Anda di halaman 1dari 48

Dra.

Sri Hartini DJ, MSi

MERDEKA UNIVERSITY PRESS

ISBN: 978-979-3220-15-4
BAB I
PENDAHULUAN

1. Gambaran Umum Sistem Sosial Budaya Indonesia.


1.1 Pengertian Ilmu Sosial Budaya Dasar.
1.2 Tujuan Ilmu Sosial Budaya Dasar

2. Masalah Sosial dan Ilmu Sosial Budaya Dasar.


2.1 Pengertian Masalah Sosial.
2.2. Kebudayaan, Masyarakat dan Masalah-Masalah Sosial

BAB II
PENDUDUK
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

1. Pertumbuhan Penduduk
2. Migrasi
3. Pembagian Kerja Dalam Masyarakat
4. Kebudayaan
5. Pranata-Pranata Masyarakat
6. Pelembagaan (institusionalisasi)

BAB III
INDIVIDU
KELUARGA DAN MASYARAKAT

1. Individu
2. Keluarga
3. Masyarakat
4. Relasi Individu dengan Lingkungan Sosial
4.1 Relasi Individu dengan Keluarga

i
4.2 Relasi Individu dengan Lembaga
4.3 Relasi Individu dengan Komunitas
4.4 Relasi Individu dengan Masyarakat
4.5 Relasi Individu dengan Negara

BAB IV
PEMUDA DAN SOSIALISASI

Pengertian Pemuda
Sosialisasi Pemuda
Masalah dan Potensi Pemuda
1. Sosial Psikologi
2. Sosial Budaya
3. Sosial Ekonomi
4. Sosial Politik
1. Idealisme dan daya kritik
2. Dinamika dan kreativitas
3. Keberanian mengambil resiko
4. Optimis dan kegairahan semangat
5. Sikap kemandirian dan disiplin murni (Self diciplin)
6. Terdidik
7. Keaneragaman dalam persatuan dan kesatuan bangsa
8. Patriotisme dan Nasionalisme
9. Fisik kuat dan jumlah banyak
10. Sikap kesatria
11. Kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi
12. Peranan Generasi Muda dalam Berbagai Kurun Waktu
13. Tugas Pemuda Sekarang Dan Masa Depan

ii
BAB V
WARGA NEGARA DAN NEGARA

1. Negara, Warga Negara dan Hukum.


2. Individu, Tindakan Politik, dan Sistem Politik.

BAB VI
PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT

1. Pelapisan Sosial
3. Elite dan Massa
4. Pembagian Pendapatan

BAB VII
MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN

1. Masyarakat Pedesaan
2. Masyarakat Perkotaan
3. Perbedaan Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
4. Hubungan Kota dan Desa

BAB VIII
PERTENTANGAN-PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI
MASYARAKAT

1. Perbedaan Kepentingan
2. Prasangka dan Diskriminasi
3. Ethnosentrisme dan Stereotype
4. Konflik Dalam Kelompok

iii
BAB IX
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

1, Kemakrnuran.
Kemiskinan.
Ilmu Pengetahuan.
Teknologi dan Kemiskinan

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BIODATA PENULIS

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1. Gambaran Umum Sistem Sosial Budaya Indonesia.


1.1 Pengertian Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Ilmu Sosial Budaya Dasar merupakan ilmu yang membicarakan mengenai
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Hubungan tersebut
dapat berupa kenyataan-kenyataan sosial yang ada di dalam masyarakat yang
menjadi titik perhatian.
Sehingga melalui Ilmu Sosial Budaya Dasar diharapkan akan memberikan
pengetahuan umum dan pengetahuan dasar tentang konsep-konsep yang akan
dikembangkan untuk melengkapi gejala-gejala sosial agar daya tanggap,
persepsi dan penalaran mahasiswa dalam menghadapi lingkungan sosial dapat
ditingkatkan demikian pula dengan kepekaannya terhadap lingkungan sosial
budaya menjadi lebih besar.
1.2 Tujuan Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Melalui Ilmu Sosial Budaya Dasar diharapkan dapat berfungsi sebagai
perbekalan pengetahuan dan kesadaran untuk mewujudkan nilai-nilai sosial
budaya yang ada di dalam masyarakat.
Sehingga dalam hal ini membantu perkembangan wawasan pemikiran
dan kepribadian mahasiswa agar memperoleh wawasan pemikiran yang luas
dan ciri kepribadian intelektual dalam menghadapi lingkungan di sekelilingnya.
2. Masalah Sosial dan Ilmu Sosial Budaya Dasar.
2.1 Pengertian Masalah Sosial.
Manusia dalam kehidupannya selalu dihadapkan dengan persoalan-
persoalan atau masalah-masalah sosial. Masalah sosial pada hakekatnya adalah
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu
sendiri karena masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan
manusia itu sendiri, sebagai akibat dari hubungan-hubungan dengan sesama
manusia lainnya, dan sebagai akibat dari tingkah laku manusia.

1
Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap manusia atau
masyarakat selalu berbeda antara dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan dan
masyarakatnya, juga keadaan lingkungan, lingkungan alam dimana masyarakat
itu berada. Masalah-masalah yang dimaksud dapat berupa: masalah sosial,
masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama dan
sebagainya.
Sehingga pengertian “Masalah Sosial” menurut LESLIE (1974) adalah
sesuatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar
warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan
yang karenanya dirasakan perlunya untuk diatasi atau diperbaiki.
Dalam pengertian tersebut maka dapat diasumsikan bahwa adanya
kondisi atau keadaan tertentu dalam kehidupan sosial warga masyarakat yang
bersangkutan. Kondisi atau keadaan tertentu tersebut merupakan proses hasil
dari proses kehidupan manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan jasmani. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia
menggunakan kebudayaan sebagai model-model petunjuk di dalam lingkungan
alam dan sosialnya di dalam masyarakat. Perwujudan tersebut sebagai kondisi
atau keadaan dimana manusia tersebut hidup di dalam masyarakat , dimana
kondisi-kondisi tersebut bukan sesuatu tetap tetapi selalu dalam proses
perubahan.
Suatu kondisi yang tidak disenangi oleh masyarakat pada umumnya tidak
sesuai dengan kebudayaan mereka. Ukuran-ukuran yang dipergunakan
masyarakat dalam menilai atau mewujudkan tingkah laku mereka adalah dengan
model-model dari kebudayaan yang telah mereka punyai namun bukan berarti
selalu berubah sesuai dengan perubahan kondisi yang mereka hadapi dalam
kehidupan sosial mereka sehari-harinya. Sehingga dengan demikian terdapat
suatu tidak kecocokan antara pengetahuan kebudayaan dengan kenyataan
obyektif yang mereka hadapi.

2
Dalam arti lain terdapatnya perbedaan antara kerangka untuk interpretasi
subyektif dari warga dengan kenyataan-kenyataan obyektif dalam mana mereka
hidup.
Masalah-masalah sosial tidak dapat sama dirasakan oleh setiap warga
masyarakat. Sehingga dalam hal ini kondisi yang dianggap sebagai sesuatu
yang menghambat atau nerugikan oleh sejumlah warga masyarakat, belum tentu
dirasakan oleh sejumlah warga masyarakat yang lain bahkan mungkin sebagai
kondisi yang menguntungkan bagi warga masyarakat yang lain.
Misalnya masalah sampah: sampah yang bertebaran dimana-mana di
sebagian kota dirasakan sebagai merugikan kebersihan kesehatan, keindahan
dan ketertiban oleh warga masyarakat tertentu namun sangat menguntungkan
bagi warga maysarakat yang lainnya misalnya bagi pengumpul barang bekas
(pemulunng).
Kepekaan adanya masalah-masalah sosial biasanya dikemukakan oleh
para ahli, cendekiawan, tokoh/pemuka agama, tokoh masyarakat atau warga
masyarakat yang langsung merasakan akibatnya yang merugikan dari kondisi
obyektif yang ada. Namun kepekaan-kepekaan terhadap kondisi-kondisi yang
ada tersebut dapat berubah menjadi masalah-masalah sosial bilamana hal
tersebut memengaruhi sebagian besar masyarakat.
2.2. Kebudayaan, Masyarakat dan Masalah-Masalah Sosial.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi landasan
bagi mewujudkan tingkah lakunya. Coertz. Kebudayaan dikatakan sebagai
“mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia.
Keesing dan Keesing mengatakan kebudayaan sebagai pola-pola bagi kelakuan
manusia. Spradley, mengatakan bahwa kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi-
strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai
manusia dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi

3
lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-
tindakannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan
manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang
diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi serta menjadi
sumber bagi sistem penilaian mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk,
sesuatu yang berharga atau tidak berharga, oleh karenanya kebudayaan
diselimuti oleh nilai-nilai moral yang terdapat pada pandangan hidup dan sistem
etika yang dipunyai oleh setiap manusia dan kebudayaanya.
Masyarakat disini diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas
peranan-peranan dan kelompok-kelompok yang saling berkaitan dan saling
pengaruh mempengaruhi dimana tingkah laku sosial dan tindakan manusia
tersebut diwujudkan.
Manusia yang hidup dalam lingkup masyarakat belajar mengembangkan
kebudayaannya, yaitu mengenai sistem penggolongan yang kaitannya dengan
nilai-nilai moral, estetika ataupun mengenai golongan-golongan sosial, benda-
benda, peristiwa-peristiwa, hewan dan tumbuh-tumbuhan, ajaran-ajaran agama,
cara-cara mengungkapkan perasaan dan emosi, cara-cara bertingkah laku baik,
cara mencari makan, mempertahankan hak serta berbagai bidang kehidupan lain
yang melingkupi kehidupan manusia dalam masyarakat tersebut. Namun dari
semua yang ada hanya sebagian yang diterima dan dikembangkan menjadi
suatu kebudayaan. Pengalaman hidup yang ada tersebut oleh manusia dipahami
dan dijadikan sebagai pedoman bagi tingkah lakunya, yang baik dilakukan dan
yang buruk ditinggalkan.
Dari kehidupan manusia yang beragam timbullah masalah-masalah
sosial. Salah satu sebab timbulnya masalah sosial adalah karena adanya proses
perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat karena adanya perubahan
teknologi. Hal ini dapat terlihat pada masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang, yang sudah maju atau masyarakat industri dan perkotaan yang
seringkali merasakan adanya perubahan yang cepat dan timbulnya berbagai
dampak perubahan sosial yang nyata pada masayrakat tersebut yang pada

4
akhirnya menimbulkan masalah-masalah sosial di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Masalah-masalah sosial selalu menghantui manusia sejak adanya
peradapan manusia, karena dianggap sebagai penghambat dalam meningkatkan
kesejahteraan manusia. Hal inilah yang membuat manusia tertarik untuk
mengidentifikasikan, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk
mengatasinya.

5
BAB II
PENDUDUK
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

1. Pertumbuhan Penduduk
Membahas mengenai kependudukan tidak bisa lepas dari pertumbuhan
penduduk itu sendiri dimana di setiap negara adalah tidak sama, ada beberapa
negara yang kurang, cukup bahkan berlebihan seperti negara kita, Indonesia
yang termasuk negara dengan pertumbuhan penduduk cepat. Fenomena ini
menimbulkan banyak masalah kependudukan kadang kala sulit untuk
mengatasinya.
Pertumbuhan penduduk yang cepat atau tidak terkendali, pada suatu saat
akan melampaui “ Daya Dukung Lingkungan “ yakni kemampuan suatu daerah
untuk mendukung sejumlah manusia tertentu pada tingkat kehidupan yang wajar
(Soemarwoto, dalam Paul Naiola, 1977).
Daya dukung ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain luas daerah
yang tersedia untuk pertanian dan kesuburan tanah. Dan hal ini telah terjadi di
Indonesia terutama di Pulau Jawa sehingga menyebabkan kerusakan hutan,
tanah dan kualitas lingkungan.
Terdapat berbagai kenyataan yang diwujudkan oleh pertumbuhan
penduduk yang cepat, misalnya didesa :
Pertama, menyebabkan kelebihan tenaga kerja. Ada 2 kemungkinan bagi
mereka yakni : (1) tetap tinggal didesa, sehingga jumlah tenaga kerja lebih
banyak daripada sumberdaya alam dan faktor produksi ( tenaga kerja petani
menjadi setengah menganggur). Tenaga kerja tersebut telah diboroskan atau
digunakan dengan tidak rasional. Pengangguran terselubung itu mengakibatkan
hasil usaha pertanian didesa tidak dapat mendukung kehidupan yang wajar
sehingga taraf hidup tetap saja rendah.
Kemungkinan ke (2), mereka akan masuk kedalam bidang-bidang yang
masih bisa mendukung pendapatan yakni ke hutan atau kota.

6
Perlu diketahui, bahwa 80% penduduk Indonesia mendiami daerah
pedesaan, mereka masih menggantungkan kehidupan pada “ hutan”. Berbagai
mata pencaharian rakyat dimulai dari hutan: penebangan kayu untuk daerah
pertanian, dijual sebagai kayu bakar dan bahan bangunan, pembakaran kapur
dan arang, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila pertumbuhan
penduduk Indonesia menanjak dengan cepat, maka frekuensi penebangan kayu
di hutan-hutan terus menanjak pula.
Akibat hutan sebagai sumberdaya alam, bertugas menampung air,
memelihara dan mengatur pengadaan air tanah, mencegah keganasan erosi,
menjinakan air hujan menyebabkan malapetaka yang pada akhirnya
menimbulkan kerugian besar bagi penduduk sendiri.
Selain ke hutan maka tenaga kerja yang berlebihan di desa akan
mengalih ke kota, yang di anggap cukup fasilitas. Hal itu dilakukan demi
kelangsungan hidup untuk mana desa sudah tidak kurang memungkinkan lagi.
Akumulasi penduduk kota bertambah, entah sebagai tukang, pedagang kaki
lima, tukang becak, entah apalagi. Banyak di antara mereka datang ke kota tidak
dibekali suatu keahlian khusus.
Di kota pun tidak selamanya bisa mentolerir pendatang (urbanisasi),
karena kota pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menampung dan
menyediakan lapangan pekerjaan, sehingga timbul pengangguran, gelandangan
dengan berbagai komplikasi sosial. Dalam bidang moral misalnya: pencurian,
perampokan dan berbagai tindakan kriminal lainnya; bidang visual; gubuk-gubuk
liar; pengemis; gelandangan; bidang sanitasi: membuang kotoran di tempat-
tempat terbuka (kuban WC), membuang disembarang tempat.
Kedua, kesulitan untuk meningkatakan kualitas hidup masyarakat.Di
Indonesia masih banyak sekali penduduk yang tinggal dalam lingkungan yang
belum memenuhi persyaratan kesehatan baik perumahan, sistem pembuangan
sampah, makanan dengan standart gizi yang rendah, air minum yang kotor. Air
sungai biasanya di jadikan untuk banyak fungsi, untuk mandi, menyikat gigi,
mencuci pakaian, mencuci bahan dan peralatan makanan. Keadaan ini tidak

7
dapat diterima dari segi ilmu pengetahuan kesehatan, tetapi tetap saja
berlangsung berkepanjangan, entah kapan ia akan berkesudahan.
Kesadaran lingkungan masih rendah, sampah-sampah dibuang kapan
dan dimana saja, hal ini akan merupakan lingkungan yang ideal bagi
perkenbangan serangga-serangga perantara berbagai penyakit menular.
Penyakit seperti wabah kolera ( mutaber ), tipus, cacingan, malaria adalah jenis-
jenis penyakit yang merupakan langganan rakyat setiap waktu.
Pemerintah telah banyak berusaha untuk menanggulangi krisis
lingkungan seperti menggalakan transmigrasi, KB, usaha perbaikan pemukiman,
menaikkan standart gizi rakyat, saran air minum sehat dan kesehatan, namun
apakah artinya semua itu jika usaha-usaha tersebut senantiasa di kejar oleh
pertumbuhan penduduk yang menanjak dengan cepat ? Jadi perencanaan
lingkungan perlu dijalin dengan program perencanaan kependudukan.
Perencanaan kependudukan hendaknya ditunjang oleh kondisi pendidikan rakyat
sebab pendidikan yang layak bisa mewarnai “ gaya berpikir “ seseorang dari
emosional menjadi rasional. Dan dalam suasana yang rasional barulah
seseorang dapat menerima dengan baik konsep-konsep yang diberikan
kepadanya.
Disamping aspek pendidikan, jangan lupa satu syarat ialah ” kemampuan
ekonomi “. Kita akan sulit menjinakkan petualangan penebangan kayu, kalau
kesempatan kerja dalam bidang lain tetap sukar karena hal itu menyangkut
kehidupannya.
Meningkatkan kualitas hidup rakyat tetap tidak mempunyai arti jika
pertambahan penduduk menanjak dengan cepat, sebab jumlah penduduk yang
tinggi akan menjalin pada aspek pendidikan dan ekonomi. Dalam aspek
pendidikan misalnya, banyak ditemui anak-anak dibawah usia kerja menjadi
seorang penjaja koran, dengan keuntungan yang minim. Sedangkan setiap
tahun anak lahir sebagai warga negara Indonesia yang segera membutuhkan
makanan, pakaian dan sekolah. Dengan pertumbuhan penduduk yang cepat
bagaimanakah nasib anak-anak di masa depan tentang pendidikannya ? Begitu
pula dalam sektor lapangan kerjanya ?.

8
2. Migrasi
Ada dua macam perpindahan yang berlangsung didalam masyarakat,
yang sering disebut dengan istilah mobilitas vertikal dan mobilitas horisontal.
Apabila ada orang pindah golongan atau status misalnya dari kelas rendah ke
kelas yang lebih tinggi, dari pangkat rendah ke pangkat ke lebih tinggi, maka
perpindahan itu disebut mobilitas vertikal. Sedangkan perpindahan secara ruang
atau geografis, dari suatu tempat ke tempat lain disebut mobilitas horisontal atau
disebut juga migrasi, meskipun tidak setiap gerak horisontal adalah migrasi.
Didalam kehidupan masyarakat terjadi banyak macam gerak secara
horisontal, misalnya mengunjungi anggota keluarga, bertamasya, mengadakan
penelitian ke wilayah-wilayah tertentu, berkeliling menjajakan dagangan,
berziarah dan sebagainya. Semua itu biasanya belun dikategorikan sebagai
gerak migrasi.
Migrasi adalah gejala gerak horizontal utnuk pindah tempat tinggal dan
pindahnya tidak terlalu dekat, melainkan melintasi batas administrasi, pindah ke
unit administrasi lain, misalnya kelurahan, kabupaten, kota atau negara. Dengan
kata lain, migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke
unit geografis lainnya. Unit geografis dapat berarti suatu daerah administratif.
Rose Steele menyatakan bahwa migrasi meliputi perpindahan ke rumah
sebelah yang jarak beberapa meter dari rumah lama, tetapi juga mencakup
perpindahan ke negara lain yang jaraknya beribu-ribu kilometer (dalam Sunarto,
1985 ). Selanjutnya PBB menyatakan bahwa migrasi adalah perpindahan tempat
tinggal dari suatu unit administratif ke unit administratif lainnya ( dalam Sunarto,
1985 ).
Konsep migrasi di atas mengandung pengertian sebagai perubahan
tempat tinggal secara permanen., tidak memberikan batasan pada jarak maupun
sifat kepindahan tersebut. Usaha mengembangkan konsep migrasi ternyata tidak
menghasilkan suatu rumusan yang seragam. Satu hal yang tampaknya
disepakati bersama adalah migrasi menyangkut perubahan tempat tinggal dari
yang biasanya. Migrasi dalam hal ini diartikan sebagai perpindahan seseorang
melewati batas propinsi menuju propinsi lain dalam jangka waktu 6 bulan atau

9
lebih. Namun demikian dijelaskan pula bahwa seseoarang dikatakan telah
melakukan migarsi apabila ia telah melakukan perpindahan kurang dari 6 bulan
tetapi telah secara resmi pindah atau sebelumnya telah ada niatan untuk
menetap di daeah tertentu.
Migrasi pada umumnya bersifat selektif, artinya bahwa yang pindah dan
yang menempati tempat baru mempunyai karateristik kependudukan yang khas,
mengenai umur, pendidikan, status sosial, kebudayaan dan sebagainya. Migrasi
desa-kota pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki daripada wanita,
akibatnya rasio seks di pedesaan berkurang dan di kota bertambah. Banyak
golongan pendukung muda dari daerah-daerah luar Jawa yang pandai dan
mampu bermigrasi ke Jawa menambah ilmu, tetapi setelah menamatkan studi
lebih suka tinggal di Jawa. Begitu pula bagi mereka yang tamat dan berasal dari
Jawa sendiri segan keluar Jawa. Dengan demikian golongan penduduk berilmu
di Jawa meningkat, jumlahnya bila dibandingkan dengan di luar Jawa dan
angkanya cukup menyolok.
Seringkali dijumpai bahwa sebagai penduduk baru para migran tidak
mempunyai kaitan perasaan dengan tempat tinggal yang baru, maka dari itu
mereka kurang mempunyai perhatian atau acuh tak acuh dengan masalah
setempat, sehingga mereka mudah di cap sebagai tidak berjiwa nasional.
Dari tempat asalnya, mereka yang datang bermigrasi pada umumnya
membawa kebudayaan dan alat kebiasaan. Di tempat yang baru berlangsung
kontak kebudayaan diantara mereka, sehingga terjadi interaksi kebudayaan.
Tidak jarang timbul konflik apabila pihak-pihak yang berinteraksi sama
kuat dan memegang prinsip. Tetapi karena pendatang biasanya hanya sedikit
dibandingkan dengan penduduk lama, mereka mau tak mau terpaksa
meluluhkan diri ke dalam kebudayaan setempat supaya dapat hidup lestari.
Apabila pendatang jumlahnya agak banyak atau merupakan kelompok kecil yang
berwibawa, mereka dapat juga membawa perubahan-perubahan ke dalam
kebiasaan, norma-norma setempat atau setidak-tidaknya kedua belah pihak
sengaja tidak mengadakan adaptasi.Dalam kenyataannya, meskipun migran

10
tersebut sudah lama menempati tempat tinggal yang baru, tetapi proses asimilasi
dan intregrasi yan sempurna tidak akan terjadi.
Di Indonesia misalnya, masih ada kelompok-kelompok atau kampung-
kampung khusus yang menunjukkan identitas asal mula migran, seperti
kampung Arab, Cina. Di daerah transmigrasi misalnya, masih dijumpai nama-
nama kampung yang dipungut dari nama kampung asal transmigran. Nama-
nama tempat atau kampung yang dipakai oleh para migran atau transmigran
tidak mempunyai motif lain kecuali kebanggaan saja, bahwa mereka dapat
menunjukkan asal mulanya tempat tinggal, dan seolah-olah ada perasaan bahwa
tempat tinggalnya sekarang belum menjadi tanah air mereka yang sebenarnya.

3. Pembagian Kerja Dalam Masyarakat


Kendatipun teknologi baru dibidang pertanian, seperti pupuk bibit unggul,
insektisida, dan lain-lain telah memperluas kesempatan kerja kepada
masyarakat tetapi belum juga mampu menyerap pertambahan tenaga kerja,
akibat pertunbuhan penduduk melaju dengan cepat. Dengan demikian dapat
dimengerti, mengapa arus urbanisasi berjalan terus menerus dan tak mungkin
dapat dihindari. Dalam arus urbanisasi yang banyak terlibat adalah golongan
usia muda, karena secara objektif dapat mencita-citakan perbaikan hidup dimasa
mendatang yang panjang dan disertai dengan keberanian mengambil resiko.
Dengan adanya kemajuan teknologi yaitu adanya komunikasi dan transportasi
yang lancar menjadikan orang desa lebih peka terhadap perkembangan kota dan
ini mendorong urbanisasi.

4. Kebudayaan
Paham kebudayaan adalah suatu paham yang amat luas dan dapat
dipandang dari sudut yang banyak sekali. Kebudayaan itu hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian bahwa kebudayaan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat. Kebudayaan tak
pernah lepas dengan masyarakat, sebab kebudayaan hidup dn berkembang
dengan subur di tengah-tengah masyarakat. Kebudayaan merupakan tata

11
melakukan dan hasil kelakuan manusia, sedangkan masyarakat merupakan
tempat manusia untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan-perbuatan,
dengan kata lain, kebudayaan tanpa masyarakat tidak ada. Sebaliknya,
kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar sekali bagi manusia di
dalam masyarakat. Manusia di dalam masyarakat memerlukan kepuasan, baik
dibidang spiritual maupun di bidang material. Kebutuhan tersebut pada dasarnya
bersumber dari kebudayaan yang telah dibentuk oleh manusia sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering membicarakan kebudayaan dan
tak mungkin kita tak berurusan dengan kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Setiap hari kita melihat mempergunakan dan bahkan merusak hasil
kebudayaan.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddayah “, yang
merupakan bentuk jamak dari kata “ buddi “, yang berarti budi atau akal.
Demikian kebudayaan dapat di artikan sebagai segala sesuatu yang bersangkut
paut dengan budi atau akal. Dalam bahasa Inggris konsep kebudayaan itu sama
dengan “culture”, yang berasal dari kata lain “ colore “ yang berarti mengolah
atau mengerjakan tanah (bertani). Dari arti “colore” kemudian selanjutnya
menjadi “ culture “, yang berarti sebagai segala daya dan kegiatan manusia dan
merubah alam (Kontjaraningrat, 1965). Demikian selanjutnya, Kontjaraningrat
dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentaitilet dan Pembangunan
konsep kebudayaan itu dapat di lihat dari dua aspek, yakni kebudayaan dalam
arti sempit dan kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti sempit
adalah kesenian. Sedangkan dalam arti luas adalah seluruh dari pikiran, karya
dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan yang karena
itu hanya bisa diteruskan oleh manusia sesudah proses belajar
(Kontjaraningrat,1974).
Seorang antropolog, yaitu EB. Taylor memberikan definisi kebudayaan
adalah sebagai berikut : Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain
kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia anggota masyarakat (
dalam Soerjono, 1977).

12
Sedangkan Selo Soemardjan dan Soeleman Sumardi (1964) merumuskan
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Karena pengertian kebudayaan di atas amat luas sekali, maka selanjutnya
Kontjaraningrat merumuskan sedikitnya ada 3 wujud kebudayaan: a. Wujud ide,
gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan.
b. Wujud kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
c. Wujud benda-benda hasil karya manusia (Kontjaraningrat, 1974)
Wujud pertama adalah wujud ide, sifatnya abstrak, tak dapat diraba,
lokasinya ada di dalam kepala kita masing-masing. Wujud ide ini baru nampak
dibuat dalam karangan atau buku-buku hasil karya. Sekarang, kebudayaan ide
banyak tersimpan dalam disk, tape, arsip, koleksi micro film, kartu komputer dan
lain-lain.
Wujud kedua adalah kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
misalnya manusia melakukan kegiatan berinteraksi, berhubungan, bergaul satu
sama lain. Kegiatan-kegiatan tersebut senantiasa berpola menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat istiadat.
Wujud ketiga adalah hasil karya manusia. Wujud ini sifatnya paling
konkrit, nyata, dapat diraba, dilihat, difoto. Wujud ketiga ini tidak perlu banyak
keterangan lagi, sebab setiap orang bisa melihat, meraba, dan merasakannya.
Ketiga wujud kebudayaan di ata,s apabila dirinci secara khusus ke dalam
unsur-unsurnya, kebudayaan itu sedikitnya ada 7 unsur :
a. sistem religi dan upacara keagamaan
b. sistem dan organisasi kemasyarakatan
c. sistem pengetahuaan
d. bahasa
e. kesenian
f. sistem mata pencaharian hidup
g. sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat,1974)

Wujud kebudayan diatas mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi


manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi

13
masyarakat dan anggota-anggota masyarakat, misalnya kekuatan alam,
kekuatan didalam masyarakat sendiri, yang tidak selalu baik bagi masyarakat.
Kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat dapat
digunakan untuk melindungi manusia dari ancaman atau bencana alam. Di
samping kebudayaan dapat dipergunakan untuk mengatur hubungan dan
sebagai wadah segenap manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian,
tanpa kebudayaan, manusia tidak bisa membentuk peradaban seperti apa yang
kita punyai sekarang ini.

5. Pranata-Pranata Masyarakat
Pranata masyarakat merupakan terjemahan yang langsung dari istilah
asing Social Institution. Akan tetapi hingga kini belum ada kata sepakat
mengenai istilah Indonesia yang paling tepat dapat menggambarkan isi social
institution. Koentjaraningrat salah seorang antropolog Indonesia yang terkenal
misalnya, dalam berbagai tulisan senantiasa menggunakan istilah pranata untuk
menggambarkan isi dari institution. Koentjaraningrat sangat tidak setuju
institution diterjemahkan dengan kata “lembaga”, alasannya agar tidak dikacau
balaukan dengan istilah lembaga untuk institut, ialah suatu badan atau
organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang
khas, bisanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan atau pengembangan.
Sedangkan Soerjono Soekanto, salah seorang sosiolog Indonesia yang terkenal,
lebih senang menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan untuk
menggambarkan isi social institution. Dengan demikian, tepat tidaknya istilah-
istilah diatas tidak akan dipersoalkan disini: akan tetapi dalam tulisan ini akan
dipergunakan istilah pranata masyarakat. Koentjaraningrat (1974) menyatakan
bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat kepada aktivitet-aktivitet untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut, terutama
menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma.
Cohen (1983) mengatakan pranata sosial adalah sistem pola-pola sosial
yang tersusun rapi dan relatif permanen serta mengandung perilaku-perilaku

14
tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan pokok masyarakat. Ada 5 pranata atau lembaga sosial pokok yang
terdapat dalam setiap masyarakat, pranata-pranata ini adalah kekeluargaan,
pendidikan keagamaan, ekonomi dan pemerintahan. Tiap-tiap pranata memiliki
fungsi dan tanggung jawab tertentu.
Dalam kehidupan masyarakat ada banyak pranata dan makin membesar
serta menjadi kompleks suatu masyarakat, makin banyaklah jumlah dan macam
pranata yang terjaring didalamnya. Ahli-ahli sosiolog disamping Cohen, telah
banyak melakukan berbagai macam penggolongan atas jumlah pranata itu.
Menurut Cohen, penggolongan pranata ada 5 golongan sebagaimana
disebutkan diatas. Koentjaraningrat dalam berbagai tulisannya menggolongkan
pranata itu dalam 8 golongan.
Penggolongan-penggolongan diatas sama sekali belum lengkap untuk
mencakup segala macam pranata yang mungkin ada dalam kehidupan
masyarakat. Namun demikian untuk memberikan gambaran secara kongkrit tidak
ada salahnya memberikan contoh-contoh dari pendapat yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat. Contoh-contoh dari apa yang disebutkan pranata sosial itu
sebagai berikut :
a. Pranata Kekeluargaan ialah pranata yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan kekerabatan. Contoh: Lamaran perkawinan,
poligami, pengasuhan anak-anak dan perceraian
b. Pranata Ekonomi ialah pranata yang bertujuan untuk memenuhi
pencarian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribisi harata dan
benda.Contoh: pertanian, peternakan, industri, koperasi dan penjualan
c. Pranata Pendidikan ialah pranata yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota
masyarakat yang berguna. Contoh: pengasuhan anak-anak, pendidikan
rakyat, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pemberantasan buta
huruf, pendidikan agama, pers dan perpustakaan umum.

15
d. Pranata Ilmiah ialah pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya. Contoh: Metodik
ilmiah, penelitian, dan pendidikan ilmiah.
e. Pranata Keindahan dan Rekreasi ialah pranata yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang menyatakan rasa keindahan dan
untuk rekreasi. Contoh: Seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama,
kesusastraan dan sport.
f. Pranata Keagamaan ialah pranata yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam
gaib. Contoh: Masjid, Gereja, doa, kenduri, upacara keagamaan,
penyiaran agama, pantangan dan ilmu gaib.
g. Pranata Pemerintahan ialah pranata yang bertujuan untuk mengatur
kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau bernegara. Contoh:
Pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian dan
ketentaraan.
h. Pranata Kesehatan Jasmaniah ialah pranata yang bertujuan untuk
mengurus kebutuhan jasmaniah. Contoh: pemeliharaan kecantikan,
pemeliharaan kesehatan dan kedokteran.

6. Pelembagaan (institusionalisasi)
Dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita mengenal
pranata sosial atau lembaga kemasyarakatan. Misalnya lembaga kekeluargaan,
ekonomi, pendidikan, ilmiah, keindahan dan rekreasi, keagamaan,
pemerintahan, dan kesehatan jasmaniah. Adanya lembaga-lembaga tersebut
dimaksudkan untuk memenuhi berbagai keperluan pokok dari kehidupan
manusia. Lembaga-lembaga itu ada didalam masyarakat tanpa memperdulikan
apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan sederhana atau
modern. Lembaga-lembaga tersebut stabil, sah dan sudah diakui oleh
masyarakat. Tapi dipihak lain ada juga individu atau kelompok yang melakukan
aksi-aksi pembaharuan yang dipimpin oleh pejuang-pejuang revolusioner, yang

16
belum sah dan belum diakui masyarakat tetapi akan diakui juga dan mengenal
perkembangan institusi (lembaga) di kelak kemudian hari.
Proses perkembangan lembaga-lembaga dinamakan instituonalisasi
pelembagaan dan proses ini terjadi bila sesuatu kelompok memutuskan bahwa
seperangkat norma, nilai-nilai dan peranan tertentu dianggap sangat penting
bagi kelangsungan hidupnya. Sehingga diminta agar anggota masyarakat
tersebut mematuhinya. Proses-proses demikian terjadi di mana-mana dan
terumuskan dalam masyarakat. Proses-proses di atas sepanjang mengenai soal-
soal kebutuhan penting dan sepanjang melahirkan sistem yang stabil dan
universal, kita namakn lembaga-lembaga.
Menurut Cohen, Institusionalisasi adalah perkembangan yang teratur dari
norma-norma, peranan-peranan yang ditetapkan dan diterima oleh masyarakat.
Proses institusionalisasi menyangkut semua unsur dan proses sistem
sosial, tetapi dari semua unsur dan proses sistem sosial yang ada maka untuk
normalah dianggap lebih penting (utama). Institusionalisasi (pelembagaan)
adalah proses di mana unsur norma menjadi bagian dari suatu lembaga.
Demikian, bahwa unsur norma merupakan yang paling dasar dari suatu
lembaga. Norma mempunyai hubungan yang erat dengan unsur sistem sosial
lainnya; norma mempengaruhi rangkaian pemilihan tujuan, status peranan
(kedudukan), sanksi dan fasilitas dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya,
kekuasaan pada seseorang diatur oleh norma yang ada; berdasarkan norma itu
orang memberikan kesan positif atau negatif terhadap perilaku seseorang.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa institusionalisasi
belum mempunyai unsur-unsur sistem sosial yang teratur, seperti yang telah di
kemukakan oleh Loomis (1960) sebagai berikut:
a. Kepercayaan
b. Sentimen
c. Tujuan
d. Norma
e. Status peranan (kedudukan)
f. Ranking

17
g. Power
h. Sanksi
i. Fasilitas

Sedangkan dilihat dari segi prosesnya, ialah suatu bentuk aktifitas-aktifitas


yang meliputi:
a. Adanya komunikasi
b. Adanya pemeliharaan batas-batas
c. Adanya hubungan sistem
d. Adanya sosialisasi
e. Adanya kontrol sosial
f. Adanya institusionalisasi (pelembagaan)

Suatu kebiasaan bahwa bisa saja suatu lembaga menjadi tidak lembaga
lagi apabila orang-orang yang ada di dalam lembaga itu tidak mematuhi norma
atau peraturan-peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh semua
anggota-anggota. Demikian, bahwa institusionalisasi pada hakekatnya
merupakan proses yang meliputi pula pelembagaan kembali
(reinstitutionalisation), dimana lembaga-lembaga lama runtuh dan diganti
lembaga-lembaga baru, atau simbol-simbolnya tetap dipertahankan dan
diteruskan, tetapi isinya baru.

18
BAB III
INDIVIDU
KELUARGA DAN MASYARAKAT

1. Individu
Kata “individu” berasal dari kata latin yakni “individuum” berarti yang
terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan
suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu bukan berarti manusia
sebagai suatu keseluruhan yang tak dibagi, melainkan sebagai suatu kesatuan
yang terbatas, yaitu sebagai manusia, perorangan : sehingga disebut “orang
seorang atau manusia perorangan”. Individu dalam hal ini adalah seorang
manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas di dalam
lingkungan sosialnya melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah
laku spesifik tentang dirinya. Akan tetapi dalam banyak hal banyak pula
persamaan disamping hal-hal spesifik tentang dirinya dengan orang lain.
Timbulnya perbedaan manusia perorangan dengan lainnya bukan hanya
disebabkan oleh pembawaan saja akan tetapi juga melalui konteks dengan dunia
yang telah mempunyai sejarah dengan peradabannya, seperti bahasa, agama,
adat istiadat dan kebiasaan, norma, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Semua
aspek itu akan dilaluinya oleh setiap individu untuk menuju kedewasaan atau
kematangannya. Dan hal ini akan diikuti oleh generasi-generasi berikutnya. Oleh
karena itu tidak heran jika individu yang satu berbeda dengan individu lainnya
karena sejarah peradaban yang membawanya berbeda-beda. Perbedaan-
perbedaan yang paling menyolok terutama antar suku, antar bangsa. Dalam
hubungan ini kita sering mendengar konsep tentang “kerukunan Nasional” atau
“integrtas Nasional” atau “Jiwa Nasionalis” yang sering diucapkan oleh
pemerintah. Maksudnya adalah untuk melebur perbedaan-perbedaan yang tajam
diantara suku-suku bangsa dalam menuju kesatuan bangsa.
Betapapun besarnya perngaruh lingkungan sosial terhadap individu,
individu tetap mempunyai sifat dan watak tertentu di dalam hubungannya dengan
manusia lainnya. Watak seorang individu lebih menjerumus kearah tabiat-tabiat

19
yang dapat disebut benar atau salah, sesuai atau tidak sesuaidengan norma-
norma sosial yang diakui. Jadi, watak berkenaan dengan kecenderungan
penilaian tingkah laku individu berdasarkan standart-standart moral atau etika.
Kekuatan-kekuatan yang ada pada diri individu biasanya sering dipakai untuk
bertindak, bahkan kadang-kadang berlebihan kekuatan dari ukuran rata-rata
orang lain sering dipakai menindak pihak lain.
Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah
bersifat spesifik di dalam dirinya dan bukan lagi pola tingkah laku umum: di
dalam sebuah masa, manusia cenderung menyingkirkan individu karena tingkah
lakunya adalah hampir identik dengan tingkah laku masa yang bersangkutan.
Dalam hubungan ini dapat dicirikan, apabila manusia dalam tindakan-
tindakannya menjurus pada kepentingan pribadi maka disebut manusia sebagai
makhluk individu sebaliknya. Apabila tindakan-tindakannya merupakan
hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu dikatakan makhluk sosial.
Pengalaman menunjukkan bahwa jika seorang pengabdiannya kepada diri
sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat kecil. Sebaliknya, jika
seorang pengabdiannya kepada diri sendiri kecil maka pengabdiannya kepada
masyarakat besar. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa proses yang
meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia adalah dirinya
sendiri, disebut sebagai proses individualitas, atau kadang-kadang juga diberi
nama proses aktualisasi diri.
Selama perkembangan manusia menjadi individu, iapun mengalami
bahwa kepada dirinya dibebani berbagai peranan. Peranan-peranan ini terutama
berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut
sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dapat timbul konflik pada diri individu.
Karena pola tingkah laku yang spesifik dalam dirinya dapat bercorak atau
bertentangan denga peranan yang dituntut oleh masyarakat. Kalau individu tidak
mau mengingkari dirinya sendiri dan tetap bertingkah laku menurut pola
pribadinya, maka iapun disebut menyimpang dari norma kolektif sebaliknya, jika
takluk dan menuruti kehendak kolektif dengan cara bertingkah laku seperti
diinginkan oleh lingkungan, maka disebut ia “kehilangan individualitasnya”.

20
Dalam kenyataan hidup di tengah-tengah masyarakat, setiap warga
masyarakat yang wajar adalah menyesuaikan tingkah lakunya menurut situasi
aktual yang dihayatinya, mengadaptasikan dengan situasi lingkungan dimana ia
berada. Peranaan yang paling tepat ialah bilamana ia mampu bertindak multi
peranan, peranan silih berganti, ia harus mampu memerankan diri sebagai
individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Keberhasialn seseorang daalm
mempertemukan titik optimum yang berbeda yakni peran individu dan peran
sosial disebut seseorang telah sampai pada tingkat “matang” atau “dewasa”
dalam arti sosial. Matang atau dewasa dalam arti sosial tidak diukur dari tingkat
usia, tinggi besarnya fisik, tetapi dilihat dari “tingkat berfikir”. Pengalaman
menunjukkan bahwa ada saja seseorang yang tingkat usianya sudah tinggi tapi
cara berfikirnya tidak lebih dari kekanak-kanakan. Sebaliknya, seseorang yang
berusia relatif muda tapi dalam cara berfikir sudah matang.
Meskipun pengaruh lingkungan masyarakat terhadap individu dan
khususnya terhadap pembentukan individualitasnya adalah besar, namun
sebaliknya individu pun berkemampuan untuk mempengaruhi masyarakat.
Pengaruh individu yang sangat kuat atau menonjol dalam lingkungan
masyarakat, maka membuatnya ia menjadi seorang tokoh, pahlawan, atau
bahkan sampai menjadi seorang pengacau. Keinginan menjadi seorang yang
berpengaruh, dihormati oleh orang lain, seorang yang dituakan oleh rekan
lainnya, dan lain-lain akan melekat di dalam diri individu masing-masing. Berhasil
tidaknya mencapai sasaran tersebut adalah soal kemampuan masing-masing
individu.
Sehingga kemampuan individu menduduki tempat yang dalam
hubungannya dengan manusia lain. Sebutan baik atau tidak baik pengaruh
individu terhadap masyarakat merupakan hal yang bersifat relatif. Relatifitas ini
ditentukan oleh relasi individu dengan masyarakat lingkungan. Oleh karena itu
makna individu didalam sebuah sistem masyarakat pancasila, liberal dan
komunis adalah berbeda. Begitu pula makna individu yang tengah diberi
pendidikan doktrin atau ajaran-ajaran. Demikianlah akhirnya, bahwa pemaknaan

21
individu dapat ditinjau dari berbagai aspek atau segi sesuai dengan kepentingan
masing-masing.

2. Keluarga
para ahli antropologi melihat keluarga sebagai suatu kesatuan satu
kesatuan sosial terkecil yang punyai oleh manusia sebagai sosial. Pendapat ini
didasarkan atas kenyataan bahwa aebuah keluarga adalah suatu kesatuan
kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh
adanya kerja sama ekonomi, dan mempunyai fungsi untuk berkembang baik.,
mensosialisasikan atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang
lemah khususnya merawat orang-orang tua mereka yang tela jompo.
Dalam bentuk yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang
biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama. Satuan atau kelompok seperti itu
dalam antropologi dinamakan keluarga inti. Suatu keluarga ini pada hakekatnya
terbentuk adanya suatu hubungan perkawinan yang berdasarkan atas peraturan
perkawinan yang sah, tetapi tidak selamanya keluarga inti terwujud hanya
karena telah disahkan oleh suatu peraturan perkawinan.
Suatu keluarga inti dapat juga terwujud karena seorang laki-laki dan
seorang perempuan mengadakan hubungan kelamin secara permanen tanpa
melalui suatu pengesahan perkawinan dan tinggal bersama dalam satu rumah
dengna anak-anak mereka sehingga merupakan suatu kesatuan sosial. Di
beberapa tempat di Indonesia hubungan perkawinan seperti itu dinamakan
perkawinan kawin baku piara, kawin kerbau (kumpul kebo), dalam beberapa
waktu yang lalu sekitar tahun 1985-1966 kawin seperti ini sangat gencar
diberitakan dalam beberapa surat kabar, baik pusat maupun daerah. Dan
masalah ini telah juag terungkap oleh hasil penelitian mahasiswa yang dilakukan
di Yogyakarta. Tentu masalah ini diduga bukan terjadi hanya di Yogya saja tetapi
di tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Walaupun secara garis besarnya keluarga inti terdiri dari suami, isteri, dan
anak-anak mereka yang tinggal dalam satu rumah, tetapi dalam hal-hal tertentu

22
pengertian ini tidak dapat dipakai. Dalam kenyataan ada sejumlah masyarakat
yang keluarga intinya tidak lengkap, yaitu karena tidak ada suaminya atau
isterinya yang hidup bersama dalam satu rumah. Dalam keluarga yang tidak
lengkap ini, suamilah yang biasanya tidak hidup bersama dalam rumah tersebut
dan bukannya si isteri. Dalam beberapa hal biasanya disebabkan oleh alsan
ekonomi. Misalnya, di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagian besar
suami telah meninggalkan anak dan isteri mereka di desa untuk jangka waktu
yang cukup lama ialah berdagang, misalnya dagang perabot rumah tangga.
Istilah yang populer di Jawa Barat ialah “tukang kredit”, yaitu berdagang dengan
pembayarannya dilakukan dengan cara diangsur, misalnya harian, mingguan tau
bulanan. Orang-orang di Tasikmalaya ini hampir ada di setiap kota-kota di
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, yaitu menjadi seorang tukang kredit.
Contoh lain adalah yang diperlihatkan oleh Boedhisantoso dari hasil
penelitiannya mengenai keluarga yang hidup di deas Cibuaya, kabupaten
krawang, Jawa Barat. Dari hasil penelitiannya diperoleh suatu kesimpulan bahwa
sebagian besar suami telah meninggalkan anak dan isteri mereka di desa untuk
suatu jangka waktu yang cukup lama ialah untu bekerja di kota Jakarta dan di
tempat-tempat lain ynag menghasilkan pendapatan lebih besar dari pada kalau
harus tetap tinggal di desanya. Menurut (Suparlan, 1982), bahkan ada juga
suami-suami yang meninggalkan anak isteri mereka pergi ke negara lain untuk
bekerja, misalnya orang-orang Turki yang dalam jumlah besar bekerja sebagai
buruh-buruh kasar di Eropa barat, khususnya di Jerman barat dan negeri
Belanda.
Dalam berbagai masyarakat terdapat keluarga-keluarga yang tidak hanya
terdiri dari atas seorang suami, seorang isteri dan anak-anak mereka; tetapi
terdiri atas seorang suami dan dau orang isteri atau lebih. Keluarga-keluarga
semacam ini terwujud, karena dalam masyarakat diizinkan berlakunya
perkawinan poligami. Poligami adalah suatu perkawinan yang pasangan-
pasangannya terdiri atas satu orang suami dan dua orang isteri atau lebih, atau
dinamakan pula Poligini. Sedangkan perkawinan yang psangan-pasangannya
terdiri atas seorang isteri dengan dua orang suami atau lebih dinamakan

23
Poliandri. Macam perkawinan poligami umumnya berlaku juga bagi masyarakat
Indonesia, lebih-lebih sebelum dikeluarkannya Undang-Undang perkawinan No.
1 tahun 1974. Sedangkan perkawinan poliandri sejauh diketahui terdapat antara
lain pada orang Nayar yang hidup di negara bagian Kerala, India.
Suatu keluarga inti dapat juga menjadi suatu keluarga luas dengan
adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang sekerabat maupun yang
tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga
dengan keluarga inti. Orang-orang sekerabat itu bisa berasal dari pihak suami
atau pihak isteri. Sedangkan orang lain biasanya adalah pembantu rumah
tangga atau buruh-buruh atau pembantu-pembantu. Dengan adanya perkawinan
poligami, keluarga inti telah menjadi suatu keluarga luas. Kerabat ialah orang
yang dianggap atau digolongkan sebagai mempunyai hubungan keturunan atau
darah dengan keluarga inti.

3. Masyarakat
Dalam bahasa Inggris masyarakat adalah “Society”, yang berasal dari
kata “Socius”, artinya kawan, sedangkan kata masyarakat berasal dari bahasa
Arab yaitu “Syirik”, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu ada bentuk-
bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia seseorang,
melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang
merupakan kesatuan. Manusia mulai dari lahir sampai mati sebagai anggota
masyarakat, mereka saling bergaul dan berinteraksi, karena mempunyai nilai-
niali, norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama.
Demikian, bahawa hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial
dengan orang-orang di sekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan
mempengaruhi orang lain. Interaksi sosial sangat utama dalam setiap
masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa masyarakat merupakan
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinue dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Selanjutnya dengan terciptanya sistem adat istiadat atau sistem bergaul,

24
kemudian diciptakan pula kaidah-kaidah atau norma-norma pergaulan yang
akhirnya menciptakan satuan kebudayaan. Koentjaraningrat (1974), menyatakan
bahwa masyarakat kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat
oleh suatu sistem adat istiadat yang tertentu.
Ralbh Linton menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat
mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan
sosial dengan batas yang dirumuskan dengan jelas (dalam Soerjono, 1977).
Sedangkan Selo Sumardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang
yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Usaha mengembangkan konsep masyarakat ternyata tidak menghasilkan
suatu rumusan yang seragam. Satu aspek yang tampak disepakati bersama
adalah masyarakat yang menyangkut setiap kelompok manusia yang hidup
bersama. Maka dalam usaha menyamakan pandangan tentang masyarakat ini
paling penting adalah membutiri unsur-unsur masyarakat sendiri. Hidup bersama
dikatakan sebagai masyarakat apabila mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Manusia yang hidup bersama,
b. bercampur atau bersama-sama untuk waktu yang cukup lama,
c. menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan,
d. mematuhi terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang
menjadi kesepakatan bersama,
e. menyadari bahwa mereka bersama-sama diikat oleh perasaan
diantara para anggota yang satu dengan lainnya, dan
f. menghasilkan suatu kebudayaan tertentu.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat
mengandung pengertian yang sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat
manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok besar maupun kecil
tergantung pada jumlah anggotanya. Dua orang atau lebih dapat merupakan
kelompok. Dalam pengelompokan sering dibedakan kelompok primer dan
sekunder. Dilihat dari fungsinya ada kelompok orang dalam “in-group” dan
“orang luar” (out group).

25
Semua jenis kelompok diatas hidup dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat.

4. Relasi Individu dengan Lingkungan Sosial


4.1 Relasi Individu dengan Keluarga
Sejak kehadirannya dimuka bumi, individu memiliki relasi-relasi mutlak
dengan kesatuan sosial yang bernama keluarga. Ia dilahirkan dari keluarga,
tumbuh dan berkembang, untuk kemudian membentuk sendiri keluarga
„batihnya‟. Bagi anak-anak yang masih kecil, situasi sekelilingnya adalah
keluarga sendiri.
Gambaran diri mereka merupakan pantulan perhatian yang diberikan oleh
keluarga kepada mereka. Persepsi mereka mengenai dirinya, dunia dan
masyarakat disekelilinganya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan
keyakinan keluarga-keluarga mereka. Nilai-nilai yang dimilikioleh individu dan
berbagai peranan yang diharapkan dilakukan individu, semuanya berawal dari
dalam lingkungan keluarga sendiri. Dalam lingkungan keluarga, individu
melakukan hubungan dengan ibu, ayah dan kakak-beradik. Dengan orang tua
dan dengan saudara-saudara sekandung terjalin relasi biologik, kemudian
disusul oleh relasi psikologik dan sosial pada umumnya. Posisi dan peranan
individu di dalam keluarga pada dasarnya sebagai konsekuensi dari relasi
biologik, psikologik, dan sosial. Relasi-relasi di atas dinyatakan melalui bahasa,
adat-kebiasaan yang berlaku. Relasi-relasi berikutnya yaitu interaksi sosial
antara individu dengan keluarganya merupakan bidang perhatian psikologi
sosial.

4.2 Relasi Individu dengan Lembaga


Kelembagaan sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia
dalam hidup bersama di dalam masyarakat. Tumbuhnya individu kedalam
lembaga-lembaga sosial berlangsung melalui proses sosialisasi, sebab proses
tersebut mengandung arti bahwa lembaga- lembaga masyarakat yang berada di
dalam lingkungan individu makin disadari olehnya sebagai realitas-realitas

26
objektif. Suatu lembaga adalah suatu organisasi yang eksistensinya memiliki
dasar, legitimitas dan juga legalitas. Disebut legitimitas, apabila lembaga
tersebut merupakan realitas subjektif untuk sebagian masyarakat. Lembaga
tersebut menjadi legalitas, jikalau eksistensinya diobjektivasi melalui jalur hukum.
Posisi dan peranan individu di dalam setiap kelembagaan sosial pada
umumnya sudah dibakukan, yaitu berdasarkan moral, adat atau hukum yang
berlaku. Relasi-relasi individu dengan kelembagaan ditentukan menurut pola
yang pasti. Artinya, individualitasnya ditampung di dalam struktur hubungan yang
ada pada lembaga tersebut. Tingkah laku individu tetap spesifik dan berbeda
dengan tingkah laku individu lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena posisi dan
peranan individu di dalam struktur lingkungan kelembagaan sosial sudah jelas.
Individu di dalam kelembagaan sosial dapat mempunyai posisi sebagai ketua
atau sebagai anggota. Individu bisa jadi sebagai sesepuh, pemimpin atau tokoh
pada umumnya.
Kompleksitas interaksi soisal yang muncul sebagai akibat jalinan relasi-
relasi individu denagn unsur-unsur lainnya dalam keseluruhan struktur itu, juga
menjadi perhatian psikologi sosial.

4.3 Relasi Individu dengan Komunitas


Menurut Cohen, komunitas didefinisikan sebagai kelompok khusus dari
orang-orang yang tinggal dalam wilayah tertentu, memilki kebudayaan dan gaya
hidup yang sama, sadar sebagai satu kesatuan, dan dapat bertindak secara
kolektif dalam usaha mereka mencapai suatu tujuan. Contoh-contoh komunitas
misalnya : kota, desa, rukun tetangga dan wilayah-wilayah metropolitan.
Pendapat lain mengatakan bahwa komunitas diartikan sebagai satuan
kebersamaan hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri :
a. Teritorialitas yang terbatas
b. Keorganisasian tata kehidupan bersama
c Berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif
Ketentuan batas-batas wilayah dapat bersifat objektif maupun subjektif,
sehingga batas-batas administratif dan batas-batas kultural jarang bertumpang

27
tindih didalam kehidupan sebuah komunitas. Komunitas disamping contoh-
contoh di atas, juga termasuk individu–individu, keluarga-keluarga, lembaga-
lembaga sosial, yang saling berhubungan secara interdependensi.
Makna kehidupan didalam komunitas turut ditentukan oleh orientasi nilai
yang berlaku didalam komunitas itu. Aspek kebudayaan misalnya, turut
menentukan pranata sosial, struktur kerabat keluarga dan perilaku individu
maupun kolektif. Posisi dan peranan individu didalam sebuah komunitas tidak
seperti halnya di dalam keluarga, ia tidak lagi besifat langsung, sebab dampak
tingkah lakunya tertampung oleh keluarga dan kelembagaan yang mencakup
dirinya, sebaliknya pengaruh komunitas terhdap individu tersalur melalui
keluarga dan lembaga-lembaga yang ada. Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa keluarga dan lembaga-lembaga didalam sebuah komunitas dapat
dipandang sebagai wahana sosialisasi atau penyebab ide-ide kebudayaan.
Komunitas dengan karateristik yang khas pada umumnya menjadi perhatian
illmu antropologi. Jika komunitas tersebut diabstraksikan menjadi model
kehidupan bersama yang utuh, maka masuk pula menjadi pembahasan
sosiologi.

4.4 Relasi Individu dengan Masyarakat


Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang bersifat makro.
Agak berbeda dengan pengertian komunitas, sebab aspek kriterium pada
sebuah maysarakat kurang ditekankan. Namun aspek-aspek keteraturan sosial
dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar pula, sebab
kedua aspek itu menunjukkan pada derajat intregrasi masyarakat dan tingkat
keorganisasiannya. Dalam konteks yang lebih luas dan komprehensif,
masyarakat pada umumnya dipandang dari sudut sosiologi. Fungsi, struktur,
proses dan variabel-variabel lainnya dipakai untuk mengkaji dan menjelaskan
fenomena-fenomena kemasyarakatan menurut persepsi makro.
Masyarakat dikatakan bersifat makro, sebab terdiri dari sekian banyak
komuniti, dan masing-masing komuniti dengan karateristik yang mungkin

28
berbeda. Sedangkan setiap komuniti juga sekaligus mencakup berbagai macam
keluarga dan lembaga, yang pada hakekatnya terdiri dari individu-individu.
Relasi individu dengan masyarakat ini lebih bersifat sebagai “abstraksi”
lain dengan sebuah komunitas apalagi keluarga atau lembaga, dimana relasi
individu dengan lingkungan sosial terbatas lebih konkrit sifatnya. Didalam sebuah
komuniti seorang pencuri misalnya adalah seorang yang bernama A, dari
keluarga Y dan dari golongan X. Didalam masyarakat, seorang pencuri adalah
seorang yang menyimpang dari norma-norma keteraturan sosial dan sekaligus
dapat berperan sebagai indikator tinggi rendahnya keamanan lingkungan untuk
wilayah pemukiman tertentu.

4.5 Relasi Individu dengan Negara


Ernest Renan (1823-1892) menyatakan bahwa nation adalah suatu jiwa,
suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk oleh perasaan
yang timbul sebagai akibat pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan
dengan masa depan bersedia dibuat lagi. Persetujuan keinginan dinyatakan
dengan jelas untuk melanjutkan kehidupan bersama. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa nation dalam wawasan hidupnya lebih ditekankan pada dasar
nilai-nilai kolektif, tidak dilandasi oleh kebudayaan dalam arti sempit, melainkan
lebih dekat dengan rumusan aspirasi bangsa seperti dicantumkan di dalam
Undang-Undang Dasarnya.
Relasi individu dengan nationnya dinyatakan pula dengan posisi serta
peranan-peranan yang ada pada dirinya, tetapi yang kesemuanya itu tertampung
melalui unit-unit lingkungan sosial yang lebih mikro. Hubungan langsung individu
dengan nation diekspresikan melalui posisinya sebagai warga negara.
Dari uraian mengenai relasi individu dengan lima macam lingkungan
sosial mulai dari keluarga sampai nation dapat ditarik kesimpulan sementara,
bahwa individu mempunyai makna langsung apabila konteks situasionalnya
adalah keluarga atau lembaga sosial, sedangkan individu dalam konteks
lingkungan sosial yang lebih besar, seperti dalam masyarakat atau nation posisi
dan peranan individu makin abstrak.

29
BAB IV
PEMUDA DAN SOSIALISASI

Pengertian Pemuda
Umum telah menyadari bahwa “pemuda” atau “generasi muda”
merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah “nilai”, hal ini
sering lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural daripada pengertian
ilmiah. Misalnya “pemuda harapan bangsa”, “pemuda pemilik masa depan” dan
lain sebagainya yang kesemuanya merupakan beban moral bagi pemuda. Tetapi
di lain pihak pemuda menghadapi persoalan-persoalan seperti kenakalan
remaja, frustasi, masa depan suram, keterbatasan lapangan kerja dan masalah
lainnya, kesemuanya akibat adanya jurang antara keinginan dan harapan
dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Diatas telah dikemukakan bahwa pemuda sering disebut “generasi muda”,
merupakan istilah demografis dan sosiologis dalam konteks tertentu. Dalam pola
Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda bahwa yang dimaksud
pemuda adalah:

1. Dilihat dari segi biologis, terdapat istilah:


Bayi : 0-1 tahun
Anak : 1-12 tahun
Remaja : 12-15 tahun
Pemuda : 15-30 tahun
Dewasa : 30 tahun keatas.
2. Dilihat dari segi budaya atau fungsional dikenal istilah:
Anak : 0-12 tahun
Remaja : 13-18 tahun -21 tahun
Dewasa : 18-21 tahun keatas
Di muka pengadilan manusia berumur 18 tahun sudah dewasa.
Untuk tugas-tugas negara 18 tahun sering diambil sebagai batas
dewasa tetapi dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang

30
mengambil 21 tahun sebagai permulaan dewasa. Dilihat dari segi
psikologis dan budaya, maka pematangan pribadi ditentukan pada
usia 21 tahun.
3. Dilihat dari angkatan kerja, ada istilah tenaga muda dan tenaga
tua. Tenaga muda adalah calon-calon yang dapat diterima
sebagai tenaga kerja yang diambil antara 18-22 tahun.
4. Dilihat dari perencanaan modern, digunakan istilah sumber-sumber
daya muda (young human resource) sebagai salah satu dari tiga 3
sumber-sumber pembangunan yaitu:
a. Sumber-sumber alam (natural resources)
b. Sumber-sumber dana (financial resource)
c. Sumber-sumber daya manusia (human resource)
Yang dimakusd dengan sumber-sumber daya manusia muda
adalah dari 0-18 tahun.
5. Dilihat dari ideologis-politik, maka generasi muda adalah calon
pengganti generasi terdahulu dalam hal ini berumur 18-30 tahun
dan kadang-kadang sampai umur 40 tahun.
6. Dilihat dari umur, lembaga daan ruang lingkup tempat diperoleh 2
kategori:

a. Siswa, usia antara 6-18 tahun, masih ada di bangku sekolah


b. Mahasiswa, usia antara 18-25 tahun, masih ada di universitas
atau perguruan tinggi.
Berdasarkan pengelompokan (pengkatagorian) diatas, maka yang
dimaksud dengan pemuda adalah golongan manusia muda antara 15-30 tahun.
Dalam hubungan ini pula dikenal istilah generasi peralihan yakni mereka yang
berumur 30-40 tahun.

31
Sosialisasi Pemuda
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu melalui belajar dan
penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan
berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Proses
sosialisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Bagi anak-anak yang masih
kecil, situasi sekelilingnya adalah keluarga sendiri. Gambaran diri mereka
merupakan pantulan perhatian yang diberikan oleh keluarga kepada mereka.
Persepsi mereka tentang dirinya, dunia dan masyarakat disekelilingnya secara
langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarga-keluarga mereka.
Nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan berbagai peran yang diharapkan
dilakukan oleh seseorang, semuanya berawal dari dalam lingkungan keluarga
sendiri.
Melalui proses sosialisasi, individu pemuda akan terwarnai cara-cara
berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, individu
menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat
dan lingkungan budayanya. Kepribadian seseorang melalui proses sosialisasi
dapat terbentuk, dimana kepribadian itu merupakan suatu komponen pemberi
atau penyebab warna dari wujud tingkah laku sosial manusia. Jadi dalam hal ini
sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota
masyarakat dalam hubungannya dalam sistem sosial. Dalam proses tersebut
seorang individu dari masa anak-anak hingga dewasa belajar pola-pola tindakan
dalam interaksi beraneka ragam atau macam peranan sosial yang mungkin ada
dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap individu dalam masyarakat yang berbeda, mengalami proses
sosialisasi yang berbeda pula, karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh
susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Jadi sosialisasi
dititikberatkan soal individu dalam kelompok melalui pendidikan dan
perkembangannya. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian (self)
dan kepribadian seseorang. Kedirian sebagai produk sosialisasi, merupakan
kesadaran terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain diluar
dirinya.

32
Proses sosialisasi ini berarti tidak berhenti sampai pada keluarga, tapi
masih ada lembaga lainnya. Cohen (1983) menyatakan bahwa lembaga-
lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok sebaya,
dan media massa. Dengan demikian sosialisasi dapat berlangsung secara formal
ataupun informal. Secara formal , proses sosialisasi lebih teratur karena
didalamnya disajikan seperangkat ilmu pengetahuan secara teratur dan
sistematis serta dilengkapi oleh perangkat norma yang tegas dan dipatuhi oleh
setiap individu. Proses sosialisasi ini dilakukan secara sadar dan sengaja.
Sedangkan secara informal, proses sosialisasi bisa juga melalui interaksi
pergaulan. Sosialisasi ini bersifat tidak sengaja, terjadinya ini bila seseorang
individu mempelajari pola-pola ketrampilan, norma atau perilaku melalui
pengamatan informal terhadap interaksi orang lain.
Meskipun sosialisasi itu mungkin berbeda-beda dalam berbagai lembaga,
kelompok maupun masyarakat, namun sasaran sosialisasi itu sendiri memiliki
banyak kesamaan.
Tujuan pokok sosialisasi:
1. Individu harus diberi ilmu pengetahuan (ketrampilan) yang dibutuhkan
bagi kehidupan kelak di masyarakat.
2. Individu harus mampu berkomunikasi secara kolektif dan
mengembangkan kemampuannya.
3. Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan
mawas diri yang tepat.
4. Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata niali dan kepercayaan
pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Berdasarkan gambaran diatas, maka sosialisasi pemuda dimulal umur 15
tahun dalam lingkungan keluarga, tetangga, sekolah dan jalur organisasi formal
atau informal untuk berperan sebagai makhluk sosial, makhluk individual bagi
pemuda, maka lingkungan untuk terjadi proses belajar kebudayaan harus
diciptakan suatu kondisi dimana pola-pola tindakan dalam interaksinya diikat
oleh suatu nilai filsafat budaya agama dan bangsa.

33
Faktor lingkungan bagi pemuda dalam proses sosialisasi memegang
peranan penting karena dalam proses sosialisasi pemuda terus berlanjut dengan
segala daya imitasi dan identitasnya. Pengalaman demi pengalaman akan
diperoleh pemuda dari lingkungan sekelilingnya. Lebih-lebih pada masa
peralihan dari masa muda menjelang dewasa, dimana sering terjadi konflik nilai,
wadah penbinaan harus bersifat fleksibel, mampu dan mengerti dalam membina
pemuda tanpa harus mematikan jiwa mudanya yang penuh dengan vitalitas
hidup.
Dalam sosialisasi pengintegrasisan individu dalam kelompok lebih
berkembang, maka lingkungan atau jalur organisasi fungsional harus
memberikan teladan dalam pola-pola tindakan. Penuh kreatifitas disertai
pelestarian dan penanaman asas-asas moral, etika, bersusila, serta keyakinan
agama dan mampu dijadikan sebagai barometer kehidupan bangsa. Demikian
pula bahwa lembaga-lembaga masyarakatpun dituntut peranannya mampu
menampung aspirasi pemuda dan senantiasa siap menghadapi dinamika
pemuda.

Masalah dan Potensi Pemuda


Masa muda adalah suatu fase dalam siklus kehidupan manusia. Fase ini
berproses ke arah perkembangan dan perubahan-perubahan yang bersifat
tradisional. Dalam proses inilah setiap individu pemuda akan selalu berhadapan
dengan tantangan-tantangan baik yang timbul dari proses pertumbuhan
kepribadiannya maupun tantangan yang muncul dari lingkungannya. Faktor
lingkungan mempengaruhi proses pendewasaan yang berpangkal tolak dari
lingkungan keluarga dan kemudian lingkungan masyarakat.
Perubahan-perubahan muncul sosial budaya yang bergerak cepatdalam
abad modern ini sebagai akibat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan,
diikuti oleh masalah peledakan penduduk dan berbagai krisis dunia dalam
bidang ekonomi, moneter, energi dan lain-lain serta proses pembangunan
nasional yang juga meliputi bidang-bidang ekonomi, politik, sosial budaya
maupun pertahanan dan keamanan telah mempengaruhi masyarakat secara

34
mendasar dan dirasakan oleh generasi muda sebagai masalah yang langsung
menyangkut kepentingannya. Masalah masa kini pada hakekatnya sebagai
landasan yang akan dihadapi dimasa depan nanti. Pada gilirannya akan
memberikan implikasi-implikasi dalam proses perkembangan dan pendewasaan
generasi muda. Dengan demikian, maka masalah generasi muda sebenarnya
tidak terpisah dari masyarakat pada umumnya, sebab generasi muda pada
hakekatnya suatu bagian yang berkesinambungan dengan masyarakat.
Disamping hal-hal diatas, juga perbedaan latar belakang keagamaan,
kepercayaan, kebudayaan, kota, dan desa, strata kehidupan sosial-ekonomi,
pendidikan, ketrampilan dan masalah lainnya sering menimbulkan
kekurangserasian antar kelompok sesama pemuda, yang biasanya diperbesar
pula oleh kekurangserasian hubungan antara orang tua dan putra-putrinya atau
perbedaan pendapat antara generasi muda dan generasi tua. Kekurangserasian
ini sebenarnya sering tidak terlalu fundamental sifatnya namun jika pendapatnya
tidak bersifat edukatif-persuasif akan dapat merugikan individu dan masyarakat.
Individu pemuda yang berbeda-beda itu perlu dibimbing agar memahami terlebih
dahulu hal-hal yang menimbulkan perbedaan-perbedaan itu. Kemudian diajak
untuk lebih berjiwa besar atau berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan
itu dan toleransi terhadap perbedaan itu.
Menurut pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda
bahwa permasalahan generasi muda dapat dilihat dari beberapa aspek sosial
yakni:
1. Sosial Psikologi
Proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian serta penyesuaian
diri secara jasmaniah dan rohaniah sejak dari masa kanak-kanak sampai usia
dewasa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keterbelakangan
jasmani dan mental, salah asuh oleh orang tua/keluarga maupun guru-guru di
lingkungan sekolah, pengaruh negatif dari lingkungan pergaulan sehari-hari oleh
sebayanya.
Hambatan-hambatan tersebut di atas memungkinkan timbulnya kenakalan
remaja, ketidak patuhan kepada orangtua dan guru, kecanduan pada

35
narkotika dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan gajala-gejala yang perlu
memperoleh perhatian dari semua pihak.
2. Sosial Budaya
Kaum muda perkembangannya ada dalam proses pembangunan dan
modernisasi dengan segala akibat sampingnya yang bisa mempengruhi proses
pendewasaannya, sehingga apabila tidak memperoleh arah yang jelas, maka
corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain daripada
yang dicita-citakan. Benturan antara nilai-nilai budaya tradisional dengan nilai-
nilai baru yang cenderung menimbulkan pertentangan antara sesama generasi
muda dan generasi sebelumnya yang pada gilirannya akan menimbulkan
perbedaan sistem nilai dan pandangan antara generasi tua dan generasi muda.
Hal tersebut dapat menyebabkan terputusnya kesinambungan nilai-nilai
perjuangan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pola hidup yang
berdasarkan kekeluargaan, kegotongroyongan sebagai salah satu ciri kehidupan
masyarakat Indonesia, makin bergeser ke arah kehidupan individualistis.
Keadaan seperti itu bila berlangsung terus akan mempengaruhi perkembangan
generasi muda. Akan timbul rasa tidak aman, penolakan, keterasingan di
kalangan mereka. Hal seperti ini memungkinkan mereka lalu menjauhkan diri
dari masyarakat, mengelompokkan diri dalam gang-gang dengan sikap dan cara
bepikir yang lepas dari norma-norma dan sistem nilai yang berlaku.
Meremehkan ajaran-ajaran dan memudarkan kesadaran berbangsa dan
berkepribadian nasional, pada akhirnya akan mempunyai pengaruh dalam
rangka pendidikan moral pancasila. Sebaliknya, barang kali dapat dicari dari
pengaruh-pengaruh daya pamer budaya asing yang lebih bersifat pemuasan
kenikmatan duniawi semata-mata seperti klub malam mandi uap, pola-pola
konsumsi mewah, majalah dan film yang lebih menampilkan adegan-adegan
porno dari pada cerita-cerita yang bermutu yang mengandung unsur-unsur
pendidikan. Keadaan ini akan menimbulkan idealisme dan patriotisme serta
kesetiakawanan di kalangan kaum muda.

36
3. Sosial Ekonomi
Pertambahan jumlah penduduk yang cepat dan belum meratanya
pembangunan dan hasil-hasil pembangunan mengakibatkan makin
bertambahnya pengangguran di kalangan muda, karena kurangnya lapangan
kerja. Kurangnya lapangan kerja ini menimbulkan berbagai problema sosial serta
frustasi di kalangan kaum muda. Ketidakseimbangan anar kebutuhan bagi
pendidikan dan penyediaan sarana-sarana pendidikan, makin bertambahnya
jumlah pemuda-pemuda yang putus sekolah sementara di pihak lain anggaran
pemerintah yang terbatas mengkibatkan kekurangan fasilitas bagi latihan-latihan
ketrampilan. Demikian juga sistem pendidikan tidak mampu menjawab tantangan
kebutuhan pembangunan.
4. Sosial Politik
Dalam kehidupan sosial politik aspirasi pemuda berkembang dan
cenderung mengikuti pola infra struktur politik yang hidup dan berkembang pada
suatu periode tertentu. Akibatnya makin dirasakan bahwa dikalangan pemuda
masih ada hambatan-hambatan untuk menumbuhkan satu orientasi baru yakni
pemikiran untuk menjangkau kepentingan nasional dan bangsa diatas segala
kepentingan lainnya.
Dirasakan belum terarahnya pendidikan politik di kalangan pemuda dan belum
dihayatinya mekanisme demokrasi Pancasila maupun lembaga-lembaga
konstitusional, tertib hukum dan disiplin nasional, hal mana merupakan
hambatan bagi penyaluran aspirasi generasi muda secara institusional dan
konstitusional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang
menyangkut generasi muda dewasa ini adalah :
1. dirasakan menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme
dikalangan masyarakat termasuk generasi muda
2. kekurangan pastian yang di alami oleh generasi muda terhadap masa
depannya
3. belum seimbangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang
tersedia, baik yang formal maupun non formal. Tingginya jumlah putus

37
sekolah yang diakibatkan oleh berbagai sebab yang bukan hanya merugikan
generasi muda sendiri, tapi juga merugikan seluruh bangsa.
4. kurangnya lapangan dan kesempatan kerja serta tingginya tingkat
pengangguran atau setengah pengangguran dikalangan generasi muda
dapat mengakibatkan berkurangnya produktifitas nasional dan
memperlambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional serta
dapat menimbulkan berbagai problema sosial lainnya.
5. kurangnya gizi yang dapat menyebabkan hambatan bagi perkembangan
kecerdasan dan pertumbuhan badan dikalangan generasi muda di sebabkan
oleh rendahnya daya beli dan kurangnya pengertian tentang gizi dan menu
seimbang dikalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
6. masih banyaknya perkawinan dibawah umur, terutama dikalangan
masyarakat daerah pedesaan
7. adanya generasi muda yang menderita tuna fisik, mental dan sosial yang
memerlukan usaha-usaha yang lebih sungguh-sungguh, agar mereka dapat
berkembang menjadi warga negara yang produktif biarpun ada ketunaan
8. pergaulan bebas membahayakan sendi-sendi perkawinan dan kehidupan
keluarga
9. meningkatnya kenakalan remaja termasuk menyalahgunakan narkotika
10. belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyangkut generasi
muda

Penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas memerlukan usaha-


usaha secara terpadu, terarah dan berencana dari seluruh potensi nasional
dengan melibatkan generasi muda sebagai subjek pengembangan. Belum
dilihatnya secara menyeluruh potensi yang ada ini menyebabkan penyelesaian
masalah tersebut belum berjalan secepat yang di inginkan. Organisasi-
organisasi generasi muda yang telah berjalan baik adalah merupakan potensi
yang siap untuk dilibatkan dalam kegiatan pembangunan.

38
Menurut Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda,
bahwa potensi-potensi yang ada pada pemuda dapat di identifikasikan sebagai
berikut :
1. Idealisme dan daya kritik
Karena secara sosiologis generasi muda belum mapan dalam tantangan
yang ada, maka ia dapat melihat kekurangan-kekurangan dalam tantangn
tersebut dan secara wajar mampu mencari gagasan baru sebagai alternatif ke
arah perwujudan tatanan yang lebih baik
Pengejawantahan idealisme dan daya kritiknya perlu untuk senantiasa
dilengkapi dengan landasan rasa tanggung jawab yang seimbang.
2. Dinamika dan kreativitas
Karena idealisme di atas maka generasi muda memiliki potensi
kedinamisan dan kreativitas yakni kemampuan dan kesediaan untuk
mengadakan perubahan, pembaharuan dan penyempurnaan kekurangan-
kekurangan yang ada ataupun mengemukakan gagasan-gagasan atau alternati
yang abru sama sekali.
3. Keberanian mengambil resiko
Perubahan dan pembaharuan termasuk pembangunan, mengandung
resiko dapat meleset, terhambat atau gagal. Namun mengambil resiko itu adalah
perlu, jika kemajuan ingin diperoleh. Generasi muda dapat dilibatkan pada
usaha-usaha yang mengandung resiko. Kesiapan pengetahuan, perhitungan dan
ketrampilan dari generasi muda akan memberi kualitas yang baik kepada
keberanian mengambil resiko ini.
4. Optimis dan kegairahan semangat
Kegagalan tidak menyebabkan generasi muda menjadi patah semangat.
Optimisme dan kegairahan semangat yang dimiliki generasi muda akan
merupakan daya dorong untuk mencoba maju lagi.
5. Sikap kemandirian dan disiplin murni (Self diciplin)
Generasi muda memiliki keinginan untuk selalu mandiri dalam sikap dan
tindakanya. Kemandirian perlu dilengkapi dengan kesedaran disiplin murni pada

39
dirinya, agar dengan demikian mereka dapat menyadari batas-batas yang wajar
dan memiliki tenggang rasa.
6. Terdidik
Walaupun dengan perhitungan faktor putus sekolah, secara menyeluruh
baik dalam arti kuantitatif maupu arti kualitatatif generasi muda secara relatif
lebih terpelajar karena lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi-
generasi pendahulunya.
7. Keaneragaman dalam persatuan dan kesatuan bangsa
Keaneragaman generasi muda merupakan cermin dari keaneragaman
masyarakat Indonesia, dapat merupakan hambatan, jika hal ini dihayati secara
sempit dan eksklusif. Tapi keaneragaman masyarakat Indonesia, dapat
merupakan potensi dinamis dan kreatif jika keaneragaman itu ditempatkan dalam
rangka integrasi nasional yang didasarkan atas semangat dan jiwa sumpah
pemuda tahun 1928 serta kesamaan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sehingga
dengan demikian merupakan sumber yang kaya untuk kemajuan untuk bangsa
itu sendiri. Untuk itu tiap unsur generasi muda dapat didorong untuk
menampilkan potensinya yang terbaik dan diberikan peran yang jelas serta
bertanggung jawab, dalam menunjang pembangunan nasional. Pengalaman
menunjukkan bahwa tiap satuan primordial/parochial pun ternyata memiliki
cukup potensi-potensi yang khas dan positif yang dapat dimanfaatkan dan
didayagunakan lebih lanjut oleh generasi mudanya
8. Patriotisme dan Nasionalisme
Pemupukan rasa kebanggaan, kecintaan dan turut memiliki bangsa dan
negara dikalangan generasi muda perlu lebih digalakkan, pada gilirannya akan
mempertebal semangat pengabdian dan kesiapannya untuk membela dan
mempertahankan bangsa dan negara dari segala bentuk ancaman. Dengan
tekat dan semangat ini generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap usaha dan
pemantapan ketahanan dan pertahanan nasional
9. Fisik kuat dan jumlah banyak

40
Potensi ini merupakan kenyataan sosiologis dan demografis dapat di
manfaatkan dalam kegiatan pembangunan yang menghendaki pengerahan
tenaga yang besar, khususnya pembangunan masyarakat di daerah pedesaan
10. Sikap kesatria
Kemurnian idealisme keberanian, semangat pengabdian dan
pengorbanan serta rasa tanggung jawab sosial yang tinggi adalah unsur-unsur
yang perlu dipupuk dan dikembangkan terus menjadi sikap kesatria dikalangan
generasi muda Indonesia sebagai pembela penegak kebenaran dan keadilan
bagi masyarakat dan bangsa.
11. Kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi
Generasi dapat berperan secara berdaya guna dalam rangka
pengembangan ilmu dan teknologi bila secara fungsional dapat dikembangkan
sebagai transformator dan dinamisator terhadap lingkungannya yang sederhana.
Untuk itu perlu dilengkapi dengan landasan kesadaran etika dan moralitas yang
tinggi. Tanpa landasan mana penerangan ilmu dan tegnologi dapat menjurus
kepada sikap determinisme yang tidak manusiawi.
12. Peranan Generasi Muda dalam Berbagai Kurun Waktu
Pada dasarnya sejarah nasional Indonesia tidak lain merupakan
pencerminan gambaran sejarah perjuangan, generagi muda pada masa lalu.
Dalam berbagai kesempatan, generasi muda Indonesia telah menunjukkan
kepeloporannya yang dengan dijiwai oleh semangat tidak mengenal menyerah
dan kesediaan untuk berkorban, memberikan contoh dan keteladanan kepada
bangsa tentang darma bakti yang patut dan seharusnya diberikan untuk
memebela kepentingan bangsa dan Negara.
Generasi muda Indonesia dalam berbagai peristiwa sejarah pada masa
lalu, sejak awal datangnya penjajah dan selama berlangsungnya masa
penjajahan sampaisaat pencapaian kemerdekaan Bangsa, telah mengambil
bagian besar dalam perjuangan politik dan kepahlawanannya. Pengalaman
sejarah bangsa Indonesia sebelumnya kemerdekaan menunjukkan potensi yang
selalu besar dari generasi muda Indonesia dalam kepeloporan perjuangan.
Kehendak untuk membebaskan diri dari penjajahan saat itu telah menyentuh hati

41
nurani generasi muda untuk berbuat lebih banyak bagi lingkungan
masyarakatnya. Ia yang pertama-tama merasakan sentuhan itu, dan kehendak
itu dianggap oleh generasi muda sebagai sesuatu yang langsung menyangkut
kepentinganya oleh karena itu dijadikan landasan bagi perjuangannya.
Selanjutnya, dalam alam kemerdekaan yang sedang ditempuh oleh
bangsa Indonesia, berbagai perubahan yang mendasar telah muncul. Situasi,
kondisi dan tantangan yang dihadapi tidak hanya menyangkut bidang politik saja
tetapi keseluruhan bidang kehidupan Nasional, yang diperjuangkan bangsa
Indonesia untuk mengisi kemerdekaannya. Ia menjadi kepentingan seluruh
bangsa, khususnya kepentingan generasi muda yang secara jelas menuntut
kembali kepeloporan yang pernah diberikan generasi muda pada masa lalu
untuk dimanfaatkan bagi pencapaian cita-cita bangsa, terutama dalam masa
pembangunan Nasional bangsa seperti sekarang ini.
13. Tugas Pemuda Sekarang Dan Masa Depan
Tugas pemuda sekarang dan di masa depan tidak bisa lepas kaitannya
dengan tugas sejarah yang besar, yang sedang digumuli oleh seluruh bangsa
kita. Yakni pembangunan, tugas masa depan adalah tugas pembangunan, kita
bersama-sama harus membangun hari esok yang kita cita-citakan, yang dicita-
citakan oleh perjuangan yang sangat panjang dan berat dari seluruh bangsa kita
ini. Suatu hari esok yang lebih baik berarti baik dari hari kemarin dan hari ini.
Pengisian masa depan seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi
kemerdekaan itu dengan sendirinya menuntut keterlibatan generasi muda.
Sebab apabila kita ingin membangun hari esok yang lebih baik, maka
didalamnya telah tercermin kepentingan dan sekaligus peranan generasi muda.
Pembangunan yang tengah dikerjakan saat ini secara keseluruhan tetap
merupakan tugas, tanggung jawab dan milik kita bersama.
Untuk menjaga dan memelihara kesinambungan dan kelestarian sejarah
bangsa kita, perlu menekankan pentingnya keikutsertaan generasi muda
dalam kegiatan pembangunan. Kesinambungan dan kelestarian sejarah
bangsa kita dapat dipelihara. Kalau generasi muda tidak duduk sebagai
penonton, melainkan naik ke atas pentas sejaraj bangsanya.oleh karena itu
untuk membentuk dan isi masa depan sejarah bangsa, maka pupuklah
semangat kepeloporan, keberanian memikul tanggung jawab dan resiko.

42
Wujud nyatanya harus dilakukan dalam perbuatan dan pengabdian dan
sekali-kali bukan dalam angan-angan dan impian semata.

43

Anda mungkin juga menyukai