Mengoreksi RT Adalah Amanat Proklamasi
Mengoreksi RT Adalah Amanat Proklamasi
Rh. Widada
Sambil menghabiskan kue-kue lebaran yang sudah alot dan mlempen, saya kemarin
menemu filem dokumenter propaganda Jepang berjudul Tonarigumi ini di yutube.
Saya jadi ingin menuliskan masalah tonarigumi ini karena ini merupakan printhilan
sejarah yang menurut saya cukup penting untuk dibaca. Dan siapa tahu bisa jadi
bahan kampanye para capres. Yora? (Munjid, 2022). Nek ora yo wis.
Menurut akal sehat, mitra atau teman itu tidak dapat dipaksakan kehadirannya oleh
pihak yang memerlukannya. Seperti teman hidup, mereka tidak dapat kita adakan
sendiri. Mitra selalu datang dari di luar sana. Kita beruntung jika dapat menemukan
mitra yang sesuai dengan keinginan kita, lalu kita menggebet atau memintanya, dan
si gebetan mau.
Maka demikianlah, lembaga ini dipaksakan ada sekalipun banyak orang ogah
menjadi pengurus RT. Ya, iyalah, siapa sudi menjadi birokrat pro bono publico dan
direpoti thethek bengek keribetan lingkungan sosial selama 24 jam tanpa rujukan
aturan main, perlindungan keamanan, dan kompensasi yang jelas. Yang lazim
terjadi adalah orang terpaksa menjadi pengurus RT karena “ketiban sampur” atau
dipaksa secara sosial untuk meladeni permintaan pemerintah (desa)..
Maka bagaimana kita bisa berharap akan lahirnya birokrasi yang sehat dan
berfungsi dengan baik jika “ujung tombaknya” tidak melekat secara organik dengan
tangkainya? Jika permasalahan “ujung tombak birokrasi” ini tidak dikoreksi, sulit bagi
kita, misalnya, untuk membangun sistem administrasi kependudukan, pendataan
sosial yang tertib, akurat, dan andal. Akibatnya, kita akan selalu tergopoh-gopoh
ketika sewaktu-waktu memerlukannya seperti saat terjadi bencana-bencana besar
(contoh terakhir: pandemi COVID-19).
Sayangnya, permasalahan RT yang demikian real dan kronis ini sepi dari perhatian
para penyelenggara negara. Padahal jika kita mencermati amanat Proklamasi,
masalah semacam itu bisa dimasukkan dalam kategori “hal-hal mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain”. Dengan demikian, hal itu harus diselesaikan
“dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Tetapi Indonesia memang bangsa yang luwes atau elastis, frase “sesingkat-
singkatnya” itu sesungguhnya tidak punya batasan. Sesingkat-singkatnya itu serupa
dengan “kapan-kapan, di kelak kemudian hari, atau entah kapan.” Barang kali
revolusi memang belum selesai, kok, ya, Boeng! Lantas, kapan selesainya.
“Sesingkat-singkatnya!” (*)
#kepretan_sejarah
#bahan_kampanye_capres