Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi neonatal masih merupakan masalah di bidang pelayanan
Perinatologi dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan
berbagai latar belakang penyebab. Air ketuban keruh bercampur mekonium
(selanjutnya disebut AKK) dapat menyebabkan sindrom aspirasi mekonium
(SAM) yang mengakibatkan asfiksia neonatorum yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi infeksi neonatal. Diagnosis berdasarkan atas penemuan
pemeriksaan radiologis. Penyebab SAM belum jelas mungkin terjadi intra uterin
atau segera sesudah lahir akibat hipoksia janin kronik dan asidosis serta kejadian
kronik intra uterin.
Faktor risiko SAM adalah skor Apgar <5 pada menit ke lima, mekonium
kental, denyut jantung yang tidak teratur atau tidak jelas, dan berat lahir.
Diagnosis infeksi neonatal sulit, didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan penunjang. Banyak panduan atau sistem skor untuk menegakkan
diagnosis infeksi neonatal. Salah satu panduan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis infeksi neonatal adalah panduan WHO yang sudah diadaptasi di
Indonesia. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biakan darah, cairan serebrospinal,
urin, dan infeksi lokal. Petanda diagnostik sangat berguna sebagai indikator sepsis
neonatal karena dapat meningkatkan sensitivitas dan ketelitian diagnosis serta
berguna untuk memberikan menghentikan secara dini terapi antibiotik. Namun
tidak ada satupun uji diagnostik terbaru tunggal yang cukup sensitif dan spesifik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
2. Apa saja etiologi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
3. Bagaimana patofisiologi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
4. Apa saja factor resiko sindrom aspirasi meconium pada bayi?

1
5. Apa saja gambaran klinis aspirasi sindrom meconium pada bayi?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang aspirasi sindrom meconium pada bayi?
7. Apa diagnosis aspirasi sindrom meconium pada bayi?
8. Apa diagnose banding sindrom aspirasi meconium pada bayi?
9. Bagaimana panatalaksanaan sindrom aspirasi meconium pada bayi?
10. Bagaimana asuhan keperawatan sindrom aspirasi meconium pada bayi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
2. Mengetahui etiologi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
3. Mengetahui patofisiologi sindrom aspirasi meconium pada bayi?
4. Mengetahui factor resiko sindrom aspirasi meconium pada bayi?
5. Mengetahui gambaran klinis aspirasi sindrom meconium pada bayi?
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang aspirasi sindrom meconium pada bayi?
7. Mengetahui diagnosis aspirasi sindrom meconium pada bayi?
8. Mengetahui diagnose banding sindrom aspirasi meconium pada bayi?
9. Mengetahui penatalaksanaan sindrom aspirasi meconium pada bayi?
10. Mengetahui asuhan keperawatan sindrom aspirasi meconium pada bayi?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang


diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran
pernafasan bayi. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu
penyebab yang paling sering menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru
lahir aterm maupun post-term. Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi
gastrointestinal, hepar, dan pancreas janin, debris seluler, cairan amnion, serta
lanugo. Cairan amnion mekonial terdapat sekitar 10-15% dari semua jumlah
kelahiran cukup bulan (aterm), tetapi SAM terjadi pada 4-10% dari bayi-bayi ini,
dan sepertiga diantara membutuhkan bantuan ventilator. Adanya mekonium pada
cairan amnion jarang dijumpai pada kelahiran preterm. Resiko SAM dan
kegagalan pernapasan yang terkait, meningkat ketika mekoniumnya kental dan
apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang dilahirkan dengan
cairan amnion yang mekonial memperlihatkan distres pernapasan walaupun tidak
ada mekonium yang terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada
beberapa bayi, aspirasi mungkin terjadi intrauterine, sebelum dilahirkan.

2.2 Etiologi

Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion


yang mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar
(intrauterin) bila terjadi stres / kegawatan intrauterin. Mekonium yang terhirup
bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada saluran pernafasan,
sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan pertukaran udara di paru-
paru. Selain itu, mekonium juga berakibat pada iritasi dan peradangan pada
saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia kimiawi.

3
efek
mediator
inflamasi
(sitokin,
dan edema disfungsi
eikosanoid)
alveolar surfaktan
dan
parenkimal
perubahan
daya elastis
kebocoran
paru
protein ke
(peningkatan
dalam jalan
resisten,
nafas
penurunan
kompli ens)
SA
M toksisitas
sumbatan langsung
jalan nafas oleh unsur
mekonium

efek hipoksemia vasokonstriksi


dalam intra uterin pulmoner
(perubahan oleh karena
bentuk vaskuler perubahan komponen
pulmonal, reaktivitas mekonium
perubahan pembuluh
parenkimal paru) darah paru

Bagan 2.1 Etiologi Sindroma Aspirasi Mekonium (Clark, 2010)

2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko yang terkait kejadian SAM antara lain adalah kehamilan
post-term, pre-eklampsia, eklampsia, hipertensi pada ibu, diabetes mellitus pada
ibu, bayi kecil masa kehamilan (KMK), ibu yang perokok berat, penderita
penyakit paru kronik, atau penyakit kardiovaskular.

4
2.4 Patofisiologi

Keluarnya mekonium intrauterine terjadi akibat dari stimulasi saraf


saluran pencernaan yang sudah matur dan biasanya akibat dari stres hipoksia
pada fetus. Fetus yang mencapai masa matur, saluran gastrointestinalnya juga
matur, sehingga stimulasi vagal dari kepala atau penekanan pusat menyebabkan
peristalsis dan relaksasi sfingter ani, sehingga menyebabkan keluarnya
mekonium. Mekonium secara langsung mengubah cairan amniotik, menurunkan
aktivitas anti-bakterial dan setelah itu meningkatkan resiko infeksi bakteri
perinatal. Selain itu, mekonium dapat mengiritasi kulit fetus, kemudian
meningkatkan insiden eritema toksikum. Bagaimanapun, komplikasi yang paling
berat dari keluarnya mekonium dalam uterus adalah aspirasi cairan amnion yang
tercemar mekonium sebelum, selama, maupun setelah kelahiran. Aspirasi cairan
amnion mekonial ini akan menyebabkan hipoksia melalui 4 efek utama pada
paru, yaitu: obstruksi jalan nafas (total maupun parsial), disfungsi surfaktan,
pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal.
1. Obstruksi jalan nafas
Obstruksi total jalan nafas oleh mekonium menyebabkan atelektasis.
Obstruksi parsial menyebabkan udara terperangkap dan hiperdistensi alveoli,
biasanya termasuk efek fenomena ball-valve. Hiperdistensi alveoli menyebabkan
ekspansi jalan nafas selama inhalasi dan kolaps jalan nafas di sekitar mekonium
yang terinspirasi di jalan nafas, menyebabkan peningkatan resistensi selama
ekshalasi. Udara yang terperangkap (hiperinflasi paru) dapat menyebabkan ruptur
pleura (pneumotoraks), mediastinum (pneumomediastinum), dan perikardium
(pneumoperikardium).
2. Disfungsi surfaktan
Mekonium menonaktifkan surfaktan dan juga menghambat sintesis
surfaktan. Beberapa unsur mekonium, terutama asam lemak bebas (seperti asam
palmitat, asam oleat), memiliki tekanan permukaan minimal yang lebih tinggi

5
dari pada surfaktan dan melepaskannya dari permukaan alveolar, menyebabkan
atelektasis yang luas.
3. Pneumonitis kimia
Mekonium mengandung enzim, garam empedu, dan lemak yang dapat
mengiritasi jalan nafas dan parenkim, mengakibatkan pelepasan sitokin
(termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, I-L6, IL-8, IL-13)
dan menyebabkan pneumonitis luas yang dimulai dalam beberapa jam setelah
aspirasi. Semua efek pulmonal ini dapat menimbulkan gross ventilation-
perfusion (V/Q) mismatch.
4. Hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir
Beberapa bayi dengan sindroma aspirasi mekonium mengalami hipertensi
pulmonal persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary hypertension of
the newborn [PPHN]) primer atau sekunder sebagai akibat dari stres intrauterin
yang kronik dan penebalan pembuluh pulmonal. PPHN lebih lanjut berperan
dalam terjadinya hipoksemia akibat sindrom aspirasi mekonium.

Bagan 2.2 Patofisiologi Sindroma Aspirasi Mekonium (Clark, 2010)

6
2.5 Gambaran Klinis

Di dalam uterus, atau lebih sering, pada pernapasan pertama, mekonium


yang kental teraspirasi ke dalam paru, mengakibatkan obstruksi jalan napas kecil
yang dapat menimbulkan kegawatan pernapasan dalam beberapa jam pertama
setelah kelahiran dengan gejala takipnea, retraksi, stridor, dan sianosis pada bayi
dengan kasus berat. Obstruksi parsial pada beberapa jalan napas dapat
menimbulkan pneumothoraks atau pneumomediastinum, atau keduanya.
Pengobatan tepat dapat mencegah kegawatan pernapasan, yang dapat hanya
ditandai oleh takikardia tanpa retraksi. Pada kondisi gawat nafas, dapat terjadi
distensi dada yang berat yang membaik dalam 72 jam. Akan tetapi bila dalam
perjalanan penyakitnya bayi memerlukan bantuan ventilasi, keadaan ini dapat
menjadi berat dan kemungkinan mortalitasnya tinggi. Takipnea dapat menetap
selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu. Foto radiografi dada bersifat
khas ditandai dengan bercak-bercak infiltrat, corakan kedua lapangan paru kasar,
diameter anteroposterior bertambah, dan diafragma mendatar. Foto x-ray dada
normal pada bayi dengan hipoksia berat dan tidak adanya malformasi jantung
mengesankan diagnosis sirkulasi jantung persisten. PO2 arteri dapat rendah pada
penyakit lain, dan jika terjadi hipoksia, biasanya ada asidosis metabolik. 1

2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen dada untuk menemukan adanya atelektasis, peningkatan


diameter antero   posterior, hiperinflation, flatened diaphragm akibat
obstruksi dan terdapatnya pneumothorax  ( gambaran infiltrat kasar dan
iregular pada paru )
2. Analisa gas darah untuk mengidentifikasi acidosis metabolik atau
respiratorik dengan    penurunan PO2 dan peningkatan tingkat PCO2

7
2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan keadaan berikut:


1. Sebelum bayi lahir, alat pemantau janin menunjukkan bradikardia
(denyut jantung yang lambat)
2. Ketika lahir, cairan ketuban mengandung mekonium (berwarna
kehijauan)
3. Bayi memiliki nilai Apgar yang rendah.
4. Dengan bantuan laringoskopi, pita suara tampak berwana kehijauan.
5. Dengan bantuan stetoskop, terdengar suara pernafasan yang abnormal
(ronki kasar).
6. Pemeriksaan lainnya yang biasanya dilakukan: (1) Analisa gas darah
(menunjukkan kadar pH yang rendah, penurunan pO2 dan peningkatan
pCO2); (2) Rontgen dada (menunjukkan adanya bercakan di paru-paru).

2.8 Diagnosa Banding

a) Transient tachypnea of the newborn (TTN)


Gambaran radiografi sering menunjukkan patchy opacities yang
disebabkan oleh cairan pada paru yang dalam proses resorpsi. Foto radiografi
kontrol akan menunjukkan infiltrate yang menghilang, berbeda dengan
sindrom aspirasi mekonium atau pneumonia.
b) Pneumonia neonatus
Terdapat patchy opacities yang berupa konsolidasi dan efusi pleura
yang ditemukan pada 2/3 kasus. Volume paru normal namun lapangan paru
mungkin dapat terjadi hyperinflated.
c) Respiratory distress syndrome
Pada gambaran radiologis, ditemukan gambaran radiopaque yang
seragam, ground-glass dan penurunan volume paru karena terjadi kolaps

8
alveolus. Gambaran air bronchogram juga dapat dilihat namun efusi pleura
jarang terjadi. Sindrom ini biasanya terjadi pada bayi preterm yang berbeda
dengan sindroma aspirasi mekonium 3.
Diagnosa banding untuk kasus sindroma aspirasi mekonium antara lain :3
1. Sindrom-sindrom aspirasi lain
2. Hernia kongenital diafragmatik
3. Hipertensi pulmonal, idiopatik
4. Hipertensi pulmonal, persisten-neonatus
5. Sepsis
6. Transposisi arteri-arteri besar

Untuk membedakan antara gambaran TTN, RDS, dan SAM, dapat


dilihat pada tabel dibawah:
Pembeda TTN RDS SAM
Etiologi Cairan paru persisten Defisiensi surfaktan Iritasi dan obstruksi
Paru belum paru
berkembang
sempurna
Waktu Kapan saja Preterm Aterm atau post-
persalinan term
Faktor resiko Section cessarea, jenis kelamin laki- Cairan amnion
makrosomia, jenis laki, diabetes pada mekonial, kelahiran
kelamin laki-laki, ibu, kelahiran post-term
asma pada ibu, preterm
diabetes pada ibu
Gambaran Takipneu, sering kali Takipneu, hypoxia, Takipneu, hipoxia
klinis tanpa hipoksia sianosis
maupun sianosis
Temuan infiltrat pada infiltrat homogenus, Patchy atelectasis,
radiologis parenkim, ”siluet air bronchogram,

9
toraks basah” di sekeliling penurunan volume konsolidasi
jantung, paru,
penumpukan cairan
intralobar
Terapi Suportif, oksigen Resusitasi, oksigen, Resusitasi, oksigen,
jika terjadi hipoksia ventilasi, surfaktan ventilasi, surfaktan
Pencegahan Kortikosteroid Kortikosteroid Jangan menunda
prenatal sebelum prenatal jika ada suctioning setelah
operasi sesar jika resiko kelahiran kelahiran,
usia kehamilan 37- preterm (usia amnioinfusi tidak
39 minggu kehamilan 24-34 bermanfaat
minggu)
Keterangan :
TTN = takipneu transien pada neonatus (transient tachypnea of the newborn = TTN);
SDR = sindroma distres respirasi (RDS = respiratory distress syndrome); SAM =
sindroma aspirasi mekonium (MAS = meconium aspiration syndrome)
Tabel 2.2 Perbedaan TTN, SDR, dan SAM

2.9 Penatalaksanaan Medis

Tergantung pada berat ringannya keadaan bayi, mungkin saja bayi akan
dikirim ke unit perawatan intensif neonatal (neonatal intensive care unit [NICU]).
Tata laksana yang dilakukan biasanya meliputi :

1. Umum
Jaga agar bayi tetap merasa hangat dan nyaman, dan berikan oksigen.
2. Farmakoterapi
Obat yang diberikan, antara lain antibiotika. Antibiotika diberikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi berupa infeksi ventilasi mekanik.

10
3. Fisioterapi
Yang dilakukan adalah fisioterapi dada. Dilakukan penepukan pada dada
dengan maksud untuk melepaskan lendir yang kental.
4. Pada SAM berat dapat juga dilakukan:
a. Pemberian terapi surfaktan.
b. Pemakaian ventilator khusus untuk memasukkan udara beroksigen
tinggi ke dalam paru bayi.
c. Penambahan nitrit oksida (nitric oxide) ke dalam oksigen yang
terdapat di dalam ventilator. Penambahan ini berguna untuk
melebarkan pembuluh darah sehingga lebih banyak darah dan oksigen
yang sampai ke paru bayi.
Bila salah satu atau kombinasi dari ke tiga terapi tersebut tidak
berhasil, patut dipertimbangkan untuk menggunakan extra corporeal
membrane oxygenation (ECMO). Pada terapi ini, jantung dan paru
buatan akan mengambil alih sementara aliran darah dalam tubuh bayi.
Sayangnya, alat ini memang cukup langka.

2.10 Asuhan Keperawatan

1. PENGKAJIAN
PENGKAJIAN FISIK
 Riwayat antenatal ibu
Stress intra uterin
 Status infant saat lahir
1. Full-term, preterm, atau kecil masa kehamilan
2. Apgar skor dibawah 5
3. Terdapat mekonium pada cairan amnion
4. Suctioning, rescucitasi atau pemberian therapi oksigen

11
 Pulmonarry
1. Disstress pernafasan dengan gasping, takipnea (lebih dari 60 x
pernafasan per menit), grunting, retraksi, dan nasal flaring
2. Peningkatan suara nafas dengan crakles, tergantung dari jumlah
mekonium dalam paru
3. Cyanosis
4. Barrel chest dengan peningkatan dengan peningkatan diameter
antero posterior (AP)
STUDY DIAGNOSTIK
Rontqen dada untuk menemukan adanya atelektasis, peningkatan
diameter antero posterior, hiperinflation, flatened diaphragma dan
terdapatnya pneumothorax.

DATA LABORATORIUM
Analisa gas darah untuk mengidentifikasi acidosis metabolik atau
respiratorik dengan penurunan PO2 dan peningkatan tingkat PCO2

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN  
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Gangguan pertukaran gas
3. Risiko infeksi

3. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


No Dx Keperawatan NOC NIC
1. Bersihan Jalan nafas NOC : NIC :
tidak efektif
 Respiratory status : Airway suction
Ventilation  Pastikan kebutuhan oral /
 Respiratory status : tracheal suctioning

12
Airway patency  Auskultasi suara nafas
 Aspiration Control sebelum dan sesudah
suctioning.
 Informasikan pada klien
Kriteria Hasil :
dan keluarga tentang
 Mendemonstrasikan suctioning
batuk efektif dan suara  Minta klien nafas dalam
nafas yang bersih, tidak sebelum suction
ada sianosis dan dyspneu dilakukan.
(mampu mengeluarkan  Berikan O2 dengan
sputum, mampu bernafas menggunakan nasal
dengan mudah, tidak ada untuk memfasilitasi
pursed lips) suksion nasotrakeal
 Menunjukkan jalan nafas  Gunakan alat yang steril
yang paten (klien tidak sitiap melakukan
merasa tercekik, irama tindakan
nafas, frekuensi  Anjurkan pasien untuk
pernafasan dalam rentang istirahat dan napas dalam
normal, tidak ada suara setelah kateter
nafas abnormal) dikeluarkan dari
 Mampu nasotrakeal
mengidentifikasikan dan  Monitor status oksigen
mencegah factor yang pasien
dapat menghambat jalan  Ajarkan keluarga
nafas bagaimana cara
melakukan suksion
 Hentikan suksion dan
berikan oksigen apabila
pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan

13
saturasi O2, dll.

Airway Management
 Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
 Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada
jika perlu
 Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
 Lakukan suction pada
mayo
 Berikan bronkodilator
bila perlu
 Berikan pelembab udara
Kassa basah NaCl
Lembab
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.

14
 Monitor respirasi dan
status O2

2. Gangguan NOC : NIC :


pertukaran gas
 Respiratory Status : Gas Airway Management
exchange  Buka jalan nafas,
 Respiratory Status : guanakan teknik chin lift
ventilation atau jaw thrust bila perlu
 Vital Sign Status  Posisikan pasien untuk
Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien
 Mendemonstrasikan
perlunya pemasangan
peningkatan ventilasi
alat jalan nafas buatan
dan oksigenasi yang
 Pasang mayo bila perlu
adekuat
 Memelihara kebersihan  Lakukan fisioterapi dada

paru paru dan bebas dari jika perlu

tanda tanda distress  Keluarkan sekret dengan

pernafasan batuk atau suction

 Mendemonstrasikan  Auskultasi suara nafas,

batuk efektif dan suara catat adanya suara


nafas yang bersih, tidak tambahan
ada sianosis dan  Lakukan suction pada
dyspneu (mampu mayo
mengeluarkan sputum,  Berika bronkodilator bial
mampu bernafas perlu
dengan mudah, tidak  Barikan pelembab udara
ada pursed lips)  Atur intake untuk cairan
 Tanda tanda vital dalam mengoptimalkan

15
rentang normal keseimbangan.
 Monitor respirasi dan
status O2

Respiratory Monitoring
 Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan
usaha respirasi
 Catat pergerakan
dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
 Monitor suara nafas,
seperti dengkur
 Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
 Catat lokasi trakea
 Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
 Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
 Tentukan kebutuhan

16
suction dengan
mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan
napas utama
 auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya

3. Risiko infeksi NOC : NIC :

 Immune Status Infection Control (Kontrol


 Knowledge : Infection infeksi)
control
 Bersihkan lingkungan
 Risk control
setelah dipakai pasien
Kriteria Hasil :
lain
 Klien bebas dari tanda  Pertahankan teknik
dan gejala infeksi isolasi
 Mendeskripsikan  Batasi pengunjung bila
proses penularan perlu
penyakit, factor yang  Instruksikan pada
mempengaruhi pengunjung untuk
penularan serta mencuci tangan saat
penatalaksanaannya, berkunjung dan setelah
 Menunjukkan berkunjung
kemampuan untuk meninggalkan pasien
mencegah timbulnya  Gunakan sabun
infeksi antimikrobia untuk cuci
 Jumlah leukosit dalam tangan
batas normal  Cuci tangan setiap

17
 Menunjukkan perilaku sebelum dan sesudah
hidup sehat tindakan kperawtan
 Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
 Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
 Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
 Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
 Tingktkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik
bila perlu

Infection Protection
(proteksi terhadap infeksi)

 Monitor tanda dan gejala


infeksi sistemik dan lokal
 Monitor hitung
granulosit, WBC
 Monitor kerentanan
terhadap infeksi

18
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung
terhadap penyakit
menular
 Partahankan teknik
aspesis pada pasien yang
beresiko
 Pertahankan teknik
isolasi k/p
 Berikan perawatan kuliat
pada area epidema
 Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara
menghindari infeksi

19
 Laporkan kecurigaan
infeksi
 Laporkan kultur positif

20
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Contoh kasus
Seorang bayi perempuan usia gestasi 39-40 minggu berat lahir 3020
gram, lahir secara bedah Kaisar atas indikasi fetal distress dan ketuban pecah
dini. Bayi lahir menangis lemah, merintih, kurang aktif, dengan apgar skor
6/8. Warna ketuban saat lahir hijau kental. Setelah dilakukan resusitasi awal,
saturasi oksigen pada menit ke-10 tidak dapat lebih dari 72%.

21
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1 Pembahasan
Pasien kemudian diputuskan dilakukan intubasi dan pembilasan bronkus
dengan larutan salin. Klinis perbaikan setelah tindakan dan diputuskan untuk
dilakukan ekstubasi dan ditransfer ke Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
dengan Single nasal prong dengan Positive end expiratory pressure (PEEP) 7
dan fraksi inspirasi oksigen (FiO2) 21%.
Pada usia 2 jam, bayi terdapat retraksi berat, takipnea, dan desaturasi sampai
80%. Hasil pemeriksaan analisis gas darah kapiler menunjukkan asidosis
respiratorik dengan pH 7,25, pCO2 51 mmHg, HCO3 22 Meq/L, dan base excess
-5. Bantuan napas saat itu menggunakan Non-invasive ventilation (NIV).
Bayi kemudian diputuskan untuk diintubasi dan bantuan napas diambil alih
ventilator konvensional dengan setting PC/AC 30/5 rate 60x/menit dan FiO2
40%. Bayi masih terdapat desaturasi sampai 40% dengan bantuan ventilator,
kemudian diputuskan untuk dilakukan pemasangan High Frequency Osscilatory
ventilation (HFO) dimulai dari setting PAW 13, amplitude 30, frekuensi 8, dan
FiO2 100%. Klinis bayi mulai stabil (tidak ada retraksi dinding dada, tidak
sianosis, dan saturasi oksigen 95-98%) pada PAW 17, amplitude 30 frekuensi 8
FiO2 30%.
Bayi kemudian dilakukan bilas surfaktan. Satu flaccon surfaktan dilarutkan
dengan NaCl 0,9% sampai dengan 30 ml. Cairan kemudian dimasukkan melalui
ETT dengan cepat, dilakukan bagging selama 1-2 menit, kemudian dilakukan
penghisapan. Cairan yang keluar setelah penghisapan merupakan cairan kental
berwarna putih kehijauan. Bilas dilakukan selama 2 kali. Setelah dilakukan bilas
surfaktan, setting HFO dapat diturunkan. Amplitudo dapat diturunkan menjadi
23 dan FiO2 sampai 21%. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap didapatkan:
Hb 16,7 mg/dL, ht 49,1%, leukosit 27.170/mm3, Trombosit 218.000/ mm3.
Pemeriksaan marker infeksi menunjukkan tidak ada peningkatan ditandai dengan
nilai CRP 5 mg/dL dan ratio neutrofil matur:imatur sebesar 0,19. Pada

22
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan Persistent pulmonary hypertension
(PPHN) dan Persistent ductus arteriosus (PDA). Bayi kemudian diberikan
inhalasi illoprost 2,5 mcg setiap 6 jam, antibiotik lini pertama, dan surfactant
replacement. Bayi dapat disapih dari ventilator pada usia 72 jam dan dapat
rawat jalan pada usia 5 hari. Bayi usia gestasi 39-40 minggu dan berat lahir
3020 gram dengan sindroma aspirasi mekonium, dilakukan bilas surfaktan
melalui endotracheal tube (ETT). Setelah dilakukan tindakan bilas surfaktan,
klinis respirasi perbaikan dan bayi dapat cepat disapih dari ventilator.

23
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang


diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernafasan
bayi. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang paling
sering menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post-
term. Penyebab terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion yang
mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium yang terhirup bisa
menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada saluran pernafasan,

24
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, B.K. diterjemahkan oleh Samik wahab. 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan
Anak. Vol. 1 Edisi 15. ECG : Jakarta. Halaman 600-601.
Mathur, NC. 2007. Meconium Aspiration Syndrome.
http://pediatricsforyou.in/home/pdf/MECONIUM%20ASPIRATION
%20SYNDROME.pdf.
Clark, M.B. 2010. Meconium Aspiration Syndrome. www.medscape.com/ http://
portal neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium
Aspiration Syndrome.pdf
Leu M., 2011, Meconium Aspiration Imaging, http://emedicine.medscape.com/
article/410756-overview#a22
Hermansen, C.L., dan Kevin N. Lorah. 2007. Respiratory Distress in the Newborn.
Am Fam Physician. 2007 Oct 1;76(7):987-994.
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html
Yeh TF, Harris V, Srinivasan G, Lilien L, Pyati S. Roentgenographic findings in
infants with meconium aspiration syndrome. JAMA. 2000. ;242:60–63
Yeh, TF. 2010. Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis
and Current Management. American Association of Pediatrics.
http://neoreviews.aap publications.org.
Gomella. 2009. Neonatology : Management Procedures Call Problems Sixth
Edition. Lange Clinical Science : New York.
Rudolph, CD, et al. 2002. Rudolph's Pediatrics, 21th Edition. McGraw-Hill
Professional : New York.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius


FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

25
NANDA Internasional NURSING DIAGNOSES Definition & Classification
2012-2014. . United States of America, Blackwell Publishing. 2012.

26

Anda mungkin juga menyukai