X. PEMBAHASAN UMUM
Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara
pesisir pantai Pulau Rupat dengan Kota Dumai. Selat ini berperan penting dari
sisi ekologi dan ekonomi bagi masyarakat Riau umumnya dan Kota Dumai
khususnya.
Peran ekologis, Selat Rupat dapat dilihat dari keberadaan vegetasi
mangrove di wilayah tersebut. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis
sebagai pelindung pantai dari terjangan angin dan gelombang laut, mencegah
intrusi air laut, sebagai habitat (tempat tinggal) biota perairan, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan
tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis biota perairan. Peran
tersebut menyebabkan kawasan mangrove dimanfaatkan secara tidak langsung
oleh masyarakat sebagai wilayah penangkapan ikan. Mangrove merupakan habitat
pesisir yang peka terhadap pencemaran minyak.
Selat Rupat berperan penting dalam menunjang perekonomian Riau karena
berpotensi sebagai pelabuhan utama di pesisir timur Pulau Sumatera. Kondisi
Selat Rupat yang terlindung mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Kota
Dumai sebagai kawasan industri dan jasa. Prioritas pertumbuhan ekonomi Dumai
memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Propinsi Riau terutama setelah
pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi propinsi. Kota Dumai diharapkan
mampu menjadi ujung tombak perekonomian Propinsi Riau menggantikan Batam.
Peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kota Dumai
berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999 menyebabkan pertumbuhan
industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Dumai juga
dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak
terbesar yang bergerak di bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak
(PT. CPI dan PT. Pertamina UP II). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di
Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional.
Pada saat ini, dengan dukungan infrastruktur yang ada Dumai tumbuh
menjadi kota industri, perdagangan dan jasa dengan pertumbuhan ekonomi rata-
rata 7,6% per tahun (BPS Dumai 2007). Posisi yang strategis, yang berdekatan
langsung dengan Negara Malaysia mampu menjadikan Dumai sebagai sentral
143
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 (lampiran IV) sebagai standar Baku
Mutu dengan batas maksimal untuk minyak adalah 25 ppm. Komitmen
pemerintah untuk mengendalikan pencemaran minyak di lingkungan perairan
mulai dilakukan dengan dikeluarkannya regulasi (PerMenLH No.04 Tahun 2007)
untuk industri migas. Kebijakan ini diikuti oleh upaya industri migas untuk
menurunkan konsentrasi minyak di effluent agar di bawah baku mutu, sehingga
pada tahun 2008-2009 konsentrasi minyak di effluent industri migas telah
menurun hingga di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (<20 ppm).
Kepadatan aktivitas masyarakat Kota Dumai di daratan dapat diketahui dari
konsentrasi minyak di muara sungai yang masuk ke Selat Rupat. Berdasarkan
survei lapangan, terdapat 5 sungai yang memiliki kontribusi terhadap pencemaran
minyak di Selat Rupat. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai
Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung. Berdasarkan
konsentrasi minyak, Sungai Mesjid dan Sungai Dumai merupakan dua sungai
yang memberikan kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan
Selat Rupat. Konsentrasi minyak rata-rata di muara Sungai Mesjid dan Sungai
Dumai masing-masing adalah 3.8 ppm dan 3.5 ppm. Berdasarkan bakumutu,
konsentrasi minyak pada kedua sungai tersebut telah melampaui nilai ambang
batas yang telah ditetapkan. Sedangkan tiga muara sungai lainnya (Sungai
Buluhala, Sungai Mampu dan Sungai Pelintung) konsentrasi minyak rata-ratanya
masih di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (< 1 ppm).
Konsentrasi minyak rata-rata di pelabuhan migas dan pelabuhan umum
masing-masing adalah 5.7 ppm dan 5.9 ppm. Apabila dibandingkan dengan
bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I), konsentrasi minyak di
kedua lokasi tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan.
Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran
minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak yang masuk ke perairan,
jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap
pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan
dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.
145
pariwisata dan lain-lain). Berdasarkan garis pantai, Lubuk Gaung, Pesisir Rupat
Barat dan Selatan memiliki pantai yang landai dengan kemiringan <3 %,
gelombang laut dengan morfologi pantai yang terlindung, memiliki tipe substrat
dasar yang didominasi oleh sedimen pasir berlumpur sehingga memiliki kepekaan
yang sangat tinggi. Sedimen sangat rentan terhadap minyak karena bersifat
impermiabel, minyak dapat berpenetrasi dan terkubur ke dalam sedimen, sehingga
saat terjadi pencemaran minyak sangat sulit memulihkannya.
Keberadaan minyak di Selat Rupat yang sangat peka dengan pasang-surut
setiap selang waktu enam jam sekali menyebabkan minyak terperangkap dan tidak
mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki
molekul resisten berpotensi untuk terakumulasi dan dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Polutan minyak masuk ke
ekosistem mangrove pada saat air pasang, dan saat air surut minyak akan terjebak
dan menempel pada akar mangrove dan permukaan sedimen. Minyak yang
terjebak pada ekosistem mangrove sulit untuk dibersihkan. Kontaminasi minyak
pada ekosistem mangrove dapat menutup akar nafas sehingga menyebabkan
rontoknya daun. Menurut NOOA (2002), lapisan minyak akan menutupi seluruh
sistem perakaran mangrove yang mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada
lentisel akar nafas, sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila
hal ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko kerusakan lingkungan terhadap minyak
perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak di perairan.
ujung tombak ekonomi Propinsi Riau juga perlu dijalankan. Oleh sebab itu
diperlukan suatu model pengendalian agar kelestarian sumberdaya alam dapat
terjaga untuk generasi yang akan datang.
Berdasarkan kondisi eksisting di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan
Pulau Ketam Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.
Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon
yang berbeda terhadap polutan minyak. Lubuk Gaung merupakan wilayah yang
memberikan respon cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak karena
memiliki karakteristik lingkungan yang sangat peka. Sedangkan wilayah Pulau
Ketam dan Pelintung merupakan wilayah yang aman terhadap pencemaran
minyak. Apabila kondisi lingkungan di perairan ini tidak mengalami perubahan,
berdasarkan hasil simulasi hingga tahun 2020 wilayah Lubuk Gaung masih
beresiko cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk
mengatasi resiko ancaman kerusakan lingkungan terhadap wilayah Selat Rupat
yang sangat peka ini, perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak dengan
menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.
Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan,
namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah
perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu
diperlukan upaya pengendalian yang sistematis dengan menggunakan instrumen
regulasi dan teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian yang efektif dapat
dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan
instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan) secara parsial, skenario II
menggunakan teknologi (oilboom dan dispersant), dan skenario III menggunakan
gabungan instrumen regulasi dan teknologi.
Pengendalian skenario III (pengendalian gabungan) menggunakan
teknologi dan regulasi mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan
hingga 63.6 % sehingga respon wilayah terhadap pencemaran minyak di wilayah
Pelintung dan Pulau Ketam menjadi sangat aman (klas 1) dan Lubuk Gaung dari
tingkat cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2). Perubahan status respon
ke kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan.
Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan nelayan yang sebelumnya 2,058 ton
151
pada tahun 2005 dapat meningkat menjadi 2,212,9 ton pada tahun 2020.
Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung diikuti dengan peningkatan
pendapatan nelayan.
Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan resiko menjadi
sangat aman (klas 1), karena merupakan wilayah yang sangat peka terhadap
minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon
terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh sebab itu, wilayah
ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.
Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant
memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisi lapangan. Oilboom efektif
digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak
di perairan agar tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan
penyedotan. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang
memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena membutuhkan gerakan
gelombang agar dispersant bisa tercampur sempurna dengan minyak.
Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan
aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak
menjadi butiran-bituran kecil (droplet). Masuknya droplet ke badan air
menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak
menyebar luas hingga ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan dapat
menjadi lebih aman.
Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang-
undangan terutama Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2007
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi dapat menekan konsentrasi polutan minyak di perairan.
Pada skenario II (penggunaan teknologi), penggunaan dispersant mampu
memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil
(droplets) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu
terdispersi ke badan air (Lessard dan Demarco 2000). Hasil dispersi ini
menyebabkan semakin besarnya droplet minyak yang lepas ke badan air sehingga
mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir.
Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi
152
karena luas permukaannya menjadi lebih kecil sehingga bisa dicegah agar minyak
tidak sampai ke pantai.
Kelebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala
macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan
helikopter dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant
tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah
100 bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu
memecah minyak berat (Lessard & Demarco 2000). Penggunan teknologi
dispersant mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang
sangat peka terhadap pencemaran minyak.
Penggunaan instrumen teknologi (dispersant dan oilboom) mampu
mengurangi konsentrasi minyak hingga 55.7 % di perairan sehingga dapat
menurunkan resiko pencemaran minyak di Selat Rupat. Respon lingkungan di
wilayah Pelintung dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman (klas
2) menjadi sangat aman (klas 1). Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami
perubahan respon lingkungan dari cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas
2) terhadap pencemaran minyak.
Perubahan resiko lingkungan menjadi aman dan sangat aman menggunakan
skenario II di Selat Rupat, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari
2,058 ton (tahun 2005) menjadi 2,184 ton (2010) dan meningkat lagi hingga
2,191,3 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung
akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.
Pengendalian dengan skenario I (penggunaan regulasi secara parsial)
merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh stakeholder untuk
mengendalikan pencemaran minyak di perairan. Skenario I mampu menurunkan
konsentrasi minyak di perairan hingga 43.6 %.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan
harus diikuti oleh stakeholder terkait. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi
hukuman pidana dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini
merupakan langkah pencegahan melalui penerapan peraturan perundang-
undangan agar mampu menurunkan tingkat pencemaran minyak pada sumbernya
sebelum masuk ke perairan. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan
153
Oilboom berukuran panjang > 140 meter, dispersant 400 liter, alat
penyemprot, dan 100 kg bahan penyerap (absorber) minyak, untuk
kapal tanker 1000 GT hingga 5000 GT.
Dispersant 400 liter dan bahan penyerap (absorber) minyak 100 kg,
untuk kapal selain dari kapai tanker dengan tonase 5000 GT hingga
1000 GT.
Oilboom berukuran panjang sekurang-kurangnya 200 meter, dispersant
600 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak 200
kg untuk kapal tanker dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT.
Dispersant 600 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber)
minyak 200kg, untuk kapal selain dari kapal tangki minyak dengan
tonase 5000 GT hingga 10 000 GT.
Oilboom yang panjangnya sekurang-kurangnya 300 meter, dispersant
1000 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak
300 kg untuk kapal tanker dengan tonase 10.000 GT.
Dispersant 1000 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber)
minyak 300 Kg, untuk kapal selain dari kapal tangker dengan tonase
lebih 10 000 GT.
Kapal-kapal yang dilengkapi dengan oilboom harus dilengkapi pula
dengan sekoci kerja.
7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku
Mutu Air Laut yang memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan
(lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku
mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman).
Instrumen regulasi merupakan kontrol bagi berbagai stakeholders untuk
mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu,
dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku industri harus memiliki prosedur
tetap (protap) untuk mencegah terjadinya berbagai insiden (kecelakaan) yang
merugikan diri sendiri dan lingkungan kerja. Pada saat ini, industri migas dibawah
koordinasi BP Migas telah mengeluarkan prosedur tetap (protap) untuk
penanggulangan tumpahan minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai
pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan
156
pemberian sanksi tegas (pidana dan denda) bagi yang melanggar dilaksanakan,
maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini.
Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat
dapat menurunkan klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi aman terhadap
resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi dapat memberikan tekanan kepada
stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No.04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri
migas telah mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu (< 20 ppm).
Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan
pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan
muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen
dari stakeholder terkait (pengelola kapal dan industri di daratan) dalam menekan
input pencemaran minyak di perairan.
Berdasarkan ketiga skenario tersebut, skenario III lebih efektif
dibandingkan skenario I dan skenario II. Skenario III memilki kemampuan
mengurangi minyak di perairan hingga 63.8 %. Kombinasi teknologi dan regulasi
mampu mengendalikan pencemaran minyak di Selat Rupat sehingga menjadikan
lingkungan yang peka aman terhadap pencemaran minyak. Status aman mampu
meningkatkan tangkapan dan pendapatan nelayan. Oleh sebab itu perlu adanya
komitmen yang kuat dari pemerintah untuk penerapan regulasi secara tegas dalam
pengendalian pencemaran minyak. Pemerintah selaku stakeholder kunci juga
harus mampu memberikan insentif kepada stakeholder yang taat dan memiliki
komitmen yang tinggi terhadap penyelamatan lingkungan dan memberikan sanksi
tegas bagi pihak yang melanggar demi kelestarian lingkungan.