TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Hart (1971), kegiatan ekonomi terbagi menjadi dua, yaitu bersifat formal
dan informal (Rachbini, 1994, dalam Susilo, 2011). Pengertian sektor formal dan
sektor informal menurut Hidayat dalam (Susilo, 2011) sektor formal adalah usaha
yang telah mendapatkan berbagai proteksi ekonomi dari pemerintah, sedangkan
sektor informal adalah usaha yang tidak memperoleh proteksi ekonomi dari
pemerintah dan sektor yang belum mempergunakan bantuan atau fasilitas
pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia. Kriteria adanya akses terhadap
suatu fasilitas yang disediakan pemerintah dapat dijadikan sebagai ukuran untuk
membedakan usaha sektor formal dan informal.
Tabel 2.1
Karakteristik Sektor Informal dan Sektor Formal
Karakteristik Sektor Informal Sektor Formal
Modal Sukar diperoleh Relatif mudah diperoleh
Teknologi Padat Karya Padat Modal
Organisasi Seperti organisasi keluarga Birokrasi
Sumber modal Lembaga keuangan tidak Lembaga keuangan resmi
resmi
Serikat buruh Tidak berperan Sudah berperan
Bantuan negara Tidak ada Diperlukan untuk
kelangsungan usaha
Hubungan dengan desa Saling menguntungkan One-way-traffic untuk
kepentingan sektor formal
Sangat tergantung pada
Sifat wiraswasta Berdikari perlindungan pemerintah
atau
import
Persediaan barang Jumlah sedikit dan kualitas Jumlah besar dan kualitas
berubah-ubah baik
Hubungan kerja dengan Berdasarkan atas saling Berdasarkan kontrak kerja
Majikan percaya
Sumber: Hidayat, 1978 (dalam (Susilo, 2011)
Evers dan Korf (2002) menjelaskan bahwa Pedagang kaki lima merupakan bagian
dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa
diluar kontrol pemerintah. Hariningsih (2002) menjelaskan bahwa pedagang kaki
lima adalah usaha yang dilakukan degan modal yang relatif sedikit yang
melakukan usaha untuk memproduksi dan atau menjual barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu di masyarakat dan usaha
tersebut biasanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis. PKL
juga merupakan bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas
produksi barang dan jasa diluar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan
Korf, 2002).
Insitut Teknologi Nasional
19
PKL adalah sektor informal yang banyak ditemui di kawasan perkotaan. PKL
cenderung menempati lokasi yang tidak permanen dan tersebar hampir di setiap
jalur pedestrian atau ruang-ruang terbuka yang bersifat umum. Ada dua faktor
yang mendukung kemudahan perkembangan PKL dalam ruang publik, yaitu
kedekatan dan kemudahan komunikasi dengan sumber-sumber aktivitas formal,
serta adanya ruang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha. Pengertian
PKL menjadi semakin luas, tidak hanya pedagang yang menempati trotoar saja.
Hal ini dapat dilihat dari ruang aktivitas kegiatan PKL yang semakin luas, dimana
tidak hanya menggunakan hampir semua ruang publik yang ada seperti jalur
pedestrian, areal parkir, taman, dan terminal tetapi juga dalam melakukan
aktivitasnya PKL bergerak keliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kecil
di perkotaan (Susilo, 2011).
Definisi pedagang kaki lima juga ditemukan di dalam berbagai regulasi terkait
pedagang kaki lima. Peraturan presiden republik indonesia nomor 125 tahun 2012
tentang koordinasi penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima menjelaskan
bahwa pedagang kaki lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan
milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menyebutkan bahwa, pedagang kaki
lima merupakan pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan
menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik
pemerintah dan swasta yang bersifat sementara. Menurut Jakti D.K dalam Ariani
(2016) menyatakan PKL merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan
sektor informal. PKL adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan
yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-
pindah dengan kemampuan modal yang kecil atau terbatas, dalam melakukan
usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-
tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak
mempunyai legalitas formal.
f. Barang cetakan
g. Jasa perseorangan
h. Peralatan bekas
2) PKL yang berdagang berdasarkan waktu berdagang:
a. Pagi hingga siang hari
b. Pagi hingga sore hari
c. Sore hingga malam hari
d. Malam hingga pagi hari
e. Pagi hingga malam hari
f. sepanjang hari
3) PKL yang berdagang berdasarkan bangunan tempat berdagang:
a. PKL bergerak/ moveable/ dorongan
b. PKL tanpa bangunan seperti PKL deprokan/ dasaran/ gelaran, maupun
sudah berubah
c. PKL dengan bangunan non permanen
4. Tipologi keempat: pedagang kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima.
mereka hanya mengkoordinasikan tenaga kerja yang menjualkan barang-
barangnya. termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu pedagang kaki lima
yang mempunyai toko, di mana tokonya berperan sebagai grosir yang menjual
barang dagangannya kepada pedagang kaki lima tak bermoral dan barang
yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku.
Pedagang Kaki Lima adalah bagian dari sektor informal yang banyak ditemukan
di perkotaan. Sebagai bagian dari sektor informal, PKL mempunyai karakteristik
yang mirip dengan ciri-ciri pokok sektor informal. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Kartini, dkk (Widodo, 2000) ditemukan 21 karakteristik PKL, yaitu:
10. Pada umumnya anggota keluarga turut membantu dalam usaha tersebut.
11. Mempunyai sifat “one man enterprise”.
12. Barang yang ditawarkan biasanya tidak berstandar, dan perubahan jenis
barang yang diperdagangkan sering terjadi.
13. Tawar menawar antara pembeli dan pedagang merupakan ciri yang khas pada
usaha perdagangan kaki lima.
14. Sebagian PKL melaksanakan secara penuh yaitu berupa “full time job”,
sebagian lagi melakukannya setelah jam kerja, atau pada waktu senggang
dalam rangka usaha mencapai pendapatan tambahan.
15. Sebagian PKL melakukan pekerjaannya secara musiman, dan kerap kali
terlihat jenis barang dagangannya berubah-ubah.
16. Barang-barang yang dijual biasanya merupakan barang yang umum, jarang
sekali yang menjual barang khusus.
17. Pada umumnya berdagang dalam kondisi tidak tenang, karena takut sewaktu-
waktu usaha mereka ditertibkan dan dihentikan oleh pihak yang berwenang.
18. Masyarakat sering beranggapan bahwa PKL adalah sekelompok yang
menduduki status sosial yang rendah dalam masyarakat. Mengingat adanya
faktor pertentangan kepentingan, kelompok PKL adalah kelompok yang sulit
bersatu dalam bidang ekonomi meskipun perasaan setia kawan yang kuat
diantara mereka.
19. Pada umumnya waktu kerja tidak menunjukkan pola yang tetap, hal ini
menunjukkan seperti pada ciri perusahaan perorangan.
20. PKL mempunyai jiwa “entrepreneurship” yang kuat.
1. Pada umumnya bagi PKL, berdagang di kaki lima adalah sebagai mata
pencaharian yang utama.
2. PKL pada umumnya tergolong dalam usia yang produktif.
3. Tingkat pendidikan mereka umumnya relatif rendah.
4. Sebagian besar mereka merupakan pendatang dari daerah dan belum memiliki
Insitut Teknologi Nasional
24
Menurut An-naf (1983), usia PKL pada umumnya berada pada kelompok usia
produktif. Berdasarkan Badan Pusat Statistika, kelompok usia produktif memiliki
rentang usia 15-64 tahun. Dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14
tahun 1999 juga menyebutkan bahwa, usia 25 hingga 54 tahun disebut sebagai
usia utama kerja (prime age) (Susilo, 2011).
1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama
yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.
2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja, dan pendapatan
yang umumnya relatif kecil.
3. Aktivitas yang tidak memiliki izin.
Menurut Manning (1996) dalam Widjajanti (2009), secara garis besar PKL adalah
tidak terorganisir dan tidak mempunyai izin, tidak memiliki tempat usaha yang
permanen, tidak memerlukan keahlian dan keterampilan khusus, modal, dan
perputaran usahanya relatif kecil, serta sarana berdagang bersifat moveable
(mudah dipindahkan).
Kegiatan PKL di zona merah masih marak terjadi Kota Bandung dan belum
efektifnya peraturan tentang pengendalian PKL seakan – akan belum ada upaya
penindakan yang tegas oleh pemerintah. Kegiatan PKL saat ini perlu diketahui
faktor-faktor penyebabnya, supaya pemerintah dapat memperbaiki hal – hal yang
menyebabkan masih adanya PKL di kawasan zona merah. Pengendalian PKL
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pengendalian pemanfaatan
ruang.
Menurut Mc Gee dan Yeung (1977:76) pola ruang aktivitas PKL sangat
dipengaruhi oleh aktivitas sektor formal dalam menjaring konsumennya. Lokasi
PKL sangat dipengaruhi oleh hubungan langsung dan tidak langsung dengan
berbagai kegiatan formal dan kegiatan informal atau hubungan PKL dengan
konsumennya. Untuk dapat mengenali penataan ruang kegiatan PKL, maka harus
mengenal aktivitas PKL melalui pola penyebaran, pemanfaatan ruang
berdasarkan waktu berdagang dan jenis dagangan serta sarana berdagang.
Komponen pola aktivitas PKL antara lain meliputi:
Adanya kecenderungan pemanfaatan ruang kota oleh aktivitas usaha PKL tidak
lepas dari adanya keberadaan sektor formal di suatu lokasi. Mc. Gee dan Yeung
(1977:108) menyatakan bahwa, pada umumnya PKL cenderung untuk berlokasi
secara mengelompok pada area yang memiliki intensitas aktivitas yang tinggi,
seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi yang memiliki aktivitas
hiburan, pada jalur pejalan yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi
orang dalam jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah
komersial pasar, maupun ruang terbuka.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2009)
menyatakan bahwa penentuan lokasi yang diminati oleh PKL adalah sebagai
berikut:
Pedagang kaki lima dalam menentukan jenis dagangan yang dijual pada
umumnya menyesuaikan dengan lingkungan di sekitar lokasi usaha. Menurut
Mc.Gee dan Yeung (1977: 82-83), jenis dagangan pedagang kaki lima sangat
dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan pedagang melakukan
Insitut Teknologi Nasional
29
Mc.Gee dan Yeung (1977: 81) menyatakan jenis dagangan yang ditawarkan oleh
PKL dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk makanan mentah, seperti
daging, buah-buahan, dan sayuran.
2. Makanan yang siap saji, yaitu pedagang makanan dan minuman yang sudah
dimasak.
3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan
jasa potong rambut. Jenis komoditas ini cenderung menetap.
Menurut Waworoentoe yang dikutip oleh Widjajanti (2009), bentuk sarana fisik
perdagangan yang digunakan oleh PKL dapat dikelompokkan sebagai berikut:
beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan
bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan
makanan dan minuman.
6. Kios, pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang
yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya
merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.
Mc.Gee dan Yeung (1977: 82-83) yang dikutip oleh Susilo (2011) menyatakan,
pada umumnya bentuk sarana dagang pada PKL di kota-kota Asia Tenggara
sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah dan dibawa dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Masing-masing jenis bentuk sarana berdagang,
memiliki ukuran yang berbeda-beda, sehingga berbeda pula ukuran ruang yang
diperlukan. Besaran ruang mempengaruhi dalam pengaturan dan penataan ruang
untuk PKL.
Menurut Mc Gee dan Yeung (1977) terdapat dua faktor yang mempengaruhi pola
penyebaran PKL yaitu:
konsumen, karena mereka dapat bebas memilih barang atau jasa yang diminati
konsumen.
2. Aksesibilitas, para PKL lebih suka berlokasi di sepanjang pinggir jalan utama
dan tempat-tempat yang sering dilalui pejalan kaki. Dengan demikian
dagangan pedagang kaki lima dapat dilihat dengan mudah oleh para calon
pembeli, sehingga peluang terjadinya jual beli lebih besar.
Faktor aglomerasi dan aksesibilitas menurut Mc Gee dan Yeung (1977) pada
penelitian ini akan digunakan sebagai indikator faktor lokasi walaupun faktor
aglomerasi dan aksesibilitas merupakan bagian dari pola aktivitas PKL. Hal
tersebut dikarenakan aglomerasi dan aksesibilitas termasuk ke dalam faktor
eksternal atau faktor yang mempengaruhi PKL dalam memilih lokasi usaha.
Menurut Mc.Gee dan Yeung (1977:37-38), pola penyebaran aktivitas PKL terdiri
dari dua kategori, yaitu:
Gambar 2.1
Pola Penyebaran PKL Secara Mengelompok
Sumber: Mc. Gee and Yeung (1977:37)
2. Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini
dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di
sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi
berdasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga mempunyai
kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditi yang biasa
diperdagangkan adalah sandang atau pakaian, kelontong, jasa reparasi, buah-
buahan , rokok atau obat-obatan, dan lain-lain.
Gambar 2.2
Pola Penyebaran PKL Secara Linier
Sumber: Mc. Gee and Yeung (1977:37)
1. Unit PKL tidak menetap (mobile), unit ini ditunjukkan oleh sarana fisik
perdagangan yang mudah dibawa, atau dengan kata lain ciri utama dari unit
ini adalah PKL yang berjualan bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Biasanya bentuk sarana fisik perdagangan berupa kereta dorong, pikulan atau
keranjang.
2. Unit PKL semi menetap (semi static), ciri utama unit ini adalah PKL yang
pada periode tertentu menetap pada suatu lokasi kemudian bergerak setelah
waktu berjualan selesai (pada sore hari atau malam hari). Sarana fisik
Insitut Teknologi Nasional
33
Pola penyebaran dan pola pelayanan PKL menurut Mc Gee dan Yeung (1977)
pada penelitian ini tidak dilibatkan dalam proses analisis preferensi lokasi usaha.
Kedua pola tersebut hanya akan digunakan sebagai pelengkap data untuk bab 4,
yaitu yang menggambarkan kondisi umum wilayah studi.
A. Aspek ekonomi
Menurut Bronley (1979), kegiatan ekonomi formal dan informal tidak terpisah,
bahkan terus-menerus saling berinteraksi, maka dukungan pemerintah kepada dua
sektor tersebut harus seimbang dan tetap menumbuhkan iklim kompetisi bagi
Insitut Teknologi Nasional
34
berusaha untuk usaha mikro dan kecil di sub sektor perdagangan retail;
memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
g. Promosi dagang, meningkatkan promosi produk di dalam dan di luar negeri;
memperluas sumber pendanaan untuk promosi; memberikan insentif bagi
pelaku usaha yang mampu menyediakan pendanaan untuk promosi secara
mandiri; memfasilitasi pemilihan hak atas kekayaan intelektual atas produk
usaha.
h. Dukungan kelembagaan, meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta
kemampuan manajemen; menyediakan tenaga konsultan profesional dalam
bidang pemasaran; membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan
Pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan motivasi dan
kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru.
B. Aspek sosial
Kebijakan penataan dan pembinaan PKL dari aspek sosial menurut Sutrisno et al
(2007) meliputi:
Insitut Teknologi Nasional
36
1. Penyuluhan tentang waktu usaha tempat usaha dan sarana usaha yang
menjamin keindahan dan keamanan yang mendukung program Pemkot.
2. Penyuluhan sadar hukum sebagai pembinaan non fisik, agar PKL dapat
menjalin hubungan serasi dengan lingkungan tempat usaha dengan prinsip
tidak ada yang merasa dirugikan
3. Penyuluhan sadar hukum sebagai pembinaan non fisik agar PKL bertanggung
jawab terhadap ketertiban kerapian kebersihan keindahan kesehatan
lingkungan dan keamanan di sekitar tempat usaha
4. Pengaturan tempat usaha PKL yang menjamin ketertiban keamanan dan
keindahan kota, serta menunjang program pemerintah menjadikan kota
sebagai kota budaya pariwisata dan olahraga.
Pembinaan PKL penting juga melibatkan peran dari institusi informasi organisasi
pedagang ruang gerak pada komunitas sektor informal untuk mengorganisasi diri
dalam sebuah perkumpulan perkumpulan penting dilakukan titik bagi sektor
informal pengorganisasian ini akan bermanfaat untuk menjalin ikatan di antara
mereka membuka sarana bekerjasama untuk memajukan usaha maupun
enterpreneurship.
3) Migrasi penduduk
Pertumbuhan PKL di sebuah kota tidak terlepas dari tingginya tingkat urbanisasi
penduduk dari pedesaan ke perkotaan titik urbanisasi itu sendiri terjadi sebagai
akibat dari kebijakan pembangunan di Indonesia yang masih bersifat sentralistik
yang berdampak pada terjadinya disparitas dan ketidak merataan pembangunan
antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.
Berdasarkan kondisi kondisi tersebut, maka upaya untuk menekan laju PKL di
sebuah kota, perlu juga diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk
menanggulangi persoalan urbanisasi seperti:
1. Peran pemerintah pusat sangat tinggi dalam menciptakan lapangan kerja yang
lebih terencana dan permanen di desa terutama desa tertinggal, lewat menteri
yang terkait.
2. Peranan pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam memberi prioritas
pembangunan pedesaan terutama dalam pengurangan kemiskinan dan peluang
penciptaan tenaga kerja.
3. Perlu adanya insentif bagi pemuda yang mau membantu atau berperan dalam
pembangunan pedesaan
4. Perlunya penggalangan dana baik dari pajak, zakat, dan shodaqoh untuk
membangkitkan peluang usaha baru.
5. Perlu ada komunikasi kota Desa sehingga untuk setiap pemuda yang
meninggalkan Desa harus berkontribusi dalam pembangunan desa.
6. Hindari provokasi yang berlebihan terhadap enaknya hidup di kota.
7. Promosikan enaknya hidup di desa.
8. Perlu adanya transmigrasi apabila terjadi urbanisasi yang sangat meluap
9. Memperketat regulasi supaya pendatang tidak mudah datang. caranya adalah
dengan menggelar operasi yustisia.
C. Aspek hukum
2. Menyusun Perda dan atau peraturan lainnya tentang penataan PKL yang
mengakomodasi kepentingan para PKL dan warga kota sehingga lebih solutif
dan akseptabel.
Dengan adanya Perpres Nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun
2012 maka pemerintah provinsi dan pemerintah kota atau Kabupaten wajib
melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayah masing-masing. salah satu
amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati
Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi
tempat kegiatan usaha PKL. penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha
PKL dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum sosial budaya estetika
ekonomi keamanan ketertiban kesehatan kebersihan lingkungan dan sesuai
dengan Peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten atau kota. lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan
Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi
Insitut Teknologi Nasional
40
dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan
jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan dan penataan PKL di Kota Bandung diatur oleh Peraturan daerah kota
Bandung nomor 4 tahun 2011 tentang penataan pembinaan pedagang kaki lima
yang implementasinya diatur oleh Peraturan Walikota Bandung Nomor 571 tahun
2012 sebagai pengganti Peraturan Walikota Bandung Nomor 888 Tahun 2012
tentang pelaksanaan peraturan daerah kota bandung nomor 4 tahun 2011 tentang
penataan dan pembinaan pedagang.
Peraturan Pemerintah zonasi merupakan penataan lokasi dan tempat usaha bagi
PKL terbagi menjadi 3 zona sebagai berikut:
Zona Merah
Yaitu lokasi yang tidak boleh terdapat PKL. Zona merah merupakan wilayah
sekitar tempat ibadat rumah sakit, Komplek militer jalan nasional Jalan provinsi
dan tempat-tempat lain yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan daerah ini.
Insitut Teknologi Nasional
41
Zona Kuning
Yaitu lokasi yang bisa tutup buka berdasarkan waktu dan tempat, yang terdiri
dari:
1) Zona kuning berdasarkan kan waktu adalah seluruh pasar tumpah di daerah
hanya boleh berdagang pada jam tertentu yaitu mulai pukul 22.00 WIB
sampai 6 00 WIB
2) Zona kuning yang berdasarkan kan waktu dari jam 17 WIB sampai 4 WIB
adalah pedagang kuliner.
3) Zona kuning yang berdasarkan tempat yaitu kantor-kantor pemerintah daerah
yang sudah tidak digunakan, depan mall dan sekitar lapangan olahraga yang
telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Zona Hijau
Zona hijau merupakan wilayah wilayah tertentu berdasarkan. 2 relokasi,
revitalisasi
a. Relokasi: proses pemindahan tempat berdagang bagi PKL
b. Revitalisasi pasar: revitalisasi pasar adalah peningkatan fungsi dan potensi
pasar berdasarkan pemanfaatan lahan pasar yang tidak terpakai oleh PKL.
c. Belanja belanja tematik adalah penempatan PKL berdasarkan beragam jenis
dagangan di satu lokasi tertentu
d. Konsep festival adalah penempatan PKL berdasarkan pada pelaksanaan
event-event tertentu
e. Konsep Pujasera penempatan PKL makanan berdasarkan lokasi tertentu
berdasarkan sistem bagi hasil dengan pemilik lokasi sebagai pengganti uang
sewa.
Pada pasal 5
1) Dalam rangka penertiban jalur lalu lintas Pemerintah Daerah melakukan
pengaturan rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan.
2) Jalur lalu lintas diperuntukan bagi lalu lintas umum, dan trotoar diperuntukan
bagi pejalan kaki.
Dalam Bab 5 pasal 37, pada poin (d) Dalam rangka mewujudkan ketertiban di
daerah milik jalan, fasilitas umum dan jalur hijau di Daerah, setiap Orang, Badan
Hukum dan/atau Perkumpulan, dilarang : berusaha atau berdagang di trotoar,
jalan/badan jalan, taman jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan
peruntukannya tanpa mendapat ijin dari Walikota;
Dalam Bab 8 pasal 48 Bagian Pertama Terdapat Ketentuan Sanksi yaitu tentang
Sanksi Administrasi menjelaskan bahwa:
1) Berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/badan jalan, taman jalur hijau dan
tempat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa mendapat ijin dari
Walikota. Rp. 1.000.000.00 (Satu Juta Rupiah).
2) Mendirikan kios dan berjualan di trotoar, taman, jalur hijau atau dengan cara
apapun yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman, bunga atau
tanaman lainnya. Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Faktor lokasi merupakan faktor yang mempengaruhi pedagang kaki lima dalam
memilih lokasi usahanya. Dalam penelitian ini, faktor lokasi dijadikan parameter
dalam menilai preferensi PKL terhadap lokasi berjualannya yang didasari oleh
teori dari beberapa ahli. Berikut merupakan teori yang berhubungan dengan
penentuan atau pemilihan faktor lokasi tersebut.
Insitut Teknologi Nasional
44
Menurut Chiara (1984), penentuan lokasi perdagangan dapat dilihat dari tiga
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain::
1. Faktor lokasi strategis. PKL biasanya mendatangi konsumen atau pusat
keramaian, terutama di daerah pusat kota. PKL cenderung melakukan
kegiatannya di daerah yang paling menguntungkan, seperti di pasar, daerah
pertokoan, terminal, perkantoran, dan lain sebagainya.
2. Faktor ketersediaan sarana angkutan umum. Faktor ini berhubungan dengan
aksesibilitas, dimana PKL biasanya akan mendatangi lokasi yang dilalui oleh
angkutan
3. Faktor aglomerasi. PKL memiliki kecenderungan beraglomerasi, karena
semakin lengkap aktivitas yang tersedia, maka akan semakin tinggi pula
pelayanannya.
Mc. Gee dan Yeung (1977:108) menyatakan bahwa, pada umumnya PKL
cenderung untuk berlokasi secara mengelompok pada area yang memiliki
intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau
lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pada jalur pejalan yang lebar dan tempat-
tempat yang sering dikunjungi orang dalam jumlah besar yang dekat dengan pasar
publik, terminal, daerah komersial pasar, maupun ruang terbuka.
Dari literatur yang telah dihimpun, diperoleh beberapa penelitian terdahulu yang
berkaitan dan penelitian serupa sebagai acuan dalam penyusunan penelitian ini.
rendah, harga sewa tempat, Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah besar
omset, cepat perputaran modal.
- Kawasan sekitar jl alun-alun dan mesjid raya, jl dalem kaum, jl kepatihan dan
jl otto iskandardinata merupakan kawasan yang tidak di perbolehkan PKL
berjualan
- PKL yang berdagang di empat titik zona merah mengetahui adanya relokasi
ke pasar induk Gedebage dan taman bandun lautan api.
Tabel 2.3
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Lokasi Variabel Metode Analisis Output
- Karakteristik PKL
(Jenis dagangan, Besarnya
modal, Umur, Tingkat
pendidikan)
- Karakteristik Pemilihan
Faktor-Faktor Yang Lokasi (Kedekatan lokasi
Pemilihan lokasi usaha
Ahmadi Mempengaruhi Pemilihan Kota dengan pusat
1. berdasarkan karakteristik
Widodo (2000) Lokasi Usaha Pedagang Semarang kegiatan/keramaian kota,
PKL di Kota Semarang.
Kaki Lima Kedekatan lokasi dengan Crosstab
rumah tinggal,
Kemudahan memperoleh
angkutan umum,
Banyaknya penjual sejenis
di lokasi)
Tabel 2.4
Sintesa Literatur
Aspek Sumber Variabel Variabel
Terpilih
KARAKTERISTIK PKL
Herlianto 1986 Lama Berjualan Omset
Sumber daya Sumber
Ijin usaha Modal
Simanjuntak 1989 Sederhana
Skala Usaha
Modal
Modal Kerja
Pendapatan
Izin Usaha
McGee dan Yeung, Sarana Fisik
SOSIAL 1977 Jenis dagangan
EKONOMI Pola Penyebaran
Pola Pelayanan
Pola Pengelolaan
Agus Susilo, 2011 Besar modal
Julissar An-naf, 1983 Sumber modal
Kartini, 2000 Omset
Sethurahman dalam Luasan Tempat
Manning 1996 Berdagang