Anda di halaman 1dari 3

TUGAS PEMERINTAHAN NASIONAL

Dosen Pengampu:

Disusun oleh:
Nama: Hanik Lathifah
Nim: 223020703077
Kelas: A

Kelompok Ganjil (7)

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
TUGAS:
Bagaimana proses bekerjanya sistem presidensial dan permasalahannya di Indonesia mulai
dari 5 Juli 1959 sampai dengan berakhirnya pemerintahan Megawati Soekarno Putri?
PEMBAHASAN:
Masa 5 Juli 1959 sampai dengan Oktober 1999 merupakan masa berlakunya UUD 1945.
Pada kurun waktu tersebut UUD 1945 diberlakukan kembali dengan dasar dekrit Presiden 5
Juli tahun 1959. Berasas determinasi ketentuan ketatanegaraan dekrit presiden diperbolehkan
karena negara dalam situasi bahaya oleh karena itu Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang perlu mengambil tindakan guna menyelamatkan bangsa dan negara yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945. Pemberlakuan kembali UUD 1945 berarti merubah sistem
ketatanegaraan, Presiden yang sebelumnya hanya sebagai kepala negara kini juga berfungsi
sebagai kepala pemerintahan, dibantu oleh para Menteri-Menteri kabinet yang bertanggung
jawab kepada Presiden. Sistem pemerintahan yang sebelumnya parlementer berubah menjadi
sistem presidensial.
Dalam praktek nyatanya UUD 1945 sepenuhnya belum ditegakkan hingga tahun 1966.
Lembaga negara yang baru dibentuk bersifat sementara dan inkonstitusional, sehingga
menimbulkan penyimpangan dan pecahnya Aksi 30 September 1966 sebagai gerakan anti
Pancasila yang dipelopori oleh PKI, meski setelah itu bisa dipatahkannya. Perubahan
kepemimpinan nasional berlangsung pada periode ini, Presiden Soekarno digantikan
Soeharto, yang semula didasari oleh Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kemudian diadakan
pemilihan umum yang kedua pada tahun 1972.
Sistem presidensialisme semakin dipraktikkan dengan cara lebih kuat pada masa Orde Baru.
Presiden Soeharto, yang menerima delegasi untuk memerintah pada tahun 1966, tidak lama
setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, memperkuat sistem presidensial yang nyaris
menyerupai era Demokrasi Terpimpin era Soekarno. Jalinan antara eksekutif dengan
legislatif begitu kuat yang mana legislatif diisi oleh mayoritas dari partai pendukung
pemerintah ialah Golongan Karya (Golkar) dan fraksi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI). Jika pada masa Presiden Soekarno terdapat konflik-konflik baik dari luar
maupun dalam negeri, di masaa Presiden Soeharto cenderung stabil dan nyaris tidak ada
krisis politik yang diakibatkan oleh peran tentara dalam menjaga stabilitas dan keamanan,
dalam bentuk Dwi Fungsi ABRI. Di era Orde Baru ini, presiden dipilih oleh MPR.
Memasuki era Reformasi pada 1998 yang diawali dengan lengsernya Presiden Soeharto dan
naiknya B.J Habibie ke kursi kepresidenan menimbulkan harapan agar otoriterianisme tidak
terulang kembali. Reformasi politik di era Presiden Habibie menyiapkan pemilu yang
demokratis di tahun 1999. Pemilu tahun 1999 diiringi oleh 48 partai politik yang hanya
memiliki 3 partai berkembang dari era Orde Baru. Lahirnya undang-undang tentang partai
politik, pemilu, dan kedudukan MPR, DPR, DPD yang disahkan pada tahun 1999.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid reformasi dalam politik mengalami bermacam
perubahan salah satunya yakni pengurangan peran perwira TNI di dalam politik. Era Presiden
Abdurrahman Wahid memprakarsai perdamaian konflik antara Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam mendapatkan status otonomi tertentu dan berhak menerapkan syariat Islam
di daerah tersebut. Hubungan eksekutif dengan legislatif di era ini semakin memburuk salah
satu alasannya karena Presiden sering mengganti anggota menteri Kabinet Persatuan
Nasional tanpa sebab yang jelas, membubarkan Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan, Pencabutan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pelarangan PKI dan
pelarangan penyebaran ajaran komunisme. Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid
dimakzulkan oleh legislatif yakni MPR.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, check and balances lembaga eksekutif dan
legislatif mengalami peningkatan dan peran DPR kembali menguat. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh Presiden Megawati kerap terganjal oleh DPR dengan menggunakan hak
interpelasi beberapa contoh kebijakan diantaranya adalah kasus lepasnya dua pulau yakni
Sipadan dan Ligitan, kunjungan presiden ke Timor Leste sebagai negara merdeka.

Anda mungkin juga menyukai