Anda di halaman 1dari 123

RESEARCH BY DESIGN

Agustinus Sutanto
RESEARCH BY DESIGN
Agustinus Sutanto
e-book

`Imajinasi adalah bentuk tertinggi dari sebuah Riset`


Albert Einstein

Foto cover : Kowloon Walled City


RESEARCH BY DESIGN

Agustinus Sutanto

Jurusan Arsitektur dan Perencanaan


Program Studi Arsitektur
Universitas Tarumanagara
Jakarta
2020
“Jika saya memiliki waktu satu jam untuk menyelesaikan masalah, saya akan menghabiskan
55 menit pertama untuk menentukan pertanyaan yang tepat…. dengan pertanyaan yang
tepat, saya dapat menyelesaikan masalah dalam waktu kurang dari lima menit.”
(Albert Einstein)
in my imagination

Sofie, Afira dan Winiera


PENGANTAR
Riset itu milik semua manusia, karena semua manusia memiliki daya imajinasi. Setiap manusia memiliki
kemampuan untuk membayangkan (ber-imajinasi), yang berarti merepresentasikan tanpa mengarahkan
hal-hal sebagaimana adanya, saat ini, dan secara subyektif. Ketika Albert Einstein menyatakan “Imajinasi
adalah bentuk tertinggi dari sebuah Riset.” Albert Einstein ingin mengajak kita semua untuk berani
menstimulasi objek-objek baru dengan cara membayangkan. Seseorang dapat menggunakan imajinasi
untuk mewakili kemungkinan selain dari yang aktual, untuk mewakili waktu selain dari saat ini, dan untuk
mewakili perspektif selain dari miliknya sendiri. Ber-imajinasi adalah inti sebuah riset yang sebenarnya.
Adalah tidak tepat bila yang beranggapan bahwa menulis itu hanya milik kalangan akademik, karena
banyak tulisan arsitektur dikeluarkan oleh lingkungan universitas. Sedangkan, membangun adalah milik
kalangan praktisi, karena melalui kantor arsitektur banyak desain yang diciptakan. Tetapi, dua kondisi ini
adalah sebuah dunia arsitektur yang tampak didepan kita. Garis antara riset dan praktis menjadi sangat
tegas, sehingga ada semacam `dunia baru` bahwa kalangan akademik menghindari pekerjaan praktis dan
praktisi mengelak untuk menuliskan pemikiran dalam tulisan akademik.
Mungkin, debat paling menarik yang pernah terjadi dalam perjalanan pengetahuan arsitektur dalam 40
tahun ini, adalah debat antara Christopher Alexander dengan Peter Eisenman pada tahun 1982 dengan :
Contrasting Concepts of Harmony in Architecture: An Early Discussion of the "New Sciences" of Organised
Complexity in Architecture. Debat ini menjadi menarik bukan karena menampilkan dua tokoh terkenal,
tetapi dalam debat ini dihasilkan sebuah perbedaan dalam cara melihat arsitektur. Christopher Alexander
yang mewakili kalangan akademik dan sebagai periset serta Peter Eisenman dari lingkungan praktisi,
ternyata keduanya memang tidak dapat disatukan dalam cara melihat arsitektur. Melalui debat ini, ada
pembelajaran dikotomi pola pikir antara dunia teori dan praksis. Tetapi, debat ini hanyalah sebuah contoh
dari bagaimana arsitektur memainkan perannya dalam membangun pengetahuan, dan bahwa kondisi
pengetahuan arsitektur selalu dapat dilihat dalam dua pandangan yaitu dunia akademik dan praktis.
Research by Design, barangkali adalah sebuah cara yang lebih halus dan lembut, untuk memposisikan
daya tawar dari kalangan akademik dan praktisi. Buku yang akan anda baca ini, merupakan tulisan
arsitektur yang memberikan dimensi teori-praksis, akademik-praktisi, menulis-menggambar, serta berpikir-
bertindak. Research by Design, bukanlah diskursus baru dalam wacana arsitektur, tetapi pengetahuan ini,
masih menjadi bahan yang jarang didiskusikan di dunia arsitektur di Indonesia. Visi buku ini, adalah ingin
membangun pengetahuan baru yang menggabungkan antara teori dan praksis dengan cara menempatkan
cara berpikir arsitektur yang lebih berfokus menemukan pengetahuan baru melalui desain arsitektural.
Arsitektur melalui gambar (drawing) dan bangunan (building) adalah laboratorium pengetahuan arsitektur
yang sangat kaya dan laboratorium ini adalah tempat dimana semua `imaginasi` disemaikan.
Tentunya merupakan kehormatan bagi saya, melalui tulisan yang anda baca sudah dapat menjadi sebuah
diskursus arsitektur serta dapat bersumbang ide demi kemajuan pengetahuan arsitektur di Indonesia.
Jakarta, Mei 2020

Agustinus Sutanto
DAFTAR ISI

PENGANTAR
PENDAHULUAN ………. 1
Tulisan Pertama : KONSTRUKSI TEORI ………. 3
Tulisan Kedua : RISET – DESAIN – PENGETAHUAN ………. 17
Tulisan Ketiga : PENULISAN AKADEMIK ………. 25
Tulisan Kempat : MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR ………. 38
SANGAT PENTING ?
Tulisan Kelima : RESEARCH BY DESIGN ………. 48
Referensi ………. 56

PROYEK RISET DENGAN DESAIN


Proyek Kesatu : THE NEW PASSER BAROE ………. 59
Proyek Kedua : SPIRIT OF LOCALITY - Venice Biennale 2014 ………. 78
Proyek Ketiga : THE SEVEN SACRAMENTS ………. 97
PENDAHULUAN
Research by Design atau Riset dengan Desain bukanlah sebuah kajian yang hanya terfokus tentang nilai
kepragmatisan dari arsitektur atau pemikiran ilmiah dari pengetahuan desain dalam arsitektur. Tetapi
sebuah diskursus yang menekankan hubungan penting antara riset dan desain sebagai sebuah cara
menghasilkan desain yang lengkap secara teori dan praksis. Teori (sebagai teks) adalah sebuah `cara
melihat` yang dibangun melalui desain dan praksis adalah sebuah `gambar` yang dihasilkan dalam desain.
Antara `teks` dan `gambar` membangun dialog pengetahuan dalam diri mereka, sehingga menghasilkan
pengetahuan bagi arsitektur.
Mengimajinasikan `riset dengan desain` sama seperti membayangkan `riset dengan laboratorium`. Dalam
sebuah laboratorium uji darah akan melakukan tes laboratorium memantau komposisi darah, urin, dan
cairan tubuh lainnya serta jaringan untuk tanda-tanda deteksi dini penyakit, atau sebuah laboratorium
kesehatan dapat mengukur kolesterol darah dan gula darah, tes untuk anemia, memeriksa protein urin,
mengidentifikasi bakteri radang tenggorokan, mempersiapkan darah untuk transfusi, dan rontgen. Bila
`riset dengan laboratorium` menempatkan laboratorium sebagai alat ukur untuk data dan menemukan obat
untuk menyembuhkan penyakit, maka dalam `riset dengan desain`, desain adalah laboratorium untuk
menemukan pengetahuan baru bagi arsitektur.
Desain sebagai laboratorium memiliki tiga alat utama didalamnya, yaitu gambar, bangunan dan konstruksi
teori. Ketiga alat ini dipakai dalam melakukan uji coba, penyelidikan, kegiatan kerja dan eksperimen,
dimana nantinya digunakan untuk melihat bagaimana arsitektur dapat ditelusuri kedalamannya sebagai
produk keruangan yang berkaitan dengan desain itu sendiri. Desain sebagai sebuah `laboratorium` untuk
riset arsitektural, merupakan sebuah tempat yang `kaya` dengan berbagai macam konfik, kreatifitas dan
dinamikanya yang dapat dikembangkan sebagai sebuah pengetahuan. Gambar – bangunan dan konstruksi
teori merupakan `mata pisau` yang tajam untuk membedah kedalaman desain, sehingga dapat ditemukan
`cahaya` dan `sinar` terang dari keindahan desain itu sendiri.
Buku Research by Design ini, merupakan kumpulan tulisan penulis yang sebagian sudah pernah
dipublikasikan dalam forum arsitektur dan sebagian merupakan tulisan baru, dirangkai menjadi kesatuan
untuk membuatnya menjadi mudah dibaca dan dipelajari. Berbagai referensi yang dipakai penulis adalah
informasi sekunder, sehingga berbagai interpretasi penulis dan pandangan penulis ada dalam buku ini.
Bagi penulis, hal yang menarik dari diskursus research by design ini adalah bahwa desain dalam arsitektur
tidak dilihat hanya sebagai sebuah pekerjaan pragmatis tetapi pekerjaan yang melibatkan teks arsitektur
sebagai penyeimbang antara dunia praksis dan teori.
Isi buku ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama terdiri dari lima tulisan sebagai tatakan dasar untuk
memposisikan pengetahuan riset dalam arsitektur. Tulisan pertama adalah Konstruski Teori memaparkan
cara berpikir teori dalam arsitektur dan menyajikan sebuah pemikiran tentang cara mengkonstruksi sebuah
teori arsitektur. Tulisan kedua berisi diskusi tentang pengertian Riset, Desain dan Pengetahuan sebagai
dasar-dasar penting untuk mengetahui posisi epistemologi dari masing-masing terminologi tersebut.
Tulisan ketiga adalah Penulisan Akademik berisi panduan cara-cara menuliskan riset secara terstruktur
dan tersimtematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual. Tulisan keempat adalah
Mengapa Riset Dalam Arsitektur Sangat Penting ? mendiskusikan bagaiman peran riset dalam arsitektur
serta memaparkan betapa pentingnya riset dalam arsitektur. Tulisan kelima adalah Research by Design

1
yang memberikan gambaran tentang penelitian melalui desain dengan berbagai macam sudut pandang
didalamnya. Kelima tulisan ini merupakan rangkaian yang saling mengisi dan bertautan serta berfokus
pada pembahasan riset dengan desain, menempatkan desain sebagai sebuah laboratorium riset.
Tulisan pada bagian kedua ini adalah kolaborasi antara penulis dengan Adelia Andani, seorang penulis
arsitektur berbakat dari Universitas Tarumanagara. Bagian kedua dari buku ini, adalah contoh-contoh
tentang bagaimana kajian research by design diaplikasikan dalam kegiatan perancangan, yang dikerjakan
penulis dengan tim arsitek dari PT MiMa Archilab (sebelumnya adalah GAK architects). Ada tiga contoh
yang dipaparkan dalam bagian ini, Proyek Pertama adalah The New Passer Baroe – The Heritage with
Sout – A Great Civic Space (2014) sebuah kompetisi arsitektur tentang Penataan Kawasan Pasar Baru.
Melalui proyek ini, berbagai diskursus arsitektur dipaparkan seperti teori : pattern language ( bahasa pola),
landscape urbanism (membaca struktur layer-layer ruang kota), everydayness (membaca arsitektur
keseharian), typology (tipologi), keempat teori ini dipakai sebagai sebuah cara menganalisis konfigurasi
keruangan dari Pasar Baru. Proyek Kedua adalah Spirit of Locality – Paviliun Indonesia untuk Venice
Biennale 2014. Dalam proyek ini dipaparkan basis teoritikal tentang lokalitas serta bagaimana lokalitas
sebagai sebuah konsep desain dapat berperan dalam merepresentasikan citra dan guna dalam desain
paviliun Indonesia di Venice Biennale. . Proyek Ketiga adalah sebuah Bangunan Gedung Gereja Katolik
Santa Maria di Paroki Kota Bukit Indah, Cikampek yang selesai dibangun 2015 mempersembahkan
sebuah tema : The Seven Sacraments – Spirit of Space dimana hasil rancangan ini merupakan dialog
antara simbol, bentuk, dan sacred space. Melalui ketiga proyek dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa melalui gambar – bangunan dan konstruksi teori dapat menjelaskan kekuatan desain arsitektur
dalam kompleksitas teori dan praksis.
Mendiskusikan sebuah desain selalu menarik dan dapat berkembang dalam berbagai sudut pandang,
karena mendiskusikan desain bukanlah hanya berkaitan dengan suka atau rasa, tetapi bagaimana desain
itu dapat berfungsi dengan baik. Seperti yang diungkapkan Steve Jobs : "Design is not just what it looks
like and feels like. Design is how it works." Melalui riset dengan desain diharapkan desain sebagai sebuah
laboratorium pengetahuan dapat memberikan kegunaan yang hakiki yaitu bagaimana sebuah desain
dapat bekerja demi kebaikan umat manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan. (as)

2
TULISAN PERTAMA

KONSTRUKSI TEORI

3
KONSTRUKSI TEORI

“ Teori adalah jaring yang dilemparkan untuk menangkap apa yang kita sebut 'dunia', untuk merasionalisasi,
menjelaskan, dan menguasainya. Kita berusaha untuk membuat jaring ini semakin halus dan halus.”
(Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery , p. 59)

PENGANTAR

Kita mengenal teori-teori yang banyak berkembang di masyarakat seperti : teori gravitasi yang
menjelaskan mengapa apel jatuh dari pohon, astronot melayang di angkasa, atau teori evolusi yang
meminjam dari catatan fosil, mengungkapkan mengapa begitu banyak tumbuhan dan hewan, yang ada di
bumi sekarang dan di masa lalu, beberapa sangat mirip serta beberapa lainnya sangat berbeda.
Keduanya, teori gravitasi maupun evolusi merupakan teori untuk menjelaskan tentang aspek dunia alami
yang dapat menggabungkan hukum, hipotesis dan fakta.

Sebuah teori tidak hanya menjelaskan fakta yang diketahui, juga memungkinkan ilmuwan membuat
prediksi tentang apa yang harus mereka amati. Teori ilmiah dapat diuji dan bukti baru harus sesuai dengan
teori. Jika tidak, teori itu perlu disempurnakan atau ditolak. Semakin lama elemen sentral teori bertahan -
semakin banyak pengamatan yang diprediksi, semakin banyak tes yang dilalui, semakin banyak fakta yang
dibentenginya, maka semakin kuat posisi teori tersebut.

Dalam arsitektur, misalnya Vitruvius (15 SM) mengidentifikasikan tiga prinsip arsitektur, firmitas, utilitas,
venustas, yang diterjemahkan secara konvensional sebagai integritas struktural, utilitas, dan keindahan.
Apa yang dikenal sebagai Trilogi Vitruvius ada dalam The Ten Books on Architecture (Buku I, Chap.III,
point 2) : “All these must be built with due reference to durability (fimitas), convience (utilitas), and
beauty (venustas). Durability will be assured when foundations are carried down to the solid ground and
materials wisely and liberally selected; Convenience, when the arragement of the apartement is faultless
and presents no hindrance to use, and when each class of building is assigned to its suitable and

4
appropriate exposure; and Beauty, when the work apprence of the work is pleasing and good taste, and
them its members are in due proportion according to correct principles of symmetry.” Prinsip Vitruvian
(`tiga keyakinan Vitruvian - Trilogi Vitruvius`) dalam teori arsitektural telah mendorong pemikiran untuk
dapat memahami prinsip-prinsip (kekuatan/firmitas - kegunaan/utilitas dan keindahan/vernutas) sebagai
pembentuk arsitektur yang baik.

Sejak Jaman Vitruvius sampai sekarang ini, teori arsitektur terus berkembang. Perkembangan teori dalam
arsitektur dapat ditelusuri, sebagai contoh : Gerakan modernis (arsitektur modern) dalam dunia arsitektur
diumumkan secara luas, melalui pernyataan dari Louis Sullivan (1896) yang menciptakan motto fungsional
dalam ungkapannya "bentuk mengikuti fungsi" - `Form Follow Function` ; Adolf Loos (1913), yang
mengecam ornamen sebagai "penjahat" - `Ornamen is Crime`; Le Corbusier (1923), yang menyatakan
bahwa karakter arsitektur harus dibentuk oleh kemungkinan teknologi zaman ini - `A House is a machine
for living in`. Mies Van Der Rohe (1947) mengungkapkan bahwa kesederhanaan (simplicity) dan
kejelasan (clarity) akan mengarahkan kepada desain yang baik -. `Less is More` .

Dalam perkembangan lebih lanjut, ada banyak teori arsitektur lainnya yang cukup mempengaruhi dunia
arsitektur, misalnya :
a) `The Formal Basis of Modern Architecture` (1963) oleh Peter Eisenman yang memfokuskan pada
pembahasan bahwa pertimbangan logis dan obyektif dapat memberikan sebuah konseptual bentuk formal.
Ketertiban yang berpedoman pada kekuatan geometri dapat menjadi titik acuan untuk segala bentuk
arsitektur.
b) `Notes on Synthesis of Form` (1964) oleh Christopher Alexander, mengungkapkan pada proses
penemuan hal-hal yang menampilkan tatanan fisik, organisasi, bentuk baru, sebagai tanggapan terhadap
fungsi. Sebuah bentuk harusnya muncul disesuaikan dengan keperluan dan tuntutan kebutuhan manusia.
Teori ini menggambarkan elemen dasar desain dalam bentuk dan konteks, yaitu bentuk adalah solusi
untuk masalah serta konteks mendefinisikan masalah.
c) `Complexity and Contradiction in Architecture`(1966) oleh Robert Venturi merupakan salah satu
teks yang dipakai sebagai sumber dari arsitektur post-modern. Buku ini menekankan bahwa komunikasi
arsitektural membutuhkan kompleksitas bukan simplisitas dan bahkan memerlukan kontradiksi. Perlu
memperkenalkan kembali sejarah ke dalam wacana arsitektur kontemporer. Slogan dari kaum modernis
"less is more" akan menjurus pada "less is a bore". Pendekatan gaya modernis dan pendekatan sosial
yang seragam, teknokratik, dan solusi top down telah ditinggalkan.
d) `The Language of Post Modern-Architecture` (1977) oleh Charles Jencks, didalam bukunya telah
mengalihkan istilah Postmodern dari sastra ke arsitektur. Melalui berbagai kajian tentang arsitektur post-
modern, buku ini telah menjadi sumber inspirasi terkuat dalam kajian teoritikal yang berhubungan dengan
gaya atau langgam. Bahkan dapat dikatakan bahwa arsitektur mempunyai peran yang penting dalam
pergerakan Postmodern sebagai fenomena abad XX
e) `Delirious New York : A Restroactive Manisfesto for Manhattan` (1978) oleh Rem Koolhaas
menceritakan `perayaan` dan analisis Rem Koolhaas tentang New York, menggambarkan kota ini
sebagai metafora untuk berbagai perilaku manusia yang luar biasa. Pada akhir abad kesembilan belas,
populasi, informasi, dan ledakan teknologi membuat Manhattan menjadi laboratorium untuk penemuan dan
pengujian gaya hidup metropolitan.
f) `The Architecture of the City` (1984) oleh Aldo Rossi membahas kota sebagai tempat penyimpanan
'memori kolektif manusia' perlu menjadi bagian penting dari perkembangan arsitektur dan peradaban. Buku
ini mencoba untuk tidak berfokus pada sterilitas bentuk atau penolakan terhadap citra gaya dalam
arsitektur modern, tetapi melihat sebuah ruang kota sebagai bagian penting dari kemajuan arsitektur.

5
g) `The Philosophy of Symbiosis` (1994) oleh Kisho Kurukawa menempatkan posisi arsitektur dalam
cara baru menafsirkan budaya masa kini. Sebuah filosofi yang mengambil namanya dari konsep ekologis
dan biologis, ia mengemukakan cita-cita yang dikembangkan dari filsafat dan budaya tradisional Jepang,
sambil terus-menerus mengakui kehadiran dunia kontemporer yang multivalen.

Berbagai Teori Arsitektur telah banyak berkembang, banyak teori sudah tidak berdiri atas bahasan-
bahasan tunggal dan terfokus pada diskursus arsitektur. Studi dari ilmu disiplin lain misalnya studi
sosiologi dari Henri Lefebvre (The Production of Space) dan studi filsafat dari Martin Heidegger (Being
inTime) sangat mempegaruhi pada beberapa pemikiran tentang teori arsitektur keseharian. Pemikiran teori
Amos Rapoport dalam House form and Culture sebagai studi budaya banyak dipinjam untuk memperdalam
pengetahuan arsitektur dalam hubungannya dengan budaya menghuni. Studi Semiotika sebagai Ilmu
tentang tanda berbasis pada Rolland Barthes dan Umberto Eco turut mempengaruhi bahasan tentang
peran arsitektur, dimana melihat tanda sebagai bagian kehidupan sosial. Filsafat fenomenologi Arsitektur
yang dikembangkan oleh Juhaini Palllasma turut memperkuat hubungan antara persepsi dan arsitektur.
Bahkan programming komputasi turut menciptakan hubungan yang kuat terhadap pengetahuan teori
arsitektur digital dan studi parametric dalam arsitektur.

TEORI
Teori adalah adalah generalisasi (dari hubungan berbagai variabel untuk membangun sistematika) yang
menghasilkan pemikiran yang koheren dan teori selalu bekerja dalam konteksnya. Teori mencoba untuk
menemukan fakta tetapi bukan untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah `badan `pengetahuan`, teori yang
satu dengan teori yang lain dapat saling `mendukung` atau `menjatuhkan` untuk membangun teori baru
lainnya. Pernyataan teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan pernyataan
akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki
potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika.
Kata ‘teori” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang
berarti pengamatan. Melihat dan mengamati berbagai variabel dan melihat bagaimana mereka saling
berhubungan untuk melihat fenomena yang ada (misalnya fenomena alam atau sosial). Setelah melihat
dan mengamati berbagai variabel tersebut, kita harus mampu untuk menjelaskan, mengendalikan dan
memprediksikan berbagai kemungkinan untuk dibangun hubungan yang koheren.

Kerlinger mengartikan teori sebagai seperangkat ide, konstruk atau variabel, definisi, dan proposisi yang
memberikan gambaran suatu fenomena atau peristiwa secara sistematik dengan cara menentukan
hubungan antar-variabel.1 Sementara itu menurut Stephen P. Borrgatti (1996) Sebuah teori adalah
penjelasan tentang sesuatu. Ini biasanya merupakan penjelasan tentang kelas fenomena, bukan satu
peristiwa tertentu. Teori sering diungkapkan sebagai rantai kausalitas.2

Teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau
fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah.

1 Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart, & Winston. Kerlinger (1986)
“a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that presents a systematic view of phenomena by
specifying relationships among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena” (p. 9).
2 Bogatti, Stephen P. (1996), Thinking Theoretically, http://www.analytictech.com/mb870/handouts/theorizing.htm

``A theory is an explanation of something. It is typically an explanation of a class of phenomena, rather than a single specific
event. Theories are often expressed as chains of causality``

6
Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk
menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-
kejadian di alam, atau tingkah laku hewan). Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas
kenyataan (misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan). Sebuah teori membentuk
generalisasi atas banyak pengamatan dan terdiri atas kumpulan ide yang koheren dan saling berkaitan.

Istilah teoretis dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang diramalkan oleh suatu teori namun belum
pernah teramati. Sebagai contoh, sampai dengan akhir-akhir ini, lubang hitam dikategorikan sebagai
teoretis karena diramalkan menurut teori relativitas umum tetapi belum pernah teramati di alam. Terdapat
kesalahan konsepsi yang menyatakan apabila sebuah teori ilmiah telah mendapatkan cukup bukti dan
telah teruji oleh para peneliti lain tingkatannya akan menjadi hukum ilmiah. Hal ini tidaklah benar karena
definisi hukum ilmiah dan teori ilmiah itu berbeda. Teori akan tetap menjadi teori, dan hukum akan tetap
menjadi hukum. 3

Dalam tulisannya tentang Thinking Theoretically, Stephen P. Borgatti 4 mengungkapkan bahwa untuk
membangun teori yang baik harus memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) Mechanism or Process : Teori yang baik memiliki elemen dinamis yang memberikan pemahaman
tentang proses, mengapa suatu situasi atau kondisi beralih ke situasi atau kondisi lain. Teori yang baik
didukung oleh proses yang baik dalam arti sebuah teori bukan hanya sebuah kesimpulan pengamatan
tetapi merupakan hubungan kausal yang terintegrasi.

2) Generality : Teori yang baik memiliki nilai keuniversalan untuk diterapkan pada berbagai peristiwa,
orang atau situasi tertentu. Teori yang baik bersifat umum sehingga dapat diaplikasikan pada lingkup
situasi atau kondisi yang lebih luas.

3) Truth : Pada hakekatnya teori tidak dapat dibuktikan kebenarannya, karena dua alasan: (1) Tidak
masalah seberapa teliti kita menguji teori terhadap data, selalu ada kemungkinan bahwa besok akan ada
beberapa data yang bertentangan dengan teori. Tidak pernah ada yang dinamakan pengujian terakhir,
karena kesempatan pengujian sebenarnya tidak terbatas, dan setiap hasil pengujian berikutnya mungkin
saja membuahkan hasil yang berbeda dengan pengujian sebelumnya. (2) Teori hanyalah deskripsi
tentang fakta, dan dalam kenyataan suatu fakta tidak hanya dapat dijelaskan oleh satu teori, tetapi oleh
beberapa alternatif teori yang memiliki validitas sama. Karena itu, keberlakuan suatu teori selalu bersifat
terbatas, relatif dan sementara. Selalu ada cara lain untuk menggambarkan fakta yang sama-sama valid.
Dalam pengertian ini, kebenaran bukanlah konsep yang masuk akal. Semua yang tersedia bagi kita adalah
deskripsi yang tidak bertentangan dengan fakta yang ada saat ini.

4) Falsifiability : Setiap teori yang dikemukakan oleh manusia tidak seluruhnya sesuai dengan hasil
percobaan atau observasi. Teori yang baik memberikan kesempatan untuk `dipersalahkan` artinya Teori
yang baik dapat dibuktikan keberlakuannya (tes) melalui eksperimen atau pengumpulan data yang
berpotensi bertentangan dengan teori. Tes terhadap teori bukan mencari pendukung kebenaran suatu

3 Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Teori
4 Op.cit

7
teori tetapi tes yang dilakukan dengan prinsip falsifikasi adalah untuk membuka celah, menyangkal,
menolak atau membantah teori tersebut. 5

5) Parsimony : Teori yang baik mempunyai rumusan keterkaitan yang jelas, sederhana dan fokus. Teori
yang baik mencoba melakukan penghindaran hubungan yang kompleks ketika ada alternatif yang lebih
sederhana. Teori seringkali disebut sebagai model, di mana seluruh gagasan yang terkandung di dalamnya
dikemas secara sederhana dengan cara menanggalkan hal-hal yang dianggap tidak penting. Kuncinya
adalah melalui kesederhanaannya mencoba merepresentasikan bagian-bagian penting dan meninggalkan
yang tidak penting dibelakang.

6) Fertility : Teori yang baik mampu membangkitkan banyak implikasi pada berbagai bidang, sehingga
dapat melahirkan pengetahuan baru atau cara pengujian teori yang baru. Implikasi terhadap bidang lain
bertujuan untuk membangun pengetahuan baru dan memberi kesempatan untuk mewakili kemungkinan
untuk menguji teori tersebut dalam pandangan lain.

7) Surprise : Mengacu pada kemampuan teori untuk membuat hal tak terduga dan tak terprediksi. Teori
yang baik harus menarik dan membawa cara pemahaman baru. Teori yang baik harus mampu
memberikan nilai kejutan sekaligus memberikan kesenangan yang bernilai.

Proses teorisasi adalah cara kerja berkesinambungan yang terintegrasi dari : cara berproses - nilai
universal - kreasi - falsifikasi - kesederhanaan - berelasi dan kejutan yang pada akhirnya bertujuan untuk
dapat menghasilkan teori yang baik. Teori yang baik bukan hanya baik dari segi materi yang dihasilkan,
tetapi juga indah dan menyenangkan dalam membuat teori tersebut. Eksplorasi dan eksperimen juga dapat
membuat sebuah teori tumbuh subur dan dapat terus berkembang dalam perannya sebagai ilmu
pengetahuan yang berguna bagi masyarakat.

PENALARAN TEORI
Membangun sebuah teori harus direncanakan secara hati-hati dan teliti, karena ini sangat berkaitan dalam
membangun hubungan antara variabel. Pandangan yang sistematis tentang sebuah fenomena yang ditelaah
dari berbagai macam variabel memiliki kekuatan untuk dapat : menjelaskan, mengendalikan serta
meramalkan suatu gejala. Setiap pernyataan tentang bagaimana suatu teori itu dikonstruksi, sangat
disederhanakan, dan hanya mewakili dalam keadaan umum. Ada dua metode penalaran yang dikenal yaitu
: Metode Deduktif dan Metode Induktif. 6

Metode Deduktif
Metode ini bekerja dari atas ke bawah, artinya adalah cara analisis dimulai dari sebuah kesimpulan umum
(generalisasi) lalu diuraikan melalui contoh-contoh kongkrit atau fakta untuk menjelaskan kesimpulan umum

5 Karl Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji. Teori hanya sebuah hipotesa (dugaan sementara) yang
akan terus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak takut menghadapi bantahan, penyangkalan,
kritik, penolakan terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan seorang ilmuwan sejati selalu membangun teorinya atas
sanggahan dan mengharapkan pembalikan teori yang dibangunnya agar tercapai kebenaran `sejati`
6 http://rahmatsuharjana.blogspot.co.id/2012/09/penjelasan-teori-dan-konstruksi-teori_2.html

8
tersebut. Biasanya ada tiga tahapan yang dilalui yaitu : a. Tahapan spekulasi b. Tahapan observasi dan
klasifikasi c. Tahapan perumusan hipotesis. Kesimpulan umum terlihat sangat logis didasari oleh apriori
(asumsi tentang segala sesuatu), sebelum bertemu dengan pengalaman dan akhirnya mengambil
kesimpulan. Kemudian teori itu diuji dengan melakukan eksperimen-eksperimen yang sifatnya ditentukan
oleh teori tersebut. Dalam teori semacam ini, mula-mula dirumuskan sekumpulan asumsi-asumsi dasar atau
postulat-postulat, dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu yang telah dikenal. Dari asumsi dasar
(postulat) ini kemudian dikeluarkan hipotesis atau teorema. Hipotesis ini kemudian diuji, dan hipotesis yang
terbukti benar, dipertahankan. Penalaran deduktif selalu berada dalam proses koreksi, dan karena itu
meminta banyak dilakukan riset. Masalahnya dengan penalaran semacam ini adalah bila sebagian besar
dari asumsi dasar (postulat-postulat) itu tidak benar atau cocok, teori akan menyebabkan dilakukannya riset-
riset yang sedikit tidak berguna.

Berikut contoh untuk memberikan gambaran tentang cara kerja Metode Deduktif

`` Masyarakat Indonesia Konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif
sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial `` 7

`` Keberhasilan dunia teknologi internet berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat (umum).
Teknologi saat ini tidak hanya untuk mempermudah setiap aktivitas manusia (khusus), tetapi secara
langsung juga berdampak bagi perekonomian (khusus). Sekarang mau belanja bisa lewat toko online, mau
pesan tiket juga bisa secara online, dan mau naik ojek bahkan juga bisa dengan online.`` 8

Cara kerja Metode Deduktif adalah menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus
berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum. Kesimpulan Deduktif dibentuk dengan hal-hal umum menuju
kepada hal-hal khusus atau yang lebih rendah, atau dari suatu dalil atau hukum kepada hal-hal kongkrit. 9

Metode Induktif
Metode Induktif adalah kebalikan dari Metode deduktif. Menurut cara ini, teori-teori menjadi generalisasi
generalisasi dari fakta-fakta empiris. Contoh-contoh kongkrit dan fakta-fakta diuraikan terlebih dahulu, baru
kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan atau generalisasi. Pada metode induktif, data dikaji
melalui proses yang berlangsung dari fakta. Penalaran Induktif bekerja dari bawah ke atas, menyusun
sistem-sistem (dapat disebut teori-teori mini) yang memperhatikan hasil-hasil riset yang telah berkali-kali
diuji. Lalu menyusun sistem-sistem yang lebih tinggi tingkatnya sebagai generalisasi dari teori-teori mini itu,
dan akhirnya merumuskan suatu teori yang dapat mencakup semua pernyataan yang lebih rendah
tingkatannya. Pendekatan semacam ini mempunyai satu keuntungan, yaitu orang yang merekonstruksi
teori itu tidak pernah jauh dari pernyataan-pernyataan yang ‘kebenarannhya’ cukup tinggi. Tetapi ada
masalah yang dihadapinya, yaitu cara ini kerap kali menyebabkan timbulnya teori-teori yang rendah
tingkatnya. Di antaranya ada yang tidak khas, fungsinya tumpang tindih satu dengan yang lain. Kelebihan
dari metode induktif adalah sebagai berikut : 10
1. Metode induktif lebih dapat menemukan kenyataan yang kompleks yang terdapat dalam data.
2. Metode induktif lebih dapat membuat hubungan antara peneliti dengan responden menjadi eksplisit,

7 https://rismarhaesa15.wordpress.com/2015/03/28/pengertian-penalaran-deduktif-dan-induktif-beserta-contoh-dan-ciri-cirinya/
8 http://caramembedakan.blogspot.com/2016/04/perbedaan-paragraf-deduktif-dan.html
9 Op.cit
10 https://makalah-update.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-dan-metode.html

9
dapat dikenal dan dipertimbangkan.
3. Metode induktif lebih dapat memberikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan
tentang dapat tidaknya pengalihan kepada latar lainnya.
4. Metode induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan.
5. Metode Induktif memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.

Berikut contoh untuk memberikan gambaran tentang cara kerja Metode Induktif

`` Pada saat ini remaja lebih menyukai tari-tarian dari barat seperti breakdance, shuffle, salsa atau modern
dance (khusus). Begitupula dengan jenis musik seperti rock, blues atau jazz (khusus). Tarian dan kesenian
tradisional mulai ditinggalkan dan beralih mengikuti tren barat (umum). Penerimaan terhadap bahaya luar
yang masuk tidak disertai dengan pelesyarian budaya sendiri. Kesenian dan budaya luar pelahan-lahan
menggeser kesenian dan budaya tradisonal. ``11

`` Jangan makan saat hendak tidur (khusus), begitulah orang tua dulu menasihati kita. Nampaknya nasihat
orang tua dulu memang ada benarnya. Jangan pula banyak ngemil saat sedang sendirian, dan jangan makan
dengan berlebihan, serta berhentilah makan sebelum kenyang (khusus). Itulah tips agar tidak mengalami
kegemukan (umum).12

Cara Kerja Metode Induktif adalah diawali dengan memaparkan permasalahan-permasalahan khusus
(biasanya diiringi dengan pembuktian atau contoh contoh fakta) dan diakhiri dengan kesimpulan yang
merupakan penyataan umum.

KLASIFIKASI TEORI ARSITEKTUR 13

Pada bahasan ini, penulis meminjam tulisan Iwan Sudrajat dalam sebuah bahasannya mengenai Teori
Arsitektur Nusantara (1999) adalah sebagai berikut :

“ Arsitektur sebagai unsur budaya yang bersifat universal mudah ditemukenali, tetapi sangat sulit untuk
diteorisasikan. Terminologi “arsitektur” merujuk pada seni / ilmu merancang dan membangun, kualitas
formal dan estetik bangunan, sistem konstruksi, metafora dan simbol, dll. Karena itu seperti diungkapkan
oleh Hanno Walter Kruft, definisi yang abstrak dan normatif tentang teori arsitektur sangat tidak bermanfaat
dan secara historis tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Perdebatan tentang teori arsitektur mudah sekali
terjerumus menjadi polemik yang berkepanjangan.”

Meskipun demikian, berdasarkan lingkup problematisasinya, teori arsitektur menurut Edward Robbins
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni :

11 https://rismarhaesa15.wordpress.com/2015/03/28/pengertian-penalaran-deduktif-dan-induktif-beserta-contoh-dan-ciri-cirinya/
12 http://caramembedakan.blogspot.com/2016/04/perbedaan-paragraf-deduktif-dan.html
13 Iwan Sudrajat, Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara: Mengubah Angan Angan Menjadi Kenyataan, Kumpulan

Naskah Terbaik Lomba Penulisan Teori Arsitektur (Ngawangun Ki Nusantara), Arsitektur UNPAR , Bandung. 1999.

10
1. Theory in Architecture : Kebanyakan teori arsitektur tergolong ke dalam kelompok ini.
Theory in Architecture umumnya mengamati aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional,
dan prinsip-prinsip estetik yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha merumuskan dan
mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan praktis yang penting bagi penciptaan desain bangunan yang
baik. Teori yang tergolong dalam kolompok ini cenderung bersifat superfisial, deskriptif dan preskriptif,
kurang dilandasi oleh interpretasi dan pemahaman yang kritis dan mendalam.
2. Theory of Architecture : Teori yang tergolong dalam kelompok ini berusaha menjelaskan bagaimana
para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan pengetahuan, teknik dan sumber-
sumber dalam proses desain dan produksi bangunan. Isu pokok di sini bukanlah prinsip-prinsip umum
yang memandu desain, tetapi bagaimana dan mengapa arsitek mendesain, menggunakan media, dan
bertindak; serta mengapa di antara mereka bisa terjadi keragaman historis maupun budaya.
3. Theory about Architecture : Teori yang tergolong dalam kelompok ini bertujuan menjelaskan makna
dan pengaruh arsitektur, mendudukkan arsitektur dalam konteks sosial budayanya, memberikan
bagaimana arsitek bekerja sebagai produser budaya, atau memahami bagaimana arsitektur digunakan
dan diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, teori ini berusaha menjelaskan bagaimana arsitektur
berfungsi, dipahami dan diproduksikan secara sosial dan budaya.

Teori yang pertama dan kedua menuntut para teoritikus agar menguasai isu-isu tentang gubahan bentuk,
struktur, material, metoda riset dan komunikasi, ekonomi, proses produksi bangunan, dll. Walaupun
pengetahuan yang berkaitan dengan pengetahuan tentang arsitektur sebagai proses penciptaan tersebut
cukup penting, namun tidak mampu memberikan wawasan yang memadai tentang bagaimana arsitektur
berfungsi secara sosial dan budaya, seperti yang ingin diungkapkan oleh teori ketiga. Para pemikir teori
yang ingin menjelaskan peran arsitektur dalam realitas kehidupan masyarakat harus menguasai metode
untuk meneliti praktek sosial dan budaya, serta menyadari bahwa pengetahuan tentang arsitektur dari
perspektif “orang dalam” saja tidak mampu menjelaskan bagaimana arsitektur didefinisikan dan dipahami
oleh masyarakat luas.

RAGAM UMUM TEORI ARSITEKTUR 14


Dalam Tulisan yang sama tentang Teori Arsitektur Nusantara (1999), Iwan Sudrajat mengadaptasi
pemikiran dari Denis McQuail (1987), Mass Communication Theory: An Introduction tentang Ragam Umum
posisi teori yang dapat dipakai sebagai kerangka berpikir tentang arsitektur. Iwan Sudrajat memaparkan :

Apabila teori arsitektur dipahami sebagai seperangkat gagasan yang bermaksud menjelaskan atau
menafsirkan berbagai fenomena arsitektural, maka secara umum kita dapat membedakan 4 (empat) jenis
teori arsitektur, yakni :
1. Teori Sosial Ilmiah (Social Scientific Theory) : Teori Sosial Ilmiah umumnya berupa pernyataan-
pernyataan (statements) tentang sifat, fungsi dan pengaruh arsitektur dalam rona kemasyarakatan dan
nilai sosial budaya tertentu, yang diturunkan secara sistematis dari pengamatan obyektif dan bukti-bukti
empiris, dan seringkali berkaitan erat dengan teori sosial ilmiah dari disiplin keilmuan yang lain, seperti:
antropologi, arkeologi, sosiologi, sastra, dan lainnya.

14 ibid

11
2. Teori Normative (Normative Theory) : Teori Normatif mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya
arsitektur berperan dalam rona kemasyarakatan serta nilai sosial budaya tertentu, sehingga pada
gilirannya akan mampu mempengaruhi kepekaan apresiasi, evaluasi dan antisipasi terhadap fenomena
arsitektur di masa lampau, masa kini dan masa mendatang.
3. Teori Kerja (Working Theory) : Teori kerja sekaligus bersifat praktis dan normatif, berfungsi sebagai
pedoman untuk memandu cara kerja mereka yang terlibat dalam proses produksi arsitektur, agar
sejalan dan tetap konsisten dengan prinsip-prinsip dan tujuan ideal yang ingin dicapai. Teori kerja bisa
dituangkan dalam bentuk tradisi, praktek profesional, norma, rules of thumb, metoda dan teknik.
4. Teori Akal Sehat (Commonsense Theory) : Teori Akal Sehat merujuk pada pemikiran dan gagasan
subyektif yang diturunkan dari pengalaman individu, terutama para arsitek, dosen, kritikus dan
sejarawan. Teori Akal Sehat umumnya tidak diartikulasikan, tetapi secara implisit mendasari berbagai
pandangan, penilaian dan tindakan aktor yang bersangkutan.

Keempat Ragam Teori ini menjadi semacam jembatan untuk kita dapat melihat posisi arsitektur dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan lain. Berbagai ragam teori ini memberikan panduan serta batasan
untuk cara mmeposisikan teori arsitketur serta menentukan lingkup kerja teori yang akan dibangun.

WILAYAH TEORI ARSITEKTUR


Dalam Tulisannya dengan judul The Future Isn`t What It Used To Be 15 , Victor Papanek menjelaskan
bahwa dalam sebuah proses desain, seorang arsitek akan bekerja dalam dua cara yang berbeda yaitu:
Pertama adalah proses desain dilakukan dengan cara yang sistematis, saintifik, terprediksi juga dapat
terkomputerisasi. Pada Proses ini ada prinsip untuk merasionalisasikan desain dengan mengembangkan
aturan main (rules), pengelompokan (taxonomies), klasifikasi (classifications) dan prosedur (procedurs).
Proses desain mengacu pada cara berpikir secara saintifik, didukung dengan latar belakang teoritikal dan
pendekatan ini merespek pada alasan (reason), logika (logic) dan intelektualitas (intellect). Kedua adalah
proses desain yang dilakukan dengan cara mengandal perasaan, sensasi dan inspirasi. Proses desain
mengacu pada cara berpikir secara seni. Pada proses ini ada prinsip untuk men-subyektifikasikan desain
dengan cara mengembangkan intuisi (intuition), romantis (romantism), naluri (insting). Proses desain lebih
mengandalkan uji coba (trial and error) dan intuisi dengan mempertimbangkan nilai estetika (subyektifitas)
sebagai tujuan utama. Dari pemaparan ini, terlihat bahwa proses desain, baik yang bergerak dalam
lingkup saintifik maupun instuisi memberikan konsekwensi yang secara spesifik harus didukung oleh kajian
teoritis yang bergerak dalam Wilayah Saintifik dan Wilayah Seni.

Arsitektur sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan arsitektur sebagai produk desain telah menjadi bagian
besar dalam membangun sebuah Lingkungan Binaan. Hubungan antara arsitektur dan lingkungan menjadi
bagian penting dari perkembangan arsitektur itu sendiri, karena berkaitan dengan membangun perilaku
manusia dalam lingkungan melalui arsitektur. Gary T Moore dalam tulisannya dengan topik New Directions
for Enviroment Behavior Research Architecture, 16 memaparkan bahwa ada beberapa acuan penting yang
diperlukan untuk membangun hubungan arsitektur terhadap lingkungan, antara lain : a) Kualitas
Lingkungan dan kualitas kehidupan. b) Isu tempat yang berkaitan dengan tatanan bangunan dan manusia

15 Margolin, Victor dan Buchanan, Richard (2000), The Idea of Design - A Design Issues Reader, The MIT Press, London, hal.
56-69.
16http://sydney.edu.au/architecture/documents/staff/garymoore/49.PDF

12
sebagai pengguna c) Isu Sosial dan Perilaku. Gary T Moore mengungkapkan bahwa arsitektur mencakup
lebih banyak daripada sekedar fungsi. Fungsi dalam arsitektur lebih banyak mengacu
pada masalah dimensional, sistem sirkulasi, hubungan kegiatan antar ruangan ataupun jenis kegiatan.
Akan tetapi, jangkauan perilaku, psikologi pemakai, kebutuhan dan hubungan dengan masyarakat,
perbedaan budaya dan makna dari bangunan, menjadi cara kita dalam memproduksi arsitektur. Dari
penjelasan ini, terlihat bahwa arsitektur dalam hubungan dengan lingkungan bukan hanya sekedar
arsitektur sebagai bangunan tetapi ada kajian lain yang perlu diperhatikan yaitu dalam Wilayah Perilaku
dan Wilayah Environmental.

Melalui pemaparan diatas didapat kesimpulan bahwa pengetahuan arsitektur (baca : melalui proses desain
maupun arsitektur sebagai bagian dari lingkung bina) memiliki 4 (empat) buah wilayah besar yang
bergerak dalam wilayah :

1) Wilayah Teori Saintifik yaitu sebuah wilayah teori yang bergerak dalam kerangka saintifik atau ilmiah.
sebagai contoh : teori shape grammar, space syntax, parametric, matematika-geometri, rekayasa teknologi
atau teori lainnya yang dibangun atas dasar logika, alasan, sistematis, terprediksi.

2) Wilayah Teori Seni yaitu sebuah wilayah teori yang dibangun berdasarkan subyektifitas perasaan
(mengandalkan nilai estetika - intuisi). Sebagai contoh : teori yang berkaitan dengan eksperimental, utopis,
collage, painting, paranoid critical method atau teori lainya yang dikembangkan berdasarkan nilai sensasi
(perasaan), intuisi dan kreatifitas estetika.

3) Wilayah Teori Perilaku yaitu sebuah wilayah teori yang berpijak pada nilai-nilai perilaku (behavior)
manusia dan komunitas. Sebagai contoh : pendekatan partisipasi, bahasa pola, keseharian, fenomenologi,
humaniora atau teori lainnya yang berhubungan dengan psikologi arsitektur, persepsi, sosial komunitas.

4) Wilayah Teori Environmental yaitu sebuah wilayah teori yang berhubungan dengan lingkungan.
Sebagai contoh : teori green architecture, landscape urbanism, kontekstual atau teori lainnya yang
berhubungan dengan nilai lokalitas-globalitas, regionalitas serta spatial urban structure.
Keempat wilayah sains, seni, perilaku dan environmental merupakan basis besar pada kajian bidang teori
arsitektur. Dalam lingkup kecil sebagai fokus pengetahuan, misalnya teori fenomenologi yang lebih
menekankan pada cara melihat fenomena dan mempertanyakan fenomena yang tampak sebagai cara
pandang sesorang (sebagai orang pertama). Fenomenologi dapat dikategorikan sebagai sebuah teori yang
berhubungan dengan perilaku atau tubuh seseorang. Maka, fokus pengetahuan ini dapat mengembangkan
dan memperkuat dirinya sendiri berdasarkan wilayah yang ditempati

PENDEKATAN ANALOGI UNTUK TEORI ARSITEKTUR


Wayne O Attoe dalam tulisannya tentang Teori, Kritik dan Sejarah Arsitektur 17 mengungkapkan bahwa
dalam memandang arsitektur . para ahli teori seringkali mengacu pada analogi. Berikut ini adalah beberapa
analogi yang berulang-ulang digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan arsitektur :

17 Snyder, James.C dan Catanese, Anthony J. (1984), Pengantar Arsitektur, Penerbit Airlangga (terjemahan), hal 36-73.

13
1) Analogi Matematis : berkaitan dengan angka-angka (ilmu hitung) dan formasi geometri sebagai contoh
adalah` penampang emas` atau `nomor emas` yang sering dipakai sebagai panduan yang tepat untuk
rancang arasitektur, yaitu perbandingan 1 : 1,618
2) Analogi Biologis : berhubungan dengan bagaimana sebuah bentuk berhubungan dengan bentuk lain
dan tumbuh dan tumbuh dalam hubungan sebagai organisme. Tumbuh secara Organik menjadi kata kunci
untuk analogi jenis ini
3) Analogi Romantik : membangun hubungan emosional dari mata pemakai dan pengamat. Untuk
membangun rasa emosional ini dapat dilakukan dengan cara menimbulkan asosiasi atau melalui
pernyataan yang dilebih-lebihkan.
4) Analogi Linguistik : berkaitan dengan arsitektur sebagai sebuah bahasa. kata-kata yang diatur dalam
sistem gramatikalnya akan menjadi sebuah kalimat yang mengandung pengertian. Arsitektur sebagai
sebuah bahasa memberikan kesempatan untuk menyampaikan identitasnya melalui elemen-elemen
pembentuknya sehingga dapat mengungkapkan ekspresi, karakter, tanda dan kesan yang ingin
ditampilkan.
5) Analogi Mekanik : “a home is machine to living in” (rumah adalah sebuah mesin untuk dihuni) oleh Le
Corbusier menjadi dasar untuk analogi ini. Bangunan seperti sebuah mesin yang menyatakan apa yang
sesungguhnya ada didalamnya. Bangunan harusnya tidak menyembunyikan fakta-fakta ini dengan hiasan
hiasan yang tak relevan.
6) Analogi Pemecahan Masalah : berhubungan dengan analisis yang seksama terhadap sebuah kondisi
yang dihadapi dan prosedur-prosedur khusus dirumuskan untuk menyelesaikannya. Nilai rasionalitas dan
logika menjadi standar yang digunakan dalam membantu proses analisis yang dilakukan.
7) Analogi Adhocis : berkaitan dengan elektisisme yaitu berhubungan dengan menggunakan bahan-
bahan yang mudah diperoleh untuk menghasilkan arsitektur. Kewajiban arsitek adalah mengkreasikan
yang sudah ada menjadikannya sebagai yang terbaik.
8) Analogi Bahasa Pola : mengacu pada pola-pola yang terbentuk dalam sebuah masyarakat dan
membaca pola tersebut sebagai sebuah bahasa. Pola-pola yang berulang akan membangun bahasa
keruangan dan hubungan perilaku didalam arsitektur.
9) Analogi Dramaturgi : lingkungan buatan adalah sebuah panggung dan arsitek melalui bangunan dan
manusia penggunanya mengisi panggung tersebut. Arsitek dapat menyebabkan orang bergerak ke suatu
arah atau dari arah lain dengan memberikan petunjuk-petunjuk visual.
Kesembilan Analogi diatas, merupakan sebuah cara sederhana untuk mendekatkan diri kepada
pendekatan teoretis dan melihat hasil karya arsitektur yang terjadi. Tentunya, kit masih bisa memberikan
analisis analogi lainnya diluar sembilan analogi diatas, misalnya Analogi Tektonik berkaitan dengan
keindahan hubungan konstruksi, Analogi Poetic berhubungan dengan spatial perception, Analogi Narasi
mengacu pada kemampuan membangun cerita keruangan bangunan, Analogi Notasi berkaitan dengan
kemampuan membaca diagram dan keruangan. Analogi Data berkaitan dengan kekuatan data sebagai
pembentuk keruangan. Analogi social yang memberikan analisis – sintesis terhadap keseharian, Analogi
kontekstual yang berkaitan dengan studi tempat dan lingkungan, dll. Tambahan berbagai analogi ini,
merupakan sebuah cara untuk melakukan kategori dan alur berpikir dalam membangun konsistensi
pembahasan walaupun ruang untuk melakukan interdisipliner dengan berbagai alur lainnya. Kemampuan
menyusun kerangka berpikir dengan alur analogi, akan membuka peluang untuk menyusun teoresasi
arsitektur serta membantu membuka variabel-variabel yang menyusun arsitektur itu sendiri.

14
KONSTRUKSI TEORI ARSITEKTUR
Bagian ini merupakan kesimpulan tentang cara untuk meng-konstruksi sebuah teori arsitektur.
Diagram dibawah ini memperlihatkan alur-alur yang harus dilalui untuk dapat mengkonstruksi sebuah
teori arsitektur:

Diagram Konstruksi Teori Arsitektur

Diagram disamping menunjukkan


cara kerja menyusun sebuah
Kerangka Teori Arsitektur dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Langkah pertama adalah :
menentukan metode penalaran yang
akan kita pilih : Deduktif atau Induktif.
Langkah kedua adalah : memilih
problem teori yang ingin kita bahas :
Theory IN / OF / ABOUT Architecture.
Langkah ketiga adalah : menentukan
Ragam Teori yang dapat menunjang
keputusan Langkah pertama dan
Kedua.
Langkah keempat adalah : memilih
Wilayah Teori Arsitektur yang sesuai
dengan Teori yang akan
dikembangkan.
Langkah Kelima adalah melihat
peluang apakah pendekatan Analogi
dapat membantu keputusan-
keputusan diatas.

Setelah semua tersusun, Langkah keenam adalah melakukan Uji Coba (Test) apakah hasilnya sudah
memenuhi kriteria sebuah teori yang baik yaitu : mechanism/process - generality - truth - falsifiability -
parsimony - fertility - suprise. Diagram diatas adalah panduan untuk membangun sebuah basis teoritikal
dalam urutan yang terstruktur, tetapi teori sebagai sebuah cara melihat atau memandang harus diikuti oleh
dukungan berbagai macam literatur dan diskusi yang ketat, serta menerima masukan dari berbagai pihak
sehingga mampu membuat teori yang disusun, menuju ke diskursus intelektual yang lebih halus atau
mendalam.

15
Contoh Diagram Konstruksi Teori

KESIMPULAN
Mengkonstruksi sebuah Teori Arsitektur merupakan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan membaca
kompleksitas fenomena yang terjadi pada ataupun diluar arsitektur. Perubahan paradigma arsitektur
dewasa ini, yang mendoronganya membangun hubungan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya,
akan memberikan kesempatan untuk membangun sebuah teori arsitektur yang lebih dinamis dan multi
disiplin.
Mengkonstruksi teori arsitektur menjadi eksplisit dalam aturan main yang konsisten, akan membuat teori
tersebut memiliki kekuatan. Kesadaran akan limit (batas) dan nilai prediksi dari kedudukan sebuah teori,
secara alami akan menempatkan teori pada posisi yang menguntungkan. Teori yang baik selalu membuka
peluang untuk di uji coba (test). Sebuah teori perlu memiliki kejelasan serta menyediakan hubungan yang
memiliki kejelasan logika satu dengan lainnya.
Teori arsitektur harus memberikan nilai tambah sebagai sebuah sistem reproduksi ilmu pengetahuan,
budaya serta memiliki semangat jamannya. Teori arsitektur harus dapat membuka diri, memberikan `celah`
bagi pengetahuan lainnya untuk berpartisipasi didalamnya. Teori arsitektur harus bersifat pluralistik dan
secara konsisten tampil untuk tidak menyandang label atau identitas tertentu. Seperti diungkapkan oleh
Nicholas M. Graham: “Theory is not a luxury, it is a necessity”. (as)

16
TULISAN KEDUA

RISET – DESAIN - PENGETAHUAN

17
RISET - DESAIN dan PENGETAHUAN

Tree of knowlegde

` Semua pengetahuan kita dimulai dengan indera, lalu ke pemahaman, dan berakhir dengan akal. Tidak ada yang
lebih tinggi dari alasan. `
Immanuel Kant

Kata 'penelitian' - `riset` telah digunakan untuk mencakup berbagai kegiatan, dengan konteks yang sering
terkait dengan bidang studi; istilah ini digunakan di sini untuk mewakili studi atau investigasi yang cermat
berdasarkan pada pemahaman sistematis dan kesadaran kritis terhadap pengetahuan. Kata ini digunakan
secara inklusif untuk mengakomodasi berbagai kegiatan yang mendukung karya orisinal dan inovatif di
seluruh jajaran akademik, bidang profesional dan teknologi, termasuk humaniora, serta seni kreatif
tradisional, pertunjukan, dan lainnya. Ini tidak digunakan dalam arti terbatas, atau hanya berkaitan dengan
'metode ilmiah' tradisional. 1 Riset dalam arsitektur telah menjadi bagian penting bagi arsitektur untuk
membangun dirinya berbasis pada pengetahuan. Hubungan antara riset (sebagai aksi) dan pengetahuan
(sebagai reaksi) adalah saling mengikat dan berkolaborasi dan para peneliti arsitektur yang secara
langsung menggunakan atau membangun riset dalam konteks desain, memiliki kewajiban untuk
mempelajari dengan seksama hal-hal yang berkaitan dengan nilai intelektual yang terkandung dalam
pengetahuan arsitektur (dan intedispliner) lainnya. Untuk memperkuat diskursus tentang riset dalam
arsitektur, ada tiga pengertian yang perlu diketahui yaitu : riset, desain dan pengetahuan. 2

1 https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf lihat : hal 189


2 Ibid, hal 2 – 7. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design
Education ( 2008) menjadi sumber utama dalam bagian ini, dengan beberapa tambahan dari penulis.

18
RISET
Kata riset atau riset atau research dalam bahasa Inggris, secara etimologis berasal dari kata Prancis kuno
"recercher" yang berarti mencari, mencari dengan cermat, mencari kembali, pergi mencari, melakukan
perjalanan. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search (re+search) yang memiliki arti `mencari ulang`
atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Meskipun kata
tersebut berasal dari akhir abad keenam belas, makna penyelidikan ilmiah terkait dengan kata "riset" mulai
ramai dilaksanakan pada pertengahan abad ketujuh belas. Sebagai contoh, Leonardo da Vinci, studinya
tentang anatomi, awalnya mengejar pelatihannya sebagai seorang seniman, telah tumbuh pada 1490-an
menjadi bidang riset independen (an independent area of research). Ketika matanya yang tajam
mengungkap struktur tubuh manusia, Leonardo da Vinci menjadi terpesona oleh figura istrumentale dell 'omo
("figur instrumental manusia").3 Dalam kondisi modern sampai saat ini, bidang riset telah berkembang di
berbagai faktor kehidupan bergerak dari bidang kesehatan, mekanikal, sosial, lingkungan, AI, robotic, dll.,
semua ini terkait dengan gagasan penyelidikan dan akurasi yang bertujuan membangun pengetahuan dan
untuk kesejahteraan manusia.
Dari kamus kita dapat melihat pengertian riset, sebagian besar digunakan untuk menunjukkan penyelidikan
ilmiah atau ilmiah dari suatu subjek.
re·search n. 1. Scholarly or scientific investigation or inquiry. 2. Close, careful study. v. intr.
To engage in or perform research. v. tr. 1. To study (something) thoroughly so as to
present in a detailed, accurate manner. 2. To do research for.
re-search – verb (used with object), verb (used without object) to search or
search for again.

Dalam bahasa Itali , kata riset adalah `ricercar` (juga dieja `ricercare`), yang berarti mencari, berbagi akar
etimologis dengan "re-search". Ricercar juga merupakan nama untuk bentuk musik yang menonjol pada
abad keenam belas dan ketujuh belas yang sekarang dikenal sebagai `fugue`. `Fugue` pertama dimainkan
di Well-Tempered Clavier, adalah pengenalan yang indah untuk dunia musik oleh Johann Sebastian Bach.
Sebuah fugue adalah komposisi musik dimana theme (melodi) diperkenalkan, dan kemudian diulang
dengan suara lain. Hal ini didasarkan pada eksplorasi motif tunggal yang sebagian besar dilakukan melalui
peniruan motif awal. "Persembahan Musik" karya Johann Sebastian Bach dapat dianggap sebagai satu
motif, salah satu contoh terbaik `ricercar`. Ricercar menjadi pencarian kemungkinan yang melekat dalam
satu motif melalui permainannya. Selanjutnya, ricercar menjadi riset tentang musik melalui melodi.
Riset sebagai proses mencari ulang adalah proses penyelidikan sistematis dan mempelajari bahan dan
sumber untuk membangun fakta dan mencapai kesimpulan baru. Riset merupakan proses `pemeriksaan
yang rajin` untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, riset adalah proses mencari jawaban atas
pertanyaan spesifik dengan cara yang terorganisir, obyektif, dan andal. Ini berkaitan dengan proses yang
sistematis, formal, ketat dan tepat yang digunakan untuk mendapatkan solusi dari masalah atau untuk
menemukan dan menafsirkan fakta dan hubungan baru.

3 https://www.britannica.com/biography/Leonardo-da-Vinci/Anatomical-studies-and-drawings

19
DESAIN
Kata desain dalam bahasa Inggrisnya `design`, biasanya digunakan sebagai kata kerja dan kata benda.
Secara etimologis, kata ini diturunkan dari kata kerja Latin `designare` yang berarti menandai, merancang,
mendeskripsikan de + signare yang berarti menandai. Meskipun, dalam penggunaan modern, "desain"
memiliki beberapa konotasi sebagai kata kerja atau kata benda, konotasi ini terutama berfokus pada
aktivitas perencanaan atau memahami bentuk dan struktur objek dan gagasan niat dalam berpikir.
Ketika "desain" dianggap sebagai kata kerja, penekanan pada penciptaan ditambahkan pada gagasan
perencanaan dan niat. Dengan afiliasi yang kuat dengan gagasan niat, desain berarti proyeksi menuju
masa depan. Meskipun secara umum diterima secara etimologis berasal dari bahasa Latin "de + signare,"
yang berarti untuk menandai, awalan Latin "de" umumnya menunjukkan pembalikan (seperti dalam
menonaktifkan, mencairkan dll). Oleh karena itu, kata desain memperoleh konotasi `kelicikan` dan
`penipuan` karena menunjukkan pembalikan penandaan.

Setelah membahas makna "desain" dan kata-kata terkait seperti seni dan teknologi dalam beberapa
bahasa, Vilem Flusser, dalam The Shape of Things: A Philosophy of Design berpendapat bahwa tujuan
dari kegiatan desain adalah "untuk menipu alam melalui teknologi" melalui penciptaan benda-benda
buatan. Dia juga menyatakan bahwa, menurut argumen Platonis, mendesain berarti memindahkan bentuk-
bentuk (ide) yang secara teori dapat dipahami ke dunia material. Menurut Plato, selama transfer ini, para
seniman dan teknisi `mengkhianati` dan `membelokkan` gagasan. Meskipun penafsiran Flusser tentang
gagasan-gagasan Plato dalam karya seniman dan pengrajin tidak secara langsung terkait dengan ruang
lingkup riset ini, diskusi ini sangat penting untuk membuka dimensi yang berbeda. dalam pemahaman kata
`desain`. Untuk lebih tepatnya, hubungan antara ide-ide dan aktivitas membuat melekat dalam `desain`
cukup signifikan untuk memahami apa itu desain.

Dari kamus dapat kita temukan definisi desain sebagai sebuah rencana untuk melakukan sesuatu, setiap
rencana yang dijalankan harus memiliki tujuan.

de·sign, v. tr. a. To conceive or fashion in the mind; invent … b. To formulate a


plan for; devise … 2. To plan out in systematic, usually graphic form … 3. To create or
contrive for a particular purpose or effect … 4. To have as a goal or purpose; intend. 5. To
create or execute in an artistic or highly skilled manner. v. intr. 1. To make or execute
plans. 2. To have a goal or purpose in mind. 3. To create designs. n. a. A drawing or
sketch. b. A graphic representation, especially a detailed plan for construction or
manufacture. 2. The purposeful or inventive arrangement of parts or details … 3. The art
or practice of designing or making designs. 4. Something designed, especially a
decorative or an artistic work. 5. An ornamental pattern. See Synonyms at figure. 6.
A basic scheme or pattern that affects and controls function or development: … 7. A
plan; a project. See Synonyms at plan. a. A reasoned purpose; an intent … b. Deliberate
intention … 9. A secretive plot or scheme. Often used in the plural.

Desain adalah rencana atau spesifikasi untuk menghasilkan objek, sistem, untuk implementasi suatu
kegiatan, hasil dari rencana, spesifikasi itu dalam bentuk prototipe, serta produk. Kata kerja untuk
mendesain mengekspresikan proses pengembangan suatu desain. Dalam beberapa kasus, konstruksi
langsung suatu objek tanpa rencana sebelumnya yang eksplisit (seperti dalam kerajinan, beberapa teknik,
pengkodean, dan desain grafis) juga dapat dianggap sebagai kegiatan desain. Desain biasanya harus
memenuhi tujuan dan kendala tertentu, dapat mempertimbangkan pertimbangan estetika, fungsional,

20
ekonomi, atau sosial-politik, dan diharapkan berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Contoh utama desain
termasuk cetak biru arsitektur, gambar teknik, proses bisnis, diagram sirkuit, dan pola menjahit.4

Gunawan Tjahjono dalam bukunya Metode Perancangan : Sebuah Pengantar untuk Arsitek dan
Perancang 5. Kata desain yang dalam bahasa Inggrisnya `design` berasal dari kata latin `signum` yang
berhubungan dengan `sec` yang berarti memotong (dengan alat yang bergerigi). `Signum` itu adalah hasil
pembuatan takikan dengan alat gergaji diatas sebatang kayu. Dari `signum` berkembang kata kerja
`designare` yang berarti menandai – menamai. Kata ini beralih ke kata Perancis Pertengahan `designer`
yang berarti merancang.6

Jonathan Hill, dalam artikelnya yang berjudul `Hunting the Shadow - Immaterial Architecture` berpendapat
bahwa kata `desain` berasal dari kata Italia disegno yang berarti menggambar. Menurut Jontahan Hill,
`diinformasikan oleh teori neo-Platonis yang umum dalam Renaisans Italia, disegno menyiratkan hubungan
langsung antara ide dan sesuatu (produk).` Dalam bahasa Itali, desain atau disegno memiliki arti lain yakni
sebagai gambar. Dengan demikian, kata desain setidaknya memiliki dua arti; sebagai kata kerja, desain
berarti aktivitas mempersiapkan instruksi untuk membuat objek atau bangunan; dan sebagai kata benda,
yang bisa berarti instruksi – yang secara khusus berupa gambar – atau karya hasil penerapan instruksi
tersebut. Ini menunjukan bahwa desain mengimplikasikan hubungan antara ide dan benda.
Jonathan Hill mengutip Giorgio Vasari, yang menggunakan kata disegno ketika mendefinisikan aktivitas
pelukis, pematung dan arsitek sebagai desain aktivitas pada abad keenam belas. Menurut Vasari, `desain
tidak lain adalah ekspresi dan pernyataan yang terlihat dari konsepsi batin kita dan apa yang orang lain
bayangkan dan berikan bentuk pada ide mereka.` Desain = disegno seperti yang diungkapkan oleh Vasari
sebagai “seni-seni yang dihasilkan dari pikiran.” Vasari menggambarkan bahwa seni-seni yang dimaksud
tersebut berhubungan dengan lukisan, patung, dan arsitektur sebagai arte del disegno. Seni-seni (lukisan,
patung, dan arsitektur) ini digambarkan oleh Cesare Ripa sebagai `benda-benda menarik yang
memberikan nilai tambah.` Kelihatannya segala bentuk produksi yang berkaitan dengan desain atau
disegno selalu mengimplikasikan sebuah pekerjaan seni, sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan
keinginan manusia untuk menghasilkan benda yang indah melalui kemampuan artistik. Vasari
menggambarkan bahwa disegno sebagai sebuah bentuk dalam pikiran dan sebuah bentuk yang sudah
terealisasi dalam tangan. Desain atau disegno memberikan pengertian bahwa ada sebuah produk – benda
yang dihasilkan melalui olah pikir manusia yang berkaitan dengan keindahan.
Disegno digunakan dalam Renaissance untuk mendefinisikan aktivitas pelukis, pematung dan arsitek dan
untuk membedakan pekerjaan mereka dari karya pengrajin. Disegno (menggambar) adalah aktivitas utama
para seniman dan arsitek sejak zaman Renaissance. Sejak diperkenalkannya kata ini, profesi arsitektur
telah berkembang dari menjadi aktivitas kerajinan menjadi aktivitas desain. Kerajinan terikat dengan tradisi
sementara desain terkait erat dengan konsepsi. Apa yang penting dalam disegno adalah kata denotasi
tautan langsung di antaranya menggambar dan konsepsi. Suatu gagasan dikonstruksi dan disajikan
melalui aktivitas menggambar. Dalam definisi ini, kata `desain` digunakan dalam riset ini sebagai kata kerja

4 https://en.wikipedia.org/wiki/Design
5 Lihat buku Gunawan Tjahjono yang berjudul Metode Perancangan : Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang, hal.19-22
6 Lihat : Tulisan keempat dari buku ini : Mengapa Riset dalam Arsitektur Sangat Penting ?

21
yang menunjukkan aktivitas intelektual yang secara sengaja menghasilkan skema sistematis untuk masa
depan produksi suatu objek yang diharapkan dapat memenuhi tujuan tertentu.
Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking mengatakan bahwa untuk mendapatkan
beberapa gagasan tentang bagaimana desain secara luas mempengaruhi kehidupan kontemporer, ada
empat bidang area dimana desain dapat dieksplorasi 7 adalah : (a) Desain dalam area komunikasi
simbolik dan visual. Ini termasuk karya desain grafis, seperti tipografi dan iklan, produksi buku dan majalah,
dan ilmiah ilustrasi, tetapi telah berkembang menjadi komunikasi melalui fotografi, film, televisi, dan
tampilan komputer. (b) Desain dalam area sebagai benda material. Ini termasuk kepedulian terhadap
bentuk dan tampilan visual sehari-hari produk-pakaian, benda-benda domestik, alat, instrumen, mesin, dan
kendaraan - tetapi telah berkembang menjadi lebih menyeluruh dan beragam penafsiran fisik, psikologis,
sosial, dan hubungan budaya antara produk dan manusia. (c) Desain dalam area kegiatan dan layanan
terorganisir, yang mencakup kepedulian untuk logistik, menggabungkan sumber daya fisik, peralatan, dan
manusia dalam urutan dan jadwal yang efisien untuk mencapai tujuan yang ditentukan. (d) Desain dalam
area sistem atau lingkungan yang kompleks untuk hidup, bekerja, bermain, dan belajar. Ini termasuk
rekayasa sistem, arsitektur, dan perkotaan perencanaan atau analisis fungsional dari bagian-bagian
keutuhan kompleks dan terintegrasi secara keseluruhan. Melalui area yang dilingkupi oleh desain, kita
dapat melihat bahwa desain memilki kapasitas yang luas dan menjangkau hampir selulruh perkembangan
kehidupan (baca : modern) ini.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa desain berkaitan dengan menandai, merencanakan
dan menggambarkan. Dalam sebuah diskusi perkuliahan dengan Gunawan Tjahjono mengatakan bahwa
mendesain itu berkaitan dengan `operasi mental` yaitu bahwa penalaran desain adalah (a) melakukan
sesuatu dengan penuh kesadaran (b) Desain sebagai sebuah rencana harus dikaji, direnungkan dan
dipertimbangkan sebelum dilakukan aksi. (c) Desain harus memiliki `ruang` untuk diperdebatkan dan
diskusikan.(d) Desain harus memiliki kesimpulan logis. Desain sebagai sebuah aktifitas untuk menandai,
merencanakan dan menggambarkan, mengimplikasikan sebagai sebuah tindakan intelektual yang
dilakukan dengan hati-hati serta memberikan`ruang` untuk diperdebatkan dengan tujuan akhirnya yang
memberi guna dan dapat diterima secara logis.

PENGETAHUAN
Kata pengetahuan berasal dari bahasa Inggris `knowledge` secara etimologis berasal dari kombinasi kata
kerja bahasa Inggris kuno “cnawan” + `ledge`. Awalan `cnawan` tidaklah jelas pengertian sedangkan
akhiran `ledge` memiliki konotasi sebagai kata `aksi – proses`. Pengetahuan adalah hasil dari tindakan
mengetahui. Dari kata dasar `tahu`, kata mengetahui mengandaikan aktivitas bertanya, mencari jawaban,
mencari informasi. Wujud akhir dari serial aktivitas itu ialah tersedianya informasi-informasi yang terpilih
(selected), relevan, berarti (meaningful), berguna (useful), dan melegakan karena menang itu yang dicari
dan diinginkan (giving insight or insightful). Kata `knowledge` digunakan sebagai keadaan mengetahui dan
produk dari proses belajar, belajar, menyelidiki, atau memahami. Karena ini merupakan bentuk kata benda

7Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking, Design Issues, Vol. 8, No. 2 (Spring, 1992),
pp. 5-21, The MIT Press

22
dari kata kerja `to know` definisi kata kerja ini sangat penting untuk mendefinisikan `pengetahuan`.
Pengetahuan dan tindakan mengetahui adalah subjek dari bidang penyelidikan luas yang disebut
epistemology.
Definisi kamus dari kamus `to know` dan `knowledge` memberikan landasan di mana diskusi lebih lanjut
dapat dilakukan. Secara harfiah, "mengetahui" terkait erat dengan penilaian subjek yang mengetahui
tentang kebenaran suatu pernyataan. Ini juga digunakan untuk kenalan kemampuan praktis.
know v. v. tr. 1. To perceive directly; grasp in the mind with clarity or certainty. 2.
To regard as true beyond doubt. 3. To have a practical understanding of, as through
experience; be skilled in. 4. To have fixed in the mind. 5. To have experience of. 6. To
perceive as familiar; recognize. 7. To be acquainted with. 8. To be able to distinguish;
recognize as distinct. 9. To discern the character or nature of. v. intr. 1. To possess
knowledge, understanding, or information. 2. To be cognizant or aware.

Kata benda “knowledge” terutama digunakan untuk menunjukkan kondisi mengetahui dan hasil dari proses
mengetahui. Dengan kata lain, itu adalah bentuk kata benda dari kata kerja “to know”
dan objek dari kata kerja ini, yaitu, apa yang diketahui.

Know-ledge n. 1. The state or fact of knowing. 2. Familiarity, awareness, or understanding


gained through experience or study. 3. The sum or range of what has been perceived,
discovered, or learned. 4. Learning; erudition. 5. Specific information about something.

Apa yang umum bagi banyak definisi kamus dari `mengetahui` dan `pengetahuan` adalah bahwa
`mengetahui` atau mendapatkan `pengetahuan` adalah suatu proses. Meskipun sumber-sumber
pengetahuan adalah masalah utama epistemologi sejak awal filsafat, terbukti bahwa dalam penggunaan
umum kata itu, `mengetahui` terkait erat dengan suatu proses, apakah itu pemahaman, pengalaman,
penemuan, atau persepsi sederhana .
Dalam studi ini, kata kerja `tahu` digunakan dalam dua arti. Pertama, itu adalah pembenaran kebenaran
pernyataan tentang sesuatu melalui proses lain seperti persepsi, kesadaran, pemahaman, penyelidikan,
pembelajaran, atau pengalaman. Kedua, nilai kepraktisan yaitu kemampuan / keterampilan untuk
melakukan sesuatu. Dalam pemahaman ini, kata benda `pengetahuan` digunakan sebagai hasil dari
proses mengetahui baik dalam bentuk pembenaran kebenaran atau dalam bentuk kemampuan untuk
melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, `pengetahuan` digunakan dalam riset ini dalam arti luas untuk
menggabungkan berbagai bentuk proses mengetahui.
Dalam sebuah diskusi dengan seorang sahabat – Romo A. Sutiono tentang : Apa itu pengetahuan ?, dia
memberikan catatan sebagai berikut : “ Dalam sambutannya pada saat mengawali pendirian universitas di
Eropa, Kaisar Karel Agung mengatakan: `Doing what is right is better than knowledge`. Ungkapan ini
mengandung kebenaran yang hakiki. Mereka yang mengenyam pendidikan tinggi memang mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan di berbagai bidang. Tetapi memiliki pengetahuan saja tidaklah terlalu berguna
jika orang tidak bisa melakukan apa yang benar, artinya melakukan sesuatu hal yang tepat pada situasi
dan kebutuhan yang memang diharapkan untuk dilakukan. Yang terakhir ini berbicara mengenai
righteousness, yang pertama berbicara soal akumulasi hal-hal informatif. Yang kedua mengandaikan
adanya pengertian atau understanding atau verstehen dalam istilah teknisnya. Jadi bisa dirumuskan
23
demikian: ada yang lebih baik lagi daripada berpengetahuan atau mampu melakukan apa yang benar,
yakni berpengertian. Karena pengertian, orang mempunyai daya tahan, berdaya juang, mengerti hidup
yang bermakna, berguna dan mendatangkan kebaikan. Karena pengertian, orang bisa “functioning well”
dalam segala keadaan: berpikir, merasa, memutuskan dan melakukan secara tepat dan benar.
Berpengertian sama dengan memiliki practical knowledge. Bahasa lainnya wisdom atau kebijaksanaan.
Itulah tujuan tertinggi yang diharapkan dari orang- orang yang mencari pengetahuan. Jelaslah, tahu saja
tidak cukup. Bagaimana kita bisa menghasilkan pengetahuan? Bagaimana menghasilkan practical
knowledge?”
Romo A. Sutiono melanjutkan : “Pengetahuan bisa dihasilkan dengan melalui studi literatur atau membaca
referensi, berdiskusi, mendengarkan ceramah. Practical knowledge didapatkan dari refleksi pribadi, match
and link antara kenyataan dan teori-teori. Telah ada upaya untuk mendekatkan keduanya, yakni
mendapatkan pengetahuan melalui ekperimen dan riset lapangan melalui metode kualitatif dan kuantitatif.
Metodologi yang sangat familiar dalam dunia sosiologi dan antropologi ini disempurnakan dengan prinsip
hermeneutik, penafsiran realitas. Memang metode ini identik dengan riset di bidang humaniora. Clifford
Geertz mengatakan bahwa paduan metode-metode itu menghasilkan pengetahuan otentik yang
mencerminkan kearifan-kearifan setempat, yang tidak lain adalah pengetahuan praktis yang mencerminkan
jiwa, roh dan pandangan hidup masyarakat setempat. Jadi, pengetahuan memang bernilai, perlu dicari,
perlu strategi. Tetapi ada yang lebih bernilai lagi yakni practical knowledge.”8
Tulisan Onur Yuncu Research by Design in Architectural Design Education ( 2008) ( yang menjadi sumber
utama dalam tulisan di bab ini) mengungkapkan bahwa Riset dengan desain (research by design)
dipahami sebagai bentuk pengetahuan. Sebagai proses generasi pengetahuan, itu harus dibahas dalam
hal hubungan antara kegiatan desain, riset, dan pengetahuan. Dalam konteks riset ini, konsepsi yang
berbeda dari ketiga istilah ini merupakan titik awal untuk menyelidiki hubungan antara desain, riset, dan
pengetahuan. Ketika penggunaan umum dan definisi istilah desain, riset dan pengetahuan
dipertimbangkan, dapat dilihat bahwa tidak perlu untuk mendekati masing-masing sebagai kegiatan yang
berbeda dengan dinamikanya sendiri. Kegiatan desain tidak hanya mencakup tindakan membuat tetapi
juga konseptualisasi tindakan ini. Riset, di sisi lain, memiliki konotasi yang kuat dengan pembuatan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk mengeksplorasi lapisan umum dari pengetahuan di antara kegiatan-
kegiatan ini.
Riset dengan desain dipahami sebagai bentuk pengetahuan. Sebagai proses menghasilkan pengetahuan,
harus dibahas dalam hal hubungan antara kegiatan desain, riset, dan pengetahuan. Konsepsi yang
berbeda dari ketiga istilah ini merupakan titik awal untuk menyelidiki hubungan antara desain, riset, dan
pengetahuan. Ketika penggunaan umum dan definisi istilah desain, riset dan pengetahuan
dipertimbangkan, dapat dilihat bahwa tidak perlu untuk mendekati masing-masing sebagai kegiatan yang
berbeda dengan dinamika sendiri. Kegiatan desain tidak hanya mencakup tindakan membuat tetapi juga
konseptualisasi tindakan ini. Riset, di sisi lain, memiliki konotasi yang kuat dengan pembuatan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk mengeksplorasi lapisan umum dari pengetahuan di antara kegiatan-
kegiatan ini. (as)

8 Romo Agustinus Sutiono ini adalah seorang biarawan yang tinggal di Malang, seorang Doktor Teologi yang sering menjadi
teman diskusi saya untuk hal-hal yang bersifat filosofis. Diskusi ini dilakukan tanggal 11 Mei 2020.

24
TULISAN KETIGA

PENULISAN AKADEMIK

25
PENULISAN AKADEMIK

“Jika kita tahu apa yang sedang kita lakukan, itu tidak akan disebut riset, bukan?”
Albert Einstein

Panduan ini merupakan tulisan untuk melengkapi tradisi penulisan akademik yang sudah ada di lingkungan
program studi arsitektur di seluruh Indonesia serta di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Prodi Arsitektur
- Universitas Tarumanagara. Tulisan ini merupakan ringkasan dari dua tulisan utama yaitu: pertama tulisan
dari Prof. Billier Hillier yang berjudul WRITING UP and how to go about it (2003) dan kedua tulisan dari
Prof. Julienne Hanson dan Prof. Laura Vaughan yang berjudul Notes on How to Write an Academic
Paper : MSc Advanced Architectural Studies (revisi 2005) dari The Bartlett School of Architecture -
University College London. Tulisan ini juga meminjam beberapa referensi untuk mendukung isi tulisan
secara keseluruhan, dan diharapkan dapat menjadi tambahan untuk panduan dalam melakukan riset –
riset bidang arsitektur dan perencanaan.

PENGANTAR
Julienne Hanson dan Laura Vaughan dari Space Syntax Lab – UCL 1 dalam pengantarnya tentang Riset
Akademik mengungkapkan bahwa riset bersifat kooperatif, dan semua pihak bergantung pada satu sama
lain untuk menghasilkan kemajuan. Gagasan bersifat bebas dan diberikan secara cuma-cuma, sehingga
semua memiliki tanggung jawab untuk saling memperlakukan kekayaan intelektual dengan hormat. Oleh
karena itu, ada tanggung jawab (moral dan intelektual) pada setiap orang untuk mematuhi peraturan
perilaku tertentu, terutama saat menuliskan gagasan dalam bentuk makalah akademik. “Kebiasaan baik
yang didapat sekarang akan bertahan seumur hidup,” pesan yang dikemukakan oleh Julienne Hanson dan
Laura Vaughan, ini dapat menjadi bagian penting untuk pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan
riset di lingkungan kita.

1 Julienne Hanson dan Laura Vaughan dalam Notes on How to Write an Academic Paper : MSc Advanced Architectural Studies
(revisi 2005) dari The Bartlett School of Architecture- University College London

26
Ada banyak jenis penulisan akademik termasuk catatan kuliah, logbook, catatan riset, draft esai, laporan
ilmiah, laporan manajemen, laporan periodikal, laporan proyek, artikel jurnal dan buku. Setiap jenis tulisan
memiliki tujuan yang berbeda, ditujukan untuk khalayak yang berbeda, serta menggunakan bahasa yang
berbeda. Sebagai contoh, garis besar laporan proyek akan ditulis dengan gaya yang berbeda dari sebuah
tesis; atau Informasi yang dikandung sebuah artikel jurnal akan berbeda dengan informasi dalam disertasi
akhir.
Kita sering mendapatkan draft tulisan dari berbagai tingkatan pendidikan (S1-Skripsi; S2-Thesis; S3-
Disertasi) 2 dengan hasil karya yang baik tetapi belum dipaparkan dengan sempurna. Hal ini disebabkan
karena penulisan ini tidak mengikuti peraturan sederhana dalam penulisan akademik. Dampak dari kondisi
ini adalah peneliti akan bekerja keras untuk melakukan revisi-revisi terhadap tulisan tersebut. Tentunya,
penulisan dalam setiap tingkatan pendidikan memiliki cara pendekatan, gaya intelektual, maupun isi
dengan kadar yang berbeda. Tetapi ada beberapa peraturan umum dalam penulisan yang dapat
membantu peneliti untuk mempermudah pembaca memahami isi tulisan, dan memberikan fokus pada topik
yang diangkat.
Menurut Julienne Hanson dan Laura Vaughan, setiap karya riset akademis dalam lingkungan universitas
(skripsi - tesis - disertasi) yang diajukan untuk penilaian, perlu dipaparkan secara formal dari segi bahasa,
struktur dan pendekatan ilmiahnya. Sumber informasi yang digunakan perlu dilacak dan dipastikan valid
secara akademis. Kunci dari riset akademis adalah adanya proses analisis-sintesis yang kritis dalam
menanggapi informasi, dan tidak hanya menerima informasi pada nilai minimal. Isi tulisan tersebut juga
perlu disusun dan dipaparkan secara konsisten dan holistik. Hal inilah yang mengangkat tulisan ke
tingkatan yang lebih tinggi. Kondisi akademis ini akan menghasilkan tulisan yang melampaui tataran
deskriptif dan narasi, dan menampilkan sebuah tulisan akademik yang berbobot.
Tulisan ini berfokus pada kaidah-kaidah penting yang perlu dilakukan dalam sebuah riset (yang berlanjut
pada penulisan akademik) dalam lingkungan Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas
Tarumanagara. Secara garis besar, tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberi informasi panduan praktis
tentang cara melakukan riset – riset dari sebuah subjek.

APA ITU RISET ?


Kata riset atau riset atau research dalam bahasa Inggris, secara etimologis berasal dari kata Prancis kuno
"recercher" yang berarti mencari, mencari dengan cermat, mencari kembali, pergi mencari, melakukan
perjalanan. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search (re+search) yang memiliki arti `mencari ulang`
atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.3

2 Skripsi dijadikan syarat kelulusan di program S-1 dengan maksud memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menunjukkan bahwa dia dapat menerapkan langkah-langkah pendekatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan dan
melaporkannya secara tertulis. Biasanya, dalam skripsi tidak dituntut adanya sintesis baru atau penemuan baru. Thesis
dijadikan syarat kelulusan di program S-2 dengan maksud memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan
bahwa dia dapat membuat suatu sintesis baru atau penerapan pengetahuan yang sudah ada, dan melaporkannya secara
tertulis. Disertasi dijadikan syarat kelulusan di program S-3 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk
menunjukkan bahwa dia memahami (mengikuti) perkembangan mutakhir pengetahuan ilmiah di bidang ilmunya dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu itu melalui penemuan baru yang orisinal yang dilaporkannya secara tertulis.
https://dosen.perbanas.id/perbedaan-skripsi-thesis-dan-disertasi/ (diakses penulis pada tanggal 24 February 2018).
3 Pengertian kata riset, dapat dilihat pada Tulisan Kedua buku ini.

27
Sebuah tulisan akademik (skripsi - tesis – disertasi) adalah bentuk tertulis dari sebuah riset-riset, karena
tulisan akademik adalah sebuah prosedur yang mencoba mencari tahu jawaban atas suatu masalah
secara sistematis dan dengan didukung oleh fakta. Meminjam dari tulisan C.R Kothari, riset dalam bahasa
umum mengacu pada pencarian pengetahuan, 4 yang berarti berupa penelusuran ilmiah yang sistematis
untuk informasi terkait pada topik tertentu. Penyelidikan ini harus dilakukan dengan cermat dalam usaha
pencarian fakta baru dalam bidang pengetahuan apa pun (termasuk di dalamnya pengetahuan bidang
Arsitektur dan Perencanaan). Beberapa catatan menggambarkan bahwa riset adalah ‘pelayaran’
penemuan, yaitu berkaitan dengan gerakan menyelidiki untuk mencapai pemahaman penuh tentang hal
yang tidak diketahui. Upaya untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa pun yang tidak diketahui, dapat
disebut sebagai riset. Keingintahuan ini adalah ‘ibu’ dari semua pengetahuan.
Beberapa manfaat yang mungkin didapat dalam melakukan riset antara lain : 5
a. Meningkatkan pengetahuan melalui topik tertentu dan pemahaman terhadap sebuah subyek
b. Kemampuan mengklarifikasi fakta-fakta untuk mencari gagasan tentang fakta baru dalam
rangkaian pengembangan pengetahuan itu sendiri.
c. Mengembangkan permasalahan dan menempatkan metode yang tepat terhadap
permasalahan yang dihadapi.
d. Menghargai kekayaan intelektualitas dari karya-karya riset yang sudah diterbitkan.
e. Belajar bekerja secara individual, dalam network (kolaborasi) serta kemungkinan melibatkan
masyarakat umum (partisipasi)
f. Karena riset adalah sebuah proses `penyelidikan` yang diperluas, maka peneliti mendapat
kesempatan untuk mempelajari konsep awal, mengembangkannya melalui hipotesis dan
menemukan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan.
g. Riset harus memberikan kegunaan bagi kemajuan peradaban manusia, karena sebuah riset
harus memiliki visi dan misi yang jelas bagi manusia dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
h. Sebuah kebenaran memiliki nilai yang relatif tetapi melalui riset nilai kebenaran dapat
dibangun.
i. Riset akan selalu melibatkan kemajuan teknologi, karena peran teknologi akan sangat
membantu dalam memperkuat kemajuan sebuah riset.
j. Riset mengajarkan untuk membuat manusia menjadi fokus, konsisten dan sistematis dalam
cara berpikir.
k. Riset selalu berkaitan dengan sebuah keputusan atas gagasan yang dilontarkan, sehingga
pengambilan keputusan yang tepat menjadi sebuah pembelajaran penting dalam sebuah riset.

Riset atau penelitian sebagai sebuah proses investigasi yang ketat merupakan penyelidikan intelektual
yang memiliki visi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Setiap
kontribusi yang diberikan pada sebuah karya riset yang berkaitan dengan fakta-fakta, informasi, interpretasi
data, peristiwa, tingkah laku subjek, teori, metode dan hukum harus membuka peluang bagi
pengembangan penerapan praktis dari pengetahuan itu sendiri

4 Kothari, C.R. (2004), Reseach Methodology – Method and Techniques, New Age International Publishers.
5 Manfaat dari sebuah riset telah menjadi bagian penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya semua
ini harus memberikan kegunaan pada kehidupan manusia.

28
Tulisan dibawah ini merupakan dua bagian yang mengambil referensi utama dari: pertama adalah tulisan
yang mengacu pada Prof. Bill Hillier, dan kedua adalah tulisan oleh Prof. Julienne Hanson dan Prof. Laura
Vaughan.

BAGIAN PERTAMA 6
RISET DIMULAI DENGAN PERTANYAAN
Sebuah pertanyaan riset adalah inti yang paling fundamental dari sebuah proyek riset, studi, atau tinjauan
literatur. Pertanyaan akan membantu peneliti dalam memfokuskan riset, menentukan metodologi,
memandu semua tahap penyelidikan, analisis, dan pelaporan. Bill Hillier mendeskripsikan bahwa hal yang
paling penting tentang riset akademik adalah semua riset harus diawali dari sebuah pertanyaan atau
pertanyaan-pertanyaan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah: menjelaskan apa pertanyaannya dan
mengapa dipertanyakan. Peneliti tidak perlu mengatakan apa pertanyaan itu dalam kalimat pertama -
meskipun itu sering merupakan ide bagus - tetapi harus melakukan tugas pertama dalam penulisan, yakni
menjelaskan pertanyaan riset kepada pembaca. 'Menjelaskan' pertanyaannya tidak sama dengan hanya
mengatakan apa pertanyaannya. 'Menjelaskan' berarti menetapkan pertanyaan dalam konteks
akademisnya, sehingga pembaca mengerti mengapa pertanyaan itu menarik.
Dalam sebuah riset, pertanyaan riset dapat mulai dimunculkan dalam Pendahuluan (introduction).
Pendahuluan dapat dibangun dengan menjelaskan secara singkat keadaan pengetahuan saat ini seputar
pertanyaan yang diajukan dan apa masalah utama yang muncul. Sering kali terjadi dalam bab
pendahuluan, peneliti mencoba untuk menjelaskan kajian teoritikal dalam lingkup kesenjangan
pengetahuan, konflik yang muncul, serta memaparkan metodologi yang digunakan sebagai alat untuk
membantu menjawab pertanyaan dengan ‘cara yang baru’. Hal ini lebih sesuai jika dilakukan dalam
ringkasan bab tinjauan literatur, karena pendahuluan bukan ditujukan sebagai pengganti untuk tinjauan
literatur.
Bill Hillier memaparkan, setelah pertanyaan riset diposisikan dalam pendahuluan, maka peneliti perlu
menjelaskan gagasan di balik pertanyaan itu sendiri, dan memberi gambaran bagaimana jawabannya
dapat ditelusuri. Pertanyaan ini bisa menjadi hipotesis formal atau bisa jadi hanya satu atau lebih dugaan,
atau bisa juga diantaranya; bahkan bisa menjadi pertanyaan yang jauh lebih terbuka dan memiliki (sedikit)
gagasan mengenai kemungkinan jawaban. Jika ini masalahnya, maka peneliti harus menyatakannya. Hal
yang penting untuk diperhatikan adalah ketika peneliti tertarik dengan sebuah pertanyaan, biasanya ia
memiliki beberapa gagasan tentang jawaban seperti apa yang mungkin ia cari, dan jika demikian, ini
adalah aspek untuk menjelaskan pertanyaan riset. Tapi jika peneliti belum mengetahui apa jawabannya,
maka hal ini tidak menjadi masalah selama ia menyatakannya.
TENTANG PENDAHULUAN
Hal berikutnya yang harus dilakukan dalam Pendahuluan adalah menjelaskan pekerjaan yang telah
dikerjakan, misalnya: desain riset, studi kasus dan/atau strategi pengumpulan data, metode analisis dan
sebagainya. Semuanya dijelaskan sedemikian rupa untuk membangun relevansi dengan pertanyaan riset
agar menjadi jelas. Dengan kata lain, peneliti harus menjelaskan riset-riset yang telah dikerjakan secara
jelas dan terstruktur. Jika metodologi yang digunakan sangat inovatif atau menarik,
mungkin peneliti memerlukan sebuah bab tentang metodologi dalam tulisan akademiknya (ini sangat
mungkin dalam skripsi - tesis - disertasi yang lebih ilmiah, yang cenderung memiliki bagian metodologi

6 Bill Hillier dalam tulisannya yang berjudul WRITING UP and how to go about it (2003), University College London - UK

29
yang terpisah). Sebagai tambahan, dalam sebuah tulisan akademik berbasis ilmu sosial seringkali hal ini
dapat dimasukkan ke dalam bab empiris yang relevan. Tetapi, terlepas dengan cara apa peneliti
menyajikan hal ini, sebuah pemaparan singkat yang beralasan tentang metode yang digunakan harus
disertakan dalam Pendahuluan, dan perujukkan ke bagian selanjutnya dalam teks, di mana nantinya akan
terdapat lebih banyak detail, dapat dilakukan seperlunya.
Hal terakhir yang harus dilakukan dalam Pendahuluan adalah menjelaskan struktur laporan atau tulisan
akademik kepada pembaca, biasanya dengan menulis satu paragraf atau lebih sehingga menjelaskan
setiap bab secara bergantian. Penjelasan tersebut meliputi :
• Menjelaskan pertanyaan riset dan latar belakangnya,
• Menjelaskan gagasan / ide tentang pekerjaan yang dilakukan,
• menjelaskan apa yang telah dilakukan, dan
• menguraikan struktur (skripsi-tesis-disertasi) secara keseluruhan (bab per bab)

RISET AKADEMIK ADALAH SATU ARGUMENTASI KESELURUHAN


Setelah peneliti menyajikan keseluruhan struktur argumentasi (Pendahuluan) dan satu argumentasi
keseluruhan, maka peneliti perlu membangun serangkaian argumentasi dan bukti-bukti yang lebih rinci
(melalui bab-bab selanjutnya). Inilah sebabnya mengapa sangat penting bahwa argumentasi keseluruhan
ini, dan juga pertanyaan yang diajukan, serta keadaan pengetahuan terkini yang membentuk latar
belakang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, semuanya harus dijelaskan dengan jelas dari bagian
awalnya. Bukan hanya mengatakan masalah apa yang akan dibicarakan, peneliti juga harus menguraikan
bentuk argumentasi sebenarnya yang akan dikerjakan, serta memberi gagasan yang jelas kepada
pembaca tentang bagaimana hal itu akan berkaitan dengan isi materi secara terperinci yang dimaksudkan
dalam bab per bab.

Membangun keseluruhan struktur argumentasi bukanlah hal yang mudah, dan peneliti harus terus menjaga
konsistensinya hingga akhir tulisan. Jika pembaca tidak memiliki gambaran tentang bentuk keseluruhan
argumentasi sejak awal, maka pembaca akan merasa jauh lebih sulit untuk memahami perkembangan
masing-masing bab, dan peneliti sendiri akan merasa kesulitan untuk menyusunnya secara internal.
Seperti membaca ruang kota [mengacu pada tata ruang], bagian per bagian tersebut menjadi terangkai
sesuai dengan keseluruhannya (part and whole relationship). Hal yang paling vital adalah bahwa di mana
pun pembaca berada dalam teks, dia perlu mengetahui bagaimana bagian yang dibaca berhubungan
dengan keseluruhan argumentasi. Peneliti harus memastikan hal ini terjadi, dan terkadang perlu juga
menambahkan sedikit pengingat untuk pembaca tentang bagaimana kaitan atara yang sedang dibaca
dengan keseluruhan narasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Peneliti kemudian harus meninjau literatur (studi literatur), dalam hal ini ada dua hal yang perlu
diperhatikan: Pertama, tinjauan literatur harus disusun berdasarkan pertanyaan riset, sehingga pada setiap
tahap hubungan antara literatur yang dikaji dan pertanyaan risetnya benar-benar jelas. Kedua, salah satu
efek dari literatur harus mengklarifikasi dan bahkan mungkin mengembangkan pertanyaan riset. Jadi pada
akhir kajian literatur, pembaca sepenuhnya yakin bahwa memang pertanyaan riset yang diajukan adalah
bagus, dimana literatur yang ada tidak memberikan jawabannya, sehingga pembaca sepenuhnya siap
mental untuk riset yang akan diikuti.

30
BAB UTAMA
Setelah membuat keseluruhan struktur sejak awal (sangat awal) dalam riset ini, hal berikutnya adalah
pembaca harus mengerti bagaimana bab selanjutnya berhubungan dengan keseluruhan. Cara termudah
untuk melakukan ini adalah dengan menulis sebuah pendahuluan untuk memulai setiap bab yang
menjelaskan secara singkat isi bab ini kepada pembaca: sub-pertanyaan apa yang akan dibahas,
bagaimana hal itu sesuai dengan keseluruhan argumentasi (terutama bab sebelum dan sesudahnya),
materi apa yang akan dibawa ke dalam bab ini, mengapa mereka dipilih, jenis kesimpulan apa yang akan
dicapai, dan seterusnya. Peneliti juga perlu membuat sebuah ringkasan singkat di akhir setiap bab untuk
melihat hubungannya dengan sub-pertanyaan / sub pertanyaan-pertanyaan yang dibahas dalam bab ini,
serta menjelaskan bagaimana mereka berhubungan dan seterusnya. Hal ini penting dilakukan untuk
membantu menjaga pikiran pembaca dalam mengikuti perkembangan logis dari pada argumentasi yang
dibangun. Adalah penting untuk tidak menampilkan argumentasi secara berulang-ulang. Peneliti harus
berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam menghubungkan argumen dengan pertanyaan.
Bab terakhir perlu mencakup ringkasan dan kesimpulan dari seluruh riset, yang mengumpulkan berbagai
temuan yang disajikan dalam bab analisis. Peneliti harus dapat menunjukkan bagaimana mereka
menjelaskan masalah yang diangkat dalam bab tinjauan literatur. Peneliti harus menyoroti dan
memaparkan temuan inovatif atau baru yang didapat, serta menunjukkan bagaimana riset ini dapat
dilanjutkan pada proyek-proyek masa depan.
HINDARI MENGGUNAKAN JUDUL YANG BERLEBIHAN
Salah satu perangkat yang sering menghalangi argumentasi yang jelas adalah penggunaan judul yang
berlebihan. Judul dapat membantu menyusun dokumen, dan harus digunakan untuk membantu penulis
mengetahui bagian mana yang tidak sesuai dengan keseluruhan argumentasi. Memecah argumentasi
dengan judul dapat membantu membangun kejelasan, namun teks tidak boleh bergantung pada judulnya.
Judul dapat dibantu dengan subteks sejauh untuk menambah kejelasan, tetapi subteks yang berlebihan
harus dihindari. Kuncinya adalah jangan dahulukan judul, prioritaskan keterhubungan argumentasi dalam
teks, tetapi jadikan judul sebagai alat bantu bagi pembaca untuk menemukan posisinya di dalam tulisan
secara keseluruhan.

FOTO – GAMBAR – SKETSA SEBAGAI ALAT BANTU PENJELASAN


Penting untuk diingat bahwa semua foto - gambar - sketsa dan bahan ilustrasi lainnya, secara akurat harus
terkait dengan teks, memiliki keterangan penjelasan, dan penjelasan pada bagian yang sesuai dalam teks.
Dalam beberapa kasus, cara ini membantu untuk menggambarkan apa yang ditunjukkan oleh sebuah
ilustrasi (ini juga membantu pembaca memahami mengapa foto - gambar - sketsa ini disertakan). Peneliti
dapat menggunakan foto-gambar-sketsa untuk menambahkan kejelasan pada teks, dan untuk
mempermudah pembaca dalam memahami apa yang ingin dijelaskan. Tapi, gambar - foto - sketsa tidak
boleh diharapkan untuk membuat argumentasi, hanya untuk memberi contoh dan mengklarifikasi apa yang
ada dalam teks. Bila menggunakan gambar - foto - sketsa, peneliti harus mampu menyeleksinya dengan
baik agar memiliki hubungan dengan teks secara keseluruhan, dan penempatannya disesuaikan dengan
bahasan yang dimaksud. Dengan kata lain, foto - gambar atau sketsa tidak menumpuk disatu halaman,
yang membuat pembaca harus bolak balik.

KUTIPAN
Hal yang sama berlaku untuk kutipan. Kutipan tidak boleh digunakan untuk membuat argumentasi, yang
harus dilakukan adalah membuat argumen dengan kata-kata sendiri, namun bisa digunakan untuk
mengklarifikasi dan memberikan bukti bahwa apa yang peneliti katakan adalah masalahnya. Setiap kali

31
peneliti menggunakan kata-kata atau gagasan orang lain, peneliti harus menjelaskannya di dalam teks
yang ditampilkan. Catatan kaki atau referensi saja tidak cukup. Pembaca harus tahu pada saat membaca,
kata-kata siapa yang dibaca dan gagasan siapa yang dibaca.

TABEL
Menyajikan sebuah tabel dengan jelas sangat diperlukan dalam sebuah laporan riset. Umumnya, dalam
keperluan analisis diperlukan satu tabel data untuk setiap jenis unit analisis. Misalnya tabel kebutuhan
ruang seperti standar dan ukuran besaran; tabel energi atau karbon dioksida dalam riset lingkungan; atau
tabel analisis bentuk pada kajian tipologi bangunan.
Hampir selalu, peneliti harus memberikan pembaca ringkasan data tabel yang mencakup ukuran dan
kategori yang digunakan dalam teks. Pembaca akan ingin melihat keseluruhan pola, dan jika peneliti tidak
menyajikan keseluruhan tabel, pembaca mungkin menduga bahwa peneliti tidak ingin pembaca melihat
terlalu banyak. Peneliti harus mengenalkan dan menjelaskan tabel data, menyajikan tabel data, memilih
tabel data kecil untuk menunjukkan poin tertentu. Namun sekali lagi masing-masing harus dijelaskan
secara lengkap dalam teks sehingga dasar kesimpulan menjadi jelas.
MENGACU KE DEPAN dan KE BELAKANG
Terkadang dalam tulisan akademik (skripsi - tesis – disertasi), peneliti perlu menyentuh gagasan atau
materi yang sama lebih dari satu kali. Bila ini dilakukan, peneliti harus selalu merujuk ke belakang dan ke
depan seperlunya untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa semua tahapan analisis merupakan satu
kesatuan dalam argumentasi. Jika peneliti tidak melakukan ini, pembaca akan merasa bahwa peneliti tidak
dapat mengendalikan semua materinya.

BUATLAH DRAFT SEBAIK dan SELENGKAP MUNGKIN


Dalam lingkungan akademik Universitas, terkadang peserta didik (program sarjana, magister dan doktoral)
‘termotivasi’ untuk meminta pembimbing mereka membaca tulisan riset (skripsi - tesis - disertasi) yang
ditulis selama proses pembelajaran, dengan mengatakan : “katakan saja kepada saya jika saya berada di
jalur yang benar.” Ini terkadang menimbulkan ‘problem’ bagi pembimbing, karena tugas pembimbing
adalah memahami sepenuhnya pekerjaan serta penanganan materi yang terperinci, berkaitan dengan
keseluruhan argumentasi. Jadi tidak ada yang namanya bacaan yang cepat, mudah dan santai. Peneliti
harus memeriksa draft pekerjaan dengan hati-hati sehingga tidak membebani pembimbing terhadap
‘kesalahan-kesalahan kecil’ yang peneliti lakukan, yang sebenarnya dapat diminimalisir sendiri oleh
peneliti. Ada baiknya, pembimbing bertindak sebagai orang yang memeriksa dan pemberi saran tentang
kesuksesan strategi dan taktik dari hasil riset yang sudah dilakukan.

PEMBIMBING BENAR-BENAR PERLU MEMBACA DRAFT LENGKAP


Peserta didik (sebagai peneliti) selalu sangat ingin mendapat umpan balik mengenai draft tersebut bab
demi bab. Dalam beberapa kasus hal ini mungkin terjadi, namun yang lebih umum ini membuat tugas
pembimbing menjadi lebih berat dan kurang efektif, karena tidak mungkin pembimbing membuat keputusan
akhir tentang bab-bab di luar konteks keseluruhan tulisan (skripsi - tesis - disertasi). Membaca berdasarkan
bab demi bab mengharuskan pembimbing untuk membaca kembali bab-bab sebelumnya untuk membahas
bab selanjutnya dalam konteks keseluruhan.
Yang penting adalah, bahwa pada tahap tertentu pembimbing mampu bertindak efektif sebagai pemeriksa
pertama tulisan peserta didik, dan ini perlu dilakukan untuk melihat keseluruhan tulisan akademisnya. Hal
lain lagi, peserta didik memerlukan ‘atasan’ (orang yang kompeten) untuk membantu membacakan
tulisannya, dan hampir tidak mungkin untuk pembimbing membaca karya yang sama lebih dari satu kali

32
dengan tingkat perhatian yang sama. Jadi dalam meminta ‘atasan’ (orang yang kompeten) untuk membaca
tulisan akademis dapat menjadi jalan tengah yang baik, selama ‘atasan’ tersebut dapat memberikan
masukan yang terbaik untuk tulisan akademik ini.
MENDAKI BUKIT
‘Memulai Menulis’ adalah tahap yang paling sulit dalam pembuatan tulisan akademik (skripsi - tesis -
disertasi). Menulis bukan hanya perihal mengedit berbagai bagian terpisah yang telah ditulis. Tetapi penulis
harus fokus mendefinisikan pertanyaan riset, dan benar-benar menganalisis - mensintesiskan semua
bagian menjadi narasi intelektual koheren tunggal. Ini sulit, mungkin hal tersulit yang pernah dilakukan. Bill
Hilllier menggunakan istilah 'Mendaki Bukit', artinya isi keseluruhan tulisan adalah milik dan tanggung
jawab peneliti, setiap tulisan memerlukan upaya intelektual yang serius. Inilah yang membuat skripsi – tesis
- disertasi menjadi sulit. Jika tulisan dikerjakan dengan usaha intelektual yang tepat pada saat menulis,
maka kemungkinan besar akan sedikit penulisan ulang yang harus dilakukan setelah draft. Jika tidak, maka
menulis ulang bisa menyulitkan dan menyita waktu. Cepat atau lambat, BUKIT HARUS DIDAKI!!
CEK AKHIR
Perlu dilakukan Cek Akhir sebelum menyerahakan tulisan akademik yang sudah dilakukan. Seringkali,
sedikit lebih banyak pekerjaan di awal dan akhir setiap bab dapat menghasilkan keajaiban, dan ini mungkin
akan membantu. Jadi tanyakan pada diri sendiri: “Sudahkah saya membuat keseluruhan narasi intelektual
sejelas mungkin? Sudahkah saya menghubungkan materi di setiap bab dengan cukup jelas? Sudahkah
saya menghabiskan cukup waktu untuk menjelaskan gagasan orang lain dan relevansi gagasan mereka
terhadap tulisan akademik ini?” Dan “apakah saya benar-benar memeriksa semuanya secara detail dan
terstruktur secara koheren?”

BAGIAN II 7
Dibawah ini ada beberapa catatan penting yang dikemukakan oleh Julienne Hanson dan Laura Vaughan
sebagai cara untuk membuat tulisan akademik agar menjadi terfokus dan terarah.
ARGUMENTASI YANG BERNILAI
Buatlah struktur argumentasi yang jelas, kuat dan konsisten pada saat awal. Setiap Tulisan Akademik
mengandung pendahuluan, argumentasi utama, diskusi, serta sebuah kesimpulan. Garis bawahi
argumentasi dalam pembukaan, katakan apa yang akan dikerjakan dan katakan apa
yang sudah dikerjakan. Ini berarti, secara pasti peneliti memiliki posisi yang sama dengan pembaca serta
dapat berinteraksi dengan berbagai gagasan dan mengerti darimana argumentasi itu diajukan.

HINDARI LORONG GELAP


Jangan membawa pembaca berada dalam `lorong gelap` dari setiap gagasan dan argumentasi serta
memaksa pembaca untuk menginterpretasikan ulang dari setiap tahapan yang penulis katakan. Ini seperti
sebuah sulap, 'menarik seekor kelinci keluar dari topi’ di akhir yang artinya, mengajak pembaca untuk
menebak beberapa gagasan atau konsep yang telah disimpan, dan baru akan dikeluarkan pada akhir

7
Julienne Hanson dan Laura Vaughan dalam tulisannya yang berjudul Notes on how to write an academic paper – MSc.
Advanced Architectural Studies (2005 – revision) – The Bartlett School of Architecture-University College London, UK.

33
argumen. Ini berarti untuk bisa mengerti tentang isu yang peneliti angkat, pembaca harus membaca secara
berulang kali.

BUKAN DIMULAI DENGAN TEORI AGUNG


Mulailah riset dari masalah atau pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya, bukan dari teori `agung`.
Salah satu kesalahan yang paling sering diulang adalah dengan menetapkan gagasan teoritis pada
awalnya sebagai kerangka kerja umum untuk pekerjaan penulisan ini. Hal ini meningkatkan harapan
pembaca bahwa peneliti akan membuat kemajuan dengan masalah teoritis utama ini. Padahal,
kemungkinannya adalah penulis tidak akan berinovasi pada tingkat ini, jadi ketika mulai membongkar ide
tulisannya, peneliti kesulitan menghubungkannya dengan kerangka yang telah disiapkan. Jika memulai
dengan masalah sederhana, peneliti tidak hanya memiliki kesempatan untuk membuat kemajuan
dengannya, namun dapat mengejutkan dan menyenangkan pembaca dengan membawa gagasan teoritis
untuk dipergunakan untuk menjelaskan masalah yang dimunculkan. Ini adalah penggunaan terbaik untuk
teori agung. Ingatlah untuk mengingatkan pembaca kepada fakta bahwa peneliti akan menafsirkan
temuannya melalui perspektif teoretis yang dipilih.

SATU IDE
Peneliti hanya perlu satu ide bagus untuk menulis makalah, tetapi untuk itu penulis terlebih dahulu
memerlukan suatu ide atau hipotesis. Menyajikan karya orang lain secara deskriptif saja tidak cukup.
Peneliti harus menambahkan beberapa pemikiran asli dari dirinya sendiri. Di sisi lain jangan mencoba
memecahkan terlalu banyak masalah yang berbeda dalam satu tulisan. Jika peneliti bertujuan untuk
mendiskusikan lebih dari satu gagasan di latar depan karya mana pun, kemungkinan besar akan berakhir
dengan kekacauan. Jadi, peneliti harus memilih jalur penyelidikan terbaik dan berharap dapat mengangkat
masalah relevan lainnya ke permukaan melalui pencariannya.

EMPAT POKOK
Setiap tulisan membutuhkan masalah (yang berbeda di setiap bidang atau area riset), kumpulan data,
sekumpulan literatur dan hipotesis. Peneliti tidak bisa mengelola riset tanpa keempatnya. Keempatnya
perlu dirancang agar argumen bekerja dengan selaras dan tidak saling bertentangan satu sama lain. Inilah
yang disebut desain riset.

IDENTIFIKASI MASALAH
Sebuah bidang studi adalah bidang yang luas – misalnya studi tentang : `hubungan antara segregasi dan
kemiskinan`akan berisi banyak kemungkinan bidang riset. Karena itu penting untuk fokus pada apa yang
sebenarnya akan dilakukan, dan bagaimana cara peneliti akan memberikan kontribusi terhadap topik
tersebut. Peneliti perlu mengidentifikasi masalah secara spesifik dan berharap dapat membuat kemajuan,
misalnya dengan membuat sebuah pertanyaan :
“Sejauh mana intervensi pemerintah dalam perencanaan dan perancangan berdampak pada tingkat
kemiskinan di kota-kota kumuh?” Pada kondisi ini, peneliti akan tahu kapan ia telah mengidentifikasi
sebuah masalah, atau lebih tepatnya sebuah pertanyaan, karena pada saat itu peneliti akan dapat melihat
bagaimana cara untuk menemukan jawabannya dengan mengacu pada kumpulan beberapa data.

MEMILIH DATA
Jangan pernah mencoba menulis tentang sesuatu tanpa data yang baik, cermat dan representatif untuk
menguji gagasan. Misalnya, dalam mengambil data tentang : “tingkat kepuasaan pemakai pada sebuah

34
proyek perumahan.” Maka data yang masuk akan memiliki tingkat variabel yang berbeda. Ada seni dalam
pemilihan data guna menguji gagasan, dan penulis harus mengetahui pilihan data seperti apa yang cocok.
Jangan memilih data untuk menyamarkan argumentasi yang menjadi fokus tulisan. Jadilah orang pertama
yang menemukan kesulitan dalam pilihan data, bukan yang terakhir. Ketidaktelitian dalam analisis data,
yang hanya bertujuan menopang gagasan, adalah sebuah ‘kecurangan’ dan bahkan bila tulisan itu lolos
begitu saja, peneliti sebenarnya sedang menipu diri sendiri.

STATE OF THE ART


Peneliti selalu harus mencoba mengacu pada tingkat perkembangan ilmu pengetahuan terbaru , seperti
perangkat, teknik, atau bidang ilmiah yang dicapai pada waktu tertentu. Ini juga mengacu pada tingkat
perkembangan, seperti yang dicapai pada waktu tertentu serta sebagai hasil dari metodologi umum yang
digunakan pada saat itu. Sebelum mempresentasikan gagasan, peneliti harus menetapkan pekerjaan
dalam konteks, dan menunjukkan bahwa peneliti mengetahui kaitan risetnya dengan orang lain yang
bekerja di bidang ini serta pengetahuan yang berkembang saat ini.

HIPOTESIS
Peneliti perlu mengembangkan sebuah hipotesis yang akan diuji. Sebuah makalah sebaiknya dimulai
dengan asumsi-asumsi yang masuk akal - katakanlah, bahwa ‘bahwa gereja-gereja bulat lebih progresif
dan liberal daripada gereja tradisional persegi panjang yang terorganisir dalam sumbu (axis)’ - ini bukanlah
kegagalan, jika selanjutnya peneliti menemukan bahwa bentuk bulat sebenarnya sangat terbatas dan
formal dalam penggunaannya. Hal ini justru berhasil, karena peneliti telah menemukan sesuatu yang tidak
terduga. Laporkanlah hasil `negatif` atau `samar` tersebut (berarti kedudukan hipotesa mengalami
kesalahan setelah diuji).

POSISIKAN DIRI SEBAGAI ORANG KETIGA


Peneliti harus menduduki posisi sebagai orang ketiga, sebagai contoh 'Makalah ini mengacu kepada
..........' bukan 'Saya menulis makalah ini karena ...' Ini mungkin tampak bertele-tele, tapi tujuannya adalah
menjauhkan posisi peneliti dengan tulisan itu dengan membuat tulisan tersebut semandiri mungkin.
Tulisan-tulisan yang ditulis harus merupakan struktur gagasan independen yang tidak mengharuskan
peneliti campur tangan dengan memberikan pendapat, mengungkapkan keyakinan, atau menambahkan
klarifikasi.

EVALUASI GAGASAN
Paparkan gagasan sebelum peneliti mengevaluasinya. Dalam tahap awal, peneliti harus berasumsi bahwa
pembaca belum mengenal karya yang diacu. Peneliti harus mampu mempresentasikan karya orang lain
(sebagai sumber) dengan jelas, sehingga pembaca dapat memberikan penilaian independen mengenai
kegunaan dan keterbatasannya. Evaluasi yang peneliti paparkan boleh disetujui atau tidak oleh pembaca,
tetapi inti dari semuanya adalah untuk mengendalikan perdebatan dan tidak memberikan pandangan yang
bias.

KATAKAN SUMBER IDE


Jika ada sebuah sumber tulisan yang layak disebutkan, itu perlu dikatakan dengan benar. Tidak mengakui
sumber adalah bentuk keangkuhan intelektual. Penulis harus selalu mengakui sumber ide dan
pengaruhnya terhadap karya tulisan yang dibuat, meskipun terkadang sulit sekali mengatakan dari mana
ide berasal, terutama bila bersumber dari sintesis beberapa karya orang lain. Namun peneliti harus
berusaha untuk tidak mencuri kekayaan intelektual dari peneliti lain yang tidak dikenal. Hal yang paling

35
buruk adalah menyalin karya orang lain dan berpura-pura itu adalah milik sendiri. Ini adalah plagiarisme
dan inilah satu hal yang secara otomatis membuat seorang peneliti gagal. Bahkan, pada titik yang ekstrem
peneliti akan mendapatkan sanksi sosial-intelektual. Ini berlaku umum, terutama jika peneliti mengunduh
materi dari Internet.

REFERENSI
Setiap peneliti harus bisa memberikan referensi dengan benar, lengkap dengan penulis, judul, penerbit,
tempat publikasi, tanggal publikasi dan nomor halaman. Biasakan mencatat referensi pada saat membaca
referensi. Salah satu tugas paling menjengkelkan yang dapat dibayangkan adalah mencoba menyusun
daftar referensi beberapa saat setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan harus mencari kembali ke
perpustakaan atau sumber literatur.

GAGASAN BERSIFAT SEMENTARA


Ingatlah bahwa semua gagasan bersifat sementara. Setelah menjelaskan masalah ini, memeriksa literatur,
dan menganalisis data, peneliti perlu mendiskusikan temuannya dan menafsirkannya berdasarkan apa
yang telah ia katakan sampai saat ini. Bila telah melakukan semua ini, peneliti mungkin bisa mencapai
sebuah kesimpulan, tapi mungkin saja, tidak akan pernah bisa membuktikan apapun dan tidak ada yang
benar. Peneliti mungkin bisa menunjukkan sebuah hubungan, menyarankan beberapa temuan,
menunjukkan kelemahan dalam penulisan (yang harus selalu diakui dan juga termasuk kekuatannya) serta
tunjukkan apa yang tampaknya merupakan garis paling menjanjikan untuk riset lebih lanjut.

HINDARI KATA SIFAT dan JARGON


Tujuan tulisan akademik harus meyakinkan dengan argumentasi beralasan bukan dengan perangkat
jurnalistik atau penggunaan kata sifat. Peneliti seharusnya tidak mengajukan pertanyaan retoris seperti
“siapakah yang seharusnya tidak menjadi orang Indonesia?” Peneliti seharusnya tidak mengganggu
pembaca dan mengatakan kepadanya apa yang harus dipikirkan. Sebaiknya peneliti berhenti dan berpikir
ulang ketika hendak memperkenalkan gagasan normatif, jangan mempertontonkan kata-kata sulit seperti :
'sukses', 'baik', 'gagal', 'tidak pantas', dan seterusnya, serta jangan gunakan jargon. Sebuah gagasan tidak
diukur dengan panjang kata yang perlu diekspresikannya. Seringkali ide terbaik bisa dikatakan dengan
sederhana, ini seperti ketika kita meminta sesuatu kepada ibu kita, harus jelas, sederhana serta
dimengerti.

BERIKAN CONTOH
Memberikan contoh-contoh dalam tulisan akademik adalah hal baik. Selalu lebih baik berdebat melalui
kasus daripada secara abstrak, karena contoh akan memberi pembaca sesuatu yang konkret untuk
didiskusikan, sehingga penjelasan tepat sasaran. Hal ini berlaku untuk banyak figur dan gambar mengenai
kasus-kasus. Selalu tafsirkan diagram yang digunakan dalam teks, dan sebaliknya jangan pernah
membiarkan ruang untuk ketidakcocokan penafsiran muncul antara penulis dan pembaca karena belum
dikemukakan semuanya. Peneliti tidak dapat mengasumsikan bahwa pembaca akan melihat sesuatu
dengan cara yang sama seperti dirinya.

HOLISTIK TAPI SEKUENSIAL


Argumentasi yang dipaparkan peneliti seharusnya tidak mengandung keraguan, tidak ada pengulangan
dan tidak ada penyimpangan dari subjek. Menulis makalah adalah tindakan mengambil jaringan atau
matriks ide yang maksimal, dan memotong semua tautan hingga minimum ke hal-hal yang terpenting,
untuk merangkai serangkaian gagasan bersama, sehingga jaringan berubah menjadi sekuens. Perlu

36
diingat, meskipun riset sebagai kegiatan dan praktik cenderung bersifat holistik dan parallel - olahan,
bacaan merupakan kegiatan sekuensial.

MEMILAH ARGUMENTASI
Tulisan Akademik (skripsi-tesis-disertasi) sebagai kumpulan mata rantai gagasan terkadang banyak yang
sulit diikuti, telihat bagus tetapi tidak memiliki hubungan yang jelas antar argumentasi. Memilah atau
menyeleksi rangkaian argumentasi yang ada, dan menghilangkan yang tidak perlu akan membuat tulisan
akademik menjadi fokus, jelas dan terkendali.

Sebagai akhir catatan diatas, Julienne Hanson dan Laura Vaughan mengatakan : “Inilah aturan yang harus
kita ingat saat menulis makalah akademik. Mengingat semua catatan diatas, mungkin tidak menghasilkan
Hadiah Nobel untuk Sastra, atau bahkan sepotong jurnalistik berharga, tapi mungkin memberi anda
kepuasan untuk membuat kontribusi kecil namun sempurna untuk pengetahuan”.

KESIMPULAN
Riset adalah bidang pengembangan pengetahuan terpenting dalam sejarah kemajuan peradaban manusia.
Ada beberapa prinsip penting yang menjadi landasan sebuah riset, seperti: membangun pengetahuan baru
melalui pertanyaan, mengembangkan gagasan yang konsisten, mengkonstruksi dasar-dasar teoritikal serta
memilih metode yang tepat serta menghasilkan temuan-temuan riset. Semua ini, menjadi kata kunci yang
perlu diterapkan dalam setiap langkah riset.
Penulisan Akademik merupakan sebuah laporan tertulis yang merangkum semua kegiatan riset yang telah
dilakukan. Sebagai sebuah laporan, penulisan akademik haruslah mengikuti prosedur – prosedur dan
aturan dalam penulisan ilmiah, ditulis secara fokus, informatif serta tidak memberikan kebingungan-
keraguan kepada pembaca, mengikuti standar penulisan dengan kaidah bahasa (Bahasa Indonesia) yang
baik dan benar, serta dicetak dalam format (grafis) yang sedap dipandang mata .
Tujuan utama dari setiap penulisan akademik adalah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
menuliskan hasil pekerjaan risetnya secara terbuka dengan tetap menjunjung kaidah dan etika sebagai
peneliti. Ketika peneliti membuatkan laporan risetnya, peneliti memiliki tanggung jawab penuh terhadap
hasil seluruh pekerjaannya dan memiliki kepastian bahwa apa yang sudah dikerjakan memberikan
kegunaan bagi pembaca.
Penulisan Akademik adalah sebuah pekerjaan yang menuntut prosedur yang jelas, karenanya sebuah
penulisan akademik memiliki standar-standar operasional umum yang harus diikuti oleh para peneliti.
Penulisan Akademik yang baik akan dihasilkan melalui pekerjaan riset yang konsisten, original dan
mengusung gagasan baru serta berguna bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Setiap pemaparan
dalam penulisan akademik memiliki kekuatan intelektualitas yang harus dapat dipertanggungjawabkan
secara `moral` karenanya penulisan akademik juga menuntut kejujuran dan keaslian dari pemikiran oleh
pelaku riset. (as)

37
TULISAN KEEMPAT

MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR


SANGAT PENTING ?

38
MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR
SANGAT PENTING? 1

‘‘ Hidup tanpa penyelidikan, tidak layak dijalani oleh manusia “


Socrates

PENGANTAR
Pada sebuah kata pengantar dalam tulisan akademik `How Architects Use Research – Case Studies From
Practice` yang diterbitkan RIBA (Royal Institute of Bristish Architects) di tahun 2014,2 dipertanyakan
beberapa hubungan penting antara arsitek dan riset, seperti: Apa yang dipahami para arsitek tentang riset?
Bagaimana arsitek menggunakan riset? Kapan dan bagaimana arsitek melakukan riset dalam praktik
mereka? Pengetahuan riset apa yang dibutuhkan oleh arsitek dalam merancang? Bagaimana riset
memberi nilai bagi arsitek dan klien mereka? Dalam pertanyaan-pertanyaan ini terkandung premis bahwa
riset dapat menjadi bagian yang memberikan nilai tambah kepada arsitek dalam olah rancangnya. Sebuah
karya arsitektur merupakan sebuah proses berpikir dan mencipta dalam tautan analisis – sintesis –
evaluasi yang berkesinambungan, dengan hasil akhir berupa produk arsitektur.3 Proses tautan ini
merupakan proses yang dapat ditemui dalam berbagai kegiatan riset, sehingga secara sederhana,

1 Tulisan ini pernah dipresentasikan pada hari Kamis, 22 Agustus 2019 di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta dalam
acara Forum ARCHINESIA#53: `Why Research in Architecture is Essensial`.
2 RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA Architecture.com
3 Lihat Groat, Linda N. dan Wang, W. (2013), Architectural Research Methods (2nd ed.). John Wiley & Sons, inc. hlm. 29 – 32.

39
tindakan berarsitektur dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan meriset. Tetapi apakah benar bahwa
setiap tindakan berarsitektur adalah kegiatan melakukan riset?
Dalam terbitan RIBA lainnya di tahun yang sama, dikatakan bahwa “arsitek, lebih dari profesi lain,
menerima keunggulan "pengetahuan dalam praktik", …. Sikap terhadap riset dan pertukaran pengetahuan
tampaknya berakar pada pendidikan arsitektur, gaya belajar dan metode komunikasi yang dipilih, terutama
visual dan peer-to-peer.”4 Arsitektur harus dapat dilihat sebagai sebuah model produksi yang komprehensif
dengan kemampuan menggabungkan teori dengan praksis, bertindak intuitif, dan berpikir saintifik.
Arsitektur akan menjadi lebih integratif dan interaktif ketika memiliki keterbukaan terhadap pengetahuan
lain. Riset harus dipahami sebagai penyelidikan awal yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan
pengetahuan bagi arsitektur itu sendiri. Tetapi tentunya hubungan antara riset dan arsitektur tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Untuk semua ini, ada tiga pertanyaan yang akan diajukan dalam tulisan
ini, yaitu: (1) Apa itu riset arsitektural? (2) Apa perbedaan dan kesamaan antara: merancang dan meriset?
(3) Model pengetahuan seperti apa, yang memberikan peran signifikan terhadap riset arsitektural? Melalui
pertanyaan-pertanyaan ini, gambaran tentang bagaimana riset bekerja dalam arsitektur dapat menjadi
bahan kajian dalam merancang arsitektur.

APA ITU RISET ARSITEKTURAL?

Untuk mengerti Riset Arsitektural, ada dua kata yang perlu ditelusuri yaitu Riset dan Arsitektur. Kata Riset
5 berasal dari bahasa Perancis re-cercher yang memiliki arti ‘pergi mencari’ – ‘melakukan perjalanan’ –

‘memeriksa dengan cermat’. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search yang memiliki arti `mencari
ulang` atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Selain itu,
kata Arsitektur berkaitan dengan pelakunya yang adalah arsitek. Kata arsitek berasal dari bahasa
Latin architectus dan bahasa Yunani arkhitektōn, yang berakar pada dua kata yaitu arkhi (chief) – artinya
‘kepala’ – dan tektōn (builder) artinya ‘tukang’. Melalui etimologinya, arsitek memiliki arti sebagai `kepala
tukang’, sehingga arsitektur adalah produk yang dihasilkan oleh ‘kepala tukang’. Sebagai seorang ‘kepala
tukang’ arsitek menunjukkan status dengan kemampuan memimpin dan memproduksi. Bila kedua kata ini
digabung, maka Riset Arsitektural dapat diartikan sebagai produk yang dihasilkan oleh kepala tukang
melalui proses mencari.

Bagaimana proses mencari tersebut dilakukan? Proses mencari (re-search) ini berkaitan dengan tiga fase
penting yaitu: (1) Menemukan masalah dan pertanyaan (Exploratory); (2) Meletakkan kajian teoritikal dan
metodologi, serta menyiapkan solusi atas masalah dan pertanyaan (Constructive); (3) Menguji kelayakan
suatu solusi menggunakan bukti empiris (Empirical).6 Dalam proses ‘mencari’ ini, teori dan praksis
senantiasa bertautan, di mana teori mempersiapkan tatakan awal untuk arsitek memproduksi lewat praksis
dan menghasilkan karya arsitektur.7

4 Lihat RIBA Architecture. (2017, Mei 10). Architects and Research-Based Knowledge: A Literature Review of Knowledge
Management Practices. Hlm. 4.
5 Kata Riset telah dibedah dalam dibagian Tulisan Kedua yang berjudul Riset – Desan dan Pengetahuan.
6 Secara Umum sebuah riset berkaitan dengan mengidentifikasikan masalah dan membuat pertanyaan untuk mempersiapkan

tahapan teori dan metodologi sebagai basis analisis-sintesis bekerja didalamnya.


7 Theoria (teori) sebagai pengejaran kebenaran dan pengetahuan melalui proses kontemplasi, dan Praxis (praksis/praktik),

sebagai pengejaran untuk pengetahuan dan penciptaan melalui tindakan 'membuat'.

40
Dalam sebuah kesempatan, Bryan Lawson mencoba melakukan riset observasi kepada dua kelompok
mahasiwa pasca sarjana dari bidang saintifik (ilmuwan) dan bidang arsitektur. Kedua kelompok ini diberi
kesempatan untuk mengkomposisi pecahan balok kayu modular yang sudah diberikan tanda dan warna.8
Yang menarik dari hasil eksperimen ini, masing-masing grup memiliki cara dan strategi pemecahan
masalah yang berbeda. Kelompok saintifik umumnya mengadopsi strategi secara sistematis dalam
menjelajahi kemungkinan kombinasi balok, untuk menemukan aturan mendasar yang dapat menciptakan
kemungkinan kombinasi. Kelompok arsitek lebih cenderung mengusulkan serangkaian solusi (melalui uji
coba), sampai mereka dapat menemukan kombinasi yang dapat diterima. Riset observasi ini menunjukkan
bahwa para saintis (ilmuwan) memecahkan masalah dengan analisis, sedangkan arsitek memecahkan
masalah dengan uji coba untuk menyelesaikan solusi. Mahasiswa sains belajar melalui teori dan riset yang
sifatnya metodik, sehingga hasilnya dapat diterima dengan logika yang bersifat umum dan digunakan oleh
orang lain. Tanpa metolodogi yang jelas, solusi yang ditawarkan akan menjadi tidak valid. Sementara
mahasiswa arsitektur belajar melalui proses membuat – menerima kritik – memperbaiki, sehingga hasilnya
adalah solusi yang spesifik. Seringkali, dalam proses pembelajaran arsitektur di studio, proses mencapai
solusi tersebut tidak dipersoalkan. Selama solusi yang ditawarkan dapat menjawab persoalan, maka hasil
desain tersebut dapat diterima. Hal ini mencerminkan bagaimana sebuah proses ‘mencari’ dapat dicapai
melalui berbagai arah pendekatan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Victor Papanek dalam tulisannya The Future Isn’t What It Used To Be.
Dalam wilayah arsitektur (desain), arsitek atau desainer memiliki cara pandang dan kerja yang berbeda
dalam menghasilkan produknya. Victor Papanek mengungkapkan bahwa ada dua karakter yang
diperlihatkan desainer dalam menghasilkan produknya. Pertama adalah desainer yang berproses secara
lebih sistematik, saintifik, terprediksi serta terkomputasi. Para desainer ini mencoba merasionalisasikan
desain oleh pengembangan aturan main, taksonomi, klarifikasi dan sistem prosedur, sehingga
membuatnya lebih mengarah terhadap kajian saintifik. Pedekatannya lebih berpegang pada hal-hal logika,
alasan dan intelektualitas. Kedua adalah desainer yang bekerja mengikuti perasaan, sensasi, kejutan dan
intuisi. Produk yang dihasilkan memberikan kedinamisan, nuansa romantis, serta menimbulkan sifat
sentimental.9 Kedua karakter ini memberikan gambaran bahwa dunia arsitektur (desain) merupakan
sebuah wilayah yang memiliki tautan kerja dalam dimensi yang berbeda. Perbedaan karakter ini
merupakan sumber kekayaan intelektual yang dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan ilmu
pengetahuan arsitektur itu sendiri.

Dalam sebuah tulisannya, Yasraf A. Piliang mempertegas perbedaan mendasar antara dunia sains (ilmu
pengetahuan dan teknologi) dengan dunia desain (arsitektur dan seni), di mana dunia sains mempunyai
satuan keilmuan dan objek kajian yang relatif lebih koheren sedang dunia desain adalah bidang yang
memiliki satuan keilmuan yang lebih terbuka dan dinamis.10 Meminjam Plato, seni adalah usaha kreatif
untuk menghasilkan bentuk yang harmonis, sedangkan matematika menghasilkan kebenaran, dengan kata

8 Lihat buku Bryan Lawson dalam How Designers Think: The Design Process Demystified. Oxford: Architectural Press. hlm. 41-
44.
9 Lihat tulisan Victor Papanek dalam The Future Isn`t What It Used To Be, dalam The Idea of Design – A Design Issues Reader,

Victor Margolin dan Richard Buchanan (eds.). MIT Press. hlm. 56.
10 Lihat tulisan Yasraf A. Piliang pada Pendekatan dalam Riset Desain: Pelbagai Perkembangan Paradigma, dalam buku

Desain, Sejarah, Budaya – Sebuah Pengantar Komprehensif (terjemahan), Karangan John A. Walker. Jalansutra. hlm. vi.

41
lain seni adalah Keindahan sedangkan matematika adalah Kebaikan.11 Dirskursus tentang dunia saintifik
dan seni merupakan sebuah diskusi panjang, dan Riset Arsitektural menduduki wilayah di antara dua kutub
ini. Berpikir secara seni dan saintifik menjadi kata kunci penting untuk dapat mengembangkan
pengetahuan riset dalam arsitektur.

Dalam pandangan Yasraf A. Piliang, ada dua epistemology dalam desain yang berkaitan dengan riset.
Pertama, riset murni yang keluarannya adalah pengetahuan itu sendiri. Kedua, riset terapan atau riset
desain yang keluarannya adalah sebuah produk atau objek, yang di dalamnya terkandung pengetahuan
secara implisit. Berdasarkan dua keluaran itu, dapat dikatakan bahwa riset dalam desain dapat mempunyai
dua tujuan yang berbeda, yaitu memahami (understanding) dan menciptakan (creating).12 Proses
memahami (understanding) adalah sebuah proses kontemplasi yang memberikan ruang bagi spekulasi.
Proses ini adalah theoria, melihat sesuatu untuk menghasilkan pengetahuan. Sementara, proses
menciptakan (creating) berkaitan dengan produk yang dihasilkan yang di dalamnya terkandung nilai
kepraktisan. Riset arsitektural memiliki kesempatan terbaik untuk menempatkan diri dalam dunia teori dan
praksis melalui arsitek sebagai aktor utamanya, sehingga arsitektur tidak hanya mengambil posisi sebagai
sekadar aktivitas produksi, tetapi memberikan ruang bagi arsitektur untuk membangun ilmu pengetahuan.

APA PERBEDAAN DAN KESAMAAN ANTARA MERANCANG DAN MERISET ?


Kata merancang memiliki kedekatan dengan kata desain (design). Dua kata ini telah dibedah dan ditelusuri
oleh Gunawan Tjahjono dalam bukunya Metode Perancangan: Sebuah Pengantar untuk Arsitek dan
Perancang.13 Kata desain yang dalam bahasa Inggrisnya `design` berasal dari kata latin `signum` yang
berhubungan dengan `sec` yang berarti memotong (dengan alat yang bergerigi). `Signum` itu adalah hasil
pembuatan takikan dengan alat gergaji diatas sebatang kayu. Dari `signum` berkembang kata kerja
`designare` yang berarti menandai – menamai. Kata ini beralih ke kata Perancis Pertengahan `designer`
yang berarti merancang. 14

Kata perancangan berasal dari kata rancang yang berarti setangkai kayu yang berujung runcing dan
mencucukkannya kedalam tanah sebagai tanda, batas atau untuk mengetahui sesuatu yang ada didalam
tanah. Merancang berarti memastikan suatu keadaan, untuk itu dalam meruncingkan sebuah kayu
diperlukan alat dan cara yang tepat agar keruncingan sebuah kayu sebelum dicucukkan kedalam tanah
dapat digunakan dengan baik dalam proses menandai dan membatasi sebidang tanah.

11 ‘Art as the creation of harmonious form whose mathematical relationships participated in the true. The Good and the Beautiful.’
Meminjam artikel jurnal dengan judul: On the Differences between Scientific and Artistic Approaches to Qualitative Research,
Elliot W. Eisner, Visual Arts Research, Vol. 29 No. 57, Special Issue Commemorating Our 30th Anniversary (2003), hlm. 5-11.
12 Op.cit
13 Lihat buku Gunawan Tjahjono (2000) yang berjudul Metode Perancangan : Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang.

Universitas Indonesia. hlm.19-22.


14 Pengertian desain telah dibahas dibagian Tulisan Kedua : Riset – Desain dan Pengetahuan

42
Ilustrasi Rancang : Tanda Hipotetis dan makna kata sumber : buku karangan Gunawan Tjahjono – Metode Perancangan
(digambar ulang)

Kata meriset merupakan sebuah kata kerja yang berkaitan dengan melakukan kegiatan penyelidikan dan
pencarian. Kata riset telah didefiniskan dengan cara yang berbeda, seperti Kamus Merriam-Webster yang
mendefiniskan riset sebagai penyelidikan atau pemeriksaan yang teliti yang ditujukan pada penemuan dan
penafsiran fakta; John W. Creswell yang menyatakan bahwa riset adalah proses pencarian dengan
mengumpulkan dan menganalisis informasi untuk meningkatkan pemahaman tentang suatu topik atau
masalah. Prosesnya terdiri dari tiga langkah: mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data untuk
menjawab pertanyaan, serta menyajikan jawaban untuk pertanyaan tersebut;15 atau Leedy yang
menyatakan bahwa riset adalah sebuah proses yang tersusun secara sistematis meliputi pengumpulan
data dan analisis data atau informasi dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai
fenomena yang menjadi perhatian atau yang sedang diamati.16 Dari paparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa meriset adalah sebuah proses penyelidikan untuk menjawab pertanyaan atas masalah yang
dihadapi, dan dilakukan dalam tautan analisis-sintesis yang tersusun secara sistematis, dengan tujuan
penemuan pengetahuan.

Merancang dan meriset memiliki dimensi yang bergerak dalam wilayahnya masing masing. Meminjam
tulisan Gunawan Tjahjono,17 ada beberapa perbedaan yang dapat ditemui yaitu: Merancang adalah
kegiatan yang menghasilkan rangkaian instruksi (dalam bentuk denah, notasi musik, spesifikasi, dst.) untuk
dilaksanakan, yang dalam pelaksanaannya akan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Merancang

15 J.W. Creswell (2008). Educational Research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (3rd
ed.).Pearson.
16 Paul D. Leedy, Jeanne E. Ormrod (2005). Practical Research: Planning and Design a Research. (8th ed.). Pearson.
17 Lihat buku Gunawan Tjahjono (2000) hlm.21-28. Saya mencoba mengganti posisi Ilmu Pengetahuan sebagai hasil dari

meriset, karena secara mendasar tindakan meriset memiliki tujuan untuk menghasilkan pengetahuan.

43
adalah kegiatan yang bisa berulang tetapi selalu harus menghasilkan sesuatu yang baru. Merancang
berkaitan dengan dunia ide yang harus diimplementasikan menjadi produk. Merancang berhubungan
dengan masalah yang sulit terdefiniskan (ill-defined) dan pelik (wicked). Merancang berhadapan dengan
dunia ‘tiruan’ yaitu sebuah tumpukan kompleksitas masalah yang dihadapi. Sementara meriset adalah
kegiatan yang menjawab pertanyaan atas permasalahan yang diangkat dan hasilnya berupa pengetahuan.
Meriset adalah kegiatan yang berbasis pada prosedur yang jelas yaitu langkah-langkah metodis dan logis
sehingga menghasilkan sesuatu yang objektif. Kegiatan meriset berhubungan dengan fakta dan melakukan
penyelidikan atas fakta yang dihadapi. Riset berhadapan dengan fenomena (sesuatu yang terlihat) dalam
dunia yang alami dengan masalah yang dapat diujicobakan. Di antara perbedaan ini, terdapat kesamaan
antara merancang dan meriset, yakni bahwa kedua kegiatan ini dilakukan dengan sadar, memiliki tujuan
dan perhitungan sehingga di dalamnya perlu melibatkan berbagai pengetahuan untuk memperkuat
tindakan yang dilakukan.

Riset arsitektural adalah kegiatan yang berjalan dalam dua wilayah ini, dimana tindakan berarsitektur tidak
hanya terfokus pada olah rancang tetapi memiliki semangat olah riset didalamnya. Kondisi ini dapat
dibayangkan sebagai dialog antara ‘baru’ dengan ‘bagus’. Merancang tidak harus baru, tetapi harus
memberikan sesuatu yang bagus sehingga memiliki nilai guna. Meriset tidak harus bagus, tetapi harus
memberikan nilai kebaruan untuk kemajuan pengetahuan. Ketika dua wilayah ini bertemu dan memainkan
perannya dalam produk arsitektur, maka olah rancang harus mampu menghasilkan ide-ide baru, dan pada
titik yang sama, olah riset akan memecahkan masalah yang dihadapi. Keduanya berpadu dan saling
bergerak secara koheren untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bagus.

MODEL PENGETAHUAN SEPERTI APA YANG MEMBERIKAN PERAN SIGNIFIKAN


TERHADAP RISET ARSITEKTURAL?
Dalam artikelnya Architectural Research: Three Myths and One Model 18, Jeremy Till mengungkapkan
bahwa ada tiga ‘mitos’ yang berkembang di sekitar riset arsitektur, dan telah menghambat kemajuan riset
di bidang arsitektur, yaitu :
Mitos 1 - ARSITEKTUR HANYA ARSITEKTUR: adalah anggapan bahwa arsitek dengan arsitekturnya
adalah sebuah dunia intelektual yang tidak dapat digugat oleh yang lainnya, semacam pendapat bahwa:
“Anda tidak dapat memahami bagaimana kami bekerja.” Mitos ini sudah terlalu lama digunakan sebagai
alasan untuk menghindari riset dan secara bersamaan membangun ketergantungan pada kekuatan
kreativitas. Mitos bahwa arsitektur hanyalah arsitektur, dibangun atas pengertian bahwa seorang arsitek
adalah jenius dan memiliki otoritas penuh terhadap olah rancangnya, pada akhirnya, ini akan mengarahkan
pada marginalisasi arsitektur.

Mitos 2 – ARSITEKTUR BUKAN ARSITEKTUR: Mitos kedua bekerja bertentangan dengan yang pertama
dan berpendapat bahwa untuk memantapkan dirinya sebagai pengetahuan yang kredibel dan 'kuat',
arsitektur harus beralih ke disiplin yang lain sebagai sebuah otoritas. Riset arsitektur telah
mengklamufasekan diri dalam wacana lain yang terbentang sepanjang garis seni, sains dan sosial budaya
dalam usaha melegitimasi diri di belakang wacana lain tersebut.

18 Lihat Jeremy Till (2007). Architectural Research: Three Myths and One Model. Dipetik Agustus 17, 2019, dari Jeremy Till

44
Mitos 3 – MERANCANG BANGUNAN ADALAH RISET: Mitos ini percaya bahwa mendesain bangunan
adalah sebuah riset, ini memiliki arti bahwa pengetahuan arsitektur berada pada objek yang dibangun.
Arsitektur melebihi bangunan sebagai objek, sama seperti seni melebihi lukisan itu sebagai objek. Oleh
karena itu riset arsitektur harus memiliki wilayah yang lebih luas. Bangunan ‘baik’ belum tentu merupakan
hasil riset yang baik, dan riset yang baik mungkin mengarah ke bangunan ‘buruk’. Arsitektur sering
digambarkan sebagai 'baik' karena cocok, sesuai selera, serta menjawab berbagai kebutuhan. Arsitektur
melalui bangunannya, harus menghasilkan energi bagi pengetahuan, diperlukan pemahaman atas proses
produksinya serta melihat bagaimana produk ini bekerja setelah selesai.

Tentang tiga mitos ini, Jeremy till mengatakan bahwa arsitektur memiliki basis pengetahuan dan prosedur
tertentu. Kemampuannya dalam menentukan konteks, ruang lingkup dan mode riset adalah hal yang
penting. Seperti yang telah terlihat, kedudukan arsitektur harus memberikan nilai tambah bagi pengetahuan
dan praktik arsitektur, sehingga menjadi integratif dan melintasi batas-batas epistemologis. Bangunan
sebagai produk fisik berfungsi dalam sejumlah cara yang independen tetapi interaktif – mereka adalah
entitas struktural, mereka bertindak sebagai pengubah lingkungan, mereka berfungsi secara sosial,
budaya, politik dan ekonomi. Oleh karena itu, riset arsitektural harus sadar akan interaksi ini, melintasi
bidang intelektual lainnya serta menempatkan arsitektur untuk dapat bernegosiasi dengan kondisi yang
dihadapi.

Christopher Frayling mengembangkan tiga lingkup riset untuk mengatasi hubungan spesifik antara desain
dan riset. Tiga lingkup ini adalah research into design, research through design, research for design.
Riset 'into' adalah praktik riset paling mudah, yaitu dengan mengambil arsitektur sebagai subjeknya.
Misalnya dalam riset sejarah, atau studi penjelasan tentang kinerja bangunan. Riset 'through' adalah
praktik riset berbasis pada proses desain, apa yang dicapai dan dikomunikasikan melalui aktivitas desain
sebagai bagian dari metodologi riset itu sendiri. Riset 'for' adalah praktik riset tentang produk yang
dihasilkan dan manfaat produk tersebut. Hasilnya ditujukan khusus untuk masa depan, termasuk
pengembangan bahan, tipologi, dan teknologi baru.19 Pembagian lingkup dalam hubungan antara riset dan
desain telah menunjukkan posisi pengetahuan yang jelas dalam memaknai hubungan meriset dan
berarsitektur (mendesain).

Sebuah makalah yang diterbitkan oleh RIBA, memaparkan cara bagaimana arsitek memahami riset.
Arsitek sebagai Praktisi dapat terlibat dengan riset dalam sejumlah melalui sejumlah cara: 20
- Pengetahuan riset (research knowledge) – adalah subyek dari riset, misalnya pengetahuan
tentang prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) atau pengetahuan tentang bahan yang akan
digunakan dalam sebuah konteks yang spesifik.
- Proses Riset (research processes) – adalah cara meriset untuk menemukan pengetahuan,
misalnya : data tapak, kunjungan proyek, preseden proyek dan percobaan material.
- Sumber-Informasi riset (research resources) - adalah cara mengakses pengetahuan misalnya :
artikel jurnal, preseden karya, buku dan situs web.

19Lihat Christopher Frayling (April 1993) dalam Research in Art and Design, Royal College of Art Research Papers 1 No.1.
20Lihat RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA
Architecture.com

45
Ilustrasi Diagram : hubungan antara pengetahuan, proses dan sumber informasi

Dari diagram ini, terlihat hubungan antara: subyek riset untuk membangun pengetahuan; proses untuk
menemukan pengetahuan; serta sumber informasi sebagai jalan mengakses pengetahuan akan
memberikan jalan bagi para praktisi arsitek untuk mendekatkan diri pada dunia riset. Dunia Riset
arsitektural adalah sebuah wilayah yang memberikan kesempatan kepada pelaku arsitektur – yang dalam
hal ini adalah arsitek – untuk menentukan taktik dan strategi dalam meriset, menempatkan dirinya sebagai
subjek utama dalam membangun pengetahuan-pengetahuan arsitektur ke depan, serta secara cermat
mengomposisikan pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk mendukung proses mencipta dalam arsitektur.

MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING?

Riset dalam arsitektur (desain) akan memberi garis batas bahwa pekerjaan yang dilakukan arsitek akan
bergerak dalam wilayah teori dan praksis. Teori memberi kesempatan untuk arsitek membangun
pengetahuan arsitektur, sedangkan praksis memberikan kesempatan arsitek untuk memproduksi karya
sebagai tujuan berarsitektur. Keduanya harus berjalan seimbang, terintegratif dan interaktif, sehingga
arsitektur yang dihasilkan memiliki kekuatan sebagai sebuah produk yang memberikan sumbangsih bagi
ilmu pengetahuan arsitektur.

Untuk itu, ada beberapa kesimpulan penting yang dapat ditarik dalam melihat pentingnya Riset dalam
Arsitektur:
1. Riset harus dipahami sebagai penyelidikan dan pencarian awal guna mendapatkan berbagai
informasi, posisi bertindak, pemahaman, serta sumber pengetahuan. Melalui penyelidikan dan
pencarian akan muncul nilai-nilai originalitas, taktik-strategi, signifikansi, serta fokus pengetahuan,
yang berguna untuk menghasilkan karya arsitektur yang baik.
2. Bila bangunan berperan sebagai produk akhir dalam arsitektur, maka produk ini memiliki peran
besar terhadap lingkungannya. Pada titik ini, arsitektur berfungsi secara sosial, budaya, politik dan
ekonomi. Masing-masing jenis fungsi ini dapat dianalisis secara terpisah untuk melihat bagaimana
mereka bekerja dalam nilai keruangannya. Oleh karena itu, riset dalam arsitektur harus sadar akan
interaksi ini, melintasi berbagai bidang intelektual dan membangun rajutan keruangan dari
arsitektur itu sendiri.

46
3. Riset Arsitektural tidak harus berfokus pada penemuan solusi yang tepat, tetapi diharapkan
menghasilkan solusi yang ‘memuaskan’ untuk menjawab permasalahan. Setiap solusi harus
merupakan rangkaian atau tautan analisis dan sintesis yang kuat, serta didukung oleh teori dan
metodologi yang sesuai.
4. Dalam riset arsitektural, teori dan praksis adalah kunci dari pencarian yang dilakukan. Riset harus
dirancang dengan mempertimbangkan tindakan praksis yang cermat, dengan teori dan metodologi
sebagai sentral yang menyeimbangkannya. Dengan demikian, riset arsitektural memiliki
kesempatan untuk terangkum dan terwujudkan dalam satu tindakan yang koheren dan saling
mendukung.
5. Riset arsitektural memberikan kesempatan bagi arsitek mengeksplorasi cara-cara baru untuk
mengembangkan pengetahuan arsitektur. Proses ini akan memicu produk-produk yang inovatif
dengan hasil akhir adalah bentuk pengetahuan teori dan praksis yang akan memberikan sentuhan
terhadap arsitektur itu sendiri. (as)

47
TULISAN KELIMA

RESEARCH BY DESIGN

48
RESEARCH BY DESIGN 1

“ Jika anda tahu apa yang anda cari, mengapa anda mencarinya?”
Plato

Secara epistemologis ada perbedaan yang mendasar antara riset dan desain, tetapi ketika dua kata ini
disandingkan akan memberikan pertanyaan mendasar : “Bagaimana pengetahuan baru arsitektur dapat
dihasilkan melalui riset dengan desain?” “Sejauh mana desain dapat memberikan peranan penting dalam
riset? “Bila desain sebagai `alat`, hal-hal apakah yang perlu menjadi perhatian didalam sebuah riset ?”
Onur Yuncu dalam disertasi doctoral in architecture yang berjudul Research by Design in Architectural
Design Education ( 2008) menjelaskan bahwa Research by Design adalah riset dengan desain yang
mengacu pada riset dari desain arsitektur sebagai bagian integral dari proses desain arsitektur. Pada 1980-
an, riset dalam arsitektur muncul sebagai cara ketiga dalam riset desain yang sebelumnya banyak
didominasi oleh metode ilmu alam dan humaniora. Dengan formulasi baru riset desain ini, terjadi
transformasi metodologis dan epistemologis, yang mengarah pada integrasi pengetahuan praktis ke dalam
riset arsitektur. Pertanyaan epistemologis utama berubah dari `mengetahui apa itu desain` dan
`mengetahui bagaimana mendesain` menjadi `mengetahui apa melalui tindakan desain`. Integrasi
tindakan desain dalam riset mengubah status desain dalam riset desain dari menjadi objek penyelidikan

1 Tulisan ini ingin memposisikan Riset dengan Desain atau Riset melalui Desain dalam diskursus arsitektur. Tulisan ini memakai beberapa
referensi untuk memberikan gambaran tentang diskursus reseach by design dan sebagian pendapat dari tulisan ini adalah pengalaman
pribadi penulis ketika mengikuti program Doctoral in Architectural Design (PhD. By Design) dibawah bimbingan Prof. Sarah Wigglesworth
dan Prof. Jeremy Till (2003-2009) di University of Sheffield, UK

49
menjadi pendekatan riset. Riset dengan desain diperkenalkan dalam program riset di Universitas Teknologi
Delft pada akhir 1990-an dan diadopsi dalam riset ini untuk merujuk pada jenis riset khusus ini. Ini adalah
istilah yang tepat untuk diskusi karena membantu menghubungkan riset dan desain secara epistemologis
dan metodologi untuk menunjukkan aktivitas intelektual tunggal. 2
Menurut definisi konvensional, para ilmuwan melakukan riset bertujuan untuk memahami fenomena yang
ada, sedangkan desainer melakukan riset bertujuan untuk membuat kegunaan dari obyek. Sementara
aktivitas ilmuwan adalah aktivitas analitis, aktivitas desainer adalah aktivitas generatif, keduanya memiliki
cara berbeda dalam memahami riset. Oleh karena itu, analisis konseptual diperlukan untuk membangun
bidang riset yang dilakukan melalui kegiatan desain. Ini akan membantu untuk menentukan posisi disiplin
desain di antara disiplin ilmu ilmiah. Adalah perlu untuk merumuskan dasar epistemologis di mana refleksi
melalui aktivitas desain dimungkinkan sehingga dapat menjadi tindakan mengetahui. Analisis konseptual
ini mau tidak mau harus dimulai dengan makna riset, desain , dan pengetahuan. 3
Jørgen Hauberg dalam artikelnya Research by Design – a research strategy 4 mengatakan bahwa
research by design = riset dengan desain adalah riset melalui desain memiliki tujuan membangun
kerjasama desain dan riset untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang diskursus arsitektur melalui
tindakan mendesain. Menurut Jorgen Hauberg ada beberapa kesepakatan yang telah dibuat oleh EAAE
(The European Association of Architect Educations) untuk mengerti definisi tentang research by design,
yaitu :
(1). Research by design = riset dengan desain adalah segala jenis penyelidikan dimana desain merupakan
bagian penting dari proses riset. Dalam riset dengan desain, proses desain arsitektur membentuk jalur
dimana wawasan, pengetahuan, praktik, dan produk baru muncul. Riset dengan desain menghasilkan
penyelidikan kritis melalui pekerjaan desain yang dapat mencakup proyek yang direalisasikan, proposal,
kemungkinan realitas dan alternatif.
(2). Research by design = riset dengan desain menghasilkan bentuk-bentuk keluaran dan wacana yang
sesuai dengan praktik disiplin, verbal dan non-verbal yang membuatnya dapat didiskusikan, dapat diakses,
dan bermanfaat bagi penggunanya.
(3). Research by design = riset dengan desain divalidasi melalui peer review oleh panel ahli yang secara
kolektif mencakup berbagai kompetensi disiplin yang ditangani sesuai bidangnya. Seringkali, proses riset
dimulai dengan pertanyaan riset, melewati penalaran metodologis dan kemudian tiba pada jawaban atau
solusi baru.
(4). Research by design = riset dengan desain menunjukkan praktik yang agak berlawanan arah, dimana
riset dapat muncul dari desain - dari proposal, model atau percobaan hingga generalisasi dan rasionalisasi
dengan secara sadar mengekstraksi aturan tentang objek proses riset - riset nomotetik (sebab akibat).
(5). Research by design = riset dengan desain bermaksud untuk membawa alat yang ekspresif dan
sistematis dalam proses riset, ini menyangkut hubungan langsung dalam kerangka usulan dan analisis.

2 https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf lihat : hal iv


3 Ibid 2
Untuk pengerrtian apa itu Riset? Apa itu Desain? dan Apa itu Pengetahuan? Sudah dibahas pada Tulisan Kedua
4 https://revistas.ulusofona.pt/index.php/revlae/article/view/2680/2043 lihat hal : 51 - 53

50
Berusaha untuk menggabungkan dan mengembangkan metode kerja arsitek - pencarian sketsa spasial
dalam materi tertentu - dalam lingkungan riset dan pengembangan akademik. Melalui riset dengan desain,
urutan daftar penting (konkordansi) yang ditemukan berasal dari metode riset dan desain praktis yang
dilalui.
(6). Research by design = riset dengan desain adalah riset yang menghasilkan pengetahuan melalui alat
dan metode kerja arsitek. Ini menyelidiki temuan riset dari metode praktisi dan mengakui praktik sebagai
cara untuk mendapatkan pengetahuan baru.
(7). Research by design = riset dengan desain tidak mengasumsikan pemisahan subjek dan objek dan
tidak mengamati jarak antara peneliti dan praktik. Sebaliknya, praktik artistik itu sendiri merupakan
komponen penting dari proses riset dan hasil riset
(8) Research by design = riset dengan desain menunjukkan kesepakatan antara praktik arsitektur dan
proses serta metodologi riset, karena keduanya secara fundamental dapat dikatakan terdiri dari unsur-
unsur berikut: (a) Persepsi dasar: persepsi filosofis, etis dan teoretis, norma dan nilai-nilai mengenai dunia
di sekitarnya, peran arsitektur dan objek itu sendiri (arsitektur). Ini adalah prasyarat (paradigma) untuk
proses riset dan mungkin didiskusikan dan, sebagian, dianjurkan mungkin sebagai riset dasar. (b)
Investigasi: analisis, kritik, seleksi, perumusan masalah, yaitu proses standar dalam melakukan riset.
(c) Program: masalah aktual, definisi penugasan parsial dan tujuan dalam keseluruhan program (aturan
dan norma). Ini dapat mengambil bentuk riset strategis. Proposal - pekerjaan pengembangan (produk):
proposal spasial yang konkret sebagai kemungkinan jawaban terhadap program; ini adalah aspek
eksperimental dan sebagian independen dari analisis. Rasionalisasi berikutnya: argumentasi, penjelasan
teoretis proposal dan pengujian selanjutnya dalam praktik. (d) Komunikasi: menyajikan materi dalam
bentuk teks, gambar, model atau contoh yang menjelaskan korelasi antara komponen-komponen
metodologi dengan cara yang konsisten, beralasan, dibuat mungkin dan tidak dapat dipertentangkan.
Jeremy Till dalam tulisannya Too Many Ideas melihat research by design (riset dengan desain) dapat
ditinjau dalam dua posisi. Pertama tindakan desain adalah tindakan riset sintetis dimana bentuk-bentuk
pengetahuan baru dibuat. Desain bangunan, karena kebutuhan, harus mengatasi berbagai kondisi
intelektual, fisik, sosial, dan politik. Keterlibatan berbagai faktor ini dapat dilibatkan dan mengambil bentuk
riset. Kedua, riset dengan desain adalah bahwa tindakan desain selalu berada dalam kondisi `ambang`
(contingency) dan arsitektur selalu terbuka untuk ketidakpastian serta `diterpa` oleh kekuatan di luar
kendalinya. Dalam melihat posisi riset dengan desain, Jeremy Till berpendapat bahwa setiap tindakan riset
(dalam arsitektur) tidak pernah tunggal artinya banyak faktor yang harus dilihat dan dikaji. Bagi Jeremy Till
arsitektur selalu berada dalam titik `ambang` (contingency) yang berarti selalu bergantung terhadap kondisi
yang dihadapinya. Jeremy Till mencoba mengutip apa yang dikatakan Ben Van Berkel yang menyatakan
bahwa hal yang paling penting bukanlah riset itu sendiri tetapi apa yang anda temukan - pelajaran yang
harus dilakukan untuk dapat memposisikan arsitektur kedepan.5
Jonathan Hill direktur pogram PhD. by Design dari The Bartlett School of Architecture, UK dalam sebuah
wawancaranya mengatakan bahwa research by design sebagai riset dengan desain adalah kombinasi
`project` dan `text` sebagai kombinasi dalam tindakan dan produktifitas melalui riset. Sebuah riset dengan

5 https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/39/2001_Too_Many_Ideas.pdf

51
desain bukanlah murni tentang desain atau fokus pada kajian teoritikal, karena ini akan mengimplikasi
pekerjaan arsitektur yang hanya berbasis pada teks. Bagi Jonatahan Hill, basis pengembangan teori dalam
tindakan riset adalah berfokus pada gambar (drawing) dan bangunan (building). Gambar dan Bangunan
adalah basis utama dan kunci penting untuk pengembangan alur teoretis. Tulisan arsitektural memiliki nilai
yang sama seperti menggambar, yang berarti research by design adalah sebuah kombinasi antara text dan
drawing. Jonathan Hill mengatakan bahwa sebagai :” design through words as it is to design through
drawings” 6

Research by Design
Riset DENGAN Desain
Riset MELALUI Desain

Konstrusksi Teori
Alat
Drawing – Gambar
Building - Bangunan

Produk
Text + Project

Ilustrasi : diagram berpikir research by design

Christopher Frayling mengembangkan tiga lingkup riset untuk mengatasi hubungan spesifik antara desain
dan riset. Tiga lingkup ini adalah research into design, research through design, research for design.
Riset 'into' adalah praktik riset paling mudah yaitu mengambil arsitektur sebagai subjeknya misalnya dalam
riset sejarah, atau studi penjelasan tentang kinerja bangunan. Riset 'through' adalah praktik riset berbasis
pada proses desain, apa yang dicapai dan dikomunikasikan melalui aktivitas desain sebagai bagian dari
metodologi riset itu sendiri. Riset 'for' adalah praktik riset tentang produk yang dihasilkan dan manfaat
produk tersebut. Hasilnya ditujukan khusus untuk masa depan, termasuk pengembangan bahan, tipologi,
dan teknologi baru. 7 Pembagian lingkup ini dalam hubungan antara riset dan desain, telah menunjukkan
posisi pengetahuan yang jelas dalam memaknai hubungan cara meriset dalam pekerjaan berarsitektur
(mendesain).

Rob Roggema dalam artikelnya Research by Design: Proposition for a Methodological Approach
mengutarakan bahwa riset dengan desain adalah metode, yang menggunakan desain untuk meneliti solusi
spasial untuk area tertentu, mengakomodasi proses desain, yang terdiri dari fase pra-desain, fase desain
dan fase pasca-desain, dengan ini memberikan dasar filosofis dan normatif untuk proses desain,

6 Lihat tulisan Jontahan Hill : Design Research, An Eye on the past and the future dalam InterVIEWS: Insights and Introspection on Doctoral
Research in Architecture (2020), editor Federica Goffi
7 Lihat : Christopher Frayling dalam Research in Art and Design, Royal College of Art Research Papers 1 No.1 (April 1993)

52
memungkinkan untuk menyelidiki kualitas dan masalah lokasi dan menguji potensi (spasial), sementara itu
menciptakan kebebasan untuk bergerak dengan proposal di wilayah yang belum dipetakan, dan
menghasilkan wawasan dan pengetahuan baru yang menarik dan berguna untuk khalayak luas. Riset
dengan desain adalah studi desain dan proses produksi pengetahuan yang terjadi melalui tindakan desain
Riset dengan desain melibatkan penyelidikan strategi, prosedur, metode, rute, taktik, skema dan mode di
mana orang bekerja secara kreatif. 8
Dalam tulisannya Does Research Equal Design, Linda Grout dan David Wang mengatakan bahwa riset
dan desain bukan merupakan hal yang berlawanan dan juga setara. Hubungan keduanya memiliki nilai
nuansa intelektual, saling mengisi dan melengkapi dan memiliki keunikannya masing-masing. Menurut
Linda Grout dan David Wang, bahwa secara eksplisit Stephen Kieran menggambarkan hubungan antara
desain dan riset pada dasarnya berbeda, tetapi saling melengkapi: “Riset membawa ilmu ke dalam seni
kita. . . . Untuk memajukan seni arsitektur, kita perlu melengkapi intuisi dengan sains.”. Beberapa
pendapat tentang hubungan riset riset juga diungkapkan oleh beberapa ahli, misalnya Matt Powers
mengatakan sejak riset mewujudkan model ilmiah pengetahuan sebagai "kebenaran" dan "fakta"
berdasarkan data kuantitatif, setiap integrasi desain dan riset "mengurangi aspek paling penting (baca:
estetika sebagai nilai kualitatif) dari setiap kegiatan desain itu sendiri." BD Wortham mengatakan bahwa
riset dan desain memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat serta melalui
model yang lebih tepat riset berbasis desain akan berfungsi untuk melayani dan membentuk kembali
masyarakat. David Solomon mengungkapkan bahwa konsep riset arsitektur yang lebih pluralistik
mencakup metode kualitatif dan kuantitatif, menghasilkan ‘ fiksi pribadi ’ dan ‘ kebenaran obyektif ’ baik
desain dan riset, sebagai ‘ hibrida yang dibuat dengan baik.’ 9

Linda Grout dan David Wang mencoba melihat pandangan ahli mengenai definisi desain. Misalnya,
Herbert Simon dan Donald Schon mengungkapkan bahwa desain adalah tindakan yang ditujukan untuk
mengubah situasi yang ada menjadi yang lebih disukai, atau sebagai sebuah usaha untuk mengubah
situasi tak tentu menjadi sesuatu yang menentukan. Nigel Cross bahwa berpendapat bahwa desain
berkaiatan dengan pekerjaan (desainer) menyediakan sesuatu produk, bagi mereka yang akan membuat
artefak baru. Bryan Lawson dan Kees Dorst menggambarkan bahwa desain adalah seperangkat
keterampilan yang memiliki kejelasan dan tujuan untuk menghasilkan produk.

Dalam hubungannya antara riset dan desain, Linda Grout dan David Wang mengungkapkan bahwa riset
dan desain adalah kegiatan yang biasanya dimulai untuk mencapai sebuah tujuan dalam konteks yang
sudah ditetapkan tetapi konten spesifik untuk masing-masing tujuan sedikit berbeda. Dalam riset, dorongan
biasanya dibingkai dalam hal "pertanyaan" yang harus dijawab setidaknya sebagian dengan memeriksa
bukti saat ini atau masa lalu. Dalam hal desain, dorongan biasanya disebut sebagai "masalah" (mis.,
Kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk bangunan atau produk baru) yang mendorong pengembangan dari
artefak yang dirancang sebagai solusi yang dapat dicapai di masa depan. Bagi Linda Grout dan David
Wang riset dapat menginformasikan desain dalam banyak cara dan pada banyak waktu dalam proses
desain; dan proses desain dan artefak yang dirancang akhirnya dapat menghasilkan banyak pertanyaan
yang cocok untuk berbagai bentuk penyelidikan.

8 https://www.researchgate.net/publication/308037775_Research_by_Design_Proposition_for_a_Methodological_Approach
9Linda Grout dan David wang dalam buku Architectural Research Methods (2013), Wiley and Sons, Hoboken, New Jersey, hal
21-61

53
Diskusi antara riset dan desain merupakan hal yang menarik untuk dipelajari karena arsitektur memiliki visi
untuk menempatkan dirinya sebagai bagian besar perkembangan penegtahuan di dunia. Onur Yuncu
meminjam artikel David Wang, dalam bab berjudul “Design in Relation to Research” dari buku
Architectural Research Methods, yang diedit bersama dengan Linda Groat, 10 membahas hubungan antara
desain dan riset dengan ikhtisar kesulitan dalam hubungan ini dan cara-cara yang memungkinkan untuk
menghubungkan kedua kegiatan ini. Menurut Onur Yuncu, diskusi David Wang tentang hubungan antara
desain dan riset dapat dianggap sebagai titik awal untuk tinjauan umum tentang evolusi hubungan ini.
Selain itu, tulisannya memberikan pandangan keseluruhan tentang pokok-pokok diskusi tentang riset
dengan desain sambil menyajikan berbagai paradigma dalam riset desain dan dianggap bahwa riset
dengan desain telah berevolusi dari dalam tradisi riset desain.

Menurut pandangan Onur Yuncu, bahwa David Wang berpendapat ada dua kesulitan utama dalam
hubungan antara desain dan riset. Pertama, menunjuk pada perbedaan filosofis antara aktivitas desain
yang `generatif` dan aktivitas riset yang `analitik`. David Wang membedakan gagasan `desain sebagai
riset` dan `riset tentang proses desain` dan berpendapat bahwa proses desain tidak dapat sepenuhnya
ditangkap oleh deskripsi yang menentukan, itu dinyatakan dalam domain akal - logika. Oleh karena itu,
meskipun ada bentuk khusus dari mengetahui yang melekat dalam kegiatan desain, jenis pengetahuan ini
tidak dianggap sebagai ilmiah, karena pengetahuan ilmiah terdiri dari proposisi yang diuji dan berdasarkan
aturan.

Onur Yuncu mengatakan, bahwa David Wang dengan jelas membedakan `desain sebagai riset` dan
`meneliti tentang proses desain`, dan berpendapat bahwa mereka `sama-sama berharga` tetapi mereka
memiliki `fungsi yang berbeda`. Perbedaan epistemologis antara kedua aktivitas ini menjadikannya
berharga untuk mencari cara di mana aktivitas desain itu sendiri menjadi alat untuk menghasilkan
pengetahuan. Jika desain dan riset hanya dapat hidup berdampingan tetapi tidak pernah berintegrasi,
maka kebutuhan akan area riset muncul untuk mendefinisikan kembali situasi disiplin desain itu sendiri.
Namun, ini hanya mungkin ketika definisi riset ditransformasikan dan diperluas ke kisaran yang lebih luas
daripada "riset ilmiah. Transformasi ini dapat dimungkinkan dengan klarifikasi dasar epistemologis riset
dengan desain.

Riset adalah sebuah pekerjaan visioner yang mencoba melihat dunia dalam sebuah pandangan serta
perspektif dunia yang baru serta memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia. Sesuatu yang didepan
mata anda terlihat `kacau` atau `berantakan` perlu untuk ditelusuri, diimaginasikan dan dicari jawabannya
untuk membuat dunia ini lebih `terlihat` teratur, dengan mengedepankan semangat untuk tidak
menyederhanakan apa yang tampak didepan mata kita. Riset harus menjadi sebuah jalan yang
memberikan banyak manfaat, perubahan dan menjawab tantangan yang signifikan dari sebuah kondisi dan
memberikan kegunaan bagi manusia. Kejelasan sebuah riset menjadi kunci utama dalam membangun
ketelitian, relevansi dan kualitas untuk menghadapi semua masalah yang dihadapinya, dengan
kejelasannya maka setiap riset dapat menempatkan topik-topik pertanyaan yang dapat
memberikan`revolusi` pengetahuan yang baru.

Penelitian dengan desain adalah segala jenis penyelidikan dimana desain menjadi sentral pengetahuan dan
merupakan bagian penting dari seluruh rangkaian dalam proses riset. Dalam penelitian dengan desain,

10 Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design, hal 10-11
lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf

54
proses desain arsitektur membentuk dan membuka peluang agar berbagai wawasan, pengetahuan, praktik
atau produk baru muncul, dan menjadi `literatur baru` bagi perkembangan ilmu pengetahuan arsitektur.
Setiap penelitian dengan desain diharapkan menghasilkan penyelidikan kritis melalui pekerjaan desain yang
dapat mencakup proyek yang direalisasikan, proposal, kemungkinan realitas atau alternatif yang dapat
mendukung berkerja desain sebagai sumber pengetahuan. Riset dengan Desain atau Riset melalui Desain
(Research by Design) memberikan sebuah cara untuk menyusun pengetahuan baru berbasis pada gambar
(drawing), bangunan (building), Konstruksi teori, dengan kekuatan text (teks) dan drawing (gambar) sebagai
produk akhirnya. Seperti layaknya sebuah riset, mempertanyakan (research questions) menjadi kunci dalam
research by design. Pertanyaan – pertanyaan yang penuh `imaginasi` dapat diajukan sebagai tatakan untuk
bekerja serta mendapatkan pengetahuan baru bagi kajian arsitektur desain.

Sebagai kesimpulan, dibawah ini adalah sebuah diagram yang diajukan penulis untuk melihat cara dan alur
bekerjanya research by design :

RESEARCH by DESIGN

DESAIN SEBAGAI RISET


LABORATORIUM
Proses kerja 1. Pertanyaan Riset
1. Gambar 2. Tujuan dan objektifitas
2. Bangunan 3. Metode
3. Konstruksi Teori 4. Dukungan Teoretis

PRODUK
TEKS + PROYEK

Melalui diagram ini, sangat jelas bahwa desain menjadi sebuah laboartorium (sentral dari aktifitas research
by design) untuk bekerjanya riset. Standar dasar operasional riset harus dijalani sebagai sebuah tatakan dan
proses pencarian. Desain sebagai sebuah laboratorium menjadi tempat dimana pengetahuan tentang
arsitektur disemaikan, baik melalui gambar – bangunan untuk membangun konstruksi teori serta
menghasilkan hasil akhirnya adalah sebuah teks dan proyek. Dengan bekerja secara ketat, diharapkan teks
dan proyek yang merupakan hasil dari berprosesnya research by design dapat memberikan pengetahuan
baru yang memposisikan antara teori dan praksis yang terintegrasi. (as)
55
REFERENSI
TULISAN BAGIAN PERTAMA : KONSTRUKSI TEORI
1. Bogatti, Stephen P. (1996), Thinking Theoretically,
http://www.analytictech.com/mb870/handouts/theorizing.htm
2. Jenks, Charles and Kropf Karl (editor) (1997 ), Theories and Manifestoes of Contemporary Architecture,
Willey Academy, Great Britain.
3. Margolin, Victor dan Buchanan, Richard (2000), The Idea of Design - A Design Issues Reader, The MIT
Press, London.
4. Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart, & Winston.
5. Sudrajat, Iwan, Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara: Mengubah Angan Angan Menjadi
Kenyataan, Kumpulan Naskah Terbaik Lomba Penulisan Teori Arsitektur (Ngawangun Ki Nusantara),
Arsitektur UNPAR , Bandung. 1999.
6. Snyder, James.C dan Catanese, Anthony J. (1984), Pengantar Arsitektur, Penerbit Airlangga (terjemahan).

TULISAN BAGIAN PERTAMA : RISET – DESAIN – PENGETAHUAN


1. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural
Design lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf
2. Hill, Jonathan (2006), Immaterial Architecture, Routledge, London new York
3. Groat, Linda dan Wang, David (2013), Architectural Research Method, John Wileys and Sons inc, Haboken
- New Jersey, Canada. (referensi lanjutan)
4. Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking, Design Issues, Vol. 8, No. 2 (Spring, 1992),
The MIT Press
5. Tjahjono, Gunawan (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang.
Universitas Indonesia.

TULISAN BAGIAN KETIGA : PENULISAN AKADEMIK


1. Groat, Linda dan Wang, David (2013), Architectural Research Method, John Wileys and Sons inc, Haboken
- New Jersey, Canada. (referensi lanjutan)
2. Hanson. Julienne dan Vaughan, Laura (2005 – revision), Notes on how to write an academic paper – MSc.
Advanced Architectural Studies – The Bartlett School of Architecture-University College London, UK.
(referensi utama)
3. Hillier, Bill (2003), WRITING UP and how to go about it, University College London – UK. (referensi utama)
4. Kothari, C.R. (2004), Reseach Methodology – Method and Techniques, New Age International Publishers.
(referensi tambahan)
5. Laurel, Brenda (editor) (2003), Design Research – Method and Prespectives, The MIT Press, Cambridges
Massachusetts, London-England. (referensi lanjutan)

TULISAN BAGIAN KEEMPAT : MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING?

1. Creswell, J. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. SAGE.
2. Frayling, C. (1993/4). Research in Art and Design. Royal College of Art Research Paper Vol. 1 No.1.
3. Groat, Linda, & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods (2nd ed.). John Wiley & Sons, inc.
4. Lawson, B. (2005). How Designers Think: The Design Process Demystified (4th ed.). Oxford: Architectural
Press.

56
5. Leedy, P. D., & Ormrod, J. E. (2016). Practical Research: Planning and Design. Pearson.
6. Papanek, V. (1995). The Future Isn't What It Used To Be. Dalam V. Margolin, & R. Buchanan, The Idea of
Design (hal. 56-69). London, Cambridge: The MIT Press.
7. RIBA Architecture. (2017, Mei 10). Architects and Research-Based Knowledge: A Literature Review of
Knowledge Management Practices. Dipetik Agustus 1, 2019, dari RIBA Architecture.com:
https://www.architecture.com/-/media/gathercontent/architects-and-research-based-knowledge/additional-
documents/architectsandresearchbasedknowledgeliteraturereviewpdf.pdf
8. RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA
Architecture.com: https://www.architecture.com/-/media/gathercontent/how-architects-use-
research/additional-documents/howarchitectsuseresearch2014pdf.pdf
9. Till, J. (2007). Architectural Research: Three Myths and One Model. Dipetik Agustus 17, 2019, dari Jeremy
Till:
https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/34/2007_Three_Myths_and_One_Model.pdf
10. Tjahjono, G. (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas
Indonesia.

TULISAN BAGIAN KELIMA : RESEARCH BY DESIGN

1. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural
Design, lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf
2. Frayling, C. (1993/4). Research in Art and Design. Royal College of Art Research Paper Vol. 1 No.1
3. Jørgen Hauberg dalam artikelnya Research by Design – a research strategy
https://revistas.ulusofona.pt/index.php/revlae/article/view/2680/2043
4. Lihat tulisan Jontahan Hill : Design Research, An Eye on the past and the future dalam InterVIEWS: Insights
and Introspection on Doctoral Research in Architecture (2020), editor Federica Goffi
5. Tjahjono, G. (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas
Indonesia.
6. Till, Jeremy dalam Too Many Ideas
https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/39/2001_Too_Many_Ideas.pdf

57
THE PROJECTS
RESEARCH by DESIGN

58
THE NEW PASSER BAROE
THE HERITAGE WITH SOUL - A GREAT CIVIC PLACE
PENATAAN KAWASAN PASAR BARU
2014

Pimpinan Tim : Agustinus Sutanto


Penulis Naskah : Adelia Andani
Tim Arsitek : Benny Suryadi, Vincent Heryanto, Silvia Adityavarna, Esther Prawira,
Adelia Andani
Produk Rancangan : Masterplan
Luas Proyek : 820.000 m2
Kriteria : Sayembara Penataan Kawasan Pasar Baru
Lokasi : Jakarta
Penyelenggara : PT. Trikarya Idea Sakti bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia
Jakarta
Tahun : 2014
Hasil : Finalis Tiga Besar

59
PENGANTAR

Kawasan Pasar Baru merupakan kawasan perbelanjaan tertua di Jakarta yang berlokasi di Kecamatan
Sawah Besar, Jakarta Pusat, diperkirakan berdiri sejak tahun 1820 dalam bentuk jalan pertokoan
(sekarang disebut mall pedestrian). Menurut pakar perkotaan, kawasan ini tumbuh secara organik,
mengikuti area pasar yang telah ada sebelumnya. Pasar Baru dulu juga dikenal sebagai kawasan
perbelanjaan elit karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun
pemerintah Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia.

Disamping perdagangan, kawasan Pasar Baru juga merupakan salah satu titik peleburan kebudayaan di
Jakarta. Sejak awal berdirinya, komposisi pedagang di Pasar Baru didominasi oleh pedagang dari India,
Cina, dan Melayu, yang masih bertahan hingga sekarang. Beberapa toko di Pasar Baru telah berkembang
menjadi bisnis berskala industri, beberapa masih bertahan dengan sistem kekeluargaan. Bangunan-
bangunan toko yang masih bertahan telah diresmikan sebagai situs peninggalan bersejarah, sebagian
besar di antaranya didominasi gaya arsitektur Tiongkok dan Eropa.

Setelah 1,5 abad berdiri, Pasar Baru kini mulai kehilangan pesonanya di mata penduduk Jakarta, terutama
karena banyaknya keluarga muda yang kini tinggal di daerah pinggiran kota, yang lebih tertarik dengan
budaya berbelanja di mall. Kondisi fisik Pasar Baru sendiri kini sudah mulai nampak tergerus usia; tidak
tertata dan terawat, menjadi 'civic space' yang kehilangan 'spirit of heritage'. Hilangnya bangunan tua
bersejarah, rusaknya struktur keruangan yang asli, dan memudarnya kehidupan budaya serta tradisi
tertentu membuat sebuah ruang kota kehilangan masa lalunya.

Kini, pesona Pasar Baru yang khas hendak dihadirkan kembali sesuai dengan tuntutan jaman, dengan
menemukan kembali morfologi struktur lapisan fisik, sosial dan ekonomi di kawasan Pasar Baru dan
membedah pola-pola reproduksi ruang yang terjadi di dalamnya. Tujuannya, agar fungsi pasar baru
sebagai kawasan perdagangan usaha kecil dan menengah, sekaligus ruang sosial dan kebudayaan yang
kaya bisa bertahan bersaing dengan pusat perbelanjaan modern, tanpa merubah ciri khasnya sebagai mall
pedestrian, tanpa menghilangkan memori kolektif yang terkandung di dalamnya, atau mengekang
kemungkinan perkembangannya.

PERTANYAAN RISET
1. Aspek-aspek apa saja yang menyusun struktur keruangan Pasar Baru?

2. Seberapa jauh pola-pola baru dapat ditanamkan ke dalam ruang yang lama tanpa mengganggu
struktur koheren sebelumnya?

3. Dapatkah ruang yang sudah ada menerima intervensi tanpa kehilangan memori kolektif yang
sudah terkandung di dalamnya?

60
TUJUAN DAN SASARAN
Revitalisasi kawasan Pasar Baru tidak semata-mata bertujuan memperbaiki kondisi fisik Pasar Baru.
Dalam proses ini, ada nilai-nilai yang ingin ditanamkan untuk kelestarian Pasar Baru sebagai sebuah ruang
budaya yang berbasis komersil. Karena itu eksplorasi ruang menjadi sarana penting untuk memahami
sistem yang telah berjalan, dan menyusun strategi untuk memperbaiki sistem tersebut. Sedangkan yang
menjadi sasaran utama dalam proses eksplorasi ini antara lain :
• Melestarikan bangunan peninggalan yang terdapat di kawasan Pasar Baru dan mempertemukannya
dengan budaya kontemporer, sehingga dapat menjadi bagian dari daya tarik Pasar Baru.
• Menata kembali kawasan Pasar Baru menjadi kawasan perbelanjaan yang nyaman dan aman tanpa
merubah ciri khasnya sebagai mall pedestrian serta memori kolektif yang terkandung di dalamnya, atau
mengekang kemungkinan perkembangannya.
• Memberikan kesempatan terciptanya ruang sosial dan budaya yang kaya dan produktif sekaligus dapat
menjadi sarana edukasi mengenai kekayaan budaya di Jakarta.

KONTEKS
Tidak diketahui pada tahun berapa tepatnya kawasan ini disebut Pasar Baru, namun dokumentasi tertua
menunjukan setidak-tidaknya kawasan Pasar Baru sudah berdiri sejak tahun 1820. Menurut beberapa
pakar perkotaan kawasan ini tidak direncanakan sebagai area perdagangan namun tumbuh secara organik
sebagai kawasan komersil, mengikuti area pasar yang telah ada sebelumnya di sekitar kawasan ini. Pasar
Baru dulu juga dikenal sebagai kawasan perbelanjaan elit karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk
(Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia.
Pasar Baru kini mengalami banyak tantangan dalam perkembangannya dengan meningkatnya jumlah
pedagang dan kendaraan bermotor yang parkir di Pasar Baru. Jalan-jalan di sepanjang Pasar Baru
diramaikan dengan berjejernya pedagang kaki lima yang memperdagangkan makanan dan barang, tanpa
ada penataan yang jelas. Dengan tingginya angka kendaraan bermotor yang ada di Pasar Baru, beberapa
ruas jalan seringkali menjadi macet atau digunakan sebagai tempat parkir. Bertemunya jaringan pedestrian
dan kendaraan bermotor seharusnya menguntungkan bagi pusat perbelanjaan berkonsep mall pedestrian,
namun dalam kasus Pasar Baru, kurangnya penataan yang baik justru mengganggu kenyamanan dan
keamana pengunjung.
Masalah lain yang terjadi di Pasar Baru sebagai mall pedestrian adalah buruknya sebagian besar kondisi
bangunan, terutama pada bagian lantai atas. Karena mayoritas pengunjung berada di level lantai dasar,
hanya ruang-ruang yang terjangkau pandangan di lantai dasar yang ditata, sedangkan fasade lantai dua
dan tiga dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di sepanjang jalan
Pasar Baru dan membuat tampilan lorong di Pasar Baru tidak harmonis dan cenderung membingungkan.
The New Passer Baroe adalah bentuk intervensi yang berusaha menata kembali kawasan Pasar Baru
tanpa merubah karakter fundamental yang sudah ada di dalamnya karena komposisi elemen di Pasar Baru
dianggap sudah stabil dan hanya memerlukan penataan. Untuk memahami komposisi itu, dilakukan

61
pembedahan lapisan-lapisan fisik dan non-fisik di Pasar Baru melalui studi pola pada setiap lapisannya.
Dan intervensi yang dilakukan berupa subtitusi bagi elemen yang sudah ada, atau penambahan elemen
yang sifatnya fungsinya merangsang pengembangan fungsional Pasar Baru.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejak awal peradaban Yunani Kuno, pedagang memiliki kecenderungan untuk mengikutsertakan dirinya
dalam koloni dan mengambil tempat di pusat keramaian kota, yang mana di Yunani terdapat di Agora 1.
Kebiasaan untuk berkumpul di satu tempat ini diduga didasari faktor keamanan dan kemudahan
bertransaksi. Dan karena hal ini pula, pusat perdagangan akhirnya memiliki relasi yang kuat dengan
aktivitas manusia dalam suatu peradaban. Pola demikian berulang hingga saat ini, terutama pada pusat-
pusat perdagangan yang tumbuh secara organik pada suatu kota. Dimana ada keramaian, disana
pedagang berkumpul dan membangun pasarnya.

Pada dasarnya, sebuah tempat perdagangan atau pasar mencerminkan dua wajah; yang pertama adalah
sebagai cerminan dari industri yang lebih besar, yang terikat pada perekonomian negaranya; sedangkan
yang kedua adalah tempat terjadinya aktifitas dasar manusia seperti mengonsumsi dan
memperdagangkan. 2 Karena itu sebuah pasar merupakan cermin kondisi ekonomi sebuah negara, baik
kemampuan produksinya, maupun kemampuan konsumsi warganya. Sebuah pasar juga mencerminkan
gaya hidup terkini masyarakatnya. Sebagai tempat berkumpul masyarakat dengan kebutuhan sejenis,
sebuah pasar juga memegang peran sebagai ruang sosial dan tempat terjadinya persebaran informasi
dalam suatu komunitas.

Fungsi sosial yang dimiliki sebuah pasar menumbuhkan fungsi lain yang tidak dimiliki pasar swalayan
maupun mall, yakni ruang sosial yang kaya. Henri Lefebvre menyebutkan, "social space is a social
product," yang artinya ruang sosial merupakan produk atau akibat dari seperangkat aktivitas sosial.3
Berbeda dengan konsep produk dan produksi dalam konsep industrial, dalam konsep Lefebvre, produksi
bukan bentuk operasional dan produknya bukanlah objek. Ruang sosial bukanlah ruang dalam paham
Euclidian, melainkan suatu kerangka yang mengatur perilaku manusia, yang mengijinkan terjadinya
tindakan-tindakan baru; mengusulkan atau membatasinya. 4 Maka dari itu, ruang sosial tidak dapat
langsung terlihat dari tatanan fisik sebuah ruang. Ia nampak ketika ruang itu ditempati, diisi, dan digunakan
oleh manusia dalam kesehariannya.

1 Agora merupakan sebuah plaza terbuka pada masa Yunani Kuno yang memiliki arti tempat berkumpul. Letaknya dikelilingi
bangunan pemerintahan dan bangunan-bangunan penting lainnya dan digunakan sebagai tempat pertemuan sehari-hari
maupun untuk kepentingan politik, spiritual, dan olahraga.
2 Coleman, Peter (2006). Shopping Environments: Evolution Planning and Design. Architectural Press. Oxford.

halaman 3
3 Lefebvre, Henri (1974). The Production of Space. Diterjemahkan oleh Donald Nicholson-Smith. Blackwell.
4 Ibid. Hlm. 73

62
Dalam keseharian (everydayness), manusia akan berinteraksi dengan manusia lain dan benda, kemudian
dengan sendirinya membentuk ruang-ruang baru, ruang-ruang sosial, di dalamnya. Ruang sosial dapat
terbentuk dalam beragam skala. Masing-masing kondisi tersebut dapat menghasilkan ruang-ruang sosial
yang berbeda di dalamnya; yang lebih kecil dan 'lemah' 5 secara arsitektur, tergantung dari aktivitas
manusia serta benda yang dihadirkan di antaranya. Semakin rendah intensitas interaksi sosial yang terjadi,
semakin lemah ruang sosial yang terbentuk.

Jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa pusat perbelanjaan tradisional memiliki fungsi sosial yang
lebih tinggi di dalamnya, dibandingkan pusat perbelanjaan modern seperti mall, department store atau
pasar swalayan. Namun di sisi lain, pusat perbelanjaan modern seperti mall dan pasar swalayan juga
memiliki kontribusi penting bagi perkembangan dan perbaikian ruang kota. 6 Bermula dari kanopi yang
dibuat para pemilik toko untuk menjadi naungan yang dapat digunakan pejalan kaki, pemilik toko juga
memperjuangkan jalan dengan kualitas perkerasa yang baik agar nyaman dilalui kendaraan, jalur
pedestrian yang terpisah dari jalur kendaraan agar pejalan kaki merasa aman berbelanja, juga
penerangan jalan yang cukup. Meskipun semua ini dilakukan demi memepermudah usaha dagang, namun
manfaatnya mempengaruhi kualitas ruang kota.

METODOLOGI
1. Studi visual melalui observasi untuk mendefinisikan Bahasa Pola yang terjadi di Pasar Baru.
Observasi dilakukan di tengah waktu operasional Pasar baru, yakni pada siang hari, sehingga kondisi
terkompleksnya nampak. Studi ini didasari oleh metode Pattern Language oleh Christopher Alexander.
Pola-pola yang didefinisikan antara lain: pola bangunan, pola ruang luar, dan pola transportasi.
Hasilnya akan digunakan untuk menentukan intervensi desain yang dapat diterapkan agar karakter
yang sudah ada tidak berubah.
2. Mempelajari struktur jaringan di Pasar Baru.
Tahapan ini didasari pendekatan landscape urbanism oleh Charles Waldheim, di mana bagian-bagian
kota dilihat sebagai bentuk kolektif, bukan individualis. Lapisan-lapisan yang dibedah antara lain:
konfigurasi solid-void bangunan, ketinggian bangunan, tata fungsi lahan, hierarki struktur jalan, lokasi
bangunan konservasi, serta hardscape dan softscape. Hasil dari pembedahan lapisan ini menjadi
dasar dalam merancang konfigurasi jalur pedestrian dan kendaraan bermotor serta alur sirkulasinya.
3. Membedah lapisan ruang sosial yang bereproduksi secara organik di Pasar Baru.
Dipicu oleh kegiatan ekonomi, ruang-ruang sosial hadir dalam keseharian Pasar Baru, dan hilang
sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Ruang sosial ini menjadi menjadi lapisan penting yang tidak

5 Weak Architecture (arsitektur yang 'lemah') dikemukakan oleh Ignasi de Sola-Morales pada tahun 1987, yaitu sebuah paham
akan arsitektur yang memiliki postur yang tidak agesif dan dominan, namun tangensial dan lemah. Morales menganalogikan
sifat monumental yang dimiliki weak architecture seperti bunyi lonceng yang terasa gemanya tanpa terlihat
fisiknya.
6 Jan Hein Furnee, Cle Lesger (penyunting) (2014). The Landscape of Consumption: Shopping Street and Cultures in Western

Europe, 1600-1900. Palgrave McMillan. Halaman 6.

63
dapat 'ditertibkan' begitu saja. Margareth Crawford menyebutnya sebagai Everyday Urbanism. Hasil
dari pembedahan ini akan digunakan untuk menentukan sejauh apa intervensi desain dapat diterapkan
pada ruang keseharian di Pasar Baru.

4. Studi tipologi fasade pada bangunan di Pasar Baru.

Sebagai sebuah ruang komersil, informasi visual merupakan elemen yang dominan hadir sebagai alat
promosi. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di mana masing-masing toko berusaha menonjolkan
dan menarik perhatian pengunjung. Tidak jarang informasi visual komersil ‘mengalahkan’ tampilan
informasi pokok seperti papan petunjuk dan rambu lalu lintas. Maka untuk menyelaraskan informasi
visual yang dihadirkan, perlu dipahami tipologi fasade yang terjadi di Pasar Baru.

PEMBAHASAN
1. Pola Ruang Pasar Baru

Hingga saat ini, masih nampak ketidak-teraturan bentuk dan fungsi bangunan di Pasar Baru akibat
pertumbuhannya yang tidak terencana. Ketidak-teraturan juga nampak pada ruang luar dimana
pengunjung, kendaraan bermotor, dan pedagang kaki lima berbaur dalam satu ruang terbuka. Meski
demikian, dalam ketidak-teraturan selalu ada pola yang teratur yang tidak dapat langsung terlihat. Untuk
menemukan pola-pola ini, digunakan basis metode Pattern Language dengan mengumpulkan seluruh
elemen pembentuk keruangan yang ada, dan memilahnya ke dalam kelompok yang lebih besar. Elemen-
elemen ini bersifat seperti kata yang tersusun membentuk kalimat dan memiliki arti dan menyampaikan
pesan.

Pola yang didapati dari studi ini adalah tampak bangunan, ruang luar, dan jaringan transportasi. Komponen
bangunan di kawasan ini memiliki beragam bentuk bangunan, dengan fungsi dan ketinggian, bahkan status
ketetapan yang berbeda-beda. Sedangkan komponen ruang luar di Pasar Baru tersusun atas berbagai
pembentuk ruang, elemen penunjang dan utilitas, serta pengguna yang menggunakan ruang. Dan
komponen jaringan transportasi terdiri dari moda transportasi pribadi dan publik, dilengkapi dengan area-
area parkir dan tempat perhentian sementara.

Jalan-jalan di sepanjang Pasar Baru diramaikan dengan berjejernya pedagang kaki lima yang
memperdagangkan makanan dan barang, tanpa ada penataan yang jelas. Dengan tingginya angka
kendaraan bermotor yang ada di Pasar Baru, beberapa ruas jalan seringkali menjadi macet atau digunakan
sebagai tempat parkir. Bertemunya jaringan pedestrian dan kendaraan bermotor seharusnya
menguntungkan bagi pusat perbelanjaan berkonsep mall pedestrian, namun dalam kasus Pasar Baru,
kurangnya penataan yang baik justru mengganggu kenyamanan dan keamana pengunjung. Tingkat
kompleksitas pola-pola yang sudah ada ini menunjukan bahwa kawasan ini memiliki peluang besar untuk
dikembangkan secara maksimal, termasuk di dalamnya elemen-elemen pembentuk tambahan baru yang
membangun struktur bahasa pola yang baru, tetapi struktur lama yang membentuk karakter keruangan
yang ada tetap harus menjadi referensi dari sistem keruangan yang ada secara keseluruhan.

64
Ilustrasi : Studi Pattern Language dari Kawasan Pasar Baru

Masalah lain yang terjadi di Pasar Baru sebagai mall pedestrian adalah buruknya sebagian besar kondisi
bangunan, terutama pada bagian lantai atas. Karena mayoritas pengunjung berada di level lantai dasar,
hanya ruang-ruang yang terjangkau pandangan di lantai dasar yang ditata, sedangkan fasade lantai dua
dan tiga dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di sepanjang jalan
Pasar Baru dan membuat tampilan lorong di Pasar Baru tidak harmonis dan cenderung membingungkan.

65
2. Lansekap Urban Kawasan Pasar Baru

Konsep landscape urbanism lahir sejak akhir abad ke-20 sebagai bingkai yang lebih besar dalam
memahami kota; bukan melalui bangunannya secara individual, melainkan melalui tatanan kolektifnya
dalam lansekap kota. Dengan berbasis pada teori ini, analisa kawasan Pasar Baru dimulai dengan melihat
kawasan sebagai tumpukan lapisan, dan membukanya satu persatu. Dengan demikian, membongkarnya
maka muncul kesempatan untuk melihat sesuatu yang tersembunyi di antara lapisan tersebut.

Analisa ini dimulai dengan membuka ketujuh lapisan yang ada dengan model pemetaan dua dimesi (2D),
lapisan tersebut antara lain: (1) void-solid, (2) ketinggian bangunan, (3) fungsi bangunan, (4) hierarki jalan,
(5) bangunan peninggalan, (6) elemen softscape. Meskipun dipisahkan ke dalam lapisan-lapisan berbeda,
lapisan ini terkait satu dengan yang lain, membentuk sistem lansekap kawasan.

Ilustrasi : Landscape Urbanism dari struktur keruangan Pasar Baru

66
Pasar Baru memiliki hierarki dalam struktur ruangnya. Kawasan ini didefinisikan dengan ruas jalan raya di
sekelilingnya, dan sungai di sisi timur dan selatan. Di bagian dalam batasan tersebut, struktur kawasan
didefinisikan dengan sebuah sumbu tegas dari utara ke selatan yang membelah kawasan menjadi dua
bagian, dan oleh sebuah garis diagonal dari pusat ke arah selatan kawasan.

Fungsi dan ketinggian bangunan nampak merespon bentuk kawasan ini, dengan bangunan tertinggi
berada di tepian kawasan, dan fungsi komersil di sekeliling dan di sekitar sumbu kawasan. Bagian dalam
kawasan yang tidak berhadapan langsung dengan batas luar didominasi bangunan berketinggian 2-3
lantai. Daerah di sekitar jalan lokal padat dengan bangunan sehingga berdampak pada tingginya intensitas
aktivitas dalam kawasan. Karena kawasan ini mula-mula tumbuh secara organik, area terbuka hijau pada
kawasan ini tidak berkembang seimbang dengan pertokoan, akibtnya lingkungan di Pasar Baru minim area
resapan dan minimnya serapan polutan.

3. Everyday Urbanism di Kawasan Pasar Baru

Kota tidak hanya terbentuk dari jaringan kompleks jalanan dan bangunannya, ada aktivitas sosial yang turut
membentuk ruang-ruang sosial dalam ruang kota, yang menurut Margaret Crawford, membentuk jaringan
kinetik (kinetic fabric) dan merupakan ruang yang paling dekat dengan kita untuk kita alami sehari-hari
(everyday space). 7 Margaret Crawford memperkenalkannya sebagai everyday urbanism. Pendekatan ini
bertujuan untuk menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari (Mehrotra, 2004), yang terjalin dari relasi
antar individu, kehidupan sosial dan ruang kota. Untuk melihat everyday urbanism, yang pertama-tama harus
diidentifikasi adalah everyday space; tempat terjadinya interaksi sosial, 'ruang sosial', yang adalah 'produk
sosial'.

Ilustrasi : Studi arsitektur keseharian pada Kawasan Pasar Baru

7Mehrotra, Rahul (penyunting) (2004). Everyday Urbanism: Margareth Crawford vs. Michael Speaks. Michigan Debates on
Urbanism I. halaman 18.

67
Dalam studi ini terdeteksi beberapa kelompok pelaku ekonomi yang beroperasi di luar bentuk formal,
diantaranya: pedagang kaki lima, valuta asing, lalu lalang pengunjung dari berbagai etnis, dan penjual
makanan tradisional. Karakter-karakter ini berkembang karena keberadaan koridor di Pasar Baru yang cukup
luas dan menjadi akses utama menjelajah Pasar Baru. Koridor menjadi ruang yang menarik bagi pedagang
karena dapat menyediakan pasar bagi mereka.

Arsitektur keseharian dalam ruang Pasar Baru menunjukkan realitas sosial yang dipengaruhi oleh desakan
ekonomi, yang lebih kuat dibandingkan tuntutan estetika ruang, sehingga keberadaan para pedagang non-
formal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Mereka ada karena ada pasar yang siap merespon kehadiran
mereka. Menghilangkan ruang-ruang ini dapat berakibat fatal pada kelangsungan aktivitas di Pasar Baru
karena [1] lapisan ruang yang sudah tertanam dalam ingatan masyarakat tentang Pasar Baru akan hilang
bersama dengan para pedagang non-formal, juga bersama [2] fungsi yang dibawa para pedagang non-
formal. Maka dari itu, Setiap respon arsitektur yang akan dibentuk nanti harus dapat mempertahankan
kehidupan sosial yang sudah berlangsung di Pasar Baru. Arsitekturnya harus bersifat sosial, kongkrit,
responsif, kontekstual, dan orisinil.

4. Tipologi Fasade di Pasar Baru

Ruang sosial adalah produk sosial, yang merepresentasikan kehidupan sosial yang terjadi di dalamnya.
Ruang disebut produk karena di dalamnya terkandung jaringan pertukaran dan arus 'bahan mentah' dan
energi yang membentuk sebuah ruang dan menentukan kelangsungannya . Ketika produksi ruang sosial ini
direplika terus menerus, yang terjadi bukan lagi produksi ruang sosial melainkan reproduksi ruang sosial
(Lefebvre, 1994). Reproduksi ruang ini tumbuh sedikit demi sedikit hingga kemudian membentuk satu tipologi
yang mewakili apa dikandungnya.

Ilustrasi : Studi Tipologi pada strip Pasar Baru

68
Dalam kasus Pasar Baru, tipologi yang menjadi dominan adalah tipologi fasade bangunan. Dengan morfologi
sebuah arcade, fasade bangunan menjadi media informasi yang sangat kuat bagi pengunjung karena berada
tepat dalam jangkauan visualnya. Tampak atau wajah yang mewakili kawasan Pasar Baru ini didominasi
oleh shopping window yang memiliki beragam karakter serta papan penanda (nama toko) yang terpasang
dengan tidak teratur.

Secara umum, melalui studi ini dapat dilihat bahwa karakter awal bangunan telah mengalami berbagai
perubahan bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan jaman, studi ini juga menemukan
bahwa masih ada tampak atau wajah bangunan asli (sebagai bangunan peninggalan) yang tersisa. Sehingga
peluang untuk mempertahankan originalitas tampak bangunan menjadi target penting dalam penataan
kawasan ini. Dengan ide untuk penataan wajah kawasan yang mengedepankan keserasian dan
keseimbangan serta nilai estetika sebagai sebuah shopping arcade.

Dari keempat poin pembahasan di atas diketahui bahwa kasawan Pasar Baru memiliki elemen-elemen yang
lengkap namun dengan pola yang tidak tertata. Elemen ini saling berbenturan dan tumpang tindih satu sama
lain dalam satu ruang kota, yang mengakibatkan ketidak-nyamanan bagi pengunjung, baik dalam aspek fisik
maupun visual. Namun elemen-elemen yang ada di pasar baru hadir karena kebutuhan yang tidak mampu
dipenuhi secara formal, sehingga tidak satu elemenpun dapat ditiadakan. Peluang bagi kawasan ini untuk
dikembangkan terletak pada penataan polanya tanpa merubah komposisi elemennya; merubah tampilan
fisiknya tanpa merubah morfologinya.

Demikian pula pada penataan pada fasade bangunan. Tipologi dimana lantai dasar adalah pusat informasi
visual tetap dipertahankan, sedangkan lantai dua dan tiga diseragamkan untuk memberikan ruang bagi
visual pengungjung sehingga informasi visual yang dierima tidak berlebihan. Kekayaan akan signage juga
tidak direduksi, hanya diselaraskan, sehingga persaingan menarik atensi pengunjung beralih ke bentuk
window shopping.

JAWABAN RISET
Aspek-aspek apa saja yang menyusun struktur keruangan Pasar Baru?

Sebagai sebuah pusat perbelanjaan berupa arcade, elemen ruang Pasar Baru kental dengan shopfront,
ruang luar, dan jaringan pergerakan di dalam kawasan. Elemen-elemen lain yang muncul seiring
perkembangannya, antara lain: [1] hunian tua di tepi-tepi kawasan, dan bangunan peninggalan berupa toko
yang penting untuk dipertahankan; [2] ruang sosial di tengah aktivitas komersilnya, sehingga Pasar Baru
berkesempatan membentuk komunitas antar pedagang dan pembeli yang tetap. Hal tersebut dikarenakan
Pasar Baru masih sisa-sisa memiliki karakter pusat perbelanjaan tradisional; [3] aspek ekonomi non-formal
yang membuat Pasar Baru menjadi tempat yang ‘serba ada’, mulai dari toko grosir, toko retail, hingga
pedagang kaki lima. Masing-masing dengan kualitas dan harga yang berbeda. Lapisan-lapisan inilah yang
membangun keruangan sekaligus citra Pasar Baru.

69
Seberapa jauh pola-pola baru dapat ditanamkan ke dalam ruang yang lama tanpa mengganggu
struktur koheren sebelumnya?

Secara umum, struktur keruangan Pasar Baru yang dapat dideteksi meliputi lapisan bangunan, lapisan ruang
luar, transportasi, lansekap kawasan, kegiatan ekonomi, dan lapisan sosial. Lapisan-lapisan ini adalah
elemen yang membentuk struktur keruangan Pasar Baru, sehingga untuk mempertahankan struktur koheren
pada Pasar Baru, elemen-elemen ini tidak dapat dihilangkan.

Masing-masing dari lapisan di atas memiliki komponen-komponen. Komponen inilah yang dapat ditambah,
dikurangi, dirubah visualnya, atau dipindahkan untuk menata kawasan Pasar Baru menjadi lebih baik.
Kemudian penambahan atau perubahan komponen harus mengacu pada pola keruangan yang sudah
terbentuk sebelumnya. Hal ini ditujukan untuk menjaga karakter keruangan Pasar Baru yang familiar bagi
pengguna ruang, baik pengunjung maupun pedagang. Dengan demikian, ruang di Pasar Baru dapat kembali
beroperasi dengan pola yang sama, namun dalam kerangka yang lebih tertata. Ruang sosial juga dapat terus
bereproduksi tanpa terhambat intervensi pola asing.

Dapatkah ruang yang sudah ada menerima intervensi tanpa kehilangan memori kolektif yang sudah
terkandung di dalamnya?

Jawaban dari pertanyaan ini berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Memori kolektif dapat
terbentuk dari aktivitas sosial yang kuat yang terjadi pada suatu tempat yang spesifik. Pada kawasan
bersejarah seperti Pasar Baru, memori kolektif ini sangat berkaitan dengan karakter ruang yang bertahan
sejak lama dan dikenal banyak orang. Dengan demikian, struktur keruangan hasil dari reproduksi ruang yang
memberikan pengalaman khas pada Pasar Baru turut berperan dalam pembentukan memori kolektif.

Memori kolektif dapat dipertahankan jika lapisan yang sudah ada dapat dihargai dalam menghadirkan
intervensi. Lapisan ini merupakan pembentuk karakter keruangan Pasar Baru yang dalam perkembangannya
membentuk pola yang tumpang tindih. Sehingga untuk mempertahankan memori ini, pola-pola keruangan
dapat menerima intervensi dengan diperkaya, ditata atau bahkan direduksi sejauh tidak merombak struktur
lapisan yang membentuk karakter keruangan Pasar Baru.

VISI RANCANGAN
The New Passer Baroe: The Heritage With Soul - A Great Civic Space merupakan warisan budaya dan
tempat bertemu banyak orang, ia memiliki ambisi sebagai: (1) Tempat yang memberikan identitas bagi
kotanya. (2) tempat yang memberikan keuntungan secara ekonomi melalui penataan strip, selubung
bangunan serta usulan program baru. (3) Tempat yang mengedepankan lingkungan berkelanjutan melalui
pembatasan kendaraan pada koridor utama, serta permainan 'green' pada fasade bangunan, dan penataan
landscape lingkungan. (4) Tempat terjadinya kegiatan sosial dan budaya, dengan memberi tempat berbagai
aktifitas komunal dan bermacam kegiatan budaya. (5) Tempat yang menjadi tujuan pariwisata, melalui
penataan yang efektif serta didukung dengan program-program baru.

70
Pada rancangan yang diusulkan, arsitektur hanya berperan sebagai bibit yang baru akan tumbuh jika
menerima 'nutrisi' yang cukup dari segala elemen pendukungnya. Artinya, masing-masing elemen pengguna
Pasar Baru harus turut merespon rangsangan yang diberikan untuk bibit ini dapat bekerja, sehingga vitalitas
Pasar Baru dapat berkembang dari dalam, dengan arsitektur sebagai pemicunya.

DESKRIPSI RANCANGAN
1. Rancangan pada Skala Kawasan

Penataan pada skala kawasan berorientasi pada pejalan kaki untuk menciptakan lingkungan yang nyaman
dan aman bagi pengunjung, serta meminimalisir emisi gas kendaraan yang terjadi di kawasan. Jalur dan
gerbang utama ditujukan untuk akses pejalan kaki dengan kendaraan umum. Kemudian pada simpul-simpul
jalan yang dilalui pejalan kaki diadakan ruang publik sebagai focal point. Jalur utama bagi pejalan kaki juga
dilengkapi dengan penghijauan berupa vertical garden untuk menjaga iklim mikro tetap rendah, mengingat
Pasar Baru merupakan kawasan perbelanjaan yang terbuka.

Ilustrasi : Analisis berbagai elemen


pembentuk kota, untuk melihat
hubungan spasial secara keseluruhan

71
Ilustrasi : Rencana Tapak Micro pada
Kawasan Pasar Baru

72
2. Rancangan pada Skala Distrik

Pada skala distrik, perbaikan dilakukan pada infrastruktur jalan, selubung bangunan, dan kanopi. Sistem
pada jalan menggunakan paving untuk meningkatkan resapan air hujan. Pola lantai pada jalan juga
dirancang agar dapat memberikan informasi terkait simpul-simpul pada ruang terbuka dan penunjuk bagi
difabel. Selasar di level lantai kedua dirancang dengan jembatan-jembatan penghubungnya untuk memicu
aktivitas di lantai dua pertokoan. Tangga menuju selasar lantai dua diletakkan di setiap simpul jalan,
sedangkan jembatan antar kedua selasar diletakan di sisi kanan dan kiri pada setiap bangunan situs
peninggalan.

Sebagai bentuk pelestarian dan penghargaan terhadap bangunan peninggalan, koridor lantai dua di depan
bangunan peninggalan ditiadakan, dan digantikan dengan jembatan. Di sudut-sudut jembatan dirancang
kantong-kantong untuk menjadi simpul berkumpul pengunjung sehingga dapat dengan jelas melihat fasade
bangunan peninggalan. Deretan kolom kanopi yang berjajar linear dibentuk zigzag hanya pada bagian depan
bangunan peninggalan sehingga tidak menghalangi pandangan ke arah fasadenya.

Untuk mengimbangi
kurangnya penghijauan di
Pasar Baru, bangunan-
bangunan yang bukan
merupakan bangunan
peninggalan diselubungi
dengan taman vertikal
sebagai penghijauan pada
kawasan Pasar Baru,
dengan selasar di antara
selubung dengan bangunan.
Taman vertikal juga
membantu menetralisir
kontestasi visual yang terjadi
di Pasar Baru. Dengan
keseragaman yang
diterapkan melalui taman
vertikal, masing-masing toko
dapat fokus menata area
shopfrontnya. Hal ini dapat
dibantu dengan penetapan
regulasi mengenai papan
tanda yang boleh digunakan
oleh pemilik toko. Sehingga
fasade bangunan dapat
dengan selaras membentuk
Ilustrasi : Gambar potongan sky ruang di Pasar Baru.
bridge di tengah strip

73
Elemen lain yang mendominasi ruang di Pasar Baru adalah kanopi. Kanopi berperan sebagai langit dari
kawasan ini. Rancangan kanopi yang diajukan berperan bukan hanya sebagai naungan, namun juga menjadi
bidang tangkapan air untuk irigasi taman vertikal. Dari situ air hujan dialirkan langsung ke sistem pengairan
taman vertikal, sehingga taman vertikal tidak memerlukan banyak campur tangan manusia untuk
merawatnya. Sedangkan tiang-tiang penopang kanopi difungsikan sebagai penanda area pedagang kaki
lima. Dengan demikian, keberadaan pedagang kaki lima dapat ditata tanpa menghilangkannya, atau
merubah perannya dalam struktur keruangan Pasar Baru.

Ilustrasi : Sky Bridge yang menghubungkan pengunjung dengan bangunan heritage

Meskipun memiliki kekurangan lahan untuk ruang terbuka hijau, Pasar Baru dilalui sebuah sungai yang
dulunya memiliki fungsi sebagai ruang terbuka biru. Sungai ini hendak kembali dihidupkan dengan
memfungsikan tepiannya sebagai promenade dan area komersil. Di sepanjang tepian promenade dirancang
sebagai pertokoan, sedangkan atap-atap promenade dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Pemanfaatan ini
bertujuan untuk menjadikan ruang terbuka biru sebagai sarana rekreasi yang produktif dan tidak lagi ruang
yang terabaikan, sekaligus menambah pemasukan pengelola dan Pemerintah Daerah dengan adanya ruang

74
komersil. Bangunan komersil di sepanjang sisi promenade dirancang sebagai food court, dengan ruang yang
luas dan pedagang yang dapat berubah-ubah. Promenade juga merupakan ruang budaya, yang dapat
digunakan untuk festival-festival kebudayaan pada waktu-waktu tertentu.

ilustrasi : Visualisasi Suasana Area Publik Pinggir Sungai Ciliwung

75
THE NEW PASSER BAROE THE HERITAGE WITH SOUL - A GREAT CIVIC PLACE

76
REFERENSI

Alexander, Christopher (1997). Pattern Language : Towns, Buildings, Construction. Oxford University Press.
New York.

Coleman, Peter. Shopping Environments: Evolution Planning and Design. Architectural Press. Oxford. 2006.

Lefebvre, Henry (1994). The Production of Space. Blackwell. Oxford.

Mehrotra, Rahul (Ed.) (2004). Everyday Urbanism: Margareth Crawford vs. Michael Speaks. Michigan
Debates on Urbanism I. Michigan.

Miles, Steven dan Miles, Malcolm (2004). Consuming Cities. Palgrave McMillan. New York.

de Solà-Morales, Ignasi (1997). Differences : Topographies of Contemporary Architecture. MIT Press. USA.

77
SPIRIT OF LOCALITY
PAVILIUN INDONESIA – VENICE BIENNALE
2014

Pimpinan Tim : Agustinus Sutanto


Penulis Naskah : Adelia Andani
Tim Arsitek : Benny Suryadi, Vincent Heryanto, Silvia Adityavarna, Esther Prawira
Produk Rancangan : Instalasi Paviliun
Luas Proyek : 1.000m2
Kriteria : Sayembara Paviliun Indonesia – Venice Biennale 2014
Lokasi : Venezia
Penyelenggara : Biennale Foundation
Tahun : 2014
Hasil : Finalis Tiga Besar

78
PENGANTAR
Pada Venice Biennale 2014, isu ini diangkat dengan mengusung tema Fundamentals, sedangkan untuk
Paviliun Indonesia diusung tema Absorbing Modernity : 1914-2014. Rem Koolhaas (sebagai Kurator
utama) pada prolognya dalam Venice Biennale 2014 for Architecture mengungkapkan bahwa Identitas
Nasional tampaknya telah dikorbankan dengan modernitas. Melalui rentang 100 tahun (1914 -2014), di
dalam pengaruh rezim politik, pembangunan besar besaran, perkembangan teknologi, perkembangan
sistem informasi dan universalisasi arsitektur telah membuat arsitektur yang dulunya spesifik dan lokal
telah berubah dan menjadi global. Arsitektur dalam posisi ini telah mencapai status hegemonisnya, tidak
kaya warna dan watak, bercorak monoton, positivistik, teknosentrik dan rasionalistik.
Isu globalisasi sudah sejak lama berkembang di Indonesia. Sebagian membawa dampak positif seperti
meningkatkan kecepatan distribusi informasi dan logistik, tingkat produktivitas, pembangunan kota, dan lain
sebagainya. Namun dalam beberapa aspek, globalisasi membuat lubang besar yang secara tidak langsung
menenggelamkan kebudayaan, seperti melunturkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokaldengan rasionalitas
dan logika. Dalam arsitektur, kekuatan globalisasi menggusur keahlian ketukangan dan nilai-nilai tektonika
dengan sistem dan material industrinya yang ‘mudah’ dan ‘cepat’.
Dalam membahas isu lokalitas-globalitas, ada banyak sudut pandang yang dapat digunakan sebagai
landasan, meskipun dengan tujuan akhir yang sama berupa produk arsitektur. Dalam jurnal ini, untuk
menelusuri makna dibalik nilai-nilai dan idealisme lokal dan global, pembahasan akan lebih banyak
menggunakan 'kaca mata' filosofis ketimbang kaca mata sosial maupun teknis. Meskipun dalam proses
perancangannya, keterlibatan faktor teknis tidak dapat diabaikan, justru menjadi penting untuk menunjukan
konsistensi dalam mengusung arsitektur lokal yang kaya akan ilmu ketukangan.
Ada beberapa hal yang menjadi strategi dalam perancangan Paviliun Indonesia : [1] menampilkan spirit
lokal melalui arsitektur, material, dan nilai tektonikanya. [2] Kemudian mengkolaborasikannya dengan
unsur modern melalui penggunaan material dan program keruangannya. Pengkolaborasian ini bertujuan
mencari dan menemukan dimana nilai-nilai modernitas seharunya berdiri ketika harus bersanding dengan
nilai lokalitas. Dengan demikian, diharapkan kedua nilai ini dapat berjalan tanpa saling memusnahkan.

PERTANYAAN RISET
Dalam menelaah dua kebudayaan berbeda dan peleburannya, ada kemungkinan-kemungkinan yang dapat
ditempuh sebagai media pnelusuran, salah satunya adalah sejarah. Ada beberapa fokus pertanyaan
diajukan untuk menggaris-bawahi pencarian nilai lokalitas melalu sejarah, diantaranya :
1. Mampukah arsitektur menjadi sangat nasional ketika gempuran globalisasi menjadi sangat
dominan?
2. Bagaimana arsitektur lokal dan global diartikulasikan secara bersamaan tanpa menghilangkan
nilai-nilai lokalitas yang ingin dicapai?
3. Bila sebuah bagian sejarah dipinjam dan dibangun kembali dalam versi yang berbeda, dapatkah
sejarah itu memberikan wacana dan dimensi baru dalam arsitektur?

79
TUJUAN DAN SASARAN
Keikut-sertaan Indonesia pada Venice Biennale memiliki tujuan atau agenda, baik dalam aspek politis,
maupun dalam aspek pengembangan seni dan budaya. Khususnya melalui Paviliun Indonesia, arsitektur
Indonesia memiliki agenda untuk menunjukan jati dirinya kepada dunia. Dalam Venice Biennale 2014,
perancangan Paviliun Indonesia memiliki beberapa tujuan diantaranya :
• Sebagai bentuk partisipasi Indonesia dalam ajang seni internasional, sekaligus menunjukan eksistensi
arsitektur lokal Indonesia kepada dunia.
• Mendefinisikan makna lokalitas dan modernitas dalam konteks ruang dan waktu di Indonesia.
• Memicu kembalinya semangat lokalitas dalam arsitektur Nusantara.

ilustrasi : Model Paviliun Indonesia

KONTEKS
Venice Biennale 2014
Venice Biennale merupakan ajang pameran seni yang diselenggarakan setiap dua tahun, termasuk di
dalamnya Venice Biennale for Architecture yang merupakan pameran arsitektur dari berbagai negara.
Venice Biennale for Architecture telah diselenggarakan sejak tahun 1980, namun keikut-sertaan Indonesia
dalam ajang ini baru dimulai sejak tahun 2014.

80
Pada Venice Biennale 2014 for Architecture, diusung sebuah tema bertajuk Absorbing Modernity : 1914-
2014 yang meneropong 100 tahun perjalanan arsitektur Nusantara bersandingan dengan modernitas.
Bentang waktu 100 tahun ini dianggap sebagai rentang waktu dimana dialog dan intervensi antara lokal
dan global terjadi secara intens, dan menantang landasan arsitektur Nusantara. Menelaah bentang waktu
ini diharapkan dapat mendefinisikan kembali makna lokalitas dan eksistensinya di Indonesia.
Spirit Lokal Indonesia
Indonesia diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat selama hampir 70 tahun, dan peradaban di tanah
Indonesia sudah berkembang menuju modern selama lebih dari 100 tahunsetelah dijejaki bangsa Eropa.
Namun sebelum berdaulat, semangat di tanah ini sudah terlebih dahulu ada dalam kepingan-kepingan
yang tidak menyatu; kemerdekaan adalah sarana yang dicita-citakan menjadi pemersatu kepingan ini
menjadi Indonesia. Meski demikian spirit yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk adalah yang
membangun Indonesia hingga hari ini, membentuk kebudayaan dan kehidupan di dalamnya; spirit yang
lahir murni dari interaksi manusia dengan alam. Spirit ini yang melahirkan kearifan lokal serta berbagai
keahlian dalam mengolah dan mengelola alam, dan yang mendasari berbagai bentuk kebudayaan dan
kepercayaan yang kini mungkin disebut 'primitif'.

TINJAUAN PUSTAKA
MEMAKNAI RUANG DAN DWELLING

Kata 'ruang' atau 'space' berakar pada bahasa Jerman, 'raum', yang berarti tempat yang dibebaskan atau
dibersihkan untuk menetap, yang berada dalam sebuah batasan, untuk sesuatu memulai keberadaannya.
Penggunaan kata 'ruang' pada terminologi modern sering kali direduksi maknanya hingga merujuk kepada
sebuah tempat yang dibatasi secara fisik oleh empat bidang, sedangkan batasan yang dimaksud dalam
pengertian ini adalah batasan yang abstrak, yang belum ditetapkan wujudnya. Sedangkan Mircea Eliade
memaknai ruang ke dalam dua sifat, ruang yang sakral dan ruang lainnya yang tidak sakral (profan); ruang
yang sakral adalah ruang yang nyata ke'ada'annya dan memiliki nilai eksistensial, sedangkan ruang diluar
ruang sakral adalah ruang yang homogen dan tidak berkarakter 1.

Ruang dapat menjadi sakral ketika penghuninya mengulangi tindakan ketuhanan dengan membangun
'dunia' mikro di dalamnya sebagai representasi dari 'dunia' makro yang abstrak. Salah satu tindakan
'membangun dunia' adalah dengan menetap dan menghuni. Keputusan untuk menghuni (to dwell)
merupakan keputusan untuk menempatkan eksistensinya pada sebuah 'ruang'. Menghuni (to dwell) suatu
ruang memberikan orientasi kepada manusia, dengan ruang tempat menetapnya (dwelling) sebagai pusat
(yang sakral). Untuk itu, tidak semua yang dibangun manusia adalah dwelling. Heideggermendeskripsikan
dwelling sebagai "sesuatu yang dekat dan bertetangga, ini mengimplikasikan sesuatu yang bersahabat dan
melindungi, menjaga, dan memperhatikan." 2

Kata 'membangun' (building) juga memiliki makna yang serupa.Dalam bahasa Jerman, 'membangun'
disebut sebagai 'bauen' yang artinya 'to dwell'atau untuk menetap di suatu tempat. Meskipun memiliki arti
membangun, dalam pengertian ini, kata 'bauen' memiliki makna mempertahankan, menghargai, dan

1 Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 13
2 Heidegger, Martin (1971). Poetry, Language, Thought. Harper Colophon Books. New York. halaman 143

81
merawat; spesifiknya dalam hal mengolah dan menggarap bumi.Maka dari itu, membangun seharusnya
memiliki makna menjaga dan merawat, bukan membuat atau menciptakan sesuatu.Karena sifat yang
timbal balik ini, lebih lanjut lagi, Heidegger mengatakan bahwa dwelling adalah karakter dasar dari sesuatu
yang ada, berelasi dengan manusia di dunia. Dwelling memberikan memberikan energi terhadap ke'ada'an
manusia di dunia.

ilustrasi : Model Paviliun Indonesia

MEMAHAMI WAKTU HISTORIS

Selain berorientasi pada ruang, manusia juga meletakan pusaran dunianya pada orientasi waktu.
Pengulangan tindakan ketuhanan dilakukan bukan hanya melalui pensakralan ruang, tetapi juga pada
pensakralan waktu; misalnya melalui penciptaan durasi kosmik (maya) dalam bentuk kalender tahunan.

Seperti halnya ruang, Eliade membagi waktu ke dalam dua sifat; durasi profan dan waktu sakral. Waktu
sakral adalah penghadiran kembali waktu mitos, yakni waktu yang berulang pada setiap periodenya,
sedangkan durasi profan adalah jarak diantara waktu sacral 3. Pergantian tahun melambangkan
berakhirnya periode kehidupan lama dan dimulainya siklus kehidupan yang baru. Karena itu, kalender
mitos mengulangi perayaan yang sama setiap tahunnya, misalkan pada perayaan-perayaan spiritual atau
bentuk-bentuk peribadatan lainnya. Waktu sakral mengulang kembali 'waktu mitos' penciptaan sehingga
melalui pengulangan waktu sakral, pesertanya menemukan kelahiran kembali. Sedang durasi profan
diantara waktu sakral digunakan sebagai waktu persiapan menjelang tibanya waktu sakral. Dalam berbagai

3 Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 65

82
kepercayaan, durasi profan jugadimanfaatkan sebagai waktu untuk memantaskan diri agar pengulangan
waktu sakral dapat berjalan dengan sempurna.

Selain waktu mitos yang menggambarkan 'pada permulaan', ada pula waktu historis yakni waktu yang
dapat ditandai kehadirannya sebagai bagian dari sejarah. Waktu historis ini dapat pula ditandai sebagai
waktu sakral jika ada manifestasi mitos di dalamnya. Misalnya seperti kelahiran Yesus atau Yahwe, yang
menjadi titik tolak bagi penganut Kristiani, namun kelahirannya juga dapat ditandai dalam sejarah yaitu
ketika pemerintahan Pontius Pilatus. Dengan demikian, waktu mitos kelahiran Yahwe memiliki sifat historis
yang juga sakral.

Namun dalam konteks sosial, Marcel Mauss dan Henry Hubert mengutarakan, bahwa sakral bukan lagi
terbatas mengenai agama maupun mitos, melainkan produk dari tindakan kolektif 4. Sehingga waktu sakral
dapat bermanisfestasi pada event yangmemiliki nilai spirit atau semangat yang menyeluruh, yang merubah
sebuah kondisi dan tatanan yang ada secara fundamental. Maka dapat dikatakan bahwa sejarah dapat
menjadi bagian dari waktu historis sakral dalam kehidupan manusia.

Michael Foucault mengungkapkan bahwa sejarah yang 'efektif' akan muncul dari kondisi hidup yang stabil
dan alami. Menurut Foucault, kebanyakan pengetahuan tidak lagi dibuat untuk dimengerti, tetapi dibuat
terpenggal-penggal demi kepentingan pemenggalnya. Foucault telah melihat sejarah yang 'efektif' sebagai
bagian yang tidak terpenggal-penggal, tetapi sebuah pengetahuan yang merepresentasikan dirinya
(sejarah itu sendiri) dan pengetahuan lainnya (diluar sejarah itu sendiri) untuk membangun guna dan citra
bagi kepentingan manusia.5 Namun sejarah secara mendasar tidak dapat mengubah struktur simbolisme
kuno. Sejarah secara terus-menerus menambah arti-arti baru, namun mereka tidak menghapus struktur
dari simbol6. Sejarah hanya dapat memberikan wajah yang baru, sedangkan spirit yang sama tetap ada di
dalam.

PERGERAKAN PERADABAN

Menurut Alfin Toffler, peradaban dunia dimulai sejak gelombang pertama dimulai, yakni peradaban petani.
Ketika gelombang pertamamendominasi dunia, manusia mulai dikategorikan ke dalam kelompok
"beradab" dan "primitif". Kelompok beradab adalah kelompok para petani yang menggarap bumi,
sedangkan kelompok primitif adalah kelompok yang masih menggantungkan keberlangsungan hidupnya
pada kegiatan mengumpulkan makanan; kelompok petani inilah yang menjadi akar berkembangnya
kebudayaan di berbagai belahan dunia 7, termasuk di Indonesia.

Dari peradaban, lahir banyak aspek-aspek baru dalam kehidupan manusia termasuk sistem hierarki dalam
tatanan sosial dan kebudayaan. Dalam bahasa Inggirs, kata 'budaya' diterjemahkan sebagai 'culture', dan
'cultura' dalam bahasa Latin. Kata 'cultura' muncul dalam bahasa latin pada pertengahan abad ke-15, yang
berarti 'cultivation' atau 'penanaman' (pengolahan, pengembangan, pemeliharaan, dll.). Relasi ini
menunjukan bagaimana kebudayaan lahir dari adanya kepentingan untuk menanam di bumi atau
mengolah bumi.

4 Gomez, Liliana dan van Herck, Walter (2012). The Sacred in the City. Bloomsbury. New York.
5 Foucault, Michel (1971). Nietzsche - Genealogy - History (essay). halaman 88
6 Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 141
7
Toffler, Alvin (1988). Gelombang Ketiga. PT. Pantja Simpati (diterjemahkan). Jakarta. halaman 39

83
Dari kebutuhan untuk menanam di bumi pula muncul figur-figur lambang kesuburan atau lambang penjaga
kehidupan Bumi (di Indonesia misalnya figur Dewi Padi yang disebut Dewi Sri di tanah Jawa); Bumi
dianggap sebagai Ibu (Mother Earth) yang memberikan kehidupan. Lahirnya kepercayaan kemudian
mendesak diadakannya ritual penyembahan dan upacara-upacara religius. Upacara menjadi upaya
mendekatkan diri dengan dewa-dewa atau makhluk setengah dewa, agar yang profan menjadi sebaya
dengan yang sakral8, yang mana saat ini lebih dimaknai sebagai kegiatan seni yang bernilai estetis.

Wilayah-wilayah yang berakar pada budaya pertanian memiliki kekayaan budaya yang berorientasi pada
kemurahan figur feminin Ibu Bumi (Mother Earth), termasuk Indonesia; berbeda dengan negara-negara
Barat yang mayoritas berorientasi pada kekuasaan figur maskulin Bapak Langit (Father Sky). Segala yang
digunakan dan dikonsumsi adalah pemberian Ibu Bumi, baik untuk kebutuhan membangun naungan
maupun untuk pangan. Dan karena apa yang diambil dari Bumi adalah pemberian, maka harus
dikembalikan, dirawat, dan dihormati. Dengan demikian, masyarakat gelombang pertama hanya
menggunakan sumber alam yang dapat terbarukan, dan penggunaannya berdasar pada pemenuhan
kebutuhan hidup, bukan kebutuhan ekonomi.

Orientasi Ibu Bumi ini juga dimanifestasikan dalam banyak aspek keseharian masyarakat di Nusantara
sebagai masyarakat agraris, termasuk dalam arsitektur. Salah satunya adalah tipologi rumah panggung
yang dimiliki sebagian besar bangunan vernakular di Nusantara, yang menggambarkan bagaimana kaum
adat menghargai Bumi dan hanya 'menumpang' kepadanya. Dengan menghargai Bumi, arsitektur
vernakular menjadi sangat responsif terhadap perilaku alam dan karenanya harmonis dengan
lingkungannya.

ilustrasi : Model Pavilun Indonesia

8 Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 89

84
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia

MELIHAT MODERNITAS
Modernitas merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada satu masa paska medieval di Eropa dan
seluruh dunia. Kelahiran masa ini ditandai dengan meledaknya gerakan industri pada abad ke-19 yang
secara esktrim merubah pola produksi kota-kota di dunia; yang efeknya turut merubah gaya hidup, pola
pendidikan, arsitektur kota, dan akhirnya merubah wajah seluruh peradaban. Alfin Toffler menandai masa
ini sebagai gelombang kedua; gelombang peradaban yang muncul dan berkembang setelah gelombang
pertama yakni peradaban para petani.
Revolusi industri digambarkan Toffler sebagai gelombang yang 'menghancurkan masyarakat lama dan
menciptakan peradaban yang seluruhnya baru'. Dikatakan 'menghancurkan' karena revolusi industri
merubah tatanan paham yang tadinya bersifat kosmis dan mistis menjadi rasionalis, dan mengosongkan
muatan religiusnya; dikatakan 'menghancurkan' karena tidak jarang bentrokan antar gelombang terjadi,
bahkan saling berusaha memusnahkan.
Pembangunan yang terjadi selama gelombang kedua berbasis pada perkembangan teknologi dan
ekonomi. Orientasi pembangunan pada masa ini tidak lagi pada asas'culture' atau 'cultivation' yang sifatnya
merawat dan menghargai, melainkan pada asas 'construction' yang sifatnya mendirikan atau menumpuk
diatasnya, dan memisahkan kegiatan membangun dari makna kosmik kegiatan itu sendiri. Tatanan tidak
lagi berlandas pada pemaknaan morfologi kosmik melainkan pada pembagian fungsi di dalamnya yang
menjaga keteraturan peradaban ini.

85
Gelombang kedua atau peradaban modern sampai ke Indonesia ketika diperkenalkan oleh bangsa Eropa
sekitar abad ke-16, dan seolah-olah kembali membagi peradaban ke dalam dua kelompok, 'yang lebih
primitif' dan 'yang lebih beradab'. Sejak saat itu perkembangan bergerak menuju ke arah 'yang lebih
beradab' dengan mengadaptasi cara hidup bangsa Eropa, bahkan setelah Indonesia menyatakan dirinya
berdaulat. Gerakan ini serta merta meredupkan pola-pola peradaban lama dan menggantikannya dengan
kota-kota modern berkarakter internasional, yang orientasinya berlandaskan nilai-nilai ekonomis dan
fungsionalis.
MEMAKNAI LOKALITAS
Lokalitas bukanlah sebuah gerakan baru dalam dunia arsitektur.Kemunculannya menjadi terasa seiring
dengan gencarnya gerakan modernitas di dunia.Lokalitas telah dianggap sebagai senjata yang tepat untuk
menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang berkembang pesat di kehidupan manusia modern (di
gelombang kedua) saat ini. Ruang-ruang kapitalis ini berkembang bukan hanya di ruang fisik kota,
melainkan juga di ruang budaya dan kemanusiaan. Dan yang mampu mengimbanginya adalah semangat
lokalitas.
Meminjam Lewis Mumford ada beberapa aspek dalam memandang nilai kelokalitasan:(1) Lokalitas bukan
hanya terpaku dari kebesaran sejarah. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah
tradisi dan langsung menstransfernya ke dalam sebuah ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah
ruang yang tidak memiliki jiwa.Tugas arsitek bukan hanya membuat imitasi arsitektur pada masa lampau
tetapi mencoba mengerti dan memahaminya; bukan hanya meminjammaterial atau menduplikasisebuah
contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mulai mengetahui tentang diri dan
lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.(2) Lokalitas adalah tentang

ilustrasi : diagram konsep inside-outside Paviliun Indonesia

86
bagaimana melihat bahwa seharusnya sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah
keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang dilakukan lakukan adalah membuat
penikmatnya merasa seperti di rumah dalam lingkungannya.Lokalitas harus dimunculkan karena memang
dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi
bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitasitu sendiri.(3) Lokalitas dalam perkembangannya harus
memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi
baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks
tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi
dengan mesin-mesin teknologi. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat
berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.(4) Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap
penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan.
Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya,
kesensitifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana lokalitas ingin ditempatkan.(5) Global
dan lokal bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi. Mumford
menekankan perlu adanya keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana global mencetak
mesin-mesin kapitalis sedang lokal mencetakkomunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai
sesuatu yang utama dalam nilai ke-universal-an.
Eko Prawoto menamakan arsitektur lokal sebagai 'arsitektur kampungan', yang artinya bahwa lokalitas
sebuah kampung membentangkan sebuah diskursus yang ketat untuk memahami realitas kampung
sebagai ide untuk membahasakan objek yang disebut sebagai arsitektur. Bagi Eko Prawoto, kampung
adalah sumber inspirasi untuk menjawab persoalan-persoalan antara ruang dan manusia; "ada
kehangatan, kreativitas, kejujuran, dan (tentu) tentang manusia." Lebih lanjut, Eko Prawoto mengutarakan
bahwa arsitektur kampung memiliki kebebasan yang tidak dimiliki aliran-aliran arsitektur lainnya; tidak
harus mengikuti warna, bentuk, atau langgam tertentu; apa yang digunakan datang dari apa yang ada dan
diinginkan atau dibutuhkan. Menurut Eko Prawoto, beberapa aspek penting dalam membahasakan
arsitektur lokal antara lain dengan memahami bahwa (1) arsitektur bukanlah suatu entitas yang lepas dan
mandiri, keberadaanya haruslah menjadi kesatuan integral dengan sekitarnya baik secara sosial, spasial,
maupun lingkungan. Kemudian, (2) berarsitektur adalah membuat desain yang terbuka atau open-ending,
yang merupakan perwujudan nilai-nilai dan sikap menghargai ekspresi identitas budaya sebagai cerminan
nilai-nilai transenden. Bagi Eko Prawoto, kearifan lokal mengajarkan tentang bagaimana 'membaca'
potensi alam dan 'menuliskannya' kembali sebagai tradisi gubahan arsitektur.
Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana memahami sejarah bangunan,memori - persepsi
– identitas, material - tektonik, latar belakang sosial budaya, isu-isu konservasi serta keseharian, yang
pada akhirnya keseimbangan hasil dan proses menjadi kata kunci untuk mewujudkan arsitektur.

METODOLOGI
Studi lokalitas dan modernitas sebagai bagian dari sejarah melalui pandangan filosofis.
Dalam studi ini, lokalitas dan modernitas dibaca sebagai bagian dari sejarah, dimana keduanya
direntangkan dalam dua dimensi : ruang dan waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dimana makna
lokalitas dan modernitas berperan dalam membentuk apa yang hari ini disebut sebagai spirit berbudaya.

87
Dalam pembedahan ini, digunakan sudut pandang filosofis yang didasari pada studi literatur, khususnya
untuk memahami nilai filsafat budaya Timur dan Barat.
Memahami gerakan modernitas dan lokalitas serta dialog yang terjadi di Indonesia.
Gerakan lokalitas dan globalitas muncul dan berkembang di Indonesia dengan dialog intens diantara
keduanya. Dialog ini menunjukan nilai-nilai dari kebudayaan yang lebih dominan, ada pula nilai yang
dikalahkan karena harus menyesuaikan. Maka untuk kembali mendialogkan keduanya dalam rancangan,
perlu dipahami masing-masing karakter yang dikandung, serta bagaimana sifat dan watak yang
direpresentasikan oleh masing-masing gerakan. Sehingga dialog baru yang terjadi dapat menjadi dialog
yang kaya akan makna dan seimbang.
Menerapkan implikasi budaya, modernitas dan lokalitas terhadap arsitektur ke dalam rancangan.
Karena penelusuran dilakukan dari sudut pandang filosofis, maka penerapan rancangan juga dilakukan
secara filosofis. Nilai filosofis ini bukan hal yang mudah ditangkap oleh pengunjungnya, sehingga nilai ini
akan disampaikan dengan suasana keruangan yang puitis namun mampu menyampaikan dan dimaknai
sebagai suatu simbol. Penyampaian makna keruangan ini disampaikan melalui bentuk, material dan
tektonika, warna dan cahaya.

JAWABAN RISET
Mampukah arsitektur menjadi sangat nasional ketika gempuran globalisasi menjadi sangat
dominan?
Arsitektur yang nasional bukanlah arsitektur yang nostalgik, yang mengulang bentuk lama di tengah-tengah
konteks yang baru, melainkan arsitektur yang mampu menampung dan merespon spirit dan karakter
kolektif bangsa dalam konteksnya. Sedangkan karakter muncul karena interaksi yang jujur dan natural
antara manusia dengan lingkungannya. Karakter Nusantara lahir dari budaya agrikultur, yakni dari desakan
untuk mengolah bumi, sehingga karakter ini dapat menjadi kuat ketika ada kemampuan untuk jujur pada
keadaan dan lingkungannya. Sedangkan globalisasi tidak harus diletakkan sebagai oposisinya, bahkan
seharusnya dapat menjadi faktor yang memperkuat karakter lokal jika arsitektur mampu mewujudkan
kejujuran tersebut.
Bagaimana arsitektur lokal dan global diartikulasikan secara bersamaan tanpa menghilangkan nilai-
nilai lokalitas yang ingin dicapai?
Lokalitas dan globalitas bukanlah sesuatu yang harus bertentangan. Keduanya adalah ‘kendaraan’ netral
yang berfungsi bergantung pada pemakainya. Menghargai lokalitas tidak berarti menolak keberadaan
modernitas, tetapi bijaksana dalam memanfaatkannya.
Pada Paviliun Indonesia, hal ini dicapai melalui aplikasi konsep inside – outside. Penerapan konsep ini
bukan hanya pada bentuknya, melainkan pada penghargaan akan nilai-nilainya. Inside yang adalah lokal,
memiliki sifat memberi, sehingga material yang ada dipandang sebagai ‘pemberian’ dari Bumi, yang harus
diperlakukan dengan layak dan dieksplorasi kemampuannya. Bukan diletakkan sebagai objek ornamental
dan mengerdilkan potensinya.

88
Sedangkan outside adalah dunia yang selalu bergerak, yang dalam konteks ini adalah modernitas. Outside
bukanlah yang inti, ia adalah latar belakang dari yang inti (inside). Outside tidak hadir untuk mendominasi,
melainkan melengkapi dan memberikan apa yang diperlukan untuk menghidupi dan merawat inside.
Bila sebuah bagian sejarah dipinjam dan dibangun kembali dalam versi yang berbeda, dapatkah
sejarah itu memberikan wacana dan dimensi baru dalam arsitektur?
Sejarah membentuk ruangnya dalam kontinuitas waktu.Meminjam sejarah berarti merekonstruksi sebuah
ruang dan waktu historis. Makna dari karakter sejarah muncul pada masanya karena terjadi secara alami;
muncul karena interaksi spirit manusia dan spirit lingkungannya.Ketika direkonstruksi tanpa ada faktor
kemanusiaannya, ruang historis hanya merupakan imitasi; tidak ada karakter baru yang dimunculkan, dan
tidak dapat memicu wacana maupun dimensi baru. Sebaliknya, ruang historis dapat menjadi wacana baru
ketika dipinjam untuk dimaknai kembali dalam konteks kemanusiaan saat ini. Sehingga ruang historis
tersebut dapat beradaptasi dan menjadi ruang-ruang yang baru.

KESIMPULAN
Paviliun Indonesia berupaya menggali spirit lokalitas yang kontemporer, yakni spirit lokalitas yang mampu
dengan bijaksana memilah kepentingan lokal dengan modernitas sebagaiunsur komplementernya. Dalam
hal ini, cara yang ditempuh adalah melalui penghargaan akan nilai dan makna filosofisnya dan ditunjukan
melalui material dan tektonikanya. Material, yang adalah pemberian Bumi, dieksplorasi untuk menemukan
potensinya, bukan hanya menjadi objek ornamental. Sedangkan material industri sebagai lambang
modernitas, dimanfaatkan untuk melengkapi unsur lokalitas tersebut, bukan menggantikannya.
Lapisan lain yang hendak dijelajahi dalam mendefinisikan lokalitas dan modernitas adalah melalui aspek
sejarah.Sejarah dalam Paviliun Indonesia dimanfaatkan sebagai media menelusuri nilai-nilai lokalitas dan
mengikuti pergeserannya. Sejarah memberi jalan untuk menemukan spirit lokalitas yang tersembunyi
dibalik ‘hingar-bingar’ modernitas.

89
ilustrasi : Skema pendirian paviliun

ANALISIS DAN SINTESIS


Ruang dan waktu sebagai orientasi bagi kehidupan manusia.
Jika dilihat dari aspek keruangannya, Nusantara merupakan sebuah dwelling raksasa bagi puluhan juta
jiwa. Eksistensi yang dikandungnya bermanifestasi dalam lapisan-lapisan yang kaya dan berelasi dengan
eksistensi lainnya di Bumi.Budaya lokalitas dan modernitas adalah salah satu produknya. Gerakan-
gerakan ini lahir dari eksistensial manusia yang berkembang seiring dengan berjalannya peradaban dalam
suatu bentangan waktu. Karena berangkat dari bibit eksistensial yang sama, antara lokalitas dan
modernitas terdapat ruang untuk didialogkan, dan dialog-dialog ini yang merangkai perjalanan arsitektur di
Indonesia selama 100 tahun terakhir. Dialog-dialog ini ikut menjadi bagian dari sejarah dan mengisi durasi
profan dalam rentang waktu diantara waktu-waktu historis.
Waktu historis ini dapat terjadi pada berbagai skala, mulai dari skala kawasan, skala kota, hingga nasional.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki waktu historis sakral yang memberikan pengaruh secara
signifikan kepada ranah arsitektur Nusantara. Pengaruh ini kemudian melakukan penyesuaian (berdialog)
degan kondisi budaya dan iklim setempat hingga titik waktu historis berikutnya dan terekam sebagai bagian
dari perjalanan mencari arsitektur Indonesia.
Durasi profan juga menjadi sebuah rentang yang penting untuk ditelaah, karena pencapaian arsitektur hari
ini berangkat dari dialog-dialog yang terjadi selama rentang waktu tersebut. Mengkaji dialog-dialog yang
terjadi dalam rentang durasi profan, membantu arsitek menemukan apa yang dicari untuk membentuk
karakter arsitektur berikutnya; entah itu menjadi semakin fungsionalis dan berorientasi pada kepentingan
kapital; atau kembali ke bentuk-bentuk vernakular dan tropis; atau dialog keduanya.

90
ilustrasi : Model Paviliun Indoensia

Misalnya ketika Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Sesaat setelahnya, pembangunan di
Indonesia berakselerasi secara agresif dengan mengacu kepada modernism, untuk menunjukan
kekuatannya kepada dunia. Meski demikian, nyatanya pembangunan ini berpusat di Jakarta, sedangkan di
Timor Timur dan Papua Barat justru sebaliknya. Ketimpangan kehidupan sosial dan ekonomi terjadi
sehingga terjadi usaha untuk memisahkan diri. Sebagai contoh, Timor Timur yang memisahkan diri,
mengakibatkan pembangunan mengalami koreksi, bahkan peninggalan budaya dapat lenyap dan arsitektur
harus dilahirkan kembali sebagai imitasi objek lama. Proses ini tidak terjadi secara singkat, melainkan
tahap demi tahap dalam durasi profan. Demikianlah nampak bagaimana sejarah mampu berdialog dengan
arsitektur pada suatu waktu dan menandai suatu perubahan.
Memang pemicu perubahan ini adalah waktu historis yang sakral, namun dampak-dampak yang terjadi
paska proklamasi kemerdekaan terjadi dalam rentang durasi profan. Durasi profan mampu menceritakan
lebih banyak ketika berbicara mengenai sebuah proses, karena pada durasi inilah perubahan terjadi tahap
demi tahap.
Inside – Outside
Menetap di suatu tempat di dunia memberikan manusia nilai eksistensial. Nilai eksistensial menjadi ada
dan kuat jika ketika manusia mendefinisikan 'dunia'nya diatas dataran Bumi yang tidak berujung. Dataran

91
bumi terdiri dari hamparan lansekap dan objek-objek natural yang ada di atasnya. Ketika manusia
membangun diatasnya, objek-objek kultural yang dibangun manusia berelasi dengan objek natural dan
menjadikan baginya sebuah 'tempat' atau dwelling. Dengan mendefinisikan dwellingnya, manusia telah
memiliki nilai inside (enclosure) terhadap outside (extensions). Figur inside dan outside berelasi merangkai
figur permukaan Bumi, dengan figur inside menjadi fokusnya.
Inside adalah apa yang lahir dari keberadaan manusia di masa primordialnya, sedang outside adalah
kontinuitas ruang dan waktu. Perlakuan manusia pada Bumi melahirkan karakter, baik pada inside maupun
outside. Sehingga, berbeda manusia, berbeda perlakuan, berbeda pula karakternya. Karakter inilah yang
menjadikan manifestasi spirit manusia pada sebuah batasan wilayah berbeda satu dengan yang lainnya.
Pada masyarakat primordial, relasi inside dan outside adalah sesuatu yang sakral untuk dijaga, termasuk
pada perkampungan vernakular di Indonesia. Relasi antara perwujudan spirit manusia dan spirit alam
dijaga agar tetap seimbang dan sinergis. Sedangkan pada peradaban modern, rasionalitas membuat
sinergi inside-outside terputus, dimana dwelling tidak lagi menjadi naungan manusia, melainkan naungan
bagi ego manusia. Dan nilai kosmologis pada inside-outside bertransformasi menjadi nilai praktis dan
komersil.
Pada Paviliun Indonesia, ada upaya untuk mendefinisikan kembali relasi inside-outside dan
mengartikannya ke dalam konteks-konteks yang baru. Secara fisik, inside-outside didefinisikan sebagai
dwelling dan dunia di luarnya. Namun secara abstrak, inside-outside dapat dilihat sebagai ideologi 'yang di
dalam' dan 'yang di luar'. Ideologi merupakan kumpulan ide dan gagasan yang melandasi suatu tujuan
hidup. Ideologi inside lahir murni dari interaksi masyarakat lokal dengan alam, yang kemudian
menghasilkan kearifan lokal dan petuah yang diwariskan turun temurun. Sedangkan ideologi outside
adalah hasil pencarian akan yang lebih dan yang baru. Ideologi outside dapat datang dari segala arah;
pencariannya berkembang dengan pesat dan belum selesai. Ia senantiasa berdialog dengan inside dan
menyalurkan pengaruhnya.
Merespon Lokal dan Global
Perkembangan arsitektur di Indonesia yang menuju ‘kebarat-baratan’ dimulai sejak jaman pemerintahan
Belanda dengan gaya arsitektur Neo-Klasiknya. Kemudian paska kemerdekaan, Indonesia mulai
meletakan orientasi pembangunannya pada bentuk-bentuk modern seperti pada pembangunan Monumen
Nasional, Masjid Istiqlal, dan poros Thamrin-Soedirman yang digagas oleh Presiden Soekarno.
Namun datangnya pengaruh modern (yang datang pada era gelombang kedua) tidak lantas menyapu
bersih peradaban sebelumnya, tetapi 'terselip' dan 'saling silang' dengan budaya yang ada. Sejak era
1950-an, praktisi-praktisi arsitek-arsitek mulai mencari makna dan bentuk regionalisme arsitektur
Indonesia. Dan menghasilkan beberapa versi arsitektur dari hasil pencarian tersebut, termasuk versi
arsitektur lokal yang humanis dari karya-karya Romo Mangun, atau versi arsitektur Indonesia pada gedung
Rektorat Universitas Indonesia. Hingga saat ini, pencarian ini tidak pernah menemukan satu jawaban yang
mutlak benar, yang ada hanya argumen demi argumen mengenai seperti apa gaya arsitektur yang
mencerminkan Indonesia.

92
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia

Ditengah dualisme ini (lokal dan global), Paviliun Indonesia berupaya ambil bagian dalam mendefinisikan
makna lokal dengan prinsip kembali ke dasar. Kembali ke dasar adalah strategi untuk melihat kembali,
bagian mana yang dapat ditata ulang, dan bagian mana yang harus dibiarkan demikian adanya. 'Kembali
ke dasar' memberikan manusia kesempatan untuk melihat ke'ada'an dengan jernih dan tanpa manipulasi
atau rekayasa. Sehingga keindahan arsitektur dapat muncul dari kejujurannya, dan dinilai dengan apa
adanya.
Prinsip 'kembali ke dasar' diterapkan pada Paviliun Indonesia dalam aspek ruang maupun material.
Dengan bentuk-bentuk dasar dan material sederhana, Paviliun Indonesia dirancang untuk menjadi sebuah
ruang yang memberikan kebebasan bagi penggunanya melengkapi sendiri paviliun ini. Semakin sederhana
bentukannya, semakin besar peluang penggunanya untuk meruang di dalamnya, dan menciptakan
maknanya sendiri. Dengan kembali ke dasar, justru ada lebih banyak peluang pengembangan yang
mungkin terjadi dan lebih banyak makna-makna baru yang mungkin muncul kemudian.

93
ilustrasi : Denah paviliun dalam babakan sejarah

PROPOSAL DESAIN
Paviliun Indonesia : Inside-Outside
Proyek Paviliun Indonesia ini merupakan sebuah proyek yang merepresentasikan tentang semangat
lokalitas dalam perjalanan totalitas kehidupan modern pada komposisi keruangan yang ditampilkan.
Komposisi keruangan yang ada merupakan dialog dua buah spirit yaitu spirit modernitas dan spirit
lokalitas. Oposisi biner dari lokal-modern merupakan jawaban tentang bagaimana kita membangun
‘dwelling’ bagi kehidupan keseharian kita sekarang ini dan ideologi kita sebagai sebuah bangsa.
Proyek ini mencoba mendialogkan komposisi Inside – Outside dalam gubahan arsitekturnya. Inside adalah
apa yang lahir dari manusia primordial, khususnya di Indonesia; inside adalah karakter keIndonesiaan yang
lahir dari kebutuhan manusia akan dwelling di Nusantara; Inside adalah spirit primordial yang selalu ada di
dalam, tumbuh sebagai dirinya sendiri; Inside adalah lokalitas. Lokalitas bersifat di dalam, tumbuh sebagai
dirinya sendiri, menjadi utama bagi sebuah identitas serta pusat dari perhatian yang perlu dirawat dan
dijaga.
Outside adalah kontinuitas dunia yang senantiasa bergerak dalam ruang dan waktu; outside adalah ke-
Indonesia-an yang berinteraksi dengan budaya-budaya baru; outside adalah spirit yang dinamis dan
agresif; outside adalah modernitas. Modernitas bersifat di luar, berusaha untuk masuk, mengelilingi dan
mengintervensi sebuah kondisi.

94
Ambisi membangun spirit modernitas dan lokalitas
merupakan refleksi dari perjalanan ‘sejarah’ dan bagaimana
isu-isu keruangan terjadi dalam kehidupan keseharian kita.
Spirit modernitas dituangkan dalam wujud tangga yang
melingkar dengan menggunakan material modern yang
diwakili oleh produk industri, yaitu kaca dan baja. Komposisi
kaca dan baja merepresentasikan tentang bagaimana
bahan-bahan ini menguasai dunia dengan kekuatan dan
kepraktisannya. Di sisi yang lain, spirit lokalitas yang
menjadi pusat dari komposisi yang ada, diwakili oleh sebuah
bentuk yang berkarakter `vernakular` dimana penggunaan
bahan bamboo menjadi material utamanya. Bambu dipilih
untuk mewakili ide bagaimana material lokal dan
menghasilkan efek yang 'hangat' dan 'ramah', juga dekat
dengan alam.

Proyek ini berusaha untuk tetap konsisten dan menampilkan semangat kelokalannya dalam nuansa
keruangannya. Pemilihan nuansa redup (traditional atmosphere) dengan permainan material dan tektonik
yang bersifat lembut seperti kain batik, bambu yang bersifat lentur, kaca yang transparan dan kerangka
baja yang bersifat keras diharapkan dapat membangun imaginasi tentang sebuah Paviliun Nasional
Indonesia – sebuah paviliun yang beraroma `kekampungan`, penuh `dialog`, antara `global dan spesifik`
serta memberikan persepsi yang mendalam.
95
REFERENSI

Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta.
Foucault, Michel (1971). Nietzsche - Genealogy - History.essay.
Gomez, Liliana dan van Herck, Walter (2012). The Sacred in the City.Bloomsbury. New York.
Heidegger, Martin (1971). Poetry, Language, Thought. Harper Colophon Books. New York.
Jung, Carl Gustav (1958). Psychology and Religion : West and East. Pantheon Books. New York.
Manguwijaya, Yusuf Bilyarta (1988). Wastu Citra : Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendir-
sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Norberg-Schulz, Christian (1979).Genius Loci : Towards a Penomenology of Architecture. Rizzoli. Edinburg
Pangarsa, Galih Widjil (2008). Arsitektur Untuk Kemanusiaan : Teropong Visual Culture atas Karya-Karya
Eko Prawoto. PT. Wastu Lanas Grafika. Surabaya
Toffler, Alvin (1988). Gelombang Ketiga. PT. Pantja Simpati (diterjemahkan). Jakarta.

96
THE SEVEN SACRAMENTS
SPIRIT OF SPACE
GEDUNG GEREJA SANTA MARIA - PAROKI KOTA BUKIT INDAH, CIKAMPEK
2015

Prinsipal Arsitek : Agustinus Sutanto


Pengarah : Romo Mikael Adi Siswanto
Penulis Naskah : Adelia Andani
Arsitek : Vincent Heryanto dan Silvia Adityavarna
Tim Desain : Benny Suryadi, Esther Prawira.
Produk Rancangan : Bangunan, Interior, Lansekap
Luas Bangunan : 4800 M2
Luas Lahan : 5000 M2
Kriteria : Terbangun
Kategori : Bangunan Religius
Lokasi : Kota Bukit Indah, Cikampek
Klien : Keuskupan Bandung
Tahun : 2015
Biaya : Rp. 17.000.000.000,-

97
PENGANTAR
Gereja Santa Maria berlokasi di Kota Bukit Indah yang merupakan kawasan industrial, sebagian
wilayahnya masuk ke dalam Kabupaten Purwakarta dan sebagian lagi masuk ke Kota Cikampek. Kawasan
ini dilalui dua jalur tol antar kota, yakni Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Tol Cipularang, sehingga
aksesnya cukup strategis. Tapak Gereja Santa Maria bahkan dapat terlihat jelas dari Jalan Tol Cikampek
menuju Jakarta.

Gereja Santa Maria merupakan bagian dari Keuskupan Bandung, yang memiliki luas wilayah 23.315,31
km2. Gereja Santa Maria - Paroki Kota Bukit Indah merupakan percabangan dari Gereja Kristus Raja -
Paroki Karawang, yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukit Indah. Dengan jarak antar Paroki yang
cukup jauh, umat Katolik yang tinggal dalam radius Paroki Kota Bukit Indah saat ini terbilang sedikit, hanya
berkisar 1500 jiwa (bandingkan dengan jarak antar Paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang hanya
berkisar antara 4-12km dengan jumlah umat mencapai 5000-10.000 jiwa per Paroki). Tetapi, untuk
mengantisipasi potensi pembangunan kawasan dalam radius Paroki, bangunan gereja dituntut untuk
mampu menampung kapasitas 700-1000 umat dalam satu kali ibadat. Sehingga jika dalam tahun-tahun
mendatang kepadatan umat bertambah, Paroki hanya perlu menambah jadwal ibadat tanpa memperbesar
atau membangun gedung baru.

ilustrasi : Suasana pembangunan sistem struktur bangunan

Dengan lokasi yang strategis bangunan gereja berkesempatan untuk menjadi icon dari kawasannya
melalui skala dan proporsi yang tepat. Bangunan gereja juga dintuntut untuk 'berumur panjang', baik dari
segi tampilan, fungsi, maupun kekokohan bangunan, sehingga dalam pemilihan bentuk, langgam, dan
material, aspek-aspek ini perlu menjadi perhatian. Sebagai dasar perancangan gedung gereja, konsep
immaterial diusung untuk menghadirkan citra dari semangat kerohanian Bunda Maria, mengikuti nama
Paroki yang telah dipilih. Ada tiga strategi utama yang digunakan, yaitu rencana bentuk dasar, material
dan tektonika, dan puitisasi cahaya. Melalui strategi tersebut, rancangan Gereja Katolik Santa Maria
mencoba menghasilkan karya arsitektur dengan pemaknaan iman Katolik yang mendalam serta menjawab
tantangan masa kini serta masa yang akan datang.
98
PERTANYAAN RISET
1. Nilai-nilai keruangan seperti apa yang dapat menghadirkan kesan sakral dalam Gereja Katolik?
2. Susunan keruangan seperti apa yang mampu memberikan citra spasial gereja dalam tatanan
yang fungsional dan menjawab kebutuhan ruang pada masa kini?
3. Konsep seperti apakah yang perlu diciptakan pada ruang dalam bangunan gereja untuk
menghadirkan ‘spirit of space' pada bangunan gereja ?

TUJUAN DAN SASARAN


The Seven Sacraments – Spirit of Space berusaha untuk menciptakan imajinasi keruangan yang baru
tentang sebuah gereja kontemporer dan mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur yang membentuk ruang
di dalam maupun luar bangunan. Adapun eksplorasi-eksplorasi ini dilakukan dengan tujuan :
- Menemukan tatanan keruangan yang mampu mencerminkan nilai-nilai spiritual Gereja masa kini.
- Menemukan susunan bentuk dan ruang yang dapat memenuhi kebutuhan liturgis secara simbolis
maupun fungsional, sesuai dengan tuntutan jaman.
- Menghadirkan pengalaman ruang yang puitis dan sakral di dalam bangunan gereja melalui permainan
bentuk dan tektonika.

KONTEKS
Konteks Keuskupan Bandung
Berlokasi di Kota Bukit Indah, Cikampek, Gereja Santa Maria merupakan bagian dari Keuskupan Bandung.
Dengan luas wilayah 23.315,31 km2, Keuskupan Bandung mencakup Kota dan Kabupaten Bandung,
kabupaten Purwakarta dan Karawang di sebelah barat; Subang, Pamanukan, Indramayu di sebelah utara;
Cirebon, Kuningan, Tasikmalaya-Ciamis di sebelah Timur, dan Garut di sebelah selatan.
Gereja Keuskupan Bandung memiliki visi untuk menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan
berbuah bersama masyarakat Jawa Barat. Serta berkomitmen untuk bersama-sama komunitas lintas
agama, ras, suku, dan bahasa yang hadir di Jawa Barat, membangun suatu masyarakat yang bermartabat
dan manusiawi. Semangat ini dilandasi dengan kemurahan hati dan kerelaan berbagi sehingga dapat
berperan aktif dalam peningkatan kesejahteraan material dan spiritual masyarakat. Citra ini adalah
gambaran yang harus dapat disampaikan melalui rancangan bangunan dan komplek gereja, sehingga
gereja dapat diterima setiap kalangan dan memberikan sumbangsihnya demi kepentingan bersama.

99
Konteks Paroki Kota Bukit Indah
Gereja Santa Maria - Paroki Kota Bukit Indah merupakan percabangan dari Gereja Kristus Raja - Paroki
Karawang, yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukit Indah. Dengan jarak antar Paroki yang cukup jauh,
umat Katolik yang tinggal dalam radius Paroki Kota Bukit Indah saat ini terbilang sedikit, hanya berkisar
1500 jiwa (bandingkan dengan jarak antar Paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang hanya berkisar antara
4-12km dengan jumlah umat mencapai 5000-10.000 jiwa per Paroki). Tetapi untuk mengantisipasi potensi
pembangunan kawasan dalam radius Paroki, bangunan gereja dituntut untuk mampu menampung
kapasitas 700-1000 umat dalam satu kali ibadat. Sehingga jika dalam tahun-tahun mendatang kepadatan
umat bertambah, Paroki hanya perlu menambah jadwal ibadat tanpa memperbesar atau membangun
gedung baru. Artinya, gereja juga diharapkan dapat menjadi bangunan yang 'berumur panjang', baik dari
segi tampilan, fungsi, maupun kekokohan bangunan. Sehingga dalam pemilihan bentuk, langgam, dan
material, aspek-aspek ini perlu menjadi perhatian.
Konteks Lokasi Kawasan
Kawasan Kota Bukit Indah merupakan kawasan industrial yang sebagian wilayahnya masuk ke dalam
Kabupaten Purwakarta dan sebagian lagi masuk ke Kota Cikampek. Kawasan ini dilalui dua jalur tol antar
kota, yakni Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Tol Cipularang. Berdiri di kawasan ini, Gereja Santa
Maria memiliki lokasi yang strategis untuk diakses. Tapak Gereja Santa Maria bahkan dapat terlihat jelas
dari Jalan Tol Cikampek menuju Jakarta. Hal ini memberikan kesempatan bagi bangunan gereja untuk
menjadi icon dari kawasannya melalui skala dan proporsi yang tepat.

ilustrasi : tampak samping gereja dengan permainan lengkungan atap dan roster dinding

100
TINJAUAN PUSTAKA
Gereja sebagai sebuah bangunan sakral memiliki dua perspektif mengenai fungsinya. Yang pertama
adalah gereja sebagai Domus Dei (Rumah Tuhan), di mana gereja berperan sebagai sebuah icon sakral.
Dalam perspektif ini, diartikan sebagai gambaran relasi vertikal antara Tuhan dengan umatnya. Perspektif
gereja inilah yang membuat Gereja kaya akan simbol dan ikon. Perspektif yang kedua adalah gereja
sebagai Domus Ecclesiae (Rumah Umat Tuhan), di mana gereja dilihat sebagai tempat berkumpulnya
umat beriman, baik kaum awam maupun tertahbis. Dalam perspektif ini, digambarkan relasi yang sifatnya
horizontal (sosial) dan berorientasi pada nilai-nilai komunitas Kristiani.

Sebagai Domus Dei, klien utama bangunan gereja adalah sakramen. Sakramen berasal dari bahasa Latin,
'sacer', yang berarti sakral. Ada tujuh sakramen dalam Gereja Katolik: [1] Sarkamen Baptis, [2] Sakramen
Krisma (Penguatan), [3] Sakramen Ekaristi, [4] Sakramen Tobat (Pengakuan Dosa), [5] Sakramen
Perkawinan, [6] Sakramen Imamat, dan [7] Sakramen Perminyakan (Pengurapan Orang Sakit). Dari
ketujuh sakramen ini, seseorang akan melalui setidaknya 6 sakramen, karena orang yang sudah menerima
sakramen Perkawinan tidak diperkenankan menjadi imam dengan menerima sakramen imamat.

Ada tiga sakramen yang memiliki pengaruh besar terhadap tata ruang dalam gereja antara lain sakramen
Ekaristi dan sakramen Baptis. Sakramen Ekaristi merupakan sakramen yang paling sering dilakukan di
dalam gedung gereja, melibatkan upacara pengorbanan (atau perjamuan) dan pewartaan. Sakramen
Baptis adalah lambang masuknya seseorang menjadi anggota Gereja, sehingga bak air baptis seringkali
diletakkan di dekat pintu masuk gereja. Pada gereja-gereja yang dibangun sesudah Konsili Vatikan II,
peletakan bak air baptis sudah lebih bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan penggunaannya.

Sebagai Domus Ecclesiae, klien utama bangunan gereja adalah anggota Gereja, sehingga bangunan
ditata dalam zonasi berdasarkan hierarki. Ada area-area yang terbuka untuk umum (profan), ada pula
area-area yang sangat terbatas yang hanya boleh diakses oleh golongan tertahbis (sakral). Area narthex
sebagai area profan, biasanya merupakan area terbuka seperti plaza atau taman pada bagian luar gedung
gereja, namun masih menjadi bagian dari kompleks gereja. Area nave (badan gereja) adalah bagian dari
area sakral gereja, sehingga sebelum memasuki area ini, biasanya akan terdapat selasar dengan wadah
air suci (atau air baptis) yang harus diambil umat sebelum memasuki bagian dalam gereja sebagai simbol
inisiasi atau pembersihan diri. Area nave berisikan kursi umat serta ruang pengakuan dosa. Kedua area ini
(narthex dan nave) adalah area yang dapat dengan bebas diakses awam, meskipun pada area nave
terdapat norma-norma tertentu yang harus dihormati. Area sanctuary adalah area paling sakral dalam
bangunan gereja. Maka dari itu, biasanya area ini dipisahkan dari area nave dengan ditandai perbedaan
peil atau kanopi. Pada gereja-gereja yang dibangun sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965), pemisahan ini
bahkan dibuat lebih solid dengan pagar rendah yang mengelilingi area sanctuary.

Ada dua bentuk ritual yang mempengaruhi morfologi posisi umat dan imam dalam gereja, yaitu ritual
pengorbanan dan ritual pewartaan (Stegers, 2008). Ritual pengorbanan berpusat pada altar. Karena
berupa perjamuan, karakternya ruangnya memiliki kemiripan morfologi dengan sebuah ruang makan yang
axial. Sedangkan ritual pewartaan berpusat pada meja ambo, tempat sabda dibacakan. Karakter ruangnya

101
memiliki kemiripan morfologi dengan sebuah ruang kuliah yang radial dengan pusat di mimbar. Berangkat
dari kedua karakter ini, gedung gereja dari masa ke masa memiliki beragam variasi penataan ruang; dari
yang mengambil bentuk sirkulasi murni hingga gabungan keduanya. Salah satu faktor penentunya adalah
paham liturgi yang berlaku pada masa itu, secara fungsional maupun filosofis.

Ilustrasi : Visualisasi "Gereja sebagai Tubuh Kristus" Sebagai Landasan Pembagian Hierarki pada Denah
Berbentuk Salib Sebelum Konsili Vatikan II
Sumber : Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council
through Liturgy and Architecture. Ignatius Press. San Fransisco.

Setelah Konsili Vatikan II, keterlibatan umat dalam prosesi ibadat menjadi suatu keharusan. Hal ini
mempengaruhi tipologi layout gedung gereja, di mana posisi umat semakin mendekat dengan altar,
sehingga dapat menciptakan visibilitas dan interaksi yang lebih baik antara umat dengan imam.
Karenanya, bentuk-bentuk sirkulasi axial semakin memendek, dan sirkulasi berbentuk radial menjadi
umum digunakan.

Ilustrasi : Skema Rencana Sirkulasi yang Menunjukkan Perkembangan dari Bentuk Axial Menuju Radial
Konsentris
Sumber : Stegers, Rudolf (2008). Sacred Buildings : A Design Manual. Birkhauser. Jerman.

102
ilustrasi : Bangunan Gereja dari view mata burung

METODOLOGI
Studi Keruangan pada Gedung Gereja.

Studi ini mencakup pemahaman pada bentuk dan layout gereja yang mungkin untuk diaplikasikan, serta
sesuai dengan kebutuhan liturgis saat ini. Studi ini juga bertujuan melihat kaitan antara layout ruang
dengan sakralitas ruang dalam gereja, yang meliputi hierarki dan zonasi ruang, skala, dan proporsi.

Simbolisasi Sebagai Upaya Membentuk Identias Gedung Gereja Katolik

Bangunan gereja maupun bangunan keagamaan lainnya selalu memiliki ciri simbol pada bangunannya
sebagai bentuk identifikasi. Simbol ini dapat berupa simbol yang secara eksplisit melambangkan aliran
agama (seperti bentuk salib atau bulan sabit) maupun simbol yang dihadirkan secara implisit. Simbol yang
dimunculkan secara implisit seringkali dibentuk dari suatu tipologi tertentu yang sudah melekat dalam
persepsi masyarakat setempat, seperti bentuk kubah yang identik dengan bangunan masjid.

Akibat konflik antar agama yang seringkali terjadi di Indonesia, gereja sebaiknya menghindari simbol-
simbol Kristen yang terlalu mendominasi, ataupun bentuk-bentuk yang terlalu mewah. Maka simbolisasi
melalui cara implisit adalah jalan lain yang dapat ditempuh dalam menampilkan identifikasi bangunan
gereja.

103
Studi Aplikasi Filosofi Immaterial - Material dalam Konsep Arsitektural.

Studi ini dilakukan berdasarkan hasil kajian literatur mengenai filosofi immaterial dan material. Berdasarkan
kajian tersebut, telah diketahui aspek-aspek apa saja yang perlu dan dapat diterapkan ketika mengusung
konsep immaterial. Aspek-aspek tersebut dipilah dan dirangkai berdasarkan kesesuaiannya dengan
konsep dan massa gedung gereja, serta aspek tektonika dan kesan tampilan yang ingin dihasilkan.

ilustrasi : Amphiteater didepan entrance Gereja.

104
PEMBAHASAN
1. Gereja sebagai Domus Dei
Perancangan gereja Santa Maria berupaya menjaga kualitas sakral melalui rancangan arsitektur yang
puitis dan kaya akan simbolisme Gereja Katolik. Simbol, menurut Thomas Barrie, digunakan manusia
sebagai alat dalam mengekspresikan hal yang tidak dapat diekspresikan dalam konteks mitologi dan
religi.1 Simbol merupakan jembatan antara sosok dengan makna. Maka dari itu, dalam konteks bangunan
gereja, simbol merupakan ungkapan pemujaan kepada Tuhan melalui bentuk-bentuk fisik ciptaan manusia.

Dalam perancangan gereja Santa Maria ada tiga hal utama yang hendak disimbolisasikan dalam
rancangan keruangan. Pertama, perspektif teologi mengenai Bunda Maria sebagai Bunda Perantara untuk
sampai kepada Allah. Kedua, perspektif teologi ketujuh sakramen sebagai sarana yang diberikan kepada
manusia untuk mencapai yang Ilahi. Ketiga, perspektif filosofis immaterial pada arsitektur bangunan sakral.
Elemen-elemen simbolik ini berperan dalam pembentukan karakter khusus yang menunjukan hakekat dan
falsafah Gereja Katolik. Elemen simbolik ini juga memberikan makna yang secara sadar dan tidak sadar
turut membentuk nuansa sakral pada gereja sebagai rumah Allah.

a. Simbolisasi Immaterial Bunda Maria

Sesuai dengan namanya, gereja ini mengambil figur Maria sebagai figur panutan dalam mencapai kepada
yang Ilahi. Dengan moto "Per Mariam ad Christum", yang artinya "Melalui Maria Sampai Kepada Kristus",
Gereja ini berupaya meneladani figur feminin Maria, serta kualitas spiritual yang dimilikinya.

Kesan feminin ditampilkan lewat bentuk yang elegan dan tidak agresif. Bentuk ini ditampilkan dengan figur
lengkung yang lembut dan luwes, garis-garis yang halus, dan detil tektonika yang mempercantik sudut-
sudut gereja.

Sedangkan kualitas immaterial ditekankan keberadaannya lewat material. Kualitas immaterial diterapkan
pada bagian tubuh bangunan, lambang dari tubuh Gereja itu sendiri. Selubung tubuh bangunan dibuat dari
material bata roster yang disusun berjarak, massa bangunan jadi terkesan ringan, cahaya dapat
menembus ke dalam bangunan melalui celah-celah roster dan menghasilkan siluet yang terus bergeser
sepanjang hari. Dari situ diharapkan terbaca puitisasi cahaya yang mendukung suasana sakral di dalam
bangunan gereja.

b. Simbolisasi Ketujuh Sakramen

Tujuh sakramen yang terdapat pada Gereja Katolik merupakan tanda dan sarana kehadiran Allah dalam
babakan hidup manusia, dari lahir, tumbuh dan menjadi dewasa, hingga meninggal. Gambaran babak-
babak kehidupan ini hendak disampaikan dalam desain gereja, baik sebagai identitas terhadap
kawasannya, maupun dalam suasana ruang bagi umat di dalamnya.

1 Barrie, Thomas (1996). Spiritual Path, Sacred Place : Myth, Ritual, and Meaning in Architecture. Shambala. Boston

105
Terinspirasi dari lukisan karya Rogier van der Weyden, Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450), gereja
Santa Maria dirancang dengan mengadaptasi estetika bentuk pada lukisan tersebut. Seven Sacraments
Altarpiece menggambarkan ketujuh sakramen dalam potongan melintang pada selasar gereja Gotik.
Namun, jika gereja Gotik dirancang dengan selasar yang tinggi di bagian tengah dan rendah di kanan dan
kirinya, maka gereja Santa Maria dibentuk dengan selasar yang berjenjang ketinggiannya. Atap yang
berundak dan berjenjang ini menggambarkan Sakramen-Sakramen yang ada pada babakan kehidupan
manusia dan proses perjalanan iman yang bertahap, satu per satu, dan tidak statis.

ilustrasi - Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450). Karya Rogier van der Weyden.
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Seven_Sacraments_Rogier.jpg

Tampak samping
bangunan Gereja
sebagai representasi
The Seven Sacraments

106
Gambar 1 - Diagram komposisi Ketujuh Sakramen ke Dalam Bentuk Arsitektural
Sumber : Bangkit : Buletin Paroki Salib Suci Purwakarta. Edisi 2014 September - Oktober - 72 \
Tahun XVII

107
2. Gereja sebagai Domus Ecclesiae
Dalam perancangan gereja Santa Maria, bentuk dasar yang dipilih mengambil bentuk persegi mengikuti
bentuk tapak yang tersedia. Bentuk memanjang ini memberi peluang yang lebih besar untuk membangun
nuansa sakral melalui sekuens linear. Namun, koneksi visual antara umat dan imam menjadi terbatas,
terutama pada titik-titik terjauh kursi umat dari altar.

Gambar 2 - Bentuk Denah yang Diambil dari Figur Salib


Sumber : Bangkit : Buletin Paroki Salib Suci Purwakarta. Edisi
2014 September - Oktober - 72 \ Tahun XVII

Bentuk Salib, yang memiliki nilai Filosofi gereja sebagai 'tubuh Allah', dapat menjadi solusi dari
permasalahan ini. Bagian kepala salib difungsikan sebagai area sanctuary, area paling sakral pada gereja.
Sedangkan bentang pendek (tempat meletakkan tangan) dan bentang panjang (tempat meletakkan kaki)
digunakan untuk area nave atau tempat duduk umat, lambang umat sebagai bagian dari tubuh Gereja dan
Allah. Secara keruangan, bentuk salib memiliki jarak pandang yang lebih baik dibandingkan bentuk axial
tunggal, karena memiliki bentang panjang dan pendek yang proporsional. Pada gereja-gereja yang
dibangun sebelum Konsili Vatikan II, bentangan pendek pada denah berbentuk salib seringkali dirancang
untuk area sanctuary, sehingga mengurangi kapasitas tempat duduk umat di dalam gereja. Pada gereja

108
masa kini, kaki salib berbentang pendek dapat digunakan untuk tempat duduk umat, sehingga dapat
mengurangi jarak terjauh pada bentang panjang bangunan. Selain itu, penambahan level pada tempat
duduk umat menjadi dapat memaksimalkan penggunaan ruang secara vertikal. Penambahan level ini
disesuaikan dengan kenyamanan jarak pandang umat di dalam ruangan, serta tidak mengganggu skala
megah pada area altar.

Area ruang luar pada gereja merupakan area narthex, perlambangan transisi dari 'dunia' ke 'rumah Allah',
ruang liminal, ambang menuju perubahan dan hidup yang baru. Begitu pula dengan pintu gereja yang
melambangkan titik perubahan atau konversi dalam keseluruhan proses perjalanan.2 Ketika memasuki
area ini, seseorang seharusnya sudah dapat menangkap adanya perjalanan yang akan dimulai melalui
bentuk transisi dan hierarki yang jelas. Namun, dengan luasan tapak yang terbatas, area narthex ini tidak
dapat dibuat luas, sehingga proses transisi harus bergantung pada jarak antara kualitas ruang dalam dan
luar, ketimbang jarak fisiknya.

Ruang luar pada gereja juga mengemban fungsi non-liturgis dan kegiatan sosial lainnya. Narthex, sebagai
area paling profan, merupakan area yang paling potensial untuk dieksplorasi fungsi keruangannya
sehingga dapat menghasilkan bentuk-bentuk baru dari tipologi yang sudah ada. Rupa area narthex dapat
ditentukan berdasarkan fungsinya, dan aktivitas apa saja yang mungkin ditampung di area ini. Dalam
kasus gereja Santa Maria, area narthex juga memiliki peran perantara secara teknis, yakni antara jalan
yang peil nya lebih rendah, dan area gereja yang memiliki peil lebih tinggi. Dengan memahami kondisi ini,
area narthex dapat dikembangkan menjadi ruang perantara yang bukan hanya estetis, tetapi juga
fungsional.

ilustrasi : Suasana Malam

2Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council through Liturgy and
Architecture. Ignatius Press. San Fransisco. Hal. 138

109
Ilustrasi : Amphitheater sebagai area narthex
Sumber : Dokumentasi Paroki

JAWABAN PERTANYAAN RISET


1. Nilai-nilai keruangan seperti apa yang dapat menghadirkan kesan sakral dalam Gereja Katolik?

Pertama, melalui hierarki ruang maupun massa bangunan. Meski gereja-gereja masa kini menipiskan jarak
antar hierarki demi kesatuan antara umat dengan imam, namun hierarki itu tetap ada, terlihat dan terasa.
Ada satu pusat, orbit, beserta dengan isi semestanya. Dengan demikian kesan sakral tetap ada dan
terpusat kepada 'Yang Tunggal'.

Kedua, melalui simbolisasi. Simbol memberikan asosiasi antara yang materi dengan yang immateri. Tidak
seperti ikon religius yang menandai kesakralan secara tersurat, penerapan simbol dalam arsitektur
memberikan kualitas sakral dalam bentuk pengalaman tersirat.

2. Susunan keruangan seperti apa yang mampu memberikan citra sakral gereja melalui tatanan
spasial yang fungsional dan menjawab kebutuhan ruang pada masa kini?

Sebuah gereja harus dirancang dengan kaidah-kaidah liturgi yang berlaku. Kaidah-kaidah ini memiliki sifat
seperti kerangka yang menjaga agar gereja tidak kehilangan sakralitas serta fungsi utamanya sebagai
sebuah tempat ibadah. Gereja tidak lagi memiliki kewajiban terhadap style tertentu selama mampu
mewadahi ritual-ritualnya dan mampu mencerminkan simbol-simbol Kristiani.

Penataan massa bangunan dapat disesuaikan dengan bentukan tapak dan efisiensi ruang yang
digunakan, mengingat kebutuhan ruang luar yang juga cukup luas. Yang penting untuk diperhatikan adalah

110
[1] ada sumbu dan orientasi yang jelas untuk menggambarkan perjalanan menuju yang sakral; [2]
pengaturan jarak pandang agar altar dapat terlihat dari segala arah, serta dilengkapi dengan penataan
akustik yang memadai. Isolasi visual atau akustik dapat menyebabkan konsentrasi umat terpecah selama
perayaan berlangsung.

Perancangan gereja juga harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk kegiatan non-liturgis. Saat ini,
Gereja didorong untuk terus membangun program pewartaan kreatif diluar ritual-ritual liturgis. Hal ini guna
membangun Gereja yang memiliki relasi 'vertikal' yang baik, namun juga relasi 'horizontal' yang kokoh.
Dengan demikian, ruang-ruang tempat umat berkumpul menjadi penting dalam membangun sebuah
Gereja sebagai kesatuan umat Allah.

3. Konsep seperti apakah yang perlu diciptakan pada ruang dalam bangunan gereja untuk
menghadirkan ‘spirit of space' pada bangunan gereja Santa Maria?

Pertama, berangkat dari ide mengenai Maria, gedung gereja dapat dirancang dengan karakter yang
feminim, sesuai dengan figur Maria sebagai seorang ibu. Figur feminim ini dapat dikembangkan melalui
garis-garis lengkung, figure yang ringan, material yang membumi, serta nuansa keruangan yang hangat.

Kedua, konsep tujuh Sakramen diterapkan dalam rancangan untuk menggambarkan perjalanan spiritual
yang panjang dan berjenjang. Penerapan konsep ini mengadaptasi tipologi gereja Gotik, seperti dalam
lukisan Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450), dalam konfigurasi yang berbeda. Simbolisasi sakramen
dihadirkan lewat ketujuh lengkungan pada langit-langit dan atap gereja, yang semakin mendekati altar
semakin tinggi.

ilustrasi : Tampak bangunan Gereja dari kejauhan

111
VISI RANCANGAN
Dalam skala kawasan, rancangan ini hendak berperan sebagai icon kawasan, melihat potensi tapaknya
yang strategis. Sedangkan untuk rancangan gedung gereja Santa Maria memiliki visi untuk menjembatani
fungsi gereja sebagai Domus Dei dan Domus Ecclesiae. Sehingga gedung gereja menyediakan kualitas
ruang sakral sekaligus memenuhi fungsinya mewadahi peribadatan dan aktivitas sosial lainnya.

Konsep bentuk Gereja Santa Maria meminjam sebuah karya seni dan nilai filosofi Kristiani dalam
aplikasinya. Bentuknya terinspirasi dari sebuah lukisan karya Rogier van der Weyden yang berjudul The
Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450). Imajinasi bentuk lengkungan yang menaungi event dan
moment ketujuh Sakramen mengilhami tujuh lengkungan pada atap bangunan. Susunan ini membangun
gradasi ruang dari skala manusia hingga skala megah. Altar, dengan permainan dinding vertikal,
ditempatkan sebagai puncak sekaligus klimaks dari urutan susunan tujuh lengkungan yang terjadi pada
ruang dalam gereja.

DESKRIPSI RANCANGAN
Tuntutan program untuk gereja Santa Maria terdiri dari gedung gereja, ruang luar atau plaza, taman doa,
pastoran, dan kafetaria. Besarnya kebutuhan ruang dan luasan tapak yang terbatas mendorong program
ditata secara vertikal, dengan upaya-upaya untuk mempertahankan skala megah yang hendak dicapai.
Begitu pula dengan ruang luar; luas yang terbatas membuat ruang luar perlu mengambil bentuk yang
signifikan dan tepat sasaran, untuk itu, bentuk amphitheater dipilih untuk area narthex. Sedangkan
bangunan gereja dan pastoran dirancang mengikuti bentuk tapak untuk efisiensi ruang.

Bangunan gereja terdiri dari dua lantai utama, untuk kafetaria di lantai bawah dan untuk gereja di lantai
atas. Bangunan gereja sendiri memiliki lantai podium di ketiga sisi area umat, pada sudut-sudut denah
yang berbentuk salib. Pada level lantai gereja juga terdapat taman doa Santa Maria, dan sebuah jembatan
yang menghubungkan gedung gereja dan gedung pastoran.

Gereja

Kafetaria

ilustrasi : Potongan Memanjang Gereja Santa Maria

112
Bangunan gereja terdiri dari tiga zona. Di bagian paling luar terdapat selasar dan foyer yang termasuk area narthex,
sebagai perantara bagi ruang sakral dan ruang non-sakral. Memasuki badan gereja atau area nave yang berbentuk
salib, terdapat jajaran kursi umat dan kursi paduan suara di sepanjang kaki salib. Sedangkan kepala salib
merupakan area sanctuary, yakni altar dan panti imam yang merupakan area paling sakral dan pusat dari kegiatan
peribadatan.

Dengan penataan program yang cenderung vertikal, ruang perantara menjadi aspek yang perlu diperhatikan,
terutama antara gedung gereja dan area di sekitarnya. Di bagian depan bangunan gereja terdapat sebuah
amphitheater yang berfungsi sebagai ruang transisi dari jalan ke level gereja, sekaligus ruang publik bagi umat.
Tidak jauh dari amphitheater juga terdapat sebuah taman dan playground untuk anak-anak. Sebuah tangga dan
foyer memisahkan area drop-off dan pintu masuk gedung gereja, di situ ditempatkan bak air suci dan sebauh patung
Pieta. Selasar luas juga memisahkan memisahkan tangga menuju kafetaria dengan pintu samping gereja. Selasar
menjadi cara untuk mempertahankan kesan “berada di level dasar” dari ruang dalam. Ruang-ruang transisi ini
ditujukan untuk membentuk gradasi skala yang nyaman bagi manusia ketika beraktivitas di sekitar bangunan gereja
yang sangat tinggi.

ilustrasi : Suasana ruang dalam Gereja

113
Bagian tubuh gereja merupakan ruangan berbentuk
memanjang dengan sirkulasi linear menghadap
altar. Sisi kanan dan kirinya dibatasi dinding
'bernafas' yang terbuat dari susunan roster dan
glass block hingga ke langit-langit, membentuk
lubang-lubang cahaya dan udara. Langit-langit
gereja memiliki ketinggian yang berundak, berupa
tujuh lengkungan yang semakin mendekati altar
ketinggiannya semakin bertambah, tujuh
melambangkan ketujuh sakramen dalam Gereja
Katolik, dan undakan-undangan melambangkan
babakan kehidupan manusia hingga kembali kepada
Tuhan. Di ujung badan gereja, terdapat altar yang
membelakangi jajaran bidang vertikal berlapis
travertine. Di sela setiap bidang terdapat lubang
cahaya yang membiarkan cahaya matahari masuk
pada waktu-waktu tertentu. Detail dan permainan
cahaya pada bangunan membuat ruang dalam
gereja terlihat hangat.

114
REFERENSI
Barrie, Thomas (1996). Spiritual Path, Sacred Place : Myth, Ritual, and Meaning in Architecture. Shambala.
Boston
Stegers, Rudolf (2008). Sacred Buildings : A Design Manual. Birkhauser. Jerman.
Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council
through Liturgy and Architecture. Ignatius Press. San Fransisco.

115
RESEARCH BY DESIGN
Percaya bahwa :
“ Arsitektur merangkai konflik melalui kecerdasannya,
mempertautkannya dalam batas material dan immaterial;
bumi, ruang, manusia adalah jawabannya.”

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H


Mohon Maaf Lahir dan Batin

Terima kasih sudah membaca seluruh rangkaian tulisan ini.

Agustinus Sutanto
adalah Dosen Tetap Program Studi Arsitektur - Universitas Tarumanagara, Jakarta
menyelesaikan Pendidikan S - 1 (Ir.) di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara.
Pendidikan S - 2 (M.Arch.) di Bartlett School of Architecture, UK.
Pendidikan S - 2 (MSc.) di Bartlett School of Architecture, UK.
Pendidikan S - 3 (PhD. by Design) di Sheffield University, UK.
Prinsipal Arsitek pada PT. MiMa Archilab – Jakarta.
Anggota TABG-AP DKI Jakarta.
Profesi sekarang adalah sebagai Pendidik, Arsitek dan Penulis / WA 08787-707-1400

2020

Anda mungkin juga menyukai