Anda di halaman 1dari 15

PARADIGMA EKOLOGI ARSITEKTUR

NAMA ANGGOTA:
1. MARIA ANGELIKA DJAGA (2106090041)
2. VELLICYA GLORIANA ISYDORA DAKA (2106090048)
3. RAIMUNDUS EO (2106090044)
MATA KULIAH: EKO ARSITEKTUR
DOSEN PENGAMPUH: APLIMON JEROBISONIF, ST., M.SC

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS SAINS & TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Konsep Ekologi Arsitektur merupakan paduan antara ilmu lingkungan dan ilmu
arsitektur yang berorientasi pada model pembangunan dengan memperhatikan keseimbangan
lingkungan alam dan lingkungan buatan. Dewasa ini, teori konsep Ekologi Arsitektur mulai
bermunculan, sehingga perencana dan perancang semakin mempunyai wawasan yang luas
dalam pemahaman konsep Ekologi Arsitektur. Konsep Ekologi Arsitektur atau yang sering
disingkat dengan Eko-Arsitektur semakin popular tidak hanya di akademisi, akan tetapi juga
menjangkau hingga kalangan praktisi. Bahkan dalam arsitektur publik, banyak peluang dan
prospek yang ditawarkan berangkat dari prinsip desain yang ekologis, sayembara desain,
properti perumahan berkonsep alam atau bentuk kegiatan lain yang mengapresiasi
keberadaan lingkungan dan alam. Namun demikian, ada beberapa hal yang kurang tepat
dalam pemahaman konsep Eko- Arsitektur ini sehingga sering rancu dengan beberapa konsep
senada yang sangat mirip diantaranya Arsitektur Hijau (Green Architecture), Arsitektur
Bioklimatik (Bioclimatic Architecture), Arsitektur Hemat Energi dan beberapa istilah lain
yang Mempunyai satu pandangan. Di sisi lain, dari sudut pandang akademis, sering terjadi
perdebatan panjang apakah Ekologi Arsitektur, Arsitektur Hijau, Arsitektur Bioklimatik,
Arsitektur Hemat Energi dan Arsitektur Berkelanjutan adalah sebuah metode perancangan
yang mempunyai pijakan sama atau memang ada perbedaan yang mendasar. Pandangan yang
kurang jelas ini secara akademis memerlukan kajian untuk menegaskan kapan disebut
Ekologi Arsitektur, atau Arsitektur Hijau atau yang lain, sehingga tidak mengaburkan esensi
konsep yang digunakan dalam metode perancangan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Paradigma Ekologi Arsitektur


1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Paradigma Ekologi Arsitektur
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Paradigma Ekologi Arsitektur
Paradigma membangun berlandaskan konsep Ekologi Arsitektur merupakan muara
dari berbagai aliran perancangan arsitektur. Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani (2006) dalam
bukunya Arsitektur Ekologis, merangkum bahwa perkembangan arsitektur ekologis dapat
dilacak dari berbagai pendekatan dimulai tahun 1920an hingga 1960an yang mengutamakan
kebebasan ekspresi dalam bentuk dan fungsi. Perkembangan dilanjutkan kearah filsafat
dalam arsitektur antroposofik, dan muncul arsitektur organik dimana bentuk adalah fungsi.
Perkembangan arsitektur terus dilanjutkan dengan lahirnya arsitektur merdeka, arsitektur
alternatif dan arsitektur
eksperimental. Perkembangan arsitektur juga mengalami perubahan ketika mulai
dirasakan krisis energi, maka lahirlah arsitektur hemat energi, dilanjutkan arsitektur sehat dan
sekarang ini arsitektur ekologis. Eko- Arsitektur memperhatikan kebutuhan pembangunan
secara holistik dan ramah lingkungan.
Dalam konteks Ekologi Arsitektur, sering kali dihubungkan dengan Ruang Terbuka
Hijau. Baik yang bersifat lokal internal dalam sebuah bangunan, maupun bersifat meluas
dalam perencanaan kawasan. Banyak studi dilakukan tentang penurunan kualitas lingkungan
yang berujung pada temuan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau secara kualitatif dan
kuantitatif. Studi kasus yang ada di Kota Surakarta, Hari Yuliarso dkk (2007) menemukan
fakta bahwa perkembangan dunia usaha cenderung membentuk hunian menjadi tempat
tinggal sekaligus tempat usaha, yang belakangan bahkan menurunkan luasan space untuk
Ruang Terbuka Hijau secara individu dalam bangunan hingga berdampak meluas ke wilayah
kota. Dwinta Nori Fitria (2011) melakukan analisis pengaruh pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) terhadap kualitas lingkungan Kota Surakarta, menunjukkan peningkatan
kualitas lingkungan yang terdiri dari kualitas fisik lingkungan dan ketersediaan ruang rekreasi
yang akan berpengaruh terhadap kesehatan mental masyarakat Kota Surakarta. Peningkatan
kualitas melalui pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dari 73,33% menjadi 88% cukup
signifikan jika diaplikasikan untuk wilayah Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia.
Tuntutan Arah Pembangunan
Arah pembangunan berkonsep Ekologi Arsitektur sebenarnya merupakan proses
adaptasi pada sumber daya alam dan kepedulian akan kondisi lingkungan yang semakin
menurun. Faktor utama yang menjadi orientasi pembangunan adalah adanya kondisi
perubahan iklim yang berpengaruh ke banyak faktor kehidupan, tidak hanya manusia namun
juga hewan dan tumbuhan.
Sue Roaf (2005) dalam bukunya yang berjudul Adapting Building and Cities for
Climate menyampaikan bahwa karena pengaruh perubahan iklim, ada kecenderungan
dinamika perubahan paradigma pembangunan. Perubahan bangunan yang puncaknya di tahun
1900an mengarah pada penyediaan kenyamanan bangunan yang didesain secara individu
dalam Active Building Design berangsur-angsur mengarah kepada pembangunan
berkelanjutan yang mengacu pada Passive Building Design. Dinamika pembangunan yang
lebih ramah terhadap lingkungan ini dalam pernyataan Roaf mulai memuncak tahun 2000an.
Konsep pembangunan berkelanjutan mengalami perkembangan semakin pesat karena sangat
relevan dengan kondisi dan situasi lingkungan di bumi yang semakin merosot sehingga mulai
terbangun konsep yang ramah terhadap lingkungan.
Pembangunan sekecil apapun itu akan mempunyai dampak perubahan terhadap
lingkungannya. Sebagai contoh, ketika meletakkan bangunan di lahan yang semula kosong,
tentulah akan mempengaruhi perubahan lingkungan mulai dari kondisi fisik tanah, air, udara
maupun infra struktur yang disediakan. Berikut ini merupakan gambaran pengaruh
pembangunan yang terjadi di perkotaan.

Gambar 2. Latar belakang pengaruh perkembangan pembangunan ke berbagai


bidang
Sumber: (Kementerian Pekerjaan Umum, 2005)

Hasil World Sustainable Building Conference di Tokyo pada tahun 2005 yang
dituangkan dalam TOKYO DECLARATION sebagai dikutip dari makalah seminar
Kementerian Pekerjaan Umum (2006), menghasilkan beberapa kesepakatan untuk arahan
pembangunan yang memerhatikan lingkungan, diantaranya menyebutkan konsentrasi
program yang diarahkan pada:
1. Pengaruh bangunan gedung dan permukiman dalam penggunaan sumberdaya,
degradasi lingkungan global dan perubahan iklim global.
2. Langkah konkrit menghadapi isu sustainability.
3. Sepakat melaksanakan harmoni, simbiosis dan kerjasama.
4. Promosi spirit Kyoto Protocol.
5. Penerapan prinsip-prinsip Sustainable Building.
6. Kondisi lokal dan kerjasama internasional.
7. Pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan.
8. Partisipasi dan kerjasama.

Tinjauan Aspek Kebijakan dan Regulasi


Pemerintah melalui jajaran kementerian terkait, diantaranya Kementerian Pekerjaan
Umum dan Kementerian Lingkungan Hidup telah menyiapkan perangkat undang-undang
yang mengatur pengelolaan dan pengolahan pembangunan, antara lain:
1. UU Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
2. UU Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
4. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
5. UU RI No 28 Tahun 2008 tentang Bangunan Gedung, diselenggarakan
berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan keserasian
bangunan gedung dengan lingkungannya.
6. UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 06/PRT/M/2007 tanggal 16 Maret
2007
tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
8. SNI 03-1733-2004 Tata cara perencanaan lingkungan perumahan
9. SNI 19-14001-2005 Sistem manajemen lingkungan – Persyaratan dan
panduan penggunaan.
Beberapa aspek regulasi diatas, secara tegas mengatur pembangunan secara
bertanggung jawab, yaitu pembangunan yang direncanakan secara beritegrasi dengan
konservasi lingkungan, sehingga pembangunan dapat berkelanjutan.

Paradigma Ekologi Arsitektur


Ulla Myhr, Rolf Johannson (2008) merumuskan keterkaitan dampak yang disebabkan
oleh adanya pembangunan terhadap lingkungan, bahwa dampak berpengaruh tidak hanya
secara fisik dalam lingkungan, namun juga mempengaruhi lingkungan dalam bangunan baik
internal dan eksternal. Dampak yang perlu mendapat perhatian adalah dampak jangka
panjang, yang akan menurunkan kualitas lingkungan secara berangsur-angsur.

Gambar 3. Dampak pembangunan terhadap lingkungan.


Sumber: (Ulla Myhr, Rolf Johannson, 2008)

Kenneth Yeang merupakan salah satu tokoh arsitektur Asia yang dikenal sangat
memperhatikan konsep ekologis dan menghasilkan beberapa karya rancangan arsitektur yang
popular. Dalam setiap desain yang dirancang didominasi dengan metode perancangan
berbasis manajemen lingkungan yang teliti dan cermat. Desain mode (Ken Yeang, 1999)
yang dikembangkan sebagai dasar pertimbangan konseptual meliputi:
1. Tata lingkungan bangunan luar dalam bentuk lansekap alami.
2. Pengolahan konfigurasi bangunan
3. Pemanfaatan potensi iklim dalam bangunan
4. Penggunaan teknologi tepat guna dan efisien
5. Pertimbangan sosial budaya penghuni bangunan
Beberapa dasar pertimbangan tersebut dikembangkan dalam metode perancangan
yang berkonsep Ekologi Arsitektur. Metode yang dilakukan sangat aplikatif dan variatif
sehingga karya rancangan menjadi tidak monoton walaupun pada dasarnya menggunakan
konsep yang sama.
Lebih jauh, dalam penelitian Aplimon Jerobisonif (2011) berpendapat bahwa metode
dan aplikasi desain ekologis yang dilakukan Ken Yeang dalam perkembangan karya-karya
arsitekturnya disimpulkan bahwa dalam konteks desain ekologis ada dua konsep utama yang
digunakan yaitu pendekatan desain bioclimatic yang dimanfaatkan sebagai aspek physical
integration dengan passive dan low energy system yang memperhatikan faktor kenyamanan
penghuni. Selain itu, pertimbangan desain diperhatikan melalui pendekatan desain
ecomimicry yang merupakan wujud systemic dan temporal integration dengan tujuan
mendapatkan desain yang ekologis didalam seluruh daur hidup bangunan. Konsep desain
ekologis kemudian dijabarkan dalam prinsip utama yaitu

meminimalkan jumlah sampah yang akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan,


baik sampah pembangunan maupun dalam operasionalnya; melakukan sistem desain yang
alami; memahami faktor-faktor ekologis yang dapat diolah dan dipertahankan pada
keberlanjutan tapak; mempertimbangkan perancangan yang hemat energi dalam jangka
panjang; membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan alam. Selanjutnya
diterapkan dalam aplikasi desain ekologis Ken Yeang dengan beberapa fitur yang
dikelompokkan menjadi:
1. Orientasi dan konfigurasi bangunan,
2. Landscape dan Penanaman,
3. Desain Fasad Bangunan, dan
4. Material dan Komponen Ekologis. Pengolahan desain ini apabila secara
cermat diperhatikan, ada tujuan bahwa konsep Ekologi Arsitektur berpegang
pada perancangan sistem dalam bangunan yang tidak berdampak atau
berdampak kecil ketika diletakkan pada lingkungan alam.
Sri Yuliani (2011) dalam Jurnal Region, menyebutkan bahwa pendekatan
perancangan yang efisien dan berwawasan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hunian
masyarakat adalah dengan menggunakan metode perancangan berbasis Ekologi Arsitektur.
Pada tulisan yang lain The 12th International Conference on Sustainable Environment and
Architecture (SENVAR) 2011 melalui makalahnya The Application of Ecological Concepts
on The Flats’ Roof in Humid Tropical Region, menyimpulkan bahwa prinsip penerapan
konsep Ekologi Arsitektur pada penggunaan atap hijau sangat optimal untuk menyediakan
kenyamanan thermal pada rumah susun. Selain itu sistem yang dibangun dalam ekosistem
bangunan rumah susun tersebut mempunyai potensi meningkatkan aktifitas produktif
penghuni dan dapat membentuk lingkungan yang lebih segar dan sehat. Hal ini dapat
dikembangkan tidak hanya berhenti di obyek rumah susun, namun dapat diaplikasi pada
bangunan bertingkat lainnya, seperti rumah took (ruko), mall tempat perbelanjaan atau
bangunan bertingkat yang lain milik pemerintah maupun swasta. Dijelaskan bahwa faktor
alam dapat dimanfaatkan untuk menyediakan kualitas lingkungan bagi kehidupan manusia.
Bangunan, sekalipun merupakan benda mati, sebaiknya mempunyai korelasi dengan
lingkungan alamnya.
Simon Guy (2011) menemukan kajian tentang perdebatan arsitektur berkelanjutan
terhadap pemetaan praktek dan penerapan logika desain alternatif menunjukkan persaingan
untuk mengangkat nilai-nilai lingkungan dengan mempertahankannya secara alami atau
melalui membentuk profil technonatural pembangunan green building. Disini secara tegas
ditemukan, bahwa praktek merencana dan merancang masih banyak yang mengedepankan
unsure teknologi dalam estetika yang mengabaikan lingkungan alam. Beberapa desain yang
terbentuk semata-mata hanya memposisikan alam sebagai komponen penunjang. Untuk lebih
memahami heterogenitas arsitektur berkelanjutan bagaimanapun juga kita harus menjelaskan
beberapa cara mengatasi masalah lingkungan dengan cara diidentifikasi, didefinisikan,
diterjemahkan, dihargai dan kemudian diwujudkan dalam bentuk lingkungan binaan melalui
desain beragam dan jalur pembangunan yang berkelanjutan.
Stuart Wilson and Gavin Scott (2011) manusia selama ini masih dapat hidup di
lingkungan normal yang kadang tidak sedap dipandang, tidak sehat atau bahkan
mengkhawatirkan, walaupun dalam batin tidak cocok, namun karena keadaan yang
mengharuskan, maka tetap menerima dan melakukan upaya bertahan. Sebagai contoh,
manusia tetap merasa ‘nyaman’ tinggal di bantaran sungai yang sering banjir, atau di
pinggiran jalan kereta api meski dari faktor kenyamanan dan keamanan tidak layak huni. Tapi
mereka tetap mendirikan hunian dengan membayar harga yang tidak murah, yang mungkin
tidak dapat mengevaluasinya secara memadai. Pembangunan yang tidak memanusiawikan
manusia ini tentunya tidak akan berkelanjutan, kualitas lingkungan semakin menurun dan
manusiapun semakin tidak dapat bersahabat dengan alam. Faktor utama dalam temuan Stuart
Wilson dan Gavin Scott, adalah manusia dengan segala peran dan aktifitasnya menjadi
penentu keseimbangan ekologis. Dengan kata lain, ketika pembangunan berkelanjutan
menjadi tujuan konsep Ekologi Arsitektur, manusia menjadi faktor utama, baik budaya, sosial
dan ekonomi.

Maibritt Pedersen Zari (2011) mengemukakan bahwa penggabungan pemahaman


yang menyeluruh tentang biologi dan ekologi ke dalam desain arsitektur akan signifikan
dalam penciptaan lingkungan yang dibangun yang memberikan kontribusi untuk kesehatan
masyarakat manusia, sekaligus meningkatkan integrasi positif dengan siklus karbon alami.
Maibritt Pedersen Zari (2012) menegaskan 'netral' terhadap lingkungan dalam hal
penggunaan energi, emisi karbon, pembangkit limbah atau penggunaan air adalah target
layak tetapi sulit dalam desain arsitektur dan perkotaan. Namun, lingkungan binaan mungkin
perlu melampaui upaya hanya untuk membatasi hasil lingkungan negatif dan bukan bertujuan
untuk keuntungan bersih lingkungan yang positif. Ini berarti bahwa lingkungan dibangun
perlu memberikan kontribusi lebih dari mengkonsumsi sekaligus remediating kerusakan
lingkungan masa lalu dan saat ini. Pembangunan tersebut bisa disebut 'regeneratif'. Potensi
untuk memahami dan kemudian meniru jasa ekosistem dieksplorasi untuk menetapkan tujuan
untuk pengembangan regeneratif, merancang mereka dan mengukur keberhasilan atau
kegagalan karena mereka berevolusi dari waktu ke waktu. Poin memanfaatkan kunci
diidentifikasi di mana sistem dari lingkungan yang dibangun dapat diubah untuk bergerak ke
arah lingkungan perkotaan regeneratif. Menganalisis lingkungan perkotaan dibangun dari
perspektif bagaimana fungsi ekosistem bisa menjadi langkah penting menuju penciptaan
lingkungan binaan di mana integrasi positif dengan, dan pemulihan, ekosistem lokal dapat
terwujud.
Ceridwen Owen dan Kim Dovey (2008) menggunakan kerangka teori sosiologi
Bourdieu, makalah ini membahas 'lapangan' arsitektur melalui mata arsitek terlibat dalam
upaya untuk arsitektur berkelanjutan. Praktek arsitektur berkelanjutan sering digambarkan
sebagai salah satu usaha untuk melayani dua majikan dalam bidang seni dan ilmu masing-
masing. Dalam istilah Bourdieu, ini tumpang tindih lahan tempat praktek arsitektur
berkelanjutan seperti bermain dua pertandingan pada bidang yang sama. Untuk
memainkannya secara efektif memerlukan kepekaan rasa dalam menentukan kedua
permainan yang terintegrasi secara ideal adalah untuk mencetak dua gol secara

bersamaan. Namun, keinginan untuk integrasi tidak mudah menyadari dan bagian dari
perjuangan yang lebih dari definisi arsitektur dan keberlanjutan. Elit hijau waspada terhadap
kooptasi, namun apabila mereka memainkan permainan estetika, mereka akan dikeluarkan
dari lapangan. Para elit seni, meskipun gelisah tetap dihadapkan pada kesadaran bahwa jika
permainan tidak berubah menjadi ‘hijau’ maka lapangan akan berubah menjadi ‘cokelat’.
Makalah ini menyimpulkan bahwa interaksi terus-menerus antara integrasi dan pemisahan
merupakan kondisi di bidang praktik arsitektur, sementara itu, wilayah paling produktif untuk
rekonsiliasi terletak pada posisi keberlanjutan dan arsitektur sebagai praktek sosial
(komersiil). Secara singkat dirumuskan bahwa banyak konsep Ekologi Arsitektur yang tidak
mengakar dari tujuan untuk melestarikan alam, namun yang terjadi adalah semata-mata
pembangunan yang mengeksploitasi alam untuk menjunjung nilai-nilai estetika (seni).
Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari dan Philip Jennings (2010) menyatakan
bahwa keberlanjutan merupakan isu penting bagi zaman kita dan arsitektur memiliki peran
penting dalam pembangunan berkelanjutan. Bangunan bertanggung jawab untuk sekitar 40%
dari konsumsi energi dunia tahunan. Selain itu, selama dekade terakhir, beberapa pendekatan
baru telah muncul untuk penggabungan keberlanjutan dan energi terbarukan ke dalam
pendidikan arsitektur. Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi energi bangunan adalah
untuk mendidik arsitek dalam desain bangunan yang didukung oleh bentuk-bentuk energi
terbarukan untuk pemanasan, pendinginan pencahayaan, dan ventilasi. Perbandingan
pendidikan arsitektur berkelanjutan di negara-negara ekonomi maju dengan yang di negara
yang berkembang menyediakan beberapa wawasan tentang bagaimana untuk memodernisasi
kurikulum arsitektur untuk memfasilitasi proses pembangunan berkelanjutan. Pemahaman
konsep Ekologi Arsitektur dibangun dari aspek pendidikan.
Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani (2006) menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia
mengalami kemerosotan kualitas kehidupan dalam tata ruang kota yang tidak direncanakan
dengan matang. Ruang kota yang sebenarnya tidak hanya mempunyai ruang tunggal (single-

minded space) yang memfasilitasi fungsi tunggal pada suatu kawasan di wilayah kota,
akan tetapi memerlukan ruang beraneka ragam (open-minded space) yang menjaga
kelestarian lingkungan dengan menghadirkan fungsi sekunder yang mendukung fungsi
primer, Misalnya untuk merencanakan pedestrian, tidak semata-mata membuat jalur akses
sirkulasi, namun juga menghadirkan peneduh, ruang duduk untuk beristirahat, maupun
furniture street yang lain agar fungsi pedestrian menjadi optimal. Perencanaan dengan
mengoptimalkan potensi alam lingkungan sebagai pendukung faktor kenyamanan fisik
ternyata juga berpengaruh terhadap kualitas ruang hidup manusia baik secara fisik maupun
non fisik. Tujuan dari metode perencanaan tersebut tidak hanya untuk menjaga kualitas
lingkungan namun sebenarnya diharapkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Secara singkat dinyatakan bahwa berkonsep Eko-Arsitektur merupakan konsep membangun
holistik, memperhatikan unsur-unsur terkait yakni manusia, bangunan dan lingkungan dengan
pertimbangan pemanfaatan untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Ciri-ciri iklim tropis lembab Indonesia (Prasasto Satwiko, 2004) yg mendapat
prioritas untuk diadaptasi dalam penerapan konsep EkoArsitektur diantaranya:
1. Kelembaban tinggi hingga 90%
2. Temperatur udara tinggi rata-rata 32oC
3. Curah hujan tinggi rata-rata 1500- 2500mm setahun
4. Radiasi matahari secara global sekitar 400 watt/m2
5. Langit cenderung berawan
6. Kecepatan angin rata-rata relatif rendah kurang dari 2m/s
7. Flora dan fauna beragam
Sumber daya alam yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan berinteraksi secara
harmonis dengan pembangunan meliputi:
1. Matahari
2. Angin
3. Keragaman flora dan fauna
4. Tanah yang subur
Pengelolaan sumber daya alam dalam desain arsitektural direspon dari kondisi
lingkungan di luar bangunan yang ditentukan oleh iklim setempat (iklim makro) dan keadaan
lingkungan di sekitarnya (iklim mikro). Untuk mendapatkan kondisi lingkungan didalam

bangunan dapat diusahakan dengan beberapa cara, diantaranya:


1. Sistem Desain Pasif (Pasive Building Design), merupakan metode desain arsitektural
yang mengandalkan elemen pembentuk iklim yang potensial mampu memberikan
kenyamanan fisik.
2. Sistem Desain Aktif (Active Building Design), dimaksudkan sebagai metode desain
arsitektural yang dalam perancangannya memanfaatkan peralatan
mekanis/elektrikal. Sue Roaf dkk (2007) membuat ilustrasi pemanfaatan matahari
untuk bangunan dalam gambar berikut ini.
Gambar 4. Pemanfaatan matahari dalam bangunan.
Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007. Hal 217)

Selain sumber daya alam, faktor utama yang menjadi penentu dalam konsep Ekologi
Arsitektur adalah pemanfaatan sumber daya manusia, budaya dan teknologi yang dapat
dihasilkan mempunyai peran yang dominan.

Beberapa contoh karya desain dengan konsep Ekologi Arsitektur:

Gambar 5. Contoh bangunan berkonsep Ekologi Arsitektur.


Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007, hal 330)

Gambar 6. Contoh desain bangunan berbahan reuse material.


Sumber: (Sue Rof dkk, 2007, hal 343)
Gambar 7. Contoh bangunan berkonsep Ekologi Arsitektur.
Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007. Hal 356)

Gambar 8. Skema sistem hubungan alam dan bangunan pada bangunan berkonsep
Ekologi Arsitektur.
Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007, hal 358)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Latar belakang konsep Ekologi Arsitektur adalah kerusakan lingkungan, -sehingga
mengakibatkan perubahan iklim, krisis energi- dan tuntutan kualitas hidup manusia. Regulasi
pembangunan berwawasan lingkungan menjadi koridor perancangan yang tidak hanya
berskala regional, namun juga skala nasional hingga internasional.
Konsep Ekologi Arsitektur adalah konsep membangun yang memperhatikan
keseimbangan lingkungan alam dan buatan dengan unsur utama manusia, bangunan dan
lingkungan. Manusia sebagai pelaku dan pengguna mempunyai keragaman sosial budaya
untuk mengolah bangunan dan lingkungan secara harmonis.
Perancangan berkonsep Ekologi Arsitektur merupakan perencanaan yang bertujuan
mendesain sistem yang mampu menjaga simbiosis lingkungan dalam bangunan atau kawasan
sehingga tidak membebani siklus alami.
DAFTAR PUSTAKA
Aplimon Jerobisonif, 2011. Aplikasi Desain Ekologis Dalam Karya Arsitektur Ken
Yeang, abstrak thesis, penerbit ETD (electronic theses & dissertations) UGM Yogyakarta.
Ceridwen Owen & Kim Dovey. 2008. Fields Of Sustainable Architecture. The Journal
of Architecture Volume 13, Issue 1, 2008. Taylor & Francis.
Dwinta Nori, Galing Yudana, Widharyatmo. 2011. Pengaruh Pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau Terhadap Kualitas Lingkungan Kota Surakarta. Jurnal Region Vol 4 No.1
Januari 2011 ISSN 1858-4837. Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) UNS.
Hal 19-26.
Hari Yuliarso, Sri Yuliani. 2007. Dampak Perkembangan Ruko terhadap Ruang
Terbuka Hijau Kota Surakarta. LPPM UNS: Laporan penelitian tidak dipublikasikan.
Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani, 2006. Arsitektur Ekologis, Konsep arsitektur
ekologis di iklim tropis, penghijauan kota dan kota ekologis, serta energi terbarukan. Penerbit
Kanisius dan Soegijapranata University Press, Semarang
Kementerian Pekerjaan Umum, 2005. Kebijakan dan Aspek Regulasi dalam Seminar
Green Architecture di Jakarta tanggal 28 November 2006.
Ken Yeang, 1999. The Green Skyscarpers, New York: Penerbit Longman.
Maibritt Pedersen Zari. 2010. Biomimetic design for climate change adaptation and
mitigation. Journal of Building Research & Information. Volume 40 Issue 1 2012. Taylor &
Francis.
Maibritt Pedersen Zari. 2011. Ecosystem services analysis for the design of
regenerative built environments. Journal of Architectural Science Review. Volume 53 Issue 2
2010. Taylor & Francis.
Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari & Philip Jennings. 2010. Renewable energy
education for architects: lessons from developed and developing countries. International
Journal of Sustainable
Stuart Wilson and Gavin Scott. 2011. Architecture And An Ecology Of Man. Journal
of Architectural Science Review, Volume 53 2010. Taylor & Francis.
Sue Roaf, David Crichton, Fergus Nicol. 2005. Adapting Building and Cities for
Climate Change,Burlington: Elsevier.
Sue Roaf, Manuel Fuentes, Stephanies Thomas. 2007. Ecohouse: A Design Guide,
Third Edition. Burlington: Elseveir.

Anda mungkin juga menyukai