Studi Kasus!
Dari artikel dibawah ini, Anda dapat menyerap banyak pengetahuan.
Menurut pendapat anda, apakah organisasi perencanaan dan penganggaran hanya
akan bertugas menyiapkan dokumen-dokumen saja? Uraikan penjelasan Anda!
Interaksi Kontinu
Pada hakikatnya perencanaan publik adalah suatu proses interaksi timbal
balik antara lembaga perencanaan (dan perencana) dengan publik yang sangat
pluralistik, baik sebagai subjek maupun objek perencanaan.
Di dalam proses tersebut hampir dapat dipastikan terkandung unsur-unsur
kepentingan (interest) yang mungkin bertentangan (conflicting) satu dengan
lainnya, baik politik, ekonomi maupun lainnya. Dalam kondisi yang sangat sarat
dengan perubahan interaksi inipun harus bersifat dinamik dan kontinu.
Makna wacana top-down dan bottom-up adalah sesuatu yang berpasangan,
karena satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, Memang di masa yang lalu
unsur top-down sangat kental, sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat selaku
subjek maupun objek pembangunan untuk berekspresi atau berimajinasi, karena
birokrasi sangat menentukan.
Sebaliknya, dewasa ini dalam suasana yang masih euphoria, banyak
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-
sendiri bahkan ditunjang oleh berbagai donor baik luar maupun dalam negeri, tidak
terkait satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan, yang pada gilirannya
bisa menuju situasi yang kacau. (chaotic)
Ini memang suatu keadaan transisional dan perlu dipandang sebagai suatu
dinamika atau konteks dimana perencanaan publik berada. Dalam kaitan ini
tuntutan utama adalah Lembaga-lembaga formal (birokrasi) perencanaan seperti
Bappenas maupun Bappeda harus cukup tanggap, mampu menyesuaikan diri dan
mengakui bahwa dinamika tersebut harus diintegrasikan dalam proses
perencanaan.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada perubahan yang mendasar dalam
pola pikir (mindset) dan pola Tindakan Lembaga-lembaga perencanaan tersebut,
yang dalam istilah populer dikenal sebagai perencanaan partisipasi.
Hal inilah yang seharusnya menjadi makna ‘Musrenbang’ (Musyawarah
Perencanaan Pembangunan) seperti yang dimaksud dengan UU No. 25/2004
tersebut. Perlu dicatat bahwa pada masa orde baru pun telah dikenal istilah
tersebut melalui pedoman penyusunan perencanaan dan pengendalian daerah
(P5D) yang dikelola oleh Departemen Dalam Negeri (Permendagri No 9 Tahun
1982), dengan ketentuan teknis yang sangat rinci.
Falsafanya adalah menjaring aspirasi masyarakat, mulai dari tingkat desa,
kecamatan, untuk dibawa ke tingkat pusat melalui serangkaian forum-forum
pertemuan dan konsultasi. Namun dalam kenyataannya sangat sedikit, bila tidak
dapat dikatakan tidak ada sama sekali, usulan-usulan pembangunan dari tingkat
desa yang dimasukkan dalam agenda pembangunan provinsi dan Nasional,
karena dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
Dengan kata lain P5D waktu itu hanyalah suatu bagian dari perangkat
birokrasi untuk legitimasi perencanaan. Seyogyanya Musrenbang menurut UU No
25/2004 tidak seperti itu lagi, namun benar-benar menjadi arena komunikasi timbal
balik antara Lembaga perencanaan dengan seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk menetapkan keputusan kolektif. Diantisipasi bahwa
prosesnya akan sangat Panjang dan melelahkan, namun itulah tantangan untuk
mewujudkan perencanaan yang lebih partisipasi.
PERMASALAHAN
Pada masyarakat di negara yang telah bekembang pengertian perencanaan
publik sudah pasti partisipasi, karnea kalau tidak hal tersebut bukanlah
perencanaan publik.
Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya menyadari atau menggunakan
hak, kewajiban dan kepeduliannya dalam pembangunan, perencanaan partisipasi
menghadapi berbagai hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, identifikasi siapa pemangku kepentingan perencanaan tersebut,
yang tentunya sangat berbeda pada tangka (level) perencanaan yang berbeda.
Pada tingkat nasional misalnya, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk
mengundang seluruh kelompok masyarakat se-Indonesia untuk berbondong-
bondong ke Jakarta.
Kedua, apa peran , kewajiban dan haknya. Hal tersebut akan berujung pada
pertanyaan tentang keterwakilan masyarakat (representativeness). Tanpa ada
suatu pedoman akan hal-hal tersebut, kemungkinan perencanaan partisipasi
malah akan menjadi masalah baru ketimbang menjadi mekanisme perencanaan
yang lebih demokratis dan terdesentralisasi.
Ketiga, bagaimana usulan-usulan program pembangunan dari tingkat
bawah (grass roots) dapat secara konsisten disusun dan dikawal ke tingkat yang
lebih atas. Diharapkan dalam penyusunan peraturan pemerintah (PP) sebagai
tindak lanjut UU Nomor 25/2004, hal tersebut menjadi bahan pertimbangan utama.
Dalam kondisi seperti itu, tampaknya kini Lembaga perencanaan seperti
Bappenas dan Bappeda, di samping melaksanakan fungsinya sebagai Lembaga
yang menyiapkan rencana-rencana pembangunan seperti diamanatkan oleh UU
25/2004, juga harus melakukan upaya penbembangan kelembagaan agar mampu
melaksanakan perencanaan yang partisipasi, serta sekaligus menumbuhkan
budaya perencanaan dengan pelibatan masyarakat. Secara lebih intensif.
Tentu saja hal itu tidak mungkin dilaksanakan oleh Bappenas serta Bappeda
secara sendiri. Peran masyarakat (LSM), perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi
profesi dan lainnya sangat diperlukan, namun inisiasi Lembaga perencanaan
dalam melakukan reformasi perencanaan sesuai dengan dinamika sosial-ekonomi
dan politik di masyarakat dan kondisi global sangat penting adanya.
Merekalah yang memiliki legitimasi, kemampuan teknis dan sumberdaya
yang mungkin untuk memulai hal tersebut. Inilah salah satu ciri perbedaan utama
fungsi Lembaga perencanaan publik di masa orde baru dan saat kini.
Bila tidak hati-hati apa yang diamanatkan dalam UU No 25/2004 dapat
mengulang kesalahan lama, yaitu bahwa perencanaan dipandang sebagai
dokumen dan cetak biru yang disusun secara mekanistik, yang sering kali
merupakan formalitas (keharusan memiliki), dan hanya merupakan hiasan meja.
Sesuatu yang perlu disadari bahwa perencanaan publik merupakan suatu
proses interaksi antara birokrasi perencanaan dan publik yang bersifat majemuk.
Proses ini harus terjadi secara terus menerus sesuai dengan dinamika sosial-
ekonomi dan politik masyarakat.
Sesuai dengan UU 25/2004, adalah tugas badan perencanaan (baca:
Bappenas dan Bappeda) untuk menyiapkan dokumen rencana, namun kini
mereka dituntut juga untuk mengembangkan proses serta kelembagaan
perencanaan.
Memberdayakan masyarakat untuk lebih menyadari hak dan kewajiban
dalam proses pembangunan kini merupakan salah satu tantangan utama dan
sekaligus program kerja bagi Bappenas dan Bappeda di Indonesia yang kini
eksistensinya telah dilegitimasi oleh UU No 25/2004.