Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FONDASI TEKTSTUAL DAN KONTEKSTUAL


FIQIH ARSITEKTUR

Dosen Pengampu :Yulianto, M.Pi

Disusun oleh :

Dzakiyyah Tri Puspita Kaltsum (200606110048)


Sance Ardiliya Putri Rusdiana (210606110039)

StudiFiqihkelas B

TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami haturkankepadaTuhan Yang MahaEsa, karena berkat karunianya kami dapat
Menyusun makalah ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya. Makalahini berjudul
“Fondasi Tekstual dan Kontekstual Fiqih Arsitektur”.

Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas studi fiqih dari dosen pengampu mata
kuliah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan tambahan wawasan bagi kami
sebagai penulis dan bagi para pembaca.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yulianto, M.Pi
selaku Dosen Pengampu mata kuliah Studi Fiqih. Tidak lupa bagi pihak-pihak lain yang telah
mendukung penulisan makalah ini kami juga mengucapkan terima kasih.

Terakhir, kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Makadari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bisa membangun kemampuan kami,
agar kedepannya bisa menulis makalah dengan baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
para pembaca, dan bagi kami khususnya sebagai penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1. LATAR BELAKANG ........................................................................................................... 1
2. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................................... 1
3. TUJUAN ................................................................................................................................ 1
BAB II .................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 2
1. AL-QUR’AN .......................................................................................................................... 2
1.1. Surah Al-A’rof(199) ....................................................................................................... 2
2. SUNAH NABAWIYAH ........................................................................................................ 3
2.1. Hadis Nabawi Ubadah bin Somit .................................................................................... 3
2.2. Hadis Nabawi Anas......................................................................................................... 4
3. KAIDAH FIQIH ................................................................................................................... 4
3.1. KaidahPertama ................................................................................................................ 4
3.2. KaidahKedua................................................................................................................... 5
BAB III................................................................................................................................................... 7
PENUTUP .......................................................................................................................................... 7
1. KESIMPULAN ..................................................................................................................... 7
2. SARAN ................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Fikih arsitektur merupakan kumpulan berbagai prinsip fikih yang berakibat pada mobilitas
sebuah kota sebagai efek persinggungan setiap anggota masyarakat, kecenderungan bentuk
arsitektur bangunan, dan berbagai persoalan seputar bangunan yang di ketengahkan oleh
para ulama fikih sebagai fatwa hukum fikih berdasarkan ilmu usul fikih. Secara umum
sumber pengambilan hukum (istinbath al-ahkam) dalam fikih arsitektur ada tiga, yaitu Al-
Quran, sunah nabawiyah, dan kaidah fikih.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sudut pandang arsitektur dalam Al-Qur’an?


2. Bagaimana sudut pandang arsitektur dalam Hadis Nabawi?
3. Apa saja kaidah-kaidah fiqih arsitektur?

3. TUJUAN

1. Mengetahui permasalahan hukum bangunan/sudut pandang arsitektur yang ada di


dalam Al-Qur’an.
2. Mengetahui permasalahan hukum bangunan/sudut pandang arsitektur yang ada di
dalam hadis Nabawi.
3. Mengetahui jenis-jenis kaidah fiqih arsitektur.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. AL-QUR’AN

1.1.Surah Al-A’rof(199)

Para pakar fikih berpegangan pada QS. Al-A’rof:199 dalam mempelajari


permasalahan hukum bangunan.
َ‫ع ِن ۡالجٰ ِهل ِۡين‬ ۡ ‫ُخ ِذ ۡالعَ ۡف َو َو ۡا ُم ۡر بِ ۡالعُ ۡرفِ َوا َ ۡع ِر‬
َ ‫ض‬
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah dari pada orang orang yang bodoh”.

Pada lafadzal-urfu di dalam ayat ini, para ulama fikih mengartikan sebagai desain
yang berlaku dan disukai oleh khalayak luas dan tidak ada yang menentangnya.
Berdasarkan sudut pandang arsitektur bangunan, lafadz al-‘urfu mempunyai tiga
makna.

Pertama, yakni setiap permasalahan yang bersifat umum dan berpengaruh terhadap
lingkungan bangunan.
Contohnya:
a. Seperti kebiasaan yang dipilih, dilakukan, dan dioperasionalkan oleh sebuah
penduduk suatu daerah dalam mendirikan bangunan.

Kedua, pemaknaan al-‘urfu mempunyai pengaruh yang lebih banyak terhadap model
sebuah kota dalam Islam. Makna tersebut yaitu, pengakuan syariat terhadap norma-
norma yang berlaku di antara tetangga dalam menentukan batas kepemilikan dan hak.
Contohnya:
a. Ketika Raja Dzohir Baybars( raja dinasti Mamluk Mesir) memberlakukan
kewajiban lapor dokumen kepemilikan tanah bagi setiap pemilik tanah.
Penerapannya, jika mereka tidak mampu menunjukkan dokumen yang dimaksud
maka secara otomatis status kepemilikan atas tanah akan dicabut dari mereka.
Namun, menurut Ibnu Abidin, Syaikhi al-Islam, seorang tokoh agamawan. Beliau
paling lantang menolak kebijakan tersebut. Karena, menurut ulama Islam, tidak

2
halal bagi seseorang menggugat kepemilikan sah seorang terhadap suatu barang.
Setelah terus menerus memberitahu dan menasehati kesalahan sang sultan, akhirnya
Sang sultan meniadakan kebijakannya.

Ketiga, pola atau struktur bangunan. Pemaknaan al-‘urfu yang ketiga ini lah yang
paling berpengaruh pada lingkungan perkotaan. Yaitu, Ketika suatu masyarakat
menggunakan metode yang serupa secara terus-menerus dalam membangun suatu
bangunan karena adanya suatu tradisi atau pola khusus dalam membangun.
Contohnya :
a. Penduduk Qohiroh menggunakan bebatuan yang dipadatkan untuk membangun
konstruksi bangunan mereka sedangkan di sisi lain penduduk Kota Rasyid
menggunakan batu bata dari tanah.
b. Sebagaian penduduk kota Rasyid yang berprofesi sebagai pedagang menjadikan
lantai dasar rumah mereka sebagai pertokoan atau agen perdagangan.
c. Di antara tradisi yang bisa kita lihat di permukiman Kota Rasyid adalah: jika suatu
rumah punya dua arah yang menghadap dua jalan yang berbeda, maka pintu rumah
pasti diletakkan menghadap jalan yang paling khusus. Hal ini dipilih untuk
menghindari terlihatnya pejalan kaki yang ada di luar atau di dalam rumah.

2. SUNAH NABAWIYAH
Hadis Nabawi yang dijadikan pedoman oleh para ahli fikih dalam konteks hukum seputar
bangunan adalah sebagai berikut.

2.1. Hadis Nabawi Ubadah bin Somit

Artinya: diriwayatkan dari Ubadah bin Somit bahwasanya Rasulullah telah


memutuskan tidak boleh ada kemanfaatan pribadi namun membahayakan orang lain
sebagaimana larangan membahayakan orang lain walaupun tanpa unsur kemanfaatan
bagi pelaku.

3
2.2.Hadis Nabawi Anas

Artinya: diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: kalian semua lebih
mengetahui urusan dunia kalian.

Hadis Riwayat anas tersebut secara terang-terangan memberi kelonggaran seluas-


luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan perkotaan dan kehidupan duniawi
mereka.

3. KAIDAH FIQIH

3.1.KaidahPertama
Kaidah kaidah ini dianalisis landasan normatif dan diinterpretasi

secara terminologis. Kaidah berasal dari hadis Rasulillah saw yang


dijadikan dalil oleh para ulama fiqih untuk menjawab berbagai permasalahan
kontemporer yang landasannya tidak tertulis dalam al-Quran dan al-Hadist.

Interpretasi ad-dororu secara bahasa memiliki tiga makna: antonim dari


kemanfaatan, berkumpulnya sesuatu, potensi diri. Sedangkan menurut (Mandzur, n.d.,
p.484), terma ad - dorōru bermakna sifat kurang dalam setiap benda dan sempit (an-
nuq ōnu wa a - oiqu). Berdasarkan dua pendapat tokoh di atas, maka makna dari terma
ad - dorōru adalah kekurangan, kesempitan, dan ketiadaan manfaat sesuatu sehingga
menjadikannya terlihat tidak sempurna.

Kaidah umum dibagi menjadi beberapa cabang dan contoh


penerapannya sebagai berikut:

3.1.1. kaidah (Bahaya ditolak semampunya) maksut dari kaidah ini, maka
setiap bahaya harus dihilangkan. Dihilangkan seratus persen jika mampu.Jika tidak
demikian, maka harus dihilangkan semampunya.

4
Contoh ketika sebuah bahaya masih dalam kadar potensi adalah membangun
ulang gapura yang retak-retak (rusak). Mengukur dengan pasti, teliti, dan
cermat ketinggian sebuah bangunan

3.1.2. Kaidah bahaya yang bersifat khusus ditanggulangi


untuk menolak bahaya yang bersifat umum).
Contoh penerapan kaidah dalam konteks Fikih Arsitektur adalah:
a. Wajib membongkar tembok yang doyong ke jalan umum
b. Larangan membuka bengkel atau dapur klasik di tengah kios atau penjual
kain
c. Pelebaran jalan ketika telah terasa sempit oleh para pengguna jalan

3.2.KaidahKedua

Kaidah Secara normatif kaidah fikih (adat kebiasaan itu dikokohkan


sebagai landasan hukum) dilahirkan oleh para ulama dari QS. Al-A’rof: 199 dan
perkataan Abdulloh bin Masud ra. Al-ādatu adalah sinonim dari al-`urfu. Di antara
mereka adalah an-Nasafi daalam al-Musta fā, Soleh Iwad dalam A aru al-`Ufi Fī
Tasyrī`i al-Islāmi, dan Soleh as-Sadlani dalam al-Qowā`idu al-KubrōWa Mā Tafarro`a
`Anhā.

Menurut as-Sadlani, secara etimologi bahasa Arab terma al-ādatu bermakna


kebiasaan dan terus menerus dalam suatu perkara. Sedangkan secara terminologi terma
al-ādatu menurut para pakar fikih (Zarqo, 1989) (W. 1938 M), adalah terus menerus
melakukan sesuatu yang diterima oleh akal sehat serta mengulanginya terus menerus.

kaidah diturunkan dalam beberapa cabang dan berikut disajikan contoh


penerapannya:

3.2.1. Kaidah suatu perbuatan yang menjadi kebiasaan


suatu masyarakat adalah argumentasi yang wajib diamalkan). Contoh:

5
a. Jika telah berlaku sebagai kebiasaan bahwa seorang teman yang bertamu ke
rumah temannya untuk masuk tanpa izin, makan tanpa izin, dan mandi tanpa
izin, maka orang tersebut boleh melakukan ketiganya tanpa izin.
b. Jika di suatu daerah berlaku kebiasaan boleh mengambil buah yang jatuh ke
tanah di kebun, taman, atau perumahan tanpa izin pemiliknya terlebih
dahulu, maka boleh mengambil buah tersebut tanpa izin terlebih dahulu.

3.2.2. Kaidah Kebiasaan yang telah diketahui secara luas


layaknya syarat yang telah diikatkan).
Contoh;
a. Jika Ahmad meminta bantuan Rasyid untuk membangun rumah sampai jadi
namun tidak ada akad yang menyebutkan penggajian dan nominal gaji,
maka jika Rasyid biasanya bekerja dengan diupah dan upahnya adalah
Rp.100.000 perhari, maka Ahmad wajib mengupah Rasyid Rp. 100.000
perhari.
b. Jika Ahmad menempati rumah milik Rasyid tanpa izin Rasyid sedangkan
rumah itu adalah rumah yang biasanya disewakan Rasyid untuk kontrakan
atau kos-kosan, maka Ahmad wajib membayar Rasyid sejumlah hari dan
kebiasaan harga sewa rumah Rasyid perhari. Hukum ini juga berlaku bagi
orang yang masuk tempat wisata atau tidur di hotel tanpa izin terlebih
dahulu pada pihak yang berhak.

6
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Pencetus fikih arsitektur adalah ulama madzhab Maliki dan Madzhab Hanafi pokok kajian
Fikih Arsitektur adalah hukum fikih sebagai charging legal low atau correlative law dalam
konteks sebuah bangunan. Epistimologi Islam fikih arsitektur merupakan bagian dari
metodologi nalar bayani sekaligus burhani. Strategi istinbath al-ahkam dalam fikih
arsitektur adalah al-Quran, sunah nabawiyah, dan kaidah fikih.

2. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, Kedepannya penulis akan lebih
focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Yulianto. (2019, Desember). M.Pi. Hakikat, Epistimologi Islam, dan Strategi Istinbath, 4
No.2, 159-167. Retrieved from http://repository.uin-malang.ac.id/9592/

Anda mungkin juga menyukai