Mutasi Oleh Radiasi Sinar UV Pada Drosop
Mutasi Oleh Radiasi Sinar UV Pada Drosop
LAPORAN PROYEK
Yang dibina oleh Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M.Pd dan Andik Wijayanto M.Si
Disusun Oleh:
Kelompok 15
Diah Ajeng Mustikarini
(140342600824)
JURUSAN BIOLOGI
Maret 2016
BAB I
PENDAHULUAN
.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Klasifikasi D. melanogaster
Menurut Strickberger (1985) klasifikasi dari Drosophila melanogaster adalah
sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Anak Filum : Mandibulata
Induk Filum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Anak Kelas : Pterygota
Bangsa : Diptera
Anak Bangsa : Cyclorihapda
Induk suku : Ephydroideae
Suku : Drosophilidae
Anak Marga : Saphophora
Marga : Drosophila
Jenis : Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster merupakan jenis lalat buah, dimasukkan dalam filum
antropoda kelas insekta diptera, anak bangsa cyclophorha (pengelompokan lalat yang
pupanya terdapat kulit instar 3, mempunyai jaws hooks, seri acaliptra (imago menetas dengan
keluar dari bagian anterior pupa), suku drosophilidae, jenis drosophila melanogeser di
indonesia terdapat sekitar 600 jenis, pulau jawa sekitar 120 jenis dari suku drosophilidae
(wheeler,1981)
Drosophila memiliki ciri morfologi yang berbeda antara jantan dan betinanya. Pada
Drosophila jantan Memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang
betina. Memiliki 3 ruas dibagian abdomennya dan memiliki sisir kelamin.Sedangkan pada
yang betina ukuran relatif lebih besar,memiliki 6 ruas pada bagian abdomen dan tidak
memiliki sisir kelamin (Soemartomo.S.S,1979)
Drosophila memiliki empat stadium metamorfosis yaitu sebagai berikut :
1. Telur
Menurut percobaan M. Bownes dan K. Sander pada tahun 1976, tentang perkembangan
embrio Drosophila melanogaster setelah diberi sinar UV menunjukkan bahwa perkembangan
embrio setelah diberi sinar UV mengalami ketidaknormalan.
Pengaruh strain, lama penyinaran UV dan interaksi antara strain dengan lama
penyinaran UV terhadap persentase penetasan telur D. Melanogaster hasil
persilangan straintx N♂x N♀ dan emal ♂Wx ♀W
3.2 Hipotesis Penelitian
5.1 Data
Drosophilla melanogaster yang digunakan dalam proyek ini adalah strain N dan W
dengan fenotip sebagai berikut:
a. Strain N
b. Strain W
Gambar 5.1.2 Drosophilla melanogaster starinW
(sumber: dokumen pribadi)
Ulangan
1 2 3
Persilangan Perlakuan
akhi
Awal awal akhir awal akhir
r
0 menit 166 166 158 158 151 150
2 menit 55 51
♀N>< ♂N 4 menit 67 58
6 menit
8 menit
0 menit 128 127 103 103 124 124
2 menit 51 46
♀W >< ♂W 4 menit 58 45
6 menit
8 menit
a. Strain N
Perlakuan 0 menit
166
U1= x 100% = 100%
166
158
U2= x 100 %=100 %
158
150
U3= x 100 %=99,4 %
151
Perlakuan 2 menit
51
U1= x 100 %=92,73%
55
Perlakuan 4 menit
58
U1= x 100 %=86,6 %
67
b. Strain W
Perlakuan 0 menit
127
U1= x 100 %=99,20 %
128
103
U2= x 100 %=100 %
103
124
U3= x 100 %=100 %
124
Perlakuan 2 menit
46
U1= x 100 %=90,19 % Perlakuan 4 menit
51
45
U1= x 100 %=77,58 %
58
120%
100%
80%
60% strain N
strain W
40%
20%
0%
0 menit 2 menit 4 menit 6 menit 8 menit
lama penyinaran
Grafik.1 persentase penetasan telur hasil persilangan N dan W
terhadap lama penyinaran UV.
Dari data tersebut terlihat perbandingan persentase keberhasilan penetasan telur yang
berbeda-beda dan akan didapatkan persentase tertinggi untuk perlakuan pada menit tertentu
dan pada strain tertentu. Dari data tersebut persentase keberhasilan penetasan yang paling
banyak adalah pada perlakuan ke 0 menit dari strain N maupun strain W. Pada strain N
perlakuan 0 menit persentase penetasan 100% perlakuan 2 menit persentase penetasan
92,73% sedangkan perlakuan 4 menit persetase penetasan 86,6%. Pada strain W perlakuan 0
menit persentase penetasan 99,20% perlakuan 2 menit persentase penetasan 90,19%
sedangkan perlakuan 4 menit persetase penetasan 77,58%. Dapat disimpulkan sementara
bahwa telur yang diberi perlakuan UV dengan waktu yang lama mengalami penetasan yang
rendah.
BAB VI
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini digunakan telur Drosophila melanogaster karena telur adalah
salah satu tahapan dimana sel-selnya pada saat itu aktif membelah dan tumbuh sehingga
memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi jika terpapar sinar ultraviolet. Pernyataan
tersebut ditambah oleh Barror (1992) yang menyatakan bahwa telur Drosophila
melanogaster dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi
sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (Khorion) dibagian luar dan di anteriornya
terdapat dua tangkai tipis sehingga memungkinkan sinar ultraviolet dapat menembus lapisan
tersebut.
Perlakuan lama penyinaran UV selama 0 menit, 2 menit, 4 menit, 6 menit, dan 8 menit.
Pada penelitian masih didapatkan data pada perlakuan 0 menit, 2 menit, dan 4 menit,
sehingga dapat diketahui untuk sementara bahwa lama penyinaran berpengaruh terhadap
penetasan telur D. Melanogaster. Persentase penetasan telur untuk sementara, telur yang
paling banyak menetas adalah telur yaang tidak diberi perlakuan (kontrol), kemudian semakin
lama waktu penyinaran maka semakin sedikit telur yang dapat menetas untuk strain N
maupun strain W.
Pada perlakuan 2 menit dan 4 menit untuk kedua strain, telur yang menetas semakin
berkurang. Gardner dkk, (1991) menyebutkan bahwa adanya perubahan materi genetik yang
dikenal dengan istilah mutasi didasari oleh peningkatan reaktivitas atom-atom yang secara
langsung terinduksi oleh radiasi. Bisa jadi hal yang sama juga tejadi pada telur
D.Melanogaster. Peningkatan reaktivitas atom-atom dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada gen dan dapat menyebabkan berbagai kelainan genetik. Kelainan genetik
yang terjadi mungkin berupa adanya perubahan pada fenotip dan bahkan dapat menyebabkan
terjadinya kematian pada individu yang bersangkutan.
Pada dasarnya radiasi sinar ultraviolet memiliki bentuk radiasi non pengion yang dapat
meningkatkan reaktifitas molekul DNA. Reaktifitas molekul DNA meningkat disebabkan
karena sinar UV membebaskan energinya kepada atom-atom yang dijumpai sehingga dapat
meningkatkan elektron-elektron pada orbit luar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom-
atom yang memiliki elektron demikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan. Molekul yang
mengandung atom yang berada dalam keadaan tereksitasi, secara kimiawi lebih reaktif
dibandingkan molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam keadaan stabil.
Reaktivitas yang meningkat dari atom-atom pada molekul DNA merupakan dasar dari efek
mutagenik radiasi sinar UV(Gardner, dkk, 1991).
Pendapat lain dapat memperkuat pendapat sebelumnya serta mendukung hasil
penelitian adalah pernyataan dari Hamid (2009) yang mengatakan bahwa sinar ultraviolet
dapat menghasilkan pengaruh, baik letal maupun mutagenik, pada semua jenis virus dan sel.
Pengaruh ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada basa DNA akibat absorpsi
energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan oleh radiasi sinar UV adalah
terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin dimer, yaitu saling terikatnya dua molekul
timin yang berurutan pada sebuah untai DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA
akan terhalang pada posisi terjadinya timin dimer tersebut.
Timin dimer ini menimbulkan mutasi secara tidak langsung yaitu dengan cara
menggangu double helikx DNA serta menghambat pembentukan replikasi DNA. Dalam
hubungannya dengan molekul DNA, senyawa yang paling tergiatkan adalah purin dan
pirimidin, karena kedua senyawa tersebut menyerap cahaya pada panjang gelombang 254 nm
yang merupakan panjang gelombang dari sinar UV. Pada teknik in vitro menunjukkan bahwa
pirimidin terutama timin sangat kuat menyerap sinar pada panjang gelombang 254 nm
sehingga menjadi sangat reaktif.
Mekanisme mutasi pada telur Drosophila melanogaster setelah terpapar sinar ultraviolet
menyabakan ketidaknormalan pada telur tersebut. Berikut ini penjelasan M. Bownes dan K.
Sander pada tahun 1976, tentang perkembangan embrio Drosophila melanogaster setelah
terpapar sinar ultraviolet :
1. Setelah terpapar sinar ultraviolet, nukleus sel telur tidak bisa bermigrasi ke area yang terpapar
radiasi UV, sehingga menyebabkan blastoderm hanya terbentuk pada daerah posterior telur
saja.
2. Karena balstoderm hanya terbentuk pada bagian posterior sacara otomatis pembentukan
blastoderm pada daerah anterior terhambat
3. Ketika efek dari paparan sianr ultraviolet berhenti, inti sel bermigrasi menuju daerah yang
mengalami radiasi ultraviolet, namun blastoderm tetap tidak terbentuk di daerah tersebut.
Karena nantinya blastoderm ini akan bergerak untuk membentuk lapisan blastoderm yang
lengkap.
4. Dalam proses pembentukan lapisan blastoderm yang lengkap,tentunya dibutuhkan energi dan
untuk menfasilitasi hal tersebut maka dilakukan pemotongan sebagian kecil yolk dalam
prosesnya. Hal ini menyebabkan pembentukan kepala embrio yang abnormal dan bagian
mulut tidak terbentuk.
Akibat dari penyinaran tersebut adalah DNA yang terdapat didalam telur D.
melanogaster mengalami mutasi yang berefek dimer timin. Ketika dua molekul timin
berdekatan pada suatu urutan DNA, maka ikatan kovalen akan terbentuk diantara keduanya
sehingga terbentuk dimer timin (Karmana, 2010). Dimer timin ini merupakan saling
terikatnya dua molekul timin yang berurutan pada sebuah untai DNA. Dengan adanya dimer
timin, replikasi DNA akan terhalang pada posisi terjadinya dimer timin tersebut. Mekanisme
perbaikan yang bekerja dalam setiap sel, dapat menghilangkan dimer melalui pergantian basa
nitrogen. Kerusakan pada DNA ini dapat diperbaiki salah satunya dengan mekanisme
fotoreaktivasi.
Akan tetapi pada saat pengamatan pada perlakuan 2 menit,4 menit didapati ada beberapa telur
yang tetap dapat menetas walaupun diberikan paparan sinar ultraviolet. Hasil tersebut didukung oleh
pernyataan Russel (1992) dalam corebima (2000) yang menyatakan bahwa sebelum terjadi kerusakan
yang parah pada jaringan telur, telah terjadi mekanisme perbaikan DNA akibat mutasi induksi yang
disebabkan sinar ultraviolet tersebut. Sel-sel prokariot dan eukariot memiliki sejumlah sistem
perbaikan yang berhubungan dengan kerusakan DNA. Semua sistem itu melakukan perbaikan secara
enzimatis. Kerusakan DNA akibat radiasi sinar ultraviolet dapat diperbaiki antara lain dengan cara
fotoreaktivasi dimmer pirimidin dan perbaikan melalui excision repair yang berjenis nucleotide
excision repair.
Fotoreaktivasi atau Light-dependent repair adalah suatu mekanisme perbaikan DNA yang
memerlukan bantuan cahaya. Proses ini dikatalisasi oleh enzim yang disebut DNA fotoliase. Ketika
DNA terpapar sinar UV,timen dimer akan terbentuk karena adanya ikatan kovalen pada maisng-
masing basa timin. Fotoliase akan mengikat timin dimer pada keadaan gelap,akan tetapi enzim
tersebut tidak dapat mengkatalisasi pemutusan ikatan antara timin satu dengan yang lain tanpa adanya
bantuan dari cahaya tampak (visible light) khususnya cahaya biru dengan panjang gelombang 320-370
nm. Ketika terdapat cahaya biru tersebut maka enzim fotoliase akan teraktifasi sehingga dapat
memutus timen dimer yang bersatu dan bonggolan yang terbentuk akan hilang dan kembali seperti
semulan (Corebima, 2000).
Perbaikan melalui pemotongan (excision repair) disebut juga sebagai perbaikan gelap atau dark
repair, karena tidak dibutuhkan cahaya. Mekanisme Excision repair pada perbaikan DNA melibatkan
3 tahapan penting yaitu :
1. DNA repair endonuklease atau endonuklease adalag enzim kompleks yang mengikat dan
memotong basa DNA yang mengalami kerusakan.
2. DNA polimerase mengisi celah yang terpotong menggunakan unting komplementer baru yang
tidak mengalami kerusakan sebgagai cetakan.
3. DNA ligase menggabungkan bagian yang belum tersambung untuk melengkapi proses
perbaikan DNA(Gardner,1991).
Ada 2 jenis dari Excision repair yaitu base excision repair yang berfungsi untuk mengganti basa
DNA yang abnormal dan nucleotide excision repair yang memperbaiki kerusakan besar seperti dimer
timin.
Nucleotide excision repair memindahkan dan menghilangkan bonggolan yang terbentuk akibat
dimer timin . Proses ini dikatalisasi oleh sebuah enzim nuklease unik yang dapat memotong bagian
yang mengalami kerusakan pada nukleotida, enzim ini disebut eksinuklease untuk membedakannya
dari endonuklease dan eksonuklease yang berperan dalam metabolisme DNA yang lain.Adapun
mekanisme dari nucleotide excision repair adalah sebagai berikut (Gardner,1991):
Aktifitas eksinuklease membutuhkan peranan dari 3 gen yaitu uvrA, uvrB dan uvrC (uvr = uv
repair). Sebuah protein trimer mengandung 2 polipeptida uvrA dan satu polipeptida uvrB yang dapat
mengenali kerusakan DNA. Protein timer tersebut akan mengikat pada bagian DNA yang rusak dan
menggunakan energi berupa ATP untuk membengkokkan DNA pada tempat yang rusak. Kemudian
uvrA dimer terlepas dan digantikan dengan protein uvrC yang mengikat uvrB/Kompleks DNA.Protein
uvrC memotong 4 sampai 5 ikatan fosfodiester dari nukleotida yang rusak pada ujung 3’ dan
menghubungkan 8 ikatan fosfodiester pada ujung 5’. Setelah itu gen uvrD menghasilkan DNA
helicase II untuk melepaskan dodecamer. Dua tahapan terakhir pada mekanisem ini yaitu DNA
polimerase I mengisi celah yang kosong dengan menggunakan unting komplementer sebagai cetakan
dan DNA ligase menggabungkan celah yang belum bergabung pada molekul DNA.
Dari kedua proses mekanisme perbaikan DNA yang ada dapat semakin memperkuat bukti
bahwa telur yang masih dapat menetas walaupun sudah terpapar sinar UV adalah karena adanya
proses perbaikan DNA sebelum terjadi kerusakan yang parah.
Berdasarkan data sementara yang telah didapat macam strain berpengaruh terhadap
penetasan telur D. Melanogaster. Pada strain N untuk sementara memiliki tingkat penetasan
yang lebih banyak daripada starin W. Hal tersebut terjadi karena strain N merupakan wild
type/normal sehingga daya sensitivitasnya lebih rendah daripada strain W yang sudah
merupakan strain mutan. Menurut Sa’adah (2000), rendahnya jumlah penetasan telur serta
tingginya tingkat kematian telur D. Melanogaster, diduga berhubungan dengan sensitivitas
telur terhadap radiasi sinar UV. Seperti yang telah dikemukakan oleh Crawder (1990) bahwa
embrio lebih sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Sel yang aktif tumbuh dan
membelah lebih sensitif terhadap radiasi. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa telur yang
berhasil menetas adalah telur yang mempunyai viabilitas cukup tinggi terhadap radiasi sinar
UV. Secara lebih spesifik, sensitivitas telur terhadap radiasi dan viabilitas telur D.
Melanogaster berkaitan dengan perubahan materi genetik akibat radiasi yang diterimanya.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan sementara
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang sudah dilakukan didapatkan
kesimpulan sementara sebagai berikut :
1. Lama penyinaran sinar ultraviolet (UV) berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur lalat D.melanogaster. Terdapat perbedaan persentase jumlah telur yang menetas
dari lama penyinaran pada strain N dan W yang diberi perlakuan sinar UV, dimana
perlakuan 0 menit menunjukkan rata-rata penetasan tertinggi daripada perlakuan
yang lain.
2. Macam strain berpengaruh terhadap persentase penetasan telur D.melanogaster, hal
ini disebabkan karena strain N merupakan D. melanogaster normal sedangkan strain
W merupakan D. melanogaster yang mengalami mutasi, sehingga tingkat sensitivitas
pada strain W tinggi.
DAFTAR RUJUKAN
Sa’adah, Kamilatus. 2000. Pengaruh Radiasi Sinar Ultraviolet Terhadap Penetasan Telur
dan Kestabilan Genetik Drosophila melanogaster strain N dan b Dalam Kaitan
Dengan Mutasi Gen. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.
Sander, K. Dan M. Bownes. 1976. The Development of Drosophila embryos after partial u.v.
irradiation. J. Embryol. exp. Morph. Vol. 36, 2, pp. 394-408, 1976 (Online). Diakses
pada 30 Maret 2016
Sinnott, Edmund W. 1958. Principal of Genetics. Fifth Edition. New York: McGRAW-HILL
Book Company, Inc.
Strickberger Monroe W. 1985. Genetics Third Edition. New York : Macmilan Publishing
Company
Wheeler, MR. 1981. The Drosophilidae: a taxonomic overview. In: The genetics and biology
of Drosophila (Ashburner M, Carson HL and Thompson JN Jr, eds). New
York: Academic Press.