Anda di halaman 1dari 6

Teori Arsitektur

Tugas Individu
Dosen:
Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT.
Dr. Arina Hayati, ST. MT.

Oleh:
Kadek Ary Wicaksana
3212100083

Pengertian Teori Arsitektur secara Personal


Teori arsitektur adalah pemikiran dalam bidang arsitektur yang didapatkan setelah melakukan
pengamatan secara menyeluruh terhadap hal-hal apapun yang menyangkut bidang tersebut.
Pemikiran-pemikiran ini dapat berupa hipotesa, pengharapan ataupun prediksi-prediksi, yang
pada dasarnya memiliki keluwesan, yakni selalu mengalami perubahan seiring berjalannya
waktu. Menurut Wayne O. Attoe dalam bukunya Theory, History, and Criticism of Architecture,
karena kesintetisan teori arsitektur inilah, ketika digunakan sebagai pedoman dalam merancang,
ia memang akan menuntun sang perancang sesuai dengan pemikiran-pemikiran tersebut, namun
ia tak dapat menjamin prediksi-prediksi yang dielaborasikan akan didapatkan.
Menurut bukunya yang berjudul What is Architectural Theory, Hanno-Walter Kruft menuliskan
bahwa teori arsitektur terdiri dari sistem tertulis manapun mengenai arsitektur, baik
komprehensif maupun parsial, yang berbasis pada kategori estetika.
Pemahaman akan teori-teori arsitektur yang ada sangatlah krusial bagi semua perancang dan
kritik yang bergelut di bidang ini. Bagi perancang, bahkan ketika sebuah teori terbukti telah
mengalami kegagalan sebelumnya, ia selalu dapat digunakan sebagai alat untuk pembelajaran
akan kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut dalam rancangan kita
sendiri, sehingga kemudian dapat dihindari di masa sekarang dan yang akan datang.
Dalam pemaparan Attoe, teori arsitektur dapat dibagi tiga, yakni: what architecture is (theory in
architecture), how best to design (theory of architecture), dan what architecture should do
(theory about architecture).
What architecture is merupakan teori mengenai apa-apa saja syarat agar sesuatu dapat disebut
sebagai arsitektur. Ia juga membahas mengenai apa-apa saja yang membedakan arsitektur dari
bangunan, dan unsur serta faktor arsitektur dan bagaimana rajutannya. Poin how best to design
membahas mengenai proses-proses dalam berarsitektur. Secara umum terdapat empat cara
memandang arsitektur dalam teori ini, yakni arsitektur sebagai ilmu, arsitektur sebagai seni,
arsitektur seebagai paduan antara seni dan ilmu, serta arsitektur sebagai bahasa. Poin
selanjutnya yakni what architecture should do, membahas mengenai pertalian antara arsitektur
dan masyua
Selain menjadi pedoman dan cara pandang dalam merancang, menurut Attoe, teori arsitektur
juga dapat digunakan sebagai dasaran dalam mengkritisi, baik sebuah lingkungan terbangun atau
malah teori-teori lainnya yang mungkin berhubungan. Ketika kritik arsitektur dilakukan dengan
menggunakan teori sebagai dasaran, maka ia akan terbebas dari kesubyektifan.

Ringkasan
1. Body, Memory, and Architecture oleh Kent C. Bloomer dan Charles W. Moore
Teori ini berangkat dari konflik antara arsitektur moderen dan post-moderen, dimana Bloomer
dan Moore mencoba untuk mengambil sudut pandang yang baik dari keduanya, alih-alih
menentangnya. Arsitektur kemudian dianalogikan sebagai tubuh manusia dan bagaimana ia
merespon lingkungannya. Terdapat empat elemen, yakni place, path, pattern dan edge, yang

merupakan usulan susunan bagaimana lingkungan terbangun seharusnya dikonfigurasi untuk


memberikan respon yang baik terhadap lingkungan sekitar. Selain itu, Bloomer dan Moore juga
memiliki pemikiran dengan menganalogikan proses dalam mendesain arsitektur sebagai proses
dalam merancang koregorafi tari. Sebuah tarian memberikan dampak psikologis terhadap
penontonnya melalui berbagai gerakan yang telah dikoreografikan. Begitu juga dengan
arsitektur, yang diharapkan dapat memberikan kesan mendalam terhadap seseorang ketika
berada di dalamnya melalui gerakan-gerakan yang memberikan pengalaman ruang tersendiri.
2. Towards a New Architecture: Folding oleh Jeffery Kipnis
Sama seperti Bloomer dan Moore, Kipnis berangkat dari pemikiran kritis terhadap pemikiran
sebelumnya. Namun yang menjadi perbedaan adalah Kipnis secara eksplisit menolak pemikiran
moderenisme dan post-moderenisme. Ia menginginkan sebuah pemikiran baru yang
memungkinkan untuk penggunaan metode merancang yang lebih bebas, heterogen, serta benarbenar memerhatikan konteks dalam prosesnya. Folding architecture diharapkan dapat
memindahkan fokus semiotika dari post-moderen ke arah bentukan-bentukan yang monolitik,
dengan geometri yang tidak merepresentasikan sesuatu, dengan tetap mempertimbangkan
aspek teknologi, tipologi, dan konteks. Pemikiran ini kemudian melahirkan beberapa fokusan
dalam folding architecture, yakni vastness, blankness, pointing, incongruity, dan intensive
incoherence, yang pada intinya adalah hibrida-hibrida dari fokus pada moderenisme dan postmoderenisme
3. Classicism is Not a Style oleh Demetri Porphyrios
Melalui tulisan ini, Demetri Porphyrios mengelaborasikan mengenai perkembanganperkembangan arsitektur klasik dan bagaimana arsitektur vernakular memengaruhi cara
berarsitektur. Melalui pendapat bahwa klasikisme bukanlah sebuah langgam, Porphyrios
menuliskan mengenai bagaimana prinsip-prinsip mendasar dalam arsitektur klasik atau
vernakular masih ada hingga kini. Namun, fenomena yang disayangkan adalah arsitektur klasik
bersifat sebagai ornamen atau tempelan terhadap arsitektur yang ada saat ini. Hal inilah yang
kemudian menyimpulkan bahwa klasikisme bukan merupakan sebuah langgam dan tidak
seharusnya diperlakukan sebagai langgam dengan menempelkan dan menjadikannya elemen
dekoratif, karena ia lebih merupakan sebuah cara pandang atau cara berpikir dalam
berarsitektur.
4. Bigness: or the Problem of Large oleh Rem Koolhaas
Teori ini merupakan pengembangan pemikiran berarsitektur oleh Rem Koolhaas yang lebih
spesifik, yakni dalam pendekatannya terhadap urbanisme. Koolhaas menuliskan bahwa
arsitektur dengan cara-cara lama, dengan tatanan klasik, tidak lagi dapat menjawab kebutuhan
di era urbanisme. Karenanya, teori mengenai Bigness ini muncul, dengan lima teoremanya
yakni:

Massa bangunan yang besar sudah menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan
yang besar, dengan bagianbagiannya dapat menjadi satu kesatuan yang menyeluruh.
Unsur seni tidak lagi menjadi pertimbangan dan ditinggalkan.
Fasad tidak lagi harus menunjukkan apa yang terdapat dalam bangunan. Dalam mendesain,
interior dan eksterior bangunan merupakan proyek yang terpisah. Interior lebih mengacu
kepada programming dan kebutuhan ruang, sedangkan eksterior hanya menunjukkan
kestabilitasan lingkungan terbangun tersebut
Kuantitas lebih dipentingkan daripada kualitas, sehingga dampak yang ada terpisah dari
kualitas itu sendiri.
Dengan segala kompleksitasnya, bangunan menjadi terlepas dari konteks yang ada.
5. Towards a Critical Regionalism: Six Points for an Architecture of Resistance oleh
Kenneth Frampton
Teori ini merupakan respon, atau lebih kepada resistansi, Kenneth Frampton terhadap
moderenisme. Melalui teori ini, Kenneth Frampton mencoba mencari sebuah tipe arsitektur baru
yang mensintesiskan identitas, sejarah, dan kultur sebuah daerah dengan mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Untuk mencapai keintegrasian antara tradisional dan
moderenitas ini, Frampton mengusulkan sebuah rangka kerja teoretis dari masing-masing
karakter yang mencerminkan Critical Regionalism, yang terdiri dari 6 poin, yaitu : Culture and
Civilization, The Rise and Fall of the Avant-Garde, Critical Regionalism and World Culture, The
Resistance of the Place Form, Culture Versus Nature: Topography, Context, Climate, Light, and
Tectonic Form dan The Visual Versus the Tactile. Keenam poin ini bukanlah poin-poin yang harus
dicapai dalam critical regionalism, namun ia lebih kepada cara Frampton mengkronologiskan
fenomena-fenomena yang terjadi ketika itu. Critical regionalism merupakan harapan Frampton
akan cara berarsitektur yang selalu bertujuan untuk memberikan pengalaman ruang yang baik,
alih-alih dengan buta mengikuti pemikiran moderenisme dan post-moderenisme saat itu.
6. The Architectural Paradox oleh Bernard Tschumi
Teori ini merupakan cerminan pemikiran, atau lebih kepada pertanyaan-pertanyaan, Tschumi
terhadap ruang. Tschumi mengelaborasikan kegandaan ruang yang merujuk kepada kondisi
pikiran, yakni bagaimana ruang berkomunikasi dengan pikiran, dan kondisi indera manusia, yakni
lebih kepada pengalaman seseorang dalam ruang tersebut. Tschumi kemudian menggunakan
piramida dan labirin sebagai analogi. Piramida merupakan hasil pemikiran rasional dan
pembahasaan manusia. Ia merupakan obyek arsitektur yang abstrak; dapat terwujud secara
konkret, atau murni hanya sebagai konsep dalam pikiran manusia. Di sisi lain, ruang merupakan
hal yang nyata dan dapat mempengaruhi indera. Tschumi menggunakan labirin sebagai
pendekatan kedua; bagaimana seseorang menggunakan pengalaman sensorinya dalam
mendefinisikan ruang. Paradoks yang dimaksud Tschumi kemudian adalah ketika seorang arsitek
merancang ruang, kita tidak bisa memikirkan dan bertanya tentang sifat ruang sekaligus
mengalami dan merancang ruang yang nyata. Apa yang dilakukan saat reasoning tidak selalu
sinkron dengan apa yang terjadi di dunia nyata, karena ruang mengandalkan pengalaman
seseorang dan pengalaman ini bukanlah sesuatu yang dapat dikontrol oleh arsitek. Maka ketika

kita ingin merancang berdasarkan pengalaman ruangnya kita harus memandang dan memahami
ruang sebagai suatu obyek, untuk pada akhirnya digunakan sebagai alat reasoning. Akibat
paradoks ini maka akan selalu ada seperti sejenis ketidakpuasan dalam arsitektur, karena pasti
akan ada sesuatu yang terlewatkan, baik secara kenyataanya maupun secara konseptual.
7. Metabolism in Architecture oleh Kisho Kurokawa
Dalam teori ini, Kisho Kurokawa menganalogikan arsitektur dan kota sebagai sesuatu yang hidup
dan selalu bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Teori ini, dan gerakan
Metabolisme secara umum, muncul di Jepang pada periode pasca perang dunia, ketika banyak
area, tidak hanya di Jepang, yang luluh lantak akibat peperangan. Kurokawa mengusulkan konsep
metabolisme sebagai suatu sistem urbanisme yang baru, yang berfokus terhadap fleksibilitas dan
sifat adaptif sebuah lingkungan terbangun, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masingmasing individu atau kelompok, serta pergeseran-pergeseran konteks yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.
8. Post-Modern Architecture oleh Charles Jencks
Charles Jencks dengan teori post-moderen ini merupakan respon dari apa yang disebut kematian
arsitektur moderen dengan dihancurkannya Pruitt-Igoe. Jencks menuliskan kematian ini terjadi
karena kegagalan moderenisme dalam memandang konteks dan dalam mempertimbangkan
aspek psikis penggunanya. Arsitektur post-moderen kemudian menjadi solusi dimana Jencks
beranggapan bahwa arsitektur harus dapat berbicara terhadap penggunanya melalui semiotika;
sehingga lahir analogi arsitektur sebagai bahasa. Jencks juga menuliskan bahwa dasar dan tujuan
seorang arsitek adalah agar makna yang paling dalam pun dapat diekspresikan dengan baik, sama
baiknya dengan bagaimana ia mengekspresikan idenya
9. From Principles to Practice: Creating a Sustaining Architecture for the Twenty-First
Century oleh William McDonough and Michael Braungart
Teori McDonough dan Braungart ini merupakan respon terhadap konteks yang sangat hangat
dibahas era kini, yakni perubahan iklim dan pemanasan global. Namun, teori ini tidak sekedar
mengenai bagaimana arsitektur dapat merespon terhadap isu ini dan mencegah lingkungan
terbangun nantinya menjadi beban tambahan, melainkan bagaimana arsitektur itu dapat
menjadi solusi dari masalah itu sendiri. Contohnya, alih-alih mempertimbangkan cara
mengurangi kontribusi bangunan akan CO2 ke atmosfer, misalnya, ia menjadi penyembuh
atmosfer itu sendiri dengan menyerap CO2 di sekitarnya, atau dengan memproduksi O2 lebih
banyak. Teori keberlanjutan ini memiliki sepuluh prinsip yang dinamakan The Hannover
Principles, dengan poin keenam yang paling mendapat penekanan (khusus di manifesto ini).
Dielaborasikan lebih lanjut, terdapat dua siklus dalam mencapai keberlanjutan ini. Teknik
pertama adalah dengan mempertimbangkan siklus teknis, seperti bagaimana material banguan
diproduksi, didaur ulang, atau digunakan kembali. Teknik kedua adalah dengan

mempertimbangkan siklus biologis, yang memandang bangunan itu layaknya organisme hidup,
dan memikirkan lebih jauh bagaimana ia akan mati dan menjadi katalis bagi organisme lainnya.

Teori yang Sesuai dengan Pemikiran Pribadi


Pada akhirnya sesungguhnya saya ingin menghindari favoritisme akan teori tertentu, karena
banyak dari teori-teori ini yang menjadi preferensi pribadi, namun mungkin dalam poin yang
sangat kecil, atau dalam bentuk lain (bukan teorinya secara langsung). Contohnya tulisan Bernard
Tschumi dan Rem Koolhaas, yang hanya cara beripikir kritisnya, menurut saya pribadi, sangat
menarik untuk dipelajari dan mungkin dapat diadaptasi.
Satu teori yang menurut saya sesuai dengan pemikiran saya yakni teori McDonough dan
Braungart mengenai arsitektur berkelanjutan. Teori ini menjadi menarik karena konteks era kini
yang, menurut saya, membutuhkan arsitektur untuk tidak lagi mempertimbangkan konsep
keberlanjutan sebagai opsi, namun sebagai sebuah keharusan. Teori McDonough dan Braungart
ini bahkan melompat selangkah lebih jauh, dimana mereka mengharapkan arsitektur yang tidak
hanya berusaha-untuk-tidak-menjadi-beban bagi lingkungan, namun arsitektur yang
menyembuhkan lingkungan. Tetapi ada satu hal yang menurut saya mungkin dapat menjadi
masalah dari teori ini adalah nantinya akan melahirkan arsitektur yang terlalu pragmatis dalam
menjawab permasalahan keberlanjutan, sehingga mengabaikan aspek-aspek lainnya.
Teori critical regionalism oleh Kenneth Frampton menurut saya paling sesuai dengan pemikiran
saya, walaupun mungkin tidak sepenuhnya. Hal yang menarik adalah pemikiran ini merupakan
bentuk resistansi terhadap polemik antara moderenisme dan post-moderenisme. Namun beliau
tidak serta merta menolak kedua pemikiran tersebut, melainkan membuat hibrida baru. Ini
dilakukan dengan banyak menaruh titik tumpu pada penggunanya, bagaimana konfigurasikonfigurasi arsitekturalnya dapat memberikan pengalaman ruang yang lebih dalam, lebih dari
sekedar fasad yang cantik. Lingkungan dan konteks juga tidak dilupakan, yakni tidak hanya
memikirkan bagaimana bangunan merespon lingkungan dan bagaimana intervensi terhadap
kondisi fisik seharusnya dilakukan, namun juga dengan mempertimbangkan bagaimana
mengikutsertakan lingkungan sebagai bagian dari pengalaman ruang.

Anda mungkin juga menyukai