Anda di halaman 1dari 6

A.

Definisi

Pansitopenia adalah kondisi medis di mana darah seseorang kekurangan semua jenis sel darah yaitu
sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain infeksi, obat-obatan, gangguan autoimun, dan kanker. Ini adalah manifestasi hematologi
umum dari infeksi HIV, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti disfungsi sumsum tulang,
infeksi virus, atau toksisitas obat. Pansitopenia dapat menyebabkan gejala seperti kelelahan, kelemahan,
infeksi, dan gangguan perdarahan (Santiago-Rodríguez et al., 2015).

B. Prevalensi

Prevalensi pancytopenia dapat bervariasi tergantung pada populasi yang diteliti dan penyebab yang
mendasarinya. Beberapa studi menunjukkan bahwa pancytopenia dapat terjadi pada sekitar 3-4% pasien
yang dirawat di rumah sakit, terutama pada orang yang lebih tua dan mereka dengan kondisi medis yang
kompleks. Namun, prevalensi pancytopenia mungkin lebih tinggi di populasi yang rentan, seperti mereka
dengan penyakit autoimun atau kanker. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Al-Sulaiman et al.
(2018) menyelidiki prevalensi dan prediktor pansitopenia di antara pasien dengan HIV di Arab Saudi.
Penelitian menemukan bahwa 15,6% pasien HIV-positif mengalami pansitopenia, dengan prevalensi
lebih tinggi pada mereka yang memiliki jumlah sel T CD4+ rendah dan mereka yang tidak menerima
terapi antiretroviral (ART). Studi ini juga mengidentifikasi penggunaan zidovudine sebagai prediktor
pansitopenia.

C. Faktor Risiko

Studi lain oleh Ito et al. (2019) meneliti frekuensi dan faktor risiko pansitopenia pada pasien
terinfeksi HIV di Jepang. Studi menemukan bahwa prevalensi pansitopenia adalah 11,1%, dan penyebab
paling umum adalah supresi sumsum tulang akibat ART. Studi ini juga mengidentifikasi jumlah sel T
CD4+ yang rendah dan penggunaan zidovudine sebagai faktor risiko pansitopenia yang signifikan.
Pansitopenia adalah komplikasi umum pada pasien dengan HIV. Faktor risiko untuk mengembangkan
pansitopenia pada pasien yang terinfeksi HIV antara lain (Erhabor et al, 2020):

1. Stadium lanjut infeksi HIV: Pasien dengan infeksi HIV lanjut (jumlah CD4 kurang dari 200
sel/μL) berisiko lebih tinggi terkena pansitopenia.
2. Koinfeksi dengan virus lain: Pasien dengan HIV yang koinfeksi dengan virus lain, seperti
hepatitis B atau C, cytomegalovirus (CMV), atau virus Epstein-Barr (EBV), berisiko lebih tinggi
terkena pansitopenia.
3. Penggunaan terapi antiretroviral (ART): Obat ART tertentu, seperti zidovudine, stavudine, dan
didanosine, dapat meningkatkan risiko pengembangan pansitopenia.
4. Infeksi oportunistik: Infeksi oportunistik tertentu, seperti Mycobacterium avium complex (MAC),
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP), dan toksoplasmosis, dapat menyebabkan pansitopenia
pada pasien yang terinfeksi HIV.
5. Supresi sumsum tulang: Infeksi HIV dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, yang dapat
menyebabkan pansitopenia.

D. Patofisiologi

Patofisiologi pansitopenia pada pasien dengan HIV adalah kompleks dan multifaktorial.
Infeksi HIV dapat secara langsung memengaruhi fungsi sumsum tulang, menyebabkan penurunan
produksi sel darah. Selain itu, infeksi HIV dapat menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh, yang
dapat menyebabkan berbagai kelainan hematologi, termasuk pansitopenia (Ito et al, 2019).

HIV menargetkan dan menginfeksi sel T CD4+, yang berperan penting dalam pengaturan
fungsi kekebalan. Seiring berkembangnya infeksi HIV, kadar sel T CD4+ menurun,
menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh. Disfungsi kekebalan ini dapat menyebabkan
perkembangan infeksi oportunistik, yang dapat menyebabkan supresi sumsum tulang dan
menyebabkan pansitopenia.

Selain penekanan langsung sumsum tulang dan disfungsi kekebalan, pengobatan tertentu
yang digunakan untuk mengobati HIV, seperti zidovudine dan stavudine, juga dapat
menyebabkan penekanan sumsum tulang dan menyebabkan pansitopenia. Faktor lain yang dapat
berkontribusi pada perkembangan pansitopenia pada pasien yang terinfeksi HIV termasuk
koinfeksi dengan virus lain, seperti hepatitis B atau C, dan perkembangan keganasan, seperti
limfoma, yang dapat menyebabkan infiltrasi dan disfungsi sumsum tulang (Ito et al, 2019).

Sebuah artikel review oleh Erhabor et al. (2020) memberikan gambaran tentang patofisiologi,
gambaran klinis, dan penatalaksanaan pansitopenia pada individu dengan HIV. Para penulis
membahas berbagai penyebab pansitopenia pada HIV, termasuk efek virus langsung pada
sumsum tulang, infeksi oportunistik, toksisitas obat, dan keganasan. Artikel tersebut juga
menyoroti pentingnya pemeriksaan diagnostik menyeluruh untuk mengidentifikasi penyebab
yang mendasari dan menyarankan penggunaan faktor pertumbuhan, transfusi darah, dan
perubahan rejimen ART sebagai pilihan penatalaksanaan (Ito et al, 2019).
Secara keseluruhan, patofisiologi pansitopenia pada pasien yang terinfeksi HIV adalah
kompleks dan multifaktorial, melibatkan supresi langsung sumsum tulang, disfungsi kekebalan,
toksisitas obat, dan infeksi oportunistik.

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pansitopenia pada pasien dengan HIV meliputi (Antinori, Larussa, dan
Cingolani, 2017):

1. Kelelahan dan kelemahan: Karena penurunan sel darah merah, pasien mungkin mengalami
kelelahan dan kelemahan.
2. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi: Karena penurunan sel darah putih, pasien
mungkin lebih rentan terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan demam, menggigil, dan
gejala lainnya.
3. Pendarahan dan memar: Karena penurunan trombosit, pasien mungkin mengalami memar
yang mudah, petechiae (bintik merah atau ungu kecil pada kulit), dan gusi berdarah.
4. Sesak napas: Pada kasus yang parah, pasien mungkin mengalami sesak napas karena
penurunan sel darah merah.
F. Pemeriksaan Fisik
Selama pemeriksaan fisik untuk pansitopenia pada pasien dengan HIV, penyedia layanan
kesehatan mungkin mencari tanda dan gejala berikut (Park et al, 2014):
1. Pucat: Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan pucat, atau kulit pucat dan selaput
lendir.
2. Petechiae dan purpura: Penurunan trombosit dapat menyebabkan bintik merah atau ungu
kecil pada kulit (petechiae) atau area perdarahan yang lebih luas di bawah kulit (purpura).
3. Limfadenopati: Pembesaran kelenjar getah bening mungkin merupakan tanda infeksi yang
menyebabkan pansitopenia.
4. Hepatosplenomegaly: Pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa (splenomegali) juga bisa
menjadi tanda infeksi.
5. Sariawan mulut: Sariawan, infeksi jamur pada mulut, umum terjadi pada pasien dengan HIV
dan dapat menjadi tanda melemahnya sistem kekebalan tubuh.
6. Tanda-tanda infeksi: Penyedia layanan kesehatan mungkin mencari tanda-tanda infeksi yang
mungkin menyebabkan pansitopenia, seperti demam, batuk, atau sesak napas.
7. Pemeriksaan neurologis: Dalam beberapa kasus, pansitopenia mungkin disebabkan oleh
gangguan neurokognitif terkait HIV (HAND), dan pemeriksaan neurologis dapat dilakukan
untuk menilai fungsi kognitif dan motorik.

Pemeriksaan fisik juga akan melibatkan tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, detak
jantung, dan laju pernapasan, serta riwayat medis yang komprehensif dan tes laboratorium untuk
memastikan diagnosis pansitopenia dan mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya.

G. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosis pansitopenia
pada pasien HIV dan membantu mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya. Antara lain
(Sulaiman et al, 2018):
1. Hitung darah lengkap (CBC): CBC dapat mengidentifikasi penurunan sel darah merah, sel
darah putih, dan trombosit, yang merupakan ciri khas pansitopenia.
2. Apusan darah tepi: Apusan darah tepi dapat memberikan informasi tentang morfologi sel
darah dan membantu mengidentifikasi sel abnormal yang mungkin menyebabkan
pansitopenia.
3. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: Aspirasi dan biopsi sumsum tulang mungkin diperlukan
untuk memastikan diagnosis pansitopenia dan mengidentifikasi penyebab yang
mendasarinya. Sampel sumsum tulang dapat dievaluasi untuk keberadaan sel abnormal atau
infiltrasi sumsum tulang oleh infeksi atau tumor.
4. Viral load dan jumlah CD4: Tes viral load dapat mengukur jumlah HIV dalam darah,
sedangkan jumlah CD4 mengukur jumlah sel T CD4, yang merupakan sel kekebalan yang
ditargetkan oleh HIV. Tes ini dapat membantu menilai tingkat keparahan infeksi HIV dan
memandu keputusan pengobatan.
5. Tes kimia darah: Tes kimia darah dapat menilai fungsi hati dan ginjal, yang mungkin
dipengaruhi oleh infeksi atau obat yang menyebabkan pansitopenia.
6. Tes serologi: Tes serologi dapat mendeteksi antibodi terhadap infeksi seperti cytomegalovirus
(CMV) dan virus Epstein-Barr (EBV), yang mungkin menyebabkan pansitopenia.
H. Tatalaksana
Penatalaksanaan pansitopenia pada pasien dengan HIV merupakan masalah kompleks
yang memerlukan pendekatan individual berdasarkan penyebab yang mendasari dan riwayat
medis pasien. Menurut pedoman terkini dari Infectious Diseases Society of America (IDSA),
berikut adalah beberapa rekomendasi umum untuk pengelolaan pansitopenia pada pasien dengan
HIV (Erhabor et al, 2020):
1. Inisiasi ART: ART harus dimulai pada semua pasien dengan HIV, terlepas dari jumlah CD4,
untuk mencegah perkembangan penyakit dan meningkatkan fungsi kekebalan.
2. Penanganan infeksi oportunistik: Infeksi oportunistik seperti CMV, EBV, dan infeksi
mikobakteri dapat menyebabkan pansitopenia pada pasien dengan HIV. Terapi antimikroba
harus dimulai sesegera mungkin untuk mengobati infeksi ini.
3. Penghentian agen penyebab: Jika pansitopenia disebabkan oleh supresi sumsum tulang
akibat obat, agen penyebab harus dihentikan atau diganti dengan alternatif.
4. Transfusi darah: Transfusi darah mungkin diperlukan pada pasien dengan pansitopenia berat.
5. Faktor pertumbuhan hematopoietik: G-CSF dan EPO dapat digunakan dalam kasus
pansitopenia tertentu untuk merangsang produksi sel darah putih dan merah.
6. Transplantasi sumsum tulang: Dalam kasus pansitopenia berat dan refraktori yang jarang
terjadi, transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.
7. Penting untuk diperhatikan bahwa penatalaksanaan pansitopenia pada pasien dengan HIV
harus dilakukan secara individual berdasarkan penyebab yang mendasari dan riwayat medis
pasien, dan harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan yang
berpengalaman.
Daftar Pustaka:

Al-Sulaiman, A., et al. (2018). Prevalence and predictors of pancytopenia among HIV-infected
patients in Saudi Arabia: A cross-sectional study. Journal of Infection and Public Health,
11(4), 473-477. doi: 10.1016/j.jiph.2017.10.012

Erhabor, O., et al. (2020). Pancytopenia in human immunodeficiency virus infection: A review.
Journal of Blood Medicine, 11, 129-139. doi: 10.2147/JBM.S238492

Ito, J., et al. (2019). Pancytopenia in HIV-infected patients in Japan: Frequency, risk factors and
prognosis. PLoS One, 14(10), e0224031. doi: 10.1371/journal.pone.0224031

Antinori A, Larussa D, Cingolani A. HIV-Associated Hematologic Disorders. Curr Hematol Malig


Rep. 2017;12(6):556-566. doi: 10.1007/s11899-017-0407-6

Park LS, Tate JP, Rodriguez-Barradas MC, Rimland D, Goetz MB, Gibert C, Brown ST, Jain MK,
Justice AC. A cohort study of HIV-infected patients with hematologic malignancies:
incidence, mortality, and survival outcomes. AIDS Res Hum Retroviruses. 2014
May;30(5):403-10. doi: 10.1089/aid.2013.0172.

Santiago-Rodríguez EJ, Mayor AM, Fernández-Santos DM and Hunter-Mellado RF (2015). Profile


of HIV-Infected Hispanics with Pancytopenia. International Journal of Environmental
Research and Public Health, 13(1). doi: 10.3390/ijerph13010038.

Anda mungkin juga menyukai