Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Disintegrasi Bangsa Akibat Kerusuhan 22 Mei Pasca Pengumuman Pemilu
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang disintegrasi bangsa Indonesia
bagi para pembaca maupun penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Saya
menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

(Surabaya, 10 Februari 2020)


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sebagai manusia yang menghuni dunia ini, tentunya setiap diri kita
termasuk ke dalam suatu wilayah negara tertentu. Dengan begitu, kita
menjadi memiliki kebangsaan atau biasa disebut nationality dalam Bahasa
inggris. Ketika kita memilih untuk memiliki suatu kebangsaan tertentu,
kita dituntut untuk senantiasa mencintai bangsa kita itu. Saat ini, sebagian
besar pembaca tentunya memiliki kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah
suatu negara yang memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, ras, dan
adat istiadat.
Bersatunya berbagai suku di Indonesia tidak terlepas dari
perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu. Berdasarkan sejarah
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, kita dapat mengetahui bahwa
sebelumnya perjuangan menghadapi penjajahan yang dilakukan di
seantero wilayah Indonesia hanyalah bersifat kedaerahan. Namun setelah
berdirinya suatu organisasi pemuda yang bernama Boedi Oetomo pada 19
Mei 1908, hal tersebut menandai kebangkitan nasional karena organisasi
tersebut tidak hanya terdiri dari pemuda yang berasal dari berbagai daerah,
namun juga ia menjadi pionir bagi munculnya berbagai organisasi yang
menyatukan Indonesia. Setelah kemerdekaan, seluruh suku bangsa di
wilayah nusantara menjadi satu di bawah bendera Indonesia. hal tersebut
memunculkan tugas baru bagi para pendiri bangsa untuk menjadikan
sesuatu yang dapat mempersatukan keanekaragaman di negara yang baru
lahir ini. Maka dari itu, diciptakanlah semboyan persatuan yang berbunyi
“Bhinneka Tunggal Ika”. Suatu semboyan yang memiliki arti bahwa
walaupun rakyat Indonesia berbeda-beda, namun sejatinya satu jua, yaitu
rakyat Indonesia. selain itu, diciptakan pula lagu kebangsaan, bendera
persatuan, dan ideologi yang sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia, yaitu
Pancasila. Dalam Pancasila pun dicantumkan satu sila yang berbunyi
“Persatuan Indonesia”. sila ini menjadi dasar bagi bersatunya segenap
warga negara indonesia. Setelah bertahun-tahun memupuk rasa persatuan
dan kesatuan melalui berbagai usaha, persatuan di Indonesia terwujud
secara perlahan dan terus menguat. Namun, terwujudnya persatuan dan
kesatuan itu bukan berarti tanpa halangan dan kendala. Ancaman yang
mengganggu persatuan di tengah bangsa Indonesia ini terus muncul.
Ancaman-ancaman tersebut berasal baik dari dalam negeri maupun luar
negeri Sekalipun mendapat ancaman, namun upaya menjaga keutuhan
NKRI tetap dilakukan.

I.2 Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengembangkan wawasan mengenai problematika bangsa
Indonesia
2. Untuk memahami materi kewarganegaraan dan problematika bangsa
Indonesia
3. Untuk mempelajari dinamika social bangsa Indonesia

I.3 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam topik makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Apa yang mengakibatkan perpecahan sosial bangsa Indonesia?
2. Mengapa disintegrasi di Indonesia mudah terjadi?
3. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi disintegrasi Indonesia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Disintegrasi Bangsa


Disintegrasi secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa
menjadi bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic
Dictionary 1996). Indikasi lain dari potensi ini adalah usia bangsa (age of
nation) yang relatif muda (53 tahun). Bangsa biasanya didefinisikan secara
harfiah sebagai “a community of people composed of one or more
nationalities with its own territory and government (Webster’s New
Encyclopedic Dictionary 1996). Dalam diskursus sosiologis konsep bangsa
ini mendapat perhatian penting pada gejala nation state (Giddens 1995). Jarry
dan Jarry (1997) mengatakan bahwa negara bangsa tidak lain adalah bentuk
modern dari negara. Ia mempunyai batas wilayah yang jelas.
Sehingga disintegrasi bangsa adalah keadaan tidak bersatuatau pecahnya
suatu kelompok masyarakat dimana berasal dari keturunan,adat, bahasa,dan
pemerintah yang sama (Sumantri, 2012).

II.2 Macam-macam Disintegrasi Bangsa


Beragam macam disintegrasi yang digolongkan, antara lain;
1. Disintegrasi Sosial
Pengertian disintegrasi sosial adalah ketidak adanya fungsi dan norma yang
berjalan. Keadaan ini bisa dsebabkan karena adanya masyarakat yang kurang
merasa puas dengan kondisinya, sehingga ia ingin melakukan perubahan-
perubahan yang mendasar.  Bentuk-Bentuk Disintegrasi Sosial
a. Pergolakan Daerah Pergolokan daerah yaitu suatu gerakan sosial yang
dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan berbagai cara untuk
memaksakan suatu kehendak ataupun cita-cita.
b. Demonstrasi dan Kriminalitas Demonstrasi yaitu suatu gerakan yang
bersifat langsung dan terbuka dilakukan oleh orang banyak untuk
memperjuangkan kepentingan ataupun tuntutan. Demontrasi biasa terjadi
karena adanya penyimpangan pada suatu sistem ataupun adanya perubahan
dalam sistem. Demonstrasi merupakan alat kontrol sosial yang dapat
membawa peubahan ke arah perbaikan yang dilakukan secara terbuka. Tapi,
terkadang aksi protes dan demonstrasi berujung kerusuhan.

2. Disintegrasi Bangsa
Pengertian disintegrasi bangsa adalah perpecahan hidup dalam masyarakat
yang disebabkan karena adanya pengaruh dari negara lain. Disintegrasi bangsa
ini bisa disebabkan pula pengaruh negaranya sendiri, seperti kekuarangan
terimaan terhadap perbedaan sehingga tidak munculnya sikap toleransi.  Contoh
mengenai disintegrasi bangsa yang terjadi dalam masyarakat misalnya saja
adalah peperangan yang terjadi antara Suku Jawa dan Lampung yang pernah
terjadi pada tahun 2016. Keadaan ini menimbulkan terkikisnya kebersamaan
dalam masyarakat, padahal; sangatlah jelas Indonesia mengaunut asas Pancasila
dan UUD 1945, yang secara keseluruhan di adopsi dari semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”.

3. Disintegrasi Keluarga
Pengertian disintegrasi keluarga bisa di definisikan sebagai disorganisasi
keluarga yang disebabkan karena adanya kekuarang pahaman antar anggota
keluarga. Fakta ini bisa dilihat dalam berbagai kasus, misalnya perceraian, pisah
ranjang, dan lain sebaginya
II.3 Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa
Berikut faktor disintegrasi bangsa yang dapat dianalisis dengan menggunakan
kajian ilmu sosial :
1. Geografi
Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau berpotensi adanya daerah
yang memisahkan diri terutama daerah yang paling jauh dari ibukota dan
berbatasan dengan negara lain.
2. Demografi
Penyebaran penduduk yang masih tidak merata.
3. Kekayaan Alam
Kekayaan alam indonesia yang berlimpah ruah dan tidak merata menjadi
penyebab terjadi disintegrasi apabila terjadi kerusakan saat pengelolaan.
4. Politik
Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut
disintegrasi.Selain itu ketidaksesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat
yang diberlakukan pada pemerintah daerah sering menimbulkan perbedaan
kepentingan sehingga timbul konflik sosial.
5. Ekonomi
Disintegrasi bangsa terjadi akibat kesenjangan sosial masyarakat indonesia
semakin lebar antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.
6. Sosial Budaya
Pluralitas budaya merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan
bijaksana. Tata nilai yang berlaku di suatu daerah akan berbeda dengan tata
nilai daerah lain (Haliim,2014).

II.4 Dampak Disintegrasi Bangsa


Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang memiliki
keanekaragaman baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa, suku bangsa dan
adat istiadat,  serta kondisi faktual ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain yang tetap harus
dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi konflik yang
jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan
kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat dari ketidakpuasan dan
perbedaan kepentingan yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi
bangsa
Potensi disintegrasi bangsa di Indonesia sangatlah besar hal ini dapat
dilihat dari banyaknya permasalahan yang kompleks yang terjadi dan apabila
tidak dicari solusi pemecahannya akan berdampak pada meningkatnya konflik
menjadi upaya memisahkan diri dari NKRI.
Kondisi ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme
yang ada didalam masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang
berkepanjangan yang akhirnya mengarah kepada disintegrasi bangsa, apabila
tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mencegah dan
menanggulanginya sampai pada akar permasalahannya secara tuntas maka
akan menjadi problem yang berkepanjangan.
Nasionalisme yang melambangkan jati diri bangsa Indonesisa yang
selama ini demikian kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas
persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian kekayaan yang tak
berimbang antara pusat dan daerah selama ini.
Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu
diumbar, merupakan salah satu sebab ancaman disintegrasi bangsa, di
samping instabilitas yang diakibatkan oleh para pelaku politik yang tidak lagi
bersikap netral. Meskipun barangkali filosof politik klasik Aristoteles
dianggap usang, namun bila dlihat dalam konteks masa kini, orientasinya
tetap bisa dijadikan sebagai acuan.
Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya disintegrasi
bangsa. Maka menyikapi berbagai kasus dan tuntutan yang mengemuka dari
berbagai daerah sudah barang tentu diperlukan konsekuensi politik dan
legitimasi bukan janji-janji sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak
kalangan.
Legitimasi diperlukan tidak saja untuk menjaga stabilitas tetapi juga
menjamin adanyan perubahan nyata dan konkret yang dapat dirahasiakan
langsung oleh warga terhadap tuntutan dan keinginan mereka. Namun,
bagaimanapun juga kita tetap mesti berupaya agar tuntutan terhadap
pemisahan dari kesatuan RI dapat diurungkan.
Dalam hal ini diperlukan kejernihan pikiran, kelapangan dada dan
kerendahan hati untuk merenungkan kembali makna kesatuan dan persatuan,
sekaligus menyikapi secara arif dan bijak terhadap berbagai kasus dari
tuntutan berbagai daerah, Aceh khususnya.
Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar partai, daerah, suku,
agama dan lain-lainnya ditenggarai sebagai akibat dari ketidak puasan atas
kebijaksanaan pemerintah pusat, dimana segala sumber dan tatanan hukum
dinegara ini berpusat. Dari segala bentuk permasalahan baik politik, agama,
sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya memiliki kesamaan yakni
dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat,
terutama bila kita meninjau kembali kekeliruan pemerintah masa lalu dalam
menerapkan dan mempraktekkan kebijaksanaannya.
Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini
sesungguhnya berawal dari kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi,
sosial budaya, hukum dan hankam. Kondisi tersebut lalu diramu dan
dibumbui kekecewaan dan sakit hati beberapa tokoh daerah, tokoh
masyarakat, tokoh partai dan tokoh agama yang merasa disepelekan dan tidak
didengar aspirasi politiknya. Akumulasi dari kekecewaan tersebut
menimbulkan gerakan radikal dan gerakan separatisme yang sulit
dipadamkan.
Dalam kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan
kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus
ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai dengan kepentingan nasional
bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk mencegah ancaman disintegrasi
bangsa harus diciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan
dinamis dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta menegakkan
peraturan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Indonesia akan disintegrasi atau tidak pasti akan menimbulkan pro dan
kontra yang disebabkan dari sudut pandang mana yang digunakan. Reformasi
sudah berjalan kurang lebih 10 tahun, apa yan telah didapat, bahkan rakyat
kecil sudah mulai menilai bahwa kehidupan di masa Orde Baru lebih baik bila
dibandingkan dengan saat ini.
Pandapat rakyat tersebut terjadi karena hanya dilihat dari sudut
pandang harga kebutuhan pokok sehari-hari dan itu tidak salah karena hanya
satu hal tersebut yang ada dibenak mereka. Kemudian ada kelompok
masyarakat yang selalu menuntut kebebasan, dan oleh kelompok yang lain
dikatakan sudah keblabasan.

Dampak dari adanya disintegrasi bangsa antara lain:

1. Separatisme

Pemisahan kekuasaan atau penarikan diri dari suatu negara timbul karena
disintegrasi bangsa. Mereka merasa tuntutannya tidak terpenuhi dan berusaha
mendirikan negara sendiri dengan harapan terjadi kemakmuran.

2. Ancaman dari luar mudah masuk

Ancaman dari luar akan mudah masuk ketika di dalam negeri terdapat
konflik atau perpecahan. Rasa persatuan yang hilang tidak dapat menjadi benteng
pertahanan dari ancaman yang mengganggu stabilitas nasional.

3. Kesenjangan antar status sosial

Disintegrasi bangsa akan memperburuk kesenjangan yang sudah terjadi


antar kelas sosial baik dalam satu suku bangsa, maupun lintas suku bangsa.

4. Diskriminasi

Kasus disintegrasi diberitakan dalam media sosial dan media cetak di mana
semua orang mengetahuinya. Pembaca dan penonton akan menilai siapa yang
benar dan siapa yang salah menurut mereka. Akhirnya yang menurut mereka salah
akan mengalami diskriminasi yang memicu adanya konflik lanjutan.

5. Terganggunya sistem perekonomian negara

Disintegrasi bangsa menyebabkan stabilitas nasional kacau. Dampaknya


adalah semua sendi kehidupan negara juga menjadi tidak stabil. Kondisi
perpolitikan kacau karena banyak tuntutan dan konflik dimana-mana. Akibatnya
stabilitas ekonomi mulai dari perdagangan dan perbankan juga terganggu.

6. Meningkatnya tindakan anarkisme

Disintegrasi menandakan sikap nasionalisme yang menurun. Rasa cinta


terhadap bangsanya akan menurun juga. Maka akan muncul sifat anti demokratis,
anti toleransi, anti tranparan, dan anti pluraslistik.

7. Tidak adanya kenyamanan dan ketertiban dalam negara

Ketika sering terjadi kerusuhan, tawuran, bentrokan antar suku, dan


demonstrasi dimana-dimana, maka akan mengakibatkan kenyamanan masyarakat
akan berkurang. Mereka akan takut berada di dalam lingkungannya sendiri

II.5 Contoh Kasus Disintegrasi Bangsa


A. Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan 22 Mei 2019
Demonstrasi dan kerusuhan terjadi di Jakarta, Indonesia, pada
tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Demonstrasi tersebut berkaitan dengan
penolakan hasil penghitungan suara pemilihan Presiden Indonesia 2019.
Bentrokan antara massa perusuh dengan aparat ketenteraman terjadi
semenjak Selasa 21 Mei 2019 pukul 23.00 WIB sampai Rabu 22 Mei 2019.
Polri juga membeberkan kronologi Kerusuhan 22 Mei 2019 ketika
Kerusuhan berawal usai aparatmengajak bubar massa yang berunjuk rasa di
depan Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Berdasarkan
keterangan dari Menko Polhukam Wiranto, ada sebanyak pihak yang
sengaja menciptakan  kekacauan dan menyerang petugas. Diduga terdapat
skenario pihak yang tak bertanggung jawab untuk membina kebencian
untuk pemerintah (Lie,2019).

B.Detail Kronologi
Pihak TNI-Polri umumkan bahwa massa sebanyak 3000 orang
melakukan aksi damai di depan Bawaslu hingga pukul 21.00 di tanggal 21.
Setelah sholat tarawih berjamaah, massa pun membubarkan diri. Akan
tetapi, sekitar 1 jam kemudian, tanpa ada peringatan, 500 orang massa
memprovokasi aparat dan melakukan kerusuhan dan berlangsung hingga
Subuh. Kerusuhan pun berlanjut di tanggal 22, di beberapa tempat di
Jakarta seperti Petamburan dan Slipi. Berikut kronologi lengkap kerusuhan
22 Mei 2019 :
Pukul 10.00 WIB
Sejak Selasa siang, sejumlah massa berdatangan memadati
Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Aksi unjuk rasa
tersebut berlangsung dengan damai. Para peserta unjuk rasa menggelar doa
bersama, buka puasa bersama hingga Salat Tarawih berjamaah di depan
Kantor Bawaslu.
Pukul 21.00 WIB
Usai Salat Tarawih berjamaah, pihak kepolisian mengimbau agar massa
aksi membubarkan diri secara tertib. Para massa aksi pun menyambut
imbauan tersebut dengan baik, sebelum membubarkan diri mereka
bersalaman dengan kepolisian yang berjaga di depan Kantor Bawaslu. Satu
per satu massa aksi pun membubarkan diri kembali ke rumah. Kondisi
masih berjalan tertib, damai dan kondusif.
Pukul 23.00 WIB
Tiba-tiba massa misterius datang menuju depan Kantor Bawaslu.
Mereka langsung melakukan aksi anarkis dan provokatif dengan merusak
pagar kawat yang dipasang oleh petugas. Sesuai dengan SOP yang berlaku,
tidak diizinkan adanya aksi unjuk rasa hingga larut malam. Polisi pun
mendorong massa hingga ke Jalan Sabang dan Wahid Hasyim. Namun
bentrokan justru terjadi, massa misterius tersebut melempari batu, petasan,
hingga bom molotov ke arah para petugas. Polisi telah mengeluarkan
imbauan untuk membubarkan diri hingga pukul 3.00 WIB. Namun imbauan
tersebut tak diindahkan, polisi terus mendorong maksa hingga massa
terpecah sebagian ke arah Jalan Sabang dan sebagian ke gang-gang kecil.
Pukul 2.45 WIB
Sekira pukul 2.45 WIB, polisi telah berhasil mengurai massa yang
sebelumnya rusuh di sekitar Kantor Bawaslu. Namun, tiba-tiba muncul
massa baru misterius
Pukul 3.00 WIB
Pada saat yang bersamaan, muncul massa baru sekitar 200 orang
berkumpul di KS Tubun, Jakarta Barat. Polisi menduga massa tersebut
sudah dipersiapkan. Polisi pun memberikan imbauan untuk membubarkan
diri. Namun, massa tersebut justru melakukan penyerangan ke arah asrama
Mabes Polri di Petamburan dengan bom molotov, petasan dan botol.
Petugas di asrama berusaha mengurai massa dengan menembakkan gas air
mata, massa terus merangsek masuk ke dalam asrama Brimob. Puluhan
mobil yang terparkir baik kendaraan dinas maupun pribadi dibakar.Total
ada 11 mobil pribadi dan tiga mobil dinas yang terbakar. Sementara itu ada
11 unit mobil yang mengalami kerusakan.
Pukul 5.00 WIB
Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono tiba di lokasi asrama
Brimob. massa misterius tersebut masih berada di lokasi.
Polisi mengamankan 11 orang diduga provokator di lokasi tersebut.
Sejumlah orang yang terluka pun langsung dievakuasi (Sadikin,2019).

C. Daftar Korban Demo Rusuh per 22 Mei 2019


Daftar korban yang masuk IGD RSAL Mintohardjo:
1. M Raihan Fajri, 16th: luka tembak kepala [meninggal dunia]
2. M Ilham, 16th: trauma gas airmata
3. Darmanto, 22th: trauma peluru karet mata kanan
4. Sudiarto, 52th: trauma peluru karet kapala
5. Iqbal, 26th: trauma peluru karet paha kanan
6. Syaifuddin, 35th: trauma peluru karet leher
7. Ahmad Fitriansyah: trauma peluru karet paha kanan
8. Syahromi, 38th: trauma peluru karet lengan kanan
9. Ruri: trauma peluru karet leher (tembus trakea) rawat icu
10. Djumadil, 24th: luka peluru karet lengan kiri
11. Rizal, 20th: trauma peluru karet punggung
12. Tri Bayuno: luka tembak paha (kamar operasi)
13. Nanang, 59th: trauma peluru karet dada
14. Abdul Rohim, 27th: VL tangan
15. Marley, 21th: luka tembak peluru karet kaki kiri
16. Zulkifli: luka tembak peluru karet paha kanan
17. Rizki: luka tembak peluru karet pipi kiri

Daftar korban yang masuk RS Tarakan: 73 orang [40 orang sudah dipulangkan,
32 orang masih dirawat, 1 dan 1 orang meninggal dunia]. Korban meningal
bernama Adam Nooryan, 17 tahun.

Daftar korban di RSCM Jakarta Pusat:


1. Ryuti Hyartuti Winduwarti: luka kepala di bagian belakang.
2. Ade Saputra: mengalami bocor di kepala
3.Abadiat, merasa pusing
(Fauzan,2019)
Sementara itu, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi
Saputra menyatakan empat dari sembilan korban meninggal di kerusuhan 21-
22 Mei tewas akibat peluru tajam. Sedangkan untuk lima korban meninggal
lainnya, menurut Asep, kepolisian telah mengetahui lokasi penemuannya
sebelum dibawa ke rumah sakit, yakni di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat.
Pihak aparat menduga bahwa 9 orang tersebut adalah perusuh. Investigasi
secara komprehensif masih terus berlanjut dan tidak hanya fokus pada 9
korban ini.
Jajaran Polda Metro Jaya mendata polisi yang menjadi korban serta
kerugian material dalam rusuh Mei 2019. "Ada 234 personel Polri yang jadi
korban serta ada kerusakan bangunan," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya
Kombes Pol Argo Yuwono di Polda Metro Jaya. Menurut data polisi, ada
sejumlah kerusakan bangunan akibat kerusuhan yaitu Asrama Brimob
Petamburan, Pos Polisi Sektor Sabang, Pos Polisi Sektor Cut Meutia, Pos
Polisi Sektor Slipi Jaya, tiga ruko di Petamburan. Selain itu, ada juga
kendaraan polisi yang menjadi sasaran massa (Briantika,2019).

D. Tersangka Dalang di Balik Upaya Pembunuhan 5 Tokoh pada 22 Mei


2019
1. Purn Soenarko sebagai penyedia senjata
2. HR meminta bantuan B untuk membuat surat security item.
3. B lantas membuat surat keterangan palsu atas nama Kabinda (Kepala
Badan Intelijen
4. Habil marati berperan memberikan uang ke Kivlan Zen. Ia juga telah
memberikan uang 60 juta secara langsung ke HK untuk biaya operasional.
5. Purn kivlan zein memberikan perintah untuk mencari eksekutor. Ia telah
memberikan uang 150 juta untuk membeli senpi. Terakhir, ia telah berikan
target operasi.
6. HK = pemimpin eksekutor
7. IR yang bertugas memfoto dan memvideokan rumah dari Yunarto Wijaya
seorang Direktur Eksekutif Charta Politica
8. TJ yang mendapatkan perintah dari Kivlan Zen melalui HS sebagai
eksekutor 4 tokoh nasional.
(Gabrilin,2019)
BAB III
PEMBAHASAN

22 Mei 2019 jelas tak dapat dibenarkan dari sisi manapun. Targetnya


adalah merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara sehingga memantik
amarah mereka untuk menggulingkan kekuasaan. Perkembangan jalannya protes
kepada KPU dan Bawaslu menunjukkan kecenderungan untuk rusuh dan anarkis.
Sudah banyak kendaraan dan barang dirusak atau dibakar. Bahkan korban jiwa.
Pemilu 2019 yang berbiaya besar kini dicemari oleh perilaku pihak yang tak
dewasa. Tidak hanya mengklaim menang tanpa data memadai, oknum ini terus
mendelegitimasi lembaga-lembaga negara produk UU yang telah ditetapkan
sebagai pelaksana Pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, bahkan Kepolisian, hingga
MK. Secara terang-terangan mereka menyatakan menolak lembaga konstitusi
tersebut, bahkan memprovokasi para pendukung agar mengambil aksi jalanan.
Ulah oknum tersebut, tidak hanya noda bagi demokrasi Indonesia, tapi juga
membahayakan keberlangsungan demokrasi dan pembangunan nasional NKRI
yang dengan susah payah dirawat sejak reformasi 98.
Dalam negara yang sangat majemuk, indikasi adanya gejala keterpecahan
sosial sekecil apapun jelas harus diwaspadai dan disikapi secara serius dan bijak.
Sebab, Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Sebagaimana diketahui,
menurut sensus BPS 2010 di Indonesia ada 1.340 suku bangsa. Bahkan, semua
agama-agama dunia pun juga ada di Indonesia.
Selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang moderat dan sangat
toleran. Hubungan antarsuku bangsa, ras, dan agama relatif baik. Hal tersebut
terbukti dari adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi prinsip hidup
berbangsa dan bernegara.
Tetapi, menjelang dan saat pilpres kali ini ciri khas masyarakat Indonesia
yang selama ini dikenal sopan, santun, ramah dan penuh keadaban seperti
mengalami perubahan. Sebagiannya terjebak ke dalam perilaku kekerasan dan
bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya. Sulit dinafikan bahwa nuansa panasnya
politik dalam Pilpres 2019 berbeda dengan pilpres sebelumnya.
Faktor utamanya kiranya bukan karena Pilpres 2019 langsung bersifat
head to head, karena hal tersebut juga terjadi pada 2014. Agaknya hal tersebut
lebih didorong oleh faktor ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap sejumlah
kebijakan yang dalam hal ini khususnya dirasakan oleh sebagian umat Islam.
Isunya antara lain mulai dari dugaan penganiayaan ulama oleh orang gila dan
kriminalisasi ulama. Isu dugaan banjirnya tenaga kerja asing (TKA) China ke
Indonesia semakin memperkeruh suasana. Pilpres pun marak diwarnai politisasi
agama.
Fenomena tersebut sesungguhnya bukan hal baru karena hal tersebut
selalu terjadi dalam setiap pemilu. Dalam Pilpres 2019 fenomena tersebut tampak
di kedua belah pihak pasangan calon (paslon) capres-cawapres karena keduanya
sama-sama menganggap didukung oleh ulama. Oleh karena itu, perseteruan yang
paling menonjol adalah perseteruan antarumat Islam yang masing-masingnya
didukung oleh beberapa ormas Islam. Maka, tidak berlebihan jika Pilpres 2019
disebut sebagai pertarungan antarsesama ulama karena keduanya sama-sama
menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemenangan capres-
cawapresnya.
Pemilu pada dasarnya merupakan kontestasi pilihan. Oleh karena itu,
perbedaan pilihan politik merupakan sebuah keniscayaan. Dengan pemilu rakyat
diberi kesempatan untuk menilai calon yang dipandangnya lebih mampu untuk
mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Karenanya yang dibutuhkan dalam
kampanye adalah tentang visi, misi, program dari masing-masing paslon
pendukung capres/cawapres berikut kelebihan dan kekurangannya.
Kritik dan saling adu argumentasi merupakan suatu hal yang niscaya.
Dengan itu rakyat bisa lebih jernih dalam memilih calon pemimpinnya. Bukan
saling hujat dan saling melempar ujaran kebencian, hoax, dan bentuk kampanye
hitam. Yang tersebut belakangan ini justru yang paling tampak dalam pilpres.
Nilai etika seolah tercerabut dari akar budaya politik yang ditanamkan leluhur dan
para guru bangsa.
Akibatnya, pemimpin yang terpilih merupakan pemimpin yang
legitimasinya lebih didasarkan pada emosi dan perasaan, bukan pada
kapabilitas, track record, dan kinerja.
Fenomena terkoyaknya kohesi sosial dalam masyarakat Indonesia saat ini
jelas merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian. Setidaknya ada
empat elemen yang tidak dapat dipisahkan terkait munculnya disharmoni yang
mengarah kepada konflik sosial. Keempat elemen tersebut secara garis besar
merupakan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa: (a) kesetaraan tanpa
adanya diskriminasi; (b) harkat dan martabat dijunjung tinggi; (c) komitmen untuk
berpartisipasi; dan (d) kebebasan individu terkait pengembangan diri. Keempat
hal tersebut saling terkait dan saling tergantung satu sama lain.
Dalam konteks pilpres penguatan kohesi sosial tersebut dapat terjadi jika
penyelenggara pemilu khususnya, mampu merebut kepercayaan publik sebagai
lembaga yang independen, netral, dan profesional. Persoalan inilah yang kini
menjadi tantangan besar penyelenggara pemilu dan pemerintah. Kegagalan
penyelenggara pemilu dalam menjawab dugaan adanya kecurangan pilpres dapat
berakibat pada terdelegitimasinya hasil pilpres.
Kondisi bangsa saat ini yang rentan perpecahan perlu mendapat perhatian
serius dari tokoh-tokoh bangsa, khususnya tokoh agama dan ormas keagamaan.
Wacana tentang "people power" tak bisa dipandang dengan sebelah mata, karena
hal tersebut dimunculkan bukan oleh tokoh biasa. Jika terjadi konflik horizontal
ongkos politik yang harus dibayar bangsa Indonesia akan sangat mahal.
Pembangunan yang telah dilakukan menjadi sia-sia, dan cita-cita kemakmuran
bersama pun akan menjadi semakin jauh dari harapan.
Oleh karena itu, semua pihak mestinya sama-sama berusaha
mengenyahkan egosentrisme dan primordialisme (baik keagamaan maupun
kesukuan). Rekonsiliasi antarsesama anak bangsa harus segera dirajut. Salah
satunya adalah dengan menunjukkan kedewasaan sikap dari pemenang pilpres
untuk tidak melakukan kebijakan "the winner takes all". Seperti kata Bung Karno,
gotong royong adalah ruh bangsa Indonesia. Dengan kata lain negara ini
diperjuangkan dan harus dibangun secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama.
Jika diamati secara mendalam, menguatnya fenomena perpecahan bangsa
terjadi karena kegagalan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi
secara signifikan. 
Hal ini tentunya memerlukan keberpihakan yang besar dari pemerintah
Indonesia untuk mengedepankan dan memfasilitasi produk sendiri agar bisa
berkembang lebih pesat.
Secara teoretis konflik atau sengketa dalam pemilu bisa diredam jika
peserta pemilu (parpol), penyelenggara pemilu, pemerintah, dan institusi penegak
hukum mampu memperlihatkan profesionalitas, independensinya, tidak partisan,
dan memiliki komitmen yang tinggi dalam menyukseskan pemilu.
Hal tersebut perlu dilakukan karena sistem demokrasi memerlukan
stabilitas politik dan keamanan yang memadai. Hal tersebut penting untuk
mengantisipasi dan memberi solusi terhadap ketidakpuasan kolektif masyarakat
atas rasa ketidakadilan agar tidak membesar dan mengganggu jalannya
pembangunan. Yang diperlukan adalah komitmen yang kuat
semua stakeholders bangsa untuk melakukan pemerataan pembangunan dengan
menjaga stabilitas dan keamanan.
Kerja sama atau sinergi antaraktor dan elite (stakeholders) serta
masyarakat juga dibutuhkan untuk menggerakkan mesin demokrasi agar menjadi
demokrasi yang sehat, berkualitas, dan bermartabat dapat diwujudkan di
Indonesia.
Berkenaan dengan hal tersebut, peran positif media massa (elektronik dan
cetak) dan medsos perlu ditingkatkan guna meredam terjadinya kegaduhan politik
yang berpotensi menjadi ancaman terhadap persatuan nasional. Hal yang sama
juga penting untuk diperlihatkan kampus/mahasiswa/intelektual dalam proses
pembangunan demokrasi. Sejarah Indonesia telah menunjukkan peran penting
mereka, khususnya dalam menyelesaikan kegentingan yang dihadapi bangsa dan
negara.
Di tengah tingginya suhu politik pasca pencoblosan pilpres, trust
building merupakan suatu keniscayaan yang perlu dilakukan. Tumbuhnya rasa
saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi
syarat utama terbangunnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat dan
menjadi tolok ukur kesuksesan Pemilu 2019. Secara teoretis konflik atau sengketa
dalam pemilu bisa diredam jika peserta pemilu (parpol), penyelenggara pemilu,
pemerintah, dan institusi penegak hukum mampu memperlihatkan profesionalitas,
independensinya, tidak partisan, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam
menyukseskan pemilu.
Sejauh ini Indonesia mampu melaksanakan pemilu yang aman dan damai.
Pemilu 2019 tak hanya diharapkan menjadi tiang pancang bagi sarana suksesi
kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi
ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI.
Dengan tantangan yang cukup besar dalam menjalani Pemilu 2019,
konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi
dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4
terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya
sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
BAB IV
SIMPULAN

IV.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil simpulan sebagai
berikut:
1. Kerusuhan aksi 22Mei pasca pengumuman pemilu sangatlah merugikan
banyak pihak baik karena kerusuhan tersebut merugikan secara material dan
memakan banyak korban jiwa.
2. Faktor penyebab terjadinya kerusuhan pasca pengumuman pemilu ialah
ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
3. Untuk mengatasi kerusuhan aksi 22 Mei perlu diperlukan sinergitas
berbagai pihak mulai dari pemerintah,masyarakat dan elit parpol agar dapat
menciptakan demokrasi yang sehat dan anti kerusuhan.

Anda mungkin juga menyukai