya
bersifat konsumtif dan bersifat temporal. Sedangkan wakaf
memiliki karakteristik yang spesifik terkait dengan kelanggengan
harta wakaf, yaitu pada prinsipnya bersifat abadi (muabbad).
Wakaf merupakan istilah yang sagat populer dalam sejarah
peradaban Islam karena warisan sejarah berupa wakaf masih
bertahan hingga saat ini dan masih terus berkembang. Institusi-
institusi wakaf hingga sekarang masih dapat ditemukan di seluruh
dunia Islam, baik berupa tempat ibadah, sarana pendidikan,
fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Secara singkat, wakaf
dapat didefinisikan sebagai akad menahan aset wakaf dan
menyalurkan manfaatnya pada sabilillah (Hammad, 1995: 353).
Dengan kata lain, wakaf adalah menahan sesuatu dari konsumsi
dan melarang seluruh manfaat atau keuntungan dari selain pihak
yang menjadi sasaran wakaf (Qahaf, 2006: 55)
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Pada perkembangannya, wakaf dapat dibagi menjadi
beberapa kategori. Dari segi produktifitas harta wakaf, wakaf

57
dibagi menjadi wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Wakaf
konsumtif merupakan wakaf langsung seperti wakaf untuk
masjid, madrasah, dan makam. Sedangkan wakaf produktif
merupakan wakaf yang dikelola dengan pendekatan bisnis
(Mubarok, 2008: 28). Makna produktif juga diartikan sebagai
sesuatu yang bersifat subur (al-Barry, 2003: 633). Bidang-bidang
yang dapat dijadikan sebagai obyek wakaf produktif antara lain
meliputi usaha pertanian, produksi, konstruksi, distribusi,
transportasi, komunikasi, dan usaha jasa (Alma, 2009: 115).
Dari segi penerima, wakaf dibagi menjadi dua, yaitu wakaf
ahli (wakaf kepada keluarga) dan wakaf khairi (wakaf kepada
masyarakat umum). Wakaf untuk keluarga dibolehkan seperti
pada kisah Abu Talhah ketika menjadikan wakafnya untuk
keluarga dan kerabatnya (Sabiq, 1977: 3/ 521).
Pada prinsipnya, harta wakaf harus dikelola dan
dikembangkan agar dapat memberikan manfaat yang besar dan
tidak merugikan pihak-pihak yang menjadi penerima manfaat
wakaf (Shihab, 2008: 18). Aset wakaf yang terbengkalai dapat
dilakukan program pendanaan melalui penggalangan dana wakaf
baru untuk melengkapi wakaf yang sudah ada seperti perluasan
tempat ibadah, melengkapi fasilitas madrasah, dan peningkatan
layanan kesehatan (Rozalinda, 2010: 113). Sedangkan menurut
Abu Zaid (2000: 52), mengembangkan investasi harta wakaf dapat
dilakukan dengan cara menggandeng mitra sebagai investor
untuk memberdayakan harta wakaf yang sudah ada agar
meningkatkan produktivitas wakaf sehingga mampu memberikan
hasil yang optimal.

58
BAB III
PROFIL LEMBAGA FILANTROPI ISLAM

A. Lembaga Amil Zakat Dana Kemanusiaan Dhu’afa (LAZ


DKD)
1. Sejarah LAZ DKD
Lembaga Amil Zakat Dana Kemanusiaan Dhu’afa atau
disingkat LAZ DKD merupakan pioner lembaga filantropi di
Magelang yang mengelola dana zakat, infak, sedekah, wakaf, dan
dana sosial lainnya. Sumber dana yang dikelola LAZ DKD berasal
dari pribadi, perusahaan, instansi pemerintah, maupun lembaga-
lembaga lain yang mempercayakan dananya kepada LAZ DKD.
Dana tersebut dikelola secara amanah, transparan, dan
profesional, dan diwujudkan dalam berbagai program-program
pemberdayaan bagi kaum dhuafa.
LAZ DKD berdiri sejak tanggal 12 Juli 2004 oleh Yayasan
Dana Kemanusiaa Dhuafa (DKD) melalui Akte Notaris Kun
Setyowati, SH. No. 6 yang kemudian disahkan melalui SK
Menkumham RI AHU-89.AH.01.04 tahun 2009. Secara resmi, LAZ
DKD mulai menjalankan kegiatan operasionalnya pada tangga 15
Agustus 2004 dan berkantor sementara di Kompleks Masjid Besar
Al-Mujahiddin Jl. A. Yani No. 114 Kedungsari Magelang Jawa
Tengah 56114.
Lembaga ini termasuk sedikit dari lembaga zakat yang
sudah mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS untuk mengelola
zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Berdasarkan data dari BAZNAS
tahun 2017, DKD menempati urutan 23 dari 25 lembaga amil
zakat yang direkomendasikan BASNAS untuk menyelenggarakan
kegiatannya pada skala Kabupaten dan Kota. LAZ DKD atas nama
Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa telah menerima SK Izin
Operasional sebagai Lembaga Amil Zakat Kota/Kabupaten untuk
wilayah Magelang melalui Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Nomor 551
tahun 2018. Dengan ini LAZ DKD Kota Magelang tercatat menjadi
LAZ ke-4 di wilayah Jawa Tengah yang telah mendapat izin
operasional tersebut.

59
Saat ini, LAZ DKD telah memiliki gedung sendiri yang diberi
nama Wisma DKD dan beralamat di Jalan Serayu Timur No. 2,
Menowo, KedungsariKota MagelangJawa Tengah.
2. Visi dan Misi LAZ DKD
Visi LAZ DKD adalah: “Menjadi lembaga amil zakat
terpercaya dalam membangun kemandirian umat”. Sedangkan
misinya adalah:
a. Mengoptimalkan kualitas pengelolaan ZIS yang amanah,
profesional dan transparan.
b. Mengoptimalkan pendayagunaan ZIS yang kreatif, inovatif dan
produktif.
c. Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan,
pemerintah dan LSM dalam dan luar negeri.
d. Memberikan pelayanan informasi, edukasi dan advokasi
kepada masyarakat penerima manfaat.
Dalam menjalankan program-programnya, LAZ DKD
menitikberatkan pada delapan pilar, yaitu:
a. Sahabat Juara (Pendidikan)
b. Sahabat Berdaya (Ekonomi)
c. Sahabat Peduli (Sosial)
d. Sahabat Sehat
e. Sahabat Yatim
f. Sahabat Qurban
g. Sahabat Dakwah
h. Sahabat Ramadhan
3. Layanan LAZ DKD
Layanan LAZ DKD berkaitan ZISWAF (zakat, Infak, Sedekah,
dan Wakaf), sebagaimana disebutkan dalam web resmi lembaga7
sebagai berikut:
a. Layanan Kursus Singkat Manajemen Zakat
Program kursus singkat atau short course manajemen
zakat bertujuan untuk membekali peserta, baik para pengelola
zakat maupun masyarakat umum, tentang ilmu fikih zakat,
pengelolaan zakat yang terkait dengan fundraising dan

7 https://dkdpeduli.or.id/ziswaf/

60
penyaluran harta zakat. Setelah mengikuti kegiatan ini,
peserta diharapkan memperoleh pengetahuan yang
bermanfaat dan memiliki motivasi untuk bergerak dalam
bidang pengelolaan zakat.
b. Layanan Counter Sedekah
Layanan ini merupakan impelementasi dari kerjasama
dantara DKD dengan lembaga-lembaga mitra berupa layanan
konsultasi dan pembayaran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Program ini secara khusus dilaksanakan selama bulan
Ramadhan yang merupakan bulan yang potensial bagi
penggalangan zakat. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
membantu masyarakat, khususnya stakeholders pada lembaga
mitra dalam membayar zakat, infaq dan sedekah. Secara
teknis, LAZ DKD akan mengutus dua petugas pada setiap
counter layanan dan siap melayani transaksi dan konsultasi
tentang zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
c. Layanan Buletin Sahabat
Layanan ini berkaitan dengan penerbitan bulletin yang
berisi program-program pemberdayaan zakat dan laporan
keuangan yang telah dijalankan oleh LAZ DKD. Bulletin ini
diberi nama Bulletin Sahabat, tersebit secara berkala, dan
disitribusikan kepada masyarakat umum, mitra, maupun
pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi tentang
zakat dan LAZ DKD..
d. Layanan Gentong Sedekah Raksasa
Layanan ini bertujuan mendorong masyarakat untuk
bersedekah dengan cara menyedian gentong yang cukup
besar dan ditempatkan di beberapa tempat yang banyak
dikunjungi masyarakat. Gentong besar yang diberi nama
Gentong Raksasa ini ditempatkan di pusat perbelanjaan, super
market, rumah makan, dan lainnya untuk mengingatkan
pengunjung agar selalu ingat dengan kewajiban untuk
membantu sesama.
e. Layanan DKD Goes To School
Layanan ini merupakan program LAZ DKD untuk
mengenalkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf kepada anak-

61
anak di sekolah. Bentuk kegiatannya adalah memberikan
pengetahuan dan motivasi kepada para siswa agar mampu
memupuk rasa simpati dan peduli kepada mereka yang
membutuhkan. Kegiatan ini dilengkapi dengan gerakan koin
untuk sahabat yang merupakan gerakan sosial untuk dapat
disalurkan kepada pihak yang kurang beruntung.
f. Layanan Kampanye Zakat
Layanan ini bertujuan mengenalkan zakat kepada
masyarakat dan manfaatnya bagi program pemberdaya-an
kaum dhuafa. Program ini selaras dengan program
pemerintah yang berkaitan dengan program pengentasan
kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dasar dari layanan ini adalah fakta bahwa sampai saat ini
kesadaran masyarakat untuk berzakat masih belum maksimal
sehingga potensi zakat yang sangat besar belum dapat digali
secara optimal. Dalam menjalankan layanan ini, LAZ DKD
berusaha menggandeng berbagai pihak sebagai mitra, baik
pemerintah maupun swasta, untuk melakukan kampanye
zakat, melalui spanduk, baliho, brosur, aksi simpatik di jalan,
dan bentuk sosialisasi lainnya.
g. Layanan Konsultasi & Jemput Sedekah
Layanan ini bertujuan untuk mendekatkan zakat kepada
masyarakat. Masyarakat yang membutuhkan informasi
tentang zakat akan dilayani melalui layanan konsultasi
sedangkan masyarakat yang kesulitan menunaikan zakat akan
dilayani melalui layanan jemput zakat dan sedekah. Caranya
sangat mudah yaitu dengan menghubungi kantor LAZ DKD
atau vias SMS di hotline service LAZ DKD. Setelah itu, petugas
akan menghubungi pihak tersebut dan memberikan bantuan
yang terkait dengan pembayaran zakat maupun sedekah.

B. Yayasan Kesejahteraan Islam (YKI) Kota Magelang


Yayasan Kesejahteraan Islam (YKI) Kota Magelang
merupakan lembaga wakaf yang saat ini mengelola unit usaha
utama berupa Rumah Sakit Islam Kota Magelang dan beberapa
unit usaha lain sebagai pendukung unit usaha utama. Berdasarkan

62
penelusuran dari web resmi lembaga8 diketahui bahwa YKI
didirikan pada tahun 1993 berdasarkan Akta Notaris Nomor 7
Tahun 1993, yaitu Kunsri Hastuti, SH, dan ditandatangani pada
hari Rabu, 4 Agustus 1993.
Pada mulanya, yayasan ini didirikan oleh keinginan
sejumlah tokoh agama di Kota Magelang yang memiliki keinginan
untuk mendirikan lembaga keagamaan, baik berupa lembaga
pendidikan maupun rumah sakit. Tokoh-tokoh agama tersebut
selanjutnya menggalang dana, baik berupa infak, sedekah, dan
wakaf untuk merealisasikan maksud tersebut sampai akhirnya
terkumpul sejumlah dana dan berhasil membeli sebidang tanah di
Jalan Jeruk No. 4 A Kota Magelang seluas 2.250 m2 dan 4.750 m2.
Dalam perkembangannya, rencana tersebut mengerucut pada ide
pendirian lembaga kesehatan berupa Rumah Sakit Islam karena
melihat kondisi riil saat itu masih banyak masyarakat yang akan
berobat tapi terkendala masalah biaya. Manajemen YKI sendiri,
sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Yayasan, terdiri
dari Pembina, Pengurus, Pengawas, dan Pelaksana.
Dalam Akta Yayasan disebutkan bahwa visi YKI adalah
untuk mewujudkan masyarakat madani dan visinya adalah
menyelenggarakan pelayanan sosial, mengembang-kan syiar
Islam, dan menyelenggarakan pelayanan kemanusiaan. YKI
memiliki tiga bidang usaha, yaitu bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan. Dalam bidang sosial, YKI saat ini mengelola Rumah
Sakit Islam (RSI) Kota Magelang dan unit-unit usaha yang terkait
dengan rumah sakit. Dalam bidang keagamaan, YKI saat ini
mengelola sarana ibadah berupa masjid Asy-Syifa dengan segenap
program-program yang berkaitan dengan dakwah islamiyah.
Sedangkan dalam bidang kemanusiaan, melalui RSI dan masjid
Asy-Syifa, YKI telah terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan
kemanusiaan seperti membantu korban bencana alam, fakir
miskin, aksi donor darah, khitanan masal, dan melestarikan
lingkungan.

8 http://rsikotamagelang.com/profil/sejarah/

63
Sampai saat ini, RSI Kota Magelang masih menjadi core
bussines dari usaha yayasan. RSI sendiri mulai beroperasi pada
tanggal 6 Juni 1997 oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Bapak Prof. Dr. H. Sujudi. Pada saat itu juga ditandai dengan
peletakan batu pertama guna pembangunan masjid Asy-Syifa yang
telah mendapatkan bantuan dana dari Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila. Dalam perjalanannya, RSI Kota Magelang telah
melewati masa pasang surut dengan dinamika yang pada akhirnya
diharapkan dapat memperkuat posisi lembaga itu sendiri. Saat ini,
Rumah Sakit Islam Kota Magelang merupakan Rumah Sakit Islam
satu-satunya di Kota Magelang dan mendapatkan kepercayaan
luas dari masyarakat Kota Magelang dan sekitarnya (Usman,
2016).
Rumah Sakit Islam Kota Magelang memiliki falsafah yang
berdasar spirit agama Islam yang berdasarkan Alquran dan
Sunnah, meyakini bahwa agama Islam merupakan rahmat bagi
seluruh alam, seluruh aktifitas rumah sakit adalah kegiatan
ibadah, menebar manfaat lebih luas kepada seluruh lapisan
masyarakat, menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas dalam
menjalankan roda organisasi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Visi Rumah Sakit Islam Kota Magelang saat ini adalah
sebagai berikut: “Menjadi Rumah Sakit Islam pilihan pertama
semua lapisan masyarakat di Magelang dan sekitarnya.”
Sedangkan misinya adalah menyelenggarakan pelayanan
yang profesional, membantu masyarakat yang kurang mampu,
memberikan partisipasi optimal dalam bidang kesehatan
masyarakat, dan membentuk lingkungan pelayanan yang Islami,
agar menjadi sarana dakwah Islam Rahmatan lil Alamin terhadap
umat Islam maupun non Islam9.

9 http://rsikotamagelang.com/profil/visi-dan-misi/

64
C. LAZ Yatim Mandiri
Lembaga Amil Zakat Yatim Mandiri (LAZ Yatim Mandiri)
merupakan lembaga amil zakat berskala nasional yang mengelola
dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf), serta dana-dana
sosial lainnya yang berasal dari sumber-sumber yang halal.
Sumber-sumber dana tersebut bisa berasal dari perseorangan,
kelompok, perusahaan, instansi pemerintah, BUMN, BUMD, atau
lembaga lainnya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
dengan syarat merupakan dana sosial yang tidak mengikat dan
bersifat legal.
LAZ Yatim Mandiri diinisiasi oleh sejumlah orang yang
terlibat dalam aktifitas sebuah panti asuhan di Surabaya. Mereka
adalah Sumarno, Sahid Has, Syarif Mukhodam, Hasan Sadzili, dan
Moch Hasyim. Mereka merasa gelisah dengan keadaan anak-anak
yatim di sekitar mereka yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan mereka pada jenjang yang lebih tinggi. Biasanya,
setelah selesai pendidikan pada tingkat menengah atas, anak-anak
panti tersebut dikembalikan kepada keluarga mereka, padahal
kondisi keluarga tersebut rata-rata masih belum mampu merubah
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Kondisi ini kemudian
melahirkan pemikiran bagaimana caranya agar anak-anak yang
telah meninggalkan panti-panti asuhan tersebut memiliki masa
depan yang lebih baik dengan memberikan bekal, baik berupa
pendidikan, keterampilan, maupun modal usaha agar mampu
mandiri dan menjalani kehidupan secara lebih baik.
Ide tersebut selanjutnya ditindaklanjuti secara nyata dalam
bentuk yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan anak
yatim setelah mereka keluar dari panti asuhan. Teknisnya, mereka
diikutkan pada sejumlah program yang bertujuan memberikan
bekal yang cukup untuk menghadapi masa depan anak-anak
tersebut.
Yayasan tersebut akhirnya berdiri pada tanggal 31 Maret
1994 dan diberi nama Yayasan Pembinaan dan Pengembangan
Panti Asuhan Islam dan Anak Purna Asuh (YP3IS). Tanggal
tersebut selanjutnya dijadikan sebagai hari lahir yayasan. Dalam
perjalanannya, yayasan tersebut mengalami perkembangan yang

65
pesat dan mendapat respon yang positif dari masyarakat. Pada
proses selanjutnya, untuk meningkatkan kinerja dan
memantapkan profesiona-lisme yayasan, lembaga tersebut
berubah nama menjadi Yatim Mandiri.
Selanjutnya, pada tanggal 22 Juli 2008, Lembaga Yatim
Mandiri didaftarkan secara legal pada Dephukham dengan
nomor: AHU-2413.AH.01.02.2008. Sesuai namanya, Lembaga
Yatim Mandiri bergarak dalam bidang pembinaan dan
pemberdayaan anak-anak yatim agar menjadi generasi yang kuat
bagi masa depan umat Islam di negeri tercinta ini. Secara resmi,
Yatim Mandiri telah memiliki legalitas sebagai Lembaga Amil
Zakat Nasional berdasarkan SK. Kemenag RI no 185 tahun 2016.
Lembaga Amil Zakat Yatim Mandiri memiliki visi menjadi
lembaga yang terpercaya dalam membangun kemandirian yatim.
Sedangkan misinya adalah membangun nilai-nilai kemandirian
yatim dhuafa, meningkatkan partisipasi masyarakat dan
dukungan sumberdaya untuk kemandirian yatim dan huafa, dan
meningkatkan capacity building organisasi.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, LAZ Yatim
Mandiri saat ini telah memiliki sejumlah cabang di berbagai
propinsi di wilayah negara Republik Indonesia dan telah
memberikan layanan dan pembinaan kepada banyak anak yatim
di berbagai wilayah di Indonesia.

D. Lazis Jateng
Lazis Jateng merupakan singkatan dari Lembaga Amil Zakat,
Infak, dan Sedekah Al-Ihsan Surakarta Jawa Tengah. Sesuai
namanya, lembaga ini bergerak dalam bidang pengelolaan zakat,
infak, sedekah, dan wakaf untuk dikembangkan dan disalurkan
pada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Secara administrasi,
Lazis Jateng berdiri pada tanggal 12 Oktober 2000 dan disahkan
oleh SK Notaris RA Cheriah Bahrudin Suryobroto, SH tanggal 6
Maret 2001. Induk dari Lazis Jateng adalah Yayasan LAZ Al-Ihsan.
Dalam perkembangannya, Lazis Jateng melebarkan sayap
organisasi di lingkungan Jawa Tengah di bawah Yayasan Al-Ihsan
Jawa Tengah berdasarkan SK Notaris Ida Widiyawati tanggal 1

66
Agustus 2007 dan dikuatkan oleh SK dari DEPKUMHAM RI,
Nomor 3328, HT.01.02. Tahun 2007.
Lazis Jateng memiliki visi menjadi lembaga yang mampu
“bangkit dari kemiskinan menuju kemandirian.” Sedangkan misi
Lazis Jateng adalah 1) membangun sistem manajerial
kelembagaan yang amanah, profesional, Innovatif dan
accountable, 2) membangun jaringan internal dan eksternal Lazis
Jateng dalam penghimpunan dan pemberdayaan dana ummat, 3)
membangun aset-aset ummat dalam sektor ekonomi, pendidikan
dan kesehatan, dan 4) peningkatan kualitas sumber daya amilin
secara periodik.

E. PKPU Jawa Tengah


Pos Keadilan Peduli Umat atau PKPU merupakan lembaga
filantropi Islam di Indonesia yang berdiri dengan badan hukum
yayasan pada tanggal 10 Desember 1999. Dalam
perkembangannya, PKPU bertransformasi menjadi Lembaga Amil
Zakat Nasional (LAZNAS) sejak tanggal 8 Oktober 2001
berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 441 Tahun 2001. Pada
tahun 2008, PKPU mulai merambah dunia internasional dengan
status NGO in Special Consultative Status with the Economic and
Social Council of the United Nations, dan telah memperoleh
register di PBB pada 22 Juli 2008. Lalu pada tahun 2010,
berdasarkan keputusan Menteri Sosial RI No.08/Huk/2010, PKPU
resmi terdaftar sebagai Organisasi Sosial Nasional. Pada tanggal 8
Oktober 2010, PKPU didaftarkan di di UNI Eropa dengan nomor
registrasi EuropeAid ID No. 2010-CSD-1203198618. Pada tahun
2016, PKPU melakukan perubahan nama menjadi PKPU Human
Initiative dan mengfokuskan diri sebagai lembaga pengelola dana
kemanusiaan. Selanjutnya, pada tahun 2019 PKPU Human
Initiative memutuskan untuk menghilangkan nama PKPU dan
cukup dengan nama Human Initiative untuk mewujudkan
semangat organisasi menuju worldwide organization. Sampai
tahun 2021, Human Initiative telah memiliki 13 kantor cabang
dan berbagai program yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
skala global, Human Initiative juga telah memiliki 3 kantor di

67
Korea Selatan, Australia dan Inggris, 10 representatif yang
tersebar di Amerika Serikat, Arab Saudi, Jerman, Jepang, Kuwait,
Malaysia, Qatar, Taiwan, Turki, dan Uni Emirat Arab (Profile of
Human Initiative, 2021).
Berdasarkan data yang dimuat pada web10 resmi PKPU, visi
dan misi PKPU adalah sebagai berikut “Menjadi organisasi
kemanusiaan dunia terpercaya dalam membangun kemandirian”
Sedangkan misi PKPU secara ringkas adalah
mendayagunakan program kegawatdaruratan, menjalin
kemitraan dan kolaborasi antar manusia, melakukan kegiatan
studi, riset, pengembangan, dan pembangunan kapasitas yang
relevan bagi peningkatan efektivitas peran organisasi masyarakat
sipil, membangun organisasi yang efektif, dan mengembangkan
program-program yang bersifat advokasi guna mendorong
keadilan dan kesetaraan di masyarakat (Profile of Human
Initiative, 2021).
Secara garis besar, Program PKPU terdiri atas empat bidang
utama11, yaitu bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan gawat
darurat.
Program kerja yang termasuk dalam bidang pendidikan
diantaranya berupa; 1) pelatihan ketrampilan, 2) Beasiswa
produktif, 3) Bimbingan belajar, 4) Sekolah gratis, dan 5)
Pemberdayaan anak-anak dhuafa lainnya.
Program Kerja yang termasuk dalam bidang kesehatan
diantaranya adalah; 1) Program Kesehatan Masyarakat Komunitas
miskin dan jauh dari fasilitas kesehatan Keliling (PROSMILING), 2)
Ibu Sadar Gizi(BUDARZI), 3) Klinik peduli, 4) Layanan antar
jenazah, dan lainnya.
Program kerja yang termasuk dalam bidang ekonomi
diantaranya berupa Program Dhuafa produktif, Pelatihan
kewirausahaan, dan lainnya.
Program kerja yang termasuk dalam bidang gawat darurat
(rescue) diantaranya berupa Cummunity Based Daerah bencana

10 (https://pkpu.org/tentang-kami/)
11 https://human-initiative.org/tentang-kami/

68
Disaster Risk Management (CBDRM) Tanggap bencana dan
pelatihan Tim relawan Relawan lintas Kabupatan dan Kota.
Sedangkan dalam Profile of Human Initiative tahun 2021,
program-program kerja Human Initiative disebutkan dalam
bentuk:
1. Initiative for Empowerment. Program ini terdiri dari sejumlah
program pemberdayaan yang dilaksanakan di tingkat
individu, keluarga, dan lingkungan berdasarkan potensi
masyarakat dan potensi lingkungan. Tujuannya adalah untuk
membangun keswadayaan masyarakat dan kualitas hidup dan
kesejahteraan yang berkelanjutan.
2. Initiative for Disaster. Program ini terdiri dari sejumlah
program yang bertujuan mengurangi dampak bencana melalui
pemberdayaan potensi dan kapasitas masyarakat untuk
mengenali potensi bencana dan membuat persiapan
menghadapi bencana tersebut.
3. Initiative for Children. Program ini terdiri dari sejumlah
program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan anak-anak, baik yatim maupun dhuafa, seperti
program beasiswa, pemenuhan perlengkapan sekolah,
kelengkapan alat ibadah, pelatihan keterampilan, dan lainnya
(Profile of Human Initiative, 2021).

F. Baitul Maal Hidayatullah


1. Sejarah Berdirinya Baitul Maal Hidayatullah
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) merupakan lembaga amil
zakat nasional (LAZNAS) yang bergerak dalam bidang
penghimpunan dan penyaluran dana filantropi. Dana yang
dihimpun terdiri dari dana ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan
wakaf), hibah, dana sosial, dan corporate social responsibility
(CSR) dari berbagai perusahaan yang memberikan kepercayaan
untuk mengelola dan menyalurkannya melalui LAZ BMH.
Sedangkan dari segi penyaluran dana, LAZ BMH melakukan
distribusi secara nasional melalui program pendidikan, dakwah,
sosial kemanusiaan, dan ekonomi. Dari segi legalitas, BMH
dikukuhkan sebagai lembaga amil zakat nasional oleh Kementrian

69
Agama RI dengan SK No. 425 Tahun 2015 dan sesuai ketentuan
UU Zakat No. 23/2011.
LAZ BMH telah tersebar di sebagian besar wilayah
Indonesia dan menyalurkan manfaat bagi banyak mustahik dan
dalam bentuk program-program filantropi. Di antara program-
program tersebut berupa pondok-pondok pesantren atau
madrasah yang telah melakukan program pendidikan bagi
masyarakat luas, program dakwah Islamiyah melalui penyebaran
dai-dai tangguh yang telah tersebar di seluruh wilayah nusantara,
dan program-program pemberdayaan bagi keluarga-keluarga
mustahik dan pendidikan anak-anak dhuafa.
Secara historis, LAZ BMH merupakan bagian dari perjuanan
sejumlah aktivis muslim melalui induk organisasi Hidayatullah
yang bergerak dalam bidang dakwah islamiyah, pendidikan, dan
sosial. Sebagai lembaga nonprofit, LAZ BMH memiliki komitmen
untuk memberdayakan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan melalui pengelolaan
dana sosial masyarakat dari perorangan, lembaga maupun
perusahaan
Sebagai ormas, Hidayatullah tidak dapat dipisahkan dari
sebuah pesantren yang disebut dengan nama pesantren
Hidayatullah. Pesantren ini didirikan oleh Ustadz Abdullah Said
pada tanggal 7 Januari 1973 di Balikpapan. Pesantren
Hidayatullah bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, dan
kegiatan sosial. Salah satu kegiatannya adalah mengelola dana
filantropi melalui program penghimpunan, pendayagunaan, dan
penyaluran kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkannya.
Pada proses selanjutnya, unit kegiatan yang mengelola dana
tersebut mengkristal dalam bentuk lembaga mandiri yaitu Baitul
Maal Hidayatullah (BMH).
Visi Baitul Maal Hidayatullah adalah, “Menjadi Amil Zakat
yang terdepan dan terpercaya dalam memberikan pelayanan
kepada ummat”. Sedangkan misinya adalah meningkatkan
kesadaran umat Islam untuk melaksaknakan kewajiban zakat dan
peduli terhadap sesama, mengangkat kesejahteraan dan kemuliaan

70
kaum dhuafa, dan menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh
umat manusia.
Sebagai salah satu lembaga pengelolah dana filantropi BMH
memiliki beberapa produk layanan melalui program pendidikan,
dakwah, sosial dan pemberdayaan ekonomi umat.
Di antara program-program LAZ BMH adalah mengelola dan
menghimpun donatur yang bermaksud menyalurkan dana
filantropinya secara rutin bulanan melalui LAZ BMH. Selain itu,
LAZ BMH juga berkomitmen untuk meningkatkan pendidikan
anak-anak dhuafa melalui program beasiswa pendidikan anak
yatim dan dhuafa melalui program orang tua asuh. Melalui
program ini, donatur dapat menyalurkan dananya secara rutin
atau dapat memilih sendiri profil anak asuhnya dengan catatan
berkomitmen untuk menyampaikan laporan mengenai
perkembangan anak tersebut.
Selain itu, LAZ BMH juga menyalurkan dana-dana
keagamaan yang disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya seperti program kurban berkah, layanan infak dan
sedekah dalam bentuk uang ataupun barang, layanan waka tunai
untuk mewujudkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan
pendidikan dan dakwah, dan juga layanan sosial kemasyarakatan
untuk membantu saudara-saudara kita yang mengalami musibah
dan bencana seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan lain
sebagainya.
Program lainnya yang terkait dengan dakwah dan
sosialisasi adalah layanan dalam bentuk media cetak dan media
sosial. Program ini bertujuan untuk menyampaikan informasi
mengenai kegiatan-kegiatan BMH kepada para donatur dan
masyarakat secara luas. Layanan ini diwujudkan dalam bentuk-
bentuk sosialisasi melalui Bulletin (BMH News) yang dibagikan
secara gratis, konsultasi syariah bagi donatur dan masyarakat
umum, layanan dakwah bagi donatur yang ingin menyelenggarakan
kajian rutin di lingkungannya, layanan jemput zakat bagi muzakki
yang ingin menyalurkan dana zakatnya melalui BMH, baik zakat
mal maupun zakat fithri.

71
LAZ BMH juga menyelenggarakan program pemberdayaan
dalam bidang pendidikan seperti pelatihan peningkatan
kompetensi guru, manajemen sekolah, dan beasiswa bagi siswa
berprestasi. Dalam bidang pendidikan ini, LAZ BMH juga
mempunyai program khusus unggulan, yaitu:
a. Beasiswa Sekolah Pemimpin
Beasiswa ini diperuntukan untuk anak-anak
dhuafa/nyatim yang secara finansial orang tuanya tidak
mampu untuk membiayain pendidikan anak-anaknya. Namun,
untuk beasiswa ini sifatnya wajib berasrama. Pada program
ini BMH memberikan fasilitas secara penuh amomudasi,
konsumsi dan pendidikan.
b. Beasiswa Tahfidz Qur’an
Program yang kedua BMH dalam bidang pendidikan
adalah beasiswa tahfidz Qur’an. Program ini bersekala
nasional karena program tahfiz Qur’an merupakan program
langsung dari BMH Pusat. Tujuan dari program ini adalah
untuk menciptakan santri- santri yang tidsak hanya unggul
dalam hal pendidikan umum tetapi mereka juga dapat
menghafal dan memahami Alquran serta mengaplikasikannya
pada kehidupan sehari-hari. Program ini diperuntukkan bagi
anak-anak yatim atau anak-anak yang kurang mampu yang
ingin menghafal Alquran dimulai jenjang SMP/Mts hingga
SMA/MA.
c. Beasiswa Yatim/Dhuafa
Program ini tidak berbeda jauh dengan program
beasiwa sekolah pemimpin, hanya saja pada program ini
bersifat non asrama. Program Beasiswa bagi siswa yatim dan
dhuafa yang tidak mampu yang di mulai dari jenjang
pendidikan SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan Perguruan Tinggi.
Program ini dilakukan untuk ikut mensukseskan Program
Wajib Belajar dan mengurangi angka Drop Out karena tidak
terjangkaunya biaya pendidikan.
d. Beasiswa Calon Dai
Beasiswa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
calon dai dengan mmeberikan pelatihan, pendidikan, dan

72
pembinanaan kepada para calon dai khususnya calon dai yang
berasal dari utusan dari berbagai cabang pondok pesantren
Hidayatullah.
e. Pustaka Ilmu
Dalam rangka untuk menjembatani masyarakat dalam
memperoleh pengetahuan yang semoga dapat memberi andil
untuk mencerdaskan bangsa maka BMH membuat program
pustaka Ilmu yang terletak dienam titik, lima berada di
Balikpapan dan sekitarnya dan satu terletak di Penajam Paser
Utara.
Sedangkan program LAZ BMH dalam bidang dakwah, LAZ
BMH memiliki program bagi pembinaan dai melalui program
kuliah da’i bekerjasama dengan pondok pesantren Hidayatullah.
Diharapkan melahirkan kader-kader yang siap terjun ke
masyarakat kapan saja dan dimana saja. Juga sebagai upaya untuk
menegakkan kembali syi’ar dan agama Allah. Program-progam
rutin BMH pada bidang dakwah antara lain berupa program dai
tangguh dan santunan bagi guru TK/TPA.
Dalam bidang sosial, BMH menyediakan santunan kepada
yatim piatu dan masyarakat yang tidak mampu (miskin) dengan
memberikan dantuan dana kepada mereka. Pada program sosial
lebih banyak bersifat isedentil atau pemberian sesat. Diantaranya
pemberian dana kepada masyarakat miskin untuk biaya
kesehatan dan kebutuhan ekonomi. Disamping itu, BMH juga
membina dan memberdayakan para jompo berupa pembinaan
secara rutin. Pada bidang sosian BMH lebih bayak memberikan
dantuan yang sifatnya bantuan sesaat atau isidentil.
Dalam bidang ekonomi, LAZ BMH memiliki program berupa
bantuan modal usaha bagi pelaku usaha dari kalangan kaum
dhuafa untuk meningkatkan omset usahanya agar berkembang
menjadi usaha yang mandiri dan mampu memberdayakan orang
lain sehingga bisa merubah status dari mustahik menjadi muzakki
kelak pada kemudian hari.

73
G. LAZISMU
1. Sejarah LAZISMU
LAZISMU adalah singkatan dari Lembaga Amil Zakat, Infak,
dan Sedekah Muhammadiyah. Saat ini, LAZISMU telah menjadi
lembaga pengelola zakat tingkat nasional atau LAZNAS yang
berfokus dalam program pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan dana ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) dan
dana kedermawaan lainnya secara produktif baik dari
perseorangan, perusahaan, instansi dan lembaga lainnya.
Secara historisn, LAZISMU lahir pada tanggal 4 Juli 2002.
Pada hari itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mengesahkan lahirnya Lembaga
Amil Zakat Muhammadiyah yang saat ini dikenal Lazismu.
Lembaga tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Agama
Republik Indonesia sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui
Surat Keputusan Nomor 457/21 November 2002.
(https://lazismu.org/latar-belakang)
Pada awal berdirinya, Lazismu dikomandani oleh Din
Syamsuddin. Sebagaimana layaknya periode perintisan, pada masa
ini programnya sosialisasi kepada seluruh warga persyarikatan
dan masyarakat luas mengenai keberadaan LAZISMU. Selain itu,
program-program LAZISMU juga mulai diperkenalkan untuk
menarik minat calon donatur, khususnya donatur-donatur besar
dan di kota-kota besar (Latief, 2019).
Periode setelah itu, kepemimpinan di LAZISMU dilanjutkan
oleh Drs. Hariyanto Y. Tohari, M.A. Pada masa kedua ini, fokus
LAZISMU adalah pengembangan dan perluasan jaringan. Pada
level internal Persyarikatan, lembaga-lembaga pengelola zakat
yang selama ini berada di bawah koordinasi pimpinan
Persyarikatan secara perlahan-lahan mulai menyesuaikan diri
dengan keberadaan LAZISMU di tingkat pusat.
Seiring dengan perubahan regulasi tentang pengelolaan zakat
di Indonesia, yaitu dengan diberlakukannya Undang-undang Zakat
nomor 23 tahun 2011, Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun
2014, dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
333 Tahun 2015, LAZISMU dikukuhkan kembali sebagai Lembaga

74
Amil Zakat Nasional atau LAZNAS melalui Surat Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 730 Tahun 2016.
Lazismu terdiri atas dua faktor yang melatar belakangi
berdirinya, yakni Pertama, fakta bahwa Indonesia masih belum
berhasil keluar dari masalah kemiskinan dan tatanan keadilan
sosial yang masih rendah. Kedua, zakat diyakini dapat mendorong
terwujudnya keadilan sosial, mampu mengentaskan kemiskinan
dan pembangunan manusia.
Lazismu dimaksudkan sebagai lembaga pengelola zakat
yang dapat membantu program-program pemberdayaan melalui
manajemen modern. Melalui budaya kerja amanah, transparan
dan profesional, Lazismu berupaya mengembangkan diri sebagai
lembaga zakat yang terpecaya. Senantiasa menciptakan program-
program pendayagunaan dengan spirit kreatifitas dan inovasi
yang dapat menjawab problem sosial dan perubahan tantangan
masyarakat yang berkembang .
Salah satu kekuatan LAZISMU adalah adanya dukungan
yang kuat dari Pimpinan Muhammadiyah, baik di tingkat Pusat,
Wilayah, dan Daerah, dengan menjadikan LAZISMU sebagai satu-
satunya Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah. Meskipun
demikian, beberapa Pimpinan Muhammadiyah di tingkat Wilayah
dan kota/kabupaten belum terlalu serius mendukung kehadiran
Lazismu. Beberapa wilayah/daerah belum mengajukan
kepengurusan Lazismu, ada yang sudah dibentuk lembaganya,
kantornya tidak disediakan dan fasilitas pendukung lainnya juga
masih belum bisa diharapkan (Latief, 2019).
Manajemen LAZISMU yang semakin baik didukung oleh
kinerja para amil yang semakin baik pemahaman mereka
terhadap prinsip-prinsip manajemen modern dan pentingnya
kepercayaan dari masyarakat. LAZISMU sudah mulai masuk pada
proses audit Kantor Akuntan Publik. Demikian pula, LAZISMU
secara internal sudah berhasil meningkatkan kerja sama dan
jejaring dengan organisasi-organisasi yang berada di bawah
koordinasi Persyarikatan maupun lembaga-lembaga lain di luar
Persyarikatan Muhammadiyah.

75
2. Program Utama Lazismu
Sebagai Lembaga Amil Zakat tingkat Nasional, LAZISMU
senantiasa peduli dan tanggap terhadap dinamika dan
perkembangan kehidupan masyarakat di tanah air dan manca
negara. Program LAZISMU disusun menjadi tiga pilar utama, yaitu
1) Pilar Pendidikan dan Kesehatan; 2) Pilar Ekonomi; dan 3) Pilar
Dakwah Sosial dan Kemanusiaan (Pedoman dan Panduan
LAZISMU, 2017). Ketiga pilar utama tersebut dapat dirinci
menjadi lima pilar utama, yaitu pendidikan, kesehatan, dakwah,
ekonomi, dan sosial-kemanusiaan12. Berikut ini uraian singkat
mengenai lima pilar utama tersebut.
a. Pilar Pendidikan
Pilar pendidikan merupakan program dalam bidang
pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Program-program
yang termasuk dalam pilar pendidikan yaitu save our school,
beasiswa Sang Surya, beasiswa mentari, peduli guru, school
kita, pesantren tahfidz, sekolah aman dan cerdas, scholarship
preparation program, dan filantropi cilik.
b. Pilar Kesehatan
Pilar kedua dari program LAZISMU adalah pilar
kesehatan. Program-program yang termasuk dalam pilar ini
adalah Klinik Apung Said Tuhuleley, santunan biaya
pengobatan, TB Care, Mobile Clinic (Layanan Kesehatan
Gratis), dan ambulan siaga.
c. Pilar Dakwah
Pilar dakwah merupakan program LAZISMU yang
berkaitan dengan dakwah Islam, yaitu meliputi dai mandiri,
bantuan Alquran dan perlengkapan ibadah, qaryah thayibah
(Desa Berkemajuan), muallaf berdaya, dan back to masjid.
Di antara program pada pilar dakwah ini adalah
program dai mandiri yang tangguh. Tugas dakwah sebenarnya
tugas kita semua, namun ada yang memilih untuk
menjadikannya sebagai jalan hidup utama. Segenap waktu dan
dayanya diwujudkan untuk berdakwah, itulah dai. Tugas

12 http://www.lazismujatim.org/?page_id=7603
76
seorang dai tidaklah ringan, banyak halangan dan rintangan.
Lazismu melalui program Dai Mandiri berusaha meringankan
beban tersebut dengan membantu peningkatan kesejahteraan
melalui kegiatan ekonomi. Diharapkan para dai yang
mengikuti program Dai Mandiri ini mampu menjadi dai
panutan baik dibidang agama, sosial dan ekonomi.
d. Pilar Sosial dan Kemanusiaan
Pilar sosial kemanusiaan terdiri dari Muhammadiyah
Aid International, Indonesia Siaga, Kado Ramadhan, Mudikmu
Aman, Peduli Disabilitas, dan Santunan Dhuafa.
e. Pilar Ekonomi
Pilar ekonomi merupakan program-program LAZISMU
yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi masyarakat.
Program-program ini terdiri dari program tani bangkit, 1000
UMKM, peternak hebat, youth entrepreneurship, buruh tani
nelayan sejahtera, badan usaha mustahik dan hijahpreneur.

H. Dompet Dhuafa
1. Sejarah Dompet Dhuafa
Salah satu lembaga filantropi Islam yang populer di
Indonesia adalah Dompet Dhuafa (DD). Mengutip dari laman
resmi Dompet Dhuafa13, DD merupakan lembaga yang bergerak
dalam bidang filantropi Islam untuk menyelenggarakan program-
program pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan kaum
dhuafa. Dana yang dikelola bersumberkan dari dana zakat, infak,
sedekah, wakaf, dan dana sosial lainnya yang halal dan legal.
Dompet Dhuafa telah mendapatkan izin resmi dari
pemerintah melalui Surat Keterangan dari Menteri Agama Nomor
439 Tahun 2001 sebagai LAZNAS atau Lembaga Amil Zakat
Nasional. Sampai tahun 2008, DD merupakan satu-satunya
lembaga amil zakat yang telah mendapatkan sertifikat
internasional melalui ISO9001:2008.
Pada mulanya, Dompet Dhuafa digabungkan dengan nama
salah satu koran harian berskala nasional, yaitu Harian Umum

13 https://www.dompetdhuafa.org/

77
Republika, sehingga pada saat itu namanya dikenal dengan istilah
Dompet Dhuafa Republika. Pada bulan April 1993, Tim Promosi
Republika mengadakan kegiatan promosi di stadion Kridosono,
Yogyakarta. Tim itu dipimpin sendiri oleh Pemimpin Umum atau
Pemred Republika, yaitu Parni Hadi, dan didampingi KH.
Zainuddin MZ dan Rhoma Irama. Ide penggalangan dana melalui
jaringan Harian Republika muncul pada saat acara ramah tamah
dengan komunitas dakwah yang tergabung dalam Corps Dakwah
Pedesaan (CDP) yang dipimpin oleh Ustadz Umar Sanusi dan salah
satu pegiat dakwah di daerah miskin di Kabupaten Gunung Kidul,
yaitu Ustadz Jalal Mukhsin. Ide itu sendiri didasari oleh semangat
dakwah di daerah terpencil dan minimnya dukungan dana bagi
kegiatan tersebut.
Ide tersebut mulai mengkristal pada tanggal 2 Juli 1993
dengan adanya rubrik khusus di Harian Umum Republika pada
halaman depan dengan tajuk “Dompet Dhuafa”. Rubrik kecil ini
berisi ajakan kepada pembaca untuk peduli dan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh Harian Umum
Republika. Ternyata, program ini mendapat sambutan yang positif
dan dirasa efektif dalam menggalang dana dari masyarakat,
khususnya pembaca Republika. Menilik sejarahnya, tanggal 2 Juli
1993 juga ditetapkan sebagai hari lahir Dompet Dhuafa Republika.
Selanjutnya, pada tanggal 14 September 1994, Dompet
Dhuafa memisahkan diri dari manajemen Harian Umum
Republika dengan mendirikan yayasan yang diberinama Yayasan
Dompet Dhuafa Republika dengan Akta Nomor 41 Tanggal 14
September 1994 di hadapan Notaris H. Abu Yusuf, S.H. Dalam akta
tersebut, ditetapkan sebagai pendiri adalah Parni Hadi, Haidar
Baqir, Sinansari Ecip, dan Erie Sadewo.
Dari segi periodisasi, perkembangan Dompet Dhuafa dapat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode pertumbuhan, fase
transisi, dan fase kemandirian.
Pertama adalah masa pertumbuhan awal (1993-1998). Pada
fase ini, Dompet Dhuafa sering dikaitkan dengan lembaga Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pada saat itu dikenal
dekat dengan pemerintahan. Hal ini dapat dimaklumi karena

78
Dompet Dhuafa merupakan salah satu usaha dari Harian
Republika yang sering dianggap sebagai wahana suara ICMI. Fase
kedua adalah masa transisi selama periode reformasi (1998-
2000). Pada masa ini, Dompet Dhuafa sudah mulai dikenal luas
dan mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Namun pada
masa ini pula, persaingan mulai nampak akibat mulai
bermunculannya lembaga-lembaga sejenis yang mengelola dana
umat. Fase ketiga dapat disebut sebagai fase kemandirian (2000-
sekarang). Fase ini ditandai dengan terlepasnya manajemen
Dompet Dhuafa dari Harian Umum Republika (Sudirman, 2013:
97).
2. Visi dan Misi Dompet Dhuafa
Visi yang ditetapkan Dompet Dhuafa adalah “Terwujudnya
Masyarakat Dunia yang Berdaya Melalui Pelayanan, Pembelaaan
dan Pemberdayaan yang berbasis pada sistem yang
berkeadilan”.14
Sedangkan misi Dompet Dhuafa adalah:
a. Membangun gerakan pemberdayaan dunia untuk mendorong
transformasi tatanan sosial masyarakat berbasis nilai
keadilan.
Tujuan yang ingin dicapai dari misi pertama ini adalah
sebagai berikut:
1) Terwujudnya kolaborasi dan kemitraan strategis di
jaringan global untuk tujuan kemaslahatan berbasiskan
nilai kemanusiaan dan keadilan.
2) Menjadi model gerakan pemberdayaan dunia berbasis
sumber daya lokal dan sistem berkeadilan.
3) Munculnya tokoh yang dapat memberikan pengaruh dan
menyebarkan nilai pemberdayaan.
b. Mewujudkan pelayanan, pembelaan dan pemberdayaan yang
berkesinambungan serta berdampak pada kemandirian
masyarkat yang berkelanjutan
Tujuan yang ingin dicapai dari misi kedua ini adalah
sebagai berikut:

14(https://www.dompetdhuafa.org/page/visi%20dan%20misi/visi_
dan_misi/ind/33

79
1) Terkelolanya perancangan, pelaksanaan, dan
pengevaluasian inisiatif pemberdayaan yang berdampak
nyata, ber-multiplier effect, serta berkelanjutan.
2) Berkembangnya model pemberdayaan partisipatif yang
unggul (masterpiece, teruji, universal) serta dapat
diduplikasi secara massal dan berkelanjutan.
3) Terjalinnya sinergi dalam advokasi kebijakan publik yang
berpihak pada mustahik pada isu global.
c. Mewujudkan keberlanjutan organisasi melalui tata kelola
yang baik (Good Governance), profesional, adaptif, kredibel,
akuntabel dan inovati
Tujuan yang ingin dicapai dari misi ketiga ini adalah
sebagai berikut:
1) Terwujudnya kemandirian organisasi melalui diversifikasi
sumber daya yang tumbuh dan berkesinambungan.
2) Terwujudnya tata kelola organisasi yang profesional
berdaya saing dan berbasis nilai profetik didukung
teknologi yang adaptif.
3. Program-program Dompet Dhuafa
Berdasarkan informasi dari https://www.dompet
dhuafa.org/, program-program Dompet Dhuafa dapat dirangkum
dalam empat bidang utama, yaitu bidang kesehatan, bidang
pendidikan, bidang ekonomi, dan bidang pengembangan sosial.
Dalam bidang kesehatan, DD mendirikan lembaga
kesehatan yang memberikan layanan dengan sistem yang mudah
dan terintegrasi. Salah satu program unggulan dalam bidang
kesehatan adalah Layanan Kesehatan Cuma-Cuma atau LKC.
Selain itu, DD membuka jejaring dengan sejumlah lembaga yang
terkait dengan layanan kesehatan, diantaranya jejaring dengan
Rumah Sakit Qatar Charity, Rumah Sehat Terpadu, Rumah Sakit
Mata Achmad Wardi, Rumah Sakit Ibu dan Aanak Sayyidah,
Rumah Sakit Lancang Kuning, Rumah Sakit Griya Medika, Klinik
Naura Depok, Klinik Baoh, dan lainnya.
Dalam bidang ekonomi, Dompet Dhuafa merangkul
masyarakat dengan berbagai program pemberdayaan untuk
menciptakan jiwa entrepreneurship dan lapangan kerja baru.

80
Jejaring yang dibuka untuk menjalankan program tersebut
diantaranya Kampoeng Ternak Nusantara, Tebar Hewan Kurban,
Pertanian Sehat Indonesia, Karya Masyarakat Mandiri, Tabung
Wakaf Indonesia, IMZ, dan Institut Kemandirian.
Dalam bidang pendidikan, Dompet Dhuafa
menyelenggarakan program-program pendidikan dan beasiswa
bagi anak-anak didik yang kurang mampu. Untuk mewujudkan
itu, DD membuka lembaga-lembaga yang selanjutnya menjadi
jejaring DD, seperti Smart Ekselensia Indonesia, Bakti Nusa,
Sekolah Guru Indonesia, Makmal Pendidikan, Kampus Umar
Usman, dan Beastudi Etos.
Dalam bidang pengembangan sosial, Dompet Dhuafa
mengelola program yang melibatkan para relawan membantu
saudara-saudara yang mengalami musibah atau bencana.
Jejaring yang dibuka untuk menjalankan program tersebut
diantaranya Disaster Management Centre, Semesta Hijau, Cordofa,
Ideas, DDVolunteer, dan Lembaga Pelayanan Masyarakat atau
LPM.15
Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) merupakan lembaga
layanan sosial yang menjadi pintu utama penyaluran dana zakat,
infak, dan sedekah kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya. Lembaga ini memiliki tiga pilar penyelenggaraan
program, yaitu Layanan Mustahik, Lantas Berdaya (Layanan
Komunitas Berbasis Sumber Daya), dan program LDK (Layanan
Dakwah Komunitas).

I. Tabung Wakaf Dhompet Dhuafa


Tabung Wakaf pada mulanya merupakan bagian dari dari
Dompet Dhuafa dan berdiri pada tanggal 14 Juli 2005 dengan
nama Tabung Wakaf Indonesia atau TWI. Secara khusus dan
sesuai namanya, TWI mengelola dana-dana wakaf untuk tujuan
pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan umat dengan
konsep wakaf produktif.

15 https://www.dompetdhuafa.org/page/profil_social_development/ ind/9

81
Tabung Wakaf Dompet Dhuafa mengelola wakaf uang dalam
suatu program yang disebut Program Wakaf Produktif (WAKIF).
Wakaf uang akan dikelola secara produktif dalam berbagai bentuk
sarana dan kegiatan usaha. Bersama mitra-mitranya, Tabung
Wakaf Dompet Dhuafa memproduktifkan wakaf uang melalui
usaha peternakan, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan
persewaan. Keuntungan dari proses produksi dan perdagangan
ini selanjutnya digunakan untuk beragam layanan sosial, seperti
pembangunan dan pengelolaan masjid, sekolah, klinik, dapur
umum, dan taman bermain.
Sejumlah program wakaf produktif yang dilakukan oleh
Tabung Wakaf diinvestasikan dalam program wakaf peternakan,
wakaf pertanian, wakaf perkebunan, wakaf usaha perdagangan,
dan lainnya.
Dalam program wakaf usaha perdagangan, Tabung Wakaf
menjalin mitra dengan sejumlah pedagang untuk mengelola
program kemitraan melalui akad yang telah ditetapkan
sebelumnya. Salah satu mitra dagang Tabung Wakaf Dompet
Dhuafa adalah Bakmi Langgara. Bakmi Langgara adalah salah satu
usaha milik Wahyu Saidi. Ia adalah seorang pengusaha sukses
yang memiliki berbagai usaha tata boga. Wahyu Saidi bersedia
menerima sejumlah dana investasi dari Tabung Wakaf Dompet
Dhuafa untuk mengembangkan bisnisnya. Ia menggunakan dana
tersebut untuk mendukung usaha bakminya yang sudah berjalan
baik. Dari kesepakatan yang dibuat, Tabung Wakaf Dompet
Dhuafa mendapat keuntungan bagi hasil setiap bulan yang
digunakan untuk mendukung program produktif lainnya, antara
lain bekerja sama dengan Masyarakat Mandiri untuk usaha mie
dan bakso sehat. Selain itu, dana surplus tersebut dimanfaatkan
untuk santunan kaum dhuafa.
Tabung Wakaf juga menyelenggarakan program yang diberi
nama Countrywood Wakaf Junction. Program ini merupakan
usaha dalam bentuk sebuah lokasi bisnis dan juga sebagai tempat
kegiatan sosial. Masyarakat yang dibidik untuk menikmatinya
adalah kalangan menengah ke bawah. Keluarga yang ingin
berekreasi dapat berkunjung ke tempat ini. Kawasan ini berada di

82
lokasi ramai hanya beberapa meter dari jalan WR Supratman,
Ciputat, Tangerang. Jalan ini merupakan jalan raya Ciputat-
Bintaro.
Wahana komersial dan sosial CWJ dibangun di atas tanah
wakaf seluas 845 meter persegi. Untuk niaga, CJW menyediakan
kompleks pertokoan, perkantoran, foodcourt, dan lahan parkir.
Wahana niaga tersebut diintegrasikan dengan sejumlah sarana
sosial, seperti playground, mushala, toilet umum, dan lahan
terbuka untuk Pedagang Kali Lima (PKL) dan Usaha kecil
Menengah (UKM).
Selain program wakaf produktif, Tabung Wakaf juga
mengelola wakaf yang bersifat non-produktif atau wakaf berupa
aset. Ada sejumlah produk TWI yang bersifat sarana-prasarana
untuk pemberian pelayanan kepada dhuafa, seperti Program
Wisma Muallaf, Rumah Cahaya, Zona Madina, sekolah SMART
Cibinong, sekolah Al-Syukro Universal, Bumi Pengembangan
Insani, Gedung Wardah, Gedung Jannah, Gedung Philanthropy
Building, Khadijah Learning Center, Masjid Smart Sekolah Smart
Cibinong, Gerai Sehat Madiun, dan Rumah Sehat Terpadu Dompet
Dhuafa.

J. LAZISNU NU-CARE
LAZISNU atau Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah
Nahdlatul Uama merupakan lembaga filantropi milik organisasi
kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU). Tujuannya adalah untuk
mengelola dana filantropi Islam untuk meningkatkan
kesejahteraan umat dan mengangkat harkat sosial, khususnya
dari kaum dhuafa. Pada prosesnya, LAZISNU melakukan
rebranding menjadi NU CARE-LAZISNU dengan maksud agar lebih
mudah dikenal dalam rangka mengelola zakat, infak, dan sedekah.
Dikutip dari web resmi LAZISNU16, Lembaga Amil Zakat,
Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 2004
sebagai amanat dari Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-31,
di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. NU CARE

16 www.nucare.id

83
secara yuridis-formal dikukuhkan oleh SK Menteri Agama No.
65/2005. Untuk periode pertama kali, LAZISNU dipimpin oleh
Prof. Dr. H. Fathurrahman Rauf, M.A.
Pada tahun 2016, NU CARE-LAZISNU menerapkan Sistem
Manajemen ISO 9001:2015. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kinerja dan meraih kepercayaan masyarakat.
Sertifikatnya dikeluarkan oleh badan sertifikasi NQA dan UKAS
Management System dengan nomor sertifikat: 49224. Sertifikat
tersebut dikeluarkan pada tanggal 21 Oktober 2016. Komitmen
manajemen yang dibangun diberi nama atau istilah “MANTAP”
atau Modern, Akuntable, Transparan, Amanah dan Profesional. NU
CARE telah berkembang dan memiliki kantor atau jejaring di
hampir seluruh wilayah negara Republik Indonesia. NU CARE juga
berkomitmen untuk terus meningkatkan pelayanan dan
kepercayaan dari para donatur dengan menerapkan sistem
manajemen modern.
Visi LAZISNU adalah “Bertekad menjadi lembaga pengelola
dana masyarakat (zakat, infak, sedekah, wakaf, CSR, dll) yang
didayagunakan secara amanah dan profesional untuk
kemandirian umat”. Sedangkan misi LAZISNU adalah untuk
mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk
mengeluarkan zakat, infak, sedekah dengan rutin, mengumpulkan
dan menghimpun dan mendayagunakan dana zakat, infak, dan
sedekah secara profesional, transparan, tepat guna dan tepat
sasaran, dan menyelenggarakan program pemberdayaan
masyarakat guna mengatasi problem kemiskinan, pengangguran,
dan minimnya akses pendidikan yang layak.

K. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)


Pengelolaan zakat di Indonesia dapat dibagi dari segi
yuridis menjadi dua, yaitu periode sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dan periode setelah diberlakukannya Undang-Undang
tersebut. Sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut, pengelolaan
zakat belum masuk ranah hukum positif. Secara umum, pada
periode tersebut penyaluran zakat belum terorganisir dengan

84
baik dan masih disalurkan secara langsung oleh muzakki kepada
mustahiq. Sedangkan lembaga amil zakat yang dibentuk oleh
masyarakat seperti takmir masjid lebih banyak mengelola zakat
fitrah.
Setelah Undang-Undang tersebut lahir, pengelolaan zakat di
Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Badan Amil Zakat
atau BAZ dan Lembaga Amil Zakat atau LAZ. Perbedaannya
terletak pada instansi atau lembaga yang membentuk keduanya.
Badan Amil Zakat dibentuk oleh Pemerintah dan Lembaga Amil
Zakat dibentuk oleh masyarakat. Secara hierarkis, Badan Amil
Zakat (BAZ) terdiri dari BAZ Pusat, BAZ Propinsi, BAZ
Kabupaten/Kota, dan BAZ Kecamatan.
Sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada tahun 2001,
Presiden Republik Indonesia menerbitkan Surat Keputusan
Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional. Pasal 4
dari Surat Keputusan tersebut menjelaskan bahwa tugas Badan
Amil Zakat Nasional adalah melaksanakan pengelolaan zakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengelolaan zakat terdiri dari pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan harta zakat sesuai dengan
ketentuan agama.
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan
penghimpunan zakat adalah melalui sosialisasi dan publikasi
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berzakat.
Dampaknya dapat dirasakan adanya kenaikan dana zakat yang
berhasi dihimpun, baik oleh Badan Amil Zakat maupun oleh
Lembaga Amil Zakat. Jika penghimpunan dana zakat mengalami
kenaikan, maka secara otomatis akan berdampak positif pada
program pendayagunaan dana zakat. Selain jumlah, lokasi yang
dapat dijangkau oleh program pendayagunaan zakat juga semakin
luas hingga ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak tersentuh
program zakat. Secara umum, program pendayagunaan zakat
terdiri dari 5 (lima) program utama, yaitu bidang kemanusiaan,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.

85
Pada tahun 2011, tepatnya tanggal 25 November 2011,
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 diganti dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan Undang-Undang ini, tujuan dari pengelolaan zakat
adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat dan untuk meningkatkan manfaat zakat
guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa
pengelolaan harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai
koordinator pengelola zakat, baik bagi BAZNAS Daerah maupun
bagi LAZ.
Visi BAZNAS adalah: “Menjadi pengelola zakat terbaik dan
terpercaya di dunia”. Sedangkan misinya adalah melakukan
koordinasi jajaran BAZNAS di seluruh Indonesia, mengoptimalkan
penumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat di
Indonesia, menerapkan sistem manajemen zakat modern,
menggerakkan dakwah Islamiyah, menggerakkan zakat secara
masif, dan mengembangkan potensi amil zakat sehingga menjadi
lembaga unggul dan rujukan pada tingkat dunia17.
Dari segi keanggotaan, BAZNAS terdiri dari sebelas orang
anggota. Mereka terdiri dari 8 (delapan) anggota merupakan
perwakilan dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) anggota
merupakan perwakilan dari unsur pemerintah. BAZNAS dipimpin
oleh Ketua BAZNAS dan dibantu oleh Wakil Ketua BAZNAS. Masa
jabatan Ketua BAZNAS adalah lima tahun dan dapat dipilih
kembali satu kali masa jabatan.
Selain BAZNAS yang berkedudukan di pusat, BAZNAS juga
memiliki hierarki pada tingkat propinsi dan kabupaten atau kota.
BAZNAS Propinsi dibentuk oleh Menteri Agama atas usul dari
Gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS
Propinsi bertanggungjawab kepada BAZNAS dan Pemerintah
Daerah Propinsi. Sampai tahun 2020, BAZNAS Propinsi telah

17 www.baznas.go.id

86
dibentuk di 34 Propinsi. Khusus untuk Propinsi Aceh, nama yang
digunakan bukan BAZNAS melainkan Baitul Maal Aceh.
Sedangkan BAZNAS Kabupaten atau Kota dibentuk oleh
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian
Agama atas usul Bupati atau Walikota setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS. BAZNAS Kabupaten atau Kota
bertanggungjawab kepada BAZNAS Propinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupatan atau Kota.
Selain itu, BAZNAS juga bisa membentuk UPZ atau Unit
Pengumpul Zakat. UPZ dibentuk untuk membantu pengumpulan
zakat. Hasil dari pengumpulan zakat oleh UPZ disetorkan ke
BAZNAS, baik tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten atau
kota.
Di wilayah Kota dan Kabupaten Magelang, BAZNAS telah
memiliki kepengurusan dan telah menjalankan tugas-tugas sesuai
kewenangannya masing-masing. Badan Amil Zakat (BAZ)
Kabupaten Magelang dibentuk pertama kali pada tanggal 10
Maret 2005 melalui Surat Keputusan Bupati Magelang Nomor
188.4/359/KEP/07/2005 tentang Pengurus Badan Amil Zakat
Daerah (BAZDA) Kabupaten Magelang untuk Masa Bhakti 2005-
2009.
Secara kronologis, dibentuknya BAZDA Kabupaten
Magelang mengikuti serangkaian aturan yuridis yang berkaitan
dengan pengelolaan zakat di Indonesia. Aturam-aturan yuridis
tersebut adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun
1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, Surat Keputusan Dierjen Bimas
Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000, dan KMA
nomor 373 Tahun 2003 Tanggal 18 Juli 2003 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat yang merupakan peninjauan kembali terhadap Keputusan
Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999.
Periode berikutnya adalah kepengurusan Badan Amil Zakat
daerah (BAZDA) Kabupaten Magelang Masa Bhakti 2009-2014
berdasarkan SK Bupati Magelang Nomor 188.45/83/KEP/06/2009.

87
SK tersebut dikeluarkan pada tanggal 10 April 2009. Selanjutnya,
periode 2014-2019 dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Magelang
Nomor 188.45/15/KEP/06/2014. Untuk kepengurusan saat ini,
yaitu periode 2019-2024, dikukuhkan berdasarkan SK Bupati
Magelang Nomor 180.182/27/KEP/01.05/2019 dengan nama
baru yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten
Magelang. Perubahan nama dari BAZDA menjadi BAZNAS
merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepengurusan Badan Amil Zakat di Kabupaten Magelang telah
mengalami pergantian pimpinan atau pengurus sebanyak 4
(empat) kali atau empat periode, yaitu periode 2005-2009,
periode 2009-2014, periode 2014-2019, dan periode 2019-2024.
Kepengurusan pada tiga periode pertama menggunakan nama
BAZDA Kabupaten Magelang dan kepengurusan pada periode
keempat, yaitu periode 2019-2024 digunakan nama BAZNAS
Kabupaten Magelang.
Untuk periode 2019-2024, susunan pengurus atau
pimpinan BAZNAS Kabupaten Magelang berdasarkan SK Bupati
Magelang Nomor 180.182/27/KEP/01.05/2019 tentang
Pengangkatan Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten
Magelang Masa Bhakti 2019-2024 dengan Ketua diamanahkan
kepada KH. Afifuddin, B.A., dan dibantu 2 (dua) orang Wakil
Ketua, yaitu KH. Kholid As’adi dan Drs. H. Khairudin, M.A.
Sedangkan kepengurusan BAZNAS Kota Magelang Periode
2016-2021 dikukuhkan berdasarkan Keputusan Walikota
Magelang Nomor 451.12/215/112 Tahun 2016 yang ditetapkan
tanggal 19 Agustus 2016 tentang Pengangkatan Pimpinan Badan
Amil Zakat Nasional Kota Magelang Periode 2016-2021.
Dalam lampiran keputusan tersebut, susunan pimpinan
BAZNAS Kota Magelang Periode 2016-2021 dipimpin oleh K.H.
Mansyur Siroj, M.Ag., dan dibantu oleh 4 (empat) orang wakil,
yaitu Drs. Djam’an Muhyidin selaku Wakil Ketua I Bidang
Pengumpulan, Drs. H. Ismudiyono, M.Ag., selaku Wakil Ketua II

88
Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan, H. Hamdan, S.T.,
selaku Wakil Ketua III Bidang Perencanaan, Keuangan, dan
Pelaporan, dan Kyai Achmad Rifa’i, selaku Wakil Ketua IV Bidang
SDM dan Umum.
Keputusan Walikota tersebut juga menjelaskan tugas-tugas
BAZNAS Kota Magelang, yaitu melakukan tugas-tugas manajemen
zakat, melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait,
melaporkan pengelolaan keuangan lembaga, mengangkat
pelaksana fungsional lembaga, dan membentuk UPZ sesuai
wilayah operasional.

L. Badan Wakaf Indonesia (BWI)


Badan Wakaf Indonesia atau biasa disingkat BWI adalah
lembaga negara independen yang dibentuk negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Tujuan dari dibentuknya BWI adalah untuk mengelola,
mengembangkan, dan memaju-kan institusi wakaf di
Indonesia. BWI tidak dibentuk guna mengambil alih
pengelolaan aset-aset wakaf yang selama ini telah dikelola oleh
para nazhir wakaf, namun dimaksudkan untuk melakukan
pembinaan terhadap nazhir-nazhir wakaf tersebut agar dapat
mengelola aset-aset wakaf secara lebih produktif dan mampu
memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Sebab,
trend pengelolaan wakaf saat ini, baik di Indonesia maupun di
negara-negara lain, adalah manajemen wakaf secara produktif.
Secara administratif, kedudukan Badan Wakaf Indonesia
berada di Jakarta dan diberi kewenangan untuk membentuk
perwakilan, baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten
atau kota.
Sedangkan tugas dan wewenang BWI disebutkan dalam
Pasal 49 ayat (1), yaitu; 1) melakukan pembinaan terhadap
Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf; 2) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf berskala nasional dan internasional; 3)
memberikan persetujuan dan atau izin perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf; 4) emberhentikan dan
mengganti Nazhir; 5) memberikan persetujuan atas penukaran
harta benda wakaf; dan 6) memberikan saran dan
89
pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan
di bidang perwakafan.
Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga Independen yang
dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas
untuk mengembangkan perwakafan nasional dan
internasional”.
Sedangkan misi BWI adalah: “Menjadikan Badan Wakaf
Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”.18
Untuk merealisasikan Visi dan misi tersebut, BWI
membetuk divisi-divisi yang bertugas menyusun dan
merealisasikan program-program kerja BWI. Divisi-divisi BWI
tersebut adalah; 1) Divisi Kelembagaan, Tata Kelola, dan
Advokasi; 2) Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazhir; 3)
Divisi Humas, Sosisalisasi, dan Literasi Wakaf; 4) Divisi
Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf; 5) Divisi Pendataan
dan Sertifikasi Wakaf; dan 6) Divisi Kerjasama, Penelitian, dan
Pengembangan.
Secara teoritis, tugas dan wewenang BWI merupakan tugas
yang berat karena berkaitan dengan permasalahan perwakafan di
Indonesia itu sendiri. Berikut ini hal-hal terkait yang dapat
dilakukan BWI untuk dijadikan sebagai usulan program kerja,
yaitu; 1) Meningkat kompetensi nazhir wakaf; 2) Pemetaan tanah
wakaf untuk tujuan produktif; 3) Program penghimpunan dana
wakaf uang; 4) Penghimpunan pola umum (general cash wakaf);
5) Penghimpunan pola khusus (special/restricted cash waqf); 6)
Program investasi harta wakaf; 7) Penyaluran hasil investasi
harta wakaf kepada mauquf ‘alaih; 8) Program penelitian dan
pengembangan; dan 9) Program sosialisasi wakaf produktif.
Program sosialisasi wakaf produktif dapat dilakukan
melalui sejumlah progam, yaitu: Program Publikasi dan
Edukasi Publik, Penulisan artikel tentang Wakaf Secara berkala,
Liputan tentang kegiatan/ proyek percontohan BWI, Workshop
dan Seminar, Talkshow, Penerbitan buku, Event, Website,
Brosur dan Spanduk, dan Sosialisasi ke daerah.

18 www.bwi.go.id.

90
BAB IV
TQM SEBAGAI MANAJEMEN MUTU

A. Manajemen dan Fungsi-fungsi Manajemen


Manajemen merupakan proses proses atau kerangka kerja
yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok
orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud
yang nyata (Terry, 2005: 1). Dari segi fungsinya, manajemen
memiliki empat fungsi yang biasa disingkat POAC, yaitu planning
atau perencanaan, organizing atau pengorganisasian, actuating
atau pelaksanaan, dan controlling atau pengendalian.
Fungsi perencanaan terdiri dari sekumpulan kegiatan dan
keputusan mengenai apa yang harus dilakukan, kapan,
bagaimana, dan oleh siapa (Handoko, 1990: 77). Langkah-
langkahnya adalah menentukan tujuan, strategi pencapaian,
sumber-sumber daya yang mendukung, dan menetapkan standar
keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut (Sule, 2005: 11).
Fungsi pengorganisasian dilakukan dengan cara menentukan jenis
kegiatan, pelaksana mengerjakan, teknis kegiatan, dan
penanggungjawab kegiatan. Di antara langkah-langkah yang dapat
ditempuh adalah menentukan sumber daya, struktur organisasi,
perekrutan, pelatihan, dan pengembangan SDM, serta
menempatkan sumber daya pada posisi yang tepat (Sule, 2005:
11).
Fungsi actuating bertujuan untuk menyelaraskan setiap
kegiatan yang dilakukan oleh anggota organisasi sehingga dapat
membantu terwujudnya tujuan organisasi. Sedangkan fungsi
pengendalian adalah usaha sistematik untuk menetapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya, termasuk mengukur penyimpangan-penyimpangan
dan mengambil tindakan korektif untuk menjamin bahwa semua
sumber daya telah bekerja secara efektif dan efisien.
B. TQM sebagai Manajemen Mutu
Mutu memiliki arti yang sama dengan kualitas. Dalam
bahasa Inggris, mutu disebut dengan quality. Kualitas atau mutu
sering dikaitkan dengan standar yang diharapkan oleh konsumen.
Jika konsumen mendapatkan standar pelayanan seperti yang
diharapkan, maka pelayanan tersebut diklaim sebagai pelayanan
yang berkualitas atau bermutu. Standar yang dibuat konsumen
bisa saja berbeda dengan standar yang ditetapkan pemberi
layanan. Pemberi layanan sebaiknya memperhatikan standar yang
ditetapkan konsumen agar layanan tersebut dapat memuaskan
konsumen. Oleh karena itu, mutu bisa dipastikan sesuatu yang
memiliki keistimewaan, bahkan dalam konteks yang lebih spesifik
adalah terbebas dari kekurangan untuk memenuhi harapan
konsumen (Sudirman, 2013: 74).
TQM merupakan perkembangan dalam bidang manajemen
yang saat ini banyak diterapkan oleh lembaga-lembaga besar di
dunia. Banyak definisi yang dipaparkan oleh para ahli manajemen
mengenai konsep TQM ini.
Dari uraian definisi-definisi di atas, Sudirman (2013: 79)
menyimpulkan bahwa TQM merupakan salah satu model
manajemen yang mengedepankan kualitas produk atau layanan
yang memiliki daya saing tinggi. Cara yang bisa dilakukan adalah
dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada secara
maksimal serta didukung dengan proses perbaikan yang
berkelanjutan.
Secara teknis, banyak ahli manajemen yang telah
menjelaskan prinsip-prinsip operasional TQM. Prinsip-prinsip
tersebut diantaranya terkait dengan peningkatan kualitas layanan
dan produk, fokus pada kepuasan pelanggan, melakukan
perbaikan secara terus-menerus, dan adanya keterlibatan dan
pemberdayaan terhadap semua potensi yang dimiliki sebuah
lembaga atau organisasi.
Dalam penelitian ini, prinsip-prinsip TQM yang akan
dijadikan sebagai pisau analisis adalah prinsip-prinsip TQM yang
dijelaskan oleh Hensler dan Brunsell, sebagaimana dikutip oleh
Sudirman (2013: 85), yaitu terdiri dari empat prinsip, yaitu

92
kepuasan pelanggan, penghormatan terhadap setiap orang,
manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan.
1. Kepuasan Pelanggan
Kepuasan pelanggan merupakan salah satu prinsip utama
yang harus dipenuhi dalam konsep TQM. Dalam TQM, kualitas
tidak lagi diartikan sebagai produk atau layanan yang telah
memenuhi spesifikasi tertentu, melainkan dilihat dari sudut
pandang pelanggan apakah sudah terpuaskan dengan produk atau
layanan tersebut. Pelanggan yang terpuaskan akan memiliki
dorongan untuk menjalin ikatan emosional dan saling
menguntungkan untuk waktu yang sangat lama sehingga menjadi
pelanggan tetap atau loyal. Produk atau layanan yang berkualitas
akan meningkatkan loyalitas pelanggan, menambah jangkauan
pangsa pasar, meningkatkan nilai jual produk atau layanan, dan
meningkatkan produktiftas dengan biaya yang lebih murah.
Perusahaan yang menerapkan prinsip ini dalam jangka panjang
akan memiliki kemungkinan sustainability lebih lama dan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pada lembaga yang bergerak dalam bidang jasa dan layanan,
pelanggan dapat didefinisikan sebagai pihak yang menerima jasa
atau layanan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari
lembaga tersebut. Di antara pihak yang menjadi pelanggan bagi
lembaga filantropi adalah pihak-pihak yang menjadi sumber dana,
pihak-pihak yang menerima manfaat dari dana filantropi, dan
para mitra yang bekerjasama dengan lembaga filantropi
(Sudirman, 2013: 185).
Dari segi hubungannya dengan lembaga, pelanggan bisa
dibagi menjadi dua, yaitu pelanggan eksternal dan pelanggan
internal. Pelanggan eksternal adalah pelanggan yang berasal dari
luar lembaga. Sedangkan pelangga internal adalah mereka yang
menjadi bagian dari lembaga itu sendiri, khususnya para
karyawan atau staf yang bekerja secara penuh waktu dan
profesional di lembaga filantropi.
Dalam konsep TQM, pelanggan tidak hanya pihak luar yang
berkaitan dengan produk atau layanan perusahaan. Termasuk
dari pelanggan adalah orang-orang yang bekerja di internal

93
perusahaan itu sendiri. Mereka semua membutuhkan kepuasan
dan harus dipenuhi oleh perusahaan.
Kepuasan pelanggan ditentukan oleh lima indikator, yaitu
kualitas produk, jasa layanan, faktor emosional, harga dan biaya,
dan kemudahan mendapatkannya.
Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam
segala aspek, termasuk dalam harga, keamanan, dan ketepatan
waktu. Dengan demikian, segala gerak dan aktifitas perusahaan
harus ditujukan untuk memuaskan pelanggan. Pelanggan yang
telah dipuaskan dengan nilai yang diberikan oleh suatu produk
atau jasa, besar kemungkinan ia akan menjadi pelanggan yang
loyal dalam waktu yang relatif lama.
Menurut Kotler (2007: 177), kepuasan pelanggan adalah
perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah
membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap
kinerja yang diharapkan.
Kepuasan pelanggan dapat diukur dengan beberapa metode
(Tjiptono, 2003: 104), diantaranya:
a. Sistem Keluhan dan Saran
Perusahaan sebaiknya membuka kesempatan seluas-
luasnya kepada pelanggan untuk menyampaikan saran dan
keluhan yang mereka dapatkan ketika berinteraksi dengan
perusahaan tersebut. Metode ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi yang
dihadapi pelanggan sehingga dapat memberikan ide-ide
brilian bagi perkembangan perusahaan dan dapat segera
melakukan tindakan-tindakan korektif untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi.
b. Ghost Shopping
Teknik ghost shopping dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran yang riil mengenai kepuasan
pelanggan. Caranya adalah dengan mempekerjakan beberapa
orang yang seolah-olah bersikap atau berperan sebagai calon
pelanggan yang potensial. Setelah berinteraksi tersebut,
mereka diharapkan memberikan laporan berupa temuan-
temuan yang mereka hadapi selama menjalankan peran

94
tersebut untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan produk
atau jasa yang ditawarkan. Mereka juga diminta melaporkan
bagaimana cara menangani setiap keluhan yang mereka
dapatkan atau saran yang mereka berikan.
c. Lost Customer analysis
Cara ini dilakukan dengan menganalisis pelanggan-
pelanggan yang telah meninggalkan perusahaan tersebut,
tidak lagi membeli produk yang ditawarkan, dan bahkan
berpindah kepada produk lain yang dirasa lebih baik bagi
mereka. Analisis ini digunakan untuk mengetahui alasan
kenapa mereka pindah kepada produk lain dan sebab-
sebabnya. Hasil analisis digunakan untuk melakukan
tindakan-tindakan korektif yang tepat bagi perbaikan masa-
masa yang akan datang.
d. Survai Kepuasan Pelanggan
Perusahaan juga perlu melakukan survai secara
langsung kepada para pelanggan untuk mengetahui respon
mereka terhadap produk atau layanan yang ditawarkan.
Survai bisa dilakukan melalui pos, telepon, maupun
wawancara langsung. Respon dan tanggapan dari mereka
akan menjadi informasi yang penting bagi kebijakan yang
akan diambil pada masa-masa mendatang. Survai secara
langsung juga akan memberikan kesan yang positif bagi
pelanggan karena mereka merasa dihargai dan diperhatikan.
2. Penghormatan terhadap Setiap Orang
Terdapat beberapa terminolgi yang mirip dengan prinsip
penghormatan terhadap setiap orang ini. Sebagai contoh, Tenner-
DeToro menyebutnya sebagai total involvement yang
diterjemahkan menjadi keterlibatan atau keikutsertaan total
(Sudirman, 2013: 86). Sedangkan Deming dalam Sudirman (2013:
80) menyebutnya sebagai upaya menggerakkan setiap orag untuk
mencapai transformasi manajemen yang berkualitas. Deming
menjadikan prinsip ini sebagai salah satu poin untuk menjamin
keberlangsungan mutu dalam jangka panjang. Urgensi prinsip ini
adalah adanya upasa untuk melibatkan seluruh komponen
organisasi, dimulai dari pucuk pimpinan yang paling tinggi,

95
jajaran direksi, karwayan dengan semua jenjangnya, dan bahkan
lembaga-lembaga mitra dalam pembuatan keputusan dan
pemecahan suatu masalah (Laiya, 2018).
Dalam organisasi yang bermutu baik, setiap orang yang
terlibat di dalamnya dianggap sebagai aset yang berharga,
memiliki kelebihan spesifik, bakat yang unik, dan kreatifitas yang
inovatif. Mereka semua merupakan sumber daya yang harus
dioptimalkan pemanfataannya agar dapat memberikan kontribusi
yang maksimal. Prinsip ini berlaku bagi seluruh jajaran organisasi,
dari unsur pimpinan hingga karyawan yang paling rendah. Dalam
prinsip ini, mitra organisasi juga dianggap sebagai pihak yang
dapat memberikan kontribusi positif sehingga layak
dipertimbangkan ide-ide kreatif mereka bagi kemajuan
organisasi.
Dari unsur pimpinan, dibutuhkan karakteristik pemimpin
yang mampu menggerakka seluruh karyawan untuk mencapai
tujuan organisasi dan mampu memenagkan persaingan di era
yang menuntut kompetisi tinggi. Ada empat langkah yang dapat
dilakukan seorang pemimpin untuk memenangkan kompetisi
tersebut, yaitu:
a. Mengenali potensi dan kemampuan karyawan dengan baik
sehingga tugas atau tanggung jawab yang dibebankan
merupakan tugas yang sesuai dengan kemampuan mereka.
b. Membuat rencana kerja yang jelas dan mampu menanamkan
komitmen di antara karyawan dengan baik.
c. Mengusahakan terjadinya kerjasama yang baik sehingga
mampu berkolaborasi, saling berbagi informasi, dan
memunculkan ide-ide kreatif untuk meningkatkan kinerja dan
memperbaiki kekurangan yang ada.
d. Membentuk dan memaksimalkan tim building sebagai sarana
penyegaran kembali. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengembalikan motivasi kerja yang mengalami penurunan
dan meningkatkan spirit kerja untuk membangun kembali
kerjasama tim yang kompak dan solid.
Dari segi hubungannya dengan lembaga, karyawan dan staf
merupakan bagian dari pelanggan internal. Dalam konteks TQM,

96
baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal harus
mendapatkan layanan yang maksimal. Karyawan yang merasa
terpenuhi hak-haknya dengan baik akan memiliki rasa loyal
terhadap lembaga.
Dalam manajemen SDM, loyalitas karyawan adalah sebuah
keniscayaan. Lembaga filantropi harus berusaha meningkatkan
loyalitas karyawan terhadap lembaga agar dapat melakukan tugas
mereka dengan baik.
Berikut ini beberapa langkah yang dapat ditempuh lembaga
untuk meningkatkan loyalitas karyawan terhadap lembaga:
a. Memprioritaskan calon tenaga kerja yang sudah memberi
kontribusi kepada lembaga, baik melalui pemagangan maupun
kontrak kerja terbatas.
b. Melakukan orientasi dan training terhadap karyawan baru.
c. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan secara berkala
(Sudirman, 2013: 216-217)
Dalam kontek lembaga filantropi, mitra kerja adalah para
pengelola aset yang dimiliki lembaga filantropi (Sudirman, 2013:
217). Sebagai contoh, lembaga filantropi yang memiliki berbagai
macam unit usaha, maka pihak-pihak yang mengelola dan terlibat
dalam pengembangan unit-unit usaha tersebut menjadi mitra bagi
lembaga filatropi. Dengan demikian, mitra kerja merupakan unsur
yang sangat penting bagi keberhasilan lembaga filantropi. Mereka
harus diperhatikan dan mendapatkan hak-hak mereka agar dapat
bekerja secara maksimal dan merasa nyaman dengan
pekerjaannya. Mitra yang tidak diperhatikan akan membawa
dampak negatif bagi keberhasilan lembaga filantropi.
Oleh karena itu, setiap pihak yang terlibat dalam organisasi
atau lembaga filantropi harus mendapatkan perlakuan dan
kebijakan yang baik, termasuk kesempatan untuk mengambil
keputusan-keputusan yang melibatkan kepentingan bersama.
3. Manajemen Berbasis Fakta
Lembaga atau perusahaan yang telah mencapai level word
class dipastikan telah menerapkan prinsip manajemen berbasis
fakta dan bukan berdasarkan kepada perasaan atau feeling.
Keputusan manajerial yang didasarkan pada fakta dan data yang

97
baik diharapkan menjadi keputusan yang berkualitas baik dan
berdampak positif bagi organisasi.
Manajemen berbasis fakta diharapkan dapat memperbaiki
cara pengambilan keputusan dan dapat membantu pemangku
kebijakan untuk mengetahui kondisi obyektif sehingga dapat
membuat keputusan terbaik, didasarkan pada data obyektif,
eksplisit, bijaksana, dan mampu meningkatkan hasil yang
diharapkan.
Lembaga atau peusahaan yang tidak menerapkan
manajemen berbasis fakta akan membuat keputusan berdasarkan
perasaan-perasaan atau pengamalan-pengalaman pribadi mereka.
Meskipun dapat membatu dalam membuat keputusan,
pengalaman pribadi merupakan metode yang rentan terhadap
kesalahan-kesalahan sistematis dan berpotensi membuat
keputusan yang berdampak negatif.
Terdapat empat sumber fakta yang dapat dijadikan sebagai
basis pembuatan keputusan, yaitu fakta ilmiah, fakta organisasi,
fakta eksperimental, dan fakta pemangku kepentingan.
Fakta ilmiah merupakan fakta yang diperoleh dari hasil-
hasil penelitian dan dipublikasikan pada jurnal-jurnal akademik
yang memiliki reputasi baik. Fakta organisasi merupakan kondisi
obyektif dari organisasi itu sendiri, bisa berupa data keuangan,
standar-standar tertentu yang telah ditetapkan organisasi, respon
dari pelanggan atau klien, respon karyawan dan staf terkait
kepuasan kerja, dan data-data obyektif lainnya. Fakta ini penting
bagi pimpinan organisasi untuk mengidentifikasi masalah yang
perlu dicarikan solusinya dan tawaran-tawaran solusi bagi
permasalahan tersebut.
Fakta eksperimental adalah hasil pengalaman dan penilaian
dari para ahli, pakar, konsultan, dan pelaku profesional yang
memiliki rekam jejak yang bagus dalam bidang trekait. Fakta ini
didadapt dari hasil akumulasi refleksi dalam rentang waktu yang
panjang dalam mengelola dan menyelesaikan permasalahan yang
bersinggungan. Pengalaman pihak-pihak yang telah disebutkan
tadi sangat membantu bagi pengambilan keputusan, termasuk
tawaran solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah yang sedang

98
dihadapi. Fakta terakhir adalah fakta dari para pemangku
kepentingan. Mereka bisa bersifat internal, yaitu para manajer
dan karyawan, bisa juga bersifat eksternal, yaitu pelanggan,
pemagang saham, supliyer, dan lain sebagainya. Menggali
informasi dari mereka semua sangat penting, baik secara etika
maupun secara organisasi sebagai acuan untuk menganalisis
fakta-fakta obyektif lainnya.
Secara teoritis, ada dua manfaat pokok yang dapat diperoleh
dari prinsip manajemen berbasis fakta, yaitu berkaitan dengan
penentuan sekala prioritas dan variabilias kinerja.
a. Penentuan skala prioritas.
Penentuan skala prioritas atau ptioritization merupakan ide
yang menyadari bahwa perbaikan organisasi tidak dapat
dilakukan terhadap semua aspek secara bersamaan. Hal itu
disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki, seperti
keterbatasan biaya, waktu, maupun sumber daya. Manajemen
berbasis fakta akan membantu manajer untuk menentukan
skala prioritas tersebut sehingga organisasi dapat berjalan
secara fokus pada kegiatan-kegiatan yang dianggap urgen dan
vital.
b. Variabilitas kinerja organisasi.
Data-data yang telah disajikan dengan akurat akan membantu
manajer untuk menilai variabilitas kinerja organisasi. Melalui
data-data tersebut, manajer dapat memprediksi hasil dari
keputusan yang diambil dan tindakan yang perlu dilakukan
untuk menyelesaikan suatu persoalan.
4. Perbaikan Berkesinambungan
Dalam konteks TQM, setiap organisasi harus menjalankan
sejumlah proses yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan. Diantaranya dengan cara melakukan
perencanaan dengan matang, melaksanakan pemantauan secara
cermat dan teliti, melakukan pengukuran, analisis dan evaluasi,
serta tindakan-tindakan perbaikan secara kontinyu. Langkah-
langkah tersebut biasa disebut dengan siklus PDCA yang
merupakan singkatan dari Plan, Do, Check, dan Act. Secara
sederhana, siklus ini terdiri dari empat langkah manajemen, yaitu

99
perencanaan, pelaksanaan, pemerikasaan, dan evaluasi atau
koreksi terhadap pelaksanaan tersebut.
Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menjamin
dan memastikan terjadinya kesesuaian antara apa yang telah
direncanakan dengan apa yang telah dikerjakan. Evaluasi juga
harus dilakukan secara terukur untuk menjamin kinerja
organisasi berjalan secara efektif. Idealnya, analisis dan evaluasi
dilakukan secara berkala, misalnya setiap tiga bulan atau enam
bulan, sesuai dengan kebutuhan. Pengukuran juga bisa dilakukan
dengan melalui sistem penjaminan mutu yang dilakukan secara
internal dan eksternal. Audit internal dilakukan oleh tim auditor
yang dibentuk oleh manajemen dan audit eksternal dilakukan
oleh pihak luar yang telah memiliki pengalaman dalam bidang
audit mutu.
Sebagai salah satu pilar mutu lembaga filantropi, perbaikan
berkelanjutan difokuskan pada lima faktor, yaitu iklim yang
kondusif, keterlibatan stakeholders dalam perencananaan mutu,
tercapainya harapan lembaga, pemberian reward bagi yang
berprestasi, dan disiplin organisasi berdasarkan SOP yang telah
ditetapkan.
a. Iklim Kerja yang Kondusif
Salah satu ciri khas budaya mutu adalah membangun
iklim kerja yang baik dan komunikasi yang efektif diantara
anggota organisasi yang ada. Lembaga yang bermutu ditandai
dengan adanya komunikasi yang baik dan efektif sehingga
terbangun suasana keakraban dan kedekatan. Komunikasi
yang efektif merupakan proses multi arah antara pimpinan,
karyawan, stakeholders, dan masyarakat luas.
b. Keterlibatan stakeholders dalam perencanaan mutu.
Perencanaan mutu merupakan langkah penting untuk
mencapai tujuan yang disepakati bersama. Perencanaan mutu
yang baik harus melibatkan stakeholders, khususnya dalam
mengidentifikasi produk dan keinginan pelanggan. Selain itu,
merencanakan mutu juga harus dilakukan oleh tim kerja yang
solid dan efektif. Untuk itu, diperlukan koordinasi untuk
menyatukan visi, misi, tujuan, sasaran, ketaatan terhadap
aturan yang berlaku, pembagia kerja yang jelas dan adil, serta

100
mampu beradaptasi secara cepat terhadap semua jenis
perubahan.
c. Peluang Meraih Prestasi
Perbaikan berkelanjutan akan lebih mudah dicapai
apabila stakeholders internal memiliki motivasi yang kuat
untuk meraih prestasi dalam bidang masing-masing. Secara
sederhana prestasi dapat dirumuskan sebagai input yang
ditambah dengan proses nilai tambah. Adanya nilai tambah itu
dipandang sebagai keunggulan dan keunikan sebuah produk
atau jasa. Selain itu, adanya peluang meraih prestasi mampu
memunculkan harapan yang positif dan menjadi penggerak
bagi perubahan ke arah lebih baik. Sistem pada sebuah
organisasi seyogyanya mampu memupuk nilai-nilai positif
pada seluruh jajarannya, mencegah munculnya rasa putus asa,
rasa stagnan, dan rasa kehilangan orientasi atau arah dalam
menjalankan aktifitasnya.
d. Pemberian Reward dan Insentif yang Tapat
Pemberian reward bagi yang berprestasi merupakan
perghargaan atas tercapainya target mutu yang ditetapkan.
Bentuknya bisa berupa apresiasi sosial, penghargaan verbal
maupun tulisan, atau yang bersifat material. Sedangkan
insentif dimaksudkan untuk memberikan rangsangan untuk
mengukir prestasi yang baik pada akhir periode kerja.
Organisasi yang bermutu pasti memiliki sistem yang jelas
terkait dengan pemberian reward dan insentif ini.
e. Disiplin Organisasi Berdasarkan SOP yang telah ditetapkan.
Kepatuhan terhadap aturan dan prosedur menjadi pilar
lain bagi proses perbaikan berkelanjutan. Dalam TQM,
peraturan dipandang sebagai mekanisme untuk mencegah
terjadinya hal-hal negatif yang dapat menghalangi tercapainya
tujuan organisasi. Akan tetapi aturan itu sendiri tidak banyak
membantu jika tidak didukung oleh perilaku disiplin dari
pengelolanya. Disiplin juga tidak dimaknai sikap yang kaku
terhadap suatu aturan. Disiplin lebih ditekankan pada
kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan kerja yang
seharusnya ditegakkan.

101
BAB V
MODEL TQM UNTUK FILANTROPI ISLAM

TQM merupakan sistem untuk mengukur mutu dengan


berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang telah banyak
dirumuskan oleh para pakar TQM. Di antara pakar-pakar TQM
tersebut adalah Hensler dan Beunell yang merumuskan prinsip-
prinsip TQM menjadi empat prinsip, yaitu terdiri dari prinsip
kepuasa pelanggan, penghormatan terhadap semua orang,
manajemen berbasis fakta, dan perbaikan berkesinambungan
(Nasution, 2001: 28-290).
A. Prinsip TQM: Implementasi pada Lembaga Filantropi
Islam
Lembaga filantropi Islam telah berkembang pesat di
Indonesia dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Tidak hanya di
kota-kota besar, tetapi juga merambah kota-kota sedang dan kecil.
Uraian berikut adalah hasil kajian dari implementasi
prinsip-prinsip TQM pada lembaga-lembaga filantropi Islam yang
berada di Kota dan Kabupaten Magelang. Lembaga-lembaga
tersebut adalah LAZ DKD Kota Magelang, Baznas Kota Magelang,
Baznas Kabupaten Magelang, Lazis Jateng Cabang Magelang, LAZ
Yatim Mandiri Cabang Magelang, Lazismu Kota Magelang, Yayasan
Kesejahteraan Islam Kota Magelang, BMH Hidayatullah cabang
Magelang.
Dalam penelitian ini, prinsip-prinsip TQM yang akan
dijadikan sebagai pisau analisis adalah prinsip-prinsip TQM yang
dijelaskan oleh Hensler dan Brunsell, sebagaimana dikutip oleh
Sudirman (2013: 85), yaitu terdiri dari empat prinsip, yaitu
kepuasan pelanggan, penghormatan terhadap setiap orang,
manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan.
Keempat prinsip TQM tersebut selanjutnya disebut dengan
indikator-indikator. Dalam penelitian ini, masing-masing
indikator dijabarkan dalam bentuk kisi-kisi pertanyaan yang
diajukan dalam wawancara.

102
Berikut ini analisis mengenai implementasi prinsip-prinsip
TQM pada lembaga-lembaga filantropi Islam yang berada di Kota
dan Kabupaten Magelang dan yang menjadi obyek penelitian.
1. Analisis Prinsip Kepuasan Pelanggan
Konsep pelanggan dalam bidang kajian lembaga filantropi
Islam memiliki karakter yang unik jika dibandingkan dengan
konsep pelanggan pada lembaga yang bersifat profit. Secara garis
besar, maksud pelanggan dalam kajian filantropi Islam adalah
pihak yang memberikan dana dan pihak yang menerima manfaat
dari dana tersebut. Pihak pertama biasa disebut donatur atau
muzakki (bagi penyalur dana zakat). Pihak kedua disebut
mustahiq atau orang yang memiliki hak atas dana tersebut. Istilah
mustahiq lebih populer dalam kajian zakat tapi penggunannya
dalam bidang kajian filantropi selain zakat juga dapat dibenarkan,
paling tidak dari segi makna lughawi atau kebahasaan.
a. Loyalitas Donatur terhadap Lembaga.
Berkaitan dengan indikator kepuasan pelanggan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa donatur lembaga-lembaga
filantropi Islam memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi
untuk tetap menyalurkan dananya pada lembaga tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan jawaban dari semua pengelola lembaga yang
menyatakan bahwa masing-masing lembaga memiliki donatur
tetap yang secara rutin menyalurkan dana filantropinya kepada
lembaga tersebut. Selain donatur tetap, masing-masing lembaga
juga memiliki donatur tidak tetap yang menyalurkan dana mereka
kepada lembaga tersebut secara insidentil.
Ketika ditanyakan apakah ada di antara pada donatur yang
mengundurkan diri sebagai donatur dan tidak lagi menyalurkan
dana mereka kepada lembaga tersebut, mayoritas menjawab hal
itu hanya terjadi pada donatur yang sudah tidak lagi bertempat
tinggal di wilayah Magelang sehingga terkendala untuk
menyalurkan dananya kepada lembaga tersebut.
Loyalitas donatur juga masih ditunjukkan bagi donatur yang
sudah memasuki masa pensiun. Mayoritas informan menyatakan
bahwa donatur yang pensiun tidak berarti berhenti menjadi
donatur. Meskipun sudah tidak bekerja pada pekerjaan utamanya,

103
mayoritas donatur masih tetap berderma. Apakah jumlah
nominalnya berkurang? Mereka menjawab tidak mesti seperti dan
sifatnya adalah relatif tergantung kondisi kepada masing-masing
donatur.
b. Loyalitas Staf dan Karyawan terhadap Lembaga.
Loyalitas yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap
lembaga filantropi Islam tidak hanya ditunjukkan oleh donatur
saja, tetapi juga oleh pengelola atau staf pada lembaga tersebut.
Secara umum, pengelola lembaga filantropi Islam dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pengelola atau pengurus inti (top
manager) dan staf atau karyawan biasa.
Pada level pengurus inti, tingkat komitmen dan loyalitas
sangat tinggi untuk mengembangkan lembaga. Kondisi seperti ini
terjadi, baik pada lembaga yang berdiri dan berkembang hanya di
wilayah Magelang maupun lembaga yang merupakan cabang dari
lembaga yang induknya berada di luar Magelang. Bagi lembaga
yang terakhir ini, surat keputusan sebagai manager dikeluarkan
oleh lembaga induknya dan bersifat penugasan. Manajemen pusat
dipastikan sudah mempertimbangkan komitmen dan loyalitas
manager cabang yang akan ditugaskan di wilayah tertentu.
Beberapa manager cabang yang saat ini beroperasi di wilayah
Kota dan Kabupaten Magelang merupakan pribadi-pribadi yang
diberi tanggung jawab untuk membuka lahan atau babat alas di
wilayah Magelang dan sekitarnya. Untuk keperluan ini, dapat
diprediksi bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah
berpengalaman dan memiliki komitmen yang baik terhadap
lembaga dan misi lembaga.
Sedangkan pada level staf atau karyawan, tingkat komitmen
dan loyalitasnya bervariasi, meskipun tetap berada pada skala
yang baik. Staf atau karyawan diangkat oleh pimpinan lembaga
dan dilakukan proses pembinaan secara rutin agar dapat bekerja
secara optimal pada lembaga.
Berkaitan dengan keinginan untuk pindak ke tempat atau
pekerjaan lain, pada level top manajer hal itu tidak terjadi.
Sedangkan pada level staf atau karyawan, pimpinan lembaga tidak
memberlakukan aturan yang ketat bagi sumber daya yang akan

104
pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Hal ini dirasa wajar saja
karena berkaitan dengan kebebasan masing-masing individu
untuk memilih tempat atau jenis pekerjaan mereka sesuai dengan
keinginan atau passion masing-masing.
c. Mekanisme Penyampaian Keluhan.
Sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang pelayanan,
keluhan dari pelanggan merupakan hal yang wajar terjadi.
Keluhan atau komplain jika ditindaklanjuti secara bijak akan
berdampak positif bagi citra lembaga dan dapat memberikan
peluang baru untuk meningkatkan kualitas layanan yang sudah
dikembangkan selama ini. Selain itu, adanya keluhan dari
pelanggan menjadi indikasi bahwa mereka memberikan perhatian
yang lebih kepada lembaga tersebut.
Semua lembaga filantropi yang diteliti pada prinsipnya telah
menyediakan ruang bagi donatur maupun bagi mustahik untuk
menyampaikan keluhan jika mendapatkan layanan yang tidak
mengenakkan dari lembaga. Mekanisme penyampaian keluhan
tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Langsung disampaikan kepada petugas (amil) yang
memberikan layanan dan datang ke rumah atau kantor
muzakki/donatur.
2) Melalui nomor kantor atau call center
3) Melalui nomor kontak petugas (staf/admin).
4) Datang langsung ke kantor.
5) Hot line 24 jam.
6) Melalui media sosial.
Hasil wawancara (Hidayatullah) menunjukkan bahwa
donatur dan mustahik selama ini tidak pernah mengeluhkan
perihal sisi negatif dari layanan yang mereka dapatkan.
Sebaliknya, komplain dari sebagian donatur justru mencerminkan
sisi positif dari lembaga, seperti keterlambatan dalam mengambil
zakat atau infak atau sedekah. Apabila terjadi kesalahpahaman
antara donatur dengan petugas atau amil, maka pihak lembaga
segera menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mendatangi
atau menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan donatur
tersebut.

105
Secara teoritis, apa yang dilakukan oleh Lembaga Wakaf
Hidayatullah di atas sudah tepat. Komplain atau keluhan dalam
kegiatan layanan, juga bisnis, merupakan hal yang wajar terjadi.
Yang dibutuhkan lembaga saat seperti itu adalah mampu
menunjukkan sikap serius dan sungguh-sungguh dalam
menangani keluhan tersebut serta memastikan kejadian yang
serupa tidak akan terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang.
Secara teknis, ada empat langkah untuk menangani keluhan
pelanggan, yaitu:
1) Menerima keluhan dengan tangan terbuka. Langkah ini
ditunjukkan dengan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan, meminta
maaf atas terjadinya kesalahan tersebut, mengakui adanya
kesalahan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa kesalahan
atau kesalahpahaman tersebut akan segera diatasi dan tidak
akan terulang lagi.
2) Memetakkan masalah yang dikeluhkan. Langkah ini dilakukan
dengan cara mencatat dan menganalisis jenis keluhan, apakah
pernah dikeluhkan sebelumnya, apakah solusi yang
ditawarkan berhasil mengatasi masalah, dan evaluasi
terhadap solusi tersebut.
3) Menangani keluhan dengan cepat. Setelah jelas jenis
keluhannya, langkah berikutnya adalah memastikan adanya
solusi yang cepat dann tepat. Hal ini perlu dikonfirmasikan
kepada pelanggan apakah solusi tersebut sesuai dengan
harapan mereka atau tidak.
4) Memberikan solusi yang tepat. Keluhan dikatakan telah
teratasi jika solusi yang ditawarkan benar-benar telah selesai
diterapkan.
d. Impelementasi Teknik Ghost Shopping.
Teknik ghost shopping merupakan salah satu teknik yang
efektif dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih riil
mengenai kepuasan pelanggan. Teknik ini digunakan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang banyak
digunakan pada lembaga atau perusahaan yang bergerak pada
bidang layanan.

106
Orang yang berpura-pura menjadi konsumen disebut ghost
shopper dan bertugas menilai pelayanan yang diberikan oleh staf
atau karyawan pada lembaga tersebut. Tujuannya adalah untuk
mengetahui apakah pelayanan tersebut sudah sesusai standar
yang ditetapkan atau tidak.
Hasil wawancara dengan para pengelola pada lembaga-
lembaga filantropi Islam yang menjadi obyek penelitian, diperoleh
jawaban bahwa mayoritas lembaga belum menerapkan teknik ini.
Ada satu lembaga yang menjawab sudah melakukan kegiatan
dengan tujuan sejenis, yaitu Lazis Jateng. Lazis Jateng berargumen
bahwa prinsip sebuah layanan adalah jika diterapkan pada diri
sendiri merasa nyaman, maka orang lain pun akan merasa
nyaman.
e. Implementasi Teknik Lost Customer Analysis
Para pelanggan lembaga filantropi Islam termasuk
pelanggan yang loyal dan memiliki komitmen yang tinggi
terhadap layanan lembaga. Hal ini dibuktikan dengan temuan
hasil penelitian yang menyatakan bahwa semua donatur pada
lembaga yang diteliti tetap komitmen menyalurkan dana
filantropinya kepada lembaga tersebut dan tidak ditemukan
donatur yang berhenti menjadi donatur dikarenakan sikap-sikap
atau peristiwa-peristiwa yang mengecewakan. Donatur yang
berhenti biasanya disebabkan pindah tempat tinggal sehingga
terkendala jarak dengan lembaga lama. Sedangkan donatur yang
pindah ke lembaga lain juga tidak disebabkan oleh perasaan
kecewa, melainkan karena motivasi lain yang membuat mereka
merasa cocok dengan kondisi saat itu, seperti karena momen-
momen spesial atau even-even tertentu yang berhasil menarik
dana dari donatur tersebut. Akan tetapi, setelah momen atau even
itu berakhir, donatur tetap biasanya kembali lagi pada lembaga
yang telah dipercaya selama ini.
f. Survai terhadap Kepuasan Pelanggan
Kepuasan pelanggan telah menjadi bagian dari proses yang
ingin dicapai oleh lembaga-lembaga filantropi yang menjadi obyek
penelitian. Untuk memastikan tercapainya proses tersebut,
mereka melaksanakan survai kepada para donatur dan mustahik
untuk mengetahui sejauhama respon mereka terhadap layanan

107
yang diberikan lembaga. Survai tersebut dilakukan dengan
beragam cara, yaitu:
1) Wawancara langsung dengan donatur dan mustahik.
2) Menyebar angket atau quisioner.
3) Wawancara via telepon, SMS, atau WA.
2. Analisis Prinsip Penghormatan terhadap Setiap Orang
a. Mekanisme Pimpinan dalam Mengenali Potensi Karyawan
Cara mengenali potensi karyawan dilakukan dengan
mendefinisikan potensi yang dimiliki masing-masing karyawan.
Untuk mendefinisikan potensi karyawan, pimpinan lembaga dapat
melihat melalui tiga cara, yaitu:
1) Mempromosikan karyawan pada jenjang atau level tertentu
(by level).
2) Menempatkan karyawan pada posisi tertentu yang strategis
(by role).
3) Menempatkan karyawan pada pekerjaan dengan cakupan
yang lebih luas (by breadth).
Setelah didefinisikan, langkah selanjutnya adalah
melakukan penilaian atau pemetaan potensi karyawan. Hal ini
dapat dilakukan secara periodik tertentu, misalnya setiap tengah
tahun atau akhir tahun. Pemetaan juga bisa diiringi dengan proses
mentoring untuk mengetahui peningkatan kinerja mereka.
Pada lembaga filantropi Islam yang menjadi obyek
penelitian, potensi karyawan dilihat dengan cara sebagai berikut:
1) Mengamati kinerja karyawan, 2) Melihat prestasi kerja
karyawan, 3) Mengamati track record selama bekerja dan grafik
hasil kerja setiap periode tertentu, 4) Mengamati laporan-
laporan atas tugas yang dikerjakan, dan 5) Monitoring atau
evaluasi rutin atau setiap periode tertentu.
b. Dokumentasi dan Sosialisasi Program Kerja Tahunan
Program kerja merupakan komponen yang penting bagi
setiap organisasi untuk membantu tercapainya tujuan organisasi
tersebut. Pada umumnya, program kerja dirancang dan disusun
sedemikian rupa dalam sebuah rapat penyusunan program kerja
untuk dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Pelaksanaan
program kerja bisa dijadikan sebagai tolak ukur bagi tercapai atau

108
tidaknya target organisasi. Pada akhir periode, pelaksanaan
program kerja diadakan evaluasi untuk mengetahui tingkat
ketercapaian target organisasi pada periode tersebut. Dengan
adanya program kerja yang baik, setiap anggota organisasi dapat
bekerja secara bersama-sama, efektif, distematis, dan terstruktur.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua lembaga
filantropi yang menjadi obyek penelitian telah memiliki program
kerja tahunan yang didokumentasikan dan disosialisasikan
kepada karyawan dan staf di lembaga tersebut. Lembaga-lembaga
filantropi yang merupakan lembaga mandiri menyusun program
kerja secara mandiri sedangkan lembaga yang merupakan
lembaga cabang memiliki program kerja yang dibuat oleh lembaga
pusat dan program kerja yang disusun secara mandiri. Pada akhir
periode, dilakukan evaluasi dan dilaporkan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
c. Kolaborasi di antara Karyawan
Kerja sama atau kolaborasi dalam mengerjakan suatu
program merupakan salah satu teknik dianjurkan dalam seuatu
organisasi. Banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dengan
adanya kerja sama antar individu atau antar tim work
dibandingkan dengan dikerjakan secara sendiri-sendiri. Manfaat
tersebut bisa kembali kepada pribadi masing-masing untuk
meningkatkan profesionalisme kerja maupun kembali ke tim dan
organisasi secara keseluruhan. Di antara manfaat tersebut adalah
pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu lebih cepat, lebih
efisien, lebih ringan, bisa menemukan ide-ide baru, mendapatkan
jaringan baru, membagi beban kerja, membagi tanggung jawab,
dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, tidak dipungkiri masih banyak
karyawan atau staf yang lebih memilih mengerjakan program
secara mandiri dan tidak melibatkan tim atau bidang lain.
Organisasi-organisasi yang besar dan memiliki program kerja
dalam skala dan lingkup yang luas akan memprioritaskan
kemungkinan kerja sama dibandingkan dengan mekanisme kerja
yang parsial.

109
Hal penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi dan kerja
sama dalam team work sudah dilaksanakan dengan baik oleh
seluruh lembaga filantropi yang menjadi obyek penelitian.
Kolaborasi tidak berarti setiap bidang membantu atau
mengerjakan tugas bidang lain, akan tetapi masing-masing bidang
bekerja sesuai dengan job deskripsi masing-masing. Misalnya,
amil yang bertugas mengambil zakat dari muzakki, maka secara
otomatis dia akan segera melaporkan dana tersebut kepada
bagian keuangan. Bagian keuangan akan segera mencatat dan
memberikan notifikasi jumlah dana yang telah dihimpun. Apabila
terjadi ketidaksesuaian antara laporan amil dan bagian keuangan
maka akan diklarifikasi dari catatan dan notifikasi tersebut untuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam kas lembaga atau disetorkan ke
lembaga pusat.
d. Ketersediaan Tim Motivator
Motivasi kerja karyawan merupakan bagian penting dari
perjalanan lembaga dalam mencapai tujuannya. Tanpa ada
kontribusi dari karyawan atau staf, sebuah organisasi atau
lembaga mustahil dapat merealisasikan program-program
kerjanya. Demikian pula, karyawan yang tidak memiliki motivasi
yang baik juga tidak akan menghasilkan prestasi sesuai yang
diharapkan.
Oleh karena itu, upaya untuk menjaga dan senantiasa
meningkatkan motivasi kerja karyawan mutlak harus dilakukan
untuk memelihara ritme organisasi agar tetap stabil dan konsisten
menjalan rutinitas pekerjaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan pada
lembaga-lembaga filantropi Islam memiliki motivasi ganda dalam
menjalankan pekerjaannya. Selain motivasi bekerja sebagaimana
karyawan pada umumnya, para staf di lingkungan lembaga
filantropi Islam memiliki semangat kerja sebagai ibadah dan
semangat menolong kaum dhuafa yang dijanjikan kebaikan atau
pahala yang berlipat ganda.
Secara umum, motivasi kerja pada lembaga yang menjadi
obyek penelitian sudah tertanam dengan baik. Untuk menjaga dan
meningkatkan motivasi tersebut, masing-masing lembaga

110
memiliki mekanisme tersendiri. Ada yang membentuk tim
motivas secara mandiri, ada yang mengandalkan tim motivasi
yang dibentuk oleh lembaga pusat, dan adapula yang menjalin
kerja sama dengan pihak eksternal untuk menjalankan tugas
tersebut.
e. Penerimaan Karyawan Baru melalui Jalur Magang
Perekrutan pegawai atau karyawan melalui jalur magang
memberikan dampak positif tidak hanya bagi calon karyawan, tapi
juga bagi perusahaan. Dari segi perusahaan atau lembaga,
investasi yang dibutuhkan untuk karyawan magang relatif lebih
kecil dan memberikan peluang untuk merekrut karyawan yang
sudah memiliki keahlian yang diperoleh saat magang
dibandingkan dengan fresh graduate yang masih minim
pengalaman. Pada saat magang, perusahaaan atau lembaga juga
diuntungkan dengan adanya tenaga yang masih fresh dan bisa
memberikan ide-ide baru dan kreatif untuk meningkatkan kinerja
lembaga atau perusahaan. Sedangkan bagi peserta magang, jika
diberi kesempatan untuk belajar menjadi karyawan yang
sesungguhnya, mereka akan mendapatkan pengetahuan,
pengalaman, dan ketrampilan yang berharga tentang dunia kerja
yang relatif baru bagi mereka.
Secara umum, lembaga-lembaga filantropi yang menjadi
obyek penelitian sudah memberlakukan kebijakan tentang
prioritas perekrutan karyawan baru melalui jalur magang.
Sebagian lembaga menjadikan program magang sebagai sarana
perkenalan dengan calon karyawan. Setelah melalui proses
magang, karyawan tersebut selanjutnya diikat dengan sistem
kontrak selama jangka waktu tertentu. Pada masa akhir kontrak,
dilakukan evaluasi apakah karyawan kontrak tersebut layak
dipermanenkan sebagai karyawan tetap atau tidak. Bagi lembaga
yang berbasis organisasi masyarakat, prioritas calon tenaga kerja
juga ditekankan pada pengalaman dan keaktifan mereka pada
organisasi tersebut. Kondisi yang unik dan berbeda dilakukan
oleh Baznas Kabupaten Magelang yang membelakukan syarat
persetujuan dari Bupati Kabupaten Magelang.

111
f. Training bagi Karyawan Baru
Training bagi karyawan baru merupakan hal penting yang
harus dilakukan oleh perusahaan atau lembaga. Tujuan dari
training adalah memperkenalkan karyawan atau staf baru pada
jenis pekerjaan, peran dan urgensi pekerjaan dalam
pengembangan lembaga, kehidupan sosial, dan budaya di
lingkungan pekerjaan. Bentuk dan waktu training bisa beragam
dan berbeda antara satu lembaga dengan lainnya. Bentuknya bisa
berupa pelatihan, orientasi, dan lainnya. Demikian pula, waktunya
disesuaikan dengan kondisi masing-masing pekerjaan. Manfaat
yang bisa diharapkan dari pelaksanaan training adalah karyawan
yang lebih kompeten dalam bidang pekerjaannya, lebih familiar
dengan alat-alat atau teknologi yang digunakan, dan lebih percaya
diri dalam menjalankan tugasnya pada masa-masa mendatang.
Lembaga-lembaga yang menjadi obyek penelitian secara
umum sudah menjalankan kegiatan training bagi setiap karyawan
yang akan ditempatkan pada job tertentu. Trainer didatangkan
dari internal lembaga dan ada pula yang didatangkan dari
lembaga pusat. Bagi jenis pekerjaan yang sifatnya teknis, sebagian
dari karyawan baru bisa langsung ditempatkan pada pekerjaan
tersebut dan langsung terjun di tempat kerja. Bagi lembaga
cabang, training bisa dilakukan dengan cara mengirimkan
karyawan baru tersebut pada bidang pekerjaan yang sama pada
lembaga pusat. Hal ini dimaksudkan agar karyawan tersebut bisa
belajar secara langsung kepada lembaga yang sudah mapan dan
memiliki pengalaman atau jangkauan kerja yang lebih luas.
g. Sistem Penggajian
Sistem penggajian merupakan salah satu ciri khas dari
sebuah perusahaan atau lembaga. Masing-masing lembaga
memiliki pola yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi
masing-masing. Hanya saja, salah satu prinsip utama dalam sistem
penggajian adalah adanya kebijakan yang dianggap adil bagi
semua warga organisasi.
Lembaga yang mandiri seperti LAZ DKD menerapkan sistem
penggajian yang dibuat sendiri sesuai dengan kemampuan

112
lembaga. Lembaga yang merupakan lembaga cabang mengikuti
pola penggajian yang diterapkan oleh lembaga pusat. Secara
umum, prinsip yang berlaku pada lembaga filantropi seperti ini
mengikuti kemampuan lembaga dari segi pendanaan. Semakin
besar dana yang dikumpulkan, semakin mudah menentukan
mekanisme penggajiannya. Mengenai besarnya gaji yang
ditetapkan, sebagian lembaga filantropi menjadikan besarnya
UMR sebagai acuan. Lembaga juga menerapkan mekanisme
kenaikan gaji. Besarnya dilihat dari prosentase, seperti 10 %.
Akan tetapi, pelaksanaannya tidak dapat direncanakan secara
berkala. Kebijakan mengenai kenaikan gaji ditetapkan
berdasarkan kondisi riil dan perdiksi keuangan lembaga pada saat
itu. Sebagian lembaga juga memberikan tambahan penghasilan
dalam bentuk uang transport dan insentif kerja. Hal ini biasa
dilakukan oleh perusahaan dan lembaga non profit untuk
memberikan tambahan penghasilan tetapi didasarkan pada
kinerja masing-masing karyawan.
h. Jalinan Kemitraan Jangka Panjang dengan Mitra Lembaga
Kemitraan merupakan bentuk kerja saman dalam suatu
bidang usaha tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil
kerja yang lebih baik. Prinsip dalam kemitraan adalah bersifau
sukarela, saling menguntungkan, saling membutuhkan, saling
mendukung, dan saling melengkapi, saling memperkuat, dan
saling membangun kepercayaan (trust). Membangun kemitraan
pada hakikatnya adalah sebuah proses membangun komunikasi,
berbagi ide, informasi, dan sumber daya di antara pihak-pihak
yang terlibat dalam kerja sama tersebut. Kemitraan menjadi
penting karena adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia
pada lembaga tertentu dan adanya ketersedian potensi sumber
daya pada pihak mitra yang dapat disinergikan dengan lembaga.
Semua lembaga filantropi yang menjadi obyek penelitian
telah menjalin kemitraan dengan pihak-pihak tertentu. Hal ini
didasari oleh keterbatasan yang ada pada lembaga filantropi, baik
keterbatasan sumber daya manusia, finansial, maupun jaringan.
Secara umum, lembaga-lembaga yang menjadi mitra memiliki

113
motivasi yang kuat untuk terus menjalin kerjasama dengan
lembaga filantropi. Bagi mitra, lembaga filantropi merupakan
lembaga yang diperlukan sebagai sarana membangun kepedulian
sosial dan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial kepada
masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, kerja sama
antara lembaga filantropi dengan lembaga mitra merupakan kerja
sama simbiosis yang saling menguntungkan, saling membutuhkan,
dan didasari oleh sikap saling percaya.
Seperti Lazis Jateng, kemitraan menjadi keniscayaan dalam
program-program mereka. Terhadap lembaga mitra, Lazis Jateng
senantiasa membua komunikasi agar terjalin suasana yang
nyaman dan kondusif. Sejauh ini, mitra Lazis Jateng merasa
nyaman bekerja sama dengan Lazis Jateng. Jika ada
ketidaknyamanan mereka akan menyampaikan secara langsung
atau via nomor telepon.
Demikian pula dengan Baznas Kabupaten Magelang yang
memiliki mitra kerja cukup banyak karena merupakan lembaga
yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Mitra kerja Baznas
diantaranya adalah Bank Pasar 69, BRI, serta dengan Kemenag
dan Pemda Kab Magelang. Kerjasama telah terjalin dalam kurun
waktu yang cukup lama dan sejauh ini tidak ada keluhan yang
berarti. Lembaga-lembaga filantropi lainnya merasakan manfaat
dari kemitraan tersebut sebagai salah satu cara membangun
komunikasi dan melebarkan sayap program sehingga dapat
menjangkau wilayah yang lebih luas. Selama ini, semua pihak
merasakan manfaat dari adanya kemitraan tersebut dan jarang
terjadi keluhan atau permasalahan yang diakibatkan oleh
misscommunication.
3. Analisis Prinsip Manajemen Berdasarkan Fakta
a. Fakta Ilmiah dari Hasil Penelitian
Dalam manajemen modern, pengambilan keputusan,
kebijakan, atau peraturan harus didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan ilmiah yang didukung oleh riset atau penelitian.
Hal ini menjadi penting agar keputusan tersebut memiliki
pijakan yang kuat, dapat dipertanggung-jawabkan, dan dibuat
berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Dengan adanya riset-
114
riset yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal ilmiah, keputusan
sebuah lembaga diharapkan bersifat obyektif, bukan emosional,
tidak berdasarkan like atau dis-like.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengakses hasil-hasil
penelitian atau jurnal-jurnal ilmiah belum menjadi budaya bagi
lembaga filantropi Islam yang mernjadi obyek penelitian.
Mayoritas informan menjawab bahwa keputusan lembaga diambil
berdasarkan fakta yang diperoleh dari hasil pengamatan atau
pengalaman langsung di lapangan.
b. Dokumen sebagai Sumber Keputusan
Dokumen organisasi merupakan sumber informasi pentung
yang dapat membantu pimpinan organisasi untuk mengambil
keputusan atau kebijakan yang sifatnya strategis. Dokumen
organisasi menjadi semacam rekaman informasi dari seluruh
aktifitas organisasi, alat bantu untuk mengambil keputusan, dan
juga menjadi bukti bagi eksistensi dan perjalan organisasi itu
sendiri.
Dalam manajemen modern yang mengedepankan
transparansi, dokumen-dokumen organisasi disusun sedemikian
rupa melalui manajemen arsip sehingga dapat membantu pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk mengakses
dokumen-dokumen tersebut dengan mudah. Dokumen atau arsip
yang tertutup membuat organisasi menjadi kehilangan sejarah,
identitas, dan kepastian hukum.
Jawaban dari informan penelitian ini menunjukkan bahwa
lembaga filantropi Islam memberikan prosi yang besar bagi
dokumen keuangan sebagai sumber informasi. Sedangkan
dokumen-dokumen lain nampaknya belum banyak dijadikan
sebagai dasar pengambilan keputusan.
c. Mengundang Pakar sebagai Basis Data Pengambilan
Keputusan
Seorang pemimpin ketika mengambil suatu keputusan
hendaknya memilih keputusan yang terbaik, efektif, efisien, dan
memiliki resiko paling kecil bagi organisasi. Akan tetapi,
adakalanya pemimpin dihadapkan pada kondisi dilematis dan
seperti berada pada persimpangan jalan, misalnya ketika harus

115
mengorbankan kepentingan seseorang atau membebankan risiko
yang dapat merugikan organisasi. Dalam kedaan tersebut,
keputusan pemimpin belum tentu keputusan yang ideal, namun
menjadi opsi yang paling realistis untuk diambil.
Di antara teknik yang dapat digunakan para pimpinan untuk
mendapatkan keputusan yang terbaik adalah dengan meminta
pendapat dari pakar atau ahli dalam bidang tertentu. Pakar
tersebut bisa berasal dari pihak luar maupun dari kalangan
internal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua lembaga
filantropi Islam yang menjadi obyek penelitian telah melibatkan
pihak-pihak eksternal yang dianggap mampu dan berpengalaman
dalam mengatasi permasalahan organisasi. Bagi sebagian
lembaga, bimbingan atau arahan dari pakar-pakar tersebut
berasal dari lembaga yang secara hierarkis berada di atas lembaga
tersebut. Misalnya, Baznas Kabupaten dan Kota Magelang
mendapatkan masukan dari Baznas Propinsi. Lazismu Kota dan
Kabupaten Magelang mendapatkan arahan dan solusi dari
Lazismu Wilayah Jawa Tengah. Sedangkan lembaga zakaf mandiri
seperti DKD telah menjalin komunikasi yang intens dengan tokoh-
tokoh agama dan masyarakat yang dapat membantu mengatasi
permasalahan mereka.
d. Keterlibatan Pemangku Kepentingan dalam Mengambil
Keputusan
Setiap kebijakan organisasi sebaiknya memperhatikan
kepentingan stakeholders sebelum membuat keputusan-
keputusan yang sifatnya strategis. Para pemangku kepentingan
akan merasa nyaman berinteraksi jangka panjang dengan
lembaga filantropi bila masukan-masukan mereka diperhatikan.
Bagi lembaga zakat, muzakki perlu diberi kesempatan untuk
memberikan masukan mengenai mekanisme fundraising dan
penyaluran dana zakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga yang menjadi
cabang dari lembaga di atasnya lebih banyak memberikan ruang
kepada lembaga pada tingkat propinsi atau pusat. Kebijakan-
kebijakan yang sifatnya strategis sudah ditentukan oleh kebijakan

116
pusat sehingga lembaga pada tingkat Kabupaten atau Kota lebih
banyak menjalankan fungsi eksekutor. Sedangkan keterlibatan
pemangku kepentingan dari segi muzakki dan mustahik masih
belum banyak mendapatkan perhatian.
4. Analisis Prinsip Perbaikan Berkesinambungan.
a. Efektivitas Sistem PDCA
PDCA merupakan proses manajemen untuk membantu
penyelesaian dan pengendalian masalah dengan pola yang runtun
dan sistematis. Review PDCA dilakukan secara rutin sesuai
dengan periode yang telah ditentukan sebelumnya dengan
berbagai level manajemen pada lembaga tersebut. Proses PDCA
akan berjalan efektif jika didukung dengan visual control yang
baik pula. Perencanaan yang baik apabila tidak didukung dengan
proses-proses selanjutnya hanya akan menjadikan rencana
tersebut sebagai impian belaka. Arti penting PDCA adalah
menjadikan rencana tersebut sebagai kerangka kerja nyata untuk
mewujudkan mimpi tadi.
Hasil wawancara dengan informan pada lokasi penelitian
menunjukkan bahwa PDCA sudah diimplementasikan pada
lembaga-lembaga filantropi Islam. Hanya saja tingkat
implementasinya berbeda-beda antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya. Ada lembaga yang menjalankan PDCA pada
kegiatan-kegiatan yang sifatnya rutin sedangkan terhadap
kegiatan yang bersifat strategis tidak memiliki mekanisme kontrol
yang cukup.
Informan dari LAZ DKD menyatakan siklus PDCA dengan
jawaban yang bersifat moderat, yaitu menggunakan kata lumayan
atau cukup. Hal ini bisa dimaknai beragam, diantaranya siklus
PDCA di LAZ DKD sudah berjalan tetapi belum maksimal.
Sedangkan BAZNAS Kabupaten Magelang mengguna-kan
bahasa yang tegas, yaitu siklus PDCA di BAZNAS telah berjalan
dengan efektif.
b. Iklim Kerja yang Kondusif
Setiap lembaga memiliki kondisi kerja yang berbeda-beda.
Demikian pula sumber daya manusia pada lembaga tersebut juga
memiliki sifat atau karakter yang beragam. Keanekaragaman

117
inilah yang dikelola oleh manajemen sumber daya manusia untuk
menghasilkan suasana yang nyaman dan tanpa rasa takut bagi
semua pihak. Salah satu syarat bagi kondusifitas iklim kerja
adalah sikap transparansi dan keterbukaan yang melahirkan sikap
percaya dan yakin akan terciptanya keadilan dan fairness bagi
semua pihak.
Semua informan pada lembaga filantropi yang menjadi
obyek penelitian menyatakan bahwa iklim kerja pada lembaga
filantropi Islam sudah dalam kondisi yang kondusif. Masing-
masing unit kerja telah memahami tugas pokok dan fungsinya
dengan baik sehingga tidak menimbulkan suasana kerja yang
tidak sehat. Iklim kerja di lingkungan lembaga filantropi Islam
dapat disimpulkan telah berhasil mewujudkan suasana yang
kondusif dan minim konflik sehingga setiap staf atau karyawan
dapat menjalankan aktifitasnya dengan nyaman.
c. Keterlibatan stakeholders dalam Perencanaan
Stakeholders atau pemangku kepentingan merupakan
pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan lembaga atau
organisasi. Kepentingan-kepentingan tersebut bisa berupa
kepentingan finansial, sosial, maupun lainnya yang terkena
dampak atau pengaruh dari kebijakan lembaga atau organisasi,
baik dampak yang bersifat positif maupun negatif.
Berdasarkan jenisnya, stakeholders ada yang disebut
sebagai stakeholders utama atau primer yaitu kelompok
stakeholders yang menjadi penentu utama dalam mengambil
kebijakan atau keputusan. Selain itu, ada juga yang disebut
stakeholders pendukung atau sekunder, yaitu kelompok
stakeholders yang memiliki kepedulian untuk menyampaikan
pendapat yang dapat mempengaruhi sikap stakeholders utama.
Sedangkan stakeholders yang memiliki wewenang secara legal
untuk mengambil keputusan biasa disebut sebagai stakeholders
kunci.
Sedangkan dari segi keterlibatan dalam mengelola lembaga,
stakeholders dibagi menjadi dua, yaitu stakeholders internal dan
stakeholders eksternal.

118
Secara teoritis, masing-masing stakeholders memiliki peran
atau fungsi yang berbeda-beda, namun secara umum mereka
berkepentingan untuk memberikan dampak positif bagi lembaga
atau organisasi sehingga mampu memberikan kontribusi nyata
bagi lingkungan yang ada di sekitarnya.
Hubungan antara lembaga atau organisasi dengan
stakeholders perlu dibangun dengan baik sehingga tercipta
hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan yang interaktif
memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk
menjalin kerjasama jangka panjang dan berkelanjutan yang
didasari oleh sikap saling menghormati, saling terbuka, dan
mampu menanamkan kepercayaan yang kuat di antara lembaga
dengan stakeholders. Hubungan interaktif ini dipandang sebagai
salah satu keunggulan lembaga dalam menjalan roda manajerial
untuk mencapai target-target jangka panjang.
Secara umum, keterlibatan stakeholders dalam menyusun
perencanaan program kerja pada lembaga-lembaga filantropi
Islam sudah diimplementasikan dengan baik.
Keterlibatan stakeholders dapat dilihat pada saat
penyusunan program kerja pada awal tahun maupun pada saat
evaluasi pelaksanaan program kerja pada akhir tahun. Pada awal
tahun, lembaga zakat LAZISMU menyelenggara-kan raker untuk
menyusun program kerja pada tahun yang akan berjalan dan juga
untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban terhadap
pelaksanaan program kerja pada tahun sebelumnya. Kesempatan
tersebut juga digunakan sebagai sarana sosialisasi program kerja
dengan mengundang mitra yang merupakan stekaholder
eksternal untuk diminta masukan. Adapun karyawan yang
merupakan stakeholders internal, maka mereka terlibat langsung
dalam perumusan program kerja.
Keterlibatan stakeholders juga dapat dilihat dari
keikutsertaan mereka dalam rapat-rapat koordinasi, baik yang
diadakan secara rutin maupun insidentil, untuk membahas
kegiatan-kegiatan lembaga. BAZNAS Kabupaten Magelang
mengagendakan rapat pleno secara rutin dua kali dalam satu
bulan. Dalam rapat-rapat koordinasi tersebut, seluruh

119
stakeholders internal dapat memberikan masukan yang terkait
dengan kegiatan dan pengembangan lembaga. Sedangkan
stakaholder eksternal turut dilibatkan secara insidentil dan pasa
saat-saat diperlukan sebagai bahan evaluasi terhadap
pelaksanaan program kerja dan untuk perbaikan pada masa-masa
yang akan datang.
d. Motivasi Karyawan untuk Meraih Prestasi Kerja
Prestasi kerja merupakan keniscayaan bagi lembaga atau
perusahaan yang berusaha meraih target atau tujuan yang
berkualitas. Salah satu cara yang efektif untuk bisnis yang sehat
dan prospektif adalah dengan mengelola seluruh sumber daya
manusia dengan bijak dan mendorong mereka untuk bekerja
secara totalitas dan berprestasi dalam bidangnya masing-masing.
Setiap lembaga harus bekerja keras untuk mencapai target dan
meningkatkan omset dan kinerjanya. Semakin tinggi target yang
berhasil dicapai, semakin tinggai kinerja lembaga tersebut. Target
yang berhasil dicapai mencerminkan pola tata kelola lembaga dan
kinerja sumber daya yang tersedia. Tata kelola yang unggul dan
sumber daya yang total, penuh energi, penuh dedikasi, dan
komitmen terhadap pekerjaan akan memudahkan lembaga atau
perusahaan dalam meningkat kinerja dan targetnya dalam jangka
waktu yang panjang.
Lembaga filantropi Islam memiliki karakteristik yang khas
dalam mengelola dana filantropi mereka. Motivasi karyawan pada
lembaga filantropi Islam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
motivasi spiritual dan motivasi material. Motivasi yang bersifat
material adalah dorongan bagi mereka untuk berkarya, mengabdi,
dan aktualisasi diri yang diiringi dengan reward atau hasil kerja
yang bersifat material. Sedangkan motivasi yang bersifat spiritual
didapat dari spirit agama yang mengajarkan sikap saling tolong
menolong dan membantu bagi kaum yang lemah. Bagi karyawan
dan staf, bekerja pada lembaga filantropi Islam disamping sebagai
sarana mencari nafkah bagi keluarga juga merupakan sarana
beribadah yang manfaatnya sangat besar bagi mereka.
Pada lembaga yang menjadi obyek penelitian, motivasi kerja
disampaikan dalam dua bentuk yang memiliki tujuan yang

120
berbeda. Pertama, motivasi dalam bentuk kajian atau tausiyah
yang bertujuan menanamkan motivasi secara terus-menerus
dalam diri karyawan. Sedangkan bentuk kedua adalah berupa
reward atau insentif yang dimaksudkan untuk merangsang kerja
mereka agar lebih baik lagi.
Reward diberikan apabila kinerja karyawan atau kinerja
lembaga berhasil mencapai target yang ditetapkan. Besarnya
reward di antara masing-masing lembaga tidak sama dan
diberikan dengan mekanisme yang berbeda. Pada Lembaga Zakat
Yatim Mandiri, besarnya reward adalah 1 % dari omset dana
filantropi yang diperoleh. Mekanisme pembagiannya
dikembalikan kepada seluruh karyawan dalam bentuk kegiatan
bersama-sama.
Pada BAZNAS Kabupaten Magelang, motivasi karyawan
lebih ditekankan pada motivasi spiritual. Baznas merupakan
lembaga sosial keagamaan, sehingga motivasi kerja karyawan
atau staf adalah untuk membantu lebih banyak orang supaya
dientaskan dari garis kemiskinan (tabarru’at). Motivasi kerja pada
staf atau karyawan BAZNAS lebih ditekankan pada aspek sosial
dan bukan semata-mata meraih prestasi kerja.
e. Reward dan Insentif bagi Karyawan Berprestasi
Insentif merupakan alat yang digunakan oleh lembaga atau
perusahaan untuk merangsang para pegawai atau karyawan agar
bekerja sesuai atau bahkan lebih tinggi dengan standar-standar
tertentu yang telah ditetapkan. Secara teoritis, para karyawan
yang mendapatkan insentif atas kinerja mereka akan merasakan
kenyamanan dalam bekerja karena prestasi kerja mereka
diperhatikan dan dihargai sehingga diharapkan dapat menjaga
standar kerja mereka, bahkan meningkat lagi. Bagi pekerja
profesional, insentif dianggap penting sebagai bagian dari target
dan pencapaian standar pekerjaan mereka. Dengan ada
rangsangan insentif, produktivitas mereka diharapkan tetap
terjaga atau bahkan lebih produktif seiring dengan besarnya
insentif yang mereka dapatkan.
Berkaitan dengan reward dan insentif terhadap karyawan
berprestasi, lembaga-lembaga filantropi Islam memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Lembaga Amil Zakat DKD
121
menerapkan pemberian reward atau insentif dalam bentuk bonus
yang diberikan secara rutin setiap bulan terhadap karyawan atau
staf yang dianggap berprestasi. Tujuannya, tentu saja untuk
memberikan apresiasi dan menjadi rangsangan untuk menjaga
dan meningkatkan kinerjanya pada masa-masa yang akan datang.
Pada lembaga zakat Yatim Mandiri, kebijakan untuk
memberikan reward atau insentif bagi karyawan berprestasi
termasuk kebijakan dari lembaga pusat sedangkan lembaga yang
beroperasi di daerah diberi kesempatan untuk mengajukan nama-
nama karyawan atau staf yang akan diajukan sebagai nominasi.
Sedangkan keputusan tentang siapa-siapa yang berhak
mendapatkannya menjadi kebijakan lembaga pusat. Bentuk
reward atau insentifnya cukup menarik, yaitu diberangkatkan
umrah ke tanah suci. Kebijakan dari pimpinan pusat adalah jika
ada karyawan yang berprestasi maka akan diberikan reward
berupa umrah gratis dari pusat. Termasuk tahun 2019
memberangkatkan dua orang karyawan pergi ke tanah suci untuk
menjalankan ibadah umrah yang dibiayai oleh lembaga.
Lembaga-lembaga filantropi lainnya tidak menerapkan
pemberian reward atau insentif bagi karyawan atau staf yang
berprestasi. Bagi Baznas Kabupaten Magelang, sejauh ini belum
ada reward atau insentif khusus bagi karyawan berprestasi.
Lembaga-lembaga yang belum menerapkan kebijakan ini
memberikan hak-hak karyawan yang diambilkan dari hak mereka
sebagai amil zakat. Dalam konteks ini, apabila pendapat zakat
pada periode tertentu mengalami peningkatan, maka secara
otomatis, akan ada tambahan hak yang diberikan kepada
karyawan atau staf tersebut.
f. Kepatuhan terhadap SOP
SOP atau Standar Operasional Prosedur merupakan
panduan dalam bekerja dan menjadi alat untuk menilai kinerja
karyawan sesuai dengan sistem kerja yang berlaku. Sesuai dengan
namanya, tujuan utama dari SOP adalah agar seluruh rangkaian
pekerjaan dilakukan dengan tertib, sistematis, dan konsisten
sehingga kualitas pekerjaan diharapkan menjadi lebih baik.
Banyak sekali manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari

122
implementasi yang baik terhadap SOP ini. Sebaliknya, lembaga
atau perusahaan yang mengabaikan prinsip-prinsip SOP dapat
diprediksi kinerja lembaga tersebut akan menurun.
Semua lembaga filantropi yang menjadi obyek penelitian
mengaku telah menjalankan SOP dengan baik dan selalu taat
dengan standar yang telah ditetapkan. Pada lembaga Yatin
Mandiri, jika ada pelanggaran maka pimpinan akan memberikan
teguran dan pengarahan. Demikian pula di Baznas. Baznas selalu
berusaha taat terhadap SOP yang telah dirancang oleh pimpinan
dan pelaksana. Cara mengukur ketaatan terhadap SOP memang
bervariasi. Sebagian lembaga filantropi menyatakan belum pernah
ada pengukuran ketaatan, hanya berbasis evaluasi harian yang
dilakukan bersamaan dengan breifing pagi, rapat rutin dwi
mingguan, dan rapat rutin bulanan.

B. Model TQM pada Lembaga Filantropi Islam


Rumusan TQM untuk lembaga wakaf telah dijelaskan oleh
Sudirman (2013: 242) dalam bentuk diagram yang menjelaskan
tentang hubungan antara kinerja lembaga wakaf dengan
implementasi prinsip-prinsip TQM. Prinsip-prinsip TQM yang
dipakai oleh Sudirman adalah prinsin-prinsip TQM yang
dikembangkan oleh Deming yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu
fokus pada pelanggan, perbaikan proses, dan keterlibatan total.
Konsep yang dirumuskan oleh Sudirman tersebut
selanjutnya dikembangkan lebih lanjut untuk dijadikan sebagai
alat analisis untuk menjelaskan model tata kelola lembaga
filantropi Islam dengan pendekatan prinsip-prinsip TQM. Konsep
tata kelola lembaga filantropi Islam dengan pendekatan TQM
secara teoritik dijelaskan pada gambar berikut:

123
Gambar 1. Skema TQM pada Lembaga Filantropi Islam.
Berdasarkan gambar tersebut, TQM masuk pada lembaga-
lembaga yang bersifat profit dan juga lembaga yang bersifat non
profit. Baik lembaga yang bersifat profit dan non profit keduanya
berproses dan menjalankan aktifitas-aktifitas mereka, baik
aktifitas yang termasuk core bussines maupun supporting
bussines. Dalam menjalankan aktifitas-aktifitas tersebut, lembaga
yang dikelola dengan pendekatan TQM diprediksi akan
menghasilkan out put seperti yang diharapkan. Out put tersebut
dapat berupa hasil yang sifatnya materiil maupun non materiil.
Agar menjadi lembaga yang bermutu, lembaga filantropi Islam
harus menerapkan prinsip-prinsip TQM pada semua lini
prosesnya, yaitu dari hulu sampai ke hilir dan bersifar
komprehensif pada setiap lininya.
Model tata kelola lembaga filantropi Islam dengan
pendekatan TQM yang telah diimplementasikan oleh lembaga-
lembaga filantropi Islam yang menjadi obyek penelitian dapat
dijelaskan dalam gambar berikut:

124
Gambar 2. Skema model TQM pada obyek penelitian
Berdasarkan skema model tersebut, diketahui bahwa
prinsip-prinsip TQM yang dijadikan sebagai pisau analisis pada
penelitian ini adalah empat prinsip TQM yang terdiri dari
kepuasan pelanggan, pernghormatan terhadap setiap orang,
manajemen berbasis fakta, dan perbaikan berkesinambungan.
Masing-masing prinsip dirinci lagi dalam empat indikator yang
sesuai dengan karakteristik prinsip tersebut. Prinsip kepuasan
pelanggan menurunkan indikator yang berkaitan dengan loyalitas
pelanggan, penanganan terhadap pelanggan yang meinggalkan
lembaga, survai untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan, dan
mekanisme lembaga dalam menangani keluhan yang diajukan
pelanggan. Prinsip penghormatan terhadap setiap orang
menurunkan indikator tentang loyalitas karyawan, keterlibatan
mereka dalam menyusun program kerja, tim kerja yang solid, dan
adanya sistem penggajian yang mapan dan diterima oleh seluruh
unsur lembaga. Prinsip manajemen berbasis fakta menurunkan
indikator tentang akses jurnal, masukan dari pakar dan
stakeholders, dan dokumen. Sedangkan prinsip perbaikan
berkesinambungan menurunkan indikator tentang siklus PDCA,
iklim kerja yang kondusif, mekanisme reward dan insentif bagi
karyawan berprestasi, dan kesesuaian kerja dengan SOP yang
telah ditetapkan sebelumnya.

125
C. Rumusan Model Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam:
TQM Approach
Hasil penelitian mengenai model tata kelola lembaga
filantropi Islam dengan pendekatan Total Quality Management
dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini. Berdasarkan bagan
tersebut, TQM diposisikan sebagai sistem yang menaungi seluruh
aktifitas pada lembaga filantropi Islam. Konsep TQM yang
dimaksud pada bab ini adalah konsep TQM yang terdiri dari
empat prinsip seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya.
Dalam konsep model TQM, lembaga filantropi Islam
memiliki empat divisi, yaitu divisi perencanaan, divisi fundraising,
divisi distribusi, dan divisi monitoring dan evaluasi. Divisi
perencanaan dan divisi monev merupakan divisi yang belum
banyak dilakukan pada lembaga filantropi Islam. Divisi-divisi yang
ditemukan pada obyek penelitian lebih fokus pada divisi
fundraising dan divisi ditribusi. Divisi perencanaan diperlukan
untuk merancang kegiatan dan standar pencapaiannya.
Sedangkan divisi monev bertugas melakukan audit mutu terhadap
kinerja lembaga.
Perencanaan dan monev juga dilibatkan pada program-
program utama dari lembaga filantropi Islam, yaitu pemanfaatan,
pendayagunaan, dan pengembangan dana filantropi. Pemanfaatan
dan pendayagunaan dana filantropi dikaitkan dengan dana-dana
yang bersifat konsumtif dan disalurkan secara langsung kepada
pihak-pihak yang berhak menerimanya. Program kegiatan yang
dilakukan biasanya bersifat karitas dan untuk memenuhi
kebutuhan atau memecahkan masalah dalam jangka pendek.
Sedangkan program-program yang berkaitan dengan
pengembangan adalah program-program lembaga filantropi Islam
yang berkaitan dengan solusi jangka panjang, keberlangsungan,
kemandirian, kemapanan, dan ketahanan sumber daya untuk
menjalankan program-program filantropi pada waktu yang lama.
Dana pengembangan bisa didasarkan pada penggalangan dana
yang dimaksudkan untuk kepentingan jangka panjang tersebut

126
atau melalui program-program investasi yang diharapkan dapat
dipetik hasilnya pada masa-masa yang akan datang.
Keseluruhan dari program-program tersebut dikendalikan
melalui mekanisme Total Quality Management dengan
mengedepankan empat prinsip di atas, yaitu kepuasan pelanggan,
penghormatan terhadap setiap orang, manajemen berbasis fakta,
dan perbaikan berkesinam-bungan. Berdasarkan empat prinsip
tersebut, kinerja lembaga filantropi diharapkan dapat memupuk
loyalitas konsumen, komitmen karyawan, kinerja yang terukur,
dan berproses menuju kondisi yang lebih baik. Prinsip-prinsip
tersebut menjadi urgen bagi lembaga yang memiliki visi jauh ke
depan dan sustainable.
Secara lebih jelas, model tata kelola lembaga filantropi Islam
dengan pendekatan Total Quality Management dirumuskan dalam
gambar berikut ini:

Gambar: Model tata kelola lembaga filantropi Islam dengan


pendekatan Total Quality Managemen.
Sedangkan prinsip-prinsip TQM yang akan dijadikan
sebagai pisau analisis adalah prinsip-prinsip TQM yang dijelaskan
oleh Hensler dan Brunsell, sebagaimana dikutip oleh Sudirman
(2013: 85), yaitu terdiri dari empat prinsip, yaitu kepuasan
pelanggan, penghormatan terhadap setiap orang, manajemen

127
berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan (Nasution,
2001). Keempat prinsip TQM tersebut selanjutnya disebut dengan
indikator-indikator. Dalam penelitian ini, masing-masing
indikator dikonfirmasikan pada manajemen mutu LAZ DKD Kota
Magelang melalui serangkaian ujicoba yang terdiri dari tujuh
langkah, yaitu: 1) Uji coba komitmen stakeholders internal
terhadap LAZ DKD, 2) Visi dan Impian Responden tentang Masa
Depan LAZ DKD, 3) Kuisener tentang Implementasi Prinsip-
prinsip TQM pada LAZ DKD melalui Kuisener, 4) Uji Prinsip
Kepuasan Pelanggan melalui Pelatihan Service Excellence, 5) Uji
Prinsip Penghormatan terhadap Setiap Orang dan Prinsip
Manajemen Berbasis Fakta melalui Lima Pilar Manajemen
Lembaga Filantropi, 6) Uji Prinsip Perbaikan Berkesinambungan
melalui Pendampingan Penyusunan Proker, dan 7) Uji coba
pengembangan salah satu program unggulan LAZ DKD dalam
bentuk Program Rumah Gemilang Indonesia.
Berikut ini adalah uraian mengenai tujuh langkah yang
dilakukan Tim Peneliti sebagai uji coba terhadap model yang telah
dirumuskan sebelumnya.
1. Komitmen Stakeholders Internal terhadap LAZ DKD
Langkah pertama yang dilakukan Tim Peneliti adalah
melakukan survai untuk melihat sejauhmana komitmen
stakeholders terhadap LAZ DKD. Tim Peneliti telah melakukan
survay terhadap seluruh pelanggan internal LAZ DKD, baik Pihak
Yayasan DKD, Pimpinan LAZ DKD, seluruh staf LAZ DKD, seluruh
lembaga mitra LAZ DKD, dan sebagian pelanggan eksternal yang
dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat tingkat kepuasan
pelanggan terhadap layanan LAZ DKD. Penelitian Lukman
menunjukkan bahan komitmen pemangku kepentingan
(commetmens stakeholders) berpengaruh besar terhadap kinerja
lembaga (Lukman, 2012).
Survai yang pertama kali dilakukan adalah terkait dengan
alasan mereka memilih bekerja di LAZ DKD. Survai ini dilakukan
dengan cara membagikan kuisener kepada stakeholders terpilih.
Pertanyaan yang diberikan tentang alasan utama bekerja di LAZ
DKD. Pertanyaan bersifat terbuka sehingga responden memiliki

128
kesempatan untuk menjawab secara bebas. Agar tidak terjadi bias
atau kekhawatiran akan dampak negatif dari jawaban, responden
diberi kebebasan untuk menuliskan atau tidak menuliskan pada
kolom nama. Harapannya agar jawaban responden bersifat
obyektif dan mencerminkan suara hati nurani mereka.
Untuk memudahkan analisis, hasil dari data kuisener
kemudian diklasifikasikan dalam empat alasan atau motivasi,
yaitu motivasi agama, motivasi finansial, motivasi sosial, dan
motivasi lainnya. Hasil dari kuisener dijelaskan pada tabel
berikut:
Tabel 1: Jawaban Responden tentang Motivasi Bekerja di LAZ DKD
Motivasi Motivasi Lain-
Motivasi Agama Motivasi Sosial
Finansial lain
Komitmen untuk Merasa tertarik Membantu
memberi dengan kegiatan meningkatkan
kontribusi kepada yang bersifat sistem
umat hingga akhir sosial pengelolaan LAZ
hayat. DKD, keuangan
dan SDM
Bekerja dan Memberi Mengembangkan
berdakwah manfaat kepada LAZ DKD
orang banyak
Karena ada Membantu LAZ DKD sudah
program Rumah menuntaskan seperti keluarga.
Quran dan kemiskinan
berkhidmat pada
Alquran
Berdakwah Membantu Memiliki impian
kepada warga kaum dhuafa besar tentang
Magelang agar agar menjadi masa depan
menjadi warga sejahtera
yang dermawan.
Sarana berjihad Melatih jiwa Meningkatkan
dalam bidang sosial program kerja
social DKD
Menumbuhkan Senang dengan Meluaskan sayap
derma pada kegiatan social dan jangkauan
masyarakat DKD

129
bawah.
Mendapatkan Menjadi orang Balas budi pada
lingkungan yang DKD
kondusif untuk bermanfaat.
murajaah.
Mendidik untuk Bermanfaat Komitmen
mencintai dan untuk umat dengan
menghapal program-
Alquran program DKD
Mencetak kader Memberi Membalas budi
dakwah yang cinta kontribusi atau terhadap DKD
Alquran dan manfaat kepada yang membantu
berjiwa sosial. orang lain sekolah dan
kuliah
Bekerja dengan Lingkungan
motivasi kerja di DKD
berdakwah dan yang saling
belajar agama membantu.
Lebih paham Ingin
tentang agama membangun
ketika bekerja di DKD menjadi
DKD lembaga besar
berskala
nasional
Lingkungan kerja Ingin
DKD yang baik menghayati
dalam kehidupan kaum
meningkatkan dhuafa
keagamaan.

Dari jawaban responden di atas, diketahui bahwa paling


tidak ada tiga motivasi bagi karyawan atau staf pada LAZ DKD,
yaitu motivasi agama, motivasi sosial, dan motivasi lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, motivasi terbesar bagi staf
atau karyawan di LAZ DKD adalah didorong oleh semangat
keagamaan dan dakwah.

130
a. Motivasi Agama
Bagi sebagian orang, khususnya yang terdidik di lingkungan
yang religius, motivasi agama merupakan motivasi yang paling
kuat, bukan hanya dalam urusan pekerjaan, tapi juga dalam
urusan lain dalam kehidupan ini. Berdasarkan hasil penelitian di
atas, semangat keagamaan ini berupa:
1) Spirit berdakwah melalui program-program LAZ DKD yang
memang selaras dengan konsep dakwah dalam agama Islam.
Dakwah di LAZ DKD tidak lagi berupa dakwah bil lisan atau
secara lisan, melainkan dakwah bil-hal, yaitu dengan
perbuatan nyata, bahkan dengan memberi solusi kepada
masyarakat yang membutuhkan. Dakwah bil lisan dilakukan
oleh muballigh-muballigh LAZ DKD yang diterjunkan langsung
ke masyarakat, baik sebagai realisasi program DKD maupun
atas permintaan dari masyarakat. Sedangkan dakwal bil hal
dilakukan melalui program-program pemberdayaan yang
bersifat jangka panjang dan berkesinambungan.
2) Motivasi ingin berkhidmat terhadap Alquran. Hal ini
dikarenakan adanya program-program terkait dengan
pembelajaran Alquran dan tahfidz. Program-program tersebut
diwujudkan secara nyata dalam bentuk Rumah-Rumah Quran
yang telah berdiri di sekitar Magelang. Sedangkan pesantren
tahfidz yang dikelola LAZ DKD saat ini sedang dalan tahap
pembangunan. Berkhidmat terhadap Alquran merupakan pola
pikir yang menjadi impian sebagian orang Islam, yaitu mampu
mencurahkan hidupnya dalam belajar, mengajar, dan
mengamalkan Kitab Allah tersebut.
3) Faktor lingkungan kerja yang islami juga menjadi salah satu
spirit yang mendorong staf di DKD merasa nyaman bekerja di
LAZ DKD. Bekerja di LAZ DKD diyakini oleh staf dan karyawan
LAZ DKD sebagai bentuk pekerjaan yang menggabungkan
antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, dapat membantu
untuk menggapai ridho Allah, dapat meningkatkan
pengamalan agama Islam, bisa bekerja sambil belajar agama,
dan lain sebagainya.

131
4) Bekerja di LAZ DKD dapat mewujudkan konsep amal jariyah
dengan mendorong umat Islam untuk gemar membayar zakat,
infak, sedekah, dan wakaf untuk kepentingan agama Islam.
Dengan semakin populernya lembaga zakat dans emakin
banyaknya orang Islam yang membayar zakat, berarti
semakin besar manfaat yang dapat dirasakan oleh mustahik
zakat. Akan lebih berarti lagi apabila pihak yang semula
adalah mustahik zakat kemudian pada prosesnya berubah
menjadi muzakki. Demikian pula, dana-dana zakat, infak,
sedekah, dan wakaf tersebut sebagian diwujudkan dalam
program-program yang merupakan ladang amal jariyah,
seperti Program Rumah Quran dan Pesantren Tahfidz.
Hasil kuisener ini menunjukkan bahwa motivasi agama
dominan dalam sistem kerja pada LAZ DKD. Penelitian Anoraga
membuktikan bahwa motivasi kerja yang berdasarkan pada spirit
agama memiliki dampak yang besar dan langsung terhadap
kinerja lembaga tersebut (Anoraga, 2015).
b. Motivasi Sosial
Motivasi sosial erat kaitannya dengan motivasi agama.
Sebab, salah satu bidang yang menjadi concern yang sangat kuat
bagi agama adalah masalah sosial. Perbedaannya di sini terletak
pada ruang lingkupnya. Motivasi agama lebih didasarkan pada
konteks ajaran agama yang bersifat normatif sedangkan motivasi
sosial lebih cenderung kepada dampak yang dirasakan, yaitu
manfaat yang dirasakan oleh umat Islam.
Motivasi sosial tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu
manfaat yang dikembalikan kepada diri sendiri dan manfaat yang
dirasakan oleh orang lain (muztahik).
1) Motivasi sosial dapat dijadikan sebagai spirit untuk
memperbaiki diri sendiri, yaitu melatih jiwa sosial, gemar
menolong, menanamkan rasa simpati dan empati, dan
memupuk rasa tanggungjawab terhadap permasalahan sosial
yang ada di sekitarnya. Memiliki jiwa sosial merupakan ajaran
agama Islam.
2) Komitmen untuk memberikan manfaat lebih besar kepada
umat Islam melalui program-program LAZ DKD. Melalui DKD,

132
staf dan karyawan LAZ DKD bisa berkomunikasi langsung
dengan mustahik dan bisa merasakan problematika hidup
yang mereka hadapi. Semakin besar dana yang berhasil
dihimpun LAZ DKD akan semakin besar pula penerima
manfaat dari dana tersebut. Hal ini tentu saja dapat
meningkatkan motivasi atau spirit kerja di LAZ DKD.
3) Spirit LAZ DKD adalah merubah status mustahik menjadi
muzakki. Tujuan jangka panjang bagi LAZ DKD bukan hanya
sekedar memberi manfaat bagi kaum dhuafa, tetapi juga
berusaha memberdayakan mustahik agar mandiri dan
berdaya. Harapannya, kelak pada masa tertentu, mereka akan
beranjak dari status mustahik menjadi muzakki. Oleh karena
itu, LAZ DKD bukan sekedar memberi bantuan yang sifatnya
konsumtif, tetapi juga menawarkan program-program yang
bersifat pemberdayaan. Jargon yang sering didengungkan
adalah “LAZ DKD tidak memberi ikan, akan tetapi memberi
kail”. Ikan bisa langsung dikonsumsi, tapi akan segera habis.
Sedangkan kail adalah alat yang dapat digunakan untuk
mencari ikan. Sehingga, programnya adalah memberi modal
dan bekal bagi mustahik untuk mandiri dan berdaya.
Perubahan status dari mustahik menjadi muzakki ini, bagi
pekerja di LAZ DKD, merupakan mampu menumbuhkan
mental spiritual yang kuat sehingga mendorong semangat
untuk terus berkarya bersama lembaga zakat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi sosial cukup
dominan, selain motivasi agama di atas, bagi sistem kerja pada
LAZ DKD. Temuan ini juga diperkuan oleh penelitian Subandowo
yang menunjukkan bahwa motivasi sosial memiliki pengaruh
yang besar terhadap nilai-nilai profesionalitas pada lembaga
tertentu (Subandowo, 2009).
c. Motivasi Lainnya.
Hasil survai juga memunculkan motivasi-motivasi yang
mendasari mereka untuk bekerja dan komitmen mengembangkan
LAZ DKD. Motivasi-motivasi tersebut diantaranya adalah balas
budi terhadap LAZ DKD. LAZ DKD merupakan lembaga yang
sudah beroperasi dalam waktu yang panjang sehingga telah

133
berhasil mengantarkan kaum dhuafa menuju kondisi yang lebih
baik. Sebagian dari mereka saat ini ada yang bekerja di LAZ DKD.
Di antara mereka, ada yang sebelumnya adalah anak-anak yatim
yang merasa tidak memiliki harapan. Kemudian, LAZ DKD datang
dan membawa mereka pada kondisi yang sudah memiliki keahlian
tertentu dan ada yang sudah menjadi sarjana. Lalu mereka ingin
kembali ke LAZ DKD dan berkomitmen mengembangkan LAZ DKD
sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas jasa-jasa LAZ
DKD terhadap mereka.
Motivasi lainnya adalah kondisi internal LAZ DKD yang
bekerja dengan semangat jiwa sosial. Iklim kerja di LAZ DKD
dirasakan sebagai sebuah keluarga yang saling membantu,
menasihati, dan menolong. Suasana kekeluargaan yang ada pada
LAZ DKD tidak mudah ditemukan pada lembaga-lembaga lain.
Pada sisi lain, LAZ DKD merupakan lembaga yang terus
berproses dan berkembang. Masih banyak hal-hal besar yang
dapat dicapai oleh LAZ DKD. Akan tetapi, kondisi riil pada LAZ
DKD belum mampu menjangkau mimpi-mimpi besar tersebut.
Keinginan untuk menjadikan LAZ DKD sebagai lembaga yang lebih
maju menjadi motivasi lain bagi orang-orang yang sudah bekerja
di LAZ DKD. Mereka memiliki ketulusan hati untuk bekerja di LAZ
DKD dan benar-benar mengharapkan LAZ DKD berkembang
menjadi lembaga yang mampu memberikan manfaat yang lebih
besar kepada masyarakat.
2. Visi dan Impian Responden tentang Masa Depan LAZ DKD
Survai berikutnya dilakukan untuk mengetahui harapan
stakeholders internal terhadap LAZ DKD. Prediksi yang diberikan
adalah dalam rentang waktu 5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun ke
depan. Maksud dari survai ini adalah untuk mengetahui komitmen
stakeholders internal terhadap masa depan lembaga yang mereka
kelola selama ini. Menurut Hamdan, visi organisasi merupakan hal
yang sangat penting dan menjadi alasan kenapa lembaga tersebut
ada (Hamdan, 2001). Hasil survai dapat dilihat pada tabel berikut
di bawah ini.

134
Tabel 2: Harapan Karyawan terhadap Masa Depan LAZ DKD
LAZ Nasional LAZ Propinsi LAZ Unggulan
Menjadi lembaga Membuka DKD mempunyai unit usaha
yang mampu cabang LAZ seperti sekolah, RS, LKS, atau
memberikan DKD di amal usaha lain mampu
solusi bagi umat banyak menopang keuangan DKD
Islam bersekala daerah di sehingga Amil lebih sejahtera.
nasional Jawa Tengah
10 tahun ke depan Lima tahun Menjadi panutan atau rujukan
LAZ DKD menjadi ke depan bagi LAZ-LAZ yang lain.
LAZ Nasional menjadi LAZ
Propinsi
DKD menjadi LAZ LAZ DKD memiliki sistem
Internasional digital terpadu (database,
funding, manajemen, dll) (5
tahun ke depan)

Memiliki banyak Mampu mengentaskan


cabang di seluruh kemiskinan di Magelang
Indonesia
Menjadi LAZ Menjadi lembaga yang
Nasiomal terpercaya di Magelang
Menjadi lembaga Memiliki lembaga pendidikan
yang dikenal, Islam (sekolah) gratis dan
diakui, dan Memiliki pesantren tahfidz
dipercaya secara bertafaf nasional.
nasional dan
internasional.
Memiliki program
pemberdayaan ekonomi Islam,
seperti eduwisata, dll di
Magelang.
Meningkatkan donasi DKD
dengan target 5 kali lipat dari
sekarang
Berdasarkan kuesioner yang dibagaikan kepada staf dan
karyawan LAZ DKD terkait dengan harapan atau impian LAZ DKD
pada masa-masa yang akan datang, diketahui bahwa para staf dan
karyawan LAZ DKD memiliki harapan yang tinggi terhadap LAZ

135
DKD. Artinya, stakeholders internal memiliki komitmen dan sense
of belonging yang kuat terhadap masa depan lembaga sehingga
berharap LAZ DKD tetap eksis bahkan terus berkembang untuk
masa-masa yang jauh ke depan. Hasil kuisener juga
mengindikasikan bahwa staf dan karyawan LAZ DKD memiliki
rasa optimisme yang tinggi terhadap masa depan LAZ DKD. Tidak
ada satu pun dari para stakeholders interrnal tersebut yang
memiliki sikap psimis terhadap perkembangan LAZ DKD ke
depan, meskipun menghadapi tantangan dan kompetisi yang
semakin keras pada masa-masa yang akan datang. Penelitian Putri
menunjukkan bahwa perasaan memiliki atau rasa kepemilikan
(sense of belonging) berperan besar terhadap peningkatan
partisipasi sosial untuk meningkatkan kinerja dan
mengembangkan lembaga (Putri, 2018).
Harapan staf dan karyawan LAZ DKD dapat dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu menjadi LAZ Propinsi, menjadi LAZ Nasional,
dan menjadi LAZ Unggulan. Berikut ini deskripsi hasil kuisener
dengan tiga kategori tersebut:
a. LAZ DKD menjadi LAZ Propinsi
1) Membuka cabang LAZ DKD di banyak daerah di Jawa
Tengah
2) Lima tahun ke depan menjadi LAZ Propinsi
b. LAZ DKD Menjadi LAZ Nasional
1) Menjadi lembaga yang mampu memberikan solusi bagi
umat Islam bersekala nasional
2) 10 tahun ke depan LAZ DKD menjadi LAZ Nasional
3) DKD menjadi LAZ Internasional
4) Memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia
5) Menjadi LAZ Nasiomal
6) Menjadi lembaga yang dikenal, diakui, dan dipercaya
secara nasional dan internasional.
c. LAZ DKD menjadi LAZ Unggulan
1) DKD mempunyai unit usaha seperti sekolah, RS, LKS, atau
amal usaha lain mampu menopang keuangan DKD
sehingga Amil lebih sejahtera.
2) Menjadi panutan atau rujukan bagi LAZ-LAZ yang lain.

136
3) LAZ DKD memiliki sistem digital terpadu (database,
funding, manajemen, dll) (5 tahun ke depan)
4) Mampu mengentaskan kemiskinan di Magelang
5) Menjadi lembaga yang terpercaya di Magelang
6) Memiliki lembaga pendidikan Islam (sekolah) gratis dan
memiliki pesantren tahfidz bertaraf nasional.
7) Memiliki program pemberdayaan ekonomi Islam, seperti
eduwisata, dll di Magelang.
8) Meningkatkan donasi DKD dengan target 5 kali lipat dari
sekarang
3. Implementasi Prinsip-prinsip TQM pada LAZ DKD.
Kuisener berikutnya berkaitan dengan implementasi
prinsip-prinsip TQM pada LAZ DKD. Kuisener ini terdiri dari 12
pertanyaan yang diharapkan dapat mewakili prinsip-prinsip TQM
dan indikator-indikator pada masing-masing prinsip. Jumlah
responden adalah 15 yang merupakan stakeholders internal dari
LAZ DKD. Hasil kuisener dapat dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 3: Jawaban Responden tentang Implementasi Prinsip-


prinsip TQM pada LAZ DKD

No Pernyataan SS S RR TS STS Jumlah


1 Saya merasa nyaman 10 3 2 15
bekerja di LAZ DKD
2 Dalam waktu 10 tahun ke 7 1 6 1 15
depan, saya tidak ada
rencana pindah kerja ke
tempat lain
3 LAZ DKD telah memberikan 9 3 2 1 15
ruang dan sarana untuk
menyampaikan keluhan
yang berkaitan dengan
pekerjaan.
4 LAZ DKD telah menerapkan 10 4 1 15
sistem penggajian yang jelas
dan telah dipahami oleh
semua karyawan/staff.

137
5 LAZ DKD selalu mengambil 10 4 1 15
keputusan berdasarkan data
yang obyektif

6 LAZ DKD sering 7 4 3 1 15


mengundang pakar atau ahli
dalam bidang yang relevan
sebelum mengambil
keputusan strategis
7 LAZ DKD sering 8 4 3 15
mengundang stakeholders
(muzakki dan mustahik)
sebelum mengambil
keputusan strategis
8 LAZ DKD selalu mengadakan 13 2 15
rapat program kerja setiap
tahun.

9 LAZ DKD selalu menjalankan 13 2 15


program kerja yang telah
direncanakan.
10 LAZ DKD telah memiliki 11 2 2 15
program kerja yang jelas
untuk dikerjakan setiap
tahun atau setiap periode
tertentu.
11 Program kerja LAZ DKD 12 3 15
telah didokumentasikan dan
disosialisasikan ke seluruh
karyawan/staff LAZ DKD.
12 LAZ DKD selalu melakukan 12 3 15
evaluasi dan monitoring
terhadap program kerja
yang telah direncanakan.

Dari segi masing-masing indikator pada prinsip-prinsip


TQM, diperoleh data sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan pertanyaan nomor 1 tentang
kenyamanan bekerja di LAZ DKD, ditemukan data sebagai

138
berikut: sebanyak 10 responden menyatakan sangat
setuju, 3 respondem menyatakan setuju, dan 2 responden
menyatakan ragu-ragu. Tidak ada responden yang
memilih kolom tidak setuju atau sangat tidak setuju. Hal
ini menunjukkan bahwa stakeholders pada LAZ DKD sudah
merasa nyaman untuk bekerja dan mengembangkan LAZ
DKD.
b. Berkaitan dengan pertanyaan nomor dua, yaitu apakah
dalam waktu 10 tahun ke depan masih akan tetap bekerja
di LAZ DKD, jawaban responden adalah sebagai berikut:
sebanyak 7 responden menyatakan sangat setuju, 1
responden menyatakan setuju, 6 responden menyatakan
ragu-ragu, dan 1 responden menyatakan tidak setuju.
Hasil survey ini menunjukkan bahwa tidak semua
stakeholders memilih untuk terus bekerja sama dengan
LAZ DKD pada masa-masa yang akan datang. Ada 1 orang
responden yang memilih untuk memilih bekerja pada
bidang lain sedangkan 6 responden menyatakan keraguan
mereka untuk tetap bekerja di LAZ DKD.
c. Berkaitan dengan mekanisme penyampaian keluhan
mengenai pekerjaan di LAZ DKD, jawaban responden
adalah sebagai berikut: sebanyak 9 responden
menyatakan sangat setuju, 3 responden menyatakan
setuju, 2 responden merasa ragu-ragu, dan ada satu
responden yang menyatakan tidak setuju. Hasil survey ini
menunjukkan bahwa mayoritas stakeholders LAZ DKD
telah menyatakan kepuasannya terhadap mekanisme
lembaga dalam mengatasi keluhan pelanggan.
d. Berkaitan dengan sistem penggajian yang diterapkan LAZ
DKD, jawaban responden adalah sebagai berikut:
sebanyak 10 responden menyatakan sangat setuju, 4
responden menyatakan setuju, dan seorng responden
menyatakan ragu-ragu. Tidak ada responden yang
menyatakan tidak setuju atau sangat tidak setuju. Hal ini
menunukkan bahwa mekanisme penggajian pada LAZ

139
DKD telah diterima dan disetujui oleh semua stakeholders
LAZ DKD.
e. Berkaitan dengan pengambilan keputusan yang
didasarkan pada data atau fakta obyektif, jawaban
responden adalah sebagai berikut: sebanyak 10 responden
menyatakan sangat setuju, 4 responden menyatakan
setuju, dan seorng responden menyatakan ragu-ragu.
Tidak ada responden yang menyatakan tidak setuju atau
sangat tidak setuju. Hal ini menunukkan bahwa
mekanisme pengambilan keputusan pada LAZ DKD telah
dilakukan dengan baik dan mendapatkan respon yang
positif dari stakeholders LAZ DKD.
f. Berkaitan dengan pertanyaan tentang keterlibatan pakar
atau ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan
pertimbangan bagi keputusan yang akan diambil, jawaban
responden adalah sebagai berikut: sebanyak 7 responden
menyatakan sangat setuju, 4 responden menyatakan
setuju, 3 responden menyatakan ragu-ragu, dan seorang
responden menyatakan tidak setuju. Hasil survey ini
menunjukkan bahwa mayoritas stakeholders LAZ DKD
telah mendapatkan pencerahan dan ide yang positif dari
para pakar atau ahli dalam bidang tertentu sebelum
mengambil keputusan-keputusan strategis untuk
mengembangkan LAZ DKD.
g. Berkaitan dengan keterlibatan stakeholders (baik muzakki
maupun mustahik) untuk memberikan pertimbangan bagi
keputusan yang akan diambil, jawaban responden adalah
sebagai berikut: sebanyak 8 responden menyatakan
sangat setuju, 4 responden menyatakan setuju, dan 3
responden menyatakan ragu-ragu. Tidak ada responden
yang menyatakan tidak setuju atau sangat tidak setuju. Hal
ini menunjukkan bahwa mereka sebagai stakeholders telah
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam
mengelola dan mengembankan LAZ DKD.
h. Berkaitan dengan kegiatan rapat program kerja yang
merupakan bagian dari perencanaan LAZ DKD, jawaban

140
responden adalah sebagai berikut: sebanyak 13 responden
menyatakan sangat setuju dan 2 responden menyatakan
setuju. Tidak ada responden yang memilih jawaban ragu-
ragu, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Hal ini
menunjukkan bahwa perencanaan pada LAZ DKD telah
dilakukan melalui sejumlah proses yang melibatkan
sumber daya insani pada LAZ DKD melalui forum-forum
yang memberi kesempatan kepada mereka untuk
menyampaikan pendapat dan gagasan.
i. Berkaitan dengan pelaksanaan program kerja sesuai
dengan apa yang telah direncanakan pada saat
penyusunan program kerja, jawaban responden adalah
sebagai berikut: sebanyak 13 responden menyatakan
sangat setuju dan 2 responden menyatakan setuju. Tidak
ada responden yang memilih jawaban ragu-ragu, tidak
setuju, atau sangat tidak setuju. Hal ini menunjukkan
bahwa pelaksanaan program kerja pada LAZ DKD telah
dilakukan sesuai dengan rencana-rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya.
j. Berkaitan dengan kejelasan program kerja yang
dilaksanakan pada satu tahun kegiatan, jawaban
responden adalah sebagai berikut: sebanyak 11 responden
menyatakan sangats etuju, 2 responden menyatakan
setuju, dan 2 responden menyatakan ragu-ragu. Tidak ada
responden yang menyatakan tidak setuju atau sangat tidak
setuju. Hal ini menandakan bahwa program kerja pada
LAZ DKD telah disusun sesuai dengan format atau
sistematika yang menjamin kejelasan bagi stakeholders.
k. Berkaitan dengan dokumentasi dan sosialisasi program
kerja pada LAZ DKD, jawaban responden adalah sebagai
berikut: sebanyak 13 responden menyatakan sangat
setuju dan 2 responden menyatakan setuju. Tidak ada
responden yang memilih jawaban ragu-ragu, tidak setuju,
atau sangat tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa
program kerja pada LAZ DKD telah didokumentasikan dan

141
disosialisasikan dengan baik kepada mereka sebagai
stakeholder.
l. Berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi dan monitoring
terhadap pelaksanaan program kerja pada LAZ DKD,
jawaban responden adalah sebagai berikut: sebanyak 13
responden menyatakan sangat setuju dan 2 responden
menyatakan setuju. Tidak ada responden yang memilih
jawaban ragu-ragu, tidak setuju, atau sangat tidak setuju.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program kerja
LAZ DKD senantiasa dilakukan evaluasi dan monitoring
sehingga dapat menjamin pelaksanaan sesuai
perencanaan.
Dari daftar pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat diketahui
bahwa kisi-kisi pertanyaan mewakili dari empat prinsip TQM.
Butir soal yang berkaitan dengan prinsip kepuasan pelanggan
dapat dilihat pada butir soal nomor 1, 2, dan 3. Butir soal yang
berkaitan dengan prinsip penghormatan terhadap setiap orang
dapat dilihat pada butir soal nomor 4. Butir soal yang berkaitan
dengan prinsip manajemen berbasis fakta dapat dilihat pada butir
soal nomor 5 dan 6. Sedangkan butir soal yang berkaitan dengan
prinsip perbaikan berkesinambungan dapat dilihat pada butir soal
nomor 7 sampai 12. Butir-butir soal dan kaitannya dengan
prinsip-prinsip TQM secara lebih jelas dapat dijelaskan pada tabel
berikut:
Tabel 4: Kaitan Prinsip-prinsip TQM dan Butir-butir Soal
No Prinsip-prinsip TQM Butir Soal
1 Kepuasan Pelanggan 1, 2, 3
2 Penghormatan terhadap semua orang 4
3 Manajemen Berbasis Fakta 5, 6
4 Perbaikan berkesinambungan 7, 8, 9, 10, 11, 12

Data di atas juga menjelaskan bahwa jawaban responden


dari pertanyaan yang berkaitan dengan prinsip kepuasan
pelanggan adalah mencapai 87 % yang menyatakan rasa nyaman
dan puas ketika bekerja di LAZ DKD. Sisanya menyatakan ragu-
ragu. Ketika ditanyakan tentang masa depan mereka di LAZ DKD,

142
ada 6 % yang menyatakan tidak siap untuk bekerja dalam waktu
yang lama di LAZ DKD, 40 % menyatakan ragu-ragu atau tidak
menerima tapi juga tidak menolak, sedangkan sisanya, yaitu 54 %
menyatakan setuju untuk tetap bekerja di LAZ DKD dalam waktu
yang lama. Sedangkan berkaitan dengan layanan terhadap
keluhan, 80 % dari responden menyatakan LAZ DKD telah
memberikan akses yang lebar bagi pelanggan untuk
menyampaikan keluhan, 13 % menyatakan ragu-ragu, dan sisanya
yaitu 7 % menyatakan tidak setuju.
Dapat disimpulkan dari data tersebut, bahwa pelanggan
internal LAZ DKD telah merasakan kepuasan terhadap kinerja dan
layanan LAZ DKD. Hal ini berarti bahwa prinsip kepuasan
pelanggan telah diterapkan dengan baik oleh LAZ DKD. LAZ DKD
telah berhasil memberikan layanan yang baik dan tidak
memunculkan banyak keluhan terkait dengan implementasi
prinsip tersebut. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Liung yang
menunjukkan bahwa kualitas layanan dan kepuasan pelanggan
sangat berpengaruh terhadap loyalitas stakeholders terhadap
lembaga atau organisasi (Liung, 2017).
Sedangkan terkait dengan prinsip kedua, yaitu
penghormatan terhadap semua orang, jawaban dari responden
menunjukkan bahwa 93 % dari responden telah merasakan
implementasi prinsip tersebut. Sisanya, yaitu 7 % menyatakan
ragu-ragu. Hal ini berarti hampir semua pelanggan internal
merasakan LAZ DKD telah memberikan penghormatan yang baik
terhadap semua orang yang terlibat dalam lembaga. Penelitian
Hasan menunjukkan bahwa setiap orang yang ada dalam lembaga
merupakan aset yang paling berharga dan memiliki karakter yang
unik untuk mengembangkan lembaga (Hasan, 2012).
Terkait dengan prinsip ketiga, yaitu manajemen berbasis
fakta, jawaban dari responden adalah 93 % menyatakan bahwa
keputusan yang diambil di LAZ DKD telah memperhatikan fakta-
fakta obyektif yang terjadi pada lembaga. Sisanya, atau sebanyak 7
% menyatakan ragu-ragu.
Demikian pula ketika ditanyakan tentang keterlibatan pakar
atau ahli dalam bidang tertentu yang mendukung kemajuan

143
lembaga, 66 % menyatakan setuju, 20 % menyatakan ragu-ragu,
dan sisanya, yaitu 4 % menyatakan tidak setuju. Penelitian
Supriadi menunjukkan bahwa keterlibatan pakar dan pihak-pihak
yang memiliki kompetensi terhadap masalah tertentu sangat
berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang
relevan sehingga mampu menghindarkan manajemen dari
keputusan-keputusan yang tidak efektif dan mubazir (Supriyadi,
2018).
Hal ini berarti bahwa stakeholders internal telah merasakan
hasil dari implementasi dari prinsip manajemen berbasis fakta.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh pimpinan LAZ DKD
merupakan hasil dari fakta-fakta obyektif atau hasil dari rapat-
rapat koordinasi yang melibatkan banyak pihak. Keputusan di LAZ
DKD bukan merupakan keputusan subyektif dari pimpinan
lembaga yang didasari oleh perasaan like atau dislike. Keputusan
yang diambil secara obyektif akan berdampak pada iklim kerja
yang kondusif dan dapat mendorong setiap orang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya secara baik dan
profesional.
Sedangkan pertanyaan terkait dengan implementasi prinsip
keempat, yaitu perbaikan berkesinambungan, jawaban dari
responden telah menguatkan implementasi prinsip tersebut pada
LAZ DKD. Berkaitan dengan keterlibatan stakeholders (baik
muzakki maupun mustahik) untuk memberikan pertimbangan
bagi keputusan yang akan diambil, jawaban responden adalah 80
% menyatakan setuju dan 20 % menyatakan ragu-ragu. Berkaitan
dengan kegiatan rapat program kerja yang merupakan bagian dari
perencanaan LAZ DKD, jawaban responden adalah 100 %
menyatakan setuju. Berkaitan dengan pelaksanaan program kerja
sesuai dengan apa yang telah direncanakan pada saat penyusunan
program kerja, jawaban responden adalah 100 % menyatakan
setuju. Berkaitan dengan kejelaskan program kerja yang
dilaksanakan pada satu tahun kegiatan, jawaban responden
adalah 87 % menyatakan setuju dan sisanya, yaitu 13 %
menyatakan ragu-ragu. Berkaitan dengan dokumentasi dan
sosialisasi program kerja pada LAZ DKD, jawaban responden

144
adalah 100 % menyatakan setuju. Berkaitan dengan pelaksanaan
evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program kerja
pada LAZ DKD, jawaban responden adalah 100 % menyatakan
setuju.
Hasil dari survai di atas menunjukkan bahwa LAZ DKD telah
berhasil mengimplementasikan prinsip perbaikan
berkesinambungan dengan baik. Jawaban dari responden dapat
dikategorikan pada jawaban yang positif, yaitu antara sangat
setuju atau setuju. LAZ DKD ketika menyusun program kerja
sudah didasari dengan konsep perencanaan yang matang,
melibatkan banyak pihak, didasari oleh hasi evaluasi dari program
kerja tahun sebelumnya, sudah disosialisasikan ke seluruh
stakeholders terkait, dan dilakukan evaluasi dan monitoring
secara berkala. Dengan demikian, prinsip PDCA telah berhasil
diimplementasikan oleh LAZ DKD sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kinerja LAZ DKD pada tahun-tahun berikutnya.
Penelitian Syahrul menyimpulkan bahwa setiap organisasi
dituntut untuk selalu melakukan kreatifitas dan inovasi secara
terus menerus dan selalu melakukan perbaikan berkelanjutan
untuk menjaga dan meningkatkan mutu atau kualiatas produk
dan layanannya (Syahrul, 2013).
4. Kepuasan Pelanggan dan Service Excellence.
Uji coba prinsip kepuasan pelanggan diimplemen-tasikan di
LAZ DKD melalui pelatihan tentang Service Excellent. Pelatihan ini
dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 3 Oktober 2020 di Wisma LAZ
DKD Kota Magelang. Pelatihan ini diisi oleh Bapak Drs. Pudiatmo.
Materi dari pelatihan adalah definisi pelayanan prima, prinsip
pelayanan prima, manfaat pelayanan prima, jenis-jenis pelayanan
prima, dan lain-lain yang berkaitan dengan tema tersebut.
Berikut ini adalah deskripsi tentang Pelayanan Prima yang
menjadi materi pada pelatihan tersebut.
a. Pengertian Pelayanan Prima
Pelayanan prima adalah suatu pola layanan terbaik dalam
manajemen modern yang mengutamakan kepedulian terhadap
pelanggan. Layanan prima di dalam dunia bisnis disebut juga
sebagai excellent service. Excellent service, customer service,

145
dan customer care pada dasarnya adalah sama, hanya berbeda
pada konsep pendekatannya saja. Namun yang paling penting
dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, minimal harus
ada tiga hal pokok, yakni: peduli pada pelanggan, melayani dengan
tindakan terbaik, dan memuaskan pelanggan dengan berorientasi
pada standar layanan tertentu. Pelayanan prima menjadi kunci
bagi suskesnya lembaga atau perusahaan (Khaerunnisa, 2014).
Pelayanan ditambahkan kata “excellent”: excellent people for
excellent serve. Pelayanan prima adalah pelayanan yang unggul.
Unggul menurut siapa? Jawabannya adalah menurut standar yang
telah ditetapkan. Sehingga diperlukan upaya untuk menyusun
standar-standar pelayanan, misalnya standar waktu, standar
biaya, dan lain-lain. Pelayanan disebut pelayanan prima apabila
dilakukan dengan cara melebihi standar yang telah ditetapkan
tersebut.
Sederhananya, pelayanan prima (excellent service) adalah
pelayanan yang memenuhi standar kualitas yang sesuai dengan
harapan dan kepuasan pelanggan. Sehingga dalam pelayanan
prima terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan yaitu
pelayanan dan kualitas.
Kualitas pelayanan sendiri memiliki beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Namun dari beberapa definisi
yang dikemukakan, terdapat beberapa kesamaan, yakni:
1) Kualitas merupakan usaha untuk memenuhi harapan
pelanggan
2) Kualitas merupakan kondisi mutu yang setiap saat
mengalami perubahan
3) Kualitas mencakup proses, produk, barang, jasa, manusia,
dan lingkungan
4) Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan proses, produk, barang, jasa,
manusia, dan lingkungan, yang memenuhi harapan
Namun, kenapa pelayanan belum maksimal? Jabawannya
ada beberapa kemungkinan. Diantaranya: 1) mungkin karena
tidak ada guidance, 2) mungkin tidak ada reward dan punishment,
dan 3) mungkin tidak direncanakan.

146
b. Jenis-jenis Pelayanan
Pelayanan merupakan suatu proses yang menghasilkan
produk berupa pelayanan yang diberikan kepada pelanggan, yang
dibedakan menjadi tiga macam: 1) Core Service, yaitu pelayanan
merupakan produk utama dari sebuah organisasi / perusahaan.
Misalnya hotel atau perusahaan penerbangan yang menawarkan
jasa sebagai produk usahanya. 2) Facilitating Service, yaitu
fasilitas layanan tambahan kepada pelanggan. Misalnya fasilitas
‘check-in’ dalam penerbangan. 3) Supporting Service, yaitu
pelayanan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan atau untuk membedakannya dari pesaing. Misalnya
restoran bergengsi yang bertempat di suatu hotel.
Agar bisa meningkatkan kualita pelayanan, perlu dilakukan
survai kepada pelanggan. Survai dilakukan dengan cara mengisi
kuisener. Bisa dilakukan dengan cara yang sederhana saja. Lalu
pada akhir kuisener ditambahkan kolom komentar. Komentar dari
pelanggan tersebut perlu ditindaklanjuti untuk meningkatkan
kualitas pelayanan tersebut.
Pelayanan prima mempunyai peranan penting dalam bisnis
baik dari sisi pelanggan internal maupun pelanggan eksternal,
karena sangat berpengaruh pada loyalitas pelanggan kepada
organisasi / perusahaan. Demikian juga jika pelayanan prima ini
dilakukan oleh pihak non-komersil atau pemerintah.
Pelayanan prima akan membawa manfaat bagi pelanggan
internal. Pelanggan internal adalah orang-orang yang terlibat
dalam proses produksi barang atau jasa yang ditawarkan
perusahaan. Dengan melaksanakan pelayanan prima di
lingkungan internal, akan menunjang kelancaran proses produksi
barang atau pembentukan jasa. Keberhasilan pembudayaan
pelayanan prima di lingkungan internal, akan menjadi tonggak
dasar dalam mewujudkan pelayanan prima di lingkungan
eksternal (Wathani, 2015).
Demikian pula, pelayanan prima akan membawa dampak
positif bagi pelanggan eksternal. Kebutuhan dan keinginan
pelanggan merupakan peluang besar bagi perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan melalui penjualan barang dan jasa yang

147
ditawarkan. Memberikan pelayanan prima kepada pelanggan
eksternal diharapkan dapat meningkatkan loyalitas kepada
perusahaan.
Begitu juga dengan pelayanan prima di organisasi non-
komersil dan instansi pemerintahan, bagaimana mereka
mengimplementasikan pola manajemen untuk memfasilitasi
kebersamaan, kerjasama, dan upaya-upaya lain yang bisa
diwujudkan agar pengurus dan pegawai dapat bekerja sesuai
dengan tujuan organisasi tersebut. Pelayanan prima yang
diberikan kepada masyarakat diharapkan akan menimbulkan
loyalitas dan kepatuhan dari masyarakat sehingga instansi yang
bersangkutan dapat menarik manfaat untuk menyelesaikan
misinya.
c. Karakteristik Pelayanan Prima
Ada tiga karakteristik bagi pelayanan prima, yaitu:
1) Pelayanan harus Dilakukan dengan Ikhlas.
Pelayanan harus berangkan dari hati nurani yang ikhlas.
Basic dari suara hati nurani adalah common sense atau akal
sehat. Orang yang mengikuti kata hati nurani pasti akan setuju
dengan prinsip pelayanan prima (Kurniawan, 2020).
2) Pelayanan harus Bersifat Profesional.
Pelayanan tidak cukup hanya berdasarkan pada
keikhlasan saja, tetapi juga harus dilakukan secara
profesional. Profesional dalam hal ini bisa diartikan sebagai
sikap yang ditunjukkan oleh orang yang memiliki keahlian
dalam bidang tersebut (Debora, 2016).
3) Pelayanan harus Dilakukan secara Konsisten.
Selain ikhlas dan profesional, pelayanan juga harus
dilakukan secara konsisten dan tidak membedakan obyeknya.
Artinya, kapapun dan kepada siapapun, pelayanan yang baik
harus tetap ditunjukkan (Desthiani, 2020).
Agar pelanggan merasa puas atas produk atau jasa yang kita
tawarkan, pribadi yang prima ditunjukkan dengan indikator-
indikator seperti Pelayanan yang ramah, Bersikap sopan dan
penuh hormat, Tampil yakin, Memberikan kesan ceria,
Berpenampilan rapi, Senang bergaul, Mudah memaafkan, Senang

148
belajar dari orang lain, Senang pada hal-hal yang etis dan wajar,
dan Pandai menyenangkan orang lain.
Hasil uji implementasi service excellent pada LAZ DKD dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Tingkat Loyalitas Donatur terhadap lembaga
Berkaitan dengan indikator loyalitas donatur, hasil uji
impelementasi menunjukkan bahwa donatur LAZ DKD
memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi untuk tetap
menyalurkan dananya pada lembaga tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan jawaban dari pengelola lembaga yang
menyatakan bahwa LAZ DKD memiliki donatur tetap yang
secara rutin menyalurkan dana filantropinya kepada lembaga
tersebut. Selain donatur tetap, LAZ DKD juga memiliki donatur
tidak tetap yang menyalurkan dana mereka kepada lembaga
tersebut secara insidentil.
Ketika ditanyakan apakah ada di antara pada donatur
yang mengundurkan diri sebagai donatur dan tidak lagi
menyalurkan dana mereka kepada lembaga tersebut,
pengelola LAZ DKD menjawab hal itu hanya terjadi pada
donatur yang sudah tidak lagi bertempat tinggal di wilayah
operasional LAZ DKD sehingga terkendala untuk menyalurkan
dananya kepada lembaga tersebut.
Loyalitas donatur juga masih ditunjukkan bagi donatur
yang sudah memasuki masa pensiun. Donatur yang pensiun
tidak berarti berhenti menjadi donatur. Meskipun sudah tidak
bekerja pada pekerjaan utamanya, mayoritas donatur masih
tetap berderma. Apakah jumlah nominalnya berkurang?
Jawaban dari informan adalah tidak mesti seperti itu dan
sifatnya relatif tergantung kondisi kepada masing-masing
donatur.
Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa loyalitas donatur terhadap LAZ DKD sangat tinggi dan
komitmen mereka untuk tetap menjadi donatur pada lembaga
ini juga sangat kuat.

149
b. Loyalitas staf dan karyawan terhadap lembaga.
Loyalitas yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap
lembaga filantropi Islam tidak hanya ditunjukkan oleh
donatur saja, tetapi juga oleh pengelola atau staf pada lembaga
tersebut. Secara umum, pengelola lembaga filantropi Islam
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengelola atau pengurus
inti (top manager) dan staf atau karyawan biasa.
Pada level pengurus inti, tingkat komitmen dan loyalitas
sangat tinggi untuk mengembangkan lembaga. Mereka
merupakan orang-orang yang pada mulanya diberi tanggung
jawab untuk membuka lahan atau babat alas di wilayah
Magelang dan sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang
sudah berpengalaman dan memiliki komitmen yang baik
terhadap lembaga dan misi lembaga.
Sedangkan pada level staf atau karyawan, tingkat
komitmen dan loyalitasnya bervariasi, meskipun tetap berada
pada skala yang baik. Staf atau karyawan diangkat oleh
pimpinan lembaga dan dilakukan proses pembinaan secara
rutin agar dapat bekerja secara optimal pada lembaga.
Berkaitan dengan keinginan untuk pindak ke tempat
atau pekerjaan lain, pada level top manajer hal itu tidak
terjadi. Sedangkan pada level staf atau karyawan, pimpinan
lembaga tidak memberlakukan aturan yang ketat bagi sumber
daya yang akan pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Hal ini
dirasa wajar saja karena berkaitan dengan kebebasan masing-
masing individu untuk memilih tempat atau jenis pekerjaan
mereka sesuai dengan keinginan atau passion masing-masing.
c. Mekanisme menyampaikan keluhan.
Sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang
pelayanan, keluhan dari pelanggan merupakan hal yang wajar
terjadi. Keluhan atau komplain jika ditindaklanjuti secara
bijak akan berdampak positif bagi citra lembaga dan dapat
memberikan peluang baru untuk meningkatkan kualitas
layanan yang sudah dikembangkan selama ini. Selain itu,
adanya keluhan dari pelanggan menjadi indikasi bahwa

150
mereka memberikan perhatian yang lebih kepada lembaga
tersebut.
LAZ DKD telah menyediakan ruang bagi donatur
maupun bagi mustahik untuk menyampaikan keluhan jika
mendapatkan layanan yang tidak mengenakkan dari lembaga.
Mekanisme penyampaian keluhan tersebut dilakukan dengan
cara sebagai berikut: 1) Langsung disampaikan kepada
petugas (amil) yang memberikan layanan dan datang ke
rumah atau kantor muzakki/donatur, 2) Melalui nomor kantor
atau call center, 3) Melalui nomor kontak petugas
(staf/admin), 3) Datang langsung ke kantor, 4) Hot line 24 jam,
dan 5) Melalui media sosial.
Hasil uji impelementasi pada LAZ DKD menunjukkan
bahwa donatur dan mustahik selama ini tidak pernah
mengeluhkan perihal sisi negatif dari layanan yang mereka
dapatkan. Sebaliknya, komplain dari sebagian donatur justru
mencerminkan sisi positif dari lembaga, seperti keterlambatan
dalam mengambil zakat atau infak atau sedekah. Apabila
terjadi kesalahpahaman antara donatur dengan petugas atau
amil, maka pihak lembaga segera menyelesaikan masalah
tersebut dengan cara mendatangi atau menjalin komunikasi
dan silaturahmi dengan donatur tersebut.
Secara teoritis, apa yang dilakukan oleh LAZ DKD
tersebut sudah tepat. Komplain atau keluhan dalam kegiatan
layanan, juga bisnis, merupakan hal yang wajar terjadi. Sikap
yang dibutuhkan lembaga saat seperti itu adalah
menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam menangani
keluhan tersebut serta memastikan kejadian yang serupa
tidak akan terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang.
Secara teknis, ada empat langkah untuk menangani
keluhan pelanggan di LAZ DKD, yaitu:
1) Menerima keluhan dengan tangan terbuka. Langkah ini
ditunjukkan dengan memberikan kesempatan kepada
mereka untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan,
meminta maaf atas terjadinya kesalahan tersebut,
mengakui adanya kesalahan, dan menjelaskan kepada

151
mereka bahwa kesalahan atau kesalahpahaman tersebut
akan segera diatasi dan tidak akan terulang lagi.
2) Memetakkan masalah yang dikeluhkan. Langkah ini
dilakukan dengan cara mencatat dan menganalisis jenis
keluhan, apakah pernah dikeluhkan sebelumnya, apakah
solusi yang ditawarkan berhasil mengatasi masalah, dan
evaluasi terhadap solusi tersebut.
3) Menangani keluhan dengan cepat. Setelah jelas jenis
keluhannya, langkah berikutnya adalah memastikan
adanya solusi yang cepat dann tepat. Hal ini perlu
dikonfirmasikan kepada pelanggan apakah solusi tersebut
sesuai dengan harapan mereka atau tidak.
4) Memberikan solusi yang tepat. Keluhan dikatakan telah
teratasi jika solusi yang ditawarkan benar-benar telah
selesai diterapkan (Indriyani, 2016).
5. Lima Pilar Manajemen Lembaga Filantropi Islam
Lima pilar manajemen filantropi merupakan konsep yang
digunakan untuk mengelola dan mengembangkan lembaga amil
zakat. Lima pilar tersebut terdiri dari: 1) Pilar Organisasi, 2) Pilar
Kinerja SDM, 3) Pilar Cost Leadership, 4) Pilar Muzakki dan
Mustahik Satisfaction, dan 5) Pilar Omset Ziswaf.
Uji prinsip ini dilakukan melalui pelatihan yang
dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 3 oktober 2020. Tempat
pelatihan adalah Wisma LAZ DKD dan bertindak sebagai
fasilitator adalah Choach Andi Nurhayadi. Pada pelatihan ini,
peserta diajak untuk menguatkan lima pilar tersebut bagi LAZ
DKD. Kaitannya dengan prinsip-prinsip TQM, materi pada
pelatihan ini mendorong LAZ DKD untuk memperkuat
implementasi prinsip-prinsip TQM, khususnya terkait dengan
Prinsip Penghormatan terhadap Setiap Orang dan Prinsip
Manajemen Berbasis Fakta.
Secara teknis, pelatihan ini menekankan pada Renstra LAZ
DKD, RJP LAZ DKD, dan implementasi lima pilar tersebut pada
manajemen LAZ DKD. Berikut ini adalah resume dari hasil
pelatihan tersebut.

152
a. Menyusun renstra LAZ DKD:
Tim peneliti melakukan pendampingan terhadap LAZ DKD
untuk menyusun renstra atau rencana jangka panjang (RJP) yang
akan dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan LAZ DKD pada
masa-masa yang akan datang. Secara teoritis, renstra difungsikan
sebagai fondasi dasar/pedoman untuk pengambilan keputusan
dalam organisasi, dan merupakan proses berkesinambungan dan
terus menerus (Kurnia, 2020).
Pendampingan tersebut berhasil menyusun draft renstra
LAZ DKD yang dibagi menjadi empat tahap RJP, yaitu RJP I tahun
2004-2009, RJP II tahun 2010-2015, RJP III tahun 2016-2021, dan
RJP IV tahun 2022-2027. Masing-masing tahap RJP memiliki
prioritas program yang akan dijelaskan pada uraian berikut ini:
1) RJP I LAZ DKD 2004-2009
Prioritas program: meletakkan fondasi dasar LAZ DKD
melalui pembangunan trust atau kepercayaan dari
masyarakat.
2) RJP II LAZ DKD 2010-2015
Prioritas program: meningkatkan pelayanan zakat
melalui pengembangan program yang terpadu.
3) RJP III LAZ DKD 2016-2021
Prioritas program: mengembangkan program secara
terpadu menuju LAZ yang sehat, kuat, dinamis, kredibel, dan
mandiri.
4) RJP IV LAZ DKD 2022-2027
Prioritas program: menjadi LAZ profesional yang
menjadi model bagi pemberdayaan dana filantropi di dunia
Islam.
Saat ini LAZ DKD berada pada tahap RJP III yang
berlangsung dari tahun 2016 hingga tahun 2021. Prioritas
program pada tahap RJP III ini adalah mengembangkan
program secara terpadu menuju LAZ yang sehat, kuat,
dinamis, kredibel, dan mandiri.
Menilik pada data LAZ DKD hingga tahun 2020 ini, LAZ DKD
telah berada pada jalur yang benar untuk menuntaskan tahap ini
sehingga pada tahun 2021 siap untuk menapak pada RJP IV yang

153
akan berakhir pada tahun 2027. Pada tahun terakhir tersebut, LAZ
DKD memiliki visi menjadi lembaga yang profesional dan menjadi
model bagi pemberdayaan dana filantropi Islam pada skala
internasional.
Pada saat ini, LAZ DKD telah berhasil mewujudkan
eksistensinya sebagai LAZ yang berskala Kota Magelang dan telah
menapak pada jalan yang benar menuju LAZ yang sehat, kuat,
dinamis, kredibel, dan mandiri.
b. Implementasi lima pilar bisnis Lembaga Amil Zakat.
Secara umum, deskripsi mengenai lima pilar manajemen
bagi lembaga filantropi Islam dalpat dijelaskan pada gambar
berikut ini:

Gambar 4: Lima Pilar Manajemen Lembaga Filantropi Islam


Berdasarkan skema tersebut di atas, organisasi LAZ DKD
sebagai diletakkan pada kolom paling bawah. Organisasi menjadi
fondasi bagi seluruh aktifitas yang terdapat pada kolom-kolom di
atasnya. Sebagai fondasi, organisasi harus tertata dan memiliki
seperangkat sistem yang menjamin kekuatan untuk menahan
semua beban yang ada di atasnya. Begitulah seharusnya LAZ DKD.
Sebagai organisasi yang mengelola banyak program, LAZ DKD

154
harus memiliki seperangkat sistem yang menjadi tumpuan bagi
program-program tersebut.
Organisasi yang telah tertata dengan baik akan mampu
meningkatkan kinerja SDM. Penempatan kinerja SDM berada pada
kolom sebelah kiri. Kinerja SDM akan berjalan secara maksimal
jika dilakukan sejumlah treatment untuk meningkatkan keahlian
dan keterampilan mereka, baik dari segi hardskill maupun
softskill. Dalam konteks itulah diperlukan training, coaching, team
building, dan upgrade capacity. Apabila kinerja SDM meningkat,
maka biaya yang dikelurkan oleh organisasi (cost management)
akan menurun. Jika tidak menurun secara nominal, maka akan
menurun secara prosentase. Biaya-biaya yang dibutuhkan untuk
menjalankan organisasi bisa jadi meningkat secara nominal, tapi
dengan kinerja SDM yang optimal maka akan menghasilkan
keuntungan yang lebih besar sehingga secara keseluruhan tetap
akan memberikan efek positif bagi lembaga.
Pada sisi sebelah kanan, organisasi yang memiliki sistem
dan tatanan yang kuat, maka akan mampu memberikan dampak
positif bagi customer. Misalnya, lembaga zakat yang telah memiliki
SOP yang baku, maka pelayanan terhadap pelanggan (yaitu
muzakki dan mustahik) akan semakin baik sehingga akan tercapai
prinsip customer satisfaction. Pelayanan yang sesuai SOP akan
menjamin implentasi service excellent. Pelanggan yang telah
mendapatkan prinsip-prinisp customer satisfaction dipastikan
akan membawa dampak postif bagi core business bagi lembaga
amil zakat, yaitu ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).
Peroleh dana ZISWAF diharapkan akan meningkat seiring dengan
peningkatan kualitas layanan terhadap muzakki dan mustahik.
Demikianlah sekilas tentang implementasi lima pilar utama
bagi kinerja lembaga amil zakat. Kegiatan pelatihan ini menjadi
bagian ikhtiyar untuk meningkatkan kinerja LAZ DKD melalui
peningkatan kapasitas lembaga. Pada kolom bagian bawah, yaitu
organisasi, pelatihan dimaksudkan untuk melengkapi perangkat-
perangkat sistem yang harus ada pada LAZ DKD. Penelitian ini
belum berhasil mewujudkan semua perangkat yang disebutkan
pada kolom organisasi tersebut. Perangkat yang sudah berhasil

155
dirumuskan adalah Visi dan Misi LAZ DKD, Tujuan LAZ DKD, SOP
LAZ DKD, Jobdesc LAZ DKD, dan Blueprint LAZ DKD.
Pada kolom Kinerja SDM, Tim Peneliti telah berhasil
melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan training,
coaching, team building, dan upgrade capacity. Harapannya adalah
terjadi peningkatan kinerja SDM dan terjadinya kolaborasi yang
baik antar lini kerja pada LAZ DKD. Secara teoritis, sumber daya
manusia merupakan kunci untuk mencapai keunggulan kompetitif
organisasi. Sumber daya manusia merupakan kekayaan yang
dimiliki oleh perusahaan dan memiliki peranan yang sangat
penting dibanding dengan aset lain yang dimiliki perusahaan
(Iskandar, 2018).
Pada kolom cost leadership, LAZ DKD telah berhasil
menekan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan
program. Biaya sewa tempat sudah berhasil dihilangkan karena
sudah memiliki kantor sendiri. Sedangkan biaya-biaya yang
muncul karena event bisa diminimalisir melalui skema kerja sama
dengan lembaga-lembaga terkait. Selain itu, peningkatan dana
filantropi yang berhasil digalang juga mampu menurunkan
prosentase biaya manajemen jika diakumulasi secara keseluruhan
omset lembaga.
Dari segi kepuasan pelanggan, LAZ DKD telah berhasil
mendapatkan hati dan kepercayaan dari masyarakat sehingga LAZ
DKD telah menjadi LAZ yang dipercaya oleh masyarakat.
Pelayanan terhadap pelanggan selalu diupgrade melalui sejumlah
kegiatan yang bertujuan meningkatkan kualitas layanan. Hasil
survai juga menunjukkan bahwa pelanggan LAZ DKD telah
mendapatkan layanan yang baik dari karyawan LAZ DKD. LAZ
DKD juga sudah membuka akses bagi pelanggan yang bermaksud
menyampaikan keluhan atas pelayanan pada LAZ DKD.
Sedangkan pada kolom ZISWAF, perolehan dana zakat,
infak, sedekah, dan wakaf selalu meningkat setiap tahunnya,
termasuk pada tahun 2020 pada saat penelitian ini dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa LAZ
DKD telah mengimplementasikan pilar-pilar lembaga amil zakat
yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu lembaga. Penelitian

156
ini juga berhasil menambahkan atau melengkapi dari kekurangan-
kekurangan yang ada pada LAZ DKD. Sedangkan kekurangan-
kekurangan yang masih belum berhasil ditutupi oleh penelitian ini
maka akan dilakukan oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Selain itu,
kekurangan tersebut juga disebabkan oleh banyak faktor, seperti
keterbatasan waktu, kondisi pandemi, dan keterbatasan tim
peneliti.
6. Perbaikan Berkesinambungan dan Penyusunan Proker
Ujicoba prinsip perbaikan berkesinambungan dilakukan
melalui dua cara, yaitu a) Implementasi PDCA pada program kerja
LAZ DKD tahun berjalan (2020), dan b) Pendampingan pada saat
penyusunan program kerja LAZ DKD pada tahun 2021.
Oleh karena itu, pembahasan pada bab ini meliputi dua
tema tersebut, yaitu evaluasi program kerja pada tahun 2020 dan
pendampingan program kerja pada tahun 2021.
a. Evaluasi Program Kerja Tahun 2020.
Evaluasi program kerja hadir untuk memberikan masukan,
kajian dan pertimbangan dalam menentukan apakah program
layak untuk diteruskan atau dihentikan. Dengan kondisi demikian
maka istilah evaluasi program menjadi sesuatu yang lumrah di
lembaga atau organisasi apapun (Munthe, 2015).
Berdasarkan evaluasi program kerja pada tahun 2020,
diperoleh data sebagai berikut:
1) Telah terjadi kenaikan jumlah dana yang berhasil
dikumpulkan oleh LAZ DKD pada tahun 2020.
Berdasarkan laporan keuangan LAZ DKD, jumlah total
dana yang berhasil dikumpulkan oleh LAZ DKD pada tahun
2019 adalah 1,7 Milyar. Sedangkan pada tahun 2020, dana
yang berhasil dikumpulkan adalah sebesar 2,2 Milyar. Hal itu
berarti terjadi peningkatan dana yang berhasil dikumpulkan
sebesar 20 % dibandingkan tahun sebelumnya.
2) Dominasi dana infak pada LAZ DKD.
Dana yang berhasil dikumpulkan tersebut terdiri dari
tiga jenis dana filantropi Islam, yaitu dana wakaf sebanyak 11
% , dana zakat sebanyak 30 %, dan dana infak sebanyak 59 %.
Hal itu berarti dana infak masih mendominasi dana filantropi

157
Islam yang dikumpulkan LAZ DKD. Hal ini sebenarnya
merupakan sebuah ironi karena LAZ DKD merupakan lembaga
amil zakat, akan tetapi perolehan dana zakat masih lebih kecil
dibandingkan dana infak.
3) Besarnya dana zakat pada tahun 2020 mencapai angka Rp
600.000.000,00. Jumlah ini lebih besar dua kali lipat
dibandingkan besarnya dana zakat yang dikumpulkan LAZ
DKD pada tahun 2019, yaitu Rp 300.000.000,00. Hal ini berarti
ada peningkatan sangat signifikan bagi perolehan dana zakat.
Pada tahun 2020 juga, LAZ DKD menerima dana zakat dari
seseorang (zakat individu) sebesar Rp 100.000.000,00. Hal ini
tentu menjadi indikasi yang kuat tentang kepercayaan
muzakki pada LAZ DKD.
4) Peningkatan yang signifikan juga terjadi pada jumlah hewan
kurban yang dipercayakan kepada LAZ DKD. Analisis dari
fenomena ini adalah karena dampak dari pandemi Covid-19
sehingga banyak masjid, yang biasanya menyelenggarakan
penyembelihan hewan kurban, pada tahun 2020 ini tidak
menyelenggarakan atau membatasi penyembelihan hewan
kurban. Hal ini menyebabkan banyak orang yang akan
berkurban mengalihkan amanahnya melalui lembaga-lembaga
yang mengelola penyembelihan hewan kurban secara lebih
terorganisir, diantaranya LAZ DKD. Seiring dengan
meningkatnya jumlah hewan kurban yang disembelih, maka
jumlah penerima manfaat berupa daging kurban juga
meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya.
5) Jumlah donatur pada tahun 2020 adalah sebanyak 1230
donatur. Hal ini menurun dibandingkan dari tahun 2019 yang
berjumlah 1746 donatur. Penurunan jumlah donatur ini
diakibatkan oleh berbagai sebab. Sebab yang paling dominan
adalah perubahan regulasi terkait dengan kewenangan
BAZNAS yang mendapatkan mandat untuk mengelola dana
zakat yang dikeluarkan oleh pegawai pada instansi-instansi
pemerintah. Beberapa pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)
pada instansi-instansi milik pemerintah maupun sekolah-
sekolah negeri mengalihkan penyaluran dana zakatnya ke

158
BAZNAS karena ada instruksi dari pihak yang berwenang
untuk menyalurkan dana zakat mereka melalui BAZNAS.
Sebab lain yang juga cukup berpengaruh pada penurunan
jumlah donatur adalah kondisi pandemi Covid-19. Dalam
kondisi pandemi, banyak event-event yang biasanya
diselenggarakan oleh LAZ DKD untuk menggaet donatur tidak
bisa dilaksanakan.
6) Meskipun jumlah donatur berkurang seperti disebutkan di
depan, akan tetapi jumlah dana zakat maupun lainnya yang
berhasil dikumpulkan justru meningkat. Hal ini merupakan
fenomena menarik untuk dianalisis. Dapat disimpulkan dari
data tersebut adanya kecenderungan donatur untuk
meningkatkan jumlah donasinya. Barangkali sebab di balik
kecenderungan tersebut adalah adanya wabah Covid-19.
Sebagaimana sudah diketahui secara umum oleh khalayak
pegiat zakat, pada saat terjadi musibah, maka dana filantropi
akan meningkat. Hal ini pula yang terjadi pada LAZ DKD pada
musim pandemi ini.
7) Jumlah penerima manfaat dana yang disalurkan oleh LAZ DKD
pada tahun 2020 adalah sebanyak 7400 orang. Sedangkan
penerima manfaat pada tahun 2019 adalah berjumlah 5703
orang. Hal ini berarti ada peningkatan sebanyak 1697 orang.
Meningkatnya jumlah penerima manfaat secara otomatis akan
terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah dana yang
diperoleh.
b. Prioritas Program Kerja LAZ DKD Tahun 2021.
Berdasarkan hasil evaluasi pada program kerja tahun 2020
di atas, maka LAZ DKD dan didampingi oleh Tim Peneliti
mengadakan rapat koordinasi untuk merencanakan program
kerja tahun 2021. Penyusunan program kerja perlu dilakukan
pendampingan agar dapat menyusun proker yang efektif, efisien,
dan dapat dicapai sesuai target yang telah ditetapkan (Sukmawati,
2013).
Penyusunan program kerja diikuti oleh seluruh stakeholder
internal pada LAZ DKD dan juga mitra LAZ DKD. Keterlibatan
mereka sangat diperlukan untuk mewujudkan prinsip

159
keterlibatan total pada manajemen lembaga. Begitu pula, setiap
peserta diberi hak untuk menyampaikan pandangan-
pandangannya terkait rencana program kerja tahun yang akan
datang. Hal ini dimaksudkan untuk membuka akses bagi seluruh
stakeholders agar terlibat dalam proses penyusunan program
kerja. Selain itu, diikutsertakannya seluruh stakeholders akan
memudahkan LAZ DKD pada saat melakukan sosialisasi program-
program kerja tersebut.
Selanjutnya, peserta rapat dibagi berdasarkan divisi
masing-masing untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD)
mengenai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Akan tetapi,
mengingat terbatasnya waktu pendampingan, program-program
kerja yang disusun masih dalam tahap inventarisasi program-
program kegiatan pada masing-masing divisi. Rancangan
program-program tersebut selanjutnya akan didiskusikan secara
fokus dan melalui beberapa tahap sebelum akhirnya disahkan dan
diberlakukan.
Berikut ini adalah hasil inventarisisi rancangan program-
program kerja yang akan direalisasikan pada tahun 2021, sebagai
berikut:
a. Marketing Retail:
1) Membuat tool marketing seperti proposal dan brosur.
2) Membuat direct mail sebagai upaya penawaran untuk
menjadi donatur.
3) Membuat TIMSUS Marketing dan dakwah zakat.
4) Menyelenggarakan special event dalam bentuk seminar
dan tabligh akbar.
5) Mengadakan direct selling dalam bentuk One Dya One Door
(ODOR).
6) Melakukan program untuk memprospek calon donatur.
7) Menyelenggarakan program webinar secara gratis,
melakukan pendataan database donatur, lalu
ditindaklanjuti melalui dirrect selling.
b. Marketing Online:
1) Online marketing (crowdfunding)
2) Konten yang powerfull

160
3) Mengupload bahan funding online setiap pekan.
c. Maintenance atau Layanan Donatur:
1) Menyelenggarakan layanan short course gratis
(pembelajaran Bahasa Arab, parenting, tahsin, kajian
keislaman).
2) Memaksimalkan komunitas DONAT (Donatur Relawan
Sahabat)
3) Berperan aktif dalam kegiatan atau aksi sosial.
4) Inventarisasi data donatur secara sistematis.
5) Menyusun laporan pemanfaatan dana filantropi kepada
donatur.
d. Branding, Partnership, dan Komunikasi:
1) Mengoptimalkan fungsi website untuk kepentingan
fundraising melalui digital marketing (laporan keuangan,
liputan program, new program, crowdfunding)
2) Mengoptimalkan fungsi media sosial untuk tujuan
fundraising (FB marketing, Email marketing, IG Marketing,
Whatsapp marketing)
3) Menjalin kerjasama antara program penghimpunan dan
penyaluran (melalui skema MPZ dan CSR).
4) Memanfaatkan media iklan, baliho, banner untuk
sosialisasi program.
e. Bidang Umum
1) Membuka akses pada donatur-donatur besar di Kota dan
Kabupaten Magelang dengan melibatkan pihak yayasan
atau tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk proses
pendekatan.
2) Merencanakan program kegiatan yang sifatnya
pemberdayaan dan produktif, baik produktif bagi
mustahik maupun produktif bagi LAZ DKD.
3) Merumuskan program unggulan LAZ DKD dalam bentuk
Pesantren Tahta Royatil Quran (TRQ) dan Program Rumah
Quran. Program TRQ merupakan program terpadu antara
kegiatan pondok pesantren, pendidikan formal, dan unit
usaha produktif. Saat ini pembangunan Pesantren TRQ

161
sudah memasuki tahap finishing dan diharapkan tidak
lama lagi akan bisa segera beroperasi.
4) Meningkatkan nilai jual Program Rumah Quran untuk
menarik minat donatur agar turut berpartisipasi dalam
program pembelajaran Alquran. Saat ini, LAZ DKD
mengelola Rumah Quran sebanyak 7 rumah. Rumah-
rumah Quran tersebut menempati rumah-rumah yang
dimiliki oleh warga akan tetapi diamanahkan kepada LAZ
DKD untuk memanfaatkannya dalam bidang pembelajaran
dan tahfidz Alquran.
7. Pengembangan Program Unggulan melalui Networking:
Rumah Gemilang Indonesia
Rumah Gemilang Indonesia (RGI) Kampus Magelang
merupakan program hasil kerjasama antara LAZ DKD Kota
Magelang dan LAZ Al-Azhar Peduli Umat Jakarta. Lembaga ini
berdiri pada tahun 2012 dan bergerak dalam bidang
pengembangan SDM dengan cara menyelenggarakan pelatihan-
pelatihan bagi generasi muda kaum dhuafa. Saat ini RGI Kampus
Magelang menempati bangunan seluas kurang lebih 500 m2 di
Kalurahan Sanggarahan, Kecamatan Magelang Utara, Kota
Magelang. RGI merupakan salah satu program unggulan pada LAZ
DKD. Sebagai program unggulan, diperlukan serangkaian langkah
yang dilaksanakan dengan urutan tertentu untuk mencapai
keunggulan dalam output atau keluarannya (Zarkasyi, 2016).
RGI Kampus Magelang menyelenggarakan pendidikan
dengan sistem boarding (berasrama). Pendidikan dilaksanakan
sebanyak 2 (dua) angkatan setiap tahun dan setiap angkatan
dilaksanakan selama 20 pekan, yaitu Februari-Mei (semester
ganjil) dan Agustus-Desember (semester genap). Pelatihan
dibedakan menjadi dua, yaitu pelatihan teoritik dan magang di
instansi atau lembaga yang menjadi mitra RGI.
Jumlah peserta setiap angkatan terdiri dari 10-20 orang
terdiri dari laki-laki dan perempuan, berusia 17-30 tahun,
diutamakan generasi dhuafa dan putus sekolah. Setiap peserta
berhak mendapatkan pendidikan dan keterampilan, akomodasi
selama tinggal di asrama, dan uang saku. Saat ini RGI Kampus

162
Magelang telah memberdayakan generasi muda dari kalangan
dhuafa lebih dari 200 orang yang tersebar ke dalam berbagai
bidang pekerjaan dan pengabdian di tengah- tengahmasyarakat.
Program unggulan ini bertujuan untuk mencetak anggota
masyarakat terutama kaum dhuafa yang trampil, kreatif, dan
inovatif sehingga mampu melakukan usaha mandiri untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Kerjasama ini ditandai dengan penyerahan 10 (sepuluh)
unit komputer dari LAZ Al-Azhar. LAZ DKD berkewajiban
menyediakan ruang kelas dengan kapasitas 30 unit komputer
yang nyaman dan representatif, serta biaya operasional program
yang suistainable. Hingga Agustus 2020, RGI Kampus Magelang
telah menjalankan 15 kali pelatihan yang masing-masing diikuti
oleh 10-20 peserta dari keluarga kurang mampu di wilayah
Magelang dan sekitarnya.
Menimbang kebutuhan lapangan kerja dan masyarakat saat
ini, maka bentuk-bentuk pelatihan yang diselenggarakan adalah
pelatihan yang terkait dengan keterampilan yang berhubungan
dengan entrepereurship atau kewirausahaan, manajemen UMKM,
dan desain grafis (digital). Harapannya pelatihan ketrampilan ini
dapat menjadi bekal bagi peserta untuk menunjang
produktivitasnya di dunia kerja maupun usaha mandiri.
Program-program pelatihan yang diselenggarakan oleh RGI
Kampus Magelang dilakukan secara gratis dan secara khusus
diproyeksikan bagi generasi muda yang tidak memiliki
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, anak yatim, putus sekolah, lulusan SMA, alumni Pondok
Pesantren, atau anak-anak kaum dhuafa. Program pelatihan pada
RGI Kampus Magelang dilakukan dengan sistem boarding. Peserta
wajib tinggal di asrama dan mengikuti seluruh kegiatan yang
sudah dijadwalkan selama 4 (empat) bulan. Kegiatan pelatihan
tersebut dilaksanakan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan
Februari-Mei untuk semester gasal dan bulan Agustus-Desember
untuk semester genap.
Pendanaan RGI Kampus Magelang ditanggung sepenuhnya
oleh dua pihak yang telah menjalin kerjasama yaitu LAZ DKD dan
LAZ Al-Azhar Jakarta. LAZ DKD dan LAZ Al-Azhar merupakan dua

163
lembaga nirlaba yang berfokus pada pengelolaan dana umat
berupa zakat, infak, sedekah, wakaf, dan dana sosial lain, baik
yang berasal dari perseorangan, lembaga, perusahaan, maupun
institusi lainnya. LAZ DKD dan LAZ Al-Azhar memiliki komitmen
yang sama untuk mengurangi permasalahan umat melalui
pengelolaan ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) secara
amanah, transparan, dan profesional yang diwujudkan dalam
berbagai program sosial pemberdayaan dan pemandirian umat
secara bermartabat. Perbedaan kedua LAZ tersebut terletak pada
skala izin operasionalnya. LAZ DKD berskala kabupaten/kota
sedangkan LAZ Al-Azhar berskala nasional.
Saat ini, RGI Kampus Magelang menempati lahan seluas
sekitar 500 m2 di Kampung Sanggrahan, Kelurahan Wates,
Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Kantor RGI Kampus
Magelang tersebut berupa sebuah rumah yang cukup besar,
terdiri dari 5 ruang sebagai kamar tidur, 1 ruang kelas yang
dilengkapi dengan komputer sebanyak 10 unit, ruang shalat,
ruang kelas untuk kegiatan keagamaan, dapur, 3 kamar mandi,
dan lahan kosong seluas 150 m2 untuk praktik kewirausahaan
yang terkait dengan pertanian, pembibitan, budidaya tanaman
hias, ikan, dan sejenisnya.
Setelah model di atas diimplementasikan pada LAZ DKD,
Tim Peneliti mendapatkan temuan baru bagi penyempurnaan
model yang telah dirumuskan pada tahap I tahun pertama.
Temuan tersebut diperoleh melalui uji pengembangan program
LAZ DKD dalam bentuk Rumah Gemilang Indonesia (RGI) Kampus
Magelang. RGI Kampus Magelang merupakan program pelatihan
SDM bagi generasi muda kaum dhuafa yang dijalankan oleh LAZ
DKD dengan bekerja sama dengan LAZ Al-Azhar Peduli Umat
Jakarta. Pada mula, LAZ Al-Azhar Peduli Umat Jakarta
menyerahkan modal penyertaan berupa 10 unit komputer untuk
pelatihan teknologi digital dalam format desain grafis. Pelatihan
itu dilakukan sebanyak dua angkatan setiap tahun dengan durasi
masing-masing angkatan selama enam bulan atau 1 semester.
Setiap angkatan terdiri dari 15-20 peserta. Seluruh peserta tinggal
di asrama dan wajib menaati peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh pengelola RGI.

164
Dalam program RGI Kampus Magelang ini, LAZ Al-Azhar
Peduli Umat berkewajiban memberikan bantuan dana atau
keuangan tertentu setiap bulannya untuk kebutuhan operasional
program RGI Kampus Magelang tersebut. Sedangkan LAZ DKD
bertanggungjawab menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan.
Program jejaring ini merupakan program kreatif dan memberi
manfaat yang besar bagi kedua lembaga.
Berdasarkan temuan ini, maka pada kolom pengembangan
dimasukkan kolom baru, yaitu networking atau jejaring dengan
sesama lembaga filantropi atau lembaga-lembaga lain yang
memiliki perhatian besar terhadap problematika kemanusiaan.
Oleh karena itu, model yang telah dirumuskan pada tahap
pertama dilengkapi dengan temuan pada penelitian tahap kedua
sehingga gambar model tata kelola lembaga filantropi Islam
menjadi seperti dijelaskan di bawah ini.

Gambar 8: Model Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam dengan


Pendekatan TQM.
Berdasarkan rumusan model tersebut, lembaga filantropi
Islam akan menjadi lembaga yang bermutu apabila sejak awal
hingga akhir program memperhatikan prinsip-prinsip Total
Quality Management. Selain itu, lembaga filantropi Islam harus
melakukan program-program pengembangan agar menjadi
lembaga yang mandiri dan mampu memberdayakan orang atau

165
lembaga lain. Pengembangan lembaga tersebut dilakukan
diantaranya melalui penggalangan dana-dana filantropi baru,
melalui program-program investasi baru, dan melalui penguatan
networking dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki visi dan
misi yang sama. Hal ini berarti, lembaga filantropi Islam tidak
akan berubah menjadi lembaga yang menerapkan mutu modern
jika belum menjadi lembaga mandiri dan mampu berkembang ke
arah yang lebih baik.

166
BAB VI
PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis terhadap tata kelola lembaga-


lembaga filantropi Islam dengan pendekatan Total Quality
Management seperti dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa tata kelola lembaga
filantropi Islam telah menerapkan prinsip-prinsip Total Quality
Management secara berbeda-beda. Perbedaan dalam
implementasi ini didasari oleh perbedaan yang signifikan pada
masing-masing lembaga, terutama dalam dilihat dari segi struktur
lembaga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga-lembaga
yang menjadi obyek penelitian terbagi ke dalam 2 (dua) bentuk
struktural, yaitu lembaga yang berdiri sendiri di wilayah Kota atau
Kabupaten Magelang dan lembaga yang merupakan cabang dari
lembaga pusat. Dari lembaga-lembaga cabang ini, dapat
dibedakan lagi menjadi dua, yaitu lembaga yang merupakan
cabang dari lembaga berskala nasional dan cabang dari lembaga
yang berskala regional atau propinsi.
Lembaga-lembaga cabang dari lembaga pusat yang berskala
nasional adalah Lazismu Kota Magelang, Lazismu Kabupaten
Magelang, Lazisnu Kota Magelang, Lazisnu Kabupaten Magelang,
Baznas Kota Magelang, Baznas Kabupaten Magelang, LAZ Yatim
Mandiri, dan Human Invinitif PKPU Kota Magelang. Lembaga yang
merupakan cabang dari lembaga yang beskala regional atau
propinsi adalah Lazis Jateng. Sedangkan lembaga yang merupakan
lembaga mandiri di wilayah Kota dan Kabupaten Magelang adalah
LAZ DKD dan Yayasan Kesejahteraan Islam Kota Magelang.
Dalam kaitannya dengan implementasi prinsip-prinsip
TQM, lembaga-lembaga yang merupakan cabang dari lembaga
yang lebih besar (pusat) memiliki tata kelola yang lebih baik
dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang sifatnya mandiri.
Lembaga-lembaga yang memiliki cabang-cabang di daerah pada
dasarnya merupakan lembaga yang sudah mapan dan memiliki
sistem tata kelola yang menjelaskan hubungan antar unit dalam

167
lembaga tersebut, termasuk sistem-sistem yang lebih kecil seperti
SDM, keuangan, dan lainnya. Sedangkan lembaga-lembaga yang
menjalankan kegiatan secara mandiri merupakan lembaga yang
belajar dari proses sehingga implementasi sistem dilakukan
secara bertahap dan bersifat solutif.
Berkaitan dengan implementasi prinsip kepuasan
pelanggan, hasil penelitian menjelaskan bahwa muzakki dan
mustahiq pada lembaga-lembaga filantropi Islam di Kota dan
Kabupaten Magelang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Hal
ini dibuktikan dengan tingkat loyalitas yang tinggi baik dari
kalangan intenal maupun eksternal, minim keluhan, dan tidak
adanya donatur yang keluar dari manajemen lembaga yang
diakibatkan oleh perilaku yang buruk dari lembaga. Donatur yang
meninggalkan lembaga diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak
dapat dihindari, seperti meninggal dunia, pindah tempat tinggal
sehingga terkendala jarak dan komunikasi, dan lainnya.
Berkaitan dengan prinsip penghormatan terhadap setiap
orang, masing-masing lembaga sudah menerapkan prinsip ini
dengan baik. Setiap lembaga yang menjadi obyek penelitian sudah
memberikan penghormatan yang layak kepada setiap orang yang
terlibat di dalamnya. Mereka dianggap sebagai aset yang
berharga, memiliki kelebihan spesifik, bakat yang unik, dan
kreatifitas yang inovatif. Mereka semua merupakan sumber daya
yang harus dioptimalkan pemanfataannya agar dapat
memberikan kontribusi yang maksimal. Hal ini dibuktikan dengan
hasil wawancara yang menyatakan bahwa pimpinan-pimpinan
lembaga tersebut sudah melibatkan karyawan dan staf dalam
mengambil keputusan, menyusun program kerja, memberi
kesempatan kepada mereka untuk melakukan kerja sama dan
kolaborasi yang sinergis untuk mengembangkan lembaga.
Berkaitan dengan prinsip manajemen berbasis fakta,
masing-masing lembaga masih perlu melakukan progres yang
positif untuk mengimplementasikan prinsip ini dengan baik.
Hasil-hasil penelitian dan ide-ide inovatif dari pakar masih belum
diakses dengan maksimal sehingga tidak dapat memberikan
dampak yang signifikan bagi perkembangan lembaga. Manajemen

168
mutu yang baik semestinya senantiasa update terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan agar dapat memprediksi
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kelak di kemudian
hari.
Berkaitan dengan prinsip perbaikan yang
berkesinambungan, lembaga-lembaga yang diteliti secara umum
sudah menjalankan prinsip PDCA dengan baik. Iklim kerja di
lingkungan organisasi juga memungkinkan mereka dapat bekerja
secara nyaman dan kondusif. Lembaga juga memberikan
perlakuan yang wajar dan fair bagi seluruh karyawan dengan cara
memberikan penghargaan bagi karyawan yang berprestasi dan
punishment bagi karyawan yang melakukan pelanggaran. Dengan
demikian, secara umum motivasi kerja di lembaga filantropi Islam
dalam keadaan baik dan kondusif. Selain itu, motivasi kerja di
lembaga ini juga memiliki karakteristik yang unik dan berbeda
dengan motivasi kerja pada lembaga-lembaga yang sifatnya profit
oriented.

169
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, dan Rasyid Ridha, t.th., Tafsir al-Quran al-


Hakim asy-Syahiir bi Tafsir al-Manaar, Beirut: Dar al-Fikr.
Abidin, Hamid, dan Kurniawati, 2008, Mensejahterakan Umat
dengan Zakat: Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di
Indonesia, Jakarta; Piramedia.
‘Abidin, Muhammad Amin Asy-Syahir bi Ibn, 1994, Rad al-Muhtar
‘Ala ad-Dur al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar, Bairut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah.
Abidin, Zaenal. 2012. Manfestasi dan Latensi Lembaga Filantropi
Islam dalam Praktik Pemberadayaan Masyarakat: Studi di
Rumah Zakat Malang. Jurnal Salam, Volume 15, Nomor 2.
Afandi, M. Yazid, 2009, Fiqh Muamalah dan Implementasinya
dalam Lembaga Keuangan Syari'ah, Yogyakarta: Logung
Pustaka.
Alma, Buchari, dan Donni Juni Priansa, 2009, Manajemen Bisnis
Syariah, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Anoraga, Bhirawa, dan Ari Prasetyo, 2015, “Motivasi Kerja Islami
dan Etos Kerja Islam Karyawan Bank Jatim Syariah Cabang
Surabaya”, Jurnal JESTT, Vol. 2, No. 7, Juli 2015.
Al-‘Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, 2000, Fath al-Bari Syarh
Sahih Bukhari, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Abdul Wahab Sayyid Hawwas,
Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010
Badan Amil Zakat Nasional, 2017, “Rekapitulasi Lembaga Amil
Zakat yang sudah Mendapatkan Rekomendasi Baznas
Skala: Kabupaten/Kota”, [Online]. Available:
https://pid.baznas.go.id/rekapitulasi-laz-skala-kab-kota/.
[Accessed: 30-Aug-2018].
Al-Barry, M. Dahlan. Y, dan Yacub, L.Lya Sofyan, 2003, Kamus
Induk Istilah Ilmiah, Surabaya: Penerbit Target Press.
Bustami, Fuad, 1986, Munjid at-Tullab, Beirut: Darul Masyriq.
Al-Bukhari, Abi ‘Abdullah Muhammad bin Isma’i>l bin Ibrahi>m,
2000, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr.
Creech, Bill, 1994, The Five Pillars of TQM, How to Make Total
Quality Management Works for You, New York: The
Pinguin Groups.
170
Ad-Dasuqi, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Arafah, 1996, Hasyiyah ad-
Dasuqi, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Debora, Stevil, Yuni Candra, dan Nurlina, 2016, “Pelayanan Prima
dan Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kepuasan
Masyarakat (Studi Pada Kantor Kelurahan Padang Sarai
Kecamatan Koto Tangah Padang)”, Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, Volume 7, Nomor 1, Januari 2016, ISSN
2086 – 5031, hal: 1-15
Deming, W. Edwards, 2002, Out of the Crisis, Cambridge: MIT
Press.
Desthiani, Unik, 2020, “Peran Pelayanan Prima Kasir terhadap
Kepuasan Pelanggan pada PT AEON Indonesia Tangerang”,
Jurnal Sekretari, p-ISSN 2354-6557 | e-ISSN 2614-5456,
Vol. 7 No. 1, Januari 2020, hal: 12-24
Djunaidi, Ahmad, dkk, 2008, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai,
Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag
RI.
Emir, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Erfanie, Sairi, 2008, “Wakaf Sebagai Instrumen Investasi Publik”,
dalam Jusmaliani (ed.), Investasi Syariah, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk., 2010, Fiqh Muamalat, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
George, Stephen, and Arnorld Weimerskirch, 1998, Total Quality
Management, Strategies and techniques Proven at Today’s
Most Successful Companies, New York: John Wiley and
Sons, Inc.
Hafiduddin, Didin, Panduan Praktis tentang zakat Infaq dan
Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998
Hamdan, Yusuf, 2001, Pernyataan Visi dan Misi Perguruan Tinggi”,
Jurnal Mimbar, Volume XVII No. 1 Januari- Maret 2001, hal:
90-103
Hammad, Nazih, 1995, Mu’jam al-Mustalahat al-Iqtisadiyyah fi
Lugati al- Fuqaha, Virginia: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikri
al-Islami
Handoko, T. Hani, 2009, Manajemen, Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta.

171
Hasan, Sudirman, 2012, “Implementasi Total Quality Management
dalam Pengelolaan Wakaf di Dompet Dhuafa” Jurnal
Ahkam, Vol. XII No.1, Januari 2012
Al-Hattab, Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Muhammad ibn
‘Abdurrahman al-Magribi al-Ma’ruf bi, 1995, Mawahib al-
Jalil li Syarh Mukhtasar Khalil, Bairut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
Indriyani, Susi, dan Selvy Mardiana, 2016, “Pengaruh Penanganan
Keluhan (Complaint Handling) terhadap Kepercayaan dan
Komitmen Mahasiswa pada Perguruan Tinggi Swasta di
Bandar Lampung”, Jurnal Bisnis Darmajaya, Vol. 2, No.01,
Januari 2016
Initiative, Tim Human, 2021, Profile Human Initiative, Dokumen
intrenal dan tidak dipublikasikan.
Iskandar, Dhany, 2018, “Strategi Peningkatan Kinerja Perusahaan
melalui Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Kepuasan
Kerja dan Dampaknya terhadap Produktivitas Karyawan”,
Jurnal JIBEKA, Volume 12, No 1 2018, hal.: 23 – 31
Al-Jazairy, Abdur Rahman, t.th., Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-
Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Kabisi, Muhammad ‘Abid ‘Abdullah, 2003, Hukum Wakaf,
Depok: IIman Press.
Katsir, Imaduddin Abu Fida Ismail Ibnu, 1981, Mukhtashar Tafsir
Ibnu Katsir, Beirut: Darul Qur’an.
Khaerunnisa, Handini, 2014, “Pengaruh Pelayanan Prima
Terhadap Kepuasan Nasabah”, Jurnal Studia Akuntansi dan
Bisnis, ISSN 2337-6112, Vol. 1 No. 1, 2014, hal.: 47-60
Kurnia, Adi, 2020, “Telaah Proses Penyusunan Rencana Strategis
(Renstra) dalam Perspektif Manajemen Strategis
(Penelitian di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa,
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten
Tasikmalaya)”, Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Negara, e-ISSN 2614-2945, Volume 7 Nomor 2, hal.: 268-
276.
Kurniawan, Danang, 2020, “Service Excellent Berdasarkan
Prespektif Islam di Bank Syariah”, Tawazun: Journal of
Sharia Economic Law, P-ISSN: 2655-9021, E-ISSN: 2502-
8316 Volume 3, Nomor 1, Maret 2020.

172
Laiya, Randi abdul Rizal, arrazi Hasan Jan, Jessy Pondaag, 2018,
Pengaruh Total Quality Management (TQM) terhadap
Kinerja Manajerial pada PT. Bank Mandiri (Persero) TBK
Area Menado, Jurnal EMBA, ISSN: 2303-1174, Vol. 6, No. 4
September 2018.
Latief, H. 2010. Melayani Umat: Filantropi Islam Dan Ideologi
Kesejahteraan Kaum Modernis. PT Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta
Latief, Hilman, 2019, Refleksi 17 Tahun Lazismu: Mengarungi
Samudera Zakat, https://lazismu.org/blog/lazismu-pusat-
45/post/refleksi-17-tahun-lazismu-mengarungi-samudera-
zakat-1202. Diakses 5 November 2019.
Liung, Hon, dan Tantri Yanuar Rahmat Syah, 2017, “Pengaruh
Kualitas Layanan terhadap Kepuasan dalam Meningkatkan
Loyalitas di Moderasi Harga” Jurnal Ekonomi, Volume 8
Nomor 2, Mei 2017
Lukman, 2012, “Analisis Komitmen stakeholders dan Shareholders
Perusahaan terhadap Kinerja Sosial dan Keuangan”, Jurnal
Akuntansi, Volume XVI, No. 01, Januari 2012, hal.: 112-126
Manzur, Ibnu , 1988., Lisan al-‘Arab, Dar al-Ma’arif.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, 1974, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar
al-Fikr
Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Mulyana, Dedi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, cetakan VIII, 2008.
Munawwir, A.W., 2002, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif.
Munthe, Ashiong P., 2015, “Pentingnya Evaluasi Program di
Institusi Pendidikan: Sebuah Pengantar, Pengertian,
Tujuan dan Manfaat”, Scholaria, Vol. 5, No. 2, Mei 2015,
hal.: 1 – 14.
Najib, Tuti A dan al-Makassari, ed., Ridwan, 2006, Wakaf, Tuhan
dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC.
Nasution, M.N., 2001, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nasution, Mustafa Edwin, dan Uswatun Hasanah, 2005, Wakaf
Tunai-Inovasi Finansial Islam Peluang Dan Tantangan

173
Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-
UI, cet. I.
Pedoman dan Panduan LAZISMU, 2017, Pedoman Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Nomor: 01/PED/I.0/B/2017 tentang
LAZISMU, Dokumen tidak dipublikasikan.
Prihatna, A. A. 2005. Filantropi dan keadilan sosial. Revitaliasasi
Filantropi Islam. Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah dan
The Ford Foundation.
Putra, Nusa, Metode Penelitian Kualitatif Manajemen, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013, pp. 102.
Putri, Medya Novrina, dan Suryanto, 2018, “Hubungan Antara
Perilaku Altruisme Dengan Partisipasi Sosial Pada Anggota
Karang Taruna Dengan Rasa Kepemilikan Organisasi
(Sense Of Belonging) Sebagai Variabel Intervening”, Jurnal
Psikologi Kepribadian dan Sosial, Vol. 7, e-ISSN 2301-7074,
hal.: 1-12
Qabbani, Marwan ‘Abd ar-Rauf, 2000, “Mu’assasah al-Waqf fi at-
Tatbiq al-Mu’asir: Numuzaj al-Awqaf fi al-Jumhuriyyah al-
Lubnaniyyah”, dalam Majalah Awqaf yang diterbitkan al-
Amanah al-‘Ammah li al-Awqaf di Kuwait, zero issue,
November 2000
Qahaf, Munzir, 2006, al-Waqf al-Islami: Tatawwuruhu, Idaratuhu,
Tanmiyyatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Qaradawy, Yusuf, 2006, Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Qudamah, asy-Syaikh al-Imam al-‘Alamah Ibn, t.th., al-Mugni,
Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Razzaq, Abdur, 2014, Pengembangan Model Pembangunan
Ummat Melalui Lembaga Filantropi Islam Sebagai Bentuk
Dakwah bil Hal, Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014, pp. 163-
179
Ridha, Taufiq, Perbedaan Ziwaf, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia,
t.th.
Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press.
Rozalinda, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang: Studi Kasus pada
Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika,
disertasi tidak dipublikasikan pada Sekolah Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah.

174
Sabiq, As-Sayyid, 1977, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr.
As-San’ani, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Amir al-Yamani,
1988, Subul as-Salam Syarh Bulug al-Maram min Jam’i
adillah al-Ahkam, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
As-Sawi, asy-Syaikh Ahmad, 1995, Bulgah as-Salik li Aqrab al-
Masaliki ‘ala asy-Syarh as-Sagir li al-Qutb Sayyidi Ahmad
ad-Dardiri, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sari, Elsi Kartika, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf,
Jakarta: Penerbit PT Grafindo.
Saripudin, Udin, 2016. Filantropi Islam dan Pemberdayaan
Ekonomi, BISNIA: Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol.
4, No. 2, Desember 2016, pp. 165-185.
Shadiq, 1988, Kamus Istilah Agama, Jakarta: CV Seinttarama.
Shofwan, Wawan S, 2011, Risalah Zakat, Infaq dan Sedekah,
Bandung: Tafakur.
Shihab, Quraish, 2007, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati.
Subandowo, M., 2009, “Pengaruh Deferensiasi Motivasi Sosial
terhadap Perilaku Profesional Guru” Jurnal Pendidikan Dan
Pembelajaran, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2009, Hal:
149-161.
Sudewo, Eri, 2004, Manajemen Zakat, Jakarta: Institut Manajemen
Zakat.
Sudirman, 2013, TQM untuk Wakaf, Malang: UIN-Maliki, Press.
Sudirman, 2012, “Implementasi Nilai TQM dalam Mengelola
Wakaf di Dompet Dhuafa dan Ponpes Tebuireng”, De Jure,
Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 4 Nomor 2, Desember
2012, pp. 171-186
Sukmawati, Aprilia, dkk., 2013, “Implementasi Penyusunan
Rencana Kerja Dan Anggaran Belanja Kementerian
Pertanian Sektor Pertanian Tahun 2005-2012”, Jurnal
Manajemen & Agribisnis, Vol. 10 No. 3, November 2013,
hal: 182-192
Sule, Erni Tisnawati, Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar
Manajemen, Jakarta: Kencana, cet.ke-1
Supriadi, 2018, “Proses Pengambilan Keputusan Internal Di
Kantor Inspektorat Kabupaten Mamuju”, MITZAL: Jurnal
Ilmu Pemerintahan & Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 2,
Nopember 2018, p-ISSN: 2541-4364, e-ISSN: 2541-4372,
hal: 43-62

175
Syahrul, 2013, “Penelitian Sebagai Instrumen Perbaikan Kualitas
Kinerja Organisasi Pendidikan Secara Berkelanjutan
(Continuous Improvement)”, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6 No. 1
Januari-Juni 2013, hal: 150-163
Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al-Khatib,
1994, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfaz al-Minhaj, Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Terry, George R., 2010, Asas-Asas Manajemen, diterjemahkan oleh
Winardi, Bandung: Alumni.
Tjiptono, Fandy, Anastasia Diana, 2003, Total Quality
Management, Edisi Revisi, Jogjakarta: Andi.
Usman, Nurodin, 2013, “Model Pengelolaan dan Pengembangan
Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang”, Muaddib: Studi
Kependidikan dan Keislaman, Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo, ISSN 2088-3390,
Vol 3, No. 1, Januari-Juni 2013.
Usman, Nurodin, 2013, “Pengelolaan Wakaf Produktif dalam
Bentuk Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang”, Jurnal
Syirkah IAIN Surakarta ISSN 1978-0079, Vol. 8, No. 2,
Desembser 2013
Usman, Nurodin, 2016, “Implementasi Prinsip Akuntabilias dalam
Manajemen Wakaf Produktif: Studi Kasus RSI Kota
Magelang”, Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan, IAIN Salatiga, Vol. 16, Bo. 2 Desember 2016,
ISSN 1411-9544, E-ISSN-8036, Terakreditasi B.
Wathani, M. Zainul, dan dan Afiati Kurniasih, 2015, “Konsep
Service Excellence Perbankan Syariah Berdasarkan Al-
Qur‟An Concept Of Islamic Banking Service Excellence By
The Qur'an”, Jurnal Nisbah, Vol 1 Nomor 1, hal.: 1-22.
Zaid, Ahmad Abu, 2000, Nizam al-Waqf al-Islami: Tatwiru Asalib
al-‘Amal wa Tahlil Nata’ij Ba’di ad-Dirasat al-Hadisah,
Kuwait: Kerja sama ISESCO dan al-Amanah al-‘Ammah li
al-Awqaf.
Zarkasyi, Ahmad, 2016, “Konsep Pengembangan Program
Unggulan di Lembaga Pendidikan Islam”, Jurnal Al-
Makrifat, Vol. 1 No. 1, April 2016.
al-Zuhaili, Wahbah, 1996, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu Juz II,
Damaskus: Dar al- Fikr.

176
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai