Anda di halaman 1dari 13

Resume The structural characteristics of modern leisure practice

Disusun oleh:
- Angela Tria Marceline / 190906822
- Marvelin Ang / 190906832
- Cintya Pradnya A. / 200907147

A. Introduction: Leisure without society?


1. Leisure and Academic Sociology
Pada bagian “Introduction: Leisure Without Society”, Rojek
memulai dengan mengemukakan pertanyaan mendasar tentang apakah
mungkin ada waktu luang tanpa adanya masyarakat. Ia menunjukkan bahwa
waktu luang merupakan konsep yang terkait erat dengan kemajuan sosial
dan ekonomi, dan telah mengalami banyak perubahan sepanjang sejarah
(Rojek, 2014, h. 1–2). Ia kemudian menjelaskan bahwa buku ini akan
mengeksplorasi hubungan antara kapitalisme dan waktu luang. Rojek
menegaskan bahwa waktu luang bukanlah waktu yang tidak produktif,
tetapi sebaliknya, ia merupakan waktu yang sangat produktif dalam
ekonomi kapitalis. Ia juga memperkenalkan konsep "industri hiburan" dan
menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang digolongkan sebagai hiburan
sebenarnya merupakan bagian dari pasar yang sangat besar (Rojek, 2014, h.
5).
Dalam buku ini, Rojek membahas bagaimana waktu luang sering
diabaikan oleh disiplin ilmu sosiologi akademis. Ia menyoroti bahwa
sosiologi akademis cenderung memprioritaskan topik-topik seperti
pekerjaan, keluarga, dan agama dalam penelitian mereka, sementara leisure
dan waktu luang sering diabaikan atau dianggap sebagai topik yang tidak
penting. Rojek Chris menegaskan pentingnya memasukkan kajian leisure
dan waktu luang ke dalam ranah penelitian sosiologi akademis, karena hal
tersebut merupakan bagian yang penting dari kehidupan sosial manusia dan
juga merupakan topik yang kompleks dan menarik untuk diteliti (Rojek,
2014, h. 2).
Produk dan layanan waktu luang mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat. Sosiologi akademis pun mengalami perluasan besar-besaran,
yang salah satunya adalah minat yang diperbaharui terhadap proses
industrialisasi. Banyak sosiolog berpendapat bahwa pertumbuhan waktu
luang menandakan awal dari "masyarakat waktu luang" dan bahwa
pergeseran dari hidup yang berpusat pada pekerjaan ke hidup yang berpusat
pada waktu luang adalah efek "alami" dari industrialisasi maju (Rojek,
2014, h. 2–3).

2. The Submerged Tradition in Leisure Theory


Dalam pendahuluan mengenai teori waktu luang, Rojek juga
menyoroti kegagalan dari formalisme sosial sebagai dominan dalam
penelitian sosiologi waktu luang. Rojek berargumen bahwa kegagalan
formalisme sosial terletak pada ketidaktahuan mereka dalam meletakkan
hubungan waktu luang dalam konteks sejarah dan struktur kekuasaan
masyarakat kapitalis. Selain itu, ia juga meninjau kembali pendahulu teori
waktu luang, seperti Marx, Durkheim, Weber, dan Freud, yang menurutnya
mewakili tradisi terpendam dalam teori waktu luang. Rojek menyoroti
pentingnya mempertimbangkan konteks sejarah dan struktural dalam
penelitian tentang waktu luang, serta menegaskan bahwa penulis klasik
seperti Marx, Durkheim, Weber, dan Freud memiliki relevansi penting
dalam pengembangan teori waktu luang.(Rojek, 2014, h. 4).

3. Leisure and Multi-Paradigmatic Rivalry


Rojek mengkritik pendekatan formalis sosial yang dominan dalam
kajian sosial waktu luang karena tidak memperhatikan konteks sejarah dan
struktur kekuasaan dalam masyarakat kapitalis. Ia juga menyatakan bahwa
pandangan-pandangan Marx, Durkheim, Weber, dan Freud mengenai
masyarakat juga dapat diterapkan dalam kajian sosial waktu luang (Rojek,
2014, h. 4–5). Untuk itulah Rojek memberikan pendekatan
multi-paradigmatik yang menggabungkan berbagai pandangan dan teori
untuk memahami waktu luang secara holistik. Selanjutnya, Rojek juga
membahas mengenai bagaimana pengembangan teori dan penelitian
mengenai waktu luang atau kegiatan rekreasi dipengaruhi oleh paradigma
ilmiah yang dominan pada suatu waktu. Rojek juga membahas konflik
antara berbagai paradigma ilmiah dalam memahami waktu luang dan
kegiatan rekreasi serta dampaknya terhadap perkembangan teori dan praktik
di bidang tersebut.

4. Leisure Theory and Scientific Establishments


Rojek juga membahas konflik antara berbagai paradigma ilmiah
dalam memahami waktu luang dan kegiatan rekreasi serta dampaknya
terhadap perkembangan teori dan praktik di bidang tersebut. Artikel ini
menyoroti tentang pentingnya menganggap perbedaan pandangan dan
memperluas perspektif dalam memahami waktu luang dan kegiatan rekreasi
untuk memperkaya pemahaman kita tentang fenomena yang ada (Rojek,
2014, h.6-9)

B. Leisure and free time


The problem of free time': the case of women's leisure
Rojek menekankan bahwa waktu luang dan leisure tidaklah sama. Waktu
luang hanyalah sebuah waktu kosong yang tersedia ketika seseorang tidak
melakukan aktivitas pekerjaan atau tugas lainnya. Sedangkan leisure adalah
kegiatan yang dilakukan secara sukarela dan menyenangkan, dan biasanya
dijalankan saat waktu luang. Namun, Rojek juga menyatakan bahwa tidak semua
kegiatan yang dilakukan selama waktu luang dapat dianggap sebagai leisure,
tergantung dari pengalaman dan persepsi individu terhadap kegiatan tersebut
(Rojek, 2014, h. 16). Salah satu contohnya adalah pengalaman perempuan dalam
melihat konsep waktu luas. Perempuan mengalami kesulitan dalam
memanfaatkan waktu luang mereka karena adanya peran gender dan ekspektasi
sosial yang terkait dengan perempuan. Rojek menyebut bahwa waktu luang
perempuan cenderung diisi dengan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak,
sehingga mereka memiliki sedikit waktu untuk diri sendiri dan kegiatan yang
menyenangkan (Rojek, 2014, h. 16–17). Lebih lanjut, Rojek juga membahas
tentang bagaimana adanya kesenjangan gender dalam akses terhadap waktu luang
dan fasilitas rekreasi. Perempuan lebih sulit mengakses fasilitas rekreasi seperti
olahraga dan tempat hiburan karena banyaknya faktor yang menghalangi, seperti
peran gender yang dibebankan pada mereka dan pengasuhan anak. Hal ini
menunjukkan pentingnya perspektif gender dalam memahami hubungan antara
waktu luang dan keadilan sosial (Rojek, 2014, h. 18).

C. The organization of leisure in modern capitalism


Rojek (2014, h. 18) menjelaskan bahwa terdapat dua metodologi posisi
dalam mempelajari waktu luang. Pertama, pada dasarnya untuk mempelajari
waktu luang sebagai data langsung dapat dilihat dari pengalaman yang dimiliki
oleh manusia, yaitu dari kenyamanan yang dibentuk oleh kebiasaan atau interaksi
sosial yang dilakukan manusia. Kedua, semua pandangan terhadap waktu luang
mengabdikan diri pada hukum universal yang dimana waktu luang itu harus
ditinggalkan, karena praktek dalam memanfaatkan waktu luang berkaitan dengan
hubungan dinamis yang berubah tiap waktu. Adanya tekanan pada proses dan
perubahan dapat menyimpulkan bahwa waktu luang semuanya terlalu dinamis.
Untuk itu dibentuk kecenderungan yang dapat mencegah konstruksi semacam
waktu luang yang tidak bisa disemangatkan. Diantaranya kecenderungan itu
adalah:
- Privatization
Rojek (2014, h. 19) menjelaskan pada zaman sekarang rumah menjadi
tempat untuk menciptakan pengalaman bersantai paling mudah yang
dinikmati oleh masyarakat kapitalis. Produk kapitalis yang utama dalam hal
ini adalah produksi massa hiburan seperti televisi, radio, audio, dan video.
Keberadaan microchip telah merevolusi ruang lingkup bagi produsen untuk
bisa lebih menikmati kecenderungan waktu luang yang mereka ciptakan.
Revolusi yang paling jelas adalah dalam kasus televisi, dimana terdapat
beberapa hal yang menggabungkan sejumlah fungsi rekreasi, antara lain:
a. Adanya siaran komersial dan layanan publik
b. Proses informasi dari berbagai sistem teleteks
c. Video on demand
d. Menerima transmisi kabel
e. Dapat dijadikan seperti komputer
- Individuation
Individuasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana seorang tertentu
yang secara publik diakui, namun terpisah dan berbeda dari orang lain (Rojek,
2014, h. 20). Adapun bentuk dari individuasi, yaitu nama, tanggal lahir,
kebangsaan, status perkawinan, alamat rumah, dan lain sebagainya. Terdapat
dua poin yang perlu diperhatikan untuk melihat bagaimana individuasi dalam
penerapan waktu luang modern, yaitu yang pertama, seseorang menemukan
titik referensi yang sesuai dalam spesialisasi dan diferensiasi penerapan waktu
luang. Yang kedua, industri rekreasi yang diproduksi secara massal dan
disajikan kepada individu sebagai sajian gaya hidup pribadi yang unik dan
menarik.
- Commercialization
Kecenderungan rasa nyaman yang diciptakan dalam waktu luang
semakin berkembang, seperti ke arah komersial. Roberts (dalam Rojek,
2014, h. 21) mengatakan bahwa di Inggris rekreasi yang diciptakan dari
waktu luang untuk hal komersial antara lain televisi, alkohol, seks,
tembakau, dan perjudian. Roberts juga mengatakan bahwa industri yang
disebutkan tersebut bernilai jutaan pound yang menghasilkan keuntungan
terus menerus untuk kepentingan sosial yang dimiliki kaum kapitalisme.
Selain itu, industri lainnya yang diciptakan karena adanya waktu luang oleh
kapitalisme adalah pariwisata, olahraga, berlibur ke alam, bidang
komunikasi massa yang luas, seperti musik pop, video, televisi, buku, dan
lain sebagainya.
- Pacification
Masyarakat kapitalis modern didasarkan pada pembagian kerja yang
kompleks, hal ini dimaksudkan pada adanya bentuk ikatan kekuasaan dan
integrasi sosial yang khas. Selain itu, adanya terobosan revolusioner yang
dibuat dalam sains, industri, dan komunikasi membawa peluang untuk
kegembiraan dan kesenangan dalam hubungan kerja dan rekreasi. Eksplorasi
mengenai pasifikasi dalam waktu luang dihubungkan juga dengan teori
tentang ‘proses pembudayaan’, yang mengacu pada perubahan jangka
panjang dalam organisasi sosial dari suatu emosi yang ada dalam diri
seseorang. Dalam bentuk kecenderungan ini, yang dominan bukanlah untuk
mengekspresikan emosi yang intens tetapi seperti membuat diri seseorang
terperangkap suatu ruang yang diciptakan dalam dirinya sendiri.

D. Historicizing leisure
1. The historical dimension: the problem of periodization
Perspektif historis dalam studi waktu luang merupakan sebuah
pertahanan terbaik bahwa hubungan waktu luang itu unik pada periode waktu
tertentu. Ini membantu kita melihat dengan jelas bahwa hubungan waktu luang
modern merupakan tepi luar yang muncul dari gelombang pembangunan
jangka panjang.
Praktik waktu luang yang kita anggap ‘normal’ sebenarnya diproduksi
dan direproduksi secara historis. Ini sangat penting karena mengarahkan
perhatian ke kepentingan sosial. Wawasan ini penting, apapun yang kita
peroleh dari sejarah yang ada berguna untuk membandingkan perilaku kita.
Contohnya, asumsi bahwa dahulu semua orang lebih sopan, tidak ada
pengaruh di masa muda, banyak waktu senggang dan lebih menyenangkan.
Namun hal itu belum tentu, dan itu terungkap saat diuji.
Periode industrialisasi sebagai pusat unit waktu telah banyak diadopsi.
Industrialisasi ini dianggap sangat krusial, menurut Marx dan Engels (1968,
hal. 38), kebangkitan industri kapitalisme menghasilkan “revolusi produksi
yang terus menerus, banyak gangguan sosial, ketidakpastian abadi dan agitasi.
Banyak prasangka dan pendapat kuno semua tersapu, semuanya yang baru jadi
kuno sebelum mengeras. Yang padat jadi melebur, yang suci jadi dikotori”.
2. Industrialization and time consciousness
Menurut Thompson, waktu pada masyarakat pra-industri merupakan
‘task oriented’ yakni hal itu diukur secara praktis berkaitan dengan pribadi
orang, pengalaman kerja, kebiasaan, dan pekerjaan rumah tangga. Hal ini
diperhitungkan dengan melihat berapa lama dia melakukan kegiatan tersebut,
seperti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk masak nasi, sarapan,
memperbaiki sesuatu, dll. Pekerjaan dan waktu luang tidak dibedakan secara
tajam, waktu tidak dialami sebagai kendala eksternal.
Semua ini berubah saat industrialisasi. Pekerja mulai merumuskan
perbedaan antara waktu mereka dan waktu pemberi kerja. Bagi pengusaha,
waktu adalah uang. Ini adalah sumber daya manajemen utama untuk
dimanipulasi. Bagi buruh, satu hari kerja yang hilang adalah upah satu hari
yang hilang. Ini menunjukkan, waktu secara bertahap dimodifikasi. Dengan
hal ini, kapitalisme masuk dalam unit yang digunakan orang untuk mengukur
kehidupan mereka.
Tiga peringatan soal posisi Thompson mengenai hubungan industrialisasi
dengan waktu. Pertama, salah jika menganggap disiplin waktu diciptakan oleh
industrialisasi. Masyarakat pra industri menyadari perbedaan antara kerja dan
waktu istirahat. Mereka akan bekerja keras ketika kebutuhan rumah tangga,
kehidupan masyarakat, dll adalah hal yang perlu. Kalau tidak perlu, sikap
bekerja mereka akan fleksibel dan santai.
Kedua, hubungan antara waktu dan uang dipahami dengan baik oleh
masyarakat pra industri. Seperti yang ditunjukkan Aries (1981, hal. 173-96)
bahwa doa untuk orang mati dan massa wakaf dikaitkan dengan uang. Tidak
ada jaminan untuk orang kaya dan berkuasa akan masuk surga, kecuali mereka
yang saleh dan dermawan.
Ketiga, salah jika menganggap industrialisasi berdampak pada semua
konvensi dan nilai pra industri. Kesinambungan dalam praktik waktu luang
menjembatani perpecahan industri. Memang benar bahwa kerja normal yang
jam kerjanya dibatasi dan diselingi waktu istirahat yang disepakati adalah ciri
universal pekerjaan yang muncul pada kapitalisme industri. Intinya, gagasan
waktu luang tidak ada dalam masyarakat pra industri. Yang ada adalah jalinan
rumit non-kerja yang diritualkan sebagai ‘waktu menganggur’.
3. Carnival in the middle ages
Karnaval dirayakan sebagai waktu non kerja dan sangat dihargai sebagai
pelepasan karya Characteristic of Modern Leisure Practice. Bakhtin (1968)
menjelaskan bahwa karnaval adalah periode bergembira tanpa batas dalam
kehidupan orang biasa. Pekerjaan ditangguhkan, yang rendah mengejek yang
tinggi, begitu juga sebaliknya. Karnaval membawa semua orang dari berbagai
lapisan dan tingkatan untuk bersama-sama berbagi ‘universal spirit’.
Namun, hal ini akan salah paham di struktur sosial dan ekonomi
kehidupan abad pertengahan. Kekotoran karnaval terkait dengan rendahnya
kontrol bahwa orang punya kekuatan alam dan emosi mereka. Orang akan
selalu bergantung satu sama lain, namun kita bisa membayangkan banyak
populasi dapat terjerumus dalam krisis, seperti banjir atau bencana alam
lainnya, dimana mereka bisa menikmati kesenangan yang berlebihan dalam
bentuk rekreasi massal itu. Timbal balik dan mutualitas kehidupan sosial yang
dilambangkan dan diperkuat oleh citra tubuh fisik digambarkan dalam
permainan karnaval ini.

E. Leisure and class: a unified problematic?


Kelas adalah pengaruh mendasar pada produksi dan reproduksi hubungan
waktu luang. Di atas segalanya, pendekatan kelas telah mengajarkan kita bahwa
kita tidak dapat berbicara tentang pengalaman subyektif waktu luang dalam bentuk
tunggal karena tidak ada seorang pun yang ada dalam bentuk tunggal; apalagi kita
dapat mencoba memberi label hubungan waktu luang dalam isolasi karena tidak
ada peristiwa sosial yang terjadi dalam isolasi (Rojek, 2014, 30). Akan tetapi,
ketika membahas sosiologi waktu luang dalam problematika kelas dapat
memunculkan sebuah masalah. Stedman Jones (1977) dengan tradisi Marxis
berpendapat bahwa konsep kontrol kelas sering mengarah pada pandangan 'sepihak'
dari perjuangan kelas (Rojek, 2014, 30).
Seringkali kelas dominan dipandang mengeksploitasi kelas masyarakat
bawah. Hal ini menimbulkan efek perjuangan kelas di bawah kapitalisme dibuat
tampak kurang kontradiktif daripada yang sebenarnya. Stedman Jones tidak
berpendapat bahwa konsep kelas tidak tepat penempatannya dalam sosiologi waktu
luang, sebaliknya dia berpendapat bahwa butuh penerapan konsep yang lebih kritis
dan ketat dalam analisis tentang bagaimana hubungan waktu luang secara historis
dan material (Rojek, 2014, 30). Foucault juga menuliskan poin yang serupa, bahwa
‘Apapun’ bisa disimpulkan dari fenomena umum kelas borjuis.
Rojek pribadi memiliki pandangan bahwa model berbasis kelas kurang
cocok karena model berbasis kelas tidak menganggap penting tingkat integrasi
sosial dalam praktik waktu luang dan kehidupan sosial umum, yang menggantikan
hubungan kelas. Terdapat tiga tingkatan terpenting dalam hal ini, yaitu
nasionalisme (nasionalism), seksisme (sexism), dan peradaban (civilization) (Rojek,
2014, 31). Marx tidak pernah menganggap serius soal nasionalisme. Dirinya
menolak karena menganggap itu sebagai epifenomena masyarakat kelas belaka.
Hal ini sesuai dengan yang dirinya dan Engels jelaskan dalam “The Communist
Manifesto” yakni kaum borjuis dengan peningkatan pesat semua alat produksi,
dengan seluruh sarana komunikasi yang difasilitasi menarik semua, bahkan barbar
bangsa menuju ke peradaban (Rojek, 2014, 31). Baginya, keberpihakan nasional
dan pemikiran sempit menjadi semakin tidak mungkin. Hampir seluruh catatan
sejarah abad 20 serta urusan dunia kontemporer bertentangan dengan apa yang
Marx sampaikan ini.
Adapun kritik Marx terhadap keluarga Borjuis terkait dominasi seksual oleh
laki-laki. Ada bahaya dalam membaca hubungan seksisme dari model kelas
masyarakat. Misalnya, Anderson mengenai dominasi seksual jauh lebih tua secara
historis dan lebih dalam berakar secara budaya, sebagai sebuah pola
ketidaksetaraan daripada eksploitasi kelas (Rojek, 2014, 31). Tidak ada yang lain,
Marxis paling percaya bahwa sosialisasi pekerjaan rumah, gerakan untuk gaji yang
sama, serta penghapusan kelas secara otomatis akan terlihat dan terdengar seperti
tanda buruk seksisme.
Freud menggunakan dua argumen utama terhadap model terkait kesulitan
yang ditimbulkan dari pertanyaan tentang peradaban bagi suatu kelas model
perkembangan sosial. Pertama, Freud menyampaikan soal analisisnya tentang
musim semi konflik sosial adalah reduktif palsu (Rojek, 2014, 31). Freud
menjelaskan bahwa sosialisasi alat produksi tidak membawa pengurangan dalam
agresivitas manusia. Maka dari itu, konflik dan kekerasan dalam masyarakat tidak
bisa disebabkan oleh perjuangan kelas.
Kedua, pandangan Freud mengenai tatanan sosial dipertahankan dan
direproduksi menghalangi dirinya untuk percaya terkait sejarah manusia adalah
sejarah perjuangan kelas (Rojek, 2014, 32). Dirinya mempercayai bahwa
pengorbanan yang dituntut oleh peradaban tidak lantas membuat perbedaan antara
borjuis dan proletar. Semuanya harus tunduk pada persyaratan sosial dasar
penolakan naluriah. Meski masyarakat tanpa kelas ini dapat dicapai,
ketidakbahagiaan dan perselisihan dalam masyarakat beradab tetap akan terasa dan
terjadi. Semua kehidupan yang beradab akan mempertahankan ketertiban dan
kemajuan sosial.

Conclusion
Laki-laki dan perempuan tidak lahir dengan atribut pencarian waktu luang,
melainkan lahir dengan karakteristik seksual seperti warna kulit, orang tua, dan ras.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat aktivitas santai sebagai indikasi paling jelas
tentang siapa seseorang sebenarnya; lebih dari label lain seperti pekerjaan (Rojek, 2014,
32). Seseorang harus bekerja untuk mendapatkan kehidupan, sedangkan seseorang
melakukan kegiatan di waktu luang karena memang keinginan mereka. Bab ini
menegaskan bahwa kebebasan dan pilihan populer terkait dengan praktik waktu luang
modern bersifat menipu. Kesepakatan mengenai hubungan waktu luang dibangun
berdasarkan sejarahnya. Waktu luang juga terikat dengan sistem legitimasi yang
mengatur praktik waktu luang (Rojek, 2014, 32).

Contoh Fenomena
Seiring dengan berkembangnya teknologi, teknologi komunikasi juga semakin
berkembang. Saat ini, kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh internet. Contohnya
adalah ketika sedang sendirian di tengah keramaian, seseorang tetap dapat
berkomunikasi melalui aplikasi media sosial seperti WhatsApp dan LINE. Ketika
seseorang sedang bosan, ia dapat menonton video atau film pendek melalui aplikasi
Youtube. Selain itu, ada juga media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan
Twitter yang dapat dimanfaatkan untuk berbagi konten. Munculnya berbagai platform
media sosial ini membuat manusia mengisi waktu luang (leisure time) mereka dengan
mengakses atau scroll media sosial yang ada.
Gambar 1. Promo kartu perdana Tri (Sumber: LINK)

Gambar 2. Promo kartu perdana XL (Sumber: LINK)

Gambar 3. Promo Wi-Fi Biznet (Sumber: LINK)

Gambar 4. Promo Wi-Fi MyRepublic (Sumber: LINK)


Untuk bisa mengakses media sosial dan internet kita memerlukan kuota atau
paket internet. Oleh karena itu, kaum kapitalis berlomba-lomba untuk menyediakan
layanan internet dan bahkan memberikan diskon untuk para pengguna, baik pengguna
baru ataupun pengguna lama. Kaum kapitalis dalam hal ini adalah perusahaan penyedia
layanan internet, baik itu provider seperti XL, Telkomsel, Indosat, Tri, dan Smartfren,
maupun penyedia layanan Wi-Fi seperti Indihome, Biznet, MyRepublic, dan First
Media. Hal ini sejalan dengan konsep komersialisasi waktu luang dalam kapitalisme
modern. Waktu luang semakin dijalankan pada lini bisnis (Rojek, 2014, h. 21). Semakin
banyak waktu luang yang digunakan untuk mengakses internet, maka semakin
dibutuhkan pula kuota internet. Hal ini akhirnya dimanfaatkan kaum kapitalis untuk
mengkomersialisasikan paket-paket yang dapat digunakan oleh masyarakat agar mereka
bisa mendapatkan keuntungan dari pengguna.
Daftar Pustaka
Cara Daftar Paket Internet XL Xtra Kuota 30GB Rp 10000 [Gambar] (23 April 2023).
Diakses pada 5 Mei 2023 dari
https://www.paketinternet.net/2018/03/paket-internet-xl-xtra-kuota-30-gb.html.
Masyarakat Semarang Kini Bisa Menikmati Layanan Internet yang Semakin Cepat dan
Terjangkau [Gambar] (22 Januari 2018). Diakses pada 5 Mei 2023 dari
https://registration.biznethome.net/news-media/corporate-news/the-people-in-semara
ng-can-now-enjoy-fast-and-affordable-internet-service.
Paket Mix Tri adalah ragam pilihan isi ulang untuk kebutuhan digital lifestyle-mu [Gambar]
(n.d.). Diakses pada 5 Mei 2023 dari https://tri.co.id/PaketMixTri.
Promo terbatas tinggal 2 hari lagi [Gambar] (14 April 2022). Diakses pada 5 Mei 2023
dari https://twitter.com/MyRepublicID/status/1514570638144389121?s=20.
Rojek, C. (2014). Capitalism and leisure theory. USA: Tavistock Publications.

Anda mungkin juga menyukai