Anda di halaman 1dari 15

142

X. PEMBAHASAN UMUM

Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara
pesisir pantai Pulau Rupat dengan Kota Dumai. Selat ini berperan penting dari
sisi ekologi dan ekonomi bagi masyarakat Riau umumnya dan Kota Dumai
khususnya.
Peran ekologis, Selat Rupat dapat dilihat dari keberadaan vegetasi
mangrove di wilayah tersebut. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis
sebagai pelindung pantai dari terjangan angin dan gelombang laut, mencegah
intrusi air laut, sebagai habitat (tempat tinggal) biota perairan, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan
tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis biota perairan. Peran
tersebut menyebabkan kawasan mangrove dimanfaatkan secara tidak langsung
oleh masyarakat sebagai wilayah penangkapan ikan. Mangrove merupakan habitat
pesisir yang peka terhadap pencemaran minyak.
Selat Rupat berperan penting dalam menunjang perekonomian Riau karena
berpotensi sebagai pelabuhan utama di pesisir timur Pulau Sumatera. Kondisi
Selat Rupat yang terlindung mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Kota
Dumai sebagai kawasan industri dan jasa. Prioritas pertumbuhan ekonomi Dumai
memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Propinsi Riau terutama setelah
pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi propinsi. Kota Dumai diharapkan
mampu menjadi ujung tombak perekonomian Propinsi Riau menggantikan Batam.
Peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kota Dumai
berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999 menyebabkan pertumbuhan
industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Dumai juga
dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak
terbesar yang bergerak di bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak
(PT. CPI dan PT. Pertamina UP II). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di
Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional.
Pada saat ini, dengan dukungan infrastruktur yang ada Dumai tumbuh
menjadi kota industri, perdagangan dan jasa dengan pertumbuhan ekonomi rata-
rata 7,6% per tahun (BPS Dumai 2007). Posisi yang strategis, yang berdekatan
langsung dengan Negara Malaysia mampu menjadikan Dumai sebagai sentral
143

ekonomi Riau di masa depan. Seiring dengan diberlakukannya Undang-undang


Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri
dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
yang memuat zona pengolahan ekspor, logistrik, industri, pengembangan
teknologi, pariwisata, energi dan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi di Kota
Dumai terus meningkat.
Kota Dumai telah memiliki lima kawasan Industri yang strategis yaitu
Kawasan Industri Dumai (KID) Pelintung, Kawasan Industri Lubuk Gaung,
Kawasan Industri Dock Yard, Kawasan Industi Bukit Kapur dan Kawasan Industri
Bukit Timah. Peningkatan aktivitas kawasan industri dapat meningkatkan
frekuensi transportasi laut di Selat Rupat yang berpotensi meningkatkan
pencemaran minyak di Selat Rupat. Intensitas pemanfaatan Selat Rupat yang
tinggi karena berbagai aktivitas industri dan transportasi laut bisa memicu
terjadinya pencemaran minyak di perairan yang menyebabkan tekanan ekologis
terhadap Selat Rupat. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi terhadap
lingkungan perairan Selat Rupat.
Pada pembahasan umum ini akan diuraikan berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan sub-mayor bidang pencemaran yang meliputi sumber pencemar
minyak di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan Selat Rupat, respon
lingkungan terhadap pencemaran minyak dan pengendalian pencemaran minyak
yang tepat diterapkan di Selat Rupat. Uraian masing-masing elemen ini adalah
sebagai berikut:

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat


Sumber pencemaran minyak di perairan Selat Rupat pada umumnya berasal
dari aktivitas industri migas, muara sungai dan pelabuhan. Industri migas di
pesisir Pantai Dumai merupakan sumber utama minyak yang langsung masuk ke
Selat Rupat setelah melalui proses pengolahan. Konsentrasi minyak dari industri
migas (2002–2009) yang masuk ke Selat Rupat memperlihatkan kecenderungan
menurun. Konsentrasi minyak tertinggi terlihat pada tahun 2002 dan 2003, namun
pada tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan terus menurun.
Sebelum tahun 2007, industri migas masih menggunakan Keputusan Menteri
144

Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 (lampiran IV) sebagai standar Baku
Mutu dengan batas maksimal untuk minyak adalah 25 ppm. Komitmen
pemerintah untuk mengendalikan pencemaran minyak di lingkungan perairan
mulai dilakukan dengan dikeluarkannya regulasi (PerMenLH No.04 Tahun 2007)
untuk industri migas. Kebijakan ini diikuti oleh upaya industri migas untuk
menurunkan konsentrasi minyak di effluent agar di bawah baku mutu, sehingga
pada tahun 2008-2009 konsentrasi minyak di effluent industri migas telah
menurun hingga di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (<20 ppm).
Kepadatan aktivitas masyarakat Kota Dumai di daratan dapat diketahui dari
konsentrasi minyak di muara sungai yang masuk ke Selat Rupat. Berdasarkan
survei lapangan, terdapat 5 sungai yang memiliki kontribusi terhadap pencemaran
minyak di Selat Rupat. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai
Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung. Berdasarkan
konsentrasi minyak, Sungai Mesjid dan Sungai Dumai merupakan dua sungai
yang memberikan kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan
Selat Rupat. Konsentrasi minyak rata-rata di muara Sungai Mesjid dan Sungai
Dumai masing-masing adalah 3.8 ppm dan 3.5 ppm. Berdasarkan bakumutu,
konsentrasi minyak pada kedua sungai tersebut telah melampaui nilai ambang
batas yang telah ditetapkan. Sedangkan tiga muara sungai lainnya (Sungai
Buluhala, Sungai Mampu dan Sungai Pelintung) konsentrasi minyak rata-ratanya
masih di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (< 1 ppm).
Konsentrasi minyak rata-rata di pelabuhan migas dan pelabuhan umum
masing-masing adalah 5.7 ppm dan 5.9 ppm. Apabila dibandingkan dengan
bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I), konsentrasi minyak di
kedua lokasi tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan.
Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran
minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak yang masuk ke perairan,
jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap
pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan
dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.
145

10.2 Tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat


Polutan minyak yang berasal dari industri migas, muara sungai dan
pelabuhan masuk ke Selat Rupat sebagai input. Faktor hidrooseanografi
(khususnya arus dan gelombang) dapat mempengaruhi konsentrasi minyak di
Selat Rupat, namun karena perairan ini relatif tenang (gelombang 0.07-0,27 m)
maka faktor arus lebih dominan dalam mempengaruhi konsentrasi minyak di Selat
Rupat. Kecepatan arus yang relatif tinggi (0.22-0.82 m/dt) sangat mempengaruhi
konsentrasi minyak di perairan tersebut. Pola arus yang mencakup arah dan
kecepatan merupakan mekanisme penting dalam distribusi dan transportasi
polutan minyak di Selat Rupat.
Konsentrasi minyak rata-rata di perairan Lubuk Gaung, Pelintung dan Pulau
Ketam masing-masing adalah 2.0 ppm, 1.40 ppm dan 0.95 ppm. Apabila
dibandingkan dengan baku mutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran III),
konsentrasi minyak di perairan Lubuk Gaung dan Pelintung telah melampaui nilai
ambang batas yang telah ditetapkan. Sedangkan konsentrasi minyak rata-rata di
Perairan Pulau Ketam hampir mendekati baku mutu yang telah ditetapkan.
Kecepatan arus yang bervariasi (0.22-0.82 m/ dt) di berbagai wilayah Selat
Rupat dapat mempengaruhi konsentrasi minyak di perairan. Kecepatan arus
tertinggi terdapat di perairan Pulau Ketam, yaitu rata-rata 0.65 m/dt dan di
perairan Lubuk Gaung 0.63 m/dt. Kecepatan arus rata-rata di wilayah pelabuhan
(pelabuhan umum dan migas) adalah 0.38 m/dt.
Gelombang di perairan Selat Rupat relatif lebih kecil dibandingkan dengan
di Selat Malaka karena Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup. Pada
kondisi normal tinggi gelombang di Selat Rupat berkisar 0.07- 0.21 m, sedangkan
di Selat Malaka 0.10-0.40 m. Tingginya gelombang di Selat Malaka disebabkan
perairan ini merupakan perairan terbuka yang dipengaruhi oleh kecepatan angin,
lamanya angin bertiup dan jarak tanpa rintangan (fetch). Faktor gelombang
berperan penting dalam menetapkan kelayakan suatu tempat bagi lokasi
pelabuhan, karena pelabuhan harus tenang dan terlindung dari gempuran
gelombang agar proses bongkar-muat dapat berlangsung dengan aman dan cepat.
Menurut Lee et al. (1978), tingkat pencemaran perairan oleh bahan organik
(termasuk minyak) dapat dievaluasi berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan
146

BOD5. Konsentrasi minyak yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya


pemakaian oksigen terlarut untuk proses penguraian (degradasi) sehingga
konsentrasi oksigen terlarut di perairan menurun (Clark 2003). Konsentrasi
oksigen terlarut di perairan Selat Rupat berkisar 4.45-6.25 ppm. Oksigen terlarut
terendah terdapat di pelabuhan (pelabuhan umum dan migas). Konsentrasi
oksigen terlarut meningkat di lokasi yang berjauhan dengan pelabuhan.
Konsentrasi oksigen terlarut di Perairan Lubuk Gaung dan Pelintung masing-
masing adalah 6,02 ppm dan 6.10 ppm. Oksigen terlarut tertinggi terdapat di
Perairan Pulau Ketam dengan konsentrasi rata-rata 6.25 ppm. Perairan Pulau
Ketam relatif lebih baik karena tidak banyak aktivitas pelabuhan dan industri yang
mempengaruhinya. Namun di perairan ini masih terdapat minyak dengan
konsentrasi yang hampir mendekati bakumutu (1 ppm). Keberadaan minyak di
wilayah ini berasal dari sumber-sumber pelabuhan (transportasi kapal), industri
yang ikut terbawa oleh arus saat surut.
Indikator BOD5 merupakan faktor penting yang dapat menentukan tingkat
pencemaran minyak (organik) pada suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD5
semakin tinggi pencemaran di perairan tersebut. BOD5 merupakan indikator
untuk mengetahui besarnya pemakaian oksigen terlarut oleh mikroorganisme
dalam proses penguraian minyak secara biologi. Makin banyak jumlah minyak
yang diuraikan oleh mikroorganisme akan semakin banyak pula oksigen yang
dibutuhkan dan nilai BOD5 akan semakin tinggi.
BOD5 di perairan Selat Rupat berkisar 3.3-10.9 ppm. Perairan pelabuhan
(umum dan migas) memiliki nilai BOD5 yang lebih tinggi, karena memiliki
konsentrasi minyak yang relatif tinggi di bandingkan dengan perairan lainnya.
Semakin jauh dari pelabuhan makin kecil nilai BOD5. Perairan Pulau Ketam
merupakan perairan yang memiliki BOD5 terkecil yaitu 3.3 ppm. Indikator ini
menunjukkan semakin mengecilnya pengaruh pencemaran minyak di perairan
tersebut.
Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarutnya dan BOD5, maka perairan Selat
Rupat yang meliputi wilayah Perairan Pelintung, Lubuk Gaung dan Pulau Ketam
termasuk kategori tercemar ringan (TR). Pelabuhan Dumai (pelabuhan umum dan
migas) merupakan sumber polutan minyak utama di perairan.
147

10.3. Respon lingkungan wilayah terhadap pencemaran minyak


Berbagai aktivitas industri, transportasi, pengolahan dan distribusi minyak
di pesisir Pantai Dumai menyebabkan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran
minyak, sebaliknya perairan ini peka terhadap minyak. Kawasan Selat Rupat
memiliki kepekaan yang berbeda terhadap polutan minyak sesuai karakteristik
lingkungan di wilayah tersebut. Berdasarkan tingkat kepekaannya, maka wilayah
penelitian Selat Rupat dibagi atas tiga bahagian, yaitu wilayah yang sangat peka,
wilayah yang peka dan wilayah kurang peka.
Wilayah termasuk kategori sangat peka adalah wilayah dengan sumberdaya
pesisir yang mudah rusak akibat tercemar minyak. Selain itu sumberdaya alamnya
memiliki produktivitas yang tinggi dan memiliki kontribusi besar terhadap
ekosistem dan masyarakat di sekitarnya. Lokasi yang tercakup dalam wilayah ini
adalah wilayah Lubuk Gaung. Wilayah peka adalah wilayah yang memiliki
sumberdaya yang mudah rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk
memperbaharuinya. Wilayah yang termasuk peka adalah wilayah Pulau Ketam.
Wilayah yang kurang peka adalah wilayah yang dicirikan oleh tipe penutupan non
mangrove dan pemukiman. Lokasi yang termasuk dalam kategori kurang peka
adalah wilayah Pelintung yang dicirikan oleh penutupan belukar, vegetasi non
mangrove serta pemukiman.
Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan
respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Wilayah yang sangat peka akan
memberikan respon negatif yang dapat membahayakan ekosistem di sekitarnya
walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang
peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan saat polutan minyak
memasuki wilayah tersebut. Berdasarkan kondisi eksisting, wilayah Pelintung dan
Pulau Ketam memberikan respon aman terhadap pencemaran minyak, namun
wilayah Lubuk Gaung memberikan respon yang cukup berbahaya karena
memiliki vegetasi mangrove yang relatif baik dan merupakan wilayah tangkapan.
Menurut NOAA (2002), kepekaan suatu perairan ditentukan oleh garis
pantai (termasuk tipe sedimen, gelombang dan arus laut dan kemiringan pantai),
sumberdaya biologi (terutama vegetasi yang tumbuh di sekitar pantai) dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut (daerah pelabuhan, pemukinan nelayan,
148

pariwisata dan lain-lain). Berdasarkan garis pantai, Lubuk Gaung, Pesisir Rupat
Barat dan Selatan memiliki pantai yang landai dengan kemiringan <3 %,
gelombang laut dengan morfologi pantai yang terlindung, memiliki tipe substrat
dasar yang didominasi oleh sedimen pasir berlumpur sehingga memiliki kepekaan
yang sangat tinggi. Sedimen sangat rentan terhadap minyak karena bersifat
impermiabel, minyak dapat berpenetrasi dan terkubur ke dalam sedimen, sehingga
saat terjadi pencemaran minyak sangat sulit memulihkannya.
Keberadaan minyak di Selat Rupat yang sangat peka dengan pasang-surut
setiap selang waktu enam jam sekali menyebabkan minyak terperangkap dan tidak
mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki
molekul resisten berpotensi untuk terakumulasi dan dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Polutan minyak masuk ke
ekosistem mangrove pada saat air pasang, dan saat air surut minyak akan terjebak
dan menempel pada akar mangrove dan permukaan sedimen. Minyak yang
terjebak pada ekosistem mangrove sulit untuk dibersihkan. Kontaminasi minyak
pada ekosistem mangrove dapat menutup akar nafas sehingga menyebabkan
rontoknya daun. Menurut NOOA (2002), lapisan minyak akan menutupi seluruh
sistem perakaran mangrove yang mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada
lentisel akar nafas, sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila
hal ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko kerusakan lingkungan terhadap minyak
perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak di perairan.

10.4 Pengendalian pencemaran minyak yang efektif di Selat Rupat


Pada dasarnya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut,
khususnya Selat Rupat dapat dilakukan dengan dua instrumen, yaitu instrumen
teknologi dan instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan). Penentuan
prioritas teknologi dan stakeholder yang dominan dalam pengendalian
pencemaran minyak dilakukan melalui survei pakar.
a. Instrumen pengendalian pencemaran minyak (teknologi dan regulasi)
Berdasarkan survei pakar teknologi yang dapat digunakan untuk
pengendalian pencemaran minyak di perairan laut adalah oilboom (mekanik),
dispersant (kimia) dan bioremediasi (biologi). Berdasarkan hasil analisis CPI
149

(comparative performance index), prioritas penggunaan dispersant untuk


pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat merupakan pilihan utama,
kemudian diikuti oilboom dan bioremediasi. Pada umumnya dispersant dan
oilboom masih populer digunakan di perairan karena pertimbangan waktu dan
biaya dalam pemulihan lingkungan perairan terhadap pencemaran minyak.
Berdasarkan analisis ISM (interpretive structural modelling), pemerintah
merupakan elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengendalian
pencemaran minyak di Selat Rupat. Stakesholder ini memiliki kekuatan
penggerak (driver power) yang besar dalam pengendalian pencemaran minyak
terutama dari aspek legal formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Pelayaran, Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Limbah Cair
bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Peraturan perundang-undangan ini merupakan instrumen yang berkaitan
langsung dengan usaha dan/ atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan terjadi
pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Pemerintah melalui instansi teknis
berperan dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terjadinya pencemaran
minyak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas industri migas dan aktivitas
transportasi kapal di pelabuhan yang berada di sekitar Selat Rupat.
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui instrumen
regulasi terhadap industri migas (PermenLH No.04 Tahun 2007) ternyata cukup
efektif menurunkan konsentrasi minyak di effluent industri migas hingga dibawah
baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, dengan berlakukannya Undang-
undang No.17 Tahun 2007 tentang pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim dan Peraturan Menteri
Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal maka semua
kapal yang berlayar dan berlabuh di Pelabuhan Dumai harus mengikuti prosedur
yang telah berlaku.

b. Model pengendalian pencemaran minyak di perairan


Upaya perlindungan potensi sumberdaya alam Selat Rupat yang peka
terhadap minyak perlu dilakukan, di sisi lain pembangunan Kota Dumai sebagai
150

ujung tombak ekonomi Propinsi Riau juga perlu dijalankan. Oleh sebab itu
diperlukan suatu model pengendalian agar kelestarian sumberdaya alam dapat
terjaga untuk generasi yang akan datang.
Berdasarkan kondisi eksisting di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan
Pulau Ketam Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.
Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon
yang berbeda terhadap polutan minyak. Lubuk Gaung merupakan wilayah yang
memberikan respon cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak karena
memiliki karakteristik lingkungan yang sangat peka. Sedangkan wilayah Pulau
Ketam dan Pelintung merupakan wilayah yang aman terhadap pencemaran
minyak. Apabila kondisi lingkungan di perairan ini tidak mengalami perubahan,
berdasarkan hasil simulasi hingga tahun 2020 wilayah Lubuk Gaung masih
beresiko cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk
mengatasi resiko ancaman kerusakan lingkungan terhadap wilayah Selat Rupat
yang sangat peka ini, perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak dengan
menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.
Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan,
namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah
perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu
diperlukan upaya pengendalian yang sistematis dengan menggunakan instrumen
regulasi dan teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian yang efektif dapat
dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan
instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan) secara parsial, skenario II
menggunakan teknologi (oilboom dan dispersant), dan skenario III menggunakan
gabungan instrumen regulasi dan teknologi.
Pengendalian skenario III (pengendalian gabungan) menggunakan
teknologi dan regulasi mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan
hingga 63.6 % sehingga respon wilayah terhadap pencemaran minyak di wilayah
Pelintung dan Pulau Ketam menjadi sangat aman (klas 1) dan Lubuk Gaung dari
tingkat cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2). Perubahan status respon
ke kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan.
Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan nelayan yang sebelumnya 2,058 ton
151

pada tahun 2005 dapat meningkat menjadi 2,212,9 ton pada tahun 2020.
Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung diikuti dengan peningkatan
pendapatan nelayan.
Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan resiko menjadi
sangat aman (klas 1), karena merupakan wilayah yang sangat peka terhadap
minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon
terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh sebab itu, wilayah
ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.
Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant
memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisi lapangan. Oilboom efektif
digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak
di perairan agar tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan
penyedotan. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang
memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena membutuhkan gerakan
gelombang agar dispersant bisa tercampur sempurna dengan minyak.
Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan
aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak
menjadi butiran-bituran kecil (droplet). Masuknya droplet ke badan air
menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak
menyebar luas hingga ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan dapat
menjadi lebih aman.
Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang-
undangan terutama Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2007
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi dapat menekan konsentrasi polutan minyak di perairan.
Pada skenario II (penggunaan teknologi), penggunaan dispersant mampu
memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil
(droplets) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu
terdispersi ke badan air (Lessard dan Demarco 2000). Hasil dispersi ini
menyebabkan semakin besarnya droplet minyak yang lepas ke badan air sehingga
mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir.
Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi
152

karena luas permukaannya menjadi lebih kecil sehingga bisa dicegah agar minyak
tidak sampai ke pantai.
Kelebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala
macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan
helikopter dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant
tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah
100 bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu
memecah minyak berat (Lessard & Demarco 2000). Penggunan teknologi
dispersant mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang
sangat peka terhadap pencemaran minyak.
Penggunaan instrumen teknologi (dispersant dan oilboom) mampu
mengurangi konsentrasi minyak hingga 55.7 % di perairan sehingga dapat
menurunkan resiko pencemaran minyak di Selat Rupat. Respon lingkungan di
wilayah Pelintung dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman (klas
2) menjadi sangat aman (klas 1). Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami
perubahan respon lingkungan dari cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas
2) terhadap pencemaran minyak.
Perubahan resiko lingkungan menjadi aman dan sangat aman menggunakan
skenario II di Selat Rupat, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari
2,058 ton (tahun 2005) menjadi 2,184 ton (2010) dan meningkat lagi hingga
2,191,3 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung
akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.
Pengendalian dengan skenario I (penggunaan regulasi secara parsial)
merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh stakeholder untuk
mengendalikan pencemaran minyak di perairan. Skenario I mampu menurunkan
konsentrasi minyak di perairan hingga 43.6 %.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan
harus diikuti oleh stakeholder terkait. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi
hukuman pidana dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini
merupakan langkah pencegahan melalui penerapan peraturan perundang-
undangan agar mampu menurunkan tingkat pencemaran minyak pada sumbernya
sebelum masuk ke perairan. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan
153

dengan upaya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat


Rupat ini adalah:
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat, tentang perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (meliputi
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan), pemeliharaan (meliputi
konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam), pengawasan dan
penindakan berupa pemberian sanksi (administrasi, pidana dan denda) yang
tegas bagi pihak yang melanggar (110 halaman).
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ini memuat tentang
transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta
perlindungan lingkungan laut (206 halaman).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut,
pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan
perusakan laut, pemulihannya (9 halaman).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim, yang memuat pencegahan dan penanggulangan
pencemaran dari pengoperasian kapal, perlindungan laut, pencegahan
pencemaran dari kegiatan di pelabuhan, tanggung jawab pemilik atau operator
kapal dan pemberian sanksi administratif bagi yang melanggar.
5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi (13 Halaman).
6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 04 Tahun 2005 tentang Pencegahan
Pencemaran dari Kapal. Peraturan ini memuat tentang pencegahan
pencemaran oleh minyak dari kapal, peralatan penanggulangan awal
154

pencemaran minyak oleh kapal, tanggung jawab pemilik atau operator


kapal,dan pencucian tangki kapal dan dumping.
a) Pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal dilakukan dengan
mewajibkan semua kapal memenuhi persyaratan:
Tangki-tangki dan pipa-pipa yang berkaitan dengan pemasangan
peralatan pencegahan pencemaran dirancang dan dibangun dengan
konstruksi yang kuat.
Sistem pipa balast di kapal terpisah dari sistem pipa minyak bahan
bakar, minyak muatan dan minyak pelumas.
Tangki penampungan minyak kotor dari ruang permesinan berkapasitas
memadai.
Pipa saluran pembuangan dari kapal ke darat dipasang melalui
sambungan pembuangan.
Peralatan pemisah air berminyak (oily water separator) yang dipasang
di ruang mesin harus efektif dengan effluent tidak boleh melebihi
15 ppm.
Menyediakan buku catatan minyak (oil record book) untuk mencatat
kegiatan-kegiatan di kapal meliputi: buku catatan minyak untuk ruang
permesinan, pencucian tangki minyak bahan bakar, pembuangan air
bilga melalui alat pemisah air dan minyak, penyaluran limbah
berminyak dari tangki penampungan minyak kotor (tank slop) ke
fasilitas penampungan di darat dan buku catatan minyak untuk
pembuangan air bilga ke luar kapal melalui alat pemisah air dan
minyak, pencucian tangki minyak bahan bakar serta penyaluran limbah
berminyak dari kapal ke fasilitas penampungan di darat.
b) Peralatan dan bahan untuk pengendalian pencemaran minyak adalah:
Bahan kimia dispersant 100 liter, untuk kapal tangki minyak dengan
tonase kotor 150 GT - 1000 GT.
Bahan kimia dispersant 60 liter, untuk kapal selain dari kapal tanker
dengan tonase 400 GT hingga 1000 GT.
155

Oilboom berukuran panjang > 140 meter, dispersant 400 liter, alat
penyemprot, dan 100 kg bahan penyerap (absorber) minyak, untuk
kapal tanker 1000 GT hingga 5000 GT.
Dispersant 400 liter dan bahan penyerap (absorber) minyak 100 kg,
untuk kapal selain dari kapai tanker dengan tonase 5000 GT hingga
1000 GT.
Oilboom berukuran panjang sekurang-kurangnya 200 meter, dispersant
600 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak 200
kg untuk kapal tanker dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT.
Dispersant 600 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber)
minyak 200kg, untuk kapal selain dari kapal tangki minyak dengan
tonase 5000 GT hingga 10 000 GT.
Oilboom yang panjangnya sekurang-kurangnya 300 meter, dispersant
1000 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak
300 kg untuk kapal tanker dengan tonase 10.000 GT.
Dispersant 1000 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber)
minyak 300 Kg, untuk kapal selain dari kapal tangker dengan tonase
lebih 10 000 GT.
Kapal-kapal yang dilengkapi dengan oilboom harus dilengkapi pula
dengan sekoci kerja.
7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku
Mutu Air Laut yang memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan
(lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku
mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman).
Instrumen regulasi merupakan kontrol bagi berbagai stakeholders untuk
mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu,
dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku industri harus memiliki prosedur
tetap (protap) untuk mencegah terjadinya berbagai insiden (kecelakaan) yang
merugikan diri sendiri dan lingkungan kerja. Pada saat ini, industri migas dibawah
koordinasi BP Migas telah mengeluarkan prosedur tetap (protap) untuk
penanggulangan tumpahan minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai
pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan
156

pemberian sanksi tegas (pidana dan denda) bagi yang melanggar dilaksanakan,
maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini.
Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat
dapat menurunkan klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi aman terhadap
resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi dapat memberikan tekanan kepada
stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No.04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri
migas telah mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu (< 20 ppm).
Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan
pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan
muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen
dari stakeholder terkait (pengelola kapal dan industri di daratan) dalam menekan
input pencemaran minyak di perairan.
Berdasarkan ketiga skenario tersebut, skenario III lebih efektif
dibandingkan skenario I dan skenario II. Skenario III memilki kemampuan
mengurangi minyak di perairan hingga 63.8 %. Kombinasi teknologi dan regulasi
mampu mengendalikan pencemaran minyak di Selat Rupat sehingga menjadikan
lingkungan yang peka aman terhadap pencemaran minyak. Status aman mampu
meningkatkan tangkapan dan pendapatan nelayan. Oleh sebab itu perlu adanya
komitmen yang kuat dari pemerintah untuk penerapan regulasi secara tegas dalam
pengendalian pencemaran minyak. Pemerintah selaku stakeholder kunci juga
harus mampu memberikan insentif kepada stakeholder yang taat dan memiliki
komitmen yang tinggi terhadap penyelamatan lingkungan dan memberikan sanksi
tegas bagi pihak yang melanggar demi kelestarian lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai