Anda di halaman 1dari 3

Perineum merupakan bagian penting pada saat proses persalinan yang sangat sensitif

terhadap sentuhan dan cenderung mengalami robekan pada saat proses persalinan secara alami.
Selain itu, perineum juga berfungsi sebagai pengontrol aktivitas buang air besar (BAB), buang
air kecil (BAK) dan aktivitas seksual bagi ibu pasca melahirkan. Robekan atau ruptur yang
terjadi pada saat proses persalinan disinyalir dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar otot
panggul yang dapat mempengaruhi aktivas kontrol BAB, BAK dan aktivitas seksual ibu pasca
melahirkan.
Ruptur perineum merupakan robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan.
Perlukaan sulit dihindari khususnya pada pertolongan primipara karena besarnya kepala bayi dan
berat badan bayi yang melalui jalan lahir. Ruptur yang terjadi mulai dari yang ringan sampai
dengan luka yang berat yang dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
Perdarahan menyumbang peran sebagai trias klasik penyebab kematian ibu, namun
Wiknjosastro menyebutkan bahwa kematian ibu yang disebabkan karena robekan jalan lahir
hanya 4-5%, sangat jauh bila dibandingkan dengan penyebab kematian ibu yang disebabkan
karena atonia uteri yaitu 50-60%. Namun, ruptur perineum terjadi pada hampir semua proses
persalinan pertama, tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Rofiasari (2009)
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa insidensi ruptur perineum derajat I pada persalinan
normal primipara sebanyak 32,7%. Insidensi ruptur perineum derajat II sebanyak 60,2% dan
derajat III sebanyak 7,1 %.
Ruptur perineum dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah faktor ibu,
faktor janin, dan faktor penolong persalinan. Faktor ibu meliputi partus presipitatus, ibu
primipara, pasien tidak mampu berhenti mengejan, edema dan kerapuhan perineum, varikositas
vulva yang melemahkan jaringan perineum, arkus pubis yang sempit dengan pintu bawah
panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior.
Pada primipara atau orang yang baru pertama kali melahirkan faktor risikonya adalah
kelenturan perineum. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II
dan dapat meningkatkan risiko terhadap janin. Perineum yang belum pernah dilalui oleh kepala
bayi tidak dapat menahan tegangan yang kuat sehingga robek pada pinggir depannya. Luka-luka
biasanya ringan tetapi kadang-kadang juga terjadi luka yang luas dan berbahaya.
Faktor janin salah satu penyebabnya adalah berat badan bayi lahir, posisi kepala yang
abnormal, ekstraksi forceps yang sukar, distosia bahu, dan anomaly congenital seperti
hydrocephalus. Bayi baru lahir yang terlalu besar akan meningkatkan risiko kemungkinan terjadi
distosia bahu, bayi akan lahir dengan gangguan nafas dan kadang bayi lahir dengan trauma leher,
bahu atau saraf. Hal ini terjadi karena berat bayi yang besar sehingga sulit melewati dan
menyebabkan terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin.
Pada bayi dengan berat badan lahir cukup besar, ruptur spontan pada perineum dapat
terjadi pada saat kepala dan bahu dilahirkan. Pada saat melewati jalan lahir, berat badan bayi
berpengaruh terhadap besarnya penekanan terhadap otot-otot yang berada di sekitar perineum
sehingga perineum menonjol dan meregang sampai kepala dan seluruh bagian tubuh bayi lahir.
Semakin besar tekanan pada perineum, semakin besar pula risiko terjadinya ruptur perineum.
Faktor penolong diantaranya adalah pimpinan persalinan yang salah, cara menahan perineum dan
cara berkomunikasi penolong dengan ibu bersalin dapat mempengaruhi terjadinya ruptur
perineum.
Dahulu, hampir semua proses persalinan dilakukan episiotomi. Episiotomi adalah insisi
dari perineum untuk memudahkan persalinan dan mencegah ruptur perineum totalis. Dahulu
episiotomi dianjurkan untuk mengurangi ruptur yang berlebihan pada perineum agar
memudahkan dalam penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi, namun
hal itu tidak didukung oleh bukti ilmiah yang cukup. Episiotomi boleh dilakukan bila ada
indikasi tertentu.4 Indikasi dilakukan episiotomi diantaranya indikasi janin seperti distosia bahu
dan persalinan bokong, operasi ekstraksi vakum atau forsep dan posisi oksiput posterior.
Episiotomi rutin tidak boleh dilakukan karena jumlah darah yang hilang meningkat dan
resiko terjadinya hematom. Kejadian laserasi derajat tiga dan empat lebih banyak terjadi pada
episiotomi rutin daripada tanpa episiotomi. Episiotomi akan meningkatkan nyeri pasca
persalinan di daerah perineum dan meningkatkan risiko infeksi bila pencegahan infeksi
diabaikan.
Risiko komplikasi yang dapat terjadi karena ruptur perineum adalah perdarahan hebat
yang dapat menyebabkan ibu menjadi tidak berdaya, lemah, tekanan darah turun, bahkan anemia.
Komplikasi lain yang mungkin dapat terjadi akibat ruptur perineum adalah fistula, hematoma
dan infeksi. Pada saat proses kehamilan ibu, sudah dapat dilakukan deteksi dini ruptur perineum
untuk mengukur taksiran berat janin, sehingga bidan memiliki langkah antisipasi untuk
mencegah terjadinya ruptur perineum yang disebabkan karena berat bayi lahir. Perineum
merupakan bagian yang memiliki peranan penting dalam proses persalinan, selain itu perineum
juga merupakan bagian yang sangat diperlukan untuk mengontrol proses buang air besar dan
buang air kecil serta aktivitas seksual yang sehat bagi ibu pasca melahirkan. Oleh karena itu,
pencegahan dan penanganan ruptur perineum sangat penting dilakukan untuk mengembalikan
fungsi perineum pada ibu bersalin.
Berdasarkan hasil data studi pendahuluan, dalam satu tahun terakhir yakni Januari-
Desember 2014, di Rumah Bersalin Rachma Annisa terdapat 69 pasien primipara dengan
persalinan normal. Angka kejadian ruptur perineum cukup tinggi, yaitu 36 orang (52,17%) dari
69 persalinan normal pada primipara. Lima puluh satu ibu melahirkan bayi dengan berat badan
>2500 gram, yang mengalami ruptur berjumlah 31 orang, sedangkan dari 18 orang, ibu yang
melahirkan bayi dengan berat badan < 2500 gram yang mengalami ruptur sebanyak 5 orang. 1

Anda mungkin juga menyukai