Anda di halaman 1dari 5

Prinsip-Prinsip Kesantunan Berbahasa

Menurut Leech prinsip kesantunan memiliki enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan,
maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim pemufakatan,
dan maksim kesimpatian.
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual, kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik
berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim maksim tersebut menganjurkan
agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang
tidak sopan.

1) Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.
Leech (1993: 206) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula
keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawas bicaranya. Demikian pula tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang
diutarakan secara langsung.
Contoh:
Tuan rumah: "Silakan makan saja dulu, nak!.Tadi kami semua sudah
mendahului."
Tamu: "Wah, saya jadi tidak enak, Bu."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu
tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat
deras dan tidak segera reda. Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang
dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya,
tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya
sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah
direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.

2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksim kedermawanan berarti buatlah keuntungan diri sendiri
sebesar mungkin.
Dengan adanya maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan menimalkan keuntungan diri
sendiri.
Penjelasan lain mengenai maksim kedermawanan dijelaskan oleh Chaer (2010: 57) yang
mengatakan bahwa maksim kedermawanan menghendaki setiap petutur untuk lebih
memaksimalkan kerugian diri sendiri dan lebih meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Contoh:
Anak kos A: "Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok, yang
kotor." Anak kos B: "Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!"
Informasi Indeksial:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota
Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. Dari tuturan
yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan
keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak
suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat
dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan
keseharian hidupnya.

3) Maksim Penghargaan
Menurut Leech (1993: 211-212) maksim pujian dapat dikatakan seperti ini “Kecamlah orang
lain sesedikit mungkin, pujilah orang lain sebanyak mungkin”. Maksim pujian ini biasa juga
disebut maksim rayuan atau biasa disebut dengan pujian yang tidak tulus. Pada maksim ini aspek
negatif yang lebih dipentingkan, yakni ‘jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan
mengenai orang lain, terutama mengenai penutur. Kalimat “masakanmu enak sekali” sangat
dihargai, sedangkan kalimat “masakanmu sama sekali tidak enak!” tidak akan dihargai.
Leech dalam Chaer (2010:57-58) mengatakan maksim pujian ini menuntut setiap pertuturan
untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat
kepada orang lain.
Maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini,
diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling
merendahkan pihak lain.
Contoh:
Dosen A: "Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English."
Dosen B: "Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja
dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap
rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau
penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu,
dosen B berperilaku santun.

4) Maksim Kesederhanaan
Leech (1993: 214) menyatakan maksim kerendahan hati dengan kata seperti ini “Pujilah diri
sendiri sesedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin”. Maksim kesederhanaan
atau kerendahan hati menuntut peserta tutur untuk bersikap rendah hati dengan cara mengurangi
pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam
kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan diri sendiri. Kesederhanaan dan kerendahan
hati dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia banyak digunakan sebagai parameter
penilaian kesantunan seseorang.
contoh:
Sekretaris A: "Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!"
Sekretaris B: "Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka
bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka. Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat
bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian,
tuturan tersebut terasa santun.

5) Maksim Pemufakatan
Maksim pemufakatan menekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan
atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Hal tersebut dijelaskan oleh (Chaer, 2010: 59),
yakni maksim kecocokan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan
kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Apabila
terdapat kemufakatan atau kecocokan antara penutur dan lawan tutur dalam kegiatan bertutur,
maka mereka dikatakan santun. Dalam kegiatan bertutur terdapat kecenderungan untuk
membesar-besarkan pemufakatan dengan orang lain dan memperkecil ketidaksesuaian dengan
cara menyatakan penyesalan, memihak pada pemufakatan dan sebagainya.
Contoh:
Noni: "Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!"
Yuyun: "Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka
sedang berada di sebuah ruangan kelas. Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu
membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan
akan menjadi santun.

6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207) menyatakan bahwa maksim kesimpatian menuntut para peserta tutur
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lain. Sikap antipati terhadap
seseorang pada kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur
Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatian terhadap orang lain di dalam
berkomunikasi. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, terutama bersikap sinis
dianggap sebagai orang yang tidak santun.
Chaer (2010: 61) menyatakan bahwa maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan
tutur. Ketika lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan ucapan selamat. Adapun jika lawan tutur mendapat kesulitan atau musibah, penutur
seyogyanya menyampaikan rasa duka atau belasungkawa sebagai tanda kesimpatian.
contoh:
Ani: "Tut, nenekku meninggal."
Tuti: "Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada
saat mereka berada di ruang kerja mereka. Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa
simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain
akan dianggap orang yang santun.

Footnote:
Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005),
61-66.

Daftar Pustaka:
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai