Anda di halaman 1dari 3

Merintis berdirinya Universitas, 

Politeknik PGRI

Bagi PGRI istilah jati diri awalnya secara eksplisit tidak tercantum dalam Anggaran Dasar hasil kongres
guru-guru di Surakarta tidak lama sesudah Proklamasi yang melahirkan sebuah organisasi guru yaitu
Persatuan Guru Republik Indonesia pengganti organisasi-organisasi guru yang ada sebelumnya. Kalimat-
kalimat tersebut jiwa dan semangatnya tidak jauh berbeda dengan istilah organisasi perjuangan pada
Anggaran Dasar perkembangannya. Rumusan ini senafas dengan PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan
yaitu jati diri ketiga menurut Anggaran Dasar hasil kongres periode-periode kemudian. Tentang
keanggotaan dirumuskan dalam pasal IV ayat a, yang berbunyi « yang diterima menjadi anggota PGRI
ialah guru sekolah dalam Republik Indonesia». 

Ketentuan ini di dalam Anggaran Dasar hasil kongres XX ditempatkan di bawah kata pokok sifat
organisasi yaitu «unitaristik tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat
kerja, kedudukan,agama, suku, golongan, gender, dan asal usul».Bahwa PGRI adalah organisasi
ketenagakerjaan terbukti sejak awal berdirinya telah menerapkan cara-cara perjuangan seperti cara-cara
perjuangan organisasi buruh yang kemudian diperhalus dengan istilah serikat pekerja. Pada Kongres III
PGRI di Madiun tanggal 27-29 Februari 1948 ditegaskan bahwa PGRI tidak bergerak dalam lapangan
politik . Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa PGRI tidak berafiliasi dengan partai politik, bukan pula
anak organisasi partai politik, tetapi dapat bahkan perlu masuk dalam bidang politik dalam arti ikut
berperan dalam urusan dan seluk beluk pemerintah/negara Republik Indonesia. 

Ditegaskan juga pada waktu sifat dan siasat perjuangan PGRI yaitu . Peran serta PGRI di bidang politik
yang cukup strategik ditandai dengan adanya dua orang wakil PGRI yang ditunjuk untuk duduk sebagai
anggota KNIP yang merupakan parlemen sementara Republik Indonesia,berdasarkan maklumat Wakil
Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945. Jati Diri PGRI Pada Era Demokrasi Liberal. Kongres PGRI ke IV
dilaksanakan pada tanggal 26-28 Februari 1950 dua bulan sesudah berdirinya RIS tanggal 27 Desember
1949. 

Semangat persatuan dan kesatuan terus menggelora, dorongan untuk mempersatukan semua guru di tanah
air di bawah naungan organisasi persatuan PGRI tidak terbendung.Akhirnya sebanyak 30 cabang Serikat
Guru Indonesia di negara Pasundan memisahkan diri dari SGI untuk bergabung dengan PGRI. Ambisi
untuk membuat PGRI sebagai satu-satunya wadah organisasi guru telah muncul pada saat ini.Cara-cara
perjuangan organisasi buruh diperlihatkan kembali pada bulan Juni 1950 ketika kebijakan pemerintah yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 

Terhadap rencana tersebut PB PGRI sangat mendukung. Konsistensi PGRI atas sifat PGRI yang tidak
berpartai politik diuji kembali dengan masalah vang sentral. PGRI sebagai organisasi serikat
sekerja, seperti halnya serikat buruh lainnya bergabung ke dalam Serikat Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia . PGRI sebagai serikat sekerja, seperti halnya serikat buruh lainya,bergabung ke dalam Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia . 

Tetapi ketika sejumlah Pengurus PGRI mengendus bahwa orientasi politik SOBSI mengarah ke
PKI,akibatnya pada tanggal 20 September 1948, PGRI mengundurkan diri dari SOBSI, dengan alasan
bahwa berdasarkan anggaran dasarnya, PGRI bukan bagian dari partai politik. Di samping itu asas dan
dasar perjuangan PGRI adalah Pancasila,sementara GBSI tidak berasaskan Pancasila. 

Masih tetap dalam suasana dan semangat PGRI bukan bagian dari partai politik pada tanggal 19-24
Desember 1950 terselenggaralah Kongres PGRI yang ke V di Bandung. disepakatinya PGRI masuk
menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia . Pembentukan cabang-cabang PGRI meluas sampai
ke Sulawesi dan Kalimantan. Sifat non partai politik PGRI kembali digoyah dalam Kongres ke VI yang
diselenggarakan di Malang pada tanggal 24-30 November 1952. 

Hasil pemilihan Pengurus Besar PGRI menunjukkan hampir 50% pengurus dipegang oleh orang-orang
PKI atau simpatisan PKI. Tarik ulur antara orang-orang PKI dan yang non PKI dalam mengendalikan
PGRI terus menerus terjadi sampai akhirnya mencapai klimaks yaitu keluarnya PGRI dari GBSI dan
pernyataan bahwa PGRI adalah orgaisasi non vak sentral. Pada era demokrasi terpimpin PGRI tetap
sebagai organisasi non partai politik. Namun demikian usaha tokoh-tokoh PKI atau simpatisan PKI untuk
mengegolkan niatnya agar PGRI menjadi orgaisasi buruh yang merupakan bagian dari PKI tidak pernah
surut. 

Kehidupan organisasi diselingi oleh hiruk pikuk,pertentangan karena tokoh-tokoh PGRI yang anti PKI
tidak tinggal diam. Subiadinata sebagai Ketua Umum konsistensi PGRI sebagai organisasi yang tidak
berafiliasi dengan partai politik dapat dipertahankan sampai kepemimpinan M.E.Subiadinata tahun 1969
masa kerja pengurus PGRI ke XI. Masa yang paling pahit bagi PGRI adalah tahun 1962-1965. 

Pada saat itu terjadi perpecahan yang hebat dalam tubuh PGRI. Kekuatan ini berusaha menggunakan
kekuatan PGRI sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Namun demikian usaha tersebut gagal bahkan
akhirnya anggota Pengurus Besar PGRI yang mendirikan PGRI non vak sentral yang berafiliasi pada PKI
dipecat dari kepengurusan. Jati Diri PGRI pada Masa Orde Baru. 

Peristiwa G30S PKI yang terjadipada tanggal 30 September 1965 menyebabkan Kongres ke XI PGRI yang
semula direncanakan tahun 1965 terpaksa ditunda bahkan pada tahun 1966 juga tidak jadi dilaksanakan
karena adanya dualisme kepemimpinan nasional.. Keputusan-keputusan Kongres menunjukkan perubahan
besar dalam organisasi PGRI. Keputusan itu antara lain menolak Manifesto Politik sebagi haluan negara
yang pada Kongres ke X tahun 1962 telah disepakati sebagai dasar PGRI. 

Juga disetujuinya PGRI untuk bergabung dalam barisan Sekber Golkar. PGRI ditegaskan sebagai
organisasi yang bersifat unitaristik, independen,dan non partai politik. Perubahan dan penyempurnaan
AD/ART PGRI disesuaikan dengan perkembangan politik Orde Baru. PGRI menjadi anggota WCOPT . 

Selama masa Orde Baru terlihat jelas bahwa PGRI tidak mampu mempertahankan asas, prinsip,sifat dan
cara bertindak yang telah manjadi kesepakatan dan seterusnya dipertahankan mati - matian. PGRI menjadi
alat kepentingan politik Golongan Karya. Secara pragmatis sikap PGRI menguntungkan para guru dan
anggota PGRI serta dunia pendidikan pada umumnya tetapi kemandirian menjadi slogan kosong. Daya
kritik PGRI terhadap kebijakan pemerintah nyaris tidak ada bahkan PGRI sebagi anak emas pemerintah
dan Golkar bertindak sebagai corong yang kuat dan efektif bagi pemerintah. 

Hapusnya serikat pekerja dari jati diri PGRI diawali dari konferensi pusat terakhir di Bandung pada tahun
1972, peserta konferensi pusat dihadapkan pada pilihan yang sulit akibat intervensi pemerintahan orde
baru. Pemerintah Orde baru melalui menteri dalam negeri Amir Mahmud dan asisten pribadi Ali Murtopo
memberikan pilihan yang sulit kepada peserta konferensi yaitu, pilihan tetap mencantumkan serikat
pekerja dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi PGRI dengan menanggung akibat
PGRI dilebur ke organisasi KORPRI atau PGRI tetap berdiri akan tetapi menghilangkan serikat pekerja
sebagai jatidiri organisasi?. « Dalam kongres ini saudara saudara akan mengambil suatu keputusan yang
sangat penting, ialah merubah sifat PGRI dari organisasi serikat sekerja menjadi organisasi profesi. »
Pidato pembekalan Presiden saat pembukaan kongres sudah mengarahkan arah kemana PGRI harus
bergerak, Presiden sudah menginginkan agar PGRI meninggalkan sifat keserikat sekerjanya. 

Salah satu keputusan kongres Xlll menetapkan PGRI hanya mendasari pada jati diri profesi saja.Kongres
Xlll tanggal 21- 25 Nopember 1973 di Jakarta menetapkan, pertama, berubahnya PGRI dari serikat pekerja
menjadi organisasi profesi,Kedua, ditetapkannya kode etik guru dan ketiga,berubahnya lambang dan panji
panji PGRI.Sifat reformasi yang kembali ke alam demokrasi sesuai Pancasila dan Undang Undang
45,berimbas pula bagi PGRI. PGRI mempercepat kongresnya empat bulan dari yang seharusnya,yaitu
kongres ke XVlll di Lembang Bandung. 

Kongres XVlll, memutuskan PGRI kembali ke jati dirinya, yaitu PGRI sebagai organisasi


perjuangan,profesi dan ketenaga kerjaan. Jati diri ini merupakan Jati diri yang sama dengan jati diri PGRI
sejak kongres Guru Indonesia yang pertama di Solo. Pada Kongres PGRI XVIII tahun 1998 diputuskan
bahwa salah satu jati diri PGRI adalah organisasi ketenagakerjaan. Kemudian PB PGRI mendaftarkan lagi
PGRI sebagai Organisasi Serikat Pekerja di Depnaker tanggal 10 Agustus 1999. 

Kembalinya PGRI sebagai serikat pekerja guru disambut baik oleh dunia International. Persatuan Guru
International Education International langsung memberikan bimbingan dan bantuan untuk menjadikan
PGRI sebagai serikat pekerja guru yang bermartabat dan berwibawa. Education International dengan
consortium proyeknya memberikan milyaran rupiah sejak tahun 2000 sampai saat ini untuk membantu
PGRI. Puncak dari PGRI sebagai serikat pekerja adalah telah memperjuangkan Anggaran pendidikan
sebesar 20 % dari APBD/APBN, lahirnya Undang Undang Guru dan dosen nomor 14 tahun
2005, terbitnya sertifikasi guru dan mempertahankan keberadaan dirjen yang mengurusi guru di
kementerian yaitu ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan. 

Perjuangan konsisten PGRI dalam meningkatkan harkat martabat dan marwah para guru banyak
membuahkan hasil. PGRI terus berkomitmen dalam memperjuangkan nasib para guru honorer kategori
maupun non-kategori khususnya yang berusia di atas 35 tahun agar diberikan kesempatan menjadi ASN
melalui jalur ASN-PPPK maupun jalur CPNS. Begitu juga rencana perubahan anggaran dasar dan rumah
tangga PGRI dimungkinkan karena diatur dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga
Organisasi. Terjadi perubahan anggaran Dasar PGRI pada Kongres Xlll dan Kongres XVlll itu semua
akibat alasan yang kuat baik dari eksternal maupun internal. 

Perubahan Anggaran Dasar Anggaran Rumah tangga PGRI tidak bisa hanya keinginan orang
perorangan, kelompok atau kepentingan sesaat,tetapi wajib melihat secara pilosofis, juridis,historis dan
sosiologis. Organisasi PGRI adalah organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenaga
kerjaan. PGRI juga merupakan organisasi yang unitaristik, independen, dan non partai politik. Selanjutnya
PGRI memiliki dan melandasi kegiatanya dengan semangat demokrasi, kekeluargaan, keterbukaan, dan
tanggungjawab etika moral serta hukum. 

PGRI memiliki tujuan tugas dan fungsi yang ditarik dan bersumber dari sifat-sifat serta prinsip-prinsip dan
semangat PGRI. PGRI berusaha merevitalisasi sifat, prinsip, asas semangat yang menjadi daya pembeda
antara PGRI dengan organisasi lain. Saat ini secara relatif PGRI telah sempurna melengkapi diri dengan
soft skill dan hard skill. Perjalanan panjang PGRI membuktikan bahwa tanda-tanda pembeda atau yang
disebut jati diri sulit untuk diaplikasikan dalam perjuangan membela kepentingan guru dan anggota PGRI
apabila kemandirian organisasi tidak terwujudkan. 

Komitmen pengurus dan anggota PGRI tidak cukup melalui kontribusi konseptual tetapi juga harus kuat
kemandirian finansialnya. Kemandirian finansial inilah yang selama ini menghambat implementasi jati diri
PGRI, daya pembeda PGRI.PGRI harus mencari strategi baru dalam mengubah sikap anggota sebagai
sumber keuangan utama. Pelaksanaan Kongres PGRI ke-21 di Istora Senayan akhirnya resmi ditutup pada
tanggal 5 Juli 2013. 

Adapun tema Kongres PGRI tahun ini adalah «Peran Strategis PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru
Indonesia dalam Mewujudkan Guru yang Bermartabat Menuju Pendidikan Bermutu.»Selain itu, Persatuan
Guru Republik Indonesia mendesak perombakan total desain dan kebijakan pendidikan nasional. Untuk
mengembalikan pendidikan pada arah yang benar, PGRI mendesak agar sejumlah kebijakan pemerintah
saat ini dikaji ulang. 
Banyak perlakuan aparat di daerah yang melakukan pergantian dan mutasi terhadap guru pasca-
pemilukada yang bernuansa politis. Selain itu, kongres PGRI juga menyatakan pemerintah bertanggung
jawab meningkatkan mutu guru melalui pendidikan dan pelatihan. Pelatihan guru jangan dilakukan hanya
sesaat demi kepentingan Kurikulum 2013. Faktanya, pembayaran tunjangan profesi guru lebih sering
terlambat dan tidak merata. 

Peningkatan penghasilan guru honorer didaserakan pada aturan Upah Minimal yang ditetapkan pemerintah
dan pembayarannya melibatkan APBN, 3. Pengembangan kualitas dan kuatitas kompetensi guru
khususnya guru Sekolah Dasar dengan pengadaan Sekolah Pendidikan Guru di daerah-daerah. Hadirnya
PGRI SLCC menunjukkan keseriusan PGRI dalam upaya meningkatkan kompetensi guru di bidang
teknologi dalam menghadapi perubahan di era revolusi industri 4.0. Penguatan peran Asosiasi Profesi dan
Keahlian Sejenis sebagai wadah peningkatan kompetensi para guru yang digelorakan dari guru dan oleh
guru sebagai upaya PGRI memberikan kesempatan setara tanpa membedakan status para guru untuk
meningkatkan kapasitas profesinya. 

Anda mungkin juga menyukai