Anda di halaman 1dari 108

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN


KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI
DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ANDINI WULANDARI
1106053174

FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN PROGRAM
STUDI PROFESI DEPOK
JUNI 2016

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN


KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI
DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

ANDINI WULANDARI
1106053174

FAKULTAS ILMU
KEPERAWATAN PROGRAM
STUDI PROFESI DEPOK
JUNI 2016

i
Universitas Indonesia
ii
Universitas

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


iii
Universitas

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan KIAN yang
berjudul "Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi melalui
Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian Cairan". Penyusunan
KIAN ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar ners
di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penyusunan KIAN ini tidak
terlepas dari peran dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Juniati Sahar, PhD. selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2. Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An. selaku koordinator
profesi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Dr. Etty Rekawati, S. Kp., MKM. selaku dosen pembimbing yang
telah mengarahkan dan membimbing saya dalam penyusunan KIAN ini
4. Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusumawati, S.Kp., MN. selaku koordinator
peminatan gerontik dan dosen penguji yang telah memberikan arahan
dalam penyusunan dan perbaikan KIAN ini
5. Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom. selaku dosen penguji
yang telah memberikan banyak masukan dan saran dalam perbaikan KIAN
ini
6. Ibu Dr. Enie Novieastari, S.Kp., MSN. selaku pembimbing akademik
7. PSTW Budi Mulia 1 Ciracas sebagai tempat untuk saya mengaplikasikan
ilmu keperawatan gerontik yang telah dipelajari
8. Semua lansia yang telah menjadi klien kelolaan dan resume
9. Rekan-rekan dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
10. Kedua orang tua saya dan keluarga saya yang telah mendukung saya
secara moril dan materil untuk dapat menyelesaikan KIAN ini

iv
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


Penulis mengharapkan bahwa KIAN ini dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas pelayan keperawatan gerontik di Indonesia, khususnya di panti werdha.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT akan membalas kebaikan orang-orang
yang telah membantu serta terlibat dalam penyusunan KIAN ini.

Depok, 28 Juni 2016

Penulis

v
Universitas Indonesia
vi
Universitas

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


ABSTRAK

Nama : Andini Wulandari


Program Studi : Profesi Ners
Judul KIAN : Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi
melalui Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan Pemberian
Cairan

Konstipasi pada lansia terjadi akibat penuaan pada sistem pencernaan, kurang
asupan cairan dan serat, kurang aktivitas fisik, serta konsumsi obat-obatan.
Konstipasi adalah penurunan frekuensi normal defekasi disertai pengeluaran feses
yang sulit dan tidak tuntas selama < 3 bulan. Intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi konstipasi yaitu massase abdomen selama ± 15 menit,
pemberian posisi defekasi dengan kaki ditopang kursi setinggi 8 inchi, dan
pemberian cairan 30-35 cc/kg/hari, selama > 10 hari. Evaluasi menggunakan
Constipation Scoring System (CSS) dan auskultasi bising usus. Hasil yang
didapatkan yaitu meningkatnya frekuensi defekasi, berkurangnya keparahan
konstipasi dengan menurunnya nilai CSS yaitu 16 menjadi 6 pada klien kelolaan,
16 menjadi 9 pada klien resume 1, dan 16 menjadi 7 pada klien resume 2. Bising
usus tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, namun pada evaluasi akhir
bising usus dua dari tiga lansia sudah mencapai nilai normal (5-15 x/menit).

Kata Kunci: Konstipasi, lansia, massase abdomen, pemberian cairan, posisi


defekasi

vii
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


ABSTRACT

Name : Andini Wulandari


Major : Nursing Profession
Title : Nursing Care in the Elderly with Constipation through
Abdominal Massage, Position defecation, and Fluid
Administration

Constipation in the elderly occured due to aging of the digestive system, lack of
fluid and fiber intake, physical activity, and consumption of drugs. Constipation is
a decrease in the normal frequency of defecation with evacuation of feces that are
difficult and not complete for < 3 months. Nursing interventions can be done to
overcome constipation are abdominal Abdominal massage for ± 15 minutes,
giving the position of defecation which foot is sustained by chair, and liquids 30-
35 cc/kg/day for > 10 days. Evaluation using Constipation Scoring System (CSS)
and auscultation of bowel sounds. The results obtained are the increasing
frequency of defecation, constipation severity reduced with the declining value of
CSS is that 16 to 6 on a client in under management, 16 to 9 on the client resume
1, and 16 to 7 on the client resume 2. Bowel sounds do not show significant
improvements, but in the final evaluation, two of three elderly have reached the
normal values (5-15 x/min).

Keywords: Abdominal massage, constipation, elderly, fluid administration,


position of defecation

viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.................................vi
ABSTRAK..........................................................................................................vii
DAFTAR ISI........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN GRAFIK..................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xii

BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................7


2.1 Konsep Lansia.......................................................................................7
2.1.1 Definisi Lansia...................................................................................7
2.1.2 Teori Penuaan.....................................................................................7
2.1.3 Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya....................................8
2.2 Konsep Konstipasi pada Lansia............................................................9
2.2.1 Definisi Konstipasi.............................................................................9
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Konstipasi pada Lansia di Perkotaan........10
2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi pada Lansia......................................10
2.2.4 Akibat Konstipasi pada Lansia.........................................................11
2.3 Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia....................................11
2.3.1 Pengkajian Konstipasi......................................................................11
2.3.2 Perumusan Diagnosis Konstipasi.....................................................13
2.3.3 Rencana Intervensi Konstipasi.........................................................14
2.3.4 Intervensi Utama dalam Mengatasi Konstipasi pada Lansia............17
2.3.4.1 Massase Abdomen.........................................................................17
2.3.4.2 Posisi Defekasi..............................................................................20
2.3.4.3 Pemberian Cairan..........................................................................21
2.3.4 Evaluasi Konstipasi..........................................................................21
2.4 Pelayanan Keperawatan untuk Lansia.................................................22
2.4.1 Pelayanan Lanjut Usia dengan Konstipasi.......................................22
2.4.2 Peran Perawat dalam Mengatasi Konstipasi pada Lansia................23

BAB 3. ANALISIS KASUS..............................................................................26


3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan.................................................26
3.1.1 Pengkajian........................................................................................26
3.1.2 Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan......................................30

ix
Universitas Indonesia
3.1.3 Rencana Intervensi...........................................................................31
3.1.4 Implementasi....................................................................................32
3.1.5 Evaluasi............................................................................................34
3.2 Asuhan Keperawatan Klien Resume 1................................................39
3.2.1 Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan..................39
3.2.2 Rencana Intervensi...........................................................................40
3.2.3 Implementasi....................................................................................40
3.2.4 Evaluasi............................................................................................42
3.3 Asuhan Keperawatan Klien Resume 2................................................45
3.3.1 Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan..................45
3.3.2 Rencana Intervensi...........................................................................47
3.3.3 Implementasi....................................................................................47
3.3.4 Evaluasi............................................................................................48
3.4 Perbandingan Evaluasi Ketiga Lansia.................................................51

BAB 4. ANALISIS SITUASI...........................................................................53


4.1 Analisis Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi di
Perkotaan dengan Konstipasi....................................................................53
4.2 Analisis Intervensi..............................................................................55
4.2.1 Massase Abdomen............................................................................55
4.2.2 Posisi Defekasi.................................................................................58
4.2.3 Pemberian Cairan.............................................................................59
4.3 Keterbatasan dan Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan.........60

BAB 5. PENUTUP............................................................................................63
5.1 Kesimpulan..........................................................................................63
5.2 Saran....................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................65

x
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN GRAFIK

Tabel 3.1 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek A selama 6 Minggu.............36


Tabel 3.2 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek F selama 6 Minggu..............43
Tabel 3.3 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek E selama 6 Minggu.............49

Gambar 2.1 Teknik Massase Abdomen..............................................................19


Gambar 2.2 Posisi Defekasi...............................................................................21
Grafik 3.1 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu38
Grafik 3.2 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu38
Grafik 3.3 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu44
Grafik 3.4 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu45
Grafik 3.5 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu50
Grafik 3.6 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu51
Grafik 3.7 Perbandingan Frekuensi Defekasi Ketiga Lansia52

xi
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1..........................................................................................................69
Lampiran 2..........................................................................................................70
Lampiran 3..........................................................................................................73
Lampiran 4..........................................................................................................82
Lampiran 5..........................................................................................................83
Lampiran 6..........................................................................................................93
Lampiran 7..........................................................................................................94
Lampiran 8..........................................................................................................95

xii
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

Pada BAB ini, akan dibahas mengenai perihal yang melatarbelakangi masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan.

1.1 Latar Belakang


Lansia merupakan kelompok usia dengan jumlah yang banyak di dunia
terutama di Asia dan negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan RI (2013), 50% dari seluruh lansia di dunia terdapat
di Asia dan jumlah lansia yang meningkat di negara berkembang seperti
Indonesia lebih tinggi daripada negara maju. Pada tahun 2010-2035, di
Indonesia, jumlah lansia akan mengalami peningkatan (Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Usia harapan hidup (UHH) pada tahun 2020 juga akan
mengalami peningkatan yaitu menjadi sekitar 71 tahun (WHO dalam
Kementerian Kesehatan RI, 2013). Data-data tersebut menunjukkan bahwa
kesehatan lansia masih dapat dipertahankan sehingga lansia memiliki usia
hidup yang lebih panjang.

Masalah kesehatan terbanyak yang dialami lansia adalah penyakit degeneratif


atau tidak menular yang sering terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat pada
lansia (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan RI (2013), 1,53% lansia di Indonesia mengalami masalah pada
sistem eliminasi. Konstipasi merupakan masalah eliminasi yang sering dialami
lansia terutama lansia wanita (Miller, 2012). Penyakit degeneratif disebabkan
karena terjadinya penurunan berbagai fungsi tubuh akibat proses penuaan
pada lansia (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Perubahan terkait usia dapat
terjadi pada sistem pencernaan lansia. Perubahan tersebut terjadi pada usus
besar dan rektum sehingga lansia berisiko mengalami konstipasi (Miller,
2012).

Selain karena penuaan, faktor-faktor lain yang menyebabkan konstipasi pada


lansia antara lain karena obat-obatan, kurang asupan cairan, menahan BAB,
diet rendah serat, dan gaya hidup yang pasif atau kurang bergerak

1
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


(Anonymous, 2008; Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012;
Miller, 2012). Faktor-faktor penyebab konstipasi tersebut menjadi rentan
terjadi pada lansia yang tinggal di panti. Konstipasi pada lansia sering menjadi
masalah kesehatan pada lansia yang mendapat perawatan di tempat perawatan
jangka panjang dan praktik komunitas (Woodward, Moran, Elliott, Laurens, &
Saunders, 2002).

Konstipasi beberapa kali berhasil diidentifikasi di panti. Sebanyak 16,67%


lansia di Wisma Bungur PSTW Cibubur mengalami konstipasi (Oktariyani,
2013). Berdasarkan penelitian terbaru, didapatkan 70 lansia di PSTW Budi
Mulia 3 Ciracas dan Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan yang
teridentifikasi mengalami konstipasi (Kristamuliana, 2015). Sedangkan,
berdasarkan pengkajian yang dilakukan penulis pada lansia yang dapat dikaji
di masing-masing wisma, didapatkan data yaitu 10 dari 24 (42%) lansia di
wisma Melati mengalami konstipasi, serta 6 dari 23 (26%) lansia di wisma
Mawar, 6 dari 23 (26%) lansia di wisma Anggrek, 9 dari 30 (30%) lansia di
wisma Cendrawasih, dan 7 dari 25 (28%) lansia di wisma Garuda mengalami
konstipasi. Berdasarkan data tersebut, kejadian konstipasi pada lansia wanita
lebih banyak dibandingkan dengan lansia pria.

Berdasarkan observasi secara umum, hampir seluruh lansia di PSTW Budi


Mulia 1 Ciracas memiliki kebiasaan sehari-hari yang sama. Latihan fisik
seperti senam lebih banyak dilakukan oleh lansia yang mandiri yaitu dua kali
dalam seminggu sedangkan selain hari tersebut tampak jarang lansia yang
berolahraga mandiri secara rutin. Penurunan atau gangguan sistem
muskuloskeletal menjadi salah satu penyebab kurangnya latihan fisik ataupun
mobilisasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas. Setiap hari lansia di
panti mendapatkan sayur dan buah, namun penurunan nafsu makan ataupun
penyakit yang menyebabkan lansia menghindari sayuran menyebabkan
pemenuhan kebutuhan serat kurang adekuat. Penurunan fungsi kognitif, fisik,
ataupun psikologis juga dapat menyebabkan lansia di panti tidak mampu
memenuhi kebutuhan cairan secara adekuat. Selain itu, banyak lansia yang
mendapat terapi obat-obatan yang diminum secara rutin setiap hari. Kebiasaan
sehari-hari tersebut dapat menyebabkan terjadinya konstipasi pada lansia.
Konstipasi yang dibiarkan terjadi dapat berdampak pada kualitas hidup
(Everette, 2013).

Perawat gerontik memiliki peran antara lain sebagai pemberi asuhan


keperawatan dan peneliti (Mauk, 2010). Sebagai pemberi asuhan keperawatan,
konstipasi pada lansia harus segera ditangani melalui intervensi keperawatan
langsung. Sebagai peneliti, perawat harus memperbarui penelitian untuk
memperkaya evidence based praktik keperawatan gerontik terutama mengenai
intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk
mengurangi konstipasi yang dirasakan lansia antara lain dengan massase
abdomen, pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan. Massase dapat
mengatasi konstipasi (JBI, 2008). Posisi defekasi dengan meninggikan kaki
saat defekasi di toilet duduk mempermudah defekasi (Woodward, Moran,
Elliott, Laurens, & Saunders, 2002). Pemberian cairan hangat meningkatkan
kerja sistem pencernaan dan eliminasi fekal (Patel, Patel, Patel, & Sen, 2015).
Pemberian cairan hangat setelah makan juga merupakan intervensi
keperawatan menurut NIC (2013).

Massase abdomen memberikan dampak yang positif dalam penanganan


konstipasi (Wang & Yin, 2015). Selain cairan, massase abdomen juga dapat
meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Tindakan massase
abdomen tidak memberikan efek samping yang negatif (Sinclair, 2010).
Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011),
massase abdomen meningkatkan frekuensi defekasi. Massase abdomen
McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) diuji dalam penelitian
Kristamuliana (2015) mengenai konstipasi pada lansia. Hasil dari penelitian
tersebut yaitu frekuensi defekasi meningkat, defekasi lebih cepat, dan rasa
nyaman meningkat setelah massase abdomen dan pemberian posisi defekasi
pada 32 lansia. Oleh karena itu, massase abdomen merupakan salah satu
intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada lansia.
Posisi jongkok merupakan posisi yang ideal untuk defekasi, namun kondisi di
panti hanya memungkinkan penggunaan toilet duduk bagi lansia. Penggunaan
toilet duduk di panti lebih aman bagi lansia sehingga mengurangi risiko jatuh.
Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), defekasi dapat lebih cepat dan lebih
lampias saat defekasi dengan posisi jongkok saat defekasi dibandingkan
dengan posisi duduk. Posisi jongkok yang tidak memungkinkan di panti dapat
diatasi dengan pemberian posisi kaki yang ditinggikan. Posisi duduk dengan
panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan saat defekasi (Sakakibara, et
al., 2010). Posisi duduk saat lansia defekasi dapat ditopang oleh kursi setinggi
8 inchi (Kristamuliana, 2015).

Cairan merupakan intervensi lain yang dapat diterapkan dalam mengatasi


masalah konstipasi pada lansia. Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008),
pemberian cairan di pagi hari dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan
membuat lebih cepat timbulnya defekasi pada klien dengan konstipasi.
Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015), minum air hangat dapat
meningkatkan kerja usus sehingga membantu terjadinya eliminasi fekal.
Tindakan meningkatkan asupan cairan dan mendorong minum air hangat
setelah makan dianjurkan dalam NIC (2013) dalam mengatasi diagnosis
konstipasi.

Berbagai intervensi konstipasi yang telah diteliti pada penelitian sebelumnya


diteliti secara terpisah. Berdasarkan NIC (2013), untuk menyelesaikan
diagnosis konstipasi, dapat dilakukan berbagai jenis intervensi secara
bersamaan. Kristamuliana (2015) telah meneliti penggunaan massase
abdomen dan posisi defekasi dalam penanganan konstipasi pada lansia.
Namun, manajemen cairan masih kurang ditekankan, padahal lansia yang
tinggal di panti berisiko tidak dapat memenuhi kebutuhan cairannya secara
adekuat. Oleh karena itu, dalam penulisan KIAN ini, massase abdomen,
pemberian posisi defekasi, dan pemberian cairan perlu dilakukan sebagai
intervensi utama dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia di PSTW
Budi Mulia 1 Ciracas.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian konstipasi cukup banyak terjadi pada lansia secara global ataupun
nasional. Masalah konstipasi memerlukan penanganan yang tepat. Lansia yang
tinggal di panti berisiko mengalami konstipasi karena penuaan sistem
pencernaan, gaya hidup yang kurang sehat seperti kurang asupan cairan, serat,
dan latihan atau aktivitas fisik, serta efek samping obat-obatan. Saat ini
sebanyak 30,4% (38 dari 125) lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas
mengalami konstipasi. Masalah konstipasi yang tidak tertangani dapat
berdampak negatif bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, bahkan dapat
mempengaruhi kualitas hidup lansia. Massase abdomen, pemberian posisi
defekasi, dan pemberian cairan telah diteliti penelitian sebelumnya sehingga
direkomendasikan dilakukan dalam penanganan konstipasi termasuk pada
lansia. Massase abdomen meningkatkan frekuensi defekasi (McClurg, Hagen,
Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana, 2015). Pemberian posisi
defekasi dengan kaki yang ditinggikan menurunkan usaha defekasi yang
berlebihan (Sakakibara, et al., 2010). Asupan cairan yang adekuat juga dapat
mengatasi konstipasi (NIC, 2013). Berbagai intervensi konstipasi tersebut
perlu diperkuat dengan pembuktian (evidence based), salah satunya melalui
KIAN ini. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan yang
dapat dibuat yaitu “apakah massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian
cairan dapat mengatasi konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1
Ciracas?”.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Memaparkan besarnya masalah kontipasi pada lansia, konsep lansia,
konsep konstipasi, dan konsep asuhan keperawatan yang dapat
dilakukan dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia, serta
memaparkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan terutama tiga
intervensi utama pada lansia dengan masalah konstipasi di PSTW Budi
Mulia 1 Ciracas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Teridentifikasinya kondisi kesehatan lansia dengan konstipasi
di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas.
1.3.2.2 Teridentifikasinya diagnosis keperawatan pada lansia dengan
konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas.
1.3.2.3 Tersusunnya rencana asuhan keperawatan pada lansia dengan
konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas.
1.3.2.4 Terlaksananya intervensi utama atau unggulan dalam
mengatasi konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1
Ciracas.
1.3.2.5 Teridentifikasinya hasil evaluasi keperawatan pada lansia
dengan konstipasi di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Perkembangan Ilmu Keperawatan
Penulisan KIAN ini diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan
dalam memperkuat praktik keperawatan berdasarkan bukti yaitu
intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi pada lansia melalui
massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan, sesuai
dengan konsep penelitian yang telah diteliti sebelumnya sehingga ilmu
keperawatan mengenai konstipasi pada lansia diharapkan dapat terus
berkembang.

1.4.2 Pelayanan Keperawatan


Penulisan KIAN ini diharapkan dapat menjadi salah satu inovasi dalam
intervensi keperawatan untuk mengatasi konstipasi pada lansia di
tempat pelayanan keperawatan terutama di panti werdha. Dengan
kebermanfaatan inovasi intervensi yang telah diteliti pada penelitian
sebelumnya dan pada KIAN ini, diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan asuhan keperawatan dalam mengatasi konstipasi
pada lansia terutama di panti werdha.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada BAB ini, akan dibahas mengenai konsep dan teori lansia, konstipasi, dan
asuhan keperawatan dalam mengatasi konstipasi pada lansia.

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang berusia 65 tahun atau lebih (Potter & Perry,
2005; Kozier, Erb, & Berman, 2011). Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI
(2004) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013), di Indonesia, lansia adalah
yang berusia 60 tahun ke atas. Selain definisi lansia, pengelompokkan lansia
juga berbeda-beda berdasarkan beberapa referensi. Lansia dikelompokkan
menjadi lansia awal (65-75 tahun), lansia (75-85 tahun), lansia tua (85-100
tahun), dan lansia akhir (lebih dari 100 tahun) (Kozier, Erb, & Berman, 2011).
Sedangkan, berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (1999) dalam BKKBN
(2011), lansia dikelompokkan menjadi lansia dini (55-64 tahun), lansia (65
tahun ke atas), dan lansia yang berisiko tinggi (70 tahun ke atas). Berdasarkan
WHO (1999) lansia dalam BKKBN (2011), lansia dikelompokkan menjadi
lansia (60-74 tahun), lansia tua (75-90 tahun), dan lansia sangat tua (90 tahun
ke atas).

2.1.2 Teori Penuaan


2.1.2.1 Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penumpukan berbagai
zat yang tidak berguna dalam tubuh seperti radikal bebas
menyebabkan penurunan berbagai fungsi sistem tubuh (Stanley
& Beare, 2006). Teori ini juga menjelaskan bahwa tubuh
manusia akan mengalami penuaan seiring dengan bertambahnya
usia (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Kaitan teori ini dengan
terjadinya konstipasi pada lansia yaitu dampak penumpukan
sampah metabolik yakni feses dalam sistem pencernaan lansia
dapat menyebabkan konstipasi.

2.1.2.2 Teori Neuroendokrin


Teori ini menjelaskan bahwa penuaan terjadi karena
melambatnya produksi hormon tubuh sehingga persarafan
terganggu (Kozier, Erb, & Berman, 2011; Stanley & Beare,
2006). Akibatnya, pemrosesan informasi dan reaksi lansia
terhadap rangsangan lebih lambat (Kozier, Erb, & Berman, 2011;
Stanley & Beare, 2006). Kaitan teori ini dengan terjadinya
konstipasi pada lansia yaitu melambatnya sistem persarafan pada
sistem pencernaan lansia menyebabkan konstipasi.

2.1.2.3 Teori Kebutuhan Dasar


Teori kebutuhan dasar dikemukakan oleh Maslow dan Virginia
Henderson. Menurut teori Maslow, kebutuhan fisiologis seperti
makan dan minum merupakan kebutuhan dasar pertama yang
harus terpenuhi oleh manusia (Potter & Perry, 2005). Menurut
teori Henderson, terdapat empat belas kebutuhan dasar yang
harus terpenuhi yang juga mencakup kebutuhan fisiologis seperti
kebutuhan eliminasi (Potter & Perry, 2005). Oleh karena itu,
terjadinya konstipasi pada lansia mengganggu pemenuhan
kebutuhan dasar lansia.

2.1.3 Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya


Sistem pencernaan lansia mengalami beberapa perubahan fisiologis
(Potter & Perry, 2005). Proses pencernaan lansia mengalami penurunan
(Potter & Perry, 2005). Pada usus halus lansia terjadi penurunan
motilitas atau pergerakan usus (Kozier, Erb, & Berman, 2011). Absorbsi
zat-zat makanan juga menjadi lebih lambat (Kozier, Erb, & Berman,
2011). Pada usus besar lansia terjadi penurunan elastisitas dinding usus,
persepsi otak terhadap penuhnya rektum, tonus otot usus, serta gerak
peristaltik (Miller, 2012). Selain itu, terjadi penurunan kepekaan saraf,
pengosongan usus tidak tuntas, dan ketidakmampuan meneruskan
rangsangan untuk defekasi juga terjadi pada sistem pencernaan lansia
(Stanley & Beare, 2006). Jumlah neuron pleksus mienterika berkurang
dan respon terhadap rangsangan menurun sehingga persarafan
mienterika yang berfungsi dalam proses pencernaan tidak berfungsi
optimal (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012).

Defekasi terjadi ketika penumpukan feses menyebabkan rektum


meregang sehingga merangsang sfingter ani internal untuk melemas dan
kolon sigmoid serta rektum berkontraksi, selanjutnya feses dapat
dikeluarkan atau defekasi terjadi ketika sfingter ani eksternal juga
melemas (Sherwood, 2012). Peregangan rektum menyebabkan rasa ingin
defekasi, namun jika defekasi tidak dibutuhkan maka pengencangan
pada sfingter ani eksternal dapat mencegah terjadinya defekasi
(Sherwood, 2012). Tindakan ini dapat menyebabkan rektum yang
meregang menjadi melemas hingga adanya penumpukan kembali feses
dalam rektum yang merangsang defekasi kembali (Sherwood, 2012).
Oleh karena itu, defekasi merupakan suatu kebutuhan.

2.2 Konsep Konstipasi pada Lansia


2.2.1 Definisi Konstipasi
Berdasarkan NANDA, konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi
pada seseorang yang disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, tidak
tuntas, keras, dan kering (Herdman & Kamitsuru, 2014). Konstipasi
adalah penurunan frekuensi defekasi yang disertai dengan pergerakan
feses yang menjadi lebih lambat (Stanley & Beare, 2006). Konstipasi
juga didefinisikan sebagai pergerakan feses yang tertunda, kering, dan
menumpuk pada usus bagian bawah (Beers & Jones, 2000 dalam
Wallace, 2008).
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Konstipasi pada Lansia di Perkotaan
Penyebab konstipasi pada lansia antara lain obat-obatan; penyakit
neuropati dan miopati; idiopatik; anoreksia; dehidrasi; defekasi yang
ditahan; diet yang tidak adekuat, rendah serat, tinggi protein, bahkan
serat yang berlebihan; hiperglikemi; hipokalemi; hipotiroid; gangguan
psikologis; gaya hidup kurang gerak; serta gangguan pada saraf pusat
(Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012).
Penyalahgunaan obat-obatan narkotik pada lansia di perkotaan
menyebabkan konstipasi (Allender, 2011). Jenis obat-obatan lain yang
menyebabkan konstipasi pada lansia yaitu antara lain anabolik steroid,
analgesik, antiinflamasi nonsteroid, antikolinergik, antikonvulsan,
antidepresan, antihistamin, antihipertensi, antiparkinson, diuretik, dan
obat-obatan yang mengandung ion logam (Gallegos-Orozco, Foxx-
Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012).

Gangguan mobilisasi, pengonsumsian obat pencahar dalam waktu yang


lama, serta kurangnya asupan cairan juga menyebabkan konstipasi pada
lansia (Miller, 2012). Kebiasaan duduk terus-menerus menyebabkan
konstipasi (Anonymous, 2008). Stanley dan Beare (2006) juga
menyebutkan bahwa konstipasi pada lansia disebabkan oleh menurunnya
kekuatan dan tonus otot. Selain itu, konstipasi pada lansia juga dapat
disebabkan karena kurangnya privasi saat defekasi (Wallace, 2008).
Menurut Chu, Zhong, Zhang, Zhang, dan Hou (2014), perbedaan
kejadian konstipasi di beberapa negara maju diakibatkan karena
perbedaan pola diet serat dan tingkat aktivitas fisik.

2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi pada Lansia


Tanda dan gejala konstipasi yaitu adanya perasaan tidak tuntas terhadap
feses yang dikeluarkan (Miller, 2012). Frekuensi normal defekasi pada
lansia yaitu setiap tiga hari hingga seminggu sekali atau dua kali,
sedangkan pada lansia dengan konstipasi, defekasi terjadi lebih lama dari
waktu tersebut (Miller, 2012). Konstipasi juga ditandai dengan
karakteristik feses yang kering pada lansia (Beers & Jones, 2000 dalam
Wallace, 2008).

2.2.4 Akibat Konstipasi pada Lansia


Impaksi atau feses yang menumpuk dan mengeras dapat disebabkan
karena konstipasi, kemudian impaksi feses tersebut dapat mengakibatkan
gangguan eliminasi urin berupa inkontinensia ataupun retensi urin
(Woodward, Moran, Elliott, Laurens, & Saunders, 2002). Pada lansia,
konstipasi menyebabkan gangguan perkemihan akibat dari penumpukan
feses pada kolon bagian bawah dan rektum (Ginsberg, Phillips, Wallace,
& Josephson, 2007). Konstipasi pada lansia juga menyebabkan
gangguan anorektal seperti hemoroid, prolaps rektum, dan volvulus
sigmoid (Chu, Zhong, Zhang, Zhang, & Hou, 2014).

2.3 Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia


2.3.1 Pengkajian
2.3.1.1 Identitas Pasien
Identitas atau data demografi mencakup inisial nama, usia, riwayat
pendidikan dan pekerjaan, serta alamat tempat tinggal (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013).

2.3.1.2 Riwayat Kesehatan


Riwayat kesehatan meliputi riwayat terdahulu dan saat ini serta riwayat
keluarga (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Riwayat kesehatan
terdahulu mencakup riwayat pembedahan, riwayat penyakit yang pernah
diderita dan riwayat dirawat, serta riwayat obat-obatan yang juga
mencakup pengetahuan klien tentang obat, kepatuhan minum obat, dan
efek obat yang dirasakan (Stanhope & Knollmueller, 2008). Pengkajian
riwayat lansia juga mencakup riwayat sosial (Stanhope & Knollmueller,
2008). Riwayat sosial mencakup sosioekonomi, kemampuan
beraktivitas, serta hubungan dengan keluarga dan sesama lansia
(Stanhope & Knollmueller, 2008). Riwayat konstipasi juga dikaji pada
masalah konstipasi (Arenson, et al., 2009).

2.3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari


Kebiasaan sehari-hari meliputi pola makan, minum, tidur, eliminasi urin
dan fekal, aktivitas sehari-hari dan rekreasi (Widyatuti & Nurviyandari,
2013). Pada pengkajian konstipasi, pola eliminasi fekal yang dapat dikaji
meliputi frekuensi defekasi, perubahan pada pola defekasi, kesulitan saat
defekasi seperti mengedan, karakteristik feses yang keras, kering, dan
sulit dikeluarkan, penggunaan pencahar, serta ada atau tidaknya nyeri
dan darah saat defekasi (Miller, 2012).

2.3.1.4 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh mencakup kepala,
dada, abdomen, ekstremitas, serta pemeriksaan tanda-tanda vital,
keadaan umum, dan tingkat kesadaran (Widyatuti & Nurviyandari,
2013). Pemeriksaan fisik termasuk dalam pengkajian konstipasi pada
lansia (Arenson, et al., 2009). Pemeriksaan fisik pada masalah konstipasi
dilakukan terhadap abdomen dan rectum (Miller, 2012). Pemeriksaan
rektum dilakukan pada posisi miring (Miller, 2012).

Pemeriksaan abdomen dilakukan pada posisi supine (Miller, 2012). Pada


inspeksi, penemuan distensi abdomen dan jaringan parut akibat tindakan
bedah perlu dicatat (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006).
Selanjutnya dilakukan auskultasi bising usus untuk mengetahui gerak
peristaltik (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Pada pemeriksaan
bising usus, diafragma stetoskop digunakan untuk mendengarkan bising
usus mulai dari kuadran kanan bawah hingga kuadran kiri bawah
abdomen selama minimal 60 detik (Nusyirwan, 2008). Secara normal,
pada lansia, dapat terdengar bising usus dengan nilai normal 5-15 kali
per menit (Miller, 2012). Bell stetoskop digunakan untuk mendengarkan
bunyi vaskuler pada area arteri renalis, iliaka, dan femoralis dengan cara
meletakkan bell pada area sejajar garis midklavikula di samping aorta di
atas umbilikus (Nusyirwan, 2008). Penyumbatan parsial pada usus
menghasilkan suara yang gaduh, sedangkan penyumbatan total
menghasilkan suara gemerincing dan sangat kencang (Gallo, Bogner,
Fulmer, & Paveza, 2006). Kemudian dilakukan perkusi hepar untuk
memperkirakan ukuran hepar sehingga mengetahui ada atau tidaknya
gangguan hepar (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu,
dilakukan perkusi di atas organ abdomen untuk mengetahui suara yang
dihasilkan yaitu timpani atau dullness yang mana timpani adalah suara
normal dan dullness menunjukkan adanya obstruksi (Burger, 2008).
Terakhir adalah palpasi. Pada konstipasi, feses mudah dipalpasi namun
hasil yang teraba berbeda dengan massa tumor (Gallo, Bogner, Fulmer,
& Paveza, 2006). Massa abdomen yang tidak dapat digerakkan
menandakan tumor gastrointestinal (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza,
2006). Selain itu, adanya aneurisme pada aorta abdomen dapat dirasakan
seperti adanya denyutan pada massa abdomen, namun denyutan ini dapat
dirasakan normal pada lansia dengan tubuh yang kurus (Gallo, Bogner,
Fulmer, & Paveza, 2006).

2.3.1.5 Constipation Scoring System (CSS)


Konstipasi dapat juga diidentifikasi melalui Constipation Scoring
System (CSS). Pertanyaan dalam CSS mencakup frekuensi defekasi,
usaha mengedan, defekasi yang tidak tuntas, nyeri abomen, lama
defekasi (menit), bantuan yang digunakan untuk dapat defekasi, tidak
dapat defekasi dalam 24 jam, dan riwayat konstipasi dalam setahun
(Agachan, et al., 1996 dalam Kristamuliana, 2015). Total skor CSS
adalah 30 dimana semakin besar skor, semakin tinggi tingkat keparahan
konstipasi yang dialami (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong,
2011).

2.3.2 Perumusan Diagnosis


Berdasarkan NANDA, beberapa diagnosis keperawatan yang dapat
ditegakkan dari masalah konstipasi yaitu konstipasi, risiko konstipasi,
konstipasi kronik fungsional, risiko konstipasi kronik fungsional, dan
konstipasi yang dirasakan (perceived constipation) (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Berdasarkan NANDA, diagnosis konstipasi dapat
ditegakkan jika terdapat data antara lain nyeri abdomen, penurunan
frekuensi defekasi dan banyaknya feses yang dikeluarkan, feses yang
keras, bising usus yang hiperaktif ataupun hipoaktif, tidak dapat
defekasi, nyeri saat defekasi, teraba massa abdomen atau rektum, suara
dullness pada abdomen, rektum penuh, tekanan pada rektum, dan
mengedan saat defekasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko
konstipasi didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi
(Herdman & Kamitsuru, 2014).

Diagnosis konstipasi kronik fungsional ditegakkan jika konstipasi telah


terjadi selama 3-12 bulan terakhir (Herdman & Kamitsuru, 2014).
Konstipasi ini ditandai dengan antara lain adanya ≥ 2 gejala pada
klasifikasi Rome III yaitu feses keras atau mengedan ≥ 25% defekasi;
defekasi tidak tuntas atau sensasi adanya penyumbatan pada anorektal ≥
25% defekasi; bantuan manual membantu ≥ 25% defekasi atau defekasi
≤ 3 kali seminggu (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko
konstipasi kronik fungsional didefinisikan sebagai kerentanan
mengalami konstipasi kronik fungsional akibat adanya faktor risiko
seperti obat-obatan, diet tinggi lemak dan protein, kurang gerak, dan
gangguan mobilisasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis
konstipasi yang dirasakan didefinisikan sebagai konstipasi yang
didiagnosis oleh diri klien sendiri disertai adanya penggunaan laxatif,
enema, atau suppositoria (Herdman & Kamitsuru, 2014).

2.3.3 Rencana Intervensi


Berdasarkan NIC, intervensi keperawatan dalam mengatasi diagnosis
konstipasi meliputi manajemen bowel, latihan bowel, manajemen
konstipasi/impaksi, diet, enema, manajemen cairan/eletrolit, manajemen
cairan, pemantauan cairan, obat, manajemen nutrisi, dan manajemen
rektal yang prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang
teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir, memantau
karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi,
melaporkan peningkatan atau penurunan bising usus, mengajarkan klien
mencatat karakteristik fesesnya, mendorong konsumsi diet tinggi serat
dan makanan rendah gas, memberikan air hangat setelah makan,
mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal, dan memberikan
obat suppositoria ke dalam rektal (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).

Latihan usus besar adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada
waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan
membuat jadwal defekasi yang konsisten, mengajarkan klien prinsip
latihan, mengajarkan olahraga, menjaga privasi defekasi, dan
memodifikasi program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Manajemen konstipasi/impaksi adalah tindakan
mencegah atau mengurangi konstipasi/impaksi (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama
ditambah dengan mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan
penyebab konstipasi dan rasional tindakan kepada klien, mengajarkan
klien tentang penggunaan laxatif yang sesuai, hubungan diet, olahraga,
dan cairan terhadap konstipasi, dan proses pencernaan yang normal,
mengevaluasi nutrisi, mengukur berat badan teratur, dan melakukan
pengeluaran feses secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).

Manajemen cairan/eletrolit adalah tindakan mengatur dan mencegah


komplikasi kekurangan cairan atau elektrolit (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
memantau tanda gejala dehidrasi, memberi cairan yang sesuai,
meningkatkan asupan cairan secara oral seperti menyediakan cairan
yang diinginkan klien dan mudah dijangkau, mencatat masukan dan
haluaran cairan, dan mengontrol kehilangan cairan seperti akibat
penggunaan antipiretik (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Manajemen cairan juga hampir sama ditambah dengan memantau
status hidrasi seperti kelembaban membran mukosa, keadekuatan nadi,
dan tekanan darah (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Pemantauan cairan mencakup aktivitas memantau jumlah dan jenis
cairan yang dikonsumsi serta memantau tanda perubahan cairan seperti
pusing (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).

Diet staging adalah tindakan membatasi diet (Bulechek, Butcher,


Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dapat dilakukan antara
lain mengkaji adanya bising usus dan memberikan diet bertahap hingga
diet khusus atau biasa (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Manajemen nutrisi adalah tindakan menyediakan nutrisi yang
seimbang (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain menentukan status nutrisi dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan, menyesuaikan diet, dan mengajarkan diet yang
dibutuhkan lansia yaitu tinggi serat untuk mengatasi konstipasi.
Manajemen rektal yang prolaps adalah tindakan mencegah atau
mengurangi prolaps rektum secara manual (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
mengkaji riwayat, mendorong klien menghindari mengedan,
mengajarkan untuk teratur dalam diet, olahraga, dan obat, serta
mengajarkan posisi saat terjadi prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman,
& Wagner, 2013).

Dalam intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami konstipasi,


edukasi kesehatan juga dapat dilakukan. Materi edukasi dapat mencakup
diet tinggi serat, menghindari laxatif dan enema, pemilihan obat yang
meningkatkan defekasi seperti jenis bulk forming seperti psyllium atau
methylcellulose, tidak menahan defekasi, serta olahraga teratur (Miller,
2012). Edukasi mengenai pentingnya diet, olahraga, dan toilet training
merupakan juga dapat dilakukan pada lansia (Gallegos-Orozco, Foxx-
Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012).

2.3.4 Intervensi Utama (Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan


Pemberian Cairan)
2.3.4.1 Massase Abdomen
Massase abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen.
Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus (bowel
management) (NHS, 2014). Massase mengurangi konstipasi pada
orang dewasa (Wang & Yin, 2015). Massase abdomen
meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Massase
abdomen dan pemberian posisi defekasi meningkatkan frekuensi
defekasi, mempercepat defekasi, dan rasa nyaman saat defekasi
(Kristamuliana, 2015). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen,
Hawkins, dan Lowe-Strong (2011), pemberian massase abdomen
pada klien multiple sclerosis yang mengalami konstipasi dapat
meningkatkan frekuensi defekasi. Selain itu, massase abdomen
juga meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga mengurangi
mengedan (McClurg & Lowe-Strong, 2011). Meskipun
demikian, massase abdomen tidak dapat dilakukan pada klien
dengan riwayat obstruksi usus maligna, riwayat penyakit
inflamasi usus, penyakit Crohn’s, atau kolitis ulseratif, spasme
kolon pada klien dengan sindrom iritasi usus, cedera saraf tulang
belakang yang tidak stabil, dan jaringan parut pada abdomen atau
bedah abdomen baru (NHS, 2014). Oleh karena kontraindikasi
tersebut, pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan sebelum
memberikan massase abdomen untuk memastikan bahwa
massase abdomen dapat dilakukan atau tidak.
Massase abdomen dapat dilakukan selama 15 menit (McClurg,
Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, 2011). Menurut NHS
(2014), dapat juga dilakukan selama 10-20 menit. Alat dan bahan
yang dapat digunakan antara lain sarung tangan bersih, minyak,
bantal, dan selimut atau handuk. Menurut Chung dan Choi
(2011) dalam Wang dan Yin (2015), aromaterapi pada minyak
tidak memberikan efek pada penanganan konstipasi, namun
menurut Kim, Sakong, Kim, dan Kim (2005) dalam Wang dan
Yin (2015), minyak esensial membantu penanganan konstipasi
pada lansia. Minyak bayi atau baby oil merupakan salah satu
minyak esensial sehingga dapat digunakan dalam massase
abdomen pada lansia.

Setelah persiapan diri perawat, alat, dan klien dengan


memosisikan klien supine dengan kepala didukung bantal dan
selimut untuk menutupi bagian tubuh lain, massase abdomen
dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Teknik
massase abdomen yang dapat digunakan yaitu berdasarkan
penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011)
yang kemudian diaplikasikan dalam penelitian Kristamuliana
(2015) terhadap lansia. Teknik tersebut dipilih karena telah
diteliti pada pasien dengan multipel sklerosis atau gangguan
neurologi yang memiliki kesamaan dengan kondisi penurunan
saraf pada lansia sehingga menyebabkan konstipasi. Selain itu,
teknik tersebut termasuk yang terkini dan telah banyak
digunakan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya. Teknik
massase abdomen tersebut meliputi (1) melakukan pengusapan
pada saraf vagus, dari puncak iliaka hingga ke kedua sisi panggul
yaitu pada pangkal paha; (2) melakukan pengusapan pada kolon
dari kolon asenden, transversum, hingga desenden dengan
tekanan yang semakin meningkat untuk merangsang kontraksi
kolon sehingga feses terdorong; (3) melakukan pemerasan pada
kolon dari asenden, transversum, hingga desenden untuk
memecahkan feses; (4) melakukan pengusapan lagi sepanjang
kolon kemudian melakukan pengusapan melintang ringan di atas
abdomen; serta (5) melakukan vibrasi pada dinding abdomen
untuk menghasilkan flatus.

Gambar 2.1 Teknik Massase Abdomen

(1) (2)

(3)

(4)

(5)
Sumber: McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011); NHS
(2014)

2.3.4.2 Posisi Defekasi


Berdasarkan hasil penelitian Kristamuliana (2015), pemberian
posisi defekasi dengan menggunakan topangan kursi setinggi 8
inchi pada kaki lansia membantu mengurangi konstipasi pada
lansia. Menurut Wallis, et al (2003) dan Wilson (2005) dalam
Kristamuliana (2015), ketinggian kursi yang dapat diberikan
yaitu 7-9 inchi. Penurunan dasar panggul dengan sudut rektoanal
lurus, kontraksi otot abdomen, serta relaksasi otot puborektal dan
sfingter anal eksternal diperlukan untuk dapat defekasi secara
normal (Leung, Riutta, Kotecha, & Rosser, 2011). Berdasarkan
penelitian Sikirov (2003), terjadi pengosongan usus yang lebih
cepat dan lebih memuaskan dengan posisi jongkok saat defekasi.
Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk dengan panggul
difleksikan dapat mengurangi mengedan (Sakakibara, et al.,
2010). Hal tersebut dikarenakan posisi defekasi dengan panggul
difleksikan akan membuat sudut rektoanal menjadi lurus
sehingga mengedan tidak dibutuhkan (Sikirov, 2003). Pada lansia
wanita, rektoanal menjadi tidak membuka secara optimal
sehingga feses menjadi sulit dikeluarkan (Gallegos-Orozco,
Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Defekasi dengan
meninggikan kaki pada posisi duduk dapat membantu
mengefektifkan penggunaan otot abdomen dan dasar panggul
(Woodward, Moran, Ellicott, Lourens, & Saunders, 2002).
Gambar 2.2 Posisi Defekasi yang Sehat

Sumber:
(http://youmademethink.com) (http://static1.squarespace.com)

2.3.4.3 Pemberian Cairan


Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian air dapat
meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat terjadi
defekasi pada klien konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan
Sen (2015), pemberian air hangat secara teratur terutama di pagi
hari dapat meningkatkan kerja usus sehingga membantu
eliminasi fekal. Meningkatkan asupan cairan dan minum air
hangat setelah makan merupakan intervensi keperawatan dalam
mengatasi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Pemberian cairan dapat merangsang aktivitas
kolon (Wallace, 2008). Konsumsi cairan 1,5-2 liter per hari dapat
mencegah konstipasi (Wallis, 2004). Kebutuhan cairan untuk
lansia adalah 30-35 cc/kg berat badan per hari (National
Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace,
2008). Semua jenis cairan kecuali yang mengandung kafein dan
pemanis disarankan dalam mengatasi konstipasi pada lansia
(Capezuti, Siegler, & Mezey, 2008).

2.3.3 Evaluasi
Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang
mengalami konstipasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
konstipasi yang dialami, faktor yang menyebabkan konstipasi, serta pola
defekasi dan masalah teratasi jika lansia dapat defekasi secara teratur
dengan karakteristik feses yang lembut, tanpa mengedan atau rasa tidak
nyaman saat defekasi (Miller, 2012). Evaluasi juga dapat dilakukan
melalui CSS setelah intervensi selesai (McClurg, Hagen, Hawkins, &
Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana (2015)

Hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap konstipasi


yaitu hidrasi, eliminasi fekal, respon terhadap medikasi, dan kontrol
gejala (Miller, 2012). Berdasarkan NOC, hasil yang diharapkan dari
intervensi keperawatan terhadap diagnosis konstipasi yaitu eliminasi
fekal dengan indikator keberhasilan yang mencakup peningkatan pola
eliminasi fekal, pengontrolan pergerakan usus, jumlah feses sesuai diet,
feses lunak dan berbentuk, kemudahan pengeluaran feses, peningkatan
tonus sfingter anal, tonus otot untuk mengeluarkan feses, pengeluaran
feses tanpa bantuan, dan bising usus meningkat, warna feses
dipertahankan, tidak ada lemak, darah, dan lendir pada feses,
berkurangnya konstipasi, nyeri saat pengeluaran feses, penggunaan
bantuan eliminasi fekal yang berlebihan (Moorhead, Johnson, Maas, &
Swanson, 2013). Hasil tersebut dapat dievaluasi kembali terhadap
intervensi keperawatan yang dilakukan.

2.4 Pelayanan Keperawatan untuk Lansia dengan Konstipasi di Perkotaan


2.4.1 Pelayanan Lansia dengan Konstipasi
Pelayanan kesehatan untuk lansia meliputi rumah sakit, panti werdha,
pelayanan rawat jalan, dan pelayanan rumah (Potter & Perry, 2005).
Pelayanan rumah sakit untuk lansia dengan dehidrasi kronik disertai
penyakit akut, infeksi, kejadian jatuh, serta penurunan kesadaran (Potter
& Perry, 2005). Panti werdha untuk yang mengalami demensia,
gangguan mobilisasi dan nutrisi, serta inkontinensia (Potter & Perry,
2005). Pelayanan rawat jalan untuk lansia dengan masalah neurologi,
kardiovaskuler, pencernaan, pernapasan, serta depresi (Potter & Perry,
2005). Masalah konstipasi pada lansia dapat ditangani melalui pelayanan
rawat jalan. Pelayanan rumah untuk lansia dengan gangguan fungsi
mobilisasi, neurologi, dan kardiovaskuler (Potter & Perry, 2005).

Menurut Miller (2012), pelayanan keperawatan untuk lansia antara lain


tempat perawatan akut seperti rumah sakit, rumah perawatan (nursing
home), perawatan rumah (home care), dan pelayanan komunitas. Rumah
perawatan (nursing home) adalah tempat perawatan bagi lansia yang
membutuhkan bantuan aktivitas sehari-hari (Miller, 2012). Rumah
perawatan juga menyediakan pelayanan keperawatan dan medis, gigi,
perawatan kaki, konsultasi kesehatan, serta terapi rehabilitasi (Miller,
2012). Masalah kesehatan yang dapat ditangani di rumah perawatan
antara lain stroke, fraktur, gagal jantung kongestif, dan rehabilitasi
(Miller, 2012). Masalah konstipasi berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari, sehingga rumah perawatan merupakan pelayanan lain yang dapat
mengatasi konstipasi pada lansia. Perawatan rumah (home care)
merupakan pelayanan keperawatan pada lansia di rumah (Miller, 2012).
Pelayanan ini untuk mendukung perawatan akut pada lansia yang
membutuhkan perawatan yang terampil untuk jangka waktu yang
pendek (Miller, 2012).

2.4.2 Peran Perawat dalam Mengatasi Konstipasi


Perawat gerontik memiliki peran sebagai pemberi asuhan, pendidik,
manajer, advokator, dan peneliti (Mauk, 2010). Selain itu, perawat
gerontik juga memiliki peran sebagai konselor, manajer kasus,
koordinator pelayanan, dan kolaborator (Mauk, 2010). Untuk dapat
mencapai tujuan pencegahan penyakit, promosi dan pemeliharaan
kesehatan, perawat gerontik berperan sebagai pendidik, konselor,
advokator, dan manajer keperawatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
Dalam mengatasi konstipasi pada lansia, perawat gerontik memiliki
peran sebagai pemberi asuhan, pendidik, advokator, kolaborator, dan
peneliti.
2.4.2.1 Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan, perawat harus mampu memberi asuhan
keperawatan langsung terhadap lansia di berbagai tempat pelayanan
(Mauk, 2010). Perawat memberikan tindakan keperawatan langsung
seperti massase abdomen, pemberian posisi defekasi yang sehat, dan
manajemen cairan dalam mengatasi konstipasi pada lansia. Perawat juga
harus memahami tentang konsep penyakit, intervensi keperawatan
berdasarkan bukti praktik, hingga rehabilitasi. Dalam mengatasi
konstipasi pada lansia, perawat perlu memahami konsep sistem
pencernaan lansia dan perubahan yang terjadi, konstipasi pada lansia,
serta asuhan keperawatan konstipasi pada lansia.

2.4.2.2 Pendidik
Sebagai pendidik, perawat harus dapat memberi edukasi mengenai
berbagai faktor risiko penyakit yang dapat diubah serta penyakit yang
sering terjadi pada lansia (Mauk, 2010). Hal tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan edukasi kesehatan kepada lansia mengenai
kebiasaan yang dapat menyebabkan konstipasi sehingga lansia dapat
menghindari faktor penyebab tersebut. Panti werdha dapat dikategorikan
ke dalam bentuk pelayanan nursing home dan perawat memiliki peran
untuk mendidik asisten perawat mengenai perawatan lansia (Miller,
2012). Perawat dapat mengajarkan intervensi dalam mengatasi
konstipasi pada lansia kepada perawat lainnya, asisten perawat, ataupun
petugas lainnya.

2.4.2.3 Advokator
Sebagai advokator, perawat harus mampu melindungi otonomi dan
menguatkan keputusan klien (Mauk, 2010). Perawat dapat mendukung
kebutuhan fisiologis lansia untuk mengatasi konstipasi seperti
penyediaan diet cukup serat dan asupan cairan yang cukup yang harus
dipenuhi oleh tempat pelayanan kesehatan bagi lansia.
2.4.2.4 Kolaborator
Perawat gerontik juga memiliki peran berkolaborasi (Mauk, 2010).
Dalam manajemen konstipasi pada lansia, perawat dapat berkolaborasi
tentang program pengobatan lansia yang dapat berdampak pada
terjadinya konstipasi pada lansia. Hal tersebut karena penggunaan obat-
obatan merupakan salah satu penyebab konstipasi pada lansia (Miller,
2012).

pkan terus mengembangkan ilmu keperawatan sehingga berbagai inovasi dalam manajemen konstipasi pada lansia dapat te
BAB 3
ANALISIS KASUS

Pada BAB ini, akan dibahas mengenai asuhan keperawatan yang telah dilakukan
kepada klien kelolaan dan resume.

3.1 Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan


3.1.1 Pengkajian
3.1.1.1 Identitas Pasien
Pengkajian dilakukan pada 9 Mei 2016. Klien berinisial nama
nenek A dan saat ini berusia 72 tahun. Nenek A beragama islam
dan telah menikah, namun saat ini suami nenek A telah
meninggal dunia. Pendidikan terakhir nenek A adalah SD.
Pekerjaan terakhir nenek A yaitu tidak bekerja atau sebagai ibu
rumah tangga. Nenek A tinggal di daerah Jakarti Timur. Nenek A
dibawa ke panti oleh petugas keamanan. Oleh karena tidak
memiliki keluarga ataupun sanak saudara, nenek A tinggal di
panti.

3.1.1.2 Riwayat Kesehatan


Riwayat kesehatan nenek A sebelumnya yaitu sering mengalami
pusing di kepala. Nenek A memiliki riwayat katarak, anemia, dan
hipertensi. Saat ini nenek A mengeluh susah BAB dengan
karakteristik feses yang keras dan sedikit hingga membuat nenek
A mengedan. Nenek A memiliki pola defekasi setiap 5 hari
sekali, Klien defekasi terakhir pada 4 Mei 2016. Gejala
konstipasi tersebut mulai dirasakan sejak empat tahun tinggal di
panti. Pada riwayat kesehatan keluarga, di keluarga nenek A
tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang
diturunkan seperti Diabetes Mellitus dan penyakit keganasan.
Namun, ada anggota keluarga yang mengalami hipertensi. Nenek
A memiliki diagnosis medis hipertensi, anemia, dan Diabetes
Mellitus yang baru terdiagnosis. Oleh karena itu, nenek A
mendapatkan terapi medis berupa captopril 1x2,5 mg, Fe 1x1 tab,
dan metformin 1x1 tab yang baru diberikan.

Keadaan psikologis nenek A labil yaitu secara umum tenang dan


kooperatif, namun mudah emosi jika diperlakukan kasar oleh
lansia lain atau petugas. Pengkajian Geriatric Depression Scale
(GDS) menghasilkan nilai total 5 dari 15 sehingga nenek A tidak
mengalami depresi saat ini. Nenek A merasa dukungan keluarga
kurang karena tidak ada yang pernah mengunjungi nenek A
selama tinggal di panti. Selain dengan keluarga, hubungan nenek
A dengan lansia lainnya terutama penghuni wisma yang sama
dan dengan orang lain cukup harmonis.

3.1.1.3 Kebiasaan Sehari-hari


Nenek A makan tiga kali sehari dan selalu menghabiskan satu
porsi makanan. Nenek A makan pada jam 06.00, 12.00, dan
16.00 WIB. nenek A minum 3-4 gelas sehari atau 720-960 cc per
hari (1 gelas = 240cc) dan hampir setiap hari minum kopi. Pada
malam sebelumnya, nenek A tidur pukul 19.30 WIB dan bangun
pukul 04.30 WIB serta kadang-kadang tidur siang sehingga
nenek A tidur ± 9 jam per hari. Nenek A defekasi setiap 5 hari
sekali. Nenek A mengeluh feses keras, sedikit, dan sulit
dikeluarkan sehingga diperlukan mengedan. Gejala tersebut telah
dirasakan berulang selama nenek A tinggal di panti. Saat ini
nenek A mengonsumsi obat rutin antihipertensi dan penurun
kadar glukosa darah serta vitamin dan zat besi (Fe). Pada satu
minggu setelah pengkajian, didapatkan bahwa nenek A juga
memiliki Diabetes Mellitus. Nenek A mandi dua kali sehari
dengan menggunakan sabun. Nenek A juga menyikat gigi setiap
kali mandi. Nenek A juga sering keramas setiap 2-3 hari.
Aktivitas sehari-hari nenek A hampir sama dengan lansia pada
umumnya di panti. Aktivitas sehari-hari nenek A yaitu memenuhi
kebutuhan dasar seperti makan, minum, tidur, dan eliminasi.
Nenek A juga mengikuti senam dua kali seminggu dengan
menggunakan kursi. Nenek A juga mencuci dan menjemur
pakaian sendiri. Nenek A juga mengikuti setiap acara lansia di
aula panti. Selain panggung gembira, nenek A mendapatkan
hiburan berupa rekreasi ke suatu tempat bersama lansia lainnya
dengan petugas panti. Nenek A tidak memiliki aktivitas di sore
hari selain duduk-duduk dan mendengarkan radio. Nenek A
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan pengkajian
barthel index menghasilkan nilai total 95 dari 100 sehingga
nenek A memiliki tingkat kemandirian yang mandiri. Nenek A
mengalami kerusakan kognitif yang ringan dengan nilai total
Mini Mental Status Exam (MMSE) 21, nenek A tidak dapat
menulis kalimat dan menyalin gambar karena penglihatan kurang
jelas akibat katarak.

3.1.1.4 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum nenek A bersih, cukup rapi, dan tenang. Tingkat
kesadaran nenek A compos mentis dengan Glowcomma Scale
(GCS) 15 dari 15. Nenek A memiliki tekanan darah 152/71
mmHg, frekuensi nadi 73 x/menit, frekuensi napas 21 x/menit,
dan suhu 35,80C. Nenek A memiliki tinggi badan 148 cm dan
berat badan 43 kg sehingga nilai Indeks Massa Tubuh (IMT)
19,63 kg/m2 serta LLA 24 cm sehingga memiliki status nutrisi
yang normal. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
yaitu 148 mg/dl pada 2 jam setelah makan sehingga glukosa
darah masih dalam rentang normal.

Kepala nenek A memiliki kulit kepala yang bersih dan sebagian


rambut memutih. Konjungtiva mata nenek A sedikit anemis dan
sklera tidak ikterik. Nenek A mengalami katarak pada mata
kanan dan kiri namun mata kanan lebih parah daripada kiri.
Nenek A mengatakan daya penglihatan kurang jelas. Hidung dan
telinga bersih dan tidak ada sumbatan. Rongga mulut bersih dan
sedikit kering. Pada leher nenek A tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening ataupun tiroid serta fungsi menelan baik.

Pengembangan dada nenek A simetris antara thoraks dekstra dan


sinistra. Selain itu, tidak ada penggunaan otot bantu napas. Pada
auskultasi, terdengar suara napas ronchi kering di anterior paru-
paru. Pada perkusi terdengar resonan. Selain itu, auskultasi pada
jantung terdengar bunyi jantung I dan II normal. Pada
pemeriksaan abdomen, tampak sedikit distensi dan otot abdomen
tampak kendur, pada auskultasi terdengar bising usus dua kali
dalam satu menit, pada perkusi terdengar timpani, serta pada
palpasi, abdomen teraba cukup lunak dan tidak teraba massa.

Pada pemeriksaan muskuloskeletal, nenek A masih memiliki


fungsi muskuloskeletal yang baik yaitu tonus otot baik, kekuatan
otot 4444 4444, RPS aktif, barthel indeks 95 dari 100 (mandiri),
4444 4444

serta skor Morse Fall Scale (MFS) menghasilkan total nilai 25


sehingga tidak berisiko jatuh.

3.1.1.5 Constipation Scoring System (CSS)


Berdasarkan Constipation Scoring System (CSS), nenek A
memiliki total skor 15 dari 30. Berdasarkan CSS, nenek A
mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi defekasi 1
kali seminggu, sering mengalami kesulitan saat defekasi
(mengedan), sering merasa tidak tuntas setelah defeksi, namun
jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama
berlangsungnya proses defekasi 20-30 menit, tidak menggunakan
bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak berhasil
defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat konstipasi dalam
setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali).

3.1.2 Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan


Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dipaparkan sebelumnya,
didapatkan data bahwa secara subjektif, nenek A mengatakan sudah 5
hari tidak bisa BAB, feses sulit keluar dan sedikit. Nenek A mengatakan
sering mengalami sulit BAB sejak tinggal di panti. Nenek A memiliki
total skor CSS = 17. Nenek A mengatakan aktivitas fisik menurun sejak
menua dan tinggal di panti. Namun nenek A masih dapat mengikuti
senam dua kali seminggu. Nenek A mengatakan minum 3-4 gelas per
hari (720-960 cc/hari) sedangkan kebutuhan cairan nenek A yaitu 43(30-
50 cc./hari) atau 1290-1505 cc/hari (5-6 gelas per hari). Selain itu, pada
pemeriksaan abdomen, tidak tampak distensi abdomen, terdengar bising
usus 2 kali per menit, pada perkusi terdengar timpani, serta pada palpasi
teraba cukup lunak dan tidak ada massa. Berdasarkan data-data tersebut,
masalah atau diagnosis utama pada nenek A adalah konstipasi.

Selain konstipasi, nenek A juga memiliki keluahan lain. Nenek A


mengatakan sering pusing dan tidak kuat jalan atau melakukan aktivitas
yang terlalu berat. Berdasarkan pemeriksaan tanda-tanda vital,
didapatkan tekanan darah 152/71 mmHg, frekuensi napas 21 kali per
menit, kecepatan nadi 73 kali per menit, dan suhu 35,8 0C. inspeksi pada
mata menunjukkan konjungtiva yang sedikit anemis dan wajah tampak
sedikit pucat. Nenek A memiliki riwayat anemia dan hipertensi. Nenek
A juga berjalan agak lambat. Berdasarkan hal ini, nenek A mengalami
intoleransi aktivitas.

Nenek A saat ini juga mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas.


Masalah ini didapat dari keluhan batuk dengan sedikit sputum sejak satu
minggu lalu. Pada auskultasi paru-paru, juga terdengar suara napas
ronchi kering di anterior paru-paru.
3.1.3 Rencana Intervensi
Rencana asuhan keperawatan dibuat berdasarkan panduan NANDA,
NOC, dan NIC. Pada diagnosis konstipasi (00011), intervensi yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan eliminasi fekal setelah
perawatan selama 4 minggu dengan indikator meliputi pola eliminasi
meningkat, feses yang lembut dan berbentuk meningkat, kemudahan
mengeluarkan feses meningkat, konstipasi berkurang, dan bising usus
normal (5-15 kali per menit) (NOC, 2013). Rencana intervensi yang
dilakukan meliputi manajemen bowel, latihan bowel, dan manajemen
konstipasi berdasarkan NIC (2013).

Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang


teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir; memantau
karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi;
mengajarkan klien mencatat karakteristik fesesnya; mendorong
konsumsi diet tinggi serat; memberikan air hangat setelah makan; dan
mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal (Bulechek,
Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Latihan bowel adalah tindakan
melatih usus untuk defekasi pada waktu yang dijadwalkan (Bulechek,
Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan
hampir sama ditambah dengan membuat jadwal defekasi; mengajarkan
klien prinsip latihan; mengajarkan olahraga; menjaga privasi defekasi;
dan memodifikasi program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Manajemen konstipasi adalah tindakan mencegah atau
mengurangi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan
mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi
dan rasional tindakan kepada klien; mengajarkan klien tentang
penggunaan laxatif yang sesuai; hubungan diet, olahraga, dan cairan
terhadap konstipasi; dan proses pencernaan yang normal (Bulechek,
Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Pada diagnosis ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031), intervensi
yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan patensi jalan napas
setelah perawatan selama 1 minggu dengan indikator meliputi frekuensi
napas normal (12-24 kali per menit), kemampuan membersihkan sekret
meningkat, suara napas tambahan berkurang (NOC, 2013). Rencana
intervensi yang dilakukan yaitu manajemen jalan napas yang meliputi
aktivitas seperti memosisikan lansia pada posisi yang memberikan
ventilasi maksimal; membantu menghilangkan sekret dengan mendorong
batuk; mengajarkan batuk efektif; mengauskultasi suara napas; mencatat
daerah penurunan/tidak ada ventilasi dan suara napas tambahan; serta
mendorong asupan cairan (NIC, 2013).

Pada diagnosis intoleransi aktivitas (00092), intervensi yang dilakukan


bertujuan untuk meningkatkan toleransi aktivitas setelah perawatan
selama 3 minggu dengan indikator meliputi kemudahan bernapas dengan
aktivitas meningkat serta kemudahan melakukan ADL meningkat (NOC,
2013). Rencana intervensi yang dilakukan yaitu terapi latihan: mobilitas
sendi yang meliputi aktivitas melindungi lansia dari trauma selama
latihan; mengoptimalkan posisi tubuh untuk pergerakan sendi aktif;
mendorong latihan RPS secara teratur, terencana, dan terjadwal;
mengajarkan lansia cara melakukan RPS secara sistematis; membantu
pergerakan sendi ritmik dan teratur dalam keterbatasan terhadap nyeri,
ketahanan, dan mobilisasi; mendorong ambulasi; serta memberikan
penguatan positif untuk melakukan latihan (NIC, 2013).

3.1.4 Implementasi
Ketiga bentuk intervensi yaitu massase abdomen, pemberian posisi
defekasi, dan pemberian cairan diupayakan dilakukan bersamaan dalam
mengatasi konstipasi pada klien sejak 10 Mei 2016. Pada saat
pengkajian, kebutuhan cairan klien per hari dihitung sebelum dilakukan
intervensi, yaitu 30-35 cc/kgBB sehingga kebutuhan cairan klien yaitu
1290-1505 cc/hari atau 5-6 gelas biasa/hari. Kemudian, dibuat jadwal
minum dan klien dimotivasi untuk langsung minum setelah bangun tidur
dan minum air hangat setelah makan serta sisanya sesuai kebutuhan
cairan harian klien. Pemberian minum air hangat juga diberikan sebelum
dan setelah massase abdomen. Kemudian massase dilakukan pada waktu
yang sama di setiap harinya dengan menggunakan teknik massase
abdomen McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011). Massase
abdomen dilakukan selama 15 hari dengan durasi setiap kali massase
selama ± 15 menit sehingga terdapat pengulangan 3-4 kali massase.
Sebelum dan setelah dilakukan massase abdomen, bising usus klien
didengarkan selama satu menit di kuadran kanan bawah abdomen.
Bising usus tidak didengarkan pada hari pertama dan kedua intervensi
karena perubahan metode intervensi. Setelah massase abdomen, klien
dibawa ke toilet untuk melakukan posisi defekasi yaitu posisi duduk dan
kaki ditopang dengan kursi setinggi 8 inchi, sehingga sistem pencernaan
klien dikondisikan mengalami eliminasi secara terjadwal. Namun, posisi
defekasi tidak dilakukan setiap kali setelah massase dikarenakan kondisi
klien yang tidak memungkinkan. Posisi defekasi diberikan 1-3 kali
setiap minggu selanjutnya klien dimotivasi untuk mengaplikasikan saat
defekasi. Kursi disediakan di depan toilet klien. Selanjutnya klien
dimotivasi untuk menggunakan posisi defekasi tersebut setiap kali
defekasi.

Selain ketiga intervensi utama tersebut, manajemen konstipasi lainnya


juga dilakukan untuk mendukung intervensi utama seperti edukasi
kesehatan mengenai konstipasi pada lansia sebelum dilakukannya
intervensi. Kemudian, menganjurkan dan memantau asupan diet tinggi
serat klien. Selain itu, klien dimotivasi dan dibantu dalam melakukan
latihan fisik berupa senam rutin dua kali seminggu serta mengajarkan
latihan mengayuh sepeda di tempat tidur. Klien juga diedukasi untuk
tidak menahan defekasi dan defekasi secara terjadwal.
Implementasi lainnya juga dilakukan untuk mengatasi diagnosis
keperawatan kedua dan ketiga. Untuk mengatasi diagnosis intoleransi
aktivitas, tanda-tanda vital klien dipantau dari buku catatan tanda-tanda
vital di panti dan kadang diperiksa sendiri oleh penulis. Selain itu,
aktivitas sehari-hari terutama mobilisasi, makan, dan minum juga
dibantu. Klien juga dimotivasi dan dibantu mengikuti senam secara rutin
di panti. Obat-obatan seperti asam folat dan antihipertensi klien yang
harus diminum setiap hari dipantau dan kadang dibantu untuk minum
obat. Klien juga dimotivasi untuk makan dan minum yang adekuat.
Untuk diagnosis ketidakefektifan bersihan jalan napas, klien dibantu
minum air hangat yang cukup dan dibantu menjaga kebersihan tempat
tidur. Klien juga dimotivasi untuk makan yang adekuat. Klien diajarkan
tarik napas dalam dan batuk efektif satu kali.

3.1.5 Evaluasi
Klien mengalami penurunan tingkat keparahan konstipasi. Nilai CSS
menurun dari 15 menjadi 6 pada pertemuan terakhir. Berdasarkan CSS,
nenek A mengalami penurunan keparahan konstipasi yang meliputi
frekuensi defekasi 3-4 kali seminggu, jarang mengalami kesulitan saat
defekasi (mengedan), jarang merasa tidak tuntas setelah defeksi, tidak
merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, lama berlangsungnya
proses defekasi 10-20 menit, tidak menggunakan bantuan laksatif atau
enema untuk dapat defekasi, tidak pernah tidak berhasil defekasi dalam
24 jam, serta riwayat konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan
terakhir (5-10 kali).

Pada minggu pertama, didapatkan hasil berupa terjadinya defekasi yaitu


2 hari setelah intervensi pertama atau pada tanggal 12 Mei 2016
sehingga klien defekasi tujuh hari kemudian. Pada defekasi hari tersebut,
karakteristik feses dan defekasi klien yaitu defekasi satu kali di sore hari
dengan feses berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras sebelumnya
dan tidak membuat klien mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri.
Bising usus klien tercatat tidak mengalami perbaikan yang signifikan
yaitu setelah intervensi bising usus berubah menjadi 3-10 kali per menit
sedangkan nilai normal bising usus pada lansia yaitu 5-15 kali per menit.

Pada minggu kedua, frekuensi defekasi klien juga tidak mengalami


perubahan yang signifikan yaitu masih satu kali dalam seminggu.
Karakteristik feses juga masih sama dengan minggu pertama, yaitu feses
berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak sekeras sebelumnya dan tidak
membuat klien terlalu mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri.
Meskipun demikian, bising usus tercatat mengalami perbaikan setelah
intervensi yaitu 5-10 kali per menit (dalam rentang normal). Jumlah
feses yang sedikit berkaitan dengan kurangnya makanan yang konsumsi
klien.

Pada minggu ketiga tidak dilakukan massase abdomen. Hal ini dilakukan
karena klien sedang dalam tahap pemulihan pasca operasi katarak pada
tanggal 21 Mei 2016. Menurut dokter setempat, selama satu minggu atau
sebelum konsul satu minggu setelahnya, klien dilarang untuk dilakukan
stimulasi pada seluruh bagian tubuh. Hal ini kemungkinan bertujuan
untuk menghindari terjadinya valsava maneuver sehingga dapat
menimbulkan penekanan pada mata, sedangkan karakteristik feses saat
defekasi satu hari setelah operasi yaitu pada 22 Mei 2016, klien
mengalami defekasi dengan karakteristik feses yang cair dan tidak
tertahan. Namun, posisi defekasi dan pemberian cairan pada waktu yang
telah terjadwal tetap dilakukan, dengan posisi defekasi yang diberikan
yaitu sebanyak 2 kali dan selanjutnya hanya diberi motivasi.
Selanjutnya, pada 23 Mei 2016 klien kembali mengalami defekasi
dengan karakteristik feses yang lunak dan mudah dikeluarkan sehingga
tidak diperlukan mengedan. Pada minggu ini tidak dilakukan
pemantauan bising usus.
Pada minggu keempat atau setelah 10 kali melakukan ketiga intervensi
utama secara bersamaan, tampak perubahan yang signifikan pada pola
defekasi atau eliminasi fekal klien. Pada tanggal 1 Juni 2016 sore, klien
defekasi kembali dengan karakteristik feses lebih banyak dan klien
merasa lebih lampias dalam defekasi, warna feses sedikit cokelat gelap,
lebih lunak, dan tidak membuat klien mengedan serta tidak ada darah
ataupun nyeri. Kemudian, pada tanggal 3 Juni 2016 pagi, klien kembali
defekasi dengan karakteristik feses banyak, mudah dikeluarkan, dan
tidak mengedan serta berwarna sedikit cokelat gelap namun tidak ada
darah ataupun nyeri. Selain itu, pada 4 Juni 2016 pagi, klien defekasi
kembali dengan karakterstik feses cukup banyak, mudah dikeluarkan,
dan tidak mengedan serta warna feses sedikit cokelat gelap namun tidak
ada darah ataupun nyeri. Namun, bising usus mengalami penurunan
menjadi 2-6 kali per menit.

Pada satu minggu setelah intervensi, klien mengalami 4 kali defekasi.


Pada 6 Juni 2016, klien defekasi setelah sahur dengan karakteristik feses
yang cair. Kemudian, pada 9 Juni 2016, klien kembali defekasi dengan
karakteristik feses yang berbentuk panjang 3 kali, berwarna sedikit
cokelat gelap, tidak terlalu bau, tidak ada darah, dan tidak mengedan.
Pada 10 dan 11 Juni 2016, klien defekasi kembali dengan karakteristik
feses dan defekasi yang sama dengan hari sebelumnya. Bising usus
tercatat 8 kali per menit pada kuadran kanan bawah (dalam rentang
normal).

Tabel 3.1 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek A selama 6 Minggu


Minggu Waktu Karakteristik Karakteristik Bising Usus
Ke- Defekasi Feses Defekasi Sebelum Setelah
massase massase
1 minggu 4 Mei Keras, sedikit, Mengedan, 2 x/menit -
sebelum 2016 tidak tuntas, kadang nyeri
cokelat gelap, tidak
ada darah
1 12 Mei Cokelat gelap, Tidak 3-11 3-10 x/
2016 sedikit, tidak mengedan, tidak x/menit menit
sekeras nyeri
Minggu Waktu Karakteristik Karakteristik Bising Usus
Ke- Defekasi Feses Defekasi Sebelum Setelah
massase massase
sebelumnya, tidak
ada darah
2 22 Mei Cair Tidak tertahan 2-14 5-10 x/
2016 x/menit menit
3 23 Mei Lunak dan mudah Tidak mengedan - -
2016 dikeluarkan
4 1 Juni Lebih banyak, Lebih lampias, 1-4 2-6 x/
2016 cokelat gelap, lebih tidak mengedan, x/menit menit
lunak, tidak ada tidak nyeri
darah
Tidak
3 Juni Banyak, mudah mengedan, tidak
2016 dikeluarkan, sedikit nyeri
cokelat gelap, tidak
ada darah

Cukup banyak,
4 Juni mudah Tidak
2016 dikeluarkan, sedikit mengedan, tidak
cokelat gelap, tidak nyeri
ada darah
1 minggu 6 Juni Cair Tidak tertahan - 8 x/
setelah 2016 menit
(terminasi)
9 Juni Berbentuk panjang Tidak
2016 3 kali, sedikit mengedan, tidak
cokelat gelap, tidak nyeri
terlalu bau, tidak
ada darah

10 Juni Berbentuk, panjang Tidak


2016 sedikit cokelat mengedan, tidak
gelap, tidak ada nyeri
darah
11 Juni Tidak
2016 Berbentuk, sedikit mengedan, tidak
cokelat gelap, tidak nyeri
ada darah

Tabel 3.1 menunjukkan perkembangan frekuensi defekasi, karakteristik


feses dan defekasi, serta bising usus pada sebelum dan setelah massase
abdomen. Berdasarkan tabel, frekuensi defekasi dan bising usus
meningkat signifikan pada minggu terminasi. Karakteristik feses dan
defekasi juga mengalami perbaikan mulai minggu ketiga intervensi.
Grafik 3.1 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek A selama 6 Minggu

FREKUENSI DEFEKASI
FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU
5
4
3
2
1
0
1
Mg-1 2 1
Mg Mg3 2 4 3
Mg 5 4
Mg 6
Mg+1
MINGGU (Mg) KE-

Grafik 3.1 menunjukan adanya peningkatan frekuensi defekasi pada


nenek A sejak minggu keempat intervensi.

Grafik 3.2 Perkembangan Bising Usus Nenek A selama 15 kali Massase


Abdomen

BISING USUS NENEK A SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN


BISING USUS

15

10

5 A Sebelum
A Setelah
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
MASSASE KE-

rafik 3.2 menunjukan tidak adanya perbaikan yang signifikan pada bising usus nenek A dari hari ke hari selama massase ab
mulai massase abdomen ke-9 hingga 15 bising usus setelah massase

secara konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase.

Evaluasi terhadap dua diagnosis lainnya juga dilakukan. Secara umum,


klien masih dapat toleransi dengan aktivitas sehari-hari yang biasa
dijalani, namun pada minggu kedua klien sering mengeluh pusing.
Tekanan darah dalam rentang 140-170/70 mmHg, kulit tidak teraba
hangat, dan tidak ada keluhan pernapasan. Pada minggu kedua, klien
mengeluh pusing sehingga tidak kuat melaksanakan seluruh gerakan
senam. Selain itu, pada minggu kedua, klien masih mengalami batuk
sehingga ketidakefektifan bersihan jalan napas belum selesai
diintervensi. Namun, masalah tersebut tidak lagi dirasakan lansia pada
minggu berikutnya.

3.2 Asuhan Keperawatan Klien Resume 1


3.2.1 Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan
3.2.1.1 Identitas Pasien
Klien resume 1 adalah nenek F (72 tahun).

3.2.1.2 Riwayat Kesehatan dan Kebiasaan Sehari-Hari


Nenek F mengalami konstipasi dengan gejala frekuensi defekasi
menurun, karakteristik feses yang keras, kering, dan sulit
dikeluarkan, mengedan saat defekasi, serta bising usus hipoaktif
(kurang dari 5 kali per menit. Nenek F mengonsumsi obat
antihipertensi secara rutin. Klien juga memiliki riwayat asma
sejak muda dan pemeriksaan thoraks didapatkan suara napas
mengi dan penggunaan otot bantu napas.

3.2.1.3 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi tampak distensi
abdomen, pada auskultas bising usus kurang dari 5 kali per
menit, pada palpasi tidak ada massa, dan perkusi timpani. Nenek
F memiliki fungsi kognitif yang baik, yaitu dengan nilai MMSE
25 dan tidak depresi, yaitu dengan nilai GDS 5. Nenek F
mengalami kelemahan pada kedua kaki dengan kekuatan otot
4444 4444
, RPS aktif asistif, skor MFS 65 (risiko tinggi jatuh).
3333 3333

Nenek F memiliki tingkat ketergantungan parsial dengan barthel


index 70 (parsial) dan memiliki status gizi obesitas (BB = 69, TB
= 155 cm, IMT = 30,67 kg/m2). Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital yang didapatkan yaitu suhu 36,80C, nadi 69 kali per menit,
tekanan darah 151/82 mmHg, dan pernapasan 20 kali per menit.

3.2.1.4 Constipation Scoring System (CSS)


Nenek F memiliki total skor CSS yaitu 16. Berdasarkan CSS,
nenek F mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi
defekasi 1 kali seminggu, selalu mengalami kesulitan saat
defekasi (mengedan), sering merasa tidak tuntas setelah defeksi,
namun jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut,
lama berlangsungnya proses defekasi 20-30 menit, tidak
menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi,
tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat
konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10
kali).

Dari data pengkajian, didapatkan masalah atau diagnosis keperawatan


konstipasi, gangguan pola napas, dan risiko jatuh.

3.2.2 Rencana Intervensi


Rencana intervensi yang dilakukan pada klien resume 1 untuk mengatasi
diagnosis konstipasi sama dengan klien kelolaan, yaitu manajemen
konstipasi (0450), dengan hasil yang diharapkan yaitu bowel elimination
(0501). Untuk mengatasi gangguan pola napas, rencana intervensi yang
dilakukan yaitu positioning (0840) dan memantau pernapasan (3350),
dengan hasil yang diharapkan yaitu status pernapasan (0415). Untuk
mengatasi risiko jatuh, rencana intervensi yang dilakukan yaitu
pencegahan jatuh (6490), dengan hasil yang diharapkan yaitu kejadian
jatuh (1912).

3.2.3 Implementasi
Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada nenek F
sama dengan pada klien kelolaan, namun ketiga intervensi utama yaitu
massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan dilakukan
hanya selama 13 hari sejak 10 Mei 2016. Bising usus juga tidak
didengarkan pada hari pertama dan kedua intervensi karena perubahan
metode intervensi. Singkatnya waktu intervensi dikarena ketiga
intervensi tidak dapat dilaksanakan rutin secara bersamaan. Pada minggu
kedua intervensi utama tidak dilakukan setiap hari dikarenakan kondisi
klien yang tidak memungkinkan. Tahapan intervensi utama yang
dilakukan juga sama dengan klien kelolaan. Hambatan mobilisasi dan
adanya konflik internal dengan lansia lain dalam satu kamar
menyebabkan kurangnya penerapan posisi defekasi secara mandiri tanpa
didampingi penulis saat defekasi di waktu-waktu yang tidak terjangkau
penulis. Pemberian posisi defekasi juga menjadi sedikit disbanding
lansia lainnya, yaitu 1-2 kali seminggu dan selanjutnya hanya
dimotivasi. Penerapan minum sesuai kebutuhan cairan klien juga
mengalami hambatan karena kurangnya motivasi pada klien, yaitu
kebutuhan cairan klien minimal 30(69) cc/hari atau 2070 cc/hari atau 8
gelas/hari, namun kadang-kadang klien hanya mampu minum sebanyak
6-7 gelas per hari. Manajemen konstipasi lainnya seperti edukasi
kesehatan tentang konstipasi, membantu senam, mengajarkan latihan
rentang pergerakan sendi dan mengayuh sepeda, dan mendorong asupan
diet tinggi serat juga dilakukan untuk mendukung ketiga intervensi
utama.

Pada diagnosis keperawatan lainnya yaitu gangguan pola napas dan


risiko jatuh juga dilakukan intervensi untuk membantu mengatasinya.
Pada gangguan pola napas, klien diberikan posisi semifowler dan
diajarkan posisi tripod ketika gejala asma kambuh. Klien juga dibantu
dan didorong untuk menjaga kebersihan tempat tidur. Setiap intervensi,
status pernapasan klien juga diobservasi. Pada risiko jatuh, klien
diajarkan latihan rentang pergerakan sendi dan dibantu untuk mengikuti
senam rutin di panti. Pada saat terminasi, penulis mendelegasikan ke
mahasiswa keperawatan selanjutnya untuk mengajarkan penggunaan alat
bantu jalan.

3.2.4 Evaluasi
Klien juga mengalami penurunan tingkat keparahan konstipasi. Nilai
CSS menurun dari 16 menjadi 9 pada pertemuan terakhir. Berdasarkan
CSS, nenek F memiliki frekuensi defekasi 1-2 kali seminggu, kadang-
kadang mengalami kesulitan saat defekasi (mengedan), kadang-kadang
merasa tidak tuntas setelah defeksi, tidak merasa nyeri atau rasa tidak
nyaman pada perut, lama berlangsungnya proses defekasi 10-20 menit,
tidak menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi,
tidak pernah tidak berhasil defekasi dalam 24 jam, serta riwayat
konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali).

Pada minggu pertama, beberapa jam setelah intervensi pertama, tanggal


10 Mei 2016, klien dapat defekasi dengan karakteristik feses berwarna
kuning, berbentuk lonjong, masih keras dan sedikit, sehingga diperlukan
mengedan, namun tidak ada darah atau nyeri. Defekasi selanjutnya
terjadi pada 15 Mei 2016 sore dengan karakteristik feses berwarna hijau,
lebih banyak dari biasa, feses yang keras dan mengedan berkurang.
Bising usus setelah intervensi telah mengalami perbaikan, yaitu 4-5 kali
per menit.

Pada minggu kedua, klien kembali mengalami defekasi sebanyak satu


kali dalam seminggu. Klien defekasi pada 22 Mei 2016 dengan
karakteristik feses keras dan sedikit yang keluar, berwarna kehijauan,
mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Namun, bising usus pada
minggu kedua mengalami perbaikan yang cukup signifikan yaitu 5-10
kali per menit.

Pada minggu ketiga, klien dapat defekasi kembali pada 28 Mei 2016 dan
29 Juni 2016 dengan karakteristik yang sama yaitu kehijauan, cukup
banyak, dan cukup lancar. Bising usus pada minggu ketiga sebanyak 4-7
kali per menit.

Pada minggu keempat, klien masih defekasi sebanyak dua kali pada 3
dan 4 Juni 2016 dengan karaktistik yang hampir sama yaitu feses
berwarna kehijauan, cukup banyak dari biasanya, cukup lancar, masih
sedikit mengedan, dan tidak nyeri. Pada minggu keempat, massase
abdomen dan pemantauan bising usus sudah tidak dilakukan.

aitu feses cukup lunak, berbentuk, berwarna kehijauan, tidak ada darah, masih sedikit mengedan namun tidak nyeri. Pada 1

Tabel 3.2 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek F selama 6 Minggu


Minggu Waktu Karakteristik Karakteristik Bising Usus
Ke- Defekasi Feses Defekasi Sebelum Setelah
massase massase
1 minggu 7 Mei Keras, sedikit, tidak Mengedan, 2 x/menit -
sebelum 2016 tuntas, kecil-kecil kadang nyeri
seperti bakso, tidak
ada darah
1 10 Mei Kuning, lonjong, Mengedan, 2-10 4-5 x/
2016 keras, sedikit, tidak tidak nyeri x/menit menit
ada darah

15 Mei Hijau, lebih banyak Mengedan,


2016 dari biasa, feses tidak nyeri
yang keras
berkurang, tidak
ada darah
2 22 Mei Keras, sedikit, Mengedan, 3-10 5-10 x/
2016 kehijauan, tidak tidak nyeri x/menit menit
ada darah
3 28 Mei Kehijauan, lebih Sedikit 1-5 4-7 x/
2016 banyak dari mengedan, x/menit menit
biasanya, lebih tidak nyeri
lancar

29 Mei Kehijauan, cukup Sedikit


Minggu Waktu Karakteristik Karakteristik Bising Usus
Ke- Defekasi Feses Defekasi Sebelum Setelah
massase massase
2016 banyak, cukup mengedan,
lancar tidak nyeri
4 3 Juni Kehijauan, cukup Sedikit - -
2016 lancar, cukup mengedan,
banyak tidak nyeri

4 Juni Kehijauan, cukup Sedikit


2016 banyak, cukup mengedan,
lancar tidak nyeri
1 minggu 9 Juni Cukup lunak, Sedikit - 5 x/
setelah 2016 berbentuk, mengedan, menit
(terminasi) kehijauan, tidak tidak nyeri
ada darah

10 Juni Cair, cokelat Tidak


2016 mengedan,
tidak nyeri

erdasarkan tabel 3.2, frekuensi defekasi dan bising usus meningkat


ada minggu terminasi, namun tidak signifikan. Karakteristik feses dan defekasi juga mengalami perbaikan mulai minggu kee

Grafik 3.3 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek F selama 6 Minggu


FREKUENSI DEFEKASI

FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU


2,5
2
1,5
1
0,5
0
Mg-1
1 Mg2 1 Mg
32 Mg
4 3 Mg
5 4 Mg+1
6

MINGGU (Mg) KE-

Berdasarkan grafik 3.3, frekuensi defekasi nenek F tidak menunjukkan


perbaikan konstipasi yang signifikan selama 6 minggu.
Grafik 3.4 Perkembangan Bising Usus Nenek F selama 13 Kali Massase
Abdomen

BISING USUS NENEK F SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN


12

BISING USUS
10
8
6

4 F Sebelum
2 F Setelah
0

123456789 10 11 12 13
MASSASE KE-

Berdasarkan grafik 3.4, tidak terdapat perbaikan yang signifikan pada


bising usus dari hari ke hari selama massase abdomen. Namun, mulai
massase abdomen ke-8 hingga 13 bising usus setelah massase secara
konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase.

Evaluasi terhadap intervensi pada diagnosis lainnya yaitu pada gangguan


pola napas, klien dapat memperagakan kembali cara posisi semifowler
dan tripod, frekuensi napas 24 kali per menit dan masih terdapat
penggunaan otot bantu napas. Pada risiko jatuh, tidak terjadi kejadian
jatuh selama minggu-minggu intervensi, namun skor MFS masih sama
dan belum terdapat perubahan dalam mobilisasi.

3.3 Asuhan Keperawatan Klien Resume 2


3.3.1 Pengkajian, Analisis Data, dan Diagnosis Keperawatan
3.3.1.1 Identitas Pasien
Klien resume 2 adalah nenek E (89 tahun).

3.3.1.2 Riwayat Kesehatan dan Kebiasaan Sehari-Hari


Klien resume ini memiliki kriteria yang sama yaitu mengalami
konstipasi (frekuensi defekasi menurun, karakteristik feses yang
keras, kering, dan sulit dikeluarkan, mengedan saat defekasi,
serta bising usus hipoaktif (kurang dari 5 kali per menit)). Nenek
E tidak mengonsumsi obat rutin.

3.3.1.3 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi tidak tampak
distensi abdomen, pada auskultas bising usus kurang dari 5 kali
per menit, pada palpasi tidak ada massa, dan perkusi timpani.
Klien memiliki fungsi kognitif yang cukup baik, yaitu dengan
nilai MMSE 26 dan tidak depresi, yaitu dengan nilai GDS 5.
Nenek E memiliki kekuatan otot 4444 4444 , RPS aktif, barthel
4444 4444

indeks 75 (mandiri), skor MFS 65 (risiko tinggi jatuh). Nenek E


memiliki status gizi normal (BB = 45, TB = 148 cm, IMT =
20,55 kg/m2). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang
didapatkan yaitu suhu 36,80C, nadi 72 kali per menit, tekanan
darah 100/70 mmHg, dan pernapasan 24 kali per menit. Klien
sering mengalami kesemutan pada jari-jari ekstremitas dan asam
urat 7,5 mg/dl.

3.3.1.4 Constipation Scoring System (CSS)


Nenek F memiliki total skor CSS yaitu 17. Berdasarkan CSS,
nenek E mengalami gejala konstipasi yang meliputi frekuensi
defekasi 1 kali seminggu, selalu mengalami kesulitan saat
defekasi (mengedan), selalu merasa tidak tuntas setelah defeksi,
namun jarang merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut,
lama berlangsungnya proses defekasi 20-30 menit, tidak
menggunakan bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi,
tidak berhasil defekasi dalam 24 jam 1-3 kali, serta riwayat
konstipasi dalam setahun terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10
kali).

Dari data pengkajian, didapatkan masalah atau diagnosis keperawatan


konstipasi, gangguan rasa nyaman, dan risiko jatuh.
3.3.2 Rencana Intervensi
Rencana intervensi yang dilakukan pada klien resume 2 untuk mengatasi
diagnosis konstipasi juga sama dengan klien kelolaan, yaitu manajemen
konstipasi (0450), dengan hasil yang diharapkan yaitu bowel elimination
(0501). Untuk mengatasi gangguan rasa nyaman, rencana intervensi
yang dilakukan yaitu positioning (0840) dan pain management (1400),
dengan hasil yang diharapkan yaitu pain level (2102). Untuk mengatasi
risiko jatuh, rencana intervensi yang dilakukan juga sama dengan klien
resume 1 yaitu pencegahan jatuh (6490), dengan hasil yang diharapkan
yaitu kejadian jatuh (1912).

3.3.3 Implementasi
Ketiga intervensi utama yaitu massase abdomen, posisi defekasi, dan
pemberian cairan juga dilakukan dengan tahapan yang sama kepada
nenek E. Pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan harian, yaitu 45(30-
35) cc/hari atau 1350-1575 cc/hari atau 5-6 gelas per hari. Implementasi
dimulai lebih terlambat daripada klien lainnya, yaitu sejak 13 Mei 2016
sehingga lama pemberian ketiga intervensi utama lebih singkat
dibandingkan dengan klien lainnya, yaitu hanya selama 12 hari.
Pemberian posisi defekasi dilakukan sebanyak 1-2 kali selama
intervensi. Nenek E juga memiliki motivasi rendah untuk melakukan
posisi defekasi setelah massase karena khawatir jatuh, sehingga klien
lebih banyak dimotivasi untuk mengaplikasikan secara mandiri. Pada
minggu kedua dan ketiga intervensi juga tidak dilakukan berkelanjutan
setiap hari dikarenakan kondisi klien yang tidak memungkinkan seperti
adanya kegiatan keagamaan di panti yang tidak dapat ditinggalkan.
Intervensi lain yang mendukung ketiga intervensi utama untuk
mengatasi konstipasi juga dilakukan, yaitu sama dengan pada klien
resume 1. Untuk mengatasi gangguan rasa nyaman, pada klien dilakukan
kompres hangat di kepala dan ektremitas dan memberikan posisi tidur
yang nyaman. Untuk mengatasi risiko jatuh, klien diajarkan latihan
pergerakan sendi dan memotivasi mengikuti senam secara rutin, serta
mengedukasi tentang penggunaan lingkungan yang aman.

3.3.4 Evaluasi
Klien juga mengalami penurunan keparahan konstipasi. Nilai CSS
menurun dari 16 menjadi 7. Berdasarkan CSS, nenek E memiliki
frekuensi defekasi 3-4 kali seminggu, kadang-kadang mengalami
kesulitan saat defekasi (mengedan), kadang-kadang merasa tidak tuntas
setelah defeksi, tidak merasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut,
lama berlangsungnya proses defekasi 10-20 menit, tidak menggunakan
bantuan laksatif atau enema untuk dapat defekasi, tidak pernah tidak
berhasil defekasi dalam 24 jam, serta riwayat konstipasi dalam setahun
terakhir yaitu 2 bulan terakhir (5-10 kali).

Pada minggu pertama, klien tidak mengalami perubahan pola defekasi.


Klien defekasi pada 15 Mei 2016 dengan karakteristik feses sedikit keras
dan sedikit yang keluar, warna kuning pucat, mengedan, tidak ada darah,
dan tidak nyeri. Bising usus juga belum mengalami perbaikan yaitu 1-5
kali per menit.

Pada minggu kedua, klien defekasi pada 17 Mei 2016 dengan


karakteristik feses lebih banyak dari biasanya, namun masih agak keras
dan sedikit mengedan. Bising usus pada minggu kedua bervariasi, yaitu
2-10 kali per menit.

Pada minggu ketiga, defekasi selanjutnya terjadi pada 24 Mei 2016


dengan karakteristik feses lunak dan banyak serta tidak mengedan.
Kemudian, klien dapat defekasi kembali pada 28 Mei 2016 dengan
karakteristik feses yang cukup banyak, warna kekuningan, dan tidak
mengedan. Namun, bising usus mengalami penurunan yang signifikan
yaitu menjadi 4 kali per menit.
Pada minggu terminasi, klien dapat defekasi sebanyak 3 kali seminggu
yaitu pada 6, 7, dan 9 Juni 2016. Karakteristik defekasi dan feses pada
minggu 6 Juni 2016 yaitu tidak begitu keras, warna cokelat, banyak,
tidak berbau, tidak mengedan, tidak ada darah, dan tidak nyeri. Pada 7
dan 9 Juni 2016, karakteristik defekasi dan feses sama dengan beberapa
hari sebelumnya namun feses berwarna keabuan. Namun, bising usus di
bawah rentang normal, yaitu 4 kali per menit. Hasil pengkajian CSS kembali, yaitu pada nenek E total skor menurun menj
keparahan konstipasi berkurang.

Tabel 3.3 Evaluasi Intervensi Utama pada Nenek E selama 6 Minggu


Minggu ke- Waktu Karakteristik Karakteristik Bising usus
Defekasi feses defekasi Sebelum Setelah
massase massase
1 minggu 8 Mei Keras, sedikit, Kadang tidak 2 x/menit -
sebelum 2016 tidak ada darah keluar,
mengedan,
kadang nyeri
1 15 Mei Sedikit keras dan Mengedan, tidak 1-10 1-5 x/
2016 sedikit yang nyeri x/menit menit
keluar, warna
kuning pucat, tidak
ada darah Mengedan, tidak
nyeri
Hijau, lebih
banyak dari biasa,
feses yang keras
berkurang, tidak
ada darah
2 17 Mei Lebih banyak dari Sedikit 2-6 2-10 x/
2016 biasanya, masih mengedan, tidak x/menit menit
agak keras nyeri
3 24 Mei Lunak dan banyak Tidak 1 x/menit 4
2016 mengedan, tidak x/menit
nyeri
Tidak
28 Mei Cukp lunak, cukup mengedan, tidak
2016 banyak, nyeri
kekuningan
4 3 Juni Kehijauan, cukup Tidak - -
2016 lancar, cukup mengedan, tidak
banyak nyeri

4 Juni Kehijauan, cukup Tidak


2016 banyak, cukup mengedan, tidak
Minggu ke- Waktu Karakteristik Karakteristik Bising usus
Defekasi feses defekasi Sebelum Setelah
massase massase
lancar nyeri
1 minggu 6 Juni Tidak begitu keras, Tidak - 4 x/
setelah 2016 cokelat, banyak, mengedan, tidak menit
(terminasi) tidak berbau, ada nyeri
darah

7 Juni Tidak begitu keras, Tidak


2016 cokelat, banyak, mengedan, tidak
tidak berbau, nyeri
keabuan
9 Juni Tidak begitu keras, Tidak
2016 cokelat, banyak, mengedan, tidak
tidak berbau, nyeri
keabuan,

Berdasarkan tabel 3.3, frekuensi defekasi, karakteristik feses dan


defekasi mengalami perbaikan yang signifikan saat minggu terminasi. Namun, bising usus masih di bawah nilai no

Grafik 3.5 Perkembangan Frekuensi Defekasi Nenek E selama 6 Minggu


FREKUENSI DEFEKASI

FREKUENSI DEFEKASI PER MINGGU


4
3
2
1
0

Mg-1
1 Mg
2 1 Mg
32 Mg4 3 5Mg 4Mg+16

MINGGU (Mg KE-)

Berdasarkangrafik3.5,frekuensidefekasinenekEmengalami
perbaikan pada satu minggu setelah intervensi.
Grafik 3.6 Perkembangan Bising Usus Nenek E selama 12 Kali Massase
Abdomen

BISING USUS NENEK E SEBELUM DAN SETELAH MASSASE ABDOMEN


12

BISING USUS
10
8
6

4 E Sebelum
2 E Setelah
0

12345678910 11 12
MASSASE KE-

Berdasarkan grafik 3.6, bising usus nenek E tidak mengalami perbaikan


yang signifikan dari hari ke hari selama massase abdomen. Namun,
mulai massase abdomen ke-4 hingga 12 bising usus setelah massase
secara konsisten lebih tinggi daripada sebelum massase.

Hasil yang didapat dari intervensi dalam mengatasi gangguan rasa


nyaman yaitu klien merasa lebih nyaman setelah intervensi. Pada risiko
jatuh, tidak ada kejadian jatuh selama intervensi, namun skor MFS
masih sama dengan sebelumnya.

3.4 Perbandingan Hasil Intervensi


Intervensi utama yang dilakukan dalam mengatasi konstipasi pada klien
kelolaan dan resume menghasilkan perubahan pada pola eliminasi dan fungsi
pencernaan. Frekuensi defekasi secara umum mengalami peningkatan dari
minggu ketiga hingga minggu terminasi. Bising usus tidak mengalami
perbaikan yang signifikan dan cenderung tidak stabil pada setiap kali massase
abdomen. Namun pada minggu terminasi, didapatkan hasil perbaikan pada
pengkajian Constipation Scoring System (CSS), yaitu pada pra intervensi (satu
minggu sebelum intervensi) untuk nenek A, F, dan E yaitu 16 dan hasil yang
didapatkan saat pasca intervensi atau terminasi (satu minggu setelah
intervensi) yaitu nenek A = 6, nenek F = 8, dan nenek E = 7. Selain itu, bising
usus dua dari tiga lansia telah berada dalam rentang normal, yaitu pada nenek
A 8 x/menit dan nenek F 5 x/menit, sedangkan nenek E 4 x/menit. Hasil ini
menunjukkan berkurangnya keparahan konstipasi yang dialami klien kelolaan
dan resume.

Grafik 3.7 Perbandingan Frekuensi Defekasi Ketiga Lansia


FREKUENSI DEFEKASI

PERBANDINGAN FREKUENSI DEFEKASI TIGA LANSIA


5
4
3
2 A
1 F
0
E
1 2Mg-1Mg 1Mg
3 2Mg 3Mg44 5 Mg+1
6

MINGGU (Mg) KE-

ukkan peningkatan. Klien kelolaan (A) mengalami peningkatan yang paling signifikan yaitu 4 kali defekasi dalam seminggu. K
BAB 4
ANALISIS SITUASI

Pada BAB ini, akan dibahas mengenai analisis situasi tempat praktik dan
intervensi yang telah dilakukan dengan membandingkan tinjauan pustaka dan
asuhan keperawatan terutama intervensi utama atau unggulan yang telah
dilakukan.

4.1 Analisis Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Konstipasi di


Perkotaan
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) didefinisikan sebagai tempat pelayanan
bagi lansia yang terlantar (Kementerian Sosial RI, 2004). Dari sekian jenis
tempat pelayanan keperawatan bagi lansia, panti werdha atau PSTW dapat
dikategorikan ke dalam jenis nursing home. Hal tersebut didasarkan pada
fungsi nursing home yang membantu aktivitas sehari-hari lansia (Miller,
2012). Selain itu, menurut Miller (2012), nursing home juga menyediakan
pelayanan keperawatan dan medis, konsultasi kesehatan, serta terapi
rehabilitasi yang juga tersedia di PSTW. Namun, kondisi di panti werdha
khususnya di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas belum dapat menjalankan
fungsinya sebagai nursing home secara optimal. Nursing home seharusnya
diawasi oleh registered nurse atau praktisi keperawatan yang bersertifikat
(Miller, 2012). Di panti belum terdapat pengawasan seperti itu sehingga
kurangnya pengawasan membuat pelayanan keperawatan gerontik di PSTW
belum optimal. Selain itu, jumlah perawat juga tidak sebanding dengan
populasi lansia, seperti di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas hanya terdapat 4-5
perawat untuk sekitar 140 lansia yang dapat ditampung berdasarkan data
Pemerintah Kota DKI Jakarta (2016), sehingga hal ini menjadi hambatan
dalam memberikan pelayanan keperawatan gerontik yang menyeluruh.

Masalah konstipasi teridentifikasi di setiap wisma di PSTW Budi Mulia 1


Ciracas. Berdasarkan hasil pengkajian, 10 lansia di wisma Melati, 6 lansia di
wisma Mawar, 6 lansia di wisma Anggrek, 9 lansia di wisma Cendrawasih,
dan 7 lansia di wisma Garuda mengalami konstipasi. Selain itu, seorang
perawat vokasional melaporkan bahwa lansia tidak dapat defekasi selama
lebih dari 7 hari setelah diberikan obat diare.

Lansia di perkotaan berisiko mengalami konstipasi. Hanya sebagian kecil


dari lansia di perkotaan dengan konstipasi yang mencari pengobatan sehingga
masalah konstipasi cenderung dibiarkan terjadi (Chu, Zhong, Zhang, Zhang,
& Hou, 2014). Perpindahan lansia dari desa ke kota menyebabkan
terancamnya sosioekonomi lansia perkotaan (Kementerian Kesehatan RI,
2013). Pada studi yang dilakukan oleh Chu, Zhong, Zhang, Zhang, dan Hou
(2014), didapatkan bahwa kejadian konstipasi pada lansia di daerah pedesaan
(14,1%) lebih besar daripada perkotaan (12%). Hal tersebut berkaitan dengan
sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah di daerah pedesaan. Oleh
karena itu, sosioekonomi yang rendah pada lansia di perkotaan di Indonesia
juga menyebabkan risiko konstipasi dan cenderung tidak menjadi prioritas
untuk ditangani seperti definisi dari PSTW sebagai tempat bagi lansia
terlantar sehingga sebagian besar memiliki sosioekonomi yang rendah.

Berdasarkan penelitian Daniyam, Malu, Okeke, dan Agaba (2011), kejadian


konstipasi pada lansia di perkotaan (2,8%) lebih tinggi daripada di pedesaan
(0,8%). Penggunaan alkohol dan kurangnya aktivitas fisik menyebabkan
konstipasi pada lansia di perkotaan (Daniyam, Malu, Okeke, & Agaba, 2011).
Obat-obatan seperti antihipertensi juga menyebabkan konstipasi pada lansia
(Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Penggunaan obat
antihipertensi pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas dapat memberi efek
samping berupa konstipasi pada lansia. Selain itu, kurangnya privasi untuk
defekasi sehingga lansia menahan defekasi juga menyebabkan konstipasi
(Wallace, 2008). Selain itu, defekasi dengan menggunakan toilet duduk
seperti di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas juga dapat menyebabkan konstipasi
(Sinkirov, 2003).
4.2 Analisis Intervensi Utama (Massase Abdomen, Posisi Defekasi, dan
Pemberian Cairan)
Terdapat tiga jenis intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah
konstipasi pada ketiga lansia yaitu massase abdomen, posisi defekasi, dan
pemberian cairan. Tujuan dari intervensi ini yaitu untuk meningkatkan
eliminasi fekal lansia yang ditandai dengan konstipasi berkurang, pola
eliminasi meningkat, feses yang lembut dan berbentuk meningkat, serta
bising usus meningkat. Keberhasilan intervensi juga ditentukan dari hasil
constipation scoring system (CSS) pada saat terminasi.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi pada lansia bersumber


dari jurnal. Jurnal penelitian yang menjadi acuan adalah penelitian Sikirov
(2003) dan Sakakibara, et al. (2010) mengenai posisi defekasi; McClurg,
Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) mengenai massase abdomen; serta
tampubolon (2008) dan Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015) mengenai
pemberian cairan. Selain itu, penelitian Kritamuliana (2015) mengenai
massase abdomen dan posisi defekasi juga menjadi acuan dalam intervensi
KIAN ini.

4.2.1 Massase Abdomen


Ketiga intervensi utama dilakukan selama 15 hari pada klien keloaan
sama dengan penelitian tesis Kritamuliana (2015). Menurut penelitian
McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, massase abdomen dapat
mengurangi konstipasi jika dilakukan selama 4 minggu dan dilakukan 5
hari dalam seminggu, sedangkan menurut Kim, Sakong, Kim, Kim, dan
Kim (2015) massase abdomen dapat dilakukan selama 10 hari. Namun,
ketiga intervensi utama hanya dapat dilakukan selama 13 hari pada
klien resume 1 dan 12 hari pada klien resume 2, sehingga memberikan
hasil yang berbeda di antara ketiga klien intervensi.

Massase abdomen yang dilakukan pada klien kelolaan dan resume


meningkatkan frekuensi defekasi ketiga klien. Pada minggu keempat,
klien kelolaan mengalami peningkatan frekuensi defekasi yaitu menjadi
3 kali dalam seminggu dan pada minggu terminasi sebanyak 4 kali
dalam seminggu, sedangkan pada satu minggu sebelum massase
abdomen, klien hanya dapat defekasi 5-7 hari sekali. Namun, pada
minggu pertama dan kedua intervensi, serta pada minggu ketiga yang
mana tidak dapat dilakukan massase abdomen, peningkatan frekuensi
defekasi belum terjadi. Hasil ini sesuai dengan penelitian McClurg,
Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) dan Kristamuliana (2015)
yang mendapatkan adanya peningkatan frekuensi defekasi setelah
dilakukannya massase abdomen.

Hasil yang berbeda terjadi pada klien resume 1 dan 2. Pada klien
resume 1, tidak terjadi peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan,
yaitu dari satu kali seminggu pada sebelum intervensi menjadi dua kali
seminggu pada minggu terminasi. Pada minggu kedua tidak dilakukan
massase abdomen secara teratur setiap hari. Pada resume 2, peningkatan
frekuensi defekasi lebih tinggi daripada resume 1, yaitu dari satu kali
seminggu menjadi tiga kali seminggu. Sama seperti klien resume 1,
pada minggu kedua dan ketiga, massase abdomen tidak dilakukan
secara teratur setiap hari pada klien resume 2 sehingga tidak terjadi
peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan. Selain itu, berbeda
dengan klien kelolaan, klien resume 1 hanya mendapatkan massase
abdomen sebanyak 13 hari dan resume 2 sebanyak 12 hari. Keteraturan
dan kurangnya massase abdomen yang dilakukan menurut penulis
menjadi penyebab hasil intervensi tersebut, sesuai dengan penelitian
McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) bahwa massase
abdomen dapat efektif mengatasi konstipasi setelah dilakukan selama 4
minggu (5 hari setiap minggu).

Selain frekuensi defekasi, karakteristik feses dan defekasi pada ketiga


lansia mengalami perbaikan setelah intervensi. Pada minggu terminasi,
klien kelolaan melaporkan defekasi tidak mengedan sehingga lebih
cepat, serta feses yang cukup lembut dan dapat dikeluarkan secara
tuntas, berwarna sedikit gelap dan berbau biasa. Klien resume 1 juga
melaporkan defekasi dengan sedikit mengedan sehingga lebih cepat dari
biasa, serta feses yang cukup lembut dan dapat dikeluarkan secara
tuntas. Klien resume 2 juga melaporkan defekasi dengan sedikit
mengedan sehingga lebih cepat dari biasa, serta feses yang juga cukup
lembut dan dapat dikeluarkan tuntas. Mengedan memang diperlukan
dalam defekasi untuk meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga
feses dapat dikeluarkan (Sherwood, 2012). Namun, dengan massase
abdomen tekanan intraabdomen dapat ditingkatkan, sehingga upaya
mengedan dapat berkurang (McClurg & Lowe-Strong, 2011).

Massase abdomen dapat meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS,


2014). Selain itu, setiap teknik gerakan yang digunakan dalam massase
abdomen memberi efek positif yang berbeda terhadap sistem
pencernaan (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011). Fungsi
tersebut meliputi (1) pengusapan pada area saraf vagus merangsang
persarafan sistem pencernaan sehingga merangsang gerakan peristaltik;
(2) pengusapan pada kolon menuju rektum merangsang pergerakan
feses ke dalam rektum; (3) pemerasan pada kolon memecahkan feses
terutama pada feses yang menumpuk di rektum sehingga feses lebih
mudah dikeluarkan; (4) pengusapan kolon mendorong feses bergerak ke
rektum kembali; serta (5) vibrasi pada dinding abdomen membantu
pengeluaran gas (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011;
NHS, 2014). Oleh karena itu, hasil intervensi sebagian sesuai dengan
penelitian sebelumnya.

Bising usus pada setiap setelah massase abdomen pada ketiga klien
tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dibandingkan dengan
sebelum massase abdomen. Namun, pada minggu terminasi, bising usus
dua dari tiga lansia telah normal. Bising usus adalah suara yang
dihasilkan dari kontraksi otot-otot usus besar dan kecil sehingga cairan
dan isi usus bergerak ke rektum (Timby, 2009). Bising usus normal
pada lansia adalah 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bising usus
menunjukkan adanya gerak peristaltik usus (Miller, 2012). Massase
abdomen yang dilakukan seharusnya dapat meningkatkan bising usus.
Menurut McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) gerakan
mengusap area saraf vagus dapat merangsang persarafan sistem
pencernaan yang mengatur proses pencernaan, sehingga hasil intervensi
tidak sesuai dengan penelitian ini. Tidak terjadinya perbaikan bising
usus yang signifikan, menurut penulis berkaitan dengan penuaan pada
lansia. Otak lansia menjadi tidak peka terhadap gerak peristaltik pada
kolon (Miller, 2012). Saraf lansia menjadi kurang peka dan gagal dalam
melaksanakan rangsangan untuk defekasi (Stanley & Beare, 2006).
Selain itu, pada lansia, jumlah neuron pada pleksus mienterika
berkurang dan respon terhadap stimulus langsung seperti massase
abdomen terganggu sehingga persarafan tidak berfungsi optimal
(Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012).

4.2.2 Posisi Defekasi


Posisi defekasi yang diberikan yaitu posisi duduk yang didukung
dengan kursi setinggi 8 inchi pada kaki lansia dan pemasangan poster
posisi defekasi pada kamar mandi ketiga lansia. Pemilihan kursi sama
dengan penelitian Kristamuliana (2015). Hasil yang didapat dari
intervensi ini yaitu ketiga lansia merasa lebih mudah dalam
mengeluarkan feses dan mengedan berkurang dibandingkan dengan
posisi duduk biasanya. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Kristamuliana (2015) yang menyebutkan bahwa posisi defekasi tersebut
mempercepat keluarnya feses. Sikirov (2003) juga menyebutkan bahwa
dengan posisi jongkok saat defekasi menyebabkan eliminasi yang lebih
cepat dan lebih lampias dibandingkan dengan posisi duduk. Selain itu,
posisi jongkok atau posisi duduk dengan panggul difleksikan dapat
menyebabkan mengedan dan tekanan pada abdomen berkurang
dibandingkan dengan posisi duduk (Sakakibara, et al., 2010). Oleh
karena itu, masih dirasakannya upaya mengedan yang sedikit pada klien
resume 1 dan 2 menurut penulis berkaitan dengan kurangnya penerapan
posisi defekasi ini pada setiap kali defekasi dikarenakan kurangnya
motivasi atau kekhawatiran akan terjadi jatuh pada klien. Gangguan
mobilisasi pada klien resume 1 menyebabkan kurangnya penerapan
posisi defekasi.

4.2.3 Pemberian Cairan


Pemberian cairan hangat setelah makan dianjurkan dalam NIC (2013)
untuk mengatasi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Saat cairan masuk lambung, terjadi gastrorefleks
sehingga dapat merangsang defekasi (Sherwood, 2012). Tampubolon
(2008) juga menyebutkan bahwa minum air di pagi hari setelah bangun
tidur membantu meningkatkan frekuensi defekasi dan menyebabkan
defekasi pada klien konstipasi. Selain itu, menurut Patel, Patel, Patel,
dan Sen (2015), minum air hangat secara teratur terutama di pagi hari
dapat meningkatkan eliminasi fekal. Hal tersebut sejalan dengan hasil
intervensi ini bahwa ketiga lansia mengalami peningkatan frekuensi
defekasi yang cukup signifikan pada minggu terminasi, sehingga selain
dengan massase abdomen, frekuensi defekasi dapat ditingkatkan dengan
pemberian cairan. Hal tersebut didasarkan karena asupan cairan yang
tidak adekuat menyebabkan melambatnya pergerakan feses dalam
kolon dan sedikitnya jumlah feses yang dapat dikeluarkan (Anonymous,
2008). Selain itu, feses yang terlalu lama menumpuk dalam kolon
menyebabkan kolon menyerap air dari feses sehingga feses menjadi
kering dan keras (Sherwood, 2012). Menurut penulis, kurangnya
penerapan asupan cairan yang adekuat pada klien resume 1 akibat
kurangnya motivasi dan kesulitan menyediakan minum karena
gangguan mobilisasi yang dialami mengakibatkan belum terjadinya
peningkatan frekuensi defekasi yang signifikan pada minggu terminasi.
Selain itu, kebiasaan minum yang lebih adekuat pada klien resume 2
dan adanya bantuan lansia lain dalam satu kamar menyebabkan
frekuensi defekasi yang lebih banyak daripada klien resume 1.

4.3 Keterbatasan dan Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan


Kendala atau keterbatasan dalam KIAN ini yaitu penulis tidak dapat
mengevaluasi secara langsung karakteristik feses dan defekasi pada klien
kelolaan dan resume sehingga evaluasi secara objektif menjadi terbatas.
Padahal, evaluasi terhadap karakteristik feses termasuk dalam evaluasi
intervensi keperawatan berdasarkan NIC (2013) (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Penulis mendapatkan data evaluasi mengenai
karakteristik feses dan defekasi berdasarkan subjektif klien, kemudian
diperkuat dengan hasil pemeriksaan fisik abdomen pada minggu terminasi.
Hal tersebut dikarenakan jadwal defekasi klien di waktu-waktu yang tidak
dapat dijangkau penulis seperti di waktu subuh, malam, ataupun sore hari di
saat penulis tidak pada shift sore. Namun, hal ini telah diantisipasi terlebih
dahulu dengan membuat kriteria tertentu pada lansia yang akan dijadikan
sebagai klien kelolaan dan resume, yaitu lansia dengan fungsi kognitif yang
baik melalui MMSE (Mini Mental State Examination) serta lansia yang tidak
memiliki gangguan depresi melalui GDS (Geriatric Depression Scale) dan
gangguan mental lainnya yang diketahui melalui rekam medis klien sehingga
dapat dipastikan klien kooperatif dan mampu mengingat karakteristik feses
dan defekasinya. Selain itu, penulis pernah mendapatkan laporan dari salah
satu perawat di wisma klien bahwa klien defekasi dengan karakteristik feses
yang cair beberapa kali pada 22 Mei 2016 sehingga dapat menjadi tambahan
evaluasi objektif. Untuk mendukung evaluasi objektif, penulis mendapatkan
data objektif dari pemeriksaan fisik abdomen yang dilakukan setiap intervensi
massase abdomen sehingga mendukung evaluasi subjektif dari lansia. Selain
itu, pemeriksaan fisik abdomen pada saat intervensi juga mendukung evaluasi
objektif yang memperkuat evaluasi subjektif lansia.

Keterbatasan lainnya yaitu mengenai massase abdomen. Massase abdomen


sebaiknya dilakukan secara rutin setiap hari sesuai dengan penelitian
sebelumnya (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011;
Kristamuliana, 2015). McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011)
melakukan massase abdomen 5 hari setiap minggu selama 4 minggu dan
Kristamuliana (2015) rutin selama 15 hari. Pada minggu ketiga, pada klien
kelolaan, massase abdomen tidak dapat dilakukan karena klien baru saja
mendapat tindakan bedah terhadap salah satu mata yang mengalami katarak.
Massase abdomen tidak dapat dilakukan karena dapat merangsang valsava
manuver yang dapat berdampak pada mata, sedangkan terjadi perbaikan pada
pola eliminasi dan karakteristik feses di minggu tersebut, sehingga massase
abdomen dihentikan selama satu minggu yaitu sampai klien kontrol kembali
ke rumah sakit. Namun, pada minggu tersebut, intervensi lainnya seperti
posisi defekasi dan pemberian cairan tetap dilakukan, meskipun posisi
defekasi tidak dilakukan secara rutin untuk meminimalkan risiko jatuh. Oleh
karena itu, kejadian ini berdampak pada tidak adanya perubahan yang
signifikan pada frekuensi defekasi di minggu tersebut.

Pemantauan cairan juga menjadi keterbatasan. Lansia yang dilakukan


intervensi seharusnya dapat mengonsumsi 30-35 cc/kg/hari (National
Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace, 2008). Pemantauan
cairan dilakukan dengan menanyakan berapa gelas atau botol cairan yang
dihabiskan pada hari sebelumnya. Pemantauan seperti ini dilakukan hampir
setiap hari, kecuali pada hari minggu. Namun, terkadang lansia lupa berapa
banyak cairan yang telah diminumnya dalam sehari. Untuk mengatasi
permasalahan ini, penulis telah membuatkan jadwal minum harian. Namun,
dua dari tiga lansia mengeluhkan kurang jelasnya pandangan sehingga
mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, hanya lansia resume 1
yang mampu mencatatnya sendiri. Oleh karena itu, jadwal minum harian
tersebut diisi oleh penulis pada hari berikutnya sehingga kurang efektif sama
seperti sebelumnya.

Intervensi pada klien resume juga mengalami keterlambatan. Hai ini


dikarenakan berubahnya lansia yang dijadikan klien resume. Pada awalnya,
penulis mendapatkan lansia pria yang akan dilakukan intervensi, namun
setelah pengkajian pada seluruh lansia di panti, konstipasi lebih banyak
dialami oleh lansia wanita sesuai dengan Miller (2012) dan gejala konstipasi
tidak prioritas dirasakan lansia tersebut sehingga penulis mencari klien
lainnya. Setelah pengkajian menyeluruh pada tiga lansia, klien resume 2 tiba-
tiba tidak bersedia diberikan intervensi sehingga pada klien resume
mengalami keterlambatan yang berdampak pada lebih singkatnya intervensi
yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, lamanya waktu intervensi ketiga lansia
berbeda. Namun, untuk mengatasi hal tersebut, penulis mengupayakan
intervensi dilakukan minimal 10 kali sesuai dengan penelitian sebelumnya,
bahwa massase abdomen dilakukan 10-20 kali (McClurg, Hagen, Hawkins, &
Lowe-Strong, 2011; Kim, Sakong, Kim, Kim, & Kim, 2015).

Selain ketiga intervensi utama atau unggulan, intervensi lainnya dalam


mengatasi konstipasi juga dilakukan untuk mendukung intervensi. Intervensi
tersebut yaitu edukasi kesehatan tentang konstipasi dan cara menanganinya,
menganjurkan dan memantau diet tinggi serat seperti konsumsi sayuran, buah-
buahan, dan kacang-kacangan sesuai dengan Miller (2012), membantu klien
hingga dapat mengikuti senam secara rutin dua kali seminggu dan memandu
gerakan senam pada klien kelolaan dan resume 1, serta mengajarkan klien
berlatih mengayuh sepeda di tempat tidur. Intervensi tambahan ini membantu
mengatasi keterbatasan intervensi.
BAB 5
PENUTU
P

Pada BAB ini, akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari penulisan KIAN
ini.

5.1 Kesimpulan
5.1.1 Sebanyak 30,4% lansia di PSTW Budi Mulia 1 Ciracas mengalami
konstipasi. Terdapat 3 lansia yang memiliki tanda dan gejala konstipasi
yaitu penurunan frekuensi defekasi (≤ 3 kali seminggu), karakteristik
feses yang keras, pengeluaran feses yang tidak tuntas, serta adanya
upaya mengedan saat defekasi selama < 3 bulan terakhir.
5.1.2 Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan pada ketiga lansia.
5.1.3 Rencana intervensi yang dapat dilakukan pada ketiga lansia yaitu
massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan. Hasil yang
diharapkan yaitu meningkatnya eliminasi fekal.
5.1.4 Implementasi massase abdomen, posisi defekasi, dan pemberian cairan
dilakukan selama 15 hari pada klien kelolaan, 13 hari pada klien resume
1, dan 12 hari pada klien resume 2. Implementasi dilakukan pada waktu
yang sama dan selama ± 15 menit pada massase abdomen.
5.1.5 Hasil intervensi yaitu massase abdomen meningkatkan frekuensi
defekasi, posisi defekasi mengurangi upaya mengedan, dan pemberian
cairan membantu meningkatkan frekuensi defekasi.

5.2 Saran
5.2.1 Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil dari intervensi yang meliputi massase abdomen, posisi defekasi,
dan pemberian cairan menunjukkan berkurangnya masalah konstipasi
yang dialami lansia serta meningkatnya eliminasi fekal lansia.
Keterbatasan penulis berupa pemantauan karakteristik feses dan defekasi
lansia secara langsung sebaiknya menjadi perhatian bagi peneliti
selanjutnya sehingga intervensi yang dilakukan tersebut dapat
dikembangkan di masa yang akan datang.

5.2.2 Pelayanan Keperawatan


Perawat gerontik memiliki peran yang besar dalam merawat lansia
dengan konstipasi. Perawat yang bekerja di tempat pelayanan
ajari teknik massase abdomen dan intervensi baru seperti posisi defekasi dan pemberian cairan sehingga pelayanan kepera
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2008). Management of constipation in older adults. Australian


Nursing Journal, 16(5): 32.
https://www.researchgate.net/publication/23569890_Management_of_con
stipation_in_older_adults.
Arenson, C., et al. (2009). Reichel’s care of elderly 6th ed. New York: Cambridge
University.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2014).
Menuju lansia
paripurna
http://www.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=123.
Balqis, U.M. (2015). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masalah
masyarakat perkotaan pada bapak A (63 tahun) dengan masalah konfusi
kronik di wisma Garuda PSTW Budi Mulia 01 Ciracas, DKI Jakarta.
KIAN. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013).
Nursing intervention classification (NIC) 6th ed. St. Louis: Elsevier Mosby.
Capezuti, E.A., Siegler, E.L., & Mezey, M.D. (2008). The encyclopedia of elder
care 2nd ed. New York: Springer.
Chu, H., Zhong, L., H., Zhang, X., Zhang, J., Hou, X. (2014). Epidemiology
characteristics of constipation for general population, pediatric population,
and elderly population in China. Gastroenterol Res Pract. doi:
10.1155/2014/532734.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4216714/
Daniyam, C.A., Malu, A.O., & Okeke, E.N., & Agaba, E.I. (2011). Bowel habits
of urban and rural populations on the Jos Plateau, Nigeria. West African
Journal of Medicine, 30(3): 182–187.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22120483.
Everett, E. (2012). Hospice nurse perceptions of constipation and attitudes
towards abdominal massage. Tesis. Faculty of Gardner-Webb University
School of Nursing. digitalcommons.gardner-webb.edu/nursing_etd/114/.
Gallegos-Orozco, J.F., Foxx-Orenstein, A.E., Sterler, S.M, & Stoa, J.M. Chronic
constipation in the elderly. (2012). The American Journal of
Gastroenterology, 107:18–25. gi.org/wp-content/uploads/2012/10/4-
ajg2011349a.pdf.
Gallo, J.J., Bogner, H.R., Pulmer, T., & Paveza, G.J. (2006). Handbook of
geriatric assessment 4th ed. London: Jones and Bartlett.
Ginsberg, D.A., Phillips, S.F., Wallace, J., & Josephson, K.L. (2007). Evaluating
and managing constipation in the elderly. Urologic Nursing, 27(3):191-
200, 212. www.medscape.com/viewarticle/559895_1.
Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2014). Nursing diagnoses: Definitions &
classification. UK: Wiley Blackwell.
http://static1.squarespace.com
http://youmademethink.com
JBI. (2008). Management of constipation in older adults. JBI, 12(7).
connect.jbiconnectplus.org/viewsourcefile.aspx?0=453
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia.
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
lansia.pdf.
Kementerian Sosial RI. (2014). Glosarium penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=glosariumkesos&letter=p
Kim, M.A., Sakong, J.K., Kim, E.J., Kim, E.H., & Kim, E.H. (2015). Effect of
aromatherapy massage for the relief of constipation in the elderly. Taehan
Kanho Hakhoe Chi, 35(1):56-64.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15778557.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S.J. (2011). Buku ajar fundamental
keperawatan: Konsep, proses, dan praktik edisi 7 volume 1. Jakarta: EGC.
Kristamuliana. (2015). Pengaruh urut perut dan latihan eliminasi (uplanasi)
terhadap konstipasi pada lansia di PSTW di DKI JAKARTA. Tesis. Depok:
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Leung, L., Riutta, T., Kotecha, J., & Rosser, W. (2011). Chronic constipation: An
evidence-based review. J Am Board Fam Med, 24:436–451.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21737769.
Mauk, K.L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. London:
Jones and Bartlett.
McClurg, D., & Lowe-Strong, A. (2011). Does abdominal massage relieve
constipation?. Nursing Times, 107(12): 20-22.
http://www.nursingtimes.net/Journals/2013/01/18/m/y/j/290311Does-
abdominal-massage-relieve-constipation.pdf.
McClurg, D., Hagen, S., Hawkins, S., & Lowe-Strong, A. (2011). Abdominal
massage for the alleviation of constipation symptoms in people with
multiple sclerosis: A randomized controlled feasibility study. Multiple
Sclerosis Journal, 17 (2): 223-233.
www.csp.org.uk/sites/files/csp/secure/mcclurgdetal.pdf.
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing
outcomes classification (NOC) 5th ed. St. Louis: Elsevier Mosby.
NHS Foundation Trust. (2014). Abdominal Massage for Constipation.
http://www.guysandstthomas.nhs.uk/resources/patient-
information/gi/abdominal-massage-for-constipation.pdf.
Nusyirwan, S.S.O. (2008). Fisiologi manusia: Buku panduan kerja laboratorium
dasar keperawatan. Depok: FIK UI.
Oktariyani. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan pada bapak B (78 tahun) dengan masalah konstipasi di wisma
Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. KIAN. Depok:
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351487-PR-Oktariyani.pdf.
Patel, S., Patel, J., Patel, M., & Sen, D.J. (2015). Say yes to warm for remove
harm: Amazing wonders of two stages of water!. European Journal of
Pharmaceutical and Medical Research, 2(4): 444-460. www.ejpmr.com.
Pemerintah Kota DKI Jakarta. (2016). Panti sosial perlindungan.
http://www.jakarta.go.id/v2/sosialApp/index/30.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik edisi 4 volume 1. Jakarta: EGC.
Sakakibara, R., et al. (2010). Influence of body position on defecation in humans.
Lower Urinary Tract Symptoms, 2: 16–21
http://www.squattypotty.eu/files/5014/0950/0080/Japanese-study.pdf.
Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem edisi 6. Jakarta: EGC.
Sikirov, D. (2003). Comparison of straining during defecation in three positions.
Digestive Diseases and Sciences, 48(7): 1201–1205.
www.squattypotty.co.uk/downloads/pdf/straining-study.pdf.
Sinclair, M. (2010). The use of abdominal massage to treat chronic constipation.
Journal of Bodywork and Movement Therapies, xx: 1-10.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21943617.
Stanhope, M., & Knollmueller, R.N. (2008). Buku saku keperawatan komunitas:
Pengkajian, intervensi, dan penyuluhan. Jakarta: EGC.
Stanley, M., & Beare, P.G. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2.
Jakarta: EGC.
Tampubolon, L.F. (2008). Pengaruh terapi air terhadap proses defekasi pasien
konstipasi di RSU Sembiring Delitua Deli Serdang. Tesis. Depok: Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
http://lontar.ui.ac.id/detail.jsp?id=127216&lokasi=lokal
Timby, B.K. (2009). Fundamental nursing skills and concepts 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Wallace, M. (2008). Essentials of gerontological nursing. New York: Springer.
Wang, X., & Yin, J. (2015). Complementary and alternative therapies for chronic
constipation. http://dx.doi.org/10.1155/2015/396396.
Widyatuti, & Nurviyandari, D. (2013). Buku panduan praktek profesi
keperawatan gerontik. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Woodward, M., Moran, J., Ellicott, R., & Saunders, R. (2002). Constipation in
older people pharmacological management issues. Journal of Pharmacy
Practice and Research, 32(1): 37-43.
jppr.shpa.org.au/lib/pdf/2002_03/Woodward_GT.pdf.
Lampiran 1

Analisis Data Klien Kelolaan


Data Masalah Keperawatan
DS: Konstipasi
1. Nenek A mengatakan sudah 5 hari
tidak bisa BAB, feses sulit keluar,
keras, dan sedikit sehingga mengedan.
2. Nenek A mengatakan mengalami sulit
BAB sejak 2 bulan terakhir.
3. Nenek A mengatakan aktivitas fisik
menurun sejak tinggal di panti. Namun
masih mengikuti senam dua kali
seminggu.
4. Nenek A mengatakan minum ± 3 gelas
biasa per hari.

DO:
1. Bising usus 2 kali per menit.
2. Tidak tampak distensi abdomen.
3. Palpasi teraba lunak, tidak ada massa,
otot abdomen kurang lentur.
4. Perkusi abdomen timpani.
DS: Intoleransi aktivitas
Nenek A mengatakan sering pusing.

DO:
1. Nenek A memiliki tekanan darah
152/71 mmHg, frekuensi nadi 73
x/menit, frekuensi napas 21 x/menit,
dan suhu 35,80C.
2. Konjungtiva sedikit anemis.
3. Riwayat anemia.
4. Wajah tampak sedikit pucat.
5. Jalan sedikit lambat dan lemas.
DS: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Nenek A mengatakan batuk dengan sedikit
dahak sejak satu minggu lalu namun masih
dapat dibatukkan.

DO:
1. Suara napas ronchi kering di kedua
lapang paru.
2. Frekuensi napas 21 kali per menit.
Lampiran 2

Rencana Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan


Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC
DS: Domain 3: elimination Domain II-physiologic health Manajemen konstipasi (0450):
1. Nenek A mengatakan sudah 5 and exchange Kelas F-eliminasi 1. Pantau tanda dan gejala konstipasi.
hari tidak bisa BAB, feses Kelas 2: fungsi Hasil: bowel elimination 2. Jelaskan etiologi masalah dan rasional
sulit keluar dan sedikit. gastrointestinal (pembentukan dan evakuasi tindakan pada klien.
2. Nenek A mengatakan sering Diagnosa: konstipasi feses) (0501) 3. Buat jadwal defekasi.
mengalami sulit BAB sejak (00011) 4. Dorong meningkatkan asupan cairan
tinggal di panti. Indikator: sesuai kebutuhan (30-50 ml/kg BB per
3. Nenek A mengatakan Definisi: penurunan (050101) pola eliminasi hari) jika tidak ada kontraindikasi.
aktivitas fisik menurun sejak frekuensi normal defekasi meningkat 5. Anjurkan minum air hangat setelah
tinggal di panti. yang disertai kesulitan (050105) feses yang lembut makan. Anjurkan minum di pagi hari.
4. Nenek A mengatakan minum pengeluaran feses atau dan berbentuk meningkat 6. Ajarkan klien diet tinggi serat.
± 3 gelas per hari. tidak tuntas dan/atau (050112) kemudahan 7. Ajarkan klien mengenai hubungan diet,
pengeluaran feses yang mengeluarkan feses olahraga, dan asupan cairan terhadap
DO: keras dan kering meningkat konstipasi.
1. Bising usus 2 kali per menit. (050110) konstipasi berkurang 8. Dorong latihan: mengayuh sepeda statis,
2. Tampak distensi abdomen. (0501) Bising usus normal (3- jalan pagi, jalan setelah makan
3. Perkusi abdomen timpani. 6 kali per menit) 9. Ajarkan klien penggunaan laxatif yang
4. Palpasi teraba lunak, tidak sesuai.
ada massa, otot abdomen
kurang lentur. Manajemen bowel:
1. Mencatat defekasi terakhir.
2. Memantau karakteristik defekasi, bising
usus, dan tanda gejala konstipasi.
3. Mengajarkan klien mencatat
karakteristik fesesnya.
4. Mendorong konsumsi diet tinggi serat.
5. Memberikan air hangat setelah makan.

70
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC
6. Mengevaluasi efek medikasi terhadap
gastrointestinal.

Latihan bowel:
1. Membuat jadwal defekasi.
2. mengajarkan klien prinsip latihan.
3. Mengajarkan olahraga.
4. Menjaga privasi defekasi.
5. Memodifikasi program latihan.
DS: Domain 4: aktivitas/ Domain I-kesehatan fungsi Terapi latihan: mobilitas sendi (0224):
Nenek A mengatakan sering istirahat Kelas A-pertahanan energi 1. Menjelaskan tujuan dan rencana latihan.
pusing. Kelas 4: respon Hasil: toleransi aktivitas 2. Memantau lokasi ketidaknyamanan atau
kardiovaskuler dan (0005) nyeri selama pergerakan/aktivitas.
DO: pulmoner 3. Melindungi pasien dari trauma selama
1. Tekanan darah mmHg, Diagnosa: intoleransi Indikator: latihan.
frekuensi napas kali per aktivitas (00092) (000508) kemudahan bernapas 4. Membantu mengoptimalkan posisi
menit, kecepatan nadi kali per dengan aktivitas meningkat tubuh untuk pergerakan sendi aktif.
menit, dan suhu 0C. Definisi: ketidakcukupan (000518) kemudahan 5. Mendorong latihan RPS secara teratur,
2. Konjungtiva sedikit anemis. energi fisiologis dan melakukan ADL meningkat terencana, dan terjadwal.
3. Riwayat anemia. psikologis untuk menahan 6. Mengajarkan klien cara melakukan RPS
4. Wajah tampak sedikit pucat. atau melengkapi aktivitas secara sistematis.
5. Jalan sedikit lambat dan sehari-hari yang dibutuhkan 7. Membantu pergerakan sendi ritmik dan
lemas. atau diinginkan. teratur dalam keterbatasan terhadap
nyeri, ketahanan, dan mobilisasi.
8. Mendorong ambulasi.
9. Memberikan penguatan positif untuk
melakukan latihan.
Data Diagnosa Keperawatan NOC NIC
DS: Domain 11: keamanan Domain II-kesehatan Manajemen jalan napas (3140):
Nenek A mengatakan batuk /proteksi fisiologis 1. Posisikan pasien untuk potensi ventilasi
dengan sedikit dahak sejak satu Kelas 2: cedera fisik Kelas F-kardiopulmoner maksimal.
minggu lalu. Diagnosa: Hasil: status pernapasan: 2. Hilangkan sekret dengan mendorong
ketidakefektifan bersihan patensi jalan napas (0410) batuk.
DO: jalan napas (00031) 3. Mengajarkan batuk efektif.
1. Suara napas ronchi kering. Indikator: 4. Auskultasi suara napas, catat daerah
2. frekuensi napas kali per Definisi: ketidakmampuan (041004) frekuensi napas penurunan/tidak ada ventilasi dan suara
menit. membersihkan sekret atau normal (12-24 kali per menit) napas tambahan.
obstruksi saluran (041012) kemampuan 5. Dorong asupan cairan.
pernapasan untuk membersihkan sekret
mempertahankan kepatenan meningkat
jalan napas. (041007) suara napas
tambahan berkurang
(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013; Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013; Herdman & Kamitsuru, 2014)
Lampiran 3

Evaluasi Asuhan Keperawatan Klien Kelolaan


Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
Konstipasi 10/5/2016 1. Mengajarkan pengertian, penyebab, tanda dan S: nenek A mengatakan perut lebih enak dan
14.30-14.45 gejala, akibat konstipasi, cara pencegahan dan ringan, sebelum di massase terasa penuh.
14.45-14.50 perawatan konstipasi: massase abdomen (tidak O: otot abdomen tampak lebih lentur. Minum 6
diajarkan), posisi defekasi, dan asupan cairan gelas sehari.
sesuai kebutuhan. A: eliminasi belum meningkat.
2. Melakukan massase abdomen. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
hari, demonstrasikan posisi defekasi, bantu
mempertahankan asupan cairan sesuai
kebutuhan, motivasi minum di pagi hari dan air
hangat setelah makan.

11/5/2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan perut lebih enak dan
14.30-14.45 2. Mengajarkan posisi defekasi. ringan.
14.45-14.50 3. Memantau dan menyediakan minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur. Minum 6
07.00-11.00 kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah gelas sehari.
makan siang dan sore. A: eliminasi belum meningkat.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
feses serta defekasi. hari, pantau dan motivasi penggunaan posisi
defekasi, pantau dan bantu minum sesuai
kebutuhan, pantau bising usus.

12/5/2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih


14.30-14.45 2. Mengajarkan posisi defekasi. enak dan tidak sakit.
14.45-15.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
07.00-11.00 kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah usus dari 11 menjadi 5 x/menit, defekasi dengan
makan. feses berwarna cokelat gelap, sedikit, tidak
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik sekeras sebelumnya dan sedikit mengedan, tidak
feses serta defekasi. ada darah, dan tidak nyeri. Minum 7 gelas
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
sehari.
A: eliminasi meningkat.
P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk minum di pagi hari, pantau pola defekasi.

13/5/2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih


15.00-15.15 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. enak dan tidak sakit.
11.00-16.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
kebutuhan dan air hangat setelah makan. usus dari 3 menjadi 3 x/menit. Minum 7 gelas
Memotivasi minum di pagi hari. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi menurun.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau dan motivasi posisi defekasi, pantau
dan motivasi untuk mempertahankan minum
sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi.

14/5/2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih


14.30-14.45 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. enak dan tidak sakit.
14.45-14.50 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
07.00-11.00 kebutuhan, di pagi hari, dan air hangat setelah usus dari 7 menjadi 10 x/menit. Minum 7 gelas
makan. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk mempertahankan minum sesuai
kebutuhan, pantau pola defekasi.

16 Mei 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memberi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
14.45-14.50 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus dari 4 menjadi 6 x/menit. Minum 5 gelas
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
hangat setelah makan. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

17 Mei 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memberi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
14.45-14.50 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
11.00-16.00 kebutuhan dan minum air hangat setelah usus dari 10 menjadi 6 x/menit, flatus (+).
makan. Memotivasi minum di pagi hari. Minum 5 gelas sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

18 Mei 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memberi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
14.45-14.50 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus dari 10 menjadi 6 x/menit , flatus (+).
hangat setelah makan. Minum 5 gelas sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

19 Mei 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
07.00-11.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus 14 menjadi 7 x/menit. Minum 5 gelas
hangat setelah makan. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

20 Mei 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
11.00-16.00 3. Memantau dan memotivasi minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
kebutuhan dan air hangat setelah makan. usus dari 5 menjadi 10 x/menit. Minum 6 gelas
Memotivasi minum di pagi hari. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

23 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: nenek A mengatakan BAB lebih lancar
11.00-16.00 kebutuhan dan air hangat setelah makan. daripada sebelumnya.
Memotivasi minum di pagi hari. O: defekasi dengan karakteristik feses yang cair
2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. dan tidak tertahan pada 22 Mei 2016 dan pada
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik 23 Mei 2016 defekasi dengan karakteristik feses
feses. yang lunak dan mudah dikeluarkan sehingga
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. tidak mengedan. Minum 5 gelas sehari.
A: eliminasi meningkat.
P: lanjutkan pemantauan posisi defekasi dan
minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi.

24 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: nenek A mengatakan BAB lancar.
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air O: Minum 5 gelas sehari.
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
hangat setelah makan. A: eliminasi belum meningkat.
2. Memberi posisi defekasi. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai
feses. kebutuhan, pantau pola defekasi.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah.
5. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau
125 cc.

25 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: S: nenek A mengatakan BAB lancar.
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air O: Minum 5 gelas sehari.
14.30-14.45 hangat setelah makan. A: eliminasi belum meningkat.
2. Memberi posisi defekasi. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai
feses. kebutuhan, pantau pola defekasi.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah.

26 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: S: nenek A mengatakan BAB lancar.
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air O: Minum 5 gelas sehari.
14.30-14.45 hangat setelah makan. A: eliminasi belum meningkat.
2. Memotivasi penggunaan posisi defekasi. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai
feses. kebutuhan, pantau pola defekasi.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah.

27 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: S: nenek A mengatakan BAB lancar.
07.00-11.00 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air O: Minum 5 gelas sehari.
14.30-14.45 hangat setelah makan. A: eliminasi belum meningkat.
2. Memotivasi penggunan posisi defekasi. P: lanjutkan pemberian posisi defekasi, pantau
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik dan motivasi untuk meningkatkan minum sesuai
feses. kebutuhan, pantau pola defekasi.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah.
30 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
14.30-14.45 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air enak.
07.00-11.00 hangat setelah makan. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
2. Memberi posisi defekasi. usus dari 2 menjadi 5 x/menit. Minum 5 gelas
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik sehari.
feses. A: eliminasi belum meningkat.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

31 Mei 2016 1. Memantau dan membantu minum sesuai S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
07.00-11.00 hangat setelah makan. O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
2. Memberi posisi defekasi. usus dari 3 menjadi 5 x/menit. Minum 5 gelas
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik sehari.
feses. A: eliminasi belum meningkat.
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
125 cc. untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

1 Juni 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
07.00-11.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus dari 1 menjadi 2 x/menit. Minum 6 gelas
hangat setelah makan. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
2 Juni 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. enak dan tidak sakit, sebelumnya terasa penuh.
07.00-11.00 3. Memantau dan memotivasi minum sesuai O: otot abdomen tampak lebih lentur, bising
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air usus dari 3 menjadi 5 x/menit. Minum 6 gelas
hangat setelah makan. sehari.
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik A: eliminasi belum meningkat.
feses. P: lanjutkan massase abdomen selama 10-20
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. hari, pantau posisi defekasi, pantau dan motivasi
untuk meningkatkan minum sesuai kebutuhan,
pantau pola defekasi.

3 Juni 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan mengatakan perut lebih
14.30-14.45 2. Memotivasi aplikasi posisi defekasi. enak dan tidak sakit.
07.00-11.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: defekasi dengan karakteristik feses lebih
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air banyak dan lebih lampias, warna feses sedikit
hangat setelah makan. cokelat gelap, lebih lunak, dan tidak mengedan
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik serta tidak ada darah ataupun nyeri. Bising usus
feses. dari 2 menjadi 3 x/menit. Minum 6 gelas sehari.
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. A: eliminasi meningkat.
6. Membantu senam. Memberi bubur kacang hijau P: lanjutkan pemberian posisi defekasi dan
125 cc. minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi.

4 Juni 2016 1. Melakukan massase abdomen. S: nenek A mengatakan perut terasa enak dan
14.30-14.45 2. Memberi posisi defekasi. tidah begah.
07.00-11.00 3. Memantau dan membantu minum sesuai O: defekasi kembali dengan karakterstik feses
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air cukup banyak, mudah dikeluarkan, dan tidak
hangat setelah makan. mengedan serta warna feses sedikit cokelat
4. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik gelap namun tidak ada darah ataupun nyeri.
feses. Bising usus dari 4 menjadi 6 x/menit. Minum 6
5. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. gelas sehari.
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan pemantauan posisi defekasi dan
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
minum sesuai kebutuhan, pantau pola defekasi.

11 Juni 2016 1. Memotivasi penggunaan posisi defekasi setiap S: nenek A mengatakan BAB lancar.
14.30-14.45 defekasi. O: Pada 6 Juni 2016, klien defekasi setelah
07.00-11.00 2. Memantau dan membantu minum sesuai sahur dengan karakteristik feses yang cair.
kebutuhan, minum di pagi hari, dan minum air Kemudian, pada 9 Juni 2016, defekasi dengan
hangat setelah makan. karakteristik feses yang berbentuk panjang 3
3. Memantau frekuensi defekasi dan karakteristik kali, berwarna sedikit cokelat gelap, tidak terlalu
feses. bau, tidak ada darah, dan tidak mengedan. Pada
4. Memotivasi menghabiskan sayur dan buah. 10 dan 11 Juni 2016, defekasi kembali dengan
5. Memberikan rencana tindak lanjut pada klien: karakteristik feses dan defekasi yang sama
meneruskan kebiasaan minum sesuai kebutuhan dengan hari sebelumnya. Bising usus 8 x/menit.
harian, posisi defekasi sesuai yang telah Minum 6 gelas sehari.
diajarkan, diet tinggi serat, olahraga teratur. A: eliminasi meningkat.
6. Memberikan rencana tindak lanjut pada P: beri edukasi kepada lansia untuk meneruskan
perawat panti: melakukan massase abdomen posisi defekasi dan minum sesuai kebutuhan, di
sesuai indikasi atau SOP yang telah diajarkan pagi hari, dan air hangat setelah makan.
dan diberikan. Beri pelatihan kepada perawat panti mengenai
intervensi terutama massase abdomen.
Intoleransi 12 Mei 2016 1. Periksa tekanan darah. S: nenek A mengatakan mengatakan tekanan
aktivitas 12.00-14.50 2. Memotivasi untuk minum obat teratur. darah turun, sebelumnya 150an.
3. Membantu kebutuhan dasar seperti O: tekanan darah 130/70 mmHg, pucat (+), lesu
menyiapkan minuman hangat setelah makan. (+).
A: toleransi aktivitas belum meningkat.
P: lakukan manajemen energi (melakukan
aktivitas secara bertahap).

24 Mei 2016 1. Membantu senam. S: nenek A mengatakan tidak kuat mengikuti


07.00-08.00 2. Memberi asam folat dan memotivasi minum semua gerakan dan pusing.
obat teratur. O: lesu (+).
A: toleransi aktivitas belum meningkat.
P: lakukan manajemen energi (melakukan
Diagnosa Tanggal dan waktu Implementasi Evaluasi
aktivitas secara bertahap).
31 Mei 2016 1. Membantu senam. S: nenek A mengatakan lebih segar.
07.00-08.00 3. Memberi asam folat dan memotivasi minum O: tampak pucat (-), lesu (-),tremor.
obat teratur. A: toleransi aktivitas meningkat.
P: lakukan manajemen energi.
Ketidakefektifan 11 Mei 2016 1. Menganjurkan meningkatkan minum air hangat S: nenek A mengatakan masih batuk sedikit.
bersihan jalan 11.00-11.15 dan menghindari udara kotor. O: batuk (+), dahak sangat sedikit.
napas 2. Mendorong makan sedikit tapi sering untuk A: kepatenan jalan napas belum meningkat.
meningkatkan sistem imun. P: motivasi minum, berikan obat batuk
sederhana, ajarkan batuk efektif.

14 Mei 2016 1. Mengajarkan relaksasi napas dalam dan batuk S: nenek A mengatakan dahak sedikit yang
10.00-10.15 efektif. keluar.
O: batuk (+), dahak sangat sedikit.
A: kepatenan jalan napas belum meningkat.
P: motivasi minum dan ajarkan batuk efektif
kembali.
Lampiran 4

FREKUENSI DEFEKASI
Frekuensi Defekasi
Klien Mg-1 Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 Mg+1
A 1 1 1 1 3 4
F 1 2 1 2 2 2
E 1 1 1 2 2 3

BISING USUS
Klien Bising Usus pada Massase Abdomen Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Termi-
nasi
A - - 11 3 6 4 10 1 5 2 3 1 3 2 4
Sebelum 4
A Setelah - - 5 3 10 6 6 7 10 5 5 2 5 3 6 8
F - - 10 3 3 2 10 3 6 4 5 5 1
Sebelum
F Setelah - - 4 5 4 4 7 5 10 7 6 7 4 5
E 1 2 10 3 4 1 2 2 4 6 2 1
Sebelum
E Setelah 1 2 5 4 5 3 3 2 5 10 5 4 4

82
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


Lampiran 5

Nama: A.S
Tgl lahir/usia: 8/7/1944 (72 tahun) Wisma: Melati
Constipation Scoring System (CSS)

No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah


1. Frekuensi defekasi a. 1 – 2 kali perhari dan/atau 2 0
3 kali perminggu (0)
b. 2 kali seminggu (1)
c. 1 kali seminggu (2)
d. Kurang dari sekali
seminggu (3)
e. Kurang dari sekali sebulan
(4)
2. Kesulitan defekasi: mengedan saat a. Tidak pernah (0) 3 1
defekasi b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
3. Merasa tidak tuntas setelah defeksi a. Tidak pernah (0) 3 1
b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
4. Nyeri: nyeri atau rasa tidak a. Tidak pernah (0) 1 0
nyaman pada perut b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
5. Lama berlangsungnya proses a. Kurang dari 5 menit (0) 3 2
defekasi b. 5 – 10 menit (1)
c. 10 – 20 menit (2)
d. 20 – 30 menit (3)
e. Lebih dari 30 menit (4)
6. Bantuan yang digunakan saat a. Tidak ada (0) 0 0
defekasi b. Laksatif (1)
c. Enema (2)
7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 a. Tidak pernah (0) 1 0
jam b. 1 – 3 kali (1)
c. 3 – 6 kali (2)
d. 6 – 9 kali (3)
e. Lebih dari 9 kali (4)
8. Riwayat konstipasi dalam setahun a. Tidak pernah (0) 2 2
terakhir b. 1 – 5 kali (1)
c. 5 – 10 kali (2)
d. 10 – 20 kali (3)
e. Lebih dari 20 kali (4)
Sumber: Kristamuliana (2015)
Nama: F
Tgl lahir/usia: 3/7/1946 (70 tahun) Wisma: Mawar
Constipation Scoring System (CSS)

No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah


1. Frekuensi defekasi a. 1 – 2 kali perhari dan/atau 2 1
3 kali perminggu (0)
b. 2 kali seminggu (1)
c. 1 kali seminggu (2)
d. Kurang dari sekali
seminggu (3)
e. Kurang dari sekali sebulan
(4)
2. Kesulitan defekasi: mengedan saat a. Tidak pernah (0) 3 2
defekasi b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
3. Merasa tidak tuntas setelah defeksi a. Tidak pernah (0) 3 2
b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
4. Nyeri: nyeri atau rasa tidak aman a. Tidak pernah (0) 1 0
pada perut b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. e. Selalu (4)
5. Lama berlangsungnya proses a. Kurang dari 5 menit (0) 3 2
defekasi b. 5 – 10 menit (1)
c. 10 – 20 menit (2)
d. 20 – 30 menit (3)
e. Lebih dari 30 menit (4)
6. Bantuan yang digunakan saat a. Tidak ada (0) 0 0
defekasi b. Laksatif (1)
c. Enema (2)
7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 a. Tidak pernah (0) 1 0
jam b. 1 – 3 kali (1)
c. 3 – 6 kali (2)
d. 6 – 9 kali (3)
e. Lebih dari 9 kali (4)
8. Riwayat konstipasi dalam setahun a. Tidak pernah (0) 2 2
terakhir b. 1 – 5 kali (1)
c. 5 – 10 kali (2)
d. 10 – 20 kali (3)
e. Lebih dari 20 kali (4)
Sumber: Kristamuliana (2015)
Nama: E
Tgl lahir/usia: 22/2/27 (89 tahun) Wisma: Mawar
Constipation Scoring System (CSS)

No. Item Penilaian Skor Sebelum Setelah


1. Frekuensi defekasi f. 1 – 2 kali perhari dan/atau 2 0
3 kali perminggu (0)
g. 2 kali seminggu (1)
h. 1 kali seminggu (2)
i. Kurang dari sekali
seminggu (3)
j. Kurang dari sekali sebulan
(4)
2. Kesulitan defekasi: mengejan saat a. Tidak pernah (0) 4 2
defekasi b. Jarang (1)
c. Kadang-kadang (2)
d. Sering (3)
e. Selalu (4)
3. Merasa tidak tuntas setelah defeksi e. Tidak pernah (0) 4 2
f. Jarang (1)
g. Kadang-kadang (2)
h. Sering (3)
e. Selalu (4)
4. Nyeri: nyeri atau rasa tidak aman f. Tidak pernah (0) 1 0
pada perut g. Jarang (1)
h. Kadang-kadang (2)
i. Sering (3)
j. e. Selalu (4)
5. Lama berlangsungnya proses e. Kurang dari 5 menit (0) 3 1
defekasi f. 5 – 10 menit (1)
g. 10 – 20 menit (2)
h. 20 – 30 menit (3)
e. Lebih dari 30 menit (4)
6. Bantuan yang digunakan saat d. Tidak ada (0) 0 0
defekasi e. Laksatif (1)
f. Enema (2)
7. Tidak berhasil defekasi dalam 24 a. Tidak pernah (0) 1 0
jam b. 1 – 3 kali (1)
c. 3 – 6 kali (2)
d. 6 – 9 kali (3)
e. Lebih dari 9 kali (4)
8. Riwayat konstipasi dalam setahun a. Tidak pernah (0) 2 2
terakhir b. 1 – 5 kali (1)
c. 5 – 10 kali (2)
d. 10 – 20 kali (3)
e. Lebih dari 20 kali (4)
Sumber: Kristamuliana (2015)
Mini Mental Status Exam (MMSE)
ASPEK NILAI NILAI KRITERIA
KOGNITIF MAKS KLIEN
A F E
ORIENTASI 5 4 4 4 Menyebutkan dengan benar:
 Tahun
 Musim
 Tanggal
 Hari
 Bulan
ORIENTASI 5 4 3 4 Dimana kita sekarang?
 Negara Indonesia
 Provinsi….
 Kota…..
 Panti werda…..
 Wisma….
REGISTRASI 3 3 3 3 Sebutkan 3 objek (oleh pemeriksa ) 1 detik untuk mengatakan masing-masing objek, kemudian
tanyakan kepada klien ketiga objek tadi (untuk disebutkan)
 Objek………
 Objek………
 Objek………
PERHATIAN 5 2 5 5 Minta klien untuk menghitung mundur nama
DAN hari (maksimal 5 kali mundur masuk skor
KALKULASI maksimal):
 Minggu
 Sabtu
 Jumat
 Kamis
 Rabu
 Selasa

86
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


ASPEK NILAI NILAI KRITERIA
KOGNITIF MAKS KLIEN
A F E
 Senin
MENGINGAT 3 3 3 3 Minta klien untuk mengulangi ke 3 objek pada nomer 2 (registrasi) tadi, bila benar 1 poin untuk
masing-masing objek.
BAHASA 9 5 7 7 Tunjukkan pada klien suatu benda dan tanyakan namannya pada klien (misal jam tangan atau pensil)

Minta kepada klien untuk mengulang kata berikut “tak ada jika, dan, atau, tetapi” bila benar, nilai 1
poin.
Pernyataan benar 2 buah: tidak ada tetapi.

Minta klien untuk mengikuti perintah berikut ini yang terdiri dari 3 langkah: “ambil kertas di tangan
anda ,lipat 2 dan taruh di lantai“.
 Ambil kertas
 Lipat dua
 Taruh di lantai

Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila


aktivitas sesuai perintah nilai 1 poin)
 Tutup mata anda.

Perintah pada klien untuk menulis satu kalimat dan menyalin gambar
 Tulis satu kalimat
 Menyalin gambar

Copying: Minta klien untuk mengcopy gambar di bawah. Nilai 1 point jika seluruh 10 sisi ada dan
pentagon saling berpotongan membentuk sebuah gambar 4 sisi
ASPEK NILAI NILAI KRITERIA
KOGNITIF MAKS KLIEN
A F E

Sumber: Balqis (2015)


Geriatric Depression Scale (GDS)
No. Pertanyaan Jawaban Skor
A F E
1. Apakah anda merasa puas dengan hidup anda? Ya Tidak 0 0 0
2. Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan mengalami penurunan Ya Tidak 0 0 0
minat atau kesenangan anda?
3. Apakah anda merasa hidup anda kosong/hampa? Ya Tidak 1 1 0
4. Apakah anda sering merasa bosan? Ya Tidak 1 0 0
5. Apakah anda memiliki semangat yang tinggi setiap saat? Ya Tidak 0 0 1
6. Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda? Ya Tidak 0 0 0
7. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup? Ya Tidak 1 0 1
8. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya Tidak 0 1 1
9. Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada pergi keluar dan melakukan sesuatu yang baru? Ya Tidak 0 1 0
10. Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda Ya Tidak 1 1 1
dibandingkan kebanyakan orang?
11. Apakah anda pikir bahwa dapat hidup anda sekarang ini menyenangkan? Ya Tidak 0 0 0
12. Apakah anda merasa bahwa diri anda saat ini tidak berharga? Ya Tidak 1 1 0
13. Apakah anda merasa sangat bersemangat? Ya Tidak 0 0 1
14. Apakah anda merasa bahawa keadaan anda tidak ada harapan? Ya Tidak 0 0 0
15. Apakah anda merasa bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada anda? Ya Tidak 1 0 0
Sumber: Balqis (2015)
Morse Fall Scale (MFS)
Pengkajian Skala Nilai
A F E
Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir? Tidak 0 0 0 25
Ya 25
Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih dari satu penyakit? Tidak 0 15 15 0
Ya 15
Alat bantu jalan;
-Bed rest/ dibantu perawat 0 0 30 30
-Kruk/ tongkat/ walker 15
-Berpegangan pada benda-benda di sekitar (kursi, lemari, meja) 30
Terapi Intravena; apakah saat ini lansia terpasang infus? Tidak 0 0 0 0
Ya 20
Gaya berjalan/ cara berpindah
-Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak sendiri) 0 10 20 10
-Lemah (tidak bertenaga) 10
-Gangguan/ tidak normal (pincang, diseret) 20
Status Mental
-Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri 0 0 0 0
-Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15
Sumber: Balqis (2015)
Barthel Index
Aktivitas Kemampuan Skor Skor klien
A F E
Makan Mandiri 10 10 10 10
Perlu bantuan orang lain 5
Tergantung bantuan orang 0
lain
Mandi Mandiri 5 5 5 5
Tergantung bantuan orang 0
lain
Membersihkan diri (lap muka, sisir rambut, sikat gigi) Mandiri 5 5 5 5
Perlu bantuan orang lain 0
Berpakaian Mandiri 10 10 10 10
Sebagian dibantu 5
Tergantung orang lain 0
Mengontrol BAB Kontinen diatur 10 10 10 10
Kadang-kadang 5
inkontinen
Inkontinen/kateter 0
Mengontrol BAK Kontinen diatur 10 5 5 5
Kadang-kadang 5
inkontinen
Inkontinen/kateter 0
Penggunaan toilet (pergi ke/dari WC, melepaskan/ mengenakan Mandiri 10 10 10 10
pakaian, menyeka, menyiram) Perlu bantuan orang lain 5
Tergantung orang lain 0
Transfer (tidur-duduk) Mandiri 15 15 15 15
Dibantu satu orang 10
Dibantu dua orang 5
Aktivitas Kemampuan Skor Skor klien
A F E
Tidak mampu 0
Mobilisasi (berjalan) Mandiri 15
Dibantu satu orang 0
Dibantu dua orang 5
Tergantung orang lain 0
Naik turun tangga Mandiri 10 10 0 5
Perlu bantuan 5
Tidak mampu 0
Lampiran 6

JADWAL BAB
Hari ini BAB ? Jam Warna Keras dan kering Bentuknya ? Berapa Ada darah ? Ngeden atau
berapa tinja ? atau tidak ? banyak ? tidak ?
Waktu Ya BAB ? Ya Tidak Ada Tidak Ya Tidak
Pagi
Siang
Sore

JADWAL MINUM AIR PUTIH


Waktu Jumlah
Pagi 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas
Siang 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas
Sore 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas
Bangun tidur 1 gelas
Setelah makan pagi 1 gelas air hangat
Setelah makan siang 1 gelas air hangat
Setelah makan sore 1 gelas air hangat
Lampiran 7

94
Universitas

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016


Lampiran 8
Daftar Riwayat Hidup

Nama Lengkap : Andini Wulandari


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 1 Agustus 1993
Alamat Lengkap : Jl. Rawageni no. 54 RT
003/RW 008, kelurahan Ratu Jaya,kecamatanCipayung,

Depok 16439, Jawa Barat


Alamat E-mail
Riwayat Pendidikan:
1999-2005: SDN Ratu Jaya 2 Depok
2005-2008: SMPN 1 Depok
2008-2011: SMAN 1 Depok
2011-2016: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

95
Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan ..., Andini Wulandari, FIK UI, 2016

Anda mungkin juga menyukai