Anda di halaman 1dari 24

Birdy

Tidak Perlu
Dikhitan
Naufil Istikhari
Ayahnya Birdy
B erbeda dengan tindik, perihal khitan tidak banyak
yang mempertanyakan. Ini bukan berarti khitan
tidak fundamental di mata mereka, melainkan karena
faktor teknis saja: tindik mudah terlihat, sedangkan
khitan tidak.

Di internal keluarga, justru khitan yang paling diper­so­


alkan. Mendengar saya tidak mengizinkan Birdy dikhitan,
pihak keluarga sedikit lebih gusar. Kepada istri, mereka
bilang:

“Sudah tidak boleh ditindik, disunat juga tidak?”


“Begitulah kata ayah Birdy.”
“Jangan main-main dengan hukum.”
“Dia punya alasan tersendiri.”
“Suruh cek lagi. Sejak dulu, dari embah buyutmu, setiap
keturunan perempuannya pasti dikhitan.”

Saya bisa merasakan, saat istri menceritakan percakapan


itu kepada saya, ada beban masygul yang ia panggul,
tetapi saya tetap menjawabnya dengan enteng:

“Mari kita mulai dari Birdy untuk tidak mengikuti tradisi


ini.”

Sejujurnya, motivasi untuk tidak mengkhitan anak


perempuan belum lama muncul, tetapi pertama-tama
2
bukan karena hukum fikih, melainkan karena alasan-
alasan medis dan psikologis—karena apa yang disebut
female genital mutilation (FGM) atau female genital
cutting (FGC) saat ini memang tidak direkomendasikan
oleh kedokteran dan psikologi. Awalnya, mungkin sama
seperti Anda, saya mengira khitan perempuan berstatus
wajib mutlak, karena memang itu yang saya tahu dari
kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i. Namun, ketika saya
mendapati kedokteran dan psikologi lebih menunjukkan
potensi mudarat ketimbang manfaat dari khitan
perempuan, saya mulai meragukan pengetahuan hukum
fikih saya sendiri: “Apakah hukum khitan perempuan
wajib mutlak, sehingga tidak boleh ditinggalkan,
ataukah ada dalil lain yang memberi celah untuk tidak
melakukannya?”

Sejak itulah, saya memeriksa kembali kitab-kitab fikih


secara lebih sistematis, tidak hanya yang bermazhab
Syafi’i, tetapi juga dari mazhab lain. Hasilnya adalah—
seperti yang akan saya tunjukkan nanti—keputusan bulat
untuk tidak mengkhitan Birdy.

Saya sadar, khitan perempuan lebih memiliki dasar


syariat ketimbang tindik, dan untuk menolaknya, saya
perlu sedikit lebih berhati-hati. Ihwal khitan, bertolak
belakang dengan tindik, tidak ada yang mengharamkan
(dalam literatur fikih klasik), bahkan yang populer justru
mewajibkan. Untungnya, dalam praktik ibadah ghairu
mahdhah (tidak berstatus wajib mutlak), kita dapat

3
memilih varian hukum berbeda meski tidak populer.
Yang saya maksud “tidak populer” di sini adalah status
hukum yang sedikit diketahui dan tidak banyak diikuti
oleh masyarakat, meski sesungguhnya di kalangan
fukaha cukup familier.

Tidak sama dengan tindik, asal-usul khitan perempuan


masih remang-remang. Tidak ada yang dapat
menunjukkan secara pasti kapan dan di mana tradisi
ini bermula. Rosemarie Skaine dalam Female Genital
Mutilation: Legal, Cultural and Medical Issues (2005)
mengungkapkan satu dokumen papirus dari Yunani
bertarikh 163 SM yang mencatat persitiwa khitan
perempuan di Mesir. Strabo, geografer Yunani yang
berkunjung ke Mesir pada 25 SM, mendapati praktik
khitan, baik pada laki-laki maupun perempuan, sudah
membudaya di sana.

Hal itu mendorong sebagian sejarawan menarik


kesimpulan bahwa asal-usul khitan perempuan berasal
dari Mesir. Pendapat ini ditentang oleh Salima Ikram,
profesor Egiptologi di American University of Cairo,
karena tidak ada satu pun bukti fisik yang berasal dari
mumi ataupun karya seni yang menunjukkan praktik
khitan pada perempuan di Mesir Kuno. Bukti-bukti
tradisi khitan hanya ditemukan pada mumi laki-laki.
Menurutnya, khitan perempuan kemungkinan besar
berasal dari Afrika Subsahara yang memengaruhi
kebudayaan Mesir setelahnya. Istilah pharaonic

4
circumcision sekarang muncul dari asosiasi terhadap
tradisi orang-orang Mesir ini.

Apa pun teori yang berkembang, muasal khitan


perempuan sepertinya memang tidak jauh-jauh dari
Timur Tengah. Di dalam Islam, seperti halnya tindik,
khitan perempuan juga dipercaya berasal dari keluarga
Nabi Ibrahim. Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292–1350)
mengisahkan secara tegas dan gamblang di dalam
Tuhfah al-Maudūd bi Ahkām al-Maulūd. Ketika Siti
Sarah tahu bahwa Siti Hajar hamil, istri tua Nabi Ibrahim
itu merasakan kecemburuan luar biasa. Ia bersumpah
akan memotong tiga anggota tubuh Siti Hajar agar cacat
dan tidak menarik lagi di mata suaminya. Nabi Ibrahim
khawatir Siti Sarah akan memotong hidung dan kedua
telinga Siti Hajar, suatu hukuman yang biasa dialami
perempuan kala itu. Sebagai kompensasi, Nabi Ibrahim
memerintahkan Siti Sarah untuk menindik kedua telinga
Siti Hajar ditambah dengan khitan. Sejak itulah, khitan
perempuan—juga tindik telinga—menjadi tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun di dalam agama
Abrahamik, khususnya Islam.

Plot cerita muasal khitan dan tindik lebih terang dan


sistematis di dalam kitab Tuhfah al-Maudūd bi Ahkām
al-Maulūd ketimbang Ithāf al-Sādah al-Muttaqīn. Dalam
kitab-kitab klasik, suatu riwayat seringkali memiliki
beberapa versi, tetapi amanat kisahnya cenderung
sama: adanya legitimasi teologis bahwa praktik khitan

5
dan tindik bersambung kepada Bapak Monoteisme. Nah,
jika benar berasal dari Nabi Ibrahim, kenapa keduanya
memiliki konsekuensi hukum yang berbeda? Mengapa
tindik banyak yang mengharamkan, sedangkan khitan
sebaliknya? Saya akan menjelaskannya nanti, usai
mengurai praktik khitan perempuan di negara kita
sendiri.

Ada satu penelitian bagus yang menjelaskan historisitas


khitan perempuan di Indonesia. Hasil penelitian itu
dihimpun dalam artikel berjudul “Female Circumcision
in Indonesia: To ‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy” yang
ditulis Andrée Feillard dan Lies Marcoes pada 1998. Saya
akan meminjam data-data mereka di sini.

Nicolas Gervaise, seorang penulis Prancis yang berada


di Makassar pada paruh kedua abad ke-17, mencatat
praktik khitan perempuan yang dipercaya masyarakat
sebagai bentuk penyucian jiwa, dan itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, berbeda dari khitan laki-laki
yang disambut dengan kemeriahan. Pada 1843, sarjana
Belanda G.F. Winter menemukan bahwa perempuan
di Surakarta umumnya disunat pada usia 6–7 tahun,
dengan pemotongan bagian klitoris, yang potongannya
itu, bersama irisan kunyit, dibungkus menggunakan
kain kemudian dikubur di bawah pohon kelor. Praktik
ini, menurut G.A. Wilken, benar-benar terjadi di Jawa,
terbukti dengan familiernya istilah “putung-itil” pada
waktu itu. Sementara di Minangkabau, menurut laporan

6
A.L. van Hasselt pada 1882, perempuan dikhitan lebih
awal ketimbang laki-laki, yang dilalukan di dalam rumah
secara sembunyi-sembunyi oleh seorang dukun beranak.

Pada 1891, Snouck Hurgronje, seorang orientalis paling


andal yang dimiliki Belanda, melaporkan bahwa khitan
perempuan dapat dijumpai pada banyak daerah di Jawa
dan Sunda, tetapi kenyataannya tidak benar-benar
terjadi secara menyeluruh. Snouck Hurgronje—seperti
halnya Wilken dan van den Berg—percaya bahwa praktik
khitan perempuan di kawasan Hindia Belanda berasal
dari pengaruh Islam. Ini diperkuat oleh laporan B.J.O.
Schrieke pada 1921 kemudian bahwa ia tidak menemukan
praktik khitan perempuan di daerah-daerah yang tidak
tersentuh Islam. Kendati demikian, menurut amatan
Feillard dan Marcoes, khitan perempuan baru menjadi
“tren” di Hindia Belanda sejak keluarnya fatwa tentang
praktik tersebut oleh mufti-mufti Makkah pada akhir
abad ke-19.

Pada awal abad ke-20 praktik khitan perempuan


dilakukan pada usia lebih dini lagi. Di Sunda, tepatnya
di Ciamis, khitan perempuan dilaksanakan pada hari
ke-7 atau ke-40 kelahiran, meski di daerah lain tetap
variatif waktunya. Di Tasikmalaya, misalnya, khitan
perempuan dilakukan pada anak usia 4–5 tahun. Berbeda
dengan Sunda, metode dan waktu pelaksanaan khitan
perempuan tampak lebih longgar di Jawa. Perempuan
baru disunat pada 7 atau 9 tahun di Kebumen; 6–8 tahun

7
di Magelang; dan 5–8 tahun di Surakarta. Sementara
orang Sunda kompak melakukan pemotongan terhadap
bagian klitoris, orang Jawa tidak semua melakukannya;
sebagian dari mereka hanya menggores tanpa memotong.
Adapun alat-alat yang digunakan untuk mengkhitan
meliputi belati, sembilu, atau gunting.

Di Sumatra sedikit berbeda, tergantung seberapa jauh


islamisasi menyentuh daerah tersebut. Begitu juga di
Kalimantan dan Sulawesi. Malah di daerah-daerah yang
tidak tersentuh Islam seperti Nias, Batak, Timor, Sumba,
Flores dan sebagainya, praktik khitan bagi perempuan
tidak ditemukan. Fakta inilah yang membuat Schrieke
menyimpulkan “to circumcise is to ‘Islamize’. Kesimpulan
ini tidak keliru dan tetap terkonfirmasi hingga akhir abad
ke-20. Hampir semua responden yang diwawancarai
Feillard dan Marcoes pada 1997–1998 mengaku dikhitan
karena mengikuti perintah agama, meskipun sebagian
kiai seperti KH. Ma’ruf Amin yang waktu itu menjadi
Katib Syuriyah PBNU telah menjelaskan bahwa hukum
khitan perempuan—dengan mengutip kitab Fath
al-Mu’īn—masih khilāfiyyah, dan Syeikh Zainuddin
al-Malibari menghukumi sunah. Meskipun demikian,
pendapat yang mewajibkan tampaknya lebih populer di
kalangan masyarakat.

Akan tetapi, Lanny Octavia dalam “Circumcision and


Muslim Women’s Identity in Indonesia” (2014) keberatan
jika khitan perempuan yang terjadi di Indonesia murni

8
dorongan agama. Dalam penelitian yang ia lakukan di
Jakarta, Padang, dan Lombok, faktor tradisi lokal juga
menonjol. Ia, mengutip Muhajir Darwin yang melakukan
penelitian di Yogyakarta pada 2003, mengatakan bahwa
khitan sudah berlangsung sebelum kedatangan Islam.
Dalam tradisi Jawa lama, khitan (disebut tetakan untuk
laki-laki dan tetesan untuk perempuan) dipercaya
sebagai media menghilangkan sukerto, kesialan-
kesialan dalam hidup. Kita sudah tahu laporan Winter
mengenai kunyit yang disediakan setelah prosesi khitan,
tetapi untuk apa? Darwin menemukan fakta menarik.
Menurutnya, dalam kepercayaan masyarakat Jawa
lama, kunyit merepresentasikan dewa kuning yang
bernama Sang Hyang Manikmaya, yang tugasnya adalah
membuang kesialan dari anak-anak yang dilahirkan.

Saya tidak tahu mana yang paling akurat. Jika Anda


perempuan yang dikhitan, dan kebetulan membaca
pledoi ini, cobalah tanyakan kepada keluarga; faktor
apa yang kuat mendorong mereka mempraktikannya
kepada Anda. Jika jawabannya agama, kejarlah sampai
jauh sehingga Anda tahu seberapa kuat dan dalam
penjelasan orangtua Anda mengapa mereka mengkhitan
Anda dahulu kala.

Secara etimologis, penyebutan khitan bagi perempuan


sebenarnya kurang tepat. Khitan digunakan untuk
sunat laki-laki, sedangkan sunat perempuan disebut
khifadh dalam bahasa Arab. Saya tetap menggunakan

9
istilah khitan perempuan di sini semata mengikuti
istilah yang populer digunakan masyarakat. Khitan
perempuan sendiri dalam fikih biasanya didefinisikan
sebagai “pemotongan selaput daging kecil yang terdapat
di bagian atas vagina yang mirip biji atau jengger ayam”,
yang dalam bahasa biologi modern disebut klitoris.

Pertanyaannya: apakah khitan bagi perempuan mutlak


wajib? Untungnya, jawaban ulama fikih tidak sehitam-
putih itu. Sebelum Anda kaget dengan hasil ijtihad
ulama fikih kontemporer, saya terlebih dahulu akan
menguraikan pandangan yuridis fukaha klasik.

Di dalam kitab Nail al-Authār, Imam as-Syaukani


(1759–1834) menyebutkan tiga varian hukum khitan:
Imam Syafi’i dan sejumlah ulama lainnya menghukumi
wajib bagi laki-laki maupun perempuan; Imam Malik,
Imam Hanafi, dan Imam Murtadha memandang sunah
bagi keduanya; sedangkan Imam Nashir dan Imam
Yahya berpendapat wajib bagi laki-laki, tapi tidak untuk
perempuan. Menurut Ibn Qudamah (1147–1223) yang
bermazhab Hanbali dalam kitab Al-Mughny, pendapat
yang mengatakan khitan perempuan tidak wajib adalah
hujah yang dianut oleh banyak ulama. Bagaimana
argumentasinya?

Pendapat yang mewajibkan khitan perempuan


bersumber dari hadis yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyyah
terkait sikap Nabi Muhammad ketika sahabat perempuan

10
itu menceritakan seorang perempuan Anshar dikhitan
di Madinah. Nabi Muhammad berkomentar “asyimmy
walā tanhiky fa-innahū ahzhā liz-zauji wa asrā lil wajhi
(‫—)أشمي ولا تنهكي فإنه أحظي للزوج وأسري للوجه‬sunat saja, tetapi
jangan banyak-banyak karena itu membuat nyaman dan
menyenangkan pasangan). Redaksi hadis riwayat Ummu
‘Athiyyah ini berbeda-beda, ada yang didahului kalimat
‫ أشهي‬tetapi maksud dan kandungannya identik.

Sementara itu, pendapat yang mengatakan sunah


atau tidak wajib mendasarkan argumentasinya pada
hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Baihaqi, yaitu
“al-khitānu sunnatun fir-rijāli makrumatun fin-nisāi”
(‫)الختان سنة في الرجال مكرمة في النساء‬. Lafal sunnatun pada klausa
pertama tidak bermakna sunah dalam pengertian
fikih (kecuali dalam pandangan Imam Malik dan Imam
Hanafi), tetapi lebih kepada perbuatan yang dilakukan
oleh Nabi, sehingga menjadi legitimasi wajib bagi laki-
laki. Sedangkan pada klausa kedua khitan hanya disebut
sebagai kemuliaan bagi perempuan, sehingga statusnya
tidak wajib, atau paling tidak, sunah. Lalu kenapa disebut
kemuliaan (makrumah) bagi perempuan? Ini tentu ber­
kaitan dengan kognisi sosial pada masa itu yang banyak
direproduksi di dalam literatur-literatur fikih klasik.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan dalam kitabnya


yang lain, Kitāb Ahkām al-Nisā’, bahwa khitan perempuan
tidak ada manfaat lain kecuali untuk mengurangi kadar
syahwat perempuan agar menjadi seimbang dengan

11
laki-laki. Pada masa itu, ada anggapan bahwa nafsu
perempuan lebih dominan ketimbang laki-laki, sehingga
perlu dikurangi nafsunya dengan cara memotong bagian
yang paling sensitif terhadap rangsangan seksual agar
bisa setara dengan laki-laki, tetapi jangan sampai
berlebihan karena berkurangnya gairah seksual juga
akan menjadi malapetaka dalam hubungan suami-istri.

Dari mana asumsi tersebut berasal? Ibn Qayyim al-


Jauziyyah mendasarkan keterangannya pada stereotip
yang berkembang pada masa itu bahwa banyaknya
perempuan India dan Rum (maksudnya, Romawi Timur
yang berada di Bizantium, Turki) yang menjadi pelakor
dan pelacur disebabkan oleh kebiasaan mereka yang tidak
bersunat. Stereotip yang sama juga menjadi dasar Ibn
Taimiyyah dalam menjelaskan relevansi hadis tersebut.
Namun, berbeda dari muridnya, Ibn Taimiyyah dalam
Fatāwī al-Nisā’ (rangkuman fikih perempuan dari karya
monumentalnya, Majmū’ah al-Fatāwa yang berjumlah 20
jilid) menyebut bahwa akibat tidak berkhitan, perempuan
bangsa Franka (Eropa Barat saat ini) dan bangsa Tatar
(Rusia saat ini) sangat brutal dalam berhubungan badan,
dan itu tidak ditemukan pada muslimah berkat tradisi
khitan. Itu artinya, khitan perempuan tak lain adalah
upaya memuliakan perempuan dengan cara mencegah
mereka menjadi predator seksual.

Apakah klaim tersebut dapat dipertanggungjawabkan?


Sayangnya tidak. Justru yang terjadi adalah sebaliknya—

12
hasrat seksual (sexual desire) laki-laki biasanya lebih
besar daripada perempuan, terutama karena faktor
hormon testosteron yang dominan dan dukungan
psikososial yang lebih pada laki-laki (van Anders, 2012).
Itulah kenapa pemerkosaan selalu merupakan cerita
gelap pemaksaan hasrat seksual laki-laki terhadap
perempuan yang tidak mau dan siap. Lagi pula, gugat
Nawal El Saadawi, untuk apa Tuhan menciptakan selaput
mungil itu jika hanya untuk dipotong dan dibuang?

Di titik ini saya mulai meragukan otentisitas hadis


khitan perempuan. Saya kadang bertanya-tanya: jika
benar perempuan lebih unggul dalam hal libido, kenapa
ia dituntut setara dengan laki-laki sejak dini? Dan
sebaliknya, kenapa sampai dewasa pun tidak ada
tuntutan mereduksi dominasi patriarki yang melekat
pada anak laki-laki agar perempuan juga bisa menempati
posisi yang setara dengannya?

Keraguan saya terjawab ketika saya memeriksa kembali


status hadis tersebut. Patut diketahui, ilmu hadis itu
kompleks; tidak sesederhana potongan-potongannya
yang kerap berseliweran di Instagram lalu dengan
gampangan dijadikan rujukan untuk menghakimi sikap
orang lain yang berbeda. Fatima Mernissi, intelektual
Mesir yang berpengaruh, dalam Women and Islam: An
Historical and Theological Enquiry (1991), menjelaskan
dengan meyakinkan bagaimana sepeninggal Nabi
Muhammad bermunculan hadis-hadis palsu yang

13
didorong oleh kepentingan politis tertentu, termasuk
dalam hal ini: hadis-hadis mesoginis. Sayangnya, kata
Mernissi, hadis yang kadung dianggap sahih oleh Imam
Bukhari cenderung diterima begitu saja dan tidak perlu
disoal ulang. Padahal, dalam beberapa hal, Imam Bukhari
mengabaikan aspek historis dan konteks sosial dari
hadis yang diriwayatkannya, sehingga kita tidak tahu
maksud sejati dari hadis tersebut.

Hadis tentang alasan khitan perempuan sangat mungkin


berasal dari kurun pembentukan—yang oleh Mernissi
disebut—“tradisi misoginis” ini. Tanda-tandanya kentara
sekali, yaitu adanya stereotip terhadap perempuan
dari bangsa lain sebagai latar. Imam As-Syaukani
memberikan penjelasan bahwa hadis riwayat Ummu
‘Athiyyah itu berstatus “tidak jelas dan lemah” (majhūlun
dha’īfun). Bukan hanya itu. Dalam Kitāb Ahkām al-Nisā’
(terbitan Maktabah Ibn Taimiyyah halaman 44), ada
keterangan bahwa hadis tersebut daif alias lemah. Siapa
yang berani bilang begitu? Periwayatnya sendiri: Imam
Abu Dawud (817–889).

Ibn Hajar al-‘Atsqalani (1372–1449), dalam kitab Fath


al-Bāry jilid 10, syarah dari Sahīh Bukhārī menjelaskan
bahwa mayoritas ulama dan sebagian ulama Syafi’iyyah
tidak menghukumi khitan sebagai kewajiban bagi
perempuan. Bahkan hadis al-khitānu sunnatun fir-rijāli
makrumatun fin-nisāi itu tidak bisa dijadikan dalil wajib
bagi ulama ushul fiqh yang berpandangan bahwa lafal

14
sunnah (‫ )سنة‬apabila eksplisit di dalam redaksi hadis
maknanya bukan wajib, melainkan sebatas menegaskan
perbedaan hukum di antara keduanya—dalam konteks
ini adalah laki-laki dan perempuan—ihwal status
khitan laki-laki lebih utama dibanding perempuan,
atau bisa juga sunah (nadb) bagi laki-laki dan boleh (al-
ibāhah) bagi perempuan. Syeikh Abu Abdullah, masih
dalam keterangan Ibn Hajar yang bermazhab Syafi’i
itu, mengemukakan pendapat bahwa ada perbedaan
keumuman hadis tersebut apakah berlaku untuk semua
perempuan ataukah tidak, karena pada masa itu khitan
perempuan berlaku di Timur (maksudnya, Timur Tengah)
dan tidak di Barat (maksudnya mungkin Afrika Utara dan
daerah Spanyol Islam).

Dari sketsa penjabaran di atas, kita dapat menyimpulkan


bahwa pendapat ulama tentang hukum khitan perempuan
terbelah menjadi tiga: wajib, sunah, dan mubah. Sampai
di sini, jika ditanya dari sudut pandang fikih, saya dapat
menjawab bahwa Birdy tidak dikhitan karena saya
mengikuti pendapat ulama yang mengatakan mubah,
atau jika dianggap terlalu enteng, ya, anggap saja
saya ikut yang sunah (dikerjakan mendapat pahala,
ditinggalkan juga tidak berdosa). Itu argumentasi saya
jika ditanya “apa dalilnya” dari sudut pandang fikih
klasik. Ini penting saya kemukakan, karena sebagian
dari pembaca mungkin akan kaget jika saya menjelaskan
dari perspektif fikih kontemporer sejak awal. Saya akan
menjelaskannya nanti, tetapi sebelum itu masih ada

15
satu pertanyaan yang lebih mendesak untuk dituliskan
jawabannya: mengapa di negara kita khitan perempuan
kesannya seperti suatu kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan?

Dugaan saya, selain karena memang mayoritas


bermazhab Syafi’i, ditambah banyaknya orang yang tidak
punya kesempatan belajar fikih secara komprehensif,
MUI juga berperan dalam mengentalkan pandangan
monolitik perihal khitan perempuan ini. Pada 2008,
MUI mengeluarkan fatwa yang menentang keputusan
pemerintah dalam pelarangan khitan perempuan sejak
2006. Anehnya, karena fatwa MUI tersebut, pemerintah
menganulir larangan yang dibuatnya sendiri dan malah
memberikan justifikasi terhadap khitan perempuan
melalui Permenkes 1636/2010. Namun, empat tahun
berikutnya, aturan ini pun dicabut dan diganti dengan
Permenkes 6/2014 yang menerangkan bahwa khitan
perempuan bukan merupakan tindakan kedokteran
karena pelaksanaannya tidak berdasarkan rekomendasi
medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.

Permenkes 6/2014, kendati menghapus Permenkes


1636/2010, masih mengindikasikan sikap pemerintah
yang mendua. Satu sisi melarang praktik khitan
perempuan di lembaga kedokteran, tetapi di sisi
lain, dengan mempertimbangkan aspek budaya dan
keyakinan masyarakat, Permenkes 6/2014 meminta agar
pelaksanaannya benar-benar memerhatikan kesehatan

16
dan keselamatan perempuan serta tidak melakukan
mutilasi.

Bagi saya, jika suatu perkara lebih potensial


mendatangkan mudarat, bahkan jelas-jelas belum
ditemukan adanya manfaat secara medis ataupun
psikologis, sudah sangat cukup sebagai alasan untuk
tidak melanjutkan praktik tersebut. Dan persis inilah
yang terjadi pada khitan perempuan. Sebagian pembaca
mungkin akan menuduh saya lebih mementingkan
rekomendasi sains ketimbang syariat. Tak ada soal.
Justru sikap demikian mendapat landasan yang kukuh
di dalam syariat, berdasarkan kaidah ‫ لاضرر ولاضرار‬yang
berarti tidak boleh menimbulkan kemudaratan bagi
diri sendiri maupun orang lain. Saya tidak mengkhitan
Birdy karena ingin menghindari potensi mudarat yang
mungkin terjadi kepadanya. Tapi, mudarat yang seperti
apa?

Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahaya khitan


perempuan. Salah satu yang bisa saya sebut di sini adalah
riset Dan Riesel dan Sarah M. Creighton yang berjudul
“Long Term Health Consequences of Female Genital
Mutilation” (2015). Setidaknya, ada tiga tipe efek negatif
yang dapat dibedakan secara ginekologis, obstetris, dan
psikologis.

Secara ginekologis, dampak yang dilaporkan Riesel dan


Creighton meliputi infeksi, bekas luka yang tumbuh

17
abnormal (scarring and keloid), gangguan siklus
menstruasi, gangguan kandung kemih, dan bahkan
kemandulan. Secara obstetris, ia berpengaruh terhadap
komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Sebuah
studi terhadap 28.000 perempuan di enam negara
Afrika yang berstatus FGM menunjukkan adanya risiko
tinggi yang berkaitan dengan lamanya persalinan,
pendarahan setelah persalinan, trauma kelangkang
(perineal trauma), dan resusitasi neonatus. Sedangkan
secara psikologis berkaitan dengan kecemasan dan
gangguang stres pascatrauma (post-traumatic stress
disorder), meski bukti-bukti yang mendukung temuan ini
tidak sekuat dua jenis efek yang disebutkan sebelumnya.
Dampak lain yang dimasukkan ke dalam kategori
psikologis—disertai bukti kuat—adalah disfungsi seksual
yang berupa kesulitan merasakan rangsangan, tidak
mudah orgasme, dan kurang peka terhadap penetrasi.

Saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut juga (pernah)


dialami oleh sebagian perempuan yang dikhitan di
Indonesia. Terus terang, kita sulit melakukan verifikasi
karena tembok ketabuan terlalu kukuh berdiri. Kendati
ada satu-dua orang yang mau bicara, toh mereka belum
tentu mampu mengidentifikasi apakah pengalaman tidak
menyenangkan tersebut akibat dari khitan atau bukan.
Contoh-contoh yang tersaji di dalam laporan penelitian
kebanyakan berasal dari pengalaman perempuan di
negara-negara Afrika dan Timur Tengah, sedangkan
kita tahu, secara teknis praktik khitan berbeda-beda di

18
banyak negara. Paling tidak, ada 4 tipe khitan perempuan
yang dicatat WHO (Anda bisa mengeceknya di https://
www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-
genital-mutilation).

Pada 2007, Wazārah al-Auqāf (Kementerian Wakaf) Mesir


mengeluarkan edaran “naskah akademis” yang men­jadi
landasan pelarangan khitan perempuan di Mesir seta­
hun berikutnya. Judulnya terang tanpa basi-basi: Khitān
al-Ināts Laisa min Sya’āir al-Islām (Khitan Perempuan
Bukan Bagian dari Syariat Islam). Kita yang tidak terbiasa
menggeluti fikih perbandingan mazhab akan tercengang
dan mungkin akan segera memvonis pemerintah Mesir
sudah terpengaruh ulama liberal. Namun, jika kita berse­
dia membaca argumentasi mereka dengan kepala dingin,
kita jadi tahu bahwa keputusan tersebut memiliki lan­
dasan yang kuat. [Fyi. Di Indonesia, vonis liberal seringkali
dialamatkan kepada seseorang yang pendapatnya asing
dan tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Kecuali dalam
kasus-kasus tertentu, tuduhan liberal kepada orang lain
lebih sering merupakan sebentuk deklarasi atas keterba­
tasan pengetahuan kita sendiri.]

Lembaga Fatwa (Dār al-Iftā’) Mesir menjelaskan bahwa


ulama fikih berbeda pendapat soal status hukumnya,
apakah tergolong wajib, sunah, atau mubah. Namun,
karena hadis-hadis yang dijadikan dalil penetapan
hukum (istinbāth al-hukm) banyak yang daif dan tidak
ada ijma ulama tetang status hukumnya, maka khitan

19
perempuan ini dikategorikan tidak memiliki landasan
yang cukup kuat di dalam Islam. Ragam pendapat
tentang ini sudah terhimpun di dalam Fatāwā Kibār
Ulamā’ al-Azhar al-Syarīf (2011). Silakan Anda baca
sendiri. Lalu dari mana pijakan pemerintah Mesir
sehingga berani-beraninya mengeluarkan larangan
khitan perempuan? Salah satunya dari pendapat Syeikh
Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa perkara
yang berstatus hukum boleh (mubah), dapat dilarang
apabila berpotensi mendatangkan kemudaratan. Khitan
perempuan, seperti saya terangkan sebelumnya, masuk
di dalam kategori ini karena sangat berisiko dalam telaah
kedokteran. Atas dasar inilah pemerintah Mesir melarang
praktik khitan perempuan.

Ulama besar yang mendukung keputusan larangan


khitan perempuan adalah Syeikh Ali Jum’ah, seorang
Mufti Agung Mesir 2003–2013. Dalam risalahnya,
Al-Mar’ah fi al-Hadhārah al-Islāmiyyah, Syeikh Ali
Jum’ah menegaskan bahwa khitan perempuan bukan
perintah agama yang bernilai ibadah (laisat qadhiyyatan
dīniyyatan ta’abbudiyyatan fī ashlihā), melainkan
budaya masyarakat Lembah Sungai Nil di era Mesir Kuno,
yang kemudian menyebar hingga sebagian kawasan
Arab, termasuk Madinah seperti yang dicatat di dalam
hadis Nabi. Kendati demikian, Makkah tidak terpengaruh
oleh tradisi ini, sehingga masuk akal jika hadis yang ada
hanya menyebutkan praktik khitan di Madinah, karena
memang tidak lazim di Makkah.

20
Lagi pula, kata Syeikh Ali Jum’ah, tidak ada hadis yang
meriwayatkan Nabi Muhammad mengkhitan putrinya,
karena beliau memang tidak pernah melakukannya
sekalipun sudah tinggal di Madinah. Ini diperkuat
dengan tiadanya nash yang sahih dan jelas yang
memerintahkan orang tua muslim mengkhitan anak-
anak perempuan mereka. Tradisi khitan terus berlanjut
dari dulu karena tiadanya bukti-bukti valid yang
melaporkan dampak mudaratnya—dan ini wajar karena
dulu ilmu kedokteran belum berkembang pesat seperti
sekarang. Nah, dengan adanya temuan kedokteran yang
memberatkan, seyogianya sudah cukup syarat untuk
tidak melakukannya. Bahkan, jika praktiknya sampai
menimbulkan dampak yang sangat jelas (misalnya,
pendarahan hingga kematian), maka hukumnya berubah
menjadi haram.

Menurut Syeikh Ali Jum’at, wacana larangan khitan


perempuan di Mesir sudah berlangsung lama. Awalnya
bisa dirunut ke surat edaran menteri pada 1959 bahwa
lembaga kementerian kesehatan tidak boleh melegalkan
khitan perempuan, tetapi karena masih membudaya,
khitan perempuan sebaiknya diserahkan kepada dokter
yang ahli. Sikap dilematis pemerintah Mesir setengah abad
lalu, persis sikap pemerintah Indonesia sekarang. Seiring
banyaknya laporan kemudaratan khitan, Kementerian
Kesehatan Mesir pada 1996 kembali mengeluarkan
peraturan menteri yang lebih rigid soal bahaya khitan
perempuan dan larangan mempraktikannya.

21
Sebagian muslim yang sempit pemahamannya, menurut
Syeikh Ali Jum’ah, menuduh pemerintah Mesir telah
kelewat batas sampai berani melanggar syariat. Tuduhan
itu jelas berlebihan. Ulama Mesir sudah meneliti bahwa
tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadis yang memerintah
khitan perempuan. Hadis yang ada tidak berbunyi
perintah khusus. Itu pun status hadisnya tidak ada
yang sampai pada level sahih. Ini berarti, sesuai kaidah
ushul fiqh, hukum yang dihasilkan ulama terdahulu
merupakan produk ijtihad dari nas zhanni, sehingga
masih terbuka untuk menetapkan hukum baru yang
lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Karena
itulah, ulama Mesir yang melarang khitan perempuan
sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Justru
merupakan kemajuan dalam ijtihad hukum fikih. Banyak
juga negara-negara muslim yang tidak melakukan
praktik khitan. Bahkan di Indonesia, dugaan kuat
saya, praktiknya bersifat sporadis; tidak merata di
semua daerah. Populer di satu daerah pun belum tentu
dilakukan setiap kepala keluarga.

United Nations Population Fund (UNPF), saat ini mem­


perkirakan terdapat 200 juta perempuan yang dikhitan
di seluruh dunia; tersebar di Afrika, Asia, Eropa, dan
Amerika. Di dua benua terakhir, khitan dipraktikkan
oleh keluarga imigran yang berasal dari Afrika dan Asia.
Namun, yang terbanyak tetap di Afrika. Di sana khitan
perempuan dipraktikkan di 29 negara. Yang barangkali
mengejutkan bagi Anda adalah di Timur Tengah, Arab

22
Saudi tidak termasuk negara yang mempraktikkan
khitan perempuan. [Anda berani menuduh Arab Saudi
sebagai gembong liberal?] Hanya Oman, Uni Emirat Arab,
Yaman, Irak, Iran, dan Palestina yang mempraktikkannya.
Ini menguatkan pendapat Syeikh Ali Jum’ah bahwa
khitan perempuan lebih merupakan pengaruh budaya
ketimbang syariat.

Atas pertimbangan rekomendasi medis dan psikologis—


disertai absennya dalil yang kuat (karena itu muncul
khilāfiyyah) serta aspek historis yang menunjukkan
khitan perempuan bukan murni tradisi Abrahamik—
itulah yang membuat saya enteng saja memutuskan:
Birdy Tidak Perlu Dikhitan.

Di tengah kebimbangan perasaan istri untuk memutuskan,


iseng-iseng saya bertanya:

“Emang gimana sih praktik khitannya? Beneran dipotong?”


“Aku gak tahu. Tapi katanya cuma digores.”
“Dan itu diyakini sebagai kewajiban syariat?”
“Iya.”
“Tapi kalau memang mengikuti pendapat yang wajib,
harusnya tidak sekadar digores dong!”
“Emang gimana?”
“Ya dipotong. Definisinya kan qath’u jildah, memotong
selaput.”

23
“Kasian juga ya. Aku gak tega.”
“Kalau beneran ngikutin hukum, tapi praktinya sekadar
digores, kan gak sesuai juga sama fikih?”
“Iya juga sih.”
“Lah, terus?”
“Ya udah aku ikut kamu.”
“Gitu dong. Tosss….”

Sleman, 05 November 2021

24

Anda mungkin juga menyukai