Tugas Individu
Dosen:
Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT.
Dr. Arina Hayati, ST. MT.
Oleh:
Kadek Ary Wicaksana
3212100083
Ringkasan
1. Body, Memory, and Architecture oleh Kent C. Bloomer dan Charles W. Moore
Teori ini berangkat dari konflik antara arsitektur moderen dan post-moderen, dimana Bloomer
dan Moore mencoba untuk mengambil sudut pandang yang baik dari keduanya, alih-alih
menentangnya. Arsitektur kemudian dianalogikan sebagai tubuh manusia dan bagaimana ia
merespon lingkungannya. Terdapat empat elemen, yakni place, path, pattern dan edge, yang
Massa bangunan yang besar sudah menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan
yang besar, dengan bagianbagiannya dapat menjadi satu kesatuan yang menyeluruh.
Unsur seni tidak lagi menjadi pertimbangan dan ditinggalkan.
Fasad tidak lagi harus menunjukkan apa yang terdapat dalam bangunan. Dalam mendesain,
interior dan eksterior bangunan merupakan proyek yang terpisah. Interior lebih mengacu
kepada programming dan kebutuhan ruang, sedangkan eksterior hanya menunjukkan
kestabilitasan lingkungan terbangun tersebut
Kuantitas lebih dipentingkan daripada kualitas, sehingga dampak yang ada terpisah dari
kualitas itu sendiri.
Dengan segala kompleksitasnya, bangunan menjadi terlepas dari konteks yang ada.
5. Towards a Critical Regionalism: Six Points for an Architecture of Resistance oleh
Kenneth Frampton
Teori ini merupakan respon, atau lebih kepada resistansi, Kenneth Frampton terhadap
moderenisme. Melalui teori ini, Kenneth Frampton mencoba mencari sebuah tipe arsitektur baru
yang mensintesiskan identitas, sejarah, dan kultur sebuah daerah dengan mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Untuk mencapai keintegrasian antara tradisional dan
moderenitas ini, Frampton mengusulkan sebuah rangka kerja teoretis dari masing-masing
karakter yang mencerminkan Critical Regionalism, yang terdiri dari 6 poin, yaitu : Culture and
Civilization, The Rise and Fall of the Avant-Garde, Critical Regionalism and World Culture, The
Resistance of the Place Form, Culture Versus Nature: Topography, Context, Climate, Light, and
Tectonic Form dan The Visual Versus the Tactile. Keenam poin ini bukanlah poin-poin yang harus
dicapai dalam critical regionalism, namun ia lebih kepada cara Frampton mengkronologiskan
fenomena-fenomena yang terjadi ketika itu. Critical regionalism merupakan harapan Frampton
akan cara berarsitektur yang selalu bertujuan untuk memberikan pengalaman ruang yang baik,
alih-alih dengan buta mengikuti pemikiran moderenisme dan post-moderenisme saat itu.
6. The Architectural Paradox oleh Bernard Tschumi
Teori ini merupakan cerminan pemikiran, atau lebih kepada pertanyaan-pertanyaan, Tschumi
terhadap ruang. Tschumi mengelaborasikan kegandaan ruang yang merujuk kepada kondisi
pikiran, yakni bagaimana ruang berkomunikasi dengan pikiran, dan kondisi indera manusia, yakni
lebih kepada pengalaman seseorang dalam ruang tersebut. Tschumi kemudian menggunakan
piramida dan labirin sebagai analogi. Piramida merupakan hasil pemikiran rasional dan
pembahasaan manusia. Ia merupakan obyek arsitektur yang abstrak; dapat terwujud secara
konkret, atau murni hanya sebagai konsep dalam pikiran manusia. Di sisi lain, ruang merupakan
hal yang nyata dan dapat mempengaruhi indera. Tschumi menggunakan labirin sebagai
pendekatan kedua; bagaimana seseorang menggunakan pengalaman sensorinya dalam
mendefinisikan ruang. Paradoks yang dimaksud Tschumi kemudian adalah ketika seorang arsitek
merancang ruang, kita tidak bisa memikirkan dan bertanya tentang sifat ruang sekaligus
mengalami dan merancang ruang yang nyata. Apa yang dilakukan saat reasoning tidak selalu
sinkron dengan apa yang terjadi di dunia nyata, karena ruang mengandalkan pengalaman
seseorang dan pengalaman ini bukanlah sesuatu yang dapat dikontrol oleh arsitek. Maka ketika
kita ingin merancang berdasarkan pengalaman ruangnya kita harus memandang dan memahami
ruang sebagai suatu obyek, untuk pada akhirnya digunakan sebagai alat reasoning. Akibat
paradoks ini maka akan selalu ada seperti sejenis ketidakpuasan dalam arsitektur, karena pasti
akan ada sesuatu yang terlewatkan, baik secara kenyataanya maupun secara konseptual.
7. Metabolism in Architecture oleh Kisho Kurokawa
Dalam teori ini, Kisho Kurokawa menganalogikan arsitektur dan kota sebagai sesuatu yang hidup
dan selalu bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Teori ini, dan gerakan
Metabolisme secara umum, muncul di Jepang pada periode pasca perang dunia, ketika banyak
area, tidak hanya di Jepang, yang luluh lantak akibat peperangan. Kurokawa mengusulkan konsep
metabolisme sebagai suatu sistem urbanisme yang baru, yang berfokus terhadap fleksibilitas dan
sifat adaptif sebuah lingkungan terbangun, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masingmasing individu atau kelompok, serta pergeseran-pergeseran konteks yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.
8. Post-Modern Architecture oleh Charles Jencks
Charles Jencks dengan teori post-moderen ini merupakan respon dari apa yang disebut kematian
arsitektur moderen dengan dihancurkannya Pruitt-Igoe. Jencks menuliskan kematian ini terjadi
karena kegagalan moderenisme dalam memandang konteks dan dalam mempertimbangkan
aspek psikis penggunanya. Arsitektur post-moderen kemudian menjadi solusi dimana Jencks
beranggapan bahwa arsitektur harus dapat berbicara terhadap penggunanya melalui semiotika;
sehingga lahir analogi arsitektur sebagai bahasa. Jencks juga menuliskan bahwa dasar dan tujuan
seorang arsitek adalah agar makna yang paling dalam pun dapat diekspresikan dengan baik, sama
baiknya dengan bagaimana ia mengekspresikan idenya
9. From Principles to Practice: Creating a Sustaining Architecture for the Twenty-First
Century oleh William McDonough and Michael Braungart
Teori McDonough dan Braungart ini merupakan respon terhadap konteks yang sangat hangat
dibahas era kini, yakni perubahan iklim dan pemanasan global. Namun, teori ini tidak sekedar
mengenai bagaimana arsitektur dapat merespon terhadap isu ini dan mencegah lingkungan
terbangun nantinya menjadi beban tambahan, melainkan bagaimana arsitektur itu dapat
menjadi solusi dari masalah itu sendiri. Contohnya, alih-alih mempertimbangkan cara
mengurangi kontribusi bangunan akan CO2 ke atmosfer, misalnya, ia menjadi penyembuh
atmosfer itu sendiri dengan menyerap CO2 di sekitarnya, atau dengan memproduksi O2 lebih
banyak. Teori keberlanjutan ini memiliki sepuluh prinsip yang dinamakan The Hannover
Principles, dengan poin keenam yang paling mendapat penekanan (khusus di manifesto ini).
Dielaborasikan lebih lanjut, terdapat dua siklus dalam mencapai keberlanjutan ini. Teknik
pertama adalah dengan mempertimbangkan siklus teknis, seperti bagaimana material banguan
diproduksi, didaur ulang, atau digunakan kembali. Teknik kedua adalah dengan
mempertimbangkan siklus biologis, yang memandang bangunan itu layaknya organisme hidup,
dan memikirkan lebih jauh bagaimana ia akan mati dan menjadi katalis bagi organisme lainnya.