Anda di halaman 1dari 8

BERSYUKUR, QANA'AH, RIDHA, DAN SABAR

Nama : ASRANI
Tempat Tanggal Lahir : Margasari, 02 Juli 1975
Pendidikan Terakhir : PAKET C
No. Reg : 17.05.19750702.0049
Bidang Tugas / Spesialisasi : Jaminan Produk Halal
Alamat : Desa Margasari Hilir RT. 002 RW. 001

A. Ridho
Kata Ridho berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata rodiya yang berarti senang, suka,
rela. Ridho merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh manusia. Banyak ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT ridho terhadap kebaikan hambanya.
Menurut kamus Al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dan bisa diartikan Ridho/rela
adalah nuansa hati kita dalam merespon semua pemberian-NYA yang setiap saat
selalu kita rasakan. Pengertian ridha juga ialah menerima dengan senang segala apa
yang diberikan oleh Allah S.W.T. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau
sesuatu ketentuan dari Allah S.W.T. Allah SWT berfirman:
Artinya: Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang
benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya.Itulah
keberuntungan yang paling besar".(QS. Al-Maidah:119)
Ridho menurut bahasa artinya rela, sedangkan menurut istilah ridha artinya menerima
dengan senang hati segala sesuatu yang diberikan Allah SWT.Yakni berupa ketentuan
yang telah ditetapkan baik berupa nikmat maupun saat terkena musibah.Orang yang
mempunyai sifat tidak mudah bimbang,tidak mudah menyesal ataupan menggerutu
atas kehidupan yang diberikan olaeh Allah,tidak iri hati atas kelebihan orang lain,sebab
dia berkeyakinan bahwa semua berasal dari Allah SWT,manusia hanya berusaha.Ridho
bukan ebrarti menyerah tanpa usaha namanya putus asa.Dan sikap putus asa tidak
dibenarkan dalam agama islam.
Ridha termasuk salah satu akhlak terpuji. Ridha artinya sudah merasa cukupdengan
apa yang la miliki, baik harta maupun pekerjaan. Sebagian orang mungkinmenganggap,
sikap yang demikian termasuk akhlak yang buruk. Karena dengan merasacukup
terhadap apa yang dimilikinya itu maka akan menimbulkan kemalasan padadirinya dan
tidak man bekerja. Pandangan yang seperti itu adalah pandangan yang sesat dan
keliru. Islam tidak mengajarkan kepada umatnya supaya hidup malas. Ridha dapat
menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap berbagai tipu daya kehidupan dunia, yang
membuat seseorang lupa akan Allah dalam mempersiapkan diri menuju
kehidupanakhirat kelak. Akibat godaan nafsu, seseorang tidak takut atas ancaman yang
akanditerimanya sehingga sikap dan perilakunya melampaui batas-batas norma
agama. Maka,untuk menghindari hal itu, seorang muslim dituntut untuk bersikap
Qanaah di dalamhidupnya. Firman Allah dalam Al-qur’an QS. Al-Baqarah ayat 153:

Artinya:“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”
Macam-macam Sikap Ridha Dalam kehidupan seserorang ada beberapa hal yang
harus menampilkan sikap ridha, minimal empat macam berikut ini:
1. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang
telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha
terhadap semua nilai dan syari’ah Islam.
2. Ridha terhadap taqdir Allah
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan
yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar
adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu
dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan
segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima
taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya.
3. Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita
kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua,
perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14:
Artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)

Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan
murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua
dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau
ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak
menghiraukan panggilan ibunya.
4. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang
Negara Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan
merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan
menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-
Nisa (4) ayat 59 berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa:59).
Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama
dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.Termasuk dalam ridha terhadap
peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena
dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah
dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi
kader bangsa yang tangguh.

v Fungsi Ridha Dalam Kehidupan Dalam kehidupan


ridha mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi Ridha dalam kehidupan pribadi ialah :
a) Menjadikan seseorang hidupnya tidak tamak
b) Menjadikan seseorang hidupnya berjiwa tenang, rela terhadap semua pemberian
Allah , dan selalu mensyukuri semua nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya
c) Menjadikan seseorang dalam hidup di dunia ini untuk mencari kebahagiaan hidup di
akhirat, dengan tetap berikhtiar.
2. Fungsi Ridha dalam kehidupan bermasyarakat ialah:
a) Seseorang tidak tamak dan ambisi terhadap kekayaan & kedudukan yang dimiliki
orang lain
b) Seseorang tidak akan terperdaya oleh kemewahan hidup di dunia; c) Seseorang
akan suka menegakkan kalimat Allah.
v Sikap rida dapat ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha
atau ikhtiar dan penuh tanggung jawab.
2. Senantiasa mengingat Allah swt. dan tetap melaksanakan shalat dengan kusyuk.
3. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk dikagumi
hasil usahanya.
4. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat
pemberian-Nya. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan
akhlak.
5. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan
kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di
rumah dalam menyelesaikan pekerjaan mereka.
6. Menunjukkan kerelaan atau rida terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida
terhadap kehidupan terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan
terhadap perolehan rezeki atau karunia Allah swt.

Menurut kamus besar Indonesia, rida diartikan rela, suka, dan senang
hati.sedangkan menurut bahasa adalah ketetapan hati untuk menerima segala
keputusan yang sudah ditetapkan dan ridha merupakan akhir dari semua keinginan dan
harapan yang baik.

B. Tawakkal
Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk
mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia
maupun akhirat. Allah Ta’alah berfirman yang berbunyi :
Artinya: “Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya
jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup baginya.”(Ath Tholaq: 2-3)
Tawakkal merupakan faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika
tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta
memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan
seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai pelindungnya atau yang
memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Allah sebagai
pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa
mendatangkan bahaya padanya.
Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha, mewujudkan Tawakkal bukan berarti
meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus
bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakkal dengan hati
merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala. Sebagian orang mungkin ada yang
berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa
kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-
duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh
menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah
menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di
pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak
memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan
tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat
bergantung.
Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-
sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh
menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini
bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
C. Sabar
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang
hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah
dalam menghadapi berbagai macam cobaan.
Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar
diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam
pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan pendiriannya tidak berubah bagaimanapun
beratnya tantangan yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah, sikap
sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan
kehendak (Iradah) tuhan.
Orang yang sabar tidak hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan
musibah, tetapi juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran,
dan selalu dinamis dan optimistis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan
bermakna.
Dalam banyak hal, ketidaksabaran merupakan awal dari penyimpangan dan
kemerosotan moral. Korupsi, misalnya, merupakan wujud dari ketidaksabaran
seseorang dalam meraih kekayaan secara halal dan legal. Kemacetan jalan raya sering
kali disebabkan oleh ketidaksabaran pengguna jalan untuk disiplin dan antre.
Menurut Ali bin Abi Thalib, sabar itu sebagian dari iman. Nilai sabar itu identik kepala
pada tubuh manusia. Jika kesabaran telah tiada, berarti iman dalam diri manusia itu
telah sirna.
Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dakwah Islam, antara lain, terwujud karena
kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian, musibah, dan permusuhan. Tentara
Muslim dalam perang Badar yang hanya berjumlah 313 orang berhasil mengalahkan
tentara kafir Quraisy yang berjumlah 1.000 orang karena kuatnya kesabaran mereka.
Pendidikan kesabaran juga merupakan salah satu cara untuk memperoleh petunjuk
Allah SWT, karena orang yang sabar hanya mau mendengar suara hati nurani, bukan
mengikuti hawa nafsu dan emosi. Sabar berarti kita harus ikhlas, menerima dan
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Macam-Macam Sabar
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa
berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia
ataupun yang berasal dari orang lain
4. Sabar meraih kemuliaan
5. Sabar menuntut ilmu
6. Sabar dalam mengamalkan ilmu
7. Sabar dalam berdakwa
8. Sabar dan kemenangan
9. Sabar diatas islam
10. Sabar dan tauhid
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. ridha merupakan menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah
SWT.
2. Ridha juga dapat menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap berbagai tipu daya
kehidupan dunia, yang membuat seseorang lupa akan Allah dalam mempersiapkan diri
menuju kehidupanakhirat kelak
3. Tawakkal merpakan kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk
mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia
maupun akhirat
4. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki
itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari,
padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian,
pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha
Esa sebagai tempat bergantung
5. Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi
6. Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dakwah Islam, antara lain, terwujud
karena kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian, musibah, dan permusuhan

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rasuhon. Mukhtar solihin, 2000, Ilmu Tasawuf , bandung, CV Pustaka setia Hal.
13-14
Al-Gazali, Ihya Ulum Ad-Din, Jilid IV, hal 10-11
Al-Gazali, Ibid, Hal. 322
Nasruddin Razak, Drs., Dienul Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1973
Amien Syukur, MA, Prof. Dr. H. M. Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004,
Ahmad Fadlun ZR, “Menggapai Ridho Ilahi, Sulitkah Ia ?”, makalah pengantar buka
puasa dalam diskusi Komunitas Lembaga Kajian dan Layanan Informasi Masyarakat
(eL-KLIM) Wonosobo, 25 Agustus 2010
Achmad Mubarak, MA, Dr. Jiwa dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia
Modern, Paramadina, Jakarta, 2000.
Al- Ghazali , Ihya’ Ulum al-Dien, Juz: IV, Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, ttp, tt.
Hajudin Alwi, “Blessing in Disguise”, Majalah Derap Guru, No. 128 Th. X – September
2010

Anda mungkin juga menyukai