Anda di halaman 1dari 2

MENGOREKSI RT ADALAH AMANAT PROKLAMASI

Rh. Widada

Sambil menghabiskan kue-kue lebaran yang sudah alot dan mlempen, saya kemarin
menemu filem dokumenter propaganda Jepang berjudul Tonarigumi ini di yutube.
Saya jadi ingin menuliskan masalah tonarigumi ini karena ini merupakan printhilan
sejarah yang menurut saya cukup penting untuk dibaca. Dan siapa tahu bisa jadi
bahan kampanye para capres. Yora? (Munjid, 2022). Nek ora yo wis.

Rukun tetangga (RT) merupakan lembaga warisan pemerintah pendudukan Jepang


di Indonesia. Nama aslinya adalah tonarigumi. Lembaga ini dibentuk sebagai alat
pengerahan, mobilisasi dan kontrol atas rakyat dan segenap sumberdayanya secara
langsung dalam satuan-satuan wilayah kecil (10-20 rumah). Tiap satu tonarigumi
dikepalai oleh satu orang kepala yang disebut kumico (kini ketua RT). Pembentukan
tonarigumi ini ditujukan untuk membantu upaya Jepang memenangi Perang Pasifik
(1937-1945).

Selain di Indonesia, sistem tonarigumi ini juga diberlakukan di negeri-negeri


pendudukan Jepang lainnya: Vietnam, Korea Selatan, dan Filipina. Namun, setelah
Jepang kalah dalam Perang Pasifik, tonarigumi ini dihapuskan di negeri-negeri
bekas pendudukan Jepang itu kecuali di Indonesia, terutama di Jawa. Namanya
kemudian diubah menjadi RT.

Lembaga kolonial ini tetap dipertahankan di Indonesia merdeka mungkin karena


secara de facto ia berguna dan menguntungkan pemerintah. Kegunaannya antara
lain: memupuk jiwa gotong royong dan swadaya rakyat; menjadi lembaga pembantu
(ujung tombak) birokrasi gratisan; dan jangan lupakan fungsi “setelan pabriknya”
sebagai alat kontrol dan mobilisasi masyarakat yang masih cukup efektif.

Terus mempergunakan RT, tanpa mengoreksinya, sebagai ujung tombak birokrasi


sebenarnya tidak sejalan dengan rasionalitas dan usaha penyelenggaraan birokrasi
yang sehat. Mengapa? Karena disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 18 Tahun 2018, RT sebenarnya hanyalah “mitra pemerintah
desa”. RT/RW bukanlah organ dari pemerintah desa.

Menurut akal sehat, mitra atau teman itu tidak dapat dipaksakan kehadirannya oleh
pihak yang memerlukannya. Seperti teman hidup, mereka tidak dapat kita adakan
sendiri. Mitra selalu datang dari di luar sana. Kita beruntung jika dapat menemukan
mitra yang sesuai dengan keinginan kita, lalu kita menggebet atau memintanya, dan
si gebetan mau.

Di bagian lain dalam Permendagri itu disebutkan bahwa Lembaga Kemasyarakatan


Desa, termasuk RT/RW, itu dibentuk “atas prakarsa pemerintah desa dan
masyarakat”. It takes two to tango: pemerintah dan masyarakat. Dalam praktiknya,
prakarsa masyarakat itu “diwajibkan” ada. Jadi, semangat pembentukan RT itu
masih terasa kooptatif dan eksploitatif, tidak jauh berbeda dari “setelan pabriknya”
sebagai tonarigumi.

Maka demikianlah, lembaga ini dipaksakan ada sekalipun banyak orang ogah
menjadi pengurus RT. Ya, iyalah, siapa sudi menjadi birokrat pro bono publico dan
direpoti thethek bengek keribetan lingkungan sosial selama 24 jam tanpa rujukan
aturan main, perlindungan keamanan, dan kompensasi yang jelas. Yang lazim
terjadi adalah orang terpaksa menjadi pengurus RT karena “ketiban sampur” atau
dipaksa secara sosial untuk meladeni permintaan pemerintah (desa)..

Maka bagaimana kita bisa berharap akan lahirnya birokrasi yang sehat dan
berfungsi dengan baik jika “ujung tombaknya” tidak melekat secara organik dengan
tangkainya? Jika permasalahan “ujung tombak birokrasi” ini tidak dikoreksi, sulit bagi
kita, misalnya, untuk membangun sistem administrasi kependudukan, pendataan
sosial yang tertib, akurat, dan andal. Akibatnya, kita akan selalu tergopoh-gopoh
ketika sewaktu-waktu memerlukannya seperti saat terjadi bencana-bencana besar
(contoh terakhir: pandemi COVID-19).

Sayangnya, permasalahan RT yang demikian real dan kronis ini sepi dari perhatian
para penyelenggara negara. Padahal jika kita mencermati amanat Proklamasi,
masalah semacam itu bisa dimasukkan dalam kategori “hal-hal mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain”. Dengan demikian, hal itu harus diselesaikan
“dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Tetapi Indonesia memang bangsa yang luwes atau elastis, frase “sesingkat-
singkatnya” itu sesungguhnya tidak punya batasan. Sesingkat-singkatnya itu serupa
dengan “kapan-kapan, di kelak kemudian hari, atau entah kapan.” Barang kali
revolusi memang belum selesai, kok, ya, Boeng! Lantas, kapan selesainya.
“Sesingkat-singkatnya!” (*)

#kepretan_sejarah

#bahan_kampanye_capres

Anda mungkin juga menyukai