Paper Histosol - Kelas B - Kelompok 1
Paper Histosol - Kelas B - Kelompok 1
Di susun oleh :
Fajril Akbar Ath-Thoriqo H NIM. 205040201111074
Ayu Puspita Ningrum NIM. 205040201111083
Ardila Tri Setiawati NIM. 205040201111099
Refi Erika Mahdiyyah NIM. 205040201111118
Kelas : B
Dosen : Prof. Dr. Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc
c. Klasifikasi Tanah
Kunci Taksonomi Tanah (KTT) 2014
Alasan
Epipedon Histik - Tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan 20 sampai
60 cm, dimana pada horizon
memiliki kedalaman
epipedon yang mengandung
bahan organik material
hemic.
- Lokasi yang berada di
dataran tinggi, membuat
tanah jenuh air selama ≥ 30
hari dan terjadi proses
reduksi.
Ordo Histosol - Memiliki lapisan tanah
dengan bahan organik
hingga kedalaman lebih dari
40 cm
- Memiliki bahan tanah
organic (saprik, hemik)
- Tidak memiliki sifat tanah
andik
Sub Ordo Hemist - Mempunyai kedalaman dari
bahan organik hemik yang
tidak memenuhi dari sub
ordo lainnya
Grup Haplohemist Hemist yang lain
Sub Grup Hydryc haplohemist - Memiliki lapisan air didalam
penampang kontrol
Klasifikasi Tanah Nasional (KTN)
Alasan
Jenis Tanah Organosol - Tanah dengan adanya bahan
organik tinggi yang memiliki
ketebalan >50 cm
- Terdapat lapisan bahan
hemic dan sapric
- Kadar C-Organik > 12%
Macam Tanah Organosol Hemik - Tanah gambut ini memiliki
tingkat kematangan dari
bahan induk dominan hemik
World Reference Base for Soil Resources (WRB) 2014
Alasan
RSG Histosol - Tanah yang memiliki lapisan
bahan organik dengan
ketebalan >10 cm.
Principal Hemic - Hemic : Memiliki bahan
qualifier organik < 2/3 dan ≥ 1/6 bahan
organik dari jaringan tanaman
yang dapat dikenali dalam 100
cm dari permukaan tanah.
Supplementary Hyperorganic Terdapat tingkat kematangan
qualifier didominasi hemic dari
kedalaman 60-130 cm yang
mulai terdekomposisi sebagian,
sehingga diasumsikan lapisan
bawahnya memiliki tingkat
kematangan fibrik atau bahan
organik yang mentah
Final Hemic Hyperorganic Histosols
Classification
Permasalahan dan Pengelolaan
Pembentukan tanah gambut yang berasal dari pelapukan berbagai macam
tumbuhan terutama di wilayah dataran rendah dan selalu tergenang air menjadikan
jenis tanah ini memiliki kandungan bahan organic yang sangat tinggi, yaitu lebih
dari 75% (Dariah et al., 2014). Berdasarkan bahan dan proses pembentukannya,
tanah gambut tidak terlepas dari beberapa permasalahan yang dimilikinya,
diantaranya yaitu:
a. Tingginya kandungan bahan organic, nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation)
dengan pH dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah menjadikan tanah
gambut kurang mendukung untuk memiliki kandungan unsur hara yang
tinggi (miskin hara)
b. Kandungan mineral sangat rendah (umumnya kurang dari 5%) sehingga
tingkat kesuburan tanahnya sangat rendah
c. Lahan gambut dapat mengandung berbagai macam asam organik, dimana
beberapa di antaranya bersifat beracun bagi tanaman (asam fenolat) (Ritung
dan Sukarman, 2014).
d. Tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah) menjadi sebagai factor
pembatas pada tanah gambut untuk kegiatan pertanian. Kondisi tanah yang
masam dengan kesuburan yang rendah menjadikan tanaman mengalami
pertumbuhan yang lambat. Tingkat kemasaman tersebut diakibatkan adanya
hidrolisis asam-asam organik dan kondisi drainase yang buruk
e. Gambut memiliki kadar air yang sangat tinggi (kadar air mampu mencapai
13 kali dari bobot) sehingga berat jenis tanah juga rendah. Kondisi tersebut
menyebabkan gambut menjadi cenderung lembek dan tidak mampu
menahan beban dan menyebabkan tanaman sering roboh (Darmawan et al.,
2016).
Berdasarkan permasalahan yang terdapat di lahan gambut, lahan tersebut masih
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai peruntukan yang lain. Dengan begitu
maka perlu dilakukannyaa pengelolaan. Beberapa upaya pengelolaan yang dapat
dilakukan diantaranya yaitu:
a. Pembuatan saluran drainase untuk dapat menurunkan permukaan air tanah
sehingga akan tercipta kondisi yang aerob di zona perakaran tanaman.
Selain itu drainase juga akan menurunkan konsentrasi asam organic yang
terkadung pada lahan gambut. Namun, perlu dipastikan bahwa lahan gmbut
tidakk boleh terlalu kering sebab akan menyebabkan kerusakan pada tanah
serta dapat menimbulkan emisi gas rumah kaca (Sarwo dan Subekti, 2019).
b. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai menjadi sangat penting. Perlu dipilih
tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi di lahan gambut gar
produktivitas dapat meningkat, diantaranya yaitu tanaman sayuran
(kangkung, selada, tomat, cabai, bayam) dan buah-buahan (nanas, melon,
papaya, semangka) (Masganti et al., 2017).
c. Pemberian bahan ameliorant seperti kapur, tanah mineral, pupuk kandang
maupun abu hasil sisa pembakaran dapat dijadikan sebagai bahan untuk
meningkatkan pH tanah dan mengendalikan keberadaan asam beracum
dalam tanah gambut
d. Pemupukan yang mengandung unsur N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro
lainnya akan membantu meningkatkan kesuburan tanah pada lahan gambut
yang miskin hara (Irma et al., 2018).
KESIMPULAN
Tanah gambut yang berasal dari pelapukan berbagai macam tumbuhan terutama
di wilayah dataran rendah dan selalu tergenang air menjadikan jenis tanah ini
memiliki kandungan bahan organic yang sangat tinggi. Karakteristik yang dimiliki
oleh lahan ini diantaranya memiliki kandungan bahan organik dan nilai KTK
(Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi. Sedangkan pH dan nilai KB (kejenuhan basa)
memiliki nilai yang rendah. Kondisi tersebut menjadikan tanah histosol memiliki
beberapa permasalahan, diantaranya yaitu tanahnya sangat masam, kesuburan tanah
rendah, serta kandungan airnya sangat tinggi sehingga produktivitas lahan nya pun
rendah. Pengelolaan yang dapat dilakukan berupa pembuatan saluran drainase,
pemupukan (unsur makro maupun mikro), serta penambahan bahan amelioran
(kapur, tanah mineral, abu sisa pembakaran) dan melakukan pemilihan jenis
tanaman yang sesuai (sayur dan buah-buahan).
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., dan Subiksa, I. G. M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Agustha, M., B., P., Anggita, n., A. Mayfinda, A., R. 2022. Biodiversitas Tanah :
Keragaman Tanah di Indonesia. Himaba FKT UGM.
https://himaba.fkt.ugm.ac.id/2022/04/01/biodiversitas-
2/#:~:text=Tanah%20histosol%20yang%20saat%20ini,jangka%20waktu%2
0yang%20cukup%20lama. Diakses pada 06/05/2023.
Darmawan, B., Sukendi., dan Zahrah, S. 2016. Pengelolaan Keberlanjutan
Ekosistem Hutan Rawa Gambut Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan di
Semenanjung Kampar Sumatera. Dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan,
Vol. 23 No. 2, Juli 2016, hlm. 195- 205. Pekanbaru: Universitas Riau.
Dariah, Ai., Eni Maftuah, dan Maswar. 2014. Panduan Pengelolaan Berkelanjutan
Lahan Gambut Terdegradasi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian).
Giesen, W., Agus, F., & Klinger, R. 2012. Soil classification for soil conservation
planning in Indonesia. Soil Research, 50(8), 629-638.
Guo, Q. S. (2019). Heavy metals interact with the microbial community and affect
biogas production in anaerobic digestion. J Environ Manage, 15;240, 266-
272.
Irma, W., Gunawan, T., dan Suratman. 2018. Pengaruh Konservasi Lahan Gambut
Terhadap Ketahanan Lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera.
Dalam Jurnal Ketanahan Nasional, Vol. 24 No. 2, Agustus 2018, hlm. 170-
191. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Masganti., Khairil., dan Maulia. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Dangkal Untuk Pertanian. Dalam Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 11 No. 1,
Juli 2017, hlm. 43-52. Kalimantan Selatan: Balai Penelitian Lahan Rawa.
Masganti, W. A. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut
Terdegradasi di provins riau. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1,ISSN
1907-0799, 59-66.
Mukhlis. 2014. Biodegradasi Bahan Organik Oleh Mikroba Dan Pengaruhnya
Terhadap Tanaman Padi Di Lahan Gambut. Jurnal Agric Vol.26, No. 1 & 2,
37-44.
Mutammimah, U. S. 2020. Efektivitas Pupuk Organik pada Nitrogen, Fosfor, dan
Produksi Kedelai di tanah masam. Seminar Nasional dalam Rangka Dies
Natalis ke-44 UNS Tahun 2020 “Strategi Ketahanan Pangan Masa New
Normal Covid-19”, Vol 4, No. 1, E-ISSN: 2615-7721, 221 - 231.
Neto, E. C. D. S., Pereira, M. G., Carvalho, M. D. A., Calegari, M. G., Schiavo, J.
A., Paulasa, N. D., Anjos, L. H. C. D., and Pessenda, L. C. R. 2019.
Palaeoenvironmental Records of Histosol Pedogenesis in Upland Area,
Espirito Santo State (SE, Brazil). Journal of South American Earth Science.
95: 1-12.
Purba, D. K. T., Mukhlis., dan Supriadi. 2017. Klasifikasi Tanah Gambut di Dataran
Tinggi Toba. Jurnal Agroekoteknologi FP USU. 5(1): 103-112.
Rina, Y., dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan
pengelolaannya. Dalam Muhlis et al. (Eds). Kearifan Lokal Pertanian di
Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor. Halaman:95-107.
Ritung, S., dan Sukarman. 2014. Kesesuaian Lahan Gambut Untuk Pertanian.
Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Sihite, L. W., Marbun, P., dan Mukhlis. 2013. Klasifikasi Tanah Gambut Topogen
yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi
Arabika dan Hortikultura. Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(1): 200-212.
Sitohang, E. J. 2021. Characteristics and classification of coastal peat in
conservation forest at Labuhanbatu, Sumatera Utara, Indonesia. International
Conference on Agriculture, Environment and Food Security 782, 1-7.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States
Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 338
halaman.
Staff., S. S. 2014. Keys to Soil Taxonomy. 12th edition. United States Department
of Agriculture NaturalResources Conservation Service.Washington D. C. US.
Sukarman. 2015. Pembentukan, Sebaran dan Kesesuaian Lahan Gambut Indonesia:
Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. Bogor:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sarwo, A., dan Subekti, S. 2019. Pengelolaan Ekosistem Gambut Sebagai Upaya
Mitigasi Perubahan Iklim di Provinsi Kalimanta Selatan. Dalam Jurnal
Planologi, Vol. 16 No. 2, Oktober 2019, hlm. 219-237. Semarang: Universitas
Pandanaran.
WRB. 2015. (World Reference Base). International Soil Classification System for
Naming Soils and Creating Legends for Soil Maps. , Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Yu, Z., Beilman, D. W., Frolking, S., MacDonald, G. M., & Roulet, N. T. 2014.
Peatlands and their role in the global carbon cycle. Eos, Transactions
American Geophysical Union, 95(22), 189-190.