Tidak Perlu
Dikhitan
Naufil Istikhari
Ayahnya Birdy
B erbeda dengan tindik, perihal khitan tidak banyak
yang mempertanyakan. Ini bukan berarti khitan
tidak fundamental di mata mereka, melainkan karena
faktor teknis saja: tindik mudah terlihat, sedangkan
khitan tidak.
3
memilih varian hukum berbeda meski tidak populer.
Yang saya maksud “tidak populer” di sini adalah status
hukum yang sedikit diketahui dan tidak banyak diikuti
oleh masyarakat, meski sesungguhnya di kalangan
fukaha cukup familier.
4
circumcision sekarang muncul dari asosiasi terhadap
tradisi orang-orang Mesir ini.
5
dan tindik bersambung kepada Bapak Monoteisme. Nah,
jika benar berasal dari Nabi Ibrahim, kenapa keduanya
memiliki konsekuensi hukum yang berbeda? Mengapa
tindik banyak yang mengharamkan, sedangkan khitan
sebaliknya? Saya akan menjelaskannya nanti, usai
mengurai praktik khitan perempuan di negara kita
sendiri.
6
A.L. van Hasselt pada 1882, perempuan dikhitan lebih
awal ketimbang laki-laki, yang dilalukan di dalam rumah
secara sembunyi-sembunyi oleh seorang dukun beranak.
7
di Magelang; dan 5–8 tahun di Surakarta. Sementara
orang Sunda kompak melakukan pemotongan terhadap
bagian klitoris, orang Jawa tidak semua melakukannya;
sebagian dari mereka hanya menggores tanpa memotong.
Adapun alat-alat yang digunakan untuk mengkhitan
meliputi belati, sembilu, atau gunting.
8
dorongan agama. Dalam penelitian yang ia lakukan di
Jakarta, Padang, dan Lombok, faktor tradisi lokal juga
menonjol. Ia, mengutip Muhajir Darwin yang melakukan
penelitian di Yogyakarta pada 2003, mengatakan bahwa
khitan sudah berlangsung sebelum kedatangan Islam.
Dalam tradisi Jawa lama, khitan (disebut tetakan untuk
laki-laki dan tetesan untuk perempuan) dipercaya
sebagai media menghilangkan sukerto, kesialan-
kesialan dalam hidup. Kita sudah tahu laporan Winter
mengenai kunyit yang disediakan setelah prosesi khitan,
tetapi untuk apa? Darwin menemukan fakta menarik.
Menurutnya, dalam kepercayaan masyarakat Jawa
lama, kunyit merepresentasikan dewa kuning yang
bernama Sang Hyang Manikmaya, yang tugasnya adalah
membuang kesialan dari anak-anak yang dilahirkan.
9
istilah khitan perempuan di sini semata mengikuti
istilah yang populer digunakan masyarakat. Khitan
perempuan sendiri dalam fikih biasanya didefinisikan
sebagai “pemotongan selaput daging kecil yang terdapat
di bagian atas vagina yang mirip biji atau jengger ayam”,
yang dalam bahasa biologi modern disebut klitoris.
10
itu menceritakan seorang perempuan Anshar dikhitan
di Madinah. Nabi Muhammad berkomentar “asyimmy
walā tanhiky fa-innahū ahzhā liz-zauji wa asrā lil wajhi
(—)أشمي ولا تنهكي فإنه أحظي للزوج وأسري للوجهsunat saja, tetapi
jangan banyak-banyak karena itu membuat nyaman dan
menyenangkan pasangan). Redaksi hadis riwayat Ummu
‘Athiyyah ini berbeda-beda, ada yang didahului kalimat
أشهيtetapi maksud dan kandungannya identik.
11
laki-laki. Pada masa itu, ada anggapan bahwa nafsu
perempuan lebih dominan ketimbang laki-laki, sehingga
perlu dikurangi nafsunya dengan cara memotong bagian
yang paling sensitif terhadap rangsangan seksual agar
bisa setara dengan laki-laki, tetapi jangan sampai
berlebihan karena berkurangnya gairah seksual juga
akan menjadi malapetaka dalam hubungan suami-istri.
12
hasrat seksual (sexual desire) laki-laki biasanya lebih
besar daripada perempuan, terutama karena faktor
hormon testosteron yang dominan dan dukungan
psikososial yang lebih pada laki-laki (van Anders, 2012).
Itulah kenapa pemerkosaan selalu merupakan cerita
gelap pemaksaan hasrat seksual laki-laki terhadap
perempuan yang tidak mau dan siap. Lagi pula, gugat
Nawal El Saadawi, untuk apa Tuhan menciptakan selaput
mungil itu jika hanya untuk dipotong dan dibuang?
13
didorong oleh kepentingan politis tertentu, termasuk
dalam hal ini: hadis-hadis mesoginis. Sayangnya, kata
Mernissi, hadis yang kadung dianggap sahih oleh Imam
Bukhari cenderung diterima begitu saja dan tidak perlu
disoal ulang. Padahal, dalam beberapa hal, Imam Bukhari
mengabaikan aspek historis dan konteks sosial dari
hadis yang diriwayatkannya, sehingga kita tidak tahu
maksud sejati dari hadis tersebut.
14
sunnah ( )سنةapabila eksplisit di dalam redaksi hadis
maknanya bukan wajib, melainkan sebatas menegaskan
perbedaan hukum di antara keduanya—dalam konteks
ini adalah laki-laki dan perempuan—ihwal status
khitan laki-laki lebih utama dibanding perempuan,
atau bisa juga sunah (nadb) bagi laki-laki dan boleh (al-
ibāhah) bagi perempuan. Syeikh Abu Abdullah, masih
dalam keterangan Ibn Hajar yang bermazhab Syafi’i
itu, mengemukakan pendapat bahwa ada perbedaan
keumuman hadis tersebut apakah berlaku untuk semua
perempuan ataukah tidak, karena pada masa itu khitan
perempuan berlaku di Timur (maksudnya, Timur Tengah)
dan tidak di Barat (maksudnya mungkin Afrika Utara dan
daerah Spanyol Islam).
15
satu pertanyaan yang lebih mendesak untuk dituliskan
jawabannya: mengapa di negara kita khitan perempuan
kesannya seperti suatu kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan?
16
dan keselamatan perempuan serta tidak melakukan
mutilasi.
17
abnormal (scarring and keloid), gangguan siklus
menstruasi, gangguan kandung kemih, dan bahkan
kemandulan. Secara obstetris, ia berpengaruh terhadap
komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Sebuah
studi terhadap 28.000 perempuan di enam negara
Afrika yang berstatus FGM menunjukkan adanya risiko
tinggi yang berkaitan dengan lamanya persalinan,
pendarahan setelah persalinan, trauma kelangkang
(perineal trauma), dan resusitasi neonatus. Sedangkan
secara psikologis berkaitan dengan kecemasan dan
gangguang stres pascatrauma (post-traumatic stress
disorder), meski bukti-bukti yang mendukung temuan ini
tidak sekuat dua jenis efek yang disebutkan sebelumnya.
Dampak lain yang dimasukkan ke dalam kategori
psikologis—disertai bukti kuat—adalah disfungsi seksual
yang berupa kesulitan merasakan rangsangan, tidak
mudah orgasme, dan kurang peka terhadap penetrasi.
18
banyak negara. Paling tidak, ada 4 tipe khitan perempuan
yang dicatat WHO (Anda bisa mengeceknya di https://
www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-
genital-mutilation).
19
perempuan ini dikategorikan tidak memiliki landasan
yang cukup kuat di dalam Islam. Ragam pendapat
tentang ini sudah terhimpun di dalam Fatāwā Kibār
Ulamā’ al-Azhar al-Syarīf (2011). Silakan Anda baca
sendiri. Lalu dari mana pijakan pemerintah Mesir
sehingga berani-beraninya mengeluarkan larangan
khitan perempuan? Salah satunya dari pendapat Syeikh
Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa perkara
yang berstatus hukum boleh (mubah), dapat dilarang
apabila berpotensi mendatangkan kemudaratan. Khitan
perempuan, seperti saya terangkan sebelumnya, masuk
di dalam kategori ini karena sangat berisiko dalam telaah
kedokteran. Atas dasar inilah pemerintah Mesir melarang
praktik khitan perempuan.
20
Lagi pula, kata Syeikh Ali Jum’ah, tidak ada hadis yang
meriwayatkan Nabi Muhammad mengkhitan putrinya,
karena beliau memang tidak pernah melakukannya
sekalipun sudah tinggal di Madinah. Ini diperkuat
dengan tiadanya nash yang sahih dan jelas yang
memerintahkan orang tua muslim mengkhitan anak-
anak perempuan mereka. Tradisi khitan terus berlanjut
dari dulu karena tiadanya bukti-bukti valid yang
melaporkan dampak mudaratnya—dan ini wajar karena
dulu ilmu kedokteran belum berkembang pesat seperti
sekarang. Nah, dengan adanya temuan kedokteran yang
memberatkan, seyogianya sudah cukup syarat untuk
tidak melakukannya. Bahkan, jika praktiknya sampai
menimbulkan dampak yang sangat jelas (misalnya,
pendarahan hingga kematian), maka hukumnya berubah
menjadi haram.
21
Sebagian muslim yang sempit pemahamannya, menurut
Syeikh Ali Jum’ah, menuduh pemerintah Mesir telah
kelewat batas sampai berani melanggar syariat. Tuduhan
itu jelas berlebihan. Ulama Mesir sudah meneliti bahwa
tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadis yang memerintah
khitan perempuan. Hadis yang ada tidak berbunyi
perintah khusus. Itu pun status hadisnya tidak ada
yang sampai pada level sahih. Ini berarti, sesuai kaidah
ushul fiqh, hukum yang dihasilkan ulama terdahulu
merupakan produk ijtihad dari nas zhanni, sehingga
masih terbuka untuk menetapkan hukum baru yang
lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Karena
itulah, ulama Mesir yang melarang khitan perempuan
sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Justru
merupakan kemajuan dalam ijtihad hukum fikih. Banyak
juga negara-negara muslim yang tidak melakukan
praktik khitan. Bahkan di Indonesia, dugaan kuat
saya, praktiknya bersifat sporadis; tidak merata di
semua daerah. Populer di satu daerah pun belum tentu
dilakukan setiap kepala keluarga.
22
Saudi tidak termasuk negara yang mempraktikkan
khitan perempuan. [Anda berani menuduh Arab Saudi
sebagai gembong liberal?] Hanya Oman, Uni Emirat Arab,
Yaman, Irak, Iran, dan Palestina yang mempraktikkannya.
Ini menguatkan pendapat Syeikh Ali Jum’ah bahwa
khitan perempuan lebih merupakan pengaruh budaya
ketimbang syariat.
23
“Kasian juga ya. Aku gak tega.”
“Kalau beneran ngikutin hukum, tapi praktinya sekadar
digores, kan gak sesuai juga sama fikih?”
“Iya juga sih.”
“Lah, terus?”
“Ya udah aku ikut kamu.”
“Gitu dong. Tosss….”
24