Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan
oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari
kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai
Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental
organization; NGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka
secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum
organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar
29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat
memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia
memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk
setiap tahunnya.
LEMBAGA SWADAYA
MASYARAKAT
Lembaga swadaya masyarakat "Bina Mandiri Warga" adalah organisasi non-profit yang
bergerak dalam bidang pendidikan ketrampilan/keahlian untuk masyarakat yang tidak
mampu. Pendidikan ketrampilan/keahlian ini diberikan secara gratis kepada masyarakat
yang berminat.
VISI :
"IKUT MEMBANTU PROGRAM PEMERINTAH DALAM MEGURANGI JUMLAH PENGANGGURAN
& IKUT SERTA DALAM MENCERDASKAN BANGSA
MISI :
MEMBERIKAN PELATIHAN-PELATIHAN UNTUK MEMBEKALI WARGA DENGAN ILMU
TERAPAN AGAR MAMPU MENCIPTAKAN KEMANDIRIAN
Permintaan Maaf Kepada Pengendara CRV
Yang Masuk Kategori Korupsi Versi KPK
LSM-LSM ITU
March 10, 2008 by rendra
Kata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah kata yang sudah sangat familiar terdengar di telinga kita.
Karena memang kata ini sangat sering dimuat di media-media cetak, media online, maupun diperdengarkan di
media-media elektronik.
Mengutip penjelasan wikipedia tentang LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah
organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Kalau
kita coba meninjamnya secara bahasa, mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),swadaya berarti
kekuatan/tenaga sendiri. Jadi, saya dapat katakan bahwa LSM adalah suatu lembaga yang pengusahaannya
dengan tenaga/kekuatan masyarakat. Lalu pengusahaan di sini maksudnya bagaimana? Apakah
pendiriannnya? Atau usaha untuk menjalankan/mencapai tujuannya? Ya bisa saja kedua-duanya. Toh, memang
tidak ada aturan baku yang menjelaskan definisi Lembaga Swadaya Masyarakat.
Meski, sejak awal pertama kali mendengar kata LSM (mungkin saat saya dulu masih di bangku SMP), asosiasi
saya mengarah kepada sebuah lembaga yang didirikan dan dikelola penuh oleh tenaga atau sumber dari
masyarakat. Jadi tidak berasal dari bantuan pemerintah atau pihak lain. Tapi ada juga yang bilang : Kan, bisa
saja to kalau memang usaha masayarakat itu adalah dengan mencari bantuan ke pemerintah atau pihak-pihak
lain? Iya juga sih.. Kalau sudah demikian, mungkin LSM sama saja dengan Yayasan-Yayasan Sosial lainnya,
atau bahkan LSM memang merupakan Yayasan? Ah, saya tidak tahu juga. Yang jelas, menurut saya LSM
masuk dalam kategori Organisasi Kemasyarakatan yang mungkin tercakup dalam UU No. 8 Tahun 1985 dan
PP No. 18 Tahun 1986. Saya tidak ingin menulis lebih panjang lagi mengenai definisi dan lingkup dari LSM.
Yang ingin saya soroti adalah keberadaan LSM-LSM sampah, kalau boleh saya menyebutnya demikian.
Sejatinya, LSM dibuat untuk tujuan yang baik. Saya sangat yakin akan hal ini. Entah itu pemberdayaan
masyarakat, bantuan ke masyarakat, sampai pada fungsi kontrol terhadap pemerintah dan aparat yang ada. Tapi
sangat disesalkan, saat ini banyak (kata banyak merupakan kata yang sangat tidak jelas ukurannya, kata yang
tidak saya sukai) LSM yang sekarang tidak lebih dari sekedar alat untuk menjatuhkan pemerintah,
menggulingkan lawan politik. Atau sebaliknya, untuk melanggengkan kekuasaan. LSM juga dijadikan sarana
untuk melakukan pemerasan dan menangguk keuntungan pribadi (baca: duit/doku/uang/fulus). Ah, mumpung
ada, kenapa tidak..?? Mungkin demikian yang ada di pikiran-pikiran mereka itu.LSM yang baik, dan memang
benar-benar baik, memfungsikan keberadaanya untuk hal yang berguna tetap ada. Bahkan, mungkin banyak
jumlahnya.
Tapi, sekali lagi, LSM-LSM sampah juga tidak sedikit. Serigala-serigala lapar yang siap menerkam siapa saja
yang lengah. Alih-alih berdemo menentang suatu kebijakan, nyatanya hanya kamuflasenya untuk mereguk
beberapa juta, ratus juta, atau sampai miliaran rupiah dari pembuat kebijakan.Lalu harus bagaimana menangani
LSM-LSM sampah ini? Akan ada banyak kerumitan di sini. Apakah perlu dibuat UU atau PP yang tegas untuk
mengatur LSM-LSM? Sehingga bisa dilakukan penindakan terhadap pelanggaran oleh LSM yang sampah
(meski saya rasa sangat sulit mendapatkan buktinya)? Ah, lagi-lagi banyak kerumitan di sini. Yang ada malah
nantinya dibilang memberangus kebebasan berkumpul dan berorganisasi, alat untuk melanggengkan kekuasaan
(memang berpotensi untuk itu), dan lain-lain.
Biasanya Yayasan Non LSM bekerja dalam lingkup sosial, budaya, atau keagamaan. Misal,
yayasan yang menangani anak yatim, praktek khitan, yayasan penampung amal, keagamaan
tertentu, atau yayasan yang menghimpun kelompok etnik tertentu, itu bukan LSM.
Barangkali lebih tepat mereka sebagai organisasi sosial (ORSOS).
Dimasa Orba, Pemerintah sangat represif dan protektif terhadap LSM. Segala sesuatunya
diatur dengan ketat. Sehingga aktivitas LSM dimasa lalu sangat berbeda dengan diera
Reformasi.
Mengapa LSM ada? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, karena pemerintah tidak
mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memperjuangkan haknya. Kedua,
masyarakat merasa kecewa dengan partai politik maupun legislatif, karena tidak dapat
menyerap dan mewujudkan aspirasi kelompok akar rumput. Ketiga, terbukanya keran
demokrasi yang sangat luas, sehingga ekspresi masyarakat bagaimanapun tidak terkendala
peraturan seperti dimasa Orba dulu. Keempat, persyaratan membuat LSM sedemikian
mudahnya. Bahkan tanpa akte notaris dan papan namapun bisa. Yang penting cukup kartu
nama, spanduk, dan masuk media massa.
Ruh LSM
Ada yang beda antara LSM dimasa dulu dengan sekarang. Inti ruh LSM sebenarnya ada
empat, yaitu: Independen, Egaliter, Non Partisan, dan Non Sektarian. Misinya adalah
membuat masyarakat sadar secara cerdas, kritis, berani menyuarakan aspirasinya.
Harapannya adalah agar pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat secara transparan,
akuntabel, dan non diskriminasi. Itulah inti pemberdayaan masyarakat yang diperjuangkan
LSM. Mencakup pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Aktivitasnya bisa
dilakukan melalui pendampingan ekonomi, advokasi, publikasi hasil riset.
Untuk itu, maka lahir tipologi LSM berdasarkan kecenderungan situasi. Tetapi, dimasa kini
ruh LSM lebih banyak terkontaminasi dengan kepentingan sesaat. LSM terkontaminasi
kepentingan pribadi, kepentingan politik, kepentingan sekte, dan lain-lain. Beberapa
peristiwa diantaranya; calon yang kalah dalam pilkada membentuk LSM untuk melakukan
demo ke KPU. Atau partai tertentu membentuk LSM mengadakan demo tandingan terhadap
lawannya. Kelompok preman yang terdesak oleh Polisi membentuk forum LSM dan
mengadakan perlawanan. Dalam situasi ekonomi sulit, dan efek histeria psikologi massa,
maka kelompok akar rumput yang awam menjadi sasaran empuk. Mereka, hanya dengan
uang lelah Rp 20.000,- berani berkorban untuk kepentingan yang kadang tidak dimengerti.
Secara umum tipologi LSM diantaranya: Pertama, kelompok penekan (pressure group). Ini
jenis LSM yang jumlahnya banyak, dan sangat mudah terkontaminasi politik. Mereka
melakukan aktivitas melalui demo, pernyataan di media, dan tindakan untuk menekan
kebijakan tertentu (pemerintah). LSM seperti ini sangat tergantung oleh figuritas personal
(ketuanya). Karena itu, aktivitas dan usianya biasanya tidak lama. Jika ketuanya tidak aktif,
maka LSMnya ikut mati. Karena belum terbangun sistemnya.
Kedua; LSM Advokasi. Melakukan pendampingan kepada warga yang tersisih dari perhatian
normatif pemerintah, misalnya dalam hal pertanahan. Juga, melakukan advokasi terhadap
kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Misalnya, kenaikan harga, penggusuran lahan,
memantau produk makanan kedaluwarsa, dan lainnya.
Keempat, Pemberdayaan kebutuhan dasar, seperti penguatan ekonomi. LSM seperti ini
jumlahnya tidak terlalu banyak. Kelompok ini biasanya telah berdiri dimasa Orba. Karena
pada saat itu pemerintah sangat alergi terhadap kritik, maka para pegiat LSM melakukan
misinya dengan tema penguatan ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB).
Bagaimana Depok?
Jumlah LSM di Kota Depok saat ini sekitar 182 lembaga (Oktober, 2008). Depok adalah kota
kecil multi etnik. Dinamika politiknya sangat tinggi. Di Kota Depok bermukim para petinggi
partai, legislatif, artis, dan apapun yang berskala nasional. Ada pula para pemulung, tuna
wisma, dan kawasan kumuh seperti sekitar Setu Lio. Jadi, di Depok heterogenitasnya sangat
tinggi. Ini merupakan lahan subur berbagai kreatifitas, baik yang positif maupun negatif.
Oleh karena itu sangat wajar jika di Depok berkembang LSM berbagai tipologi itu, terutama
LSM Pressure Group. Biarkan saja, nanti akan terjadi polarisasi dan menemukan kutubnya
sendiri. Karena dalam dinamika yang high speed seperti ini semua kepentingan menjadi
sangat sensitif. Atas nama kepentingan kaum tertindas, semuanya menjadi arogan dan berani
mati.
Bersama dengan perjalanan waktu, suatu saat akan terjadi harmonisasi peran. Pemerintah
yang ingin legitimasinya stabil, akan menjadi sensitif dengan kepentingan warga yang telah
menggajinya. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi program dan isu utama. LSM,
yang menginginkan masyarakat berdaya, akan secara terbuka bekerjasama dengan
pemerintah, tanpa berburuk sangka. Pengusaha, yang ingin mendapatkan laba sebesar-
besarnya, kian responsif dan tidak sulit mengedepankan kepedulian sosialnya (community
social responsibility). Demikian pula Partai politik, yang menginginkan kekuasaan lebih
lama, tidak akan mengorbankan massa pendukungnya demi kepentingan menjelang Pemilu.