Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KULIAH

MORFOLOGI GENESIS DAN KLASIFIKASI TANAH


Kelompok 1 Histosols

Di susun oleh :
Fajril Akbar Ath-Thoriqo H NIM. 205040201111074
Ayu Puspita Ningrum NIM. 205040201111083
Ardila Tri Setiawati NIM. 205040201111099
Refi Erika Mahdiyyah NIM. 205040201111118

Kelas : B
Dosen : Prof. Dr. Ir. Sri Rahayu Utami, M.Sc

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
Karakteristik Tanah Histosol
Tanah Histosol atau tanah orgonosol atau biasa disebut tanah gambut
merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik yang seperti sisa-
sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tanah ini umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali
didrainase (Shite et al., 2013). Tanah gambut terdapat pada lapisan tanah paling
atas, dan tanah alluvial di lapisan bawah pada kedalam bervariasi. Jika terdapat
ketebalan gambut lebih dari 50 cm disebut sebagai lahan gambut, sehingga lahan
gambut merupakan lahan rawa dengan ketebalam gambut lebih dari 50 cm.
Jenis tanah ini mengandung banyak bahan organik sehingga tidak mengalami
perkembangan kearah terbentuknya horizon-horison yang berbeda, berwarna coklat
kelam hingga hitam dengan kadar air tinggi dan pH tanah asam (pH 3-5). Kriteria
kesesuaian lahan gambut sangat berbeda dengan tanah mineral. Tanah ini memiliki
sifat tanah atau lahan gambut yang menjadi kriteria dalam penilaian, diantaranya
kematangan gambut, drainase atau genangan, ketebalan gambut, dan substratum
bahan sulfidik atau substratum pasir. Karaktersitik tanah histosol memiliki kadar
bahan organik dan kadar air yang tinggi, dengan berat isi yang kecil, dan daya
menahan beban rendah (Purba et al., 2017). Tanah gambut memiliki sifat yang
mengering tak balik atau irreversible drying) sehingga tidak bisa menyerap air
kembali, bila digenangi. Menurut Soil Survey Staff (2010), tanah histosol menjadi
tanah lapisan bahan organik dengan ketebalan >40 cm dengan berat isi (BD) >0,1
g/cm3.
Menurut Agus dan Subiksa (2008), sifat khas yang dimiliki tanah hostisol
yaitu memiliki kemasaman tanah dengan kapasitas jerapan tinggi, namun basa-basa
tukar rendah, dan unsur-unsru mukro yang sangat rendah karena bukan berasal dari
bahan mineral dan jika ada maka akan diikat kuat oleh bahan organik sehingga
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Tanah gambut juga dapat mengalami subsiden
atau penurunan permukaan akibat penyusutan volume gambut yang disebabkan
oleh drainase dan adanya proses dekomposisi. Lahan gambut umumnya ditemukan
di dataran rendah dengan topogradi yang cekung sehinggan digenangi air yang tidak
mudah hilang.
Topogradi ini biasanya terdapat pada wilayah datar dan biasanya berada pada
dataran rendah (Sukarman, 2015). Kondisi ini menyebabkan proses dekomposisi
bahan organik lebih lambat dari proses penimbunan sehingga terjadi akumulasi
bahan organik yang semakin lama semakin tebal. Lahan gambut biasa ditemukan
di daerah rawa pasang surut maupun di daerah rawa lebak. Histosol tergolong tanah
marginal, karena memiliki sifat kimia yang kurang baik. Reaksi tanah yang masam,
kadar hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan hara mikro B, Cu, Zn yang rendah, serta
kapasitas tukar kation yang memiliki kadar tinggi dengan kejenuhan basa yang
rendah. Tingkat dekomposisi atau kematanagannya dibedakan menjadi: (a) gambut
fibrik, yaitu tanah gambut yang mentah atau belum melepuk dan jika diremas masih
mengandung serat ≥75% (berdasarkan volume); (b) gambut hemik, yaitu tanah
gambut setengah matang dengan serat antara 17-74%; (c) gambut saprik, yaitu
tanah gambut yang sudah matang atau lapuk dengan serat <17% ; dan (d) gambut
folists yaitu gambut yang jenuh air kurang dari 30 hari selama setahun dan tidak
didrainase secara buatan.
Proses Pembentukan Tanah Histosol
Histosol sendiri bermakna jaringan, tanah histosol atau tanah gambut
terbentuk dikarenakan adanya proses akumulasi bahan organik seperti sisa-sisa
jaringan tumbuhan yang berlangsung lama (Agustha et al. 2022). Hal ini didukung
oleh pernyataan Giesen et al. (2012), dalam tanah Histosol, bahan organik
mengalami dekomposisi yang sangat lambat karena rendahnya ketersediaan
oksigen. Kelembaban yang tinggi dan konsentrasi oksigen yang rendah di dalam air
rawa-rawa menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi mikroorganisme
yang bertanggung jawab untuk mendekomposisi bahan organik. Hal ini
menyebabkan akumulasi bahan organik yang tidak terurai dengan baik dalam
lapisan tanah histosol. Proses selanjutnya adalah pengendapan bahan organik.
Ketika tumbuhan mati dan serasah jatuh ke permukaan rawa, mereka terperangkap
di air atau sedimen rawa. Sedimen ini lambat laun mengendap dan menumpuk di
dasar rawa, membentuk lapisan organik yang semakin tebal seiring berjalannya
waktu. Proses pengendapan ini dapat memakan waktu ratusan hingga ribuan tahun.
Dalam penelitian oleh Yu et al. 2014, ditemukan bahwa jenis vegetasi yang tumbuh
di atas tanah Histosol juga mempengaruhi proses pembentukannya. Tanah Histosol
yang terbentuk di rawa-rawa dengan vegetasi yang didominasi oleh lumut dan
rerumputan memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah Histosol yang terbentuk di rawa-rawa dengan vegetasi pohon yang
dominan. Lahan gambut mempunyai banyak manfaat, diantaranya yang utama adalah
pencegah banjir di musim hujan dan mencegah kekeringan di musim kemarau. Lahan gambut
memiliki kemampuan luar biasa untuk menampung air pada musim hujan. Manfaat gambut
lainnya adalah sebagai habitat bagi kehidupan berbagai macam satwa dan tumbuhan serta lahan
budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan yang menguntungkan apabila dikelola secara
baik. (Rina dan Noorginayuwati 2007; Masganti dan Yuliani 2009; Masganti 2013).
Klasifikasi Tanah Histosol
1. Fajril Akbar Ath-Thoriqo Haq (Typic Haplohemist)
Lokasi Taman Nasional Itatiaia (INP), Rio de Janeiro, Brazil
Ketinggian 2100 mdpl
Penggunan lahan Taman Nasional
Epipedon Histik
Endopedon Spodik
a. Data Morfologi Typic Haplohemist

b. Data Fisika Tanah Typic Haplohemist

c. Data Kimia Tanah Typic Haplohemist

Kunci Taksonomi Tanah (KTT) 2014


Alasan
Epipedon Histik - Konsisten dengan muka air
tanah yang tinggi karena
posisinya di dasar lembah
dan drainase yang buruk
- Tersusun atas bahan organik
(hemik) dengan ketebalan 57
cm
Endopedon Spodik - Nilai pH kurang dari 5,9 dan
nilai C-organik lebih dari 0,6
%
- Hue 10 YR dengan value
kurang dari 5 serta kroma 2
- Adanya gleisasi pada horizon
(Cg1 dan Cg2)
Ordo Histosol Memiliki bahan tanah organik
yang menyusun 2/3 atau lebih
ketebalan total (0-58 cm)
Sub Ordo Hemists Histosol yang lain
Grup Haplohemists Hemists yang lain
Sub Grup Typic Haplohemist Haplohemist yang lain
Klasifikasi Tanah Nasional (KTN)
Alasan
Jenis Tanah Organosol - Memiliki bahan saprik < 15%
- memiliki horizon H >50 cm
(58 cm, dengan berat isi < 1
g/cm3)
Macam Tanah Organosol hemik Organosol lain yang
didominasi bahan hemik
setebal 50 cm (58 cm)
World Reference Base for Soil Resources (WRB) 2014
Alasan
RSG Histosol Tanah memiliki bahan organik
> 10 cm
Principal Dystric, Hemic, Sapric - Dystric: karena memiliki pH
qualifier < 5,5
- Hemic: karena memiliki
bahan organik yang terdiri
dari jaringan tanaman yang
dapat dikenali pada
kedalaman 100 cm dari
permukaan tanah (0-58 cm)
- Sapric: karena memiliki
bahan organik yang terdiri
dari jaringan tanaman yang
dapat dikenali pada
kedalaman 100 cm dari
permukaan tanah (58-100+
cm)
Supplementary Gelic, mineralic - Gelic: karena memiliki
qualifier temperatur < 0 ° C (- 10° C),
tidak memiliki horizon cryic
- Mineralic: karena memiliki
lapisan tanah mineral < 100
cm dengan ketebalan > 20 cm
(58 – 100+ cm, clay loam)
Final Gelic Mineralic Dystric Hemic Sapric Histosols
Classification
2. Ayu Puspita Ningrum (Hemic Haplosaprists)
Lokasi Kota Castelo, Espirito Santo, Brazil
Ketinggian 2.032 mdpl
Koordinat 20o 30’ 01” S 41o 05’ 32” W
Penggunan lahan Lahan Gambut
Epipedon Histik
Endopedon Sombrik
a. Data Morfologi dan Fisika Hemic Haplosaprists

b. Data Kimia Tanah Hemic Haplosaprists

Kunci Taksonomi Tanah (KTT) 2014


Alasan
Epipedon Histik - Tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan 20 sampai 60
cm, dimana pada horizon
memiliki kedalaman epipedon
yang mengandung bahan
organik material hemic.
- Lokasi yang berada di dataran
tinggi, membuat tanah jenuh air
selama ≥ 30 hari dan terjadi
proses reduksi.
Endopedon Sombrik - KB < 50%, yaitu dengan rata-
rata KB 2%.
- Mengandung lebih banyak
bahan organik dibandingkan
horison di atasnya
- Memiliki warna yang gelap
akibat iluviasi bahan organik
namun tidak mengandung Fe.
Ordo Histosol - Memiliki lapisan tanah
dengan bahan organik hingga
kedalaman lebih dari 40 cm
dengan bahan organik hemic
dan sapric
- Tidak memiliki sifat tanah
andik
Sub Ordo Saprist - Histosol yang mengandung
bahan saprik yang lebih
dominan yaitu 73 cm dari 136
cm horizon.
- Tanah dengan kadar air cukup
rendah, dan dekomposisi tinggi
dan sempurna.
Grup Haplosaprists Saprist yang lain
Sub Grup - Memiliki satu atau lebih
lapisan hemik dengan
ketebalan 25 cm atau lebih
dibawah tier permukaan.
Klasifikasi Tanah Nasional (KTN)
Alasan
Jenis Tanah Organosol - Tanah yang memiliki bahan
organik dengan ketebalan >50
cm, dimana mengandung bahan
hemic dan sapric
- Kadar C-Organik > 12%
Macam Tanah Organosol Saprik - Memiliki bahan saprik lebih
dominan dari bahan hemik
pada horizon
- Serat kasar < 15%
World Reference Base for Soil Resources (WRB) 2014
Alasan
RSG Histosol - Tanah yang memiliki lapisan
bahan organik dengan
ketebalan >10 cm.
Principal Dystric, Hemic, Murschic. - Dystric: Memiliki pH < 5.5
qualifier (dengan pH horizon 4,2-5,0)
pada seluruh bahan organik
pada kedalam 100 cm.
- Hemic : Memiliki bahan
organik < 2/3 dan ≥ 1/6 bahan
organik dari jaringan tanaman
yang dapat dikenali dalam 100
cm dari permukaan tanah.
- Murschic : Memiliki horizon
histik setebal ≥ 20 cm dari
permukaan tanah dan memiliki
dengn BI ≥ 0.2 kg.dm-3 dengan
struktur granular sedang hingga
kuat.
Supplementary - Tidak diperoleh penciri yang
qualifier sesuai
Final Dystric Hemic Murschic Histosols
Classification
3. Ardila Tri Setiawati (Typic Sulfosaprist)
Lokasi Kota Mage, Rio de Janeiro, Brazil
Ketinggian 3 mdpl
Penggunan lahan Lahan gambut
Epipedon Histik
Endopedon Sombrik
c. Data Morfologi Typic Sulfosaprist

d. Data Fisika Tanah Typic Sulfosaprist

e. Data Kimia Tanah Typic Sulfosaprist


Kunci Taksonomi Tanah (KTT) 2014
Alasan
Epipedon Histik - Tersusun dari bahan organic
dengan kedalaman lebih dari
20 cm (pada hasil kedalaman
epipedon mencapai 35 cm)
- Kandungan bahan organic
tinggi (rata-rata organic
matter sebesar 43,9%)
- Tanah mengalami saturasi
atau penjenuhan (lokasi
berada di dataran banjir
sehingga tanah berada pada
kondisi hidromorfik).
Endopedon Sombrik - KB < 50% (rata-rata hasil KB
hanya sebesar 15%)
- Value atau chroma pada
horizon lebih rendah
dibandingkan horizon di
atasnya (horizon Sombrik
memiliki value dan chroma
yang lebih rendah (3/3)
dibandingkan pada horizon di
atasnya (4/4))
- Tidak berada di bawah
horizon Albik
- Terdapat di wilayah tropis
maupun subtropics (Profil
tanah pada penelitian
berlokasi di Rio de Janeiro,
Brazil sendiri termasuk
sebagai wilayah tropis dan
beriklim subtropics di bagian
selatan nya).
Ordo Histosol - Memiliki bahan tanah organic
(saprik, hemik)
- Pada kedalaman 40 cm atau
lebih merupakan bahan saprik
atau hemik
- Tidak memiliki sifat tanah
andik.
Sub Ordo Saprist - Histosol dengan bahan saprik
lebih tebal dibanding bahan
tanah organic lain (6/7
horizon merupakan bahan
saprik, 1 horizon hemik).
Grup Sulfosaprist - Saprists yang mempunyai
horizon sulfurik (memiliki
pH rendah dan tinggi sulfat).
Sub Grup Typic sulfosaprist - Semua sulfosaprist.
Klasifikasi Tanah Nasional (KTN)
Alasan
Jenis Tanah Organosol - Tanah dari bahan organik
dengan ketebalan > 50 cm
- Kadar C-organik > 12%.
Macam Tanah Organosol sulfuric - Bahan hemik/saprik dan
horison sulfuric di dalam 50
cm dari permukaan tanah.
World Reference Base for Soil Resources (WRB) 2014
Alasan
RSG Histosol - Tanah dengan bahan organic
yang memiliki ketebalan
lebih dari 10 cm
Principal Murshic, Hyperdystric, - Murshic: memiliki horizon
qualifier Rheic, Hemic histik dengan ketebalan > 20
cm (epipedon histik 0-35 cm),
BI > 0,2 kg/dm3 (rata-rata BI
yang diamati 0,54 kh/dm3),
struktur granular masif
- Hyperdystric: memiliki pH <
5,5 di seluruh bahan organic
pada kedalaman 100 cm dari
permukaan tanah (rata-rata
pH 3,5)
- Rheic: memiliki horizon
histik yang jenuh dengan air
tanah
- Hemic: nilai RF (rubbed
fiber) antara 12%-26%
meningkat pada kedalaman
tanah.
Supplementary - Tidak diperoleh penciri yang
qualifier sesuai.
Final Murshic Hyperdystric Rheic Hemic Histosol
Classification
4. Refi Erika Mahdiyyah (205040201111118) [Hydric haplohemist]
Lokasi : Sidomulyo Village, Bilah Hilir sub district,
Labuhanbatu Regency, Sumatra Utara, Indonesia
Ketinggian : 15 m asl (meter above sea level)
Penggunaan lahan : Lahan gambut
Vegetasi :-
Bahan utama : Wood material atau bahan kayu
Ketebalan gambut :>3m
Epipedon : 0-60 cm Sapric, 60-130 Hemic
Profil tanah Horizon Kedalaman Deskripsi
Oa 0-60 cm Coklat tua kemerahan
(5YR 2.5/2), tingkat
kematangan saprik,
konsistensi agak lengket;
sedikit plastik, batas
menyebar / membaur,
datar.

Oe1 60-90 cm Coklat tua kemerahan


(5YR 2.5/2), tingkat
kematangan hemik,
konsistensi agak lengket;
agak plastis, batas
menyebar / membaur,
datar
Oe2 90-130 cm Hitam kemerahan (10R
2.5/2), tingkat kematangan
hemic, konsistensi agak
lengket; agak plastis, batas
menyebar / membaur,
datar,
a. Data morfologi dan fisika
b. Sifat fisika kimia

c. Klasifikasi Tanah
Kunci Taksonomi Tanah (KTT) 2014
Alasan
Epipedon Histik - Tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan 20 sampai
60 cm, dimana pada horizon
memiliki kedalaman
epipedon yang mengandung
bahan organik material
hemic.
- Lokasi yang berada di
dataran tinggi, membuat
tanah jenuh air selama ≥ 30
hari dan terjadi proses
reduksi.
Ordo Histosol - Memiliki lapisan tanah
dengan bahan organik
hingga kedalaman lebih dari
40 cm
- Memiliki bahan tanah
organic (saprik, hemik)
- Tidak memiliki sifat tanah
andik
Sub Ordo Hemist - Mempunyai kedalaman dari
bahan organik hemik yang
tidak memenuhi dari sub
ordo lainnya
Grup Haplohemist Hemist yang lain
Sub Grup Hydryc haplohemist - Memiliki lapisan air didalam
penampang kontrol
Klasifikasi Tanah Nasional (KTN)
Alasan
Jenis Tanah Organosol - Tanah dengan adanya bahan
organik tinggi yang memiliki
ketebalan >50 cm
- Terdapat lapisan bahan
hemic dan sapric
- Kadar C-Organik > 12%
Macam Tanah Organosol Hemik - Tanah gambut ini memiliki
tingkat kematangan dari
bahan induk dominan hemik
World Reference Base for Soil Resources (WRB) 2014
Alasan
RSG Histosol - Tanah yang memiliki lapisan
bahan organik dengan
ketebalan >10 cm.
Principal Hemic - Hemic : Memiliki bahan
qualifier organik < 2/3 dan ≥ 1/6 bahan
organik dari jaringan tanaman
yang dapat dikenali dalam 100
cm dari permukaan tanah.
Supplementary Hyperorganic Terdapat tingkat kematangan
qualifier didominasi hemic dari
kedalaman 60-130 cm yang
mulai terdekomposisi sebagian,
sehingga diasumsikan lapisan
bawahnya memiliki tingkat
kematangan fibrik atau bahan
organik yang mentah
Final Hemic Hyperorganic Histosols
Classification
Permasalahan dan Pengelolaan
Pembentukan tanah gambut yang berasal dari pelapukan berbagai macam
tumbuhan terutama di wilayah dataran rendah dan selalu tergenang air menjadikan
jenis tanah ini memiliki kandungan bahan organic yang sangat tinggi, yaitu lebih
dari 75% (Dariah et al., 2014). Berdasarkan bahan dan proses pembentukannya,
tanah gambut tidak terlepas dari beberapa permasalahan yang dimilikinya,
diantaranya yaitu:
a. Tingginya kandungan bahan organic, nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation)
dengan pH dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah menjadikan tanah
gambut kurang mendukung untuk memiliki kandungan unsur hara yang
tinggi (miskin hara)
b. Kandungan mineral sangat rendah (umumnya kurang dari 5%) sehingga
tingkat kesuburan tanahnya sangat rendah
c. Lahan gambut dapat mengandung berbagai macam asam organik, dimana
beberapa di antaranya bersifat beracun bagi tanaman (asam fenolat) (Ritung
dan Sukarman, 2014).
d. Tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah) menjadi sebagai factor
pembatas pada tanah gambut untuk kegiatan pertanian. Kondisi tanah yang
masam dengan kesuburan yang rendah menjadikan tanaman mengalami
pertumbuhan yang lambat. Tingkat kemasaman tersebut diakibatkan adanya
hidrolisis asam-asam organik dan kondisi drainase yang buruk
e. Gambut memiliki kadar air yang sangat tinggi (kadar air mampu mencapai
13 kali dari bobot) sehingga berat jenis tanah juga rendah. Kondisi tersebut
menyebabkan gambut menjadi cenderung lembek dan tidak mampu
menahan beban dan menyebabkan tanaman sering roboh (Darmawan et al.,
2016).
Berdasarkan permasalahan yang terdapat di lahan gambut, lahan tersebut masih
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai peruntukan yang lain. Dengan begitu
maka perlu dilakukannyaa pengelolaan. Beberapa upaya pengelolaan yang dapat
dilakukan diantaranya yaitu:
a. Pembuatan saluran drainase untuk dapat menurunkan permukaan air tanah
sehingga akan tercipta kondisi yang aerob di zona perakaran tanaman.
Selain itu drainase juga akan menurunkan konsentrasi asam organic yang
terkadung pada lahan gambut. Namun, perlu dipastikan bahwa lahan gmbut
tidakk boleh terlalu kering sebab akan menyebabkan kerusakan pada tanah
serta dapat menimbulkan emisi gas rumah kaca (Sarwo dan Subekti, 2019).
b. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai menjadi sangat penting. Perlu dipilih
tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi di lahan gambut gar
produktivitas dapat meningkat, diantaranya yaitu tanaman sayuran
(kangkung, selada, tomat, cabai, bayam) dan buah-buahan (nanas, melon,
papaya, semangka) (Masganti et al., 2017).
c. Pemberian bahan ameliorant seperti kapur, tanah mineral, pupuk kandang
maupun abu hasil sisa pembakaran dapat dijadikan sebagai bahan untuk
meningkatkan pH tanah dan mengendalikan keberadaan asam beracum
dalam tanah gambut
d. Pemupukan yang mengandung unsur N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro
lainnya akan membantu meningkatkan kesuburan tanah pada lahan gambut
yang miskin hara (Irma et al., 2018).
KESIMPULAN
Tanah gambut yang berasal dari pelapukan berbagai macam tumbuhan terutama
di wilayah dataran rendah dan selalu tergenang air menjadikan jenis tanah ini
memiliki kandungan bahan organic yang sangat tinggi. Karakteristik yang dimiliki
oleh lahan ini diantaranya memiliki kandungan bahan organik dan nilai KTK
(Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi. Sedangkan pH dan nilai KB (kejenuhan basa)
memiliki nilai yang rendah. Kondisi tersebut menjadikan tanah histosol memiliki
beberapa permasalahan, diantaranya yaitu tanahnya sangat masam, kesuburan tanah
rendah, serta kandungan airnya sangat tinggi sehingga produktivitas lahan nya pun
rendah. Pengelolaan yang dapat dilakukan berupa pembuatan saluran drainase,
pemupukan (unsur makro maupun mikro), serta penambahan bahan amelioran
(kapur, tanah mineral, abu sisa pembakaran) dan melakukan pemilihan jenis
tanaman yang sesuai (sayur dan buah-buahan).
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., dan Subiksa, I. G. M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Agustha, M., B., P., Anggita, n., A. Mayfinda, A., R. 2022. Biodiversitas Tanah :
Keragaman Tanah di Indonesia. Himaba FKT UGM.
https://himaba.fkt.ugm.ac.id/2022/04/01/biodiversitas-
2/#:~:text=Tanah%20histosol%20yang%20saat%20ini,jangka%20waktu%2
0yang%20cukup%20lama. Diakses pada 06/05/2023.
Darmawan, B., Sukendi., dan Zahrah, S. 2016. Pengelolaan Keberlanjutan
Ekosistem Hutan Rawa Gambut Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan di
Semenanjung Kampar Sumatera. Dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan,
Vol. 23 No. 2, Juli 2016, hlm. 195- 205. Pekanbaru: Universitas Riau.
Dariah, Ai., Eni Maftuah, dan Maswar. 2014. Panduan Pengelolaan Berkelanjutan
Lahan Gambut Terdegradasi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian).
Giesen, W., Agus, F., & Klinger, R. 2012. Soil classification for soil conservation
planning in Indonesia. Soil Research, 50(8), 629-638.
Guo, Q. S. (2019). Heavy metals interact with the microbial community and affect
biogas production in anaerobic digestion. J Environ Manage, 15;240, 266-
272.
Irma, W., Gunawan, T., dan Suratman. 2018. Pengaruh Konservasi Lahan Gambut
Terhadap Ketahanan Lingkungan di DAS Kampar Provinsi Riau Sumatera.
Dalam Jurnal Ketanahan Nasional, Vol. 24 No. 2, Agustus 2018, hlm. 170-
191. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Masganti., Khairil., dan Maulia. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Dangkal Untuk Pertanian. Dalam Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 11 No. 1,
Juli 2017, hlm. 43-52. Kalimantan Selatan: Balai Penelitian Lahan Rawa.
Masganti, W. A. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut
Terdegradasi di provins riau. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1,ISSN
1907-0799, 59-66.
Mukhlis. 2014. Biodegradasi Bahan Organik Oleh Mikroba Dan Pengaruhnya
Terhadap Tanaman Padi Di Lahan Gambut. Jurnal Agric Vol.26, No. 1 & 2,
37-44.
Mutammimah, U. S. 2020. Efektivitas Pupuk Organik pada Nitrogen, Fosfor, dan
Produksi Kedelai di tanah masam. Seminar Nasional dalam Rangka Dies
Natalis ke-44 UNS Tahun 2020 “Strategi Ketahanan Pangan Masa New
Normal Covid-19”, Vol 4, No. 1, E-ISSN: 2615-7721, 221 - 231.
Neto, E. C. D. S., Pereira, M. G., Carvalho, M. D. A., Calegari, M. G., Schiavo, J.
A., Paulasa, N. D., Anjos, L. H. C. D., and Pessenda, L. C. R. 2019.
Palaeoenvironmental Records of Histosol Pedogenesis in Upland Area,
Espirito Santo State (SE, Brazil). Journal of South American Earth Science.
95: 1-12.
Purba, D. K. T., Mukhlis., dan Supriadi. 2017. Klasifikasi Tanah Gambut di Dataran
Tinggi Toba. Jurnal Agroekoteknologi FP USU. 5(1): 103-112.
Rina, Y., dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan
pengelolaannya. Dalam Muhlis et al. (Eds). Kearifan Lokal Pertanian di
Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor. Halaman:95-107.
Ritung, S., dan Sukarman. 2014. Kesesuaian Lahan Gambut Untuk Pertanian.
Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Sihite, L. W., Marbun, P., dan Mukhlis. 2013. Klasifikasi Tanah Gambut Topogen
yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi
Arabika dan Hortikultura. Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(1): 200-212.
Sitohang, E. J. 2021. Characteristics and classification of coastal peat in
conservation forest at Labuhanbatu, Sumatera Utara, Indonesia. International
Conference on Agriculture, Environment and Food Security 782, 1-7.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States
Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 338
halaman.
Staff., S. S. 2014. Keys to Soil Taxonomy. 12th edition. United States Department
of Agriculture NaturalResources Conservation Service.Washington D. C. US.
Sukarman. 2015. Pembentukan, Sebaran dan Kesesuaian Lahan Gambut Indonesia:
Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. Bogor:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sarwo, A., dan Subekti, S. 2019. Pengelolaan Ekosistem Gambut Sebagai Upaya
Mitigasi Perubahan Iklim di Provinsi Kalimanta Selatan. Dalam Jurnal
Planologi, Vol. 16 No. 2, Oktober 2019, hlm. 219-237. Semarang: Universitas
Pandanaran.
WRB. 2015. (World Reference Base). International Soil Classification System for
Naming Soils and Creating Legends for Soil Maps. , Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Yu, Z., Beilman, D. W., Frolking, S., MacDonald, G. M., & Roulet, N. T. 2014.
Peatlands and their role in the global carbon cycle. Eos, Transactions
American Geophysical Union, 95(22), 189-190.

Anda mungkin juga menyukai