George Herbert Mead (1934), seorang dosen dari University of Chicago bersama seorang
muridnya yang bernama Herbert Blumer (1969) mengembangkan Teori Interaksi Simbolik
dalam sebuah karya yang berjudul: ‘Mind, Self, and Society’. Beliau begitu mengagumi
kemampuan manusia menggunakan simbol-simbol dalam membentuk dunia. Menurutnya,
tindakan manusia itu pada hekekatnya berdasarkan makna simbolik (Turner & West, 2008).
B. Aubrey Fisher (1978) dalam karyanya yang berjudul ‘Perspectives on Human
Communication’ yang disunting kedalam bahasa Indonesia oleh Jalaluddin Rakhmat (1987),
merasa penuh khawatir atas istilah interaksi. Betapa tidak, beliau melihat bahwa kata
interaksi itu mengandung berbagai arti, bahkan bisa membedakan antara interaksi dengan
komunikasi, seperti yang dikemukakan Goffman (1969): ‘kata interaksi dan komunikasi itu
memiliki arti yang berbeda dan berlainan sekali’. Lain halnya dengan Stewart (1973),
memakai istilah interaksi dengan maksud untuk menyatakan komunikasi dua arah
(Rakhmat, (ed),1987). Pertanyaan: mengapa pemakaian Istilah interaksi dan komunikasi
mulai dipersoalkan para pakar ?
Manford Kuhn seorang sosiolog mengakui bahwa masa itu memang tahun peralihan
aliran Interaksionisme Simbolik. Semula Interaksionisme Simbolik dikenal melalui ‘tradisi
lisan’ dengan tokoh George H. Mead. Dalam hal ini, B. Aubrey Fisher (1978), tidak
membedakan kata interaksi dengan Komunikasi, beliau menganggap kata interaksi dengan
komunikasi itu, sama artinya. B. Aubrey Fisher (1978) mencoba tetap menggunakan istilah
interaksi, tetapi beliau ingin lebih mendekatkan istilah interaksi tersebut pada studi
komunikasi, karenanya itu beliau mengusulkan menggunakan sebutan istilah Perspektif
Interaksional (Rakhmat, 1987).
Sekali lagi kalau kita amati pada zaman-nya, sudah tentu ada juga para penganut
faham interaksionisme simbolik yang hidup pada masa George H. Mead. Mereka itu
diantaranya para tokoh terkenal seperti, Charles H. Cooley, John Dewey, William I. Thomas,
William James, Elisworth Fairs, dan James M. Baldwin ( Turner & West, 2008).
Mengetahui hal ini menjadikan kita sadar dan melihat bahwa Interaksi Simbolik yang
dikembangkan George H. Mead & Herbert Blumer itu, bukan satu-satunya Interaksionisme
Simbolik yang ada. Interaksi Simbolik itu memang benar ada pada zaman-nya, sehingga
memungkinkan kita memiliki berbagai perspektif, seperti karya Meltzer & Petras (1970) ;
karya Meltzer, et. all (1975) ; karya Manford Kuhn. Memang diakui bahwa Interaksi Simbolik
dilahirkan dari dua Universitas, yakni University of Iowa dan University of Chicago. Tetapi
dua Universitas ini memiliki pemikiran yang berbeda tentang Interaksi Simbolik, terutama
berbeda Metodologinya.
Kelompok Iowa, yang dipelopori Manford Kuhn mengembangkan metodologi yang
berbeda mengenai konsep diri (self concept), tetapi pendekatan mereka dianggap sebagai
pendekatan yang tidak biasa, oleh kelompok Chicago. Mereka mengembangkan metode
kuantitatif (positivis) dalam studinya. Konsep Interaksi Simbolik menurutnya bisa
dioperasionalkan, dikuantifikasi, dan diuji. Mereka juga mengembangkan instrumen
penelitian yang dinamakan Kuesioner.
Kelompok Chicago, yang dipelopori George H. Mead dan Herbert Blumer fokus pada
pendekatan Teori Sosial yang menekankan pentingnya Komunikasi bagi kehidupan dan
interaksi sosial. Studi mengenai manusia tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan
metode kuantitatif (positivis), tetapi menggunakan metode kualitatif.
Perbedaan ini tidak mengganggu prinsip-prinsip Interaksi Simbolik yang
dikembangkan oleh George H. Mead. Interpretasi mengenai Interaksi Simbolik tetap pada
jalurnya secara konstan.
Selanjutnya B. Aubrey Fisher (1978) mengingatkan kepada kita semua dan berpesan
bahwa Perspektif Interaksional tentang Komunikasi manusia hendaknya jangan ditafsirkan
sebagai pengaplikasian Interaksi Simbolik pada Komunikasi. Beliau berpesan bahwa Interaksi
Simbolik hendaknya dipandang sebagai sejumlah penghampiran tentang studi Komunikasi
manusia, yang disini nampaknya beberapa asumsi – asumsi yang telah dibangun memiliki
kesamaan landasan filosofi.
Secara sementara kita akan mendiskusikan pokok bahasan mengenai Interaksi
Simbolik menurut George H. Mead & Herbert Blumer, mengingat karya mereka-lah yang
dipandang lebih komprehensif dan sistematis. Sehingga kita dapat belajar lebih banyak
tentang apa itu Interaksi Simbolik ?
KONSEP INTERAKSI SIMBOLIK
George H. Mead (1934) & Herbert Blumer (1969) mengembangkan teori interaksi simbolik
dengan beberapa konseptualisasinya sebagai berikut :
Pertama, yakni tentang konsep dasar I and Me atau yang lebih kita dikenal dengan konsep
diri (self-concept). Konsep I and Me diterjemahkan sebagai konsep saya dan aku . Konsep
saya dan aku itu ada di dalam diri individu, bukan diantara individu.
Disini George H. Mead (1934) & Herbert Blumer (1969) mamandang bahwa individu itu
bertindak sebagai subjek, yakni saya dan sekaligus bertindak sebagai objek, yakni aku, yang
diilustrasikan secara filosofi sebagai berikut:
Bagi George H. Mead & Herbert Blumer dualisme saya dan aku tidak mencerminkan
struktur, tetapi merupakan proses. Individu tidak pernah menyaring pengalaman melalui
konsep yang diperolehnya. Individu bertindak atas dasar pengalaman dan pengorganisasian
tindakan, di masa silam, sekarang, dan masa akan datang, yang semuanya itu atas dasar
penafsirannya pada pengalaman.
Tindakan manusia itu sesungguhnya bukanlah sekedar respon, tetapi berupa proses
penafsiran dan pengalaman, yakni pada penunjukan diri (self indication). Dimana individu
membentuk pengalaman diri, bukan memberikan respon pada kekuatan, baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar organisme. Interaksionisme Simbolik tidak memandang
individu sebagai wujud yang unik, melainkan sebagai makhluk sosial. Manusia tidak hanya
berada dalam ‘medan stimulus’ sebagai penerima yang selektif, akan tetapi ia bertindak
terhadap fenomena secara kreatif dan refleksif.
Kedua, yakni tentang konsepsi simbol atau hakekat simbol ? George H.Mead (1934)
membedakan interaksi isyarat dan simbol. Sementara Hebert Blumer (1969) membedakan
interaksi non-simbol dan simbol.
Jadi George H. Mead dan Herbert Blumer memiliki pandangan yang serupa, tapi tak
sama. Isyarat itu merupakan tindakan impulsif dan bersifat spontan atau refleks. Demikian
juga non-simbol merupakan tindakan impulsif atau refleks. Misalnya, jemari tangan kita
menyentuh besi yang panas, maka seketika itu tangan kita akan menariknya tanpa berpikir.
Tindakan inilah yang dinamakan tindakan impulsif atau refleks.
Karenanya George H. Mead & Herbert Blumer berpendapat bahwa Interaksi Isyarat
dan Interaksi non-simbolis itu, tidak memiliki proses interpretif. Interaksi simbolis menuntut
adanya proses sosial internal di dalam diri individu yang berupa penunjukan diri dan
penafsiran. Seseorang akan memberikan responnya kepada tindakan orang lain atas dasar
makna tindakan atau yang dipahami sebagai simbol.
Ketiga, tentang konsepsi tindakan manusia atau hakekat tindakan manusia ? Dalam
proses penunjukan diri, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran. Pengalaman masa
lalu individu dapat mempengaruhi tindakan masa sekarang dan yang akan datang, Karena
adanya proses sosial internal penunjukan diri. Perspektif Interaksional memungkinkan
individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihat padanya. Agar
menjadi objek penafsiran diri, maka diri yakni aku (the self) harus meninggalkan dirinya
(self). Untuk melakukan penafsiran itu, individu mengasumsikan proses penafsiran orang
lain, atau yang biasa kita dikenal dengan sudut pandang, agar dapat menentukan aku.
Jadi Si individu tersebut mengambil peran orang lain dan terlibat dalam penafsiran,
persis seperti apa yang akan ia lakukan terhadap setiap objek, baik fisik benda maupun
sosial. Barangkali perlu kita coba untuk memahami konsep George H. Mead & Herbert
Blumer dalam Rakhmat (1987) tersebut melalui replika sebagai berikut :
Keempat, tentang konsepsi tindakan sosial; yang terpenting dalam konsepsi ini adalah
penjelasan mengapa tindakan kolektif itu terbentuk ? Pandangan Interaksi Simbolik menolak
setiap penjelasan apapun yang berasal dari kausalitatif. Menurutnya tindakan kolektif
bukanlah produk dari kekuatan lingkungan, akan tetapi secara langsung disebabkan
individu-individu menyelaraskan tindakan mereka dengan tindakan orang lain. Untuk lebih
jelasnya barangkali kita bisa meminjam observasi yang pernah dilakukan oleh Herbert
Blumer (1969) sebagai berikut :
‘proses sosial dalam kehidupan kelompok itulah yang menciptakan dan mempertahankan
peraturan, bukan peraturan yang membentuk dan memelihara kehidupan kelompok itu’.
Herbert Blumer (1969) mengatakan: ‘oleh karenanya peraturan itu tidaklah sama seperti
yang diusulkan pada ketentuan a priori, yang mengatur bagaimana para pemain
menjalankan bidak-bidak catur, tetapi peraturan merupakan prinsip-prinsip yang
berkembang selama memainkan pertandingan’. Selanjutnya Herbert Blumer (1969)
mengemukakan beberapa premis akademik sebagai berikut :
1. Manusia bertindak terhadap hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal
tersebut.
2. Makna itu berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan seseorang
dengan teman-temannya.
3. Makna itu diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran yang
dipergunakan oleh orang tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia
hadapi.
Pandangan George H. Mead (1934) & Herbert Blumer (1969) ini benar-benar telah
memberikan inspirasi terhadap beberapa kajian interaksionis simbolik berikutnya, sehingga
kajian interaksionis simbolik menjadi makin berkembang. Misalnya, tentang Teori Peran
(role theory), Teori Diri (self theory), dan Kontruksi Sosial (social construction), yang
kesemuanya itu bersumber pada gagasan utama Teori Interaksi Simbolik.
Kenneth J. Smith & Liska Belgrave (1984) dalam Turner & West(2008) mengamati
interaksi simbolik dalam kehidupan sosial manusia sebagai berikut :
‘bahwa Interaksi Simbolik membuat manusia dalam masyarakat menjadi lebih nyata
dan menjadikan hidup makin bermakna’.
Ralph Larossa & Donald C. Reitzes (1993) dalam Turner & West (2008) memberikan
penegasan kembali tentang gagasan Interaksi Simbolik sebagai berikut:
Selanjutnya, dikatakan bahwa ‘arti itu tidak terbatas pada situasi saat penyampaian, ia telah
memperoleh makna yang bersifat universal’. Berikutnya, dikatakan bahwa ‘proses
penafsiran simbol yang berarti itu telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
konsep jiwa (mind). Mind ini tidak dikonseptualisasikan sebagai proses fisiologis yang
diinternalisasikan. Ia secara inheren lebih berupa tindakan. Oleh karena itu, mind
merupakan wilayah yang tidak dibatasi pada individunya, apalagi terletak di dalam otak
manusia. Artinya milik hal-hal dalam hubungannya dengan individu. Ia tidak terletak dalam
proses psikis yang terkurung dalam diri individu’ (Fisher,1986).
B. Aubrey Fisher (1986) mencoba memahami Mind sebagai konsep jiwa, sementara
Turner & West (2008) memahami Mind sebagai konsep pikiran, yakni kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Terkait erat dengan konsep
pikiran ini adalah pemikiran (thought), yang oleh George H. Mead dikatakan sebagai
percakapan di dalam diiri sendiri, atau yang kita kenal sebagai Intra-komunikasi, yakni
individu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Pada fase Thought inilah individu mencari dan menemukan maknanya kembali dalam
alam pikiran (mind). Dalam kasus ‘cincin kawin’ dan ‘batu liontin’ seperti pada replika di
atas, ada yang penting kita amati bersama: Mengapa (why) kehadiran Bram dianggap
sebagai ketidakhadiran oleh Anita ? Selanjutnya, mengapa (why) ketidakhadiran sang
kekasih dianggap sebagai kehadiran oleh perempuan tua ? Pertanyaan-pertanyaan ini yang
barangkali perlu kita cari tahu sebagai pengetahuan, melalui kajian Interaksionisme
Simbolik.
DAFTAR PUSTAKA
Mead, G. H. (1934). Mind, Self, and Society : from the standpoint of a social
behaviorist. Chicago : University of Chicago Press
Prijana, et. All., (2016). Model Dan Teori Ilmu Informasi Dan Perpustakaan.
Bandung : Unpad Press.
Turner, L.H. & West, R. (2008). Introducing Communication Theory: Analysis
and Application. Jakarta: Salemba Humanika.