Anda di halaman 1dari 15

PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpin

(1959-1965)
Pada kongres IX di Surabaya bulan oktober /November 1959,
Soebandrio dkk.melancarkan politik adudomba di antara para kongres,
terutama pada waktu pemilihan Ketua Umum. Usaha tersebut tidak
berhasil, ME.Sugiadinata terpilih lagi sebagai Ketua Umum BP PGRI.
Ketua Umum : M.E. Subiadinata Ketua : 1. M. Hoesein 2. Soebandri
Panitera Umum : Soekarno Prawira Panitera Umum dan Keuangan : A.
Zachari Panitera Perburuhan : Moejono Panitera Pendidikan :
Manusama Panitera Keuangan : A. Zachari Panitera Organisasi :
Moersid Idris Panitera Sosial / Ekonomi : Ismartojo Komisaris Umum
Urusan Perburuhan : A. Sanoesi Komisaris Umum Urusan Pendidikan :
A.Harahap Komisaris Umum Urusan Perburuhan : Alam Sjahroeddin
Komisaris Umum Urusan Keuangan : Nj. Soenardi
Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI
• Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang sangat
pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam
tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada
periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu bukan demi
kepentingan guru atau profesi guru, melainkan karena
ambisi politik dari luar dengan dalih ”machsovorming en
machsaanwending” (pembentukan kekuatan dan
penggunaan kekuatan).
Ternyata Goldfried termasuk salah seorang
penandatanganan “surat selebaran fitnah”, sehingga timbul
protes dari sidang pleno, sehingga Goldfied akhirnya
dikeluarkan dari panitia.
Pemecatan Massal Pejabat Departemen
P&K (1964)
• Pidato inagurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama Majelis Pendidikan
Nasional (Mapenas) dalam kapasitasnya sebagai salah seorang wakil ketua,
menyarankan agar Pancawardhana diisi dengan moral “panca cinta”. Sistem
pendidikan pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip:
1) Perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral nasional /
internasional/ke agamaan ,
2) Perkembangan kecerdasan,
3) Perkembangan emosional – artistrik atau rasa keharuan dan keindahan lahir
batin
4) Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan dan,
5) Perkembangan jasmani.
Moral panca cinta meliputi:
a. Cinta nusa dan bangsa
b. Cinta ilmu pengetahuan
c. Cinta kerja dan rakyat yang bekerja
d. Cinta perdamaian dan persahabatan antar bangsa-bangsa
e. Cinta orang tua
• Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan
kegelisahan di kalangan pendidik. Di lingkungan Departemen
PP & K, . Polemik itu makin meruncing ketika dalam Rapat
Dinas tanggal 23 Juli 1964 Mentri PP & K, Prof. Dr. Prijono
(1957-1966) memancing kembali suasana polemik tersebut.
Akibatnya, Pembantu mentri, Tartib Prawirodiharjo,
meninggalkan rapat karena dituduh mengkhianati Mentrinya.
Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat
berkenaan dengan isi Moral Pendidikan Pancawardhana,
akhirnya Presiden membentuk sendiri panitia dengan nama
“Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan
Pancawardhana”. Panitia ini diberi tugas untuk
menyampaikan pertimbangan tentang “Pemecatan Massal”,
ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah.
PGRI Non-Vaksentral, Sisi Lain Infiltrasi
PKI Pada Organisasi Guru
• Wadah organisasi guru di Indonesia yang tunggal dan diakui pemerintah yakni
Persatuan Guru Republik Indonesia berdiri pada 25 November 1945 di Solo.
Kongres guru pertama di tanggal tersebut sepakat membentuk suatu
organisasi guru, orang yang memiliki profesi guru dan berijazah guru, untuk
berhimpun dalam suatu wadah yang mempersatukan berbagai organisasi-
organisasi guru yang sebelumnya telah ada sejak sebelum kemerdekaan RI. 
• Salah satu sifat dari  PGRI dalam menjalankan organisasinya ialah
Independen atau kemandirian serta mengklaim bebas dari afiliasi suatu partai
politik. Bagi mereka, seorang guru, -apalagi organisasi guru itu sendiri-,
apabila tidak mandiri dan berafiliasi ke suatu partai politik dapat menurunkan
profesional dan kewibawaan seorang guru. Tugas dan misi guru jelas, bagian
dari tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apabila
dipengaruhi oleh hal-hal politis maka hal itu akan sulit terwujud. 

PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI
Periode th. 1966-1972merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru,
penataan kembali organisasi, menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat
dalam pola pembangunan nasional yang baru memerlukan pemimpin yang memiliki
dedikasi yang tinggi, kemampuan manajerial yang mantap, dan pengalaman yang
mendukung. Dipenuhi dengan jalan kaderisasi, pelaksanaan kaderisasi yang dimulai
pada th. 1957 di Jakarta dilanjutkan kembali mulai Juli 1973 di Bandung, Yogyakarta,
dan Pandaan, Jawa Timur.
PGRI mencoba untuk turut memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi
pegawai negeri dalam bentuk RKS. Selanjutnya PGRI memprakarsai pendirian PSPN
dengan ketua Umumnya M.E. Subiadinata. Terakhir, pada th. 1967, PGRI memprakarsai
berdirinya MPBI. Sebagai pengembangan dari MPBI lahirlah FBSI (Federasi Buruh
Serikat Indonesia). Disambut gembira oleh para buruh kelahiran FBSI, sementara PGRI
tidak mempunyai tempat dalam federasi karena banyak perbedaan yang mendasar:
1) FBSI beranggotakan unsur buruh murni
2) Anggota FBSI harus buruh swasta
3) FBSI berprinsip “trade unionisme”
4) FBSI berada di bawah pembinaan Departemen Tenaga Kerja.
Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
• PGRI tidak luput dari ancaman tersebut. Pada kongres IX PGRI di Surabaya
(oktober 1959),infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar” terasa,dan lebih jelas
lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962).
• Kiranya perinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh
PGRI.”kawan”adalah semua golongan pancasilais anti PKI yang Dalam
Pendidikan mengamankan Pancasila,dan “Lawan”adalah PKI yang berusaha
memaksakan pendidikan.”pancacinta”dan “pancatinggi”. Akan tetapi kekuatan
pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi
tantangan tersebut.
• Setelah PKI diwakili oleh guru” ber orentasi ideology komunis tak mampu lagi
melakukan taktik” penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat
dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan dari PGRI.
• Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan di
antara guru, presiden sukarno turun tangan dengan membentuk majelis
pendidikan nasional yang menerbitkan penpres no.19 thn 1965 tentang
pokok” pendidikan pancasila akan tetapi pempres tersebut tidak berhasil
mempersatukan organisasi ini. Sungguh perpecahan tersebut merupakan
peristiwa yang sangat pahit bagi PGRI.
PGRI Non-Vaksentral, Sisi Lain Infiltrasi
PKI Pada Organisasi Guru
• Wadah organisasi guru di Indonesia yang tunggal dan diakui pemerintah yakni
Persatuan Guru Republik Indonesia berdiri pada 25 November 1945 di Solo.
Kongres guru pertama di tanggal tersebut sepakat membentuk suatu
organisasi guru, orang yang memiliki profesi guru dan berijazah guru, untuk
berhimpun dalam suatu wadah yang mempersatukan berbagai organisasi-
organisasi guru yang sebelumnya telah ada sejak sebelum kemerdekaan RI. 
• Salah satu sifat dari  PGRI dalam menjalankan organisasinya ialah
Independen atau kemandirian serta mengklaim bebas dari afiliasi suatu partai
politik. Bagi mereka, seorang guru, -apalagi organisasi guru itu sendiri-,
apabila tidak mandiri dan berafiliasi ke suatu partai politik dapat menurunkan
profesional dan kewibawaan seorang guru. Tugas dan misi guru jelas, bagian
dari tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apabila
dipengaruhi oleh hal-hal politis maka hal itu akan sulit terwujud. 

Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa Demokrasi Liberal sekitar tahun
1950-1959, iklim Demokrasi Indonesia saat itu berada dititik yang paling bebas dimana
banyak sekali berdiri partai politik. Apalagi menjelang Pemilu 1955, persaingan antar
partai politik benar-benar panas dan tidak jarang secara terbuka saling menyerang
dengan berbagai propaganda, terutama antara Masyumi dan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pasca Pemilu 1955, kondisi tersebut bukanya makin mereda namun jauh
semakin panas. Terlebih PKI disebut-sebut sebagai "Partai Anak Emas" Presiden
Soekarno. Sulit saat itu bagi setiap warga negara untuk menjadi independen dan tidak
terikat pada arus booming haluan politik. Termasuk pada kalangan profesi guru.
Tensi politik yang memanas membuat guru kehilangan rasa persatuan, terbukti dengan
munculnya berbagai organisasi guru lain seperti Ikatan Guru Marhaenis, Persatuan
Guru NU, Persatuan Guru Islam Indonesia, dan seterusnya. PGRI mengecam hal ini
dengan menuduh organisasi-organisasi guru tersebut terlalu sibuk dengan ideologi dan
partai yang membekinginya daripada fokus pada organisasi profesi dan yang lebih
penting fokus pada tugas utamanya. Selanjutnya bisa ditebak, akhirnya organisasi
PGRI itu sendiri pecah karena perbedaan cara pandang terhadap afiliasi politik. Lebih
tepatnya di tubuh PGRI sejak tahun 1959 sudah disusupi oleh guru-guru yang condong
pada suatu partai politik tertentu, dan yang paling kuat dalam melakukan pandangan
politiknya di forum-forum PGRI ialah yang bersimpati pada PKI.
• Pada Kongres ke X di Jakarta November 1962 kondisi ini semakin panas
dan meruncing. Dimotori oleh Soebandrio yang disebut-sebut orang PKI
ditubuh PGRI, ia diduga menuduh ketua umum M.E. Subiyadinata anti
Manifesto Politik yang saat itu menjadi kebijakan politik Presiden
Soekarno. Sebenarnya usaha Soebandrio dan kompolotannya ini
tujuannya jelas untuk menurunkan Subiyadinata dari kursi Ketua Umum
PGRI dan mungkin dirinya atau setidaknya kekuatan anasir PKI yang bisa
berkuasa selanjutnya. Karena usahanya gagal, pada Juni 1964
organisasi itu pecah dengan terbentuknya PGRI Non-Vaksentral yang
terdiri dari guru-guru pendukung garis politik Presiden Soekarno dan
kadung dicap sebagai "PGRI nya PKI" paska 30 September 1965.
•  Ironisnya guru-guru yang semula di PGRI kemudian banyak yang
eksodus, baik pendukung PKI atau bukan, PGRI Non-Vaksentral perlahan
memiliki masa yang cukup khususnya dari kalangan guru di Jawa.
Sebaliknya PGRI terpaksa bermanuver mendekati kubu tentara yang saat
itu memang saling menabuh genderang perang dengan PKI, sehingga
independensi dan kemandirian PGRI kemudian juga patut dipertanyakan.
• Pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang terpusat di Jakarta
membawa sinar redup bagi PGRI Non-Vaksentral. Kelanjutan organisasi
ini pun dapat ditebak dengan mudah, hancur seiring pemberangusan PKI
dan anasir-anasirnya. Termasuk PGRI Non-Vaksentral yang ditumpas
habis sekitar tahun 1966-1977 oleh tentara. Sebagian besar di penjara
tanpa pengadilan, mungkin ada yang ditembak mati dan "dihilangkan"
tidak jelas rimbanya. Padahal tidak semua dari anggota PGRI Non Vak-
Sentral terlibat dalam peristiwa tersebut, bahkan tidak semuanya adalah
pendukung PKI. Seorang guru yang dahulu menjadi anggota PGRI Non
Vak-sentral, Pak Naro asal Temanggung yang pernah merasakan "Kamp
Pulau Buru", menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah menjadi anggota
PKI. Ia pun tidak tahu menahu peristiwa 30 September 1965, dan masuk
menjadi anggota PGRI Non-Vaksentral semata-mata hanya untuk
berjuang untuk menjembatani tuntutan peningkatan kesejahteraan untuk
semua guru Indonesia.
•  Inilah salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia dan mungkin menjadi
catatan hitam pemberangusan orang-orang cerdik pandai dan intelektual
yang dilakukan oleh yang berkuasa.
PGRI sejak lahirnya orde baru
• Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)

Peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari apa sebelumnya


berlangsung dalam tubuh PGRI,yaitu perebutan pengaruh anti
PKI dan pro PKI, infiltrasi dan fitnah Pro PKI berdirinya PGRI non-
vaksentral dan lain-lain. Bersama para pelajar, mahasiswa,
sarjana,dll, para guru anggota PGRI turun kejalan dengan
meneriakan tritura (tri tuntunan rakyat) yakni :”bubarkan PKI,
ritualkan 100 mentri,danturunkan harga-harga!”. Mereka
membentuk kesatuan” aksi misalnya KAMI,KASI,sedangkan para
guru” membentuk KAGI pada tanggal 2 februari 1966. Perlu
ditambahkan bahwa KAGI pada mulanya terbentuk di jakarta raya
dan jawa barat, kemudian berturut” terbentuk KAGI di wilayah
lainnya.
Tugas Utama KAGI adalah :
A.Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsure” PKI “dan orde
lama.
B. menyatukan semua guru di dalam organisasi guru yaitu PGRI.
C. memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidak hanya
bersifat unitalistik tetapi juga independen dan non partai politik.
Bukti keberhasilan kekuatan orde baru dalam kongres ini terlihat dari hasil”
kongres di bidang unsure atau politik atau PB PGRI masa bakti XI adapun
hasil” kongres XI adalah
• Menjunjung tinggi HAM
• PGRI diwakili secara resmi dalam DPRGR atau MPRS
• Front nasional di bubarkan
• PGRI ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat
UNITARISTIK,INDEPENDEN dan NON partai politik
Selanjutnya,hasil kongres XI PGRI di bidang organisasi :
• INTENSIFIKASI penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers,
Radio,TV dan Majalah Suara Guru.
• Pendidikan kader organisasi secara teratur dan terencana
• PGRI menjadi anggota WCOTP(World Confideration of Organization of the
Teaching Profession)
• Dll.
Konsolidasi Organisasi Pada Awal Orde Baru
• Menarik juga untuk di simak kembali seri tulisan harian kompas tahun 1967
yang berjudul PORAK PORANDANYA KERETA PGRI DI JAWA TENGAN
tulisan ini merupakan “serangan” kepada PB PGRI masa perserikatan
(kongres XI).
Pembentukan kaki d.jawa timur dan jawa tengah, antara lain untuk
menyelamatkan PGRI dari kemelut politik pada saat itu hasilnya adalah
konferda PGRI di ke 2 daerah tersebut berhasil memilih pengurus daerah
PGRI yang baru.
Pada tahun 1969 atas perdesakan nasib guru yang dibentuk
PGRI,pemerintah setuju untuk mencairkan tunjangan kelebihan mengajar
bagi guru” SD di seluruh Indonesia
Hubungan PGRI dengan organisasi guru mulai di rintis kembali.
Pada bulan juli 1966 secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP
dalam kongres guru se Dunia Soel di Korea selatan.Setelah itu,PGRI
diundang untuk mengikuti tradeunionleader course di negeri Belanda
selama 4 bulan, kursus di adakan 2 angkatan:
Angkatan 1 pada tahun 1969 dan angkatan 2 1970.

Anda mungkin juga menyukai