NAMA ANGGOTA:
1. MARIA ANGELIKA DJAGA (2106090041)
2. VELLICYA GLORIANA ISYDORA DAKA (2106090048)
3. RAIMUNDUS EO (2106090044)
MATA KULIAH: EKO ARSITEKTUR
DOSEN PENGAMPUH: APLIMON JEROBISONIF, ST., M.SC
Hasil World Sustainable Building Conference di Tokyo pada tahun 2005 yang
dituangkan dalam TOKYO DECLARATION sebagai dikutip dari makalah seminar
Kementerian Pekerjaan Umum (2006), menghasilkan beberapa kesepakatan untuk arahan
pembangunan yang memerhatikan lingkungan, diantaranya menyebutkan konsentrasi
program yang diarahkan pada:
1. Pengaruh bangunan gedung dan permukiman dalam penggunaan sumberdaya,
degradasi lingkungan global dan perubahan iklim global.
2. Langkah konkrit menghadapi isu sustainability.
3. Sepakat melaksanakan harmoni, simbiosis dan kerjasama.
4. Promosi spirit Kyoto Protocol.
5. Penerapan prinsip-prinsip Sustainable Building.
6. Kondisi lokal dan kerjasama internasional.
7. Pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan.
8. Partisipasi dan kerjasama.
Kenneth Yeang merupakan salah satu tokoh arsitektur Asia yang dikenal sangat
memperhatikan konsep ekologis dan menghasilkan beberapa karya rancangan arsitektur yang
popular. Dalam setiap desain yang dirancang didominasi dengan metode perancangan
berbasis manajemen lingkungan yang teliti dan cermat. Desain mode (Ken Yeang, 1999)
yang dikembangkan sebagai dasar pertimbangan konseptual meliputi:
1. Tata lingkungan bangunan luar dalam bentuk lansekap alami.
2. Pengolahan konfigurasi bangunan
3. Pemanfaatan potensi iklim dalam bangunan
4. Penggunaan teknologi tepat guna dan efisien
5. Pertimbangan sosial budaya penghuni bangunan
Beberapa dasar pertimbangan tersebut dikembangkan dalam metode perancangan
yang berkonsep Ekologi Arsitektur. Metode yang dilakukan sangat aplikatif dan variatif
sehingga karya rancangan menjadi tidak monoton walaupun pada dasarnya menggunakan
konsep yang sama.
Lebih jauh, dalam penelitian Aplimon Jerobisonif (2011) berpendapat bahwa metode
dan aplikasi desain ekologis yang dilakukan Ken Yeang dalam perkembangan karya-karya
arsitekturnya disimpulkan bahwa dalam konteks desain ekologis ada dua konsep utama yang
digunakan yaitu pendekatan desain bioclimatic yang dimanfaatkan sebagai aspek physical
integration dengan passive dan low energy system yang memperhatikan faktor kenyamanan
penghuni. Selain itu, pertimbangan desain diperhatikan melalui pendekatan desain
ecomimicry yang merupakan wujud systemic dan temporal integration dengan tujuan
mendapatkan desain yang ekologis didalam seluruh daur hidup bangunan. Konsep desain
ekologis kemudian dijabarkan dalam prinsip utama yaitu
bersamaan. Namun, keinginan untuk integrasi tidak mudah menyadari dan bagian dari
perjuangan yang lebih dari definisi arsitektur dan keberlanjutan. Elit hijau waspada terhadap
kooptasi, namun apabila mereka memainkan permainan estetika, mereka akan dikeluarkan
dari lapangan. Para elit seni, meskipun gelisah tetap dihadapkan pada kesadaran bahwa jika
permainan tidak berubah menjadi ‘hijau’ maka lapangan akan berubah menjadi ‘cokelat’.
Makalah ini menyimpulkan bahwa interaksi terus-menerus antara integrasi dan pemisahan
merupakan kondisi di bidang praktik arsitektur, sementara itu, wilayah paling produktif untuk
rekonsiliasi terletak pada posisi keberlanjutan dan arsitektur sebagai praktek sosial
(komersiil). Secara singkat dirumuskan bahwa banyak konsep Ekologi Arsitektur yang tidak
mengakar dari tujuan untuk melestarikan alam, namun yang terjadi adalah semata-mata
pembangunan yang mengeksploitasi alam untuk menjunjung nilai-nilai estetika (seni).
Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari dan Philip Jennings (2010) menyatakan
bahwa keberlanjutan merupakan isu penting bagi zaman kita dan arsitektur memiliki peran
penting dalam pembangunan berkelanjutan. Bangunan bertanggung jawab untuk sekitar 40%
dari konsumsi energi dunia tahunan. Selain itu, selama dekade terakhir, beberapa pendekatan
baru telah muncul untuk penggabungan keberlanjutan dan energi terbarukan ke dalam
pendidikan arsitektur. Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi energi bangunan adalah
untuk mendidik arsitek dalam desain bangunan yang didukung oleh bentuk-bentuk energi
terbarukan untuk pemanasan, pendinginan pencahayaan, dan ventilasi. Perbandingan
pendidikan arsitektur berkelanjutan di negara-negara ekonomi maju dengan yang di negara
yang berkembang menyediakan beberapa wawasan tentang bagaimana untuk memodernisasi
kurikulum arsitektur untuk memfasilitasi proses pembangunan berkelanjutan. Pemahaman
konsep Ekologi Arsitektur dibangun dari aspek pendidikan.
Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani (2006) menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia
mengalami kemerosotan kualitas kehidupan dalam tata ruang kota yang tidak direncanakan
dengan matang. Ruang kota yang sebenarnya tidak hanya mempunyai ruang tunggal (single-
minded space) yang memfasilitasi fungsi tunggal pada suatu kawasan di wilayah kota,
akan tetapi memerlukan ruang beraneka ragam (open-minded space) yang menjaga
kelestarian lingkungan dengan menghadirkan fungsi sekunder yang mendukung fungsi
primer, Misalnya untuk merencanakan pedestrian, tidak semata-mata membuat jalur akses
sirkulasi, namun juga menghadirkan peneduh, ruang duduk untuk beristirahat, maupun
furniture street yang lain agar fungsi pedestrian menjadi optimal. Perencanaan dengan
mengoptimalkan potensi alam lingkungan sebagai pendukung faktor kenyamanan fisik
ternyata juga berpengaruh terhadap kualitas ruang hidup manusia baik secara fisik maupun
non fisik. Tujuan dari metode perencanaan tersebut tidak hanya untuk menjaga kualitas
lingkungan namun sebenarnya diharapkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Secara singkat dinyatakan bahwa berkonsep Eko-Arsitektur merupakan konsep membangun
holistik, memperhatikan unsur-unsur terkait yakni manusia, bangunan dan lingkungan dengan
pertimbangan pemanfaatan untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Ciri-ciri iklim tropis lembab Indonesia (Prasasto Satwiko, 2004) yg mendapat
prioritas untuk diadaptasi dalam penerapan konsep EkoArsitektur diantaranya:
1. Kelembaban tinggi hingga 90%
2. Temperatur udara tinggi rata-rata 32oC
3. Curah hujan tinggi rata-rata 1500- 2500mm setahun
4. Radiasi matahari secara global sekitar 400 watt/m2
5. Langit cenderung berawan
6. Kecepatan angin rata-rata relatif rendah kurang dari 2m/s
7. Flora dan fauna beragam
Sumber daya alam yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan berinteraksi secara
harmonis dengan pembangunan meliputi:
1. Matahari
2. Angin
3. Keragaman flora dan fauna
4. Tanah yang subur
Pengelolaan sumber daya alam dalam desain arsitektural direspon dari kondisi
lingkungan di luar bangunan yang ditentukan oleh iklim setempat (iklim makro) dan keadaan
lingkungan di sekitarnya (iklim mikro). Untuk mendapatkan kondisi lingkungan didalam
Selain sumber daya alam, faktor utama yang menjadi penentu dalam konsep Ekologi
Arsitektur adalah pemanfaatan sumber daya manusia, budaya dan teknologi yang dapat
dihasilkan mempunyai peran yang dominan.
Gambar 8. Skema sistem hubungan alam dan bangunan pada bangunan berkonsep
Ekologi Arsitektur.
Sumber: (Sue Roaf dkk, 2007, hal 358)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Latar belakang konsep Ekologi Arsitektur adalah kerusakan lingkungan, -sehingga
mengakibatkan perubahan iklim, krisis energi- dan tuntutan kualitas hidup manusia. Regulasi
pembangunan berwawasan lingkungan menjadi koridor perancangan yang tidak hanya
berskala regional, namun juga skala nasional hingga internasional.
Konsep Ekologi Arsitektur adalah konsep membangun yang memperhatikan
keseimbangan lingkungan alam dan buatan dengan unsur utama manusia, bangunan dan
lingkungan. Manusia sebagai pelaku dan pengguna mempunyai keragaman sosial budaya
untuk mengolah bangunan dan lingkungan secara harmonis.
Perancangan berkonsep Ekologi Arsitektur merupakan perencanaan yang bertujuan
mendesain sistem yang mampu menjaga simbiosis lingkungan dalam bangunan atau kawasan
sehingga tidak membebani siklus alami.
DAFTAR PUSTAKA
Aplimon Jerobisonif, 2011. Aplikasi Desain Ekologis Dalam Karya Arsitektur Ken
Yeang, abstrak thesis, penerbit ETD (electronic theses & dissertations) UGM Yogyakarta.
Ceridwen Owen & Kim Dovey. 2008. Fields Of Sustainable Architecture. The Journal
of Architecture Volume 13, Issue 1, 2008. Taylor & Francis.
Dwinta Nori, Galing Yudana, Widharyatmo. 2011. Pengaruh Pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau Terhadap Kualitas Lingkungan Kota Surakarta. Jurnal Region Vol 4 No.1
Januari 2011 ISSN 1858-4837. Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) UNS.
Hal 19-26.
Hari Yuliarso, Sri Yuliani. 2007. Dampak Perkembangan Ruko terhadap Ruang
Terbuka Hijau Kota Surakarta. LPPM UNS: Laporan penelitian tidak dipublikasikan.
Heinz Frick dan Tri Hesti Mulyani, 2006. Arsitektur Ekologis, Konsep arsitektur
ekologis di iklim tropis, penghijauan kota dan kota ekologis, serta energi terbarukan. Penerbit
Kanisius dan Soegijapranata University Press, Semarang
Kementerian Pekerjaan Umum, 2005. Kebijakan dan Aspek Regulasi dalam Seminar
Green Architecture di Jakarta tanggal 28 November 2006.
Ken Yeang, 1999. The Green Skyscarpers, New York: Penerbit Longman.
Maibritt Pedersen Zari. 2010. Biomimetic design for climate change adaptation and
mitigation. Journal of Building Research & Information. Volume 40 Issue 1 2012. Taylor &
Francis.
Maibritt Pedersen Zari. 2011. Ecosystem services analysis for the design of
regenerative built environments. Journal of Architectural Science Review. Volume 53 Issue 2
2010. Taylor & Francis.
Mohammad Taleghani, Hamid R. Ansari & Philip Jennings. 2010. Renewable energy
education for architects: lessons from developed and developing countries. International
Journal of Sustainable
Stuart Wilson and Gavin Scott. 2011. Architecture And An Ecology Of Man. Journal
of Architectural Science Review, Volume 53 2010. Taylor & Francis.
Sue Roaf, David Crichton, Fergus Nicol. 2005. Adapting Building and Cities for
Climate Change,Burlington: Elsevier.
Sue Roaf, Manuel Fuentes, Stephanies Thomas. 2007. Ecohouse: A Design Guide,
Third Edition. Burlington: Elseveir.