Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SOSIOLOGI EKONOMI
EKONOMI FORMAL DAN INFORMAL
DOSEN PENGAMPU : SULTON HANAFI SE.,MM

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6

CHUSNUL CHOTIMAH ( 21801081315 )


ALFI NUR ROHMANIYA ( 21801081390 )
MEGA AYU LESTARI ( 21801081526 )

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat
beliaulah makalah ini dapat kami selesaikan. Salawat dan salam tertuju buat
Rasullullah SAW, yang telah sukses mengembangkan agama islam dalam
kehidupan manusia.
Terima kasih kepada dosen yang mengajar mata kuliah sosiologi ekonomi
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini yang membahas
tentang “Ekonomi Formal Dan Informal”.
Sesuai dengan materi yang akan kami diskusikan yaitu “Ekonomi Formal
Dan Informal” maka kami mencoba mengeluarkan makalah kami yang mungkin
keberadaannya kurang sempurna. Maka kami selaku mahasiswa yang masih dalam
proses pencarian ilmu, mengharapkan masukan dan saran kepada dosen yang
bersangkutan. Karna kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami sangat jauh
dari kesempurnaan dalam segala hal. Untuk itu kepada para pembaca kami juga
sangat mengharapkan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah kami ini.

Malang, 08 April 2019


Penyusun

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..….. ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Definisi Ekonomi Formal dan Ekonomi Informal. ................................. 3

2.1.1 Definisi Ekonomi Formal. ..................................................................... 3

2.1.2 Definisi Ekonomi Informal. ................................................................... 3

2.2.3 Sektor usaha formal dan informal di Indonesia. .................................... 6

2.2 Hubungan Sektor Formal Dan Informal. ...................................................... 8

2.3 Aspek-aspek sosial budaya dan perkembangan ekonomi informal ............ 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15

3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 15

3.2 Kritik dan Saran .......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan sektor informal di Negara kita tidak terlepas dari proses


pembangunan yang sedang dilaksanakan. Karena itu sektor informal telah menjadi
pusat perhatian perencanaan pembangunan, terutama di Negara sedang
berkembang, dan dipandang sebagai salah satu alternatif penting dalam
memecahkan masalah ketenagakerjaan. Pertumbuhan penduduk yang terbesar
terjadi diperkotaan, dimana pertumbuhan ini bukan hanya diakibatkan oleh faktor
kelahiran tetapi juga karena faktor migrasi. Adanya faktor-faktor ini tidak
diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup. Dengan tingginya
angka migrasi penduduk dari desa ke kota secara langsung maupun tidak langsung
menimbulkan permasalahan yang besar di perkotaan. Sebagian besar orang yang
baru datang dari daerah asalnya belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan,
berarti masih mengganggur. Salah satu menanggulangi adalah dengan berusaha
sendiri di sektor informal khususnya menjadi pedagang kaki lima. Selain faktor
imigrasi yang merupakan salah satu penyebab munculnya sektor informal,
penyebab lain yang menimbulkan adanya sektor informal adalah berkurangnya
kesempatan kerja akibat meningkatnya angkatan kerja, baik yang diakibatkan oleh
penduduk yang berimigrasi maupun penduduk asli yang ada didaerah tersebut.
Secara otomatis penduduk yang setiap tahunnya bertambah membutuhkan biaya
untuk keperluan hidupnya. Apalagi biaya hidup dikota sangat tinggi dan sangat
jelas bahwa salah satu alternatif untuk mendapatkan penghasilan adalah berusaha
di sektor informal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian ekonomi formal dan informal?


2. Hubungan ekonomi formal dan informal?
3. Mengetahui Aspek-aspek sosial budaya dan perkembangan ekonomi
informal

1
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis membuat makalah yang membahas tentang ekonomi formal


dan informal dengan memberikan pengertian/ penjelasan ini adalah supaya
pembaca tahu bagaimana proses pembentukan ekonomi formal dan informal
tersebut menurut sosiologi ekonomi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Ekonomi Formal dan Ekonomi Informal.

2.1.1 Definisi Ekonomi Formal.

Ekonomi formal dapat diartikan sebagai usaha yang membutuhkan syarat-


syarat tertentu agar dapat melakukan kegiatan usaha, seperti izin usaha, jumlah
modal, proposal kegiatan, dan susunan pengurus persiapan untuk memasuki bidang
perekonomian formal harus benar-benar mempertimbangkan segala hal yang
berhubungan dengan perekonomian tersebut. Ciri-ciri ekonomi formal yaitu :
a. Memiliki izin resmi dari pemerintah.
b. Umumnya berada di daaerah perkotaan.
c. Menggunakan sistem pembukuan yang professional.
d. Memerlukan modal yang cukup besar.

2.1.2 Definisi Ekonomi Informal.

Istilah sektor informal ini pertama kali di perkenalkan oleh Keith Hart
melalui penelitiannya di Ghana, Afrika. Istilah ini kemudian diterapkan dan
dilakukan penelitian secara mendalam di sejumlah kota di Negara-Negara yang
sedang berkembang, termasuk Jakarta 1972. Lewat tulisan yang berjudul Informal
income Oppurnuties and Urban Inflyment In Ghana, ia membagi pekerjaan formal
dan informal. Sektor formal merupakan sektor yang pekerjaan didalamnya
menuntut tingkat keterampilan yang tinggi, yang biasanya hal ini sulit dipenuhi oleh
para pendatang dari daerah pedesaan.

Eksistensi jenis aktifitas ekonomi ini diketahui oleh para peneliti sosial pada
akhir abad 19, dan term sektor informal masuk dalam pembendaharaan ilmu sosial
pada dekade 1960-an. Terkadang istilah ini dikenal sebagai Black Economy,
Shadow Economy, ataupun Cash Economy.

3
Istilah Black Economy sering menunjuk pada ekonomi nonpasar yang
berkonotasi negatif, yaitu segala bentuk aktifitas ekonomi ilegal yang melanggar
undang-undang, seperti makelar tiket kereta api atau bentuk-bentuk atau
perdagangan gelap (Black Market). Istilah lain yang sering dipakai untuk menunjuk
sektor informal ini antara lain Shadow Economy, Underground Economi,
Undercover Economy, dan Hidden Economy, . istilah Shadow Economy atau
ekonomi bayang-bayang menunjuk pada fenomena sektor informal yang tidak
mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Keberadaan sering
dipandang “antara ada dan tiada ‘’, dalam system administrasi pemerintah, jelas
keberadaan sector ini tidak tercatat, tetapi realitasnya justru sektor inilah yang
berfungsi sebagai penumpang ketika ekonomi sedang menunjuk titik nadir.
Produksi dan jasa yang dihasilkan hanya mampu memenuhi kebutuhan prilaku
sektor informal dalam batas yang minimal. Artinya, hampir tidak ada kelebihan
keuntungan yang dapat diakumulasi sebagai pembentukan modal baru.
Menurut Manning dan Effendi (1985), aktivitas ekonomi yang membedakan
antara sektor formal dan yang informal adalah birokrasi dalam bidang perizinan.
Sektpr formal cenderung lebih banyak mendapat perlindungan dari pemerintah,
daripada usaha informal. Hal ini disebabkan oleh sektor formal tercata dalam sistem
perizinan usaha yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Gilbert dan Gugler
(1996), menandai sektor informal dengan ciri-ciri:
1. Mudah dimasuki.
2. Bersandar pada sumber daya lokal.
3. Usaha milik sendiri.
4. Operasinya dalam skala kecil.
5. Padat karya dan teknologinya bersifat adoptif.
6. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat
kompetitif.

Di Indonesia, menurut Hidayat (1987), sudah ada kesepakatan tentang


sebelas cirri pokok sector informal, yaitu :

4
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik karena timbulnya unit
usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia
di sektor formal.
2. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha.
3. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam
kerja.
4. Pada umumnya, kebijaksanaan pemerintah untuk membantu
golongan ekonomi tidak sampai ke pedagang kaki lima.
5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-
sektor.
6. Teknologi yang digunakan bersifat primatif.
7. Modal dan perputaran usaha relative kecil sehingga skala operasi
juga relatif kecil.
8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak
memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperoleh
pengalaman sambil kerja.
9. Pada umumnya, unit usaha termasuk golongan one-man
enterprise dan kalau memperkerjakan buruh berasal dari keluarga.
10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan
sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.
11. Hasil produksi atau jasa terutama terutama dikonsumsi oleh golongan
manyarakat desa-kota berpenghasilan rendah kadang-kadang juga
berpenghasilan menengah.

Sektor informal merupakan sektor yang meliputi jenis pekerjaan yang


beragam, dari segiLegalitasnya, sektor ini terdapat jenis-jenis pekerjaan yang sah
secara hukum dan jenis-jernis pekerjaan lain yang ilegal. Dari segi lokasi geografis,
sektor ini terdiri dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan, baik di daerah perdesaan,
maupun perkotaan. Dari segi pelaku usaha, terdiri dari anak-anak hingga orang
dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Pekerja informal adalah mereka yang
berusaha sendiri, berusah sendiri dibantu buruh tidak teteap/ buruh tidak dibayar.
Berkaitan dengan perkembangan sektor informal sebagai konsep, Sethuraman

5
(1996) menyatakan bahwa proses konseptualisasi sektor informal belum dapat
menyelesaikan masalah definisi. Masih diperlukan definisi untuk menentukan batas
sektor ini, baik dari sudut pandang operasional maupun penelitian.

Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor Formal

Karakteristik Informal Formal


Modal Sukar diperoleh Relative mudah
diperoleh
Teknologi Padat karya Padat modal
Organisasai Menyerupai organisasi Birokrasi
keluarga
Permodalan Dari lembaga keuangan Dari lembaga keuangan
tidak resmi resmi
Serikat buruh bantuan Tidak berperan tidak ad Sangat berperan
Negara
Hubungan dengan Saling menguntungkan “one-way-
desa traffic” untuk
kepentingan sector
formal
Sifat wiraswasta Berdikari Sangat tergantung pada
perlindungan
pemerintah atau impor
Persediaan baran Jumlah kecil, kualitas Jumlah besar, kualitas
rendah baik
Hubungan kerja Berdasarkan asas saling Berdasarkan kontrak
dengan majikan percaya kerja .

2.2.3 Sektor usaha formal dan informal di Indonesia.

 Sektor usaha formal


1. BUMN ( Badan Usaha Milik Negara)

Sebagai realisasi dari pasal 33 ayat 2 UUD 1945 makadidirikanlah


badan usaha yang modalnya sebagian besar atau seluruhnya milik Pemerintah

6
atau Negara. BUMN didirikan untuk melayani kepentingan umum dan mencari
keuntungan dalam rangka mengisi kas Negara.

2. BUMS ( Badan Usaha Milik Swasta )

Badan usaha swasta adalah badan usaha yang didirikan, dimiliki,


dimodali, dan dikelola atau beberapa orang swasta secara individu atau
kelompok. Kegiatan badan usaha swasta bertujuan:

a. mengembangkan modal dan memperluas usaha/perusahaan,

b. membuka kesempatan kerja,

c. mencari keuntungan maksimal.

3. Koperasi

Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian


disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan”, maka bentuk badan
usaha yang paling sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah koperasi.
Dalam perekonomian Indonesia, peran koperasi sangat penting karena:

a. Koperasi berdasarkan atas asas kekeluargaan sehingga sangat sesuai


dengan kepribadian bangsa Indonesia,

b. Koperasi sesuai dengan golongan ekonomi lemah yang merupakan


mayoritas penduduk Indonesia.

 Sektor usaha informal

Dalam kehidupan perekonomian di Indonesia, terdapat usaha-usaha


informal,yaitu bidang usaha dengan modal kecil, alat produksi yang terb
atas,dan tanpa bentuk badan hukum.

1. Pedagang kaki lima.

Pedagan kaki lima yaitu pedagang yang menjajankan barang


dagangannya di tempat-tempat yang strategis. Seperti di pinggir jalan, di
perempatan jalan, di bawah pohon yang rindang, dan lain-lain. Barang yang
dijual biasanya makanan, minuman, pakaian, dan barang-barang kebutuhan

7
sehari-hari. Tempat penjualan pedagang kaki lima relatif permanent yaitu
berupa kios-kios kecil atau gerobak dorong atau yang lainnya.

2. Pedagang keliling.

Pedagang yang menjual barang dagangannya secara keliling, keluar-


masuk kampung dengan jalan kaki atau naik sepeda/motor. Barang yang
dijual kebanyakan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti minyak
goreng, sabun, perabotan rumah tangga, dan lain-lain.

3. Pedagang asongan.

Pedagang yang menjual barang dagangan barang-barang yang


ringan dan mudah dibawa seperti air mineral, koran, rokok, permen, tisu,
dan lain-lain. Tempat penjualan pedagang asongan adalah di terminal ,
stasiun, bus, dilampu lalu lintas (Trafic light), dan ditempat-tempat lainnya.

2.2 Hubungan Sektor Formal Dan Informal.

Sektor informal sering dilihat sebagai refleksi pertumbuhan kesempatan


kerja di Negara berkembang yang tidak mampu di tampung oleh sektor formal.
Motif ekonomi yang mendorong para pekerja masuk ke sektor ini terutama hanya
sekedar mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada memperoleh
keuntungan. Jadi, sangat berbeda dengan konsepsi para ahli mengenai
wiraswastawan (entrepreneur). Namun demikian, sejak kemunculannya, konsep
sektor informal mengundang perdebatan dari berbagai kalangan. Pada dekade
1980an, muncul paradigma baru dalam sektor ini. Jika sebelumnya paradigma yang
berkembang melihat sektor informal sebagai sektor yang harus diterangi, karena
merusak keberhasilan, ketertiban dan keamanan kota, pada dekade ini paradigma
tersebut mulai bergeser. Sektor informal dalam pandangan ini harus diubah menjadi
sektor formal.
Paradigma lama tentang sektor informal dilandasi suatu pemikiran bahwa
kemajuan perekonomian sebuah Negara ditandangi dengan meningkatnya tenaga
kerja yang termasuk dalam sektor formal. Perekonomian dalam suatu Negara di

8
nilai mengalami kemajuan jika terjadi transpormasi ke arah penurunan pekerja
kasar (blue collar) yang mempersentasikan pekerja sektor informal. Maka indikasi
kemajuan tersebut terefleksikan dari peningkatan pendidikan dan pendapatan
masyarakat. Pekerja-pekerja kerah biru merupakan pekerja yang lebih banyak
mengandalkan kekuatan fisik, menggunakan teknologi yang terbatas, serta berupa
rendah, seperti pertanian, perdagangan kecil, kehutanan, perburuhan, perikanan,
tenaga produksi, buruh dibidang transportasi dan pekerja kasar lainnya. Sementara
itu, pekerja kerah putih (white collar) merupakan pekerja yang lebih banyak
menggunakan otak dan keterampilan. Mereka adalah kaum professional dan
manajerial serta teknisi kelas menengah. Pekerja- pekerja jenis ini
mempresentasikan pekerja sektor formal.
Berdasarkan study sektor informal yang dilakukan oleh Bromley di Cali,
Colombia, menunjukan bahwa dalam sektor informal terdapat beberapa segi yang
patut diperhatikan, yaitu kegiatan ini bukanlah suatu kegiatan yang terpisah sama
sekali dalam sektor formal,bahkan lebih dari itu, sektor ini memperoleh pengakuan
kegiatannya justru dari sektor formal- informal merupakan karakteristik kegiatan
ekonomi Negara-negara yang sedang berkembang tempat sektor informal
mendominasikan hampir seluruh kegiatan bidang jasa.
Dalam konteks Indonesia, hubungan sektor formal-informal dapat diamati
secara riil di sekitar gedung-gedung perkantoran elite. Banyak karyawan sektor
formal yang mengkonsumsi barang dan jasa sektor informal. Keberadaan “wartek”
(warung tegal) yang menjajakan makanan murah meriah seolah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari keberadaan gedung perkantoran. Sektor informal oleh
sebagian ahli sering di sebut “sektor penyelamat” di sebabkan oleh elastisitas sektor
ini dapat menyerap lonjakan tenaga kerja. Beberapa kota di dunia tumbuh menjadi
satu “kota” yang sangat besar. Proses kunurbasi ini di beberapa literature sering
disebut sebagai metropolitan extended metropolitan ataupun megalopis. Sektor
formal kota tetap tidak mampu menyerapnya, oleh karena itu sektor informal yang
menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja. Sektor ini tumbuh meskipun nilai
tambah yang diciptaknnya mungkin tidak sebesar nilai tambah sektor formal.[10]
Hubungan ekonomi formal dan informal merupakan salah satu kajian
penting dalam study ekonomi informal. Hubungan tersebut dapat dilihat dari dua

9
perspektif yaitu pendekatan konflik dan pendekatan fungsional. Pada pendekatan
konflik melihat bahwa kehadiran sektor informal diperlukan untuk mendukung
perkembangan sektor formal. Dengan demikian, seperti istilah yang sering
dilontarkan adalah, sektor informal mensubsidikan sektor formal. Kata subsidi
tersebut merupakan penghalusan dari kata eksploitasi.
Sedangkan pendekatan fungsional melihat hubungan tersebut sebagai
sesuatu yang saling menguntungkan antara sektor formal dan informal. Istilah
mereka adalah di mana ada gula di sana ada semut. Di mana ada pembangunan
gedung kesitu berdatangan semut-semut sektor informal.

2.3 Aspek-aspek sosial budaya dan perkembangan ekonomi informal

Fenomena maraknya sektor informal merupakan indikator terjadinya


berbagai distorsi sosial ekonomi di banyak aspek kehidupan. Meningkatnya jumlah
tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini secara langsung berkaitan dengan gejala
urbanisasi yang berlebihan (over urbanization), yaitu arus urbanisasi yang kelewat
deras sehingga melebihi daya dukung perkotaan. Kota tidak mampu menyediakan
lapangan kerja yang memadahi serta berbagai layanan publik, seperti transportasi,
perumahan, air bersih, listrik dan sebagainya kepada para urbanisan. Akibatnya,
para pendatang yang hanya bermodalkan keterampilan rendah terpaksa harus hidup
di lingkungan yang kumuh yang sangat mimim layanan publik yang memadai.
Gejala over urbanization tidak terlepas dari kebijakan pembangunan yang urban
based. Pembangunan hanya berpusat pada kota-kota besar yang berfungsi sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi mengabaikan daerah pedesaan. Kota-kota besar
seerti Jakarta, kemudian tumbuh menjadi kota primat tempat sebagian besar uang
beredar di kota tersebut. Kondisi ini secara otomatis menjadi daya tarik bagi
pedatang yang berasal dari berbagai daerah di tanah air.

Pada sisi lain, paradigma pembangunan yang beroientasi pertumbuhan


menghasilkan turunan kebijakan di bidang industri yang dikenal sebagai kebijakan
pro-efesiensi. Kebijakan seperti ini intinya adalah memberikan berbagai fasilitas
dan kemudahan lainnya kepada industri-industri dan perusahaan-perusahaan yang
melakukan efesiemnsi ekonomi sehingga memberikan kontribusi signifikan bagi

10
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan seperti ini dalam aplikasinya berdampak pada
maraknya praktik monopoli, karter, kolusi, koalisi, distribusional, pemberian lisensi
khusus, serta perburuan rente. Akibatnya, sektor industri tidak mampu menyerap
tenaga kerja secara maksimal. Fenomena ini jelas sangat bertentangan dengan
Negara yang sudah relatif maju industrinya.

Maraknya sektor informal juga berkaitan dengan kebijakan birokrasi


perizinan usaha yang berbelit-belit serta terbatasnya skema kredit yang dapat
diakses oleh pengusaha kecil dan menengah. Untuk memperoleh perizinan
ekonomi, seorang pengusaha harus melewati jalur birokrasi yang rumit dan berbelit
dehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkannya. Kondisi seperti
inilah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang tidak saja merugikan
pengusaha, tetapi juga masyarakat luas karena harus menaggung barang dan jasa
yang lebih mahal. Fenpmena seperti ini umum terjadi di Negara-negara
berkembang. Sementara itu, rendahnya askebilitas pengusaha kecil dan menengah
terhadap kredit usaha disebabkan oleh tiadanya perhatian pemerintah terhadap
sektor informal ini. Skala ekonomi dan solvabilitas menjadi alasan untuk tidak
mengurusi sektor ini, padahal pengalaman menunjukkan non-performanca loan
(NPL) kredit yang diberikan kepada pengusaha kecil dan menengah justru lebih
kecil debandingkan dengan pengusaha-pengusaha besar. Para pengusaha kecil dan
menengah hampir tidak ada yang menjadi “pengemplang” kredit.

Kajian-kajian sektor informal yang berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan


sejak dahulu sangat erat kaitannya dengan kajian-kajian gender, baik pada
komunitas perdesaan maupun perkotaan. Secara umum, dapat dikaitkan bahwa
sektor informal sangat didominasi oleh kaum perempuan. Banyak literature tentang
isu gender di perdesaan, literature tersebut terutama focus pada pekerjaan
perempuan dan kesejahteraannya. Para peneliti persoalan perdesaan menaruh
perhatian pada kesenjangan sosial ekonomi berbasis gender, baik di perkotaan
maupun di perdesaan menurut Lobai (2007;472), terjadi segregasi gender dalam hal
pekerjaan, yaitu perempuan desa memiliki kesempatan dan kualitas kerja yang lebih
terbatas dibandingkan rekan mereka di kota.

11
Menurut Abbot (2005;269), segregasi pekerjaan yang menempatkan
perempuan terkonsentrasu di sector informal disebabkan oleh faktor idiologi gender
yang menyatakan bahwa pekerjaan yeng paling cocok bagi perempuan adalah yang
berstatus rendah serta juga berupah rendah dalam struktur pasar teaga kerha. Di
kebanyakan Negara di dunia, lelaki banyak menjadi pekerja mandiri dibandingkan
perempuan, laki-laki mendominasi kerajinan dan perdagangan, sementara
perempuan terkonsentrasi dalam pekerjaan jasa dan perawatan. Perempuan banyak
sebagai pekerja rumah tangga tak berupah, pekerja temporer, pekerja paro waktu,
atau pekerjaan sector informal lain yang tidak memiliki perlindungan. Laki-laki
pada umumnya memimili status yang lebih tinggi pada level pekerjaan manajerial
dan professional. Dampak sosial ekonomi dari itu semuanya adalah merugikan
perempuan. Perempuan merupakan yang pertamakali terkena dampak berkuragnya
kesempatan kerja dan sering menghadapi banyak kesulitan dalam mencari
perkerjaan daripada laki-laki.

Di Indonesia, terdapat sejumlah kajian yang menggambarkan keterlibatan


perempuan di sektor informal, khususnya pekerjaan perdagangan. Mengenai
keterlibatan perempuan di sektor ini, Hans-Dieter Evers (1993;5) menyatakan
bahwa akses yang dimiliki dan relatif rendahnya tuntutan dari sektor ini telah
mendorong orang, terutama perempuan untuk masuk kedalamnya. Semntara hasil
penelitian yang dilakukan Kutanegara (1989) di daerah Jatinom (jawa tengah)
menunjukkan bahwa pilihan wanita untuk terlibat di sektor perdagangan merupakan
salah satu alternatif yang dapat dilakukan ketika mereka harus mencukupi
kebutuhan rumah tangganya. Seorang perempuan di daerah perdesaan yang sumber
pendapatan suaminya di sektor pertanian harus mampu mengelola pendapatan
tersebut dengan sebaik-baiknya. Panen di sektor pertanian yang dtangnya relif
lama, yaitu sekitar 3-4 bulan, memaksa mereka untuk mencari alternatif lain agar
dpat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi kerja perempuan yang terlibat di sektor informal secara umum


sangat memprihatinkan. Mereka tidak saja diberi upah yang rendah, tetapi juga
tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan dalam bentuk apapun, bahkan
mengalami diskriminasi.

12
Studi-stidi yang dilakukan di berbagai Negara menunjukkan bahwa
munculnya perusahaan-perusahaan MNC dan juga perusahaan-perusahaan dalam
negeri yang menerapkan sistem kerja subkontrak telah memengaruhu kondisi
kehidupan pekerja perempuan di sektor informal (Pyle,2006;95) selain perempuan,
sektor informal juga banyak melibatkan anak-anak. Kondisi kemiskinan
mendorong anak-anak menjadi keperja informal.

Arus urbanisai yang cepat cenderung berlebihan menimbulkan berbagai


konsekuensi sosiologis terasuk tumbuh dan kembang anak. Daya dukung perkotaan
yang terbatas dan tidak mampu lagi menampung arus urbanisasi, menyebabkan
armada tenaga kerja dari daerah perdesaan kemudian memasuki sektor informal,
termasuk dalam hal anak-anak. Karena terbatasnya ekonomi kebanyakan orangtua
kemudian terpaksa “mengarahkan” anak-anaknya untuk membantu mencari nafkah
sekaligus megatasu kesulitan ekonomu keluarganya. Strategi ini dipilih oleh
keluarga miskin perkotaan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup. Fenomena
yang muncul kemudian adalah di daerah perkotaan banyak anak yang kemudian
“berprofesi” sebagai “pekerja anak”, “buruh anak”, ataupun “anak jalanan”.
Masalah-masalah tersebut harus dicermati serius karena anak-anak yang termasuk
dalam kategori tersebut sangat rentan terhadap berbagai tindakan kekerasan, baik
dikalangan mereka sendiri, preman atau bahkan penegak hokum.

Krisis ekonomu yang berkepanjangan dan bencana alam yang menimpa


tanah air menyebabkan deretan anak terpaksa meluangkan waktunya untuk mencari
nafkah. Selain itu, jam kerja mereka semakin meningkat yang menyebabkan resiko
mereka untuk mendapatkan berbagai tindakan kekerasan yang sangat merugikan
tumbuh dan kembang anak. Respon masyarakat yang cenderung menyalahkan
korban menjadi tambahan penderitaan mereka ketika terjadi kekerasan terhadap
anak jalanan.

Gambaran permasalahan anak di perkotaan dan perdesaan sangat berbeda.


Keterbatasan fasilitas umum, seperti pendidikan dan kesehatan, serta ketebatasan
finansial orangtua menyebabkan anak di daerah perdesaan sulit untuk mendapatkan
akses pelayanan umum. Meskipun pemerintah menjalankan program wajib belajar
9 tahun, nyatanya masih banyak anak yang terpaksa tidak melanjutkan

13
pendidikannya setelah tamat SD atau bahkan sebelum mereka tamat. Tekanan
ekonomi yang begitu kuat menyebabkan orangtua teroaksa merelakan pendidikan
anaknya. Sehingga membuat anak terpaks untuk membantu orangtua mencari
penghidupannya.keterbatasan prasarana dan juga faktor keamanan yang
menyebabkan orangtua berpikir dua kali untuk mengirim anaknya ke sekolah
terutama anak perempuan. Kondisi ini jika di teruskan akan menyebabkan
pebdidikan di Negara Indonesia akan jauh tertinggal dengan Negara-negara
tetangga.

Berdasarkan survai angkatan kerha nasional tahun 2005, presentase anak


yang bekerja sekitar 5,5 persen dari julkah anak umur 10-14 tahun. Masalah utama
yang dihadapi masyrakat miskin adalah keterbatasan kesempatan kerja, terbatasnya
peluang usaha, lemahnya perlindungan terhadap asset usaha, dan perbedaan upah
serta lemahnya perlindungan kerja.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sektor formal merupakan sektor yang pekerjaan di dalamnya menuntut


tingkat keterampilan yang tinggi, yang biasanya hal ini sulit dipenuhi oleh para
pendatang dari daerah pedesaan. Hubungan ekonomi formal dan informal
merupakan salah satu kajian penting dalam study ekonomi informal. Hubungan
tersebut dapat dilihat dari dua perspektif yaitu pendekatan konflik dan pendekatan
fungsional. Pada pendekatan konflik melihat bahwa kehadiran sektor informal
diperlukan untuk mendukung perkembangan sektor formal. Dengan demikian,
seperti istilah yang sering dilontarkan adalah, sektor informal mensubsidikan sektor
formal. Kata subsidi tersebut merupakan penghalusan dari kata eksploitasi.

3.2 Kritik dan Saran

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari kelemahan-kelemahan yang


kami miliki. Untuk itu kami selaku penulis makalah memohon kritik dan saran
untuk perbaikan makalah kami yang selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Damsar. 2002. Sisiologi Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Drs. Sindung Haryanto, Sosiologi Ekonomi, (Jakarta:Ar-Ruzz Media, 2011), hal


229-233

Haryanto, Sindung. 2011. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Ar-Ruzz Media

http://cortanhugo.blogspot.com/2011/07

http://electrarobhy4.blogspot.com/2014/04/ekonomi-formal-dan-informal.html

16

Anda mungkin juga menyukai