Anda di halaman 1dari 7

Kata Pengantar

Assalamu'alaikaum, Wr. Wb.

Sampurasun,

Sejarah masa silam di wilayah Kabupaten Ciamis selalu menarik untuk digali dan dikaji. Dari
tanahnya yang purba selalu memunculkan hal-hal baru dan tidak terduga dalam persfektif
sejarah masa lampau. Tinggalan benda-benda arkeologis maupun sumber-sumber ketradisian
yang masih hidup ditengah masyarakat menunjukan bahwa kawasan Kabupaten Ciamis kaya
dengan tinggalan sejarah yang harus digali lebih dalam lagi. Dari masa prasejarah sampai
masa kemerdekaan, banyak peristiwa di masa lampau dan peninggalannya yang masih
terpendam. Dan dari sekian banyak temuan kesejarahan Ciamis sampai saat ini masih belum
cukup menggambarkan masa lampau Ciamis yang terentang begitu panjang.

Setiap kecamatan di Kabupaten Ciamis adalah mata rantai yang saling berkaitan, tumbuh dan
berkembang dari masa ke masa. Banyak kisah yang tersimpan dalam catatan sejarah, namun
banyak pula yang masih tercecer menanti untuk dikumpulkan. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai sejarahnya, namun sejarah tanpa bukti yang kongkrit hanya
kenangan dan romantika masa lalu. Salah satu cara untuk menunjukan bukti bahwa masa kini
terlahir dari masa lalu adalah keinginan kuat untuk mengarsipkan setiap peristiwa yang terjadi
atau yang telah terjadi. Tentu bukan pekerjaan yang mudah. Arsip bukan hanya selembar kertas
dan setumpuk buku, namun sebuah daya upaya untuk merekam jejak budaya sebagai cermin
pengetahuan bagi generasi dimasa yang akan datang.

Upaya penelusuran masa lampau untuk dijadikan arsip sejarah yang isinya terangkum dalam
buku sederhana ini belum mampu menggambarkan apa yang diharapkan. Namun setidaknya,
buku ini menjadi upaya nyata dengan segala keterbatasannya untuk mencatatkan gejala
kesejarahan di Kecamatan Sindangkasih. Penelusuran ini semula hanya berusaha mencatat
dan menuliskan kembali tinggalan sejarah di Desa Wanasigra, Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis. Akan tetapi kemudian berkembang ke Desa Gunung Cupu dan Desa
Budiharja yang memungkinkan memiliki keterkaitan sejarah satu sama lain. Dan dari
penelusuran di lapangan ternyata banyak situs-situs sejarah berupa makam-makam kuna dari
tokoh-tokoh yang berjasa di masa lalu dan kabuyutan yang menjadi ciri dari perkembangan
sebuah kawasan juga mulai terlupakan.

Disadari, bahwa dari data yang dikumpulkan tidak semua dapat terungkap kesejarahannya.
Tinggalan-tinggalan yang bersifat arkeologis memerlukan penelitian mendalam. Demikian pula
dukungan ilmu-ilmu lainnya, diperlukan untuk lebih melengkapi dan memperkaya analisa dari
berbagai sudut pandang. Untuk memahami sejarah memang diperlukan banyak bidang
keilmuan karena kesejarahan menyangkut kehidupan manusia dan alamnya yang begitu
kompleks. Maka dari itu sangat disadari banyak kelemahan dalam penelusuran arsip sejarah
Wanasigra, Gunung Cupu, dan Budiharja ini.

Namun kesejarahan memiliki sifat dinamis. Seiring bergulirnya waktu semoga akan muncul
temuan kesejarahan di berbagai daerah di Kabupaten Ciamis untuk dikaji dan diarsipkan
melengkapi yang sudah ada. Bagaimanapun juga mengkaji sejarah dalam berbagai bidang ilmu
adalah upaya menautkan peristiwa sejarah sedekat mungkin. Dan sekali lagi apa yang tersaji di
buku ini masih jauh dari dekat. Sudah barang tentu berbagai saran dan kritik yang membangun
perbaikan dimasa yang akan datang.

Terakhir kami sampaikan ucapan terima kasih kepada yang

terhormat:

1. Bapak Bupati Ciamis, H. ling Syam Arifin yang telah

merestui penyusunan buku ini

2. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Ciamis, Ibu Hj. Titin, S.H. yang telah
mengakomodir konsep dan rencana pembuatan buku ini sehingga menjadi program Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Ciamis

3. Staf Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Ciamis 4. Bapak R.H. Gun Gun Gurnadi,
yang telah banyak membantu

memberikan data genealogi yang tak ternilai harganya 5. Bapak Nanang Saptono, arkeolog
yang banyak memberikan

masukan dan pemahaman tentang arekologi

6. Bapak Nono Darsono, Sdr Tizi Rakyan dan Sdr Lili Suherli yang telah banyak membantu
pendataan situs-situs sejarah di lapangan

7. Rekan-rekan Yayasan Tapak Karuhun Nusantara yang telah memberikan data dan informasi
situs-situs sejarah di Kecamatan Sindangkasih

Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini sehingga hasilnya
bermanfaat untuk memperkaya wawasan sejarah di Kabupaten Ciamis.

C. DESA BUDIHARJA.
Kondisi Geografis Desa Budiharja sebagian besar beada di lereng Gunung Sawal, bentang
topografi perbukitan memanjang dari arah timur laut (Gunung Sawal) di kordinat 7°15'29.2"S
108°14'36.8"E ke Sungai Citanduy yang berada dilembah di kordinat 7°17'34.3"S
108°13'07.8"E. Sungai Citanduy menjadi batas desa, sekaligus batas kabupaten antara Ciamis
dan Tasikmalaya.

Desa Budiharja berada di ketinggian 500 dpl. Curah hujan 2.715 mm/ tahun dengan suhu udara
28° C. Batas Desa Budiharja sebelah Utara merupakan Gunung Sawal, Sebelah Selatan sungai
Citanduy, Sebelah timur Desa Budiasih dan Sebelah Barat Desa Sukamanah. Desa Budiharja
terdiri dari empat dusun yaitu Dusun Kalangari, Dusun Cikiray, Dusun Sukamaju dan Dusun
Pangrumasan.

Dari letak geografisnya dan tofografi Desa Budiharja merupakan desa yang terletak di dataran
tinggi dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah dari bidang pertanian
dengan mengolah lahan tanah. Baik lahan sawah maupun kebun. Sedangkan ditinjau dari
pengelompokan bangunan rumah didapat beberapa pola pemukiman diantaranya pola radial
yang perumahan-perumahannya berkelompok pada persimpangan jalan seperti permapatan
jalan, kemudian pola linier yaitu yang perumahan penduduknya memanjang mengikuti alur jalan
desa atau jalan raya, aliran sungai dan lembah dan pola yang pemukiman penduduk dan
bangunan perlengkapan desa berkelompok disekeliling alun-alun. Desa Budiharja asalnya
berada di Desa Sukajaya yang dimekarkan tahun 1982 menjadi Desa Budiharja dan Desa
Budiasih.

Situs-Situs Di Desa Budiharja

Sebaran Situs berupa makam keramat di Desa Budiharja, diantaranya terdapat di Kampung
Cikiray. Dari wawancara dengan narasumber di Kampung Cikiray bahwa pada jaman genting
Kampung Cikiray selalu diserang oleh kelompok garong dari Cihaur. Sesepuh di Cikiray
kemudian mengundang patinggi dari Ciamis bernama Jayadikusumah. Oleh Patinggi
Jayadikusumah, kampung Cikitay ditanami pohon Haur Gereng. Akhirnya kampung ini selamat
karena dari jauh tidak terlihat tertutupi kerimbunan haur gereng yang seperti ombak.

Makam-makam kuna di Kampung Cikiray berdasarkan data Komunitas Tapak karuhun yaitu 1.
Makam-makam Kuna di Astana Gede Pasarean Makam Eyang Patinggi, 2), Makam Kuno

          1. Situs Makam-makam kuna di Astana Gede/Pasarean Makam Eyang Patinggi

Makam-makam kuna di Astana Gede Pasarean terbagi dalam 3 kelompok berdasarkan


keletakan dan tinggi tanah yang bertingkat ke arah timur laut. Sebelah tenggara pemakam
merupakan tebing yang cukup curam. Sehingga area pemakaman berada di arah
Tenggara-barat laut dan timur laut. Sedangkan orientasi pemakaman ini memanjang dari arah
barat laut-timur laut.
a. Kelompok Pertama

Kelompok pertama merupakan makam masyarakat yang posisinya menyebar di bagian barat
laut. Kelompok Kedua adalah area makam Eyang Patinggi yang ditandai dengan pembatas dari
tembok, ketiga adalah makam Eyang Mukarom. Kelompok makam kedua merupakan makam
patinggi atau pejabat sedangkan makam ketiga yang berlokasi di areal tanah yang lebih tinggi
merupakan makam alim ulama. Vegetasi di komplek pemakaman ini terdiri dari pohon Jati,
Kamuning, bambu, Caringin dan Mahoni.

b. Kelompok Kedua

1. Situs Makam Eyang Patinggi

Makam Eyang Patinggi berada di Dusun Cikiray RT 14.RW.04. Blok Petir. Berada pada kordinat
7°16'14.55"S 108 13 25.77"E. Astana Gede merupakan komplek pemakaman umum yang
berada perbukitan dengan ketinggian 428 dpl. Dipemakaman ini terdapat beberapa makam
yang dikeramatkan diantaranya makam Eyang Patinggi yang merupakan salah satu tokoh
leluhur kampung yang berjasa mengusir garong dari Kampung Cikiray.
Makam Eyang Patinggi tanpa nisan dan jiratnya berupa ditembok ukuran jirat 243 cm x 135 cm
dan makam ini tanpa nisan. Area yang menjadi kawasan makam Eyang Patinggi seluas 16,918
m² dengan pembatas tembok setinggi 30 cm dan lebar 20 cm. Dari panjang dan lebar makam
Eyang Patinggi berorientasi utara-selatan yang merupakan ciri makam Islam. Berjarak 10 m
kearah timur laut terdapat patok kadester terbuat dari batu di titik kordinat 7°16'45.11'S
108°13'26.30"E di ketinggian 429 dpl.

Nama Patinggi Cikiray tertulis dalam buku Silsilah Sejarah Galuh Karya R Gun Gun Gurnadi,
adalah R.Demang Sumapraja, putra dari R. Tumenggug Jayengpati V (Jayakusumah) Bupati
Ciamis dari istrinya yang bernama Ni Ajeng Majaresmi. (Jayakusumah memiliki 6 istri dan 16
anak). Jabatan Patinggi Patinggi merupakan jabatan yang membawahi lurah-lurah atau jabatan
asisten camat. Jabatan Patinggi sampai tahun 1870 tidak mendapat surat pengangkatan dari
Hindia Belanda. R.Demang Sumapraja ditugaskan oleh ayahnya di Cikiray. Kakak dari R.
Demang Sumapraja adalah R. Tmngg. Jayengpati IV, Bupati Ciamis 1800-1811, dari beda ibu.
Ibu R. Tumenggug. Jayengpati IV adalah Ni Ajeng Landeuh.

2. Situs Makam Nyi Mas Purba Dewi Berada di area makam Patinggi Jayadikusumah,

berjarak 3 meter disebelah barat laut. Tipe nisan makam Nyi Mas Purbadewi berciri demak
troloyo dengan ukiran daun dan sulur. Nisan berukuran tinggi 50 cm, lebar 24 cm dan tebal 7
cm. kedua nisan terbuat dari batuan andetsitik Bentuk kepala segitiga yang merupakan
polageometris dari hiasan daun dikiri dan kanan. Ditengahnya terdapat lingkaran menonjol
(medallion) dengan pahatan aksara arab pegon yang dibaca Nyi Mas Purba Dewi.

Di kiri kanan nisan terukir motif daun pakis lengkung bergaris sampai ke mahkota makam. Tipe
seperti ini menunjukan nisan yang dipakai oleh para penyebar Islam awal di beberapa daerah.
Dari unsur seperti ini menunjukan pengaruh pra islam (medalion) yang digubah pada masa
penyebaran Islam. Nisan seperti ini hanya satu satunya di Astana Gede/Pasarean Eyang
Patinggi. Di nisan makam tidak tercantum angka tahun dan Namun menurut narasumber Nyi
Mas Puba Dewi masih kerabat dari Eyang Patinggi.

Dalam

buku

Silsilah Sejarah Galuh

Karya R

Gun Gun

Gurnadi, Ni Mas Purbadewi adalah putri dari R. Mangkunegara. R Mangkunegara merupakan


putra dari R. Tumgg Jayengpati

(Jayakusumah) Bupati
bernama Ni Ajeng

Landeuh.

Jadi, R Mangkunegara adalah adik kandung R. Tumenggung Jayepati IV, Bupati Ciamis
1800-1811

c. Kelompok Ketiga

1. Sitas Makam Eyang Mukarom

Makam Eyang Mukarom berada di kelompok ketiga dengan luas areal 3,130 m² dengan
kordinat 7°16'42.73"S 108°13'26.77"E dan berada di ketinggian 434 dpl. Lokasi makam ini
hanya berjarak 15 meter arah timur laut dari makam Patinggi Sumapraja. Kedua nisan terbuat
dari batu andesit berbentuk pipih tidak

beraturan. Bagian lebar dari jirat nisan sejajar dengan letak nisan. Nisan Makam Eyang
Mukarom sebelah utara berukuran lebar 33 cm, tinggi 38 cm. Nisan bagian selatan tinggi 26 cm
lebar 30 cm. panjang antara kedua nisan 127 cm sedangkan lebar jirat 70 cm terbuat dari batu
andesit pipih yang ditanam vertikal. Sebagian jirat sudah hilang dari jajaranya. Menurut Aan
Hasan Aan Hasan, Kepala Kampung Cikiray, Eyang Mukarom merupakan panembahan dan
ulama dari Cirebon, putra Eyang Diptapati yang menjadi leluhur kampung Cikiray. Keberadaan
Eyang Diptapati lebih awal dari Eyang Patinggi Sumapraja. Makam Eyang Mukarom bersama 8
makam tua yang sudah tak dikenal lagi.

    2.Situs Makam-makam Kuna


    
Di area makam Eyang Mukarom terdapat makam makam kuna yang tak dikenal berjumlah 8
makam. Ukuran panjang maupun lebar dari jiratnya berbeda-beda.Bentuk jirat tegak serupa
lingga berjumlah 3 buah. Jirat berbentuk menhir bergelung dari batu pipih satu buah dan
sisanya berupa jirat lebar dari batu pipih yang ditanam vertical berjajar membentuk garis jirat.
Semuanya material makam dari batu andesitic.

Dari kondisi makam yang dapat di ukur jarak jiratnya maka hanya berjumpa 4 makam. Makam
1. Panjang 120 cm,lebar 60 cm nisan bati tegak setinggo 40 cm serupa menhir. Makam 2,
panjang jirat 120 cm, lebar 60 cm nisan batu batu alam pipih. Makam 3, berukuran panjang 120,
lebar 60 cm nisan dari batu alam. Kordina semua makam ini masih berada di titik kordinat
7°16'42.73"S 108°13 26.77"E.

3. Situs Makam Diptapati

Makam Eyang Diptapati berada di RT 16/05, Dusun Cikiray. Desa Budiharja, Blok Kebon
Jengkol pada kordinat 7°16'49.31"S 108°13'33.14 E. Berada pada ketinggian 416 dpl. Jirat
makam dari batu pipih vertical dan pinggirannya di kramik dengan ukuran panjang 110 cm lebar
30 cm. Di area Makam Diptapati yang luasnya 90,1 m² juga terdapat makam-makam penduduk.
Arah makam utara-utara selatan. Vegetasi di kompleks makam ini adalah Pohon Jambu Batu
(Psidium guajava), Pohon Mareme (Glochidion arborescens Blume), Pohon Nangka
(Artocarpus heterophyllus). Pohon Cengkih (Eugenia aromatica). Pohon Kelapa(Cocos nucifera
L). Pohon Limus (Mangifera foetida Lour.) dan Pohon Jengkol (Archidendron pauciflorum)

Eyang Diptapati merupakan salah satu leluhur Cikiray yang mengeluarkan pacaduan yang
bunyinya "cadu tujuh turunan moal nguruskeun kalah beak saga" (Pantrang tujuh turunan untuk
mengurus Negara, membuat habis segalanya). Pacaduan ini dimaksudkan tujuh turunannya
jangan ada yang bekerja di pemerintahan, karena bekerja dipemerintahan malah menghabiskan
segalanya. Keluarga Eyang Diptapati masih melaksanakan kegiatan mencuci pusaka setiap
Bulan Mulud.

4. Situs Makam Eyang Candradita (Ki Bangkit) dan

Tiptapati

Makam Eyang Candradita dan Eyang Tiptapati berada di blok Ki Bangkit. RT.19, RW.05. Letak
kedua makam berada di puncak bukit dengan luas 75 m². Kordinat makam berada pada
7°16'49.31"S 108°13'33.14"E dengan ketinggian 402 dpl. Bukit tersebut berada dipinggir Sungai
Cigayam yang mengalir berada di selatan. Posisi Kedua makam berdampingan dengan kondisi
jirat dan tatanan batu tidak beraturan. Orientasi makam menunjuk utara-selatan yang
merupakan ciri makam Islam. Posisi makam Eyang Candradita berada di sebelah barat dari
makam Eyang Tiptapati.

Ukuran makam Eyang Candradita panjangnya 210 cm, lebar 150 cm. Jirat dan san terbuat dari
batu alam pipih dan tanpa Sedangkan nisan. Makam Eyang Tiptapati, panjang 168, lebar 95
cm. Jirat dan nisan terbuat dari batu alam pipih. Di arah tenggara makam Eyang Tiptapati, tepat
disamping jirat makam tergeletak batu persegi panjang pipih berukuran panjang 89 cm, lebar 42
dengan tebah 7 cm. Batu andesit tersebut diduga merupakan meja batu atau dolmen.

Kedua tokoh ini menurut narasumber merupakan sepasang suami istri yang datang dari Kawali
menuju ke Bantar Bende (Bantar Peundeuy). Sesampai di Bantar Peundeuy kemudian
memukul bende di tempat tersebut. Eyang Candradita dan Eyang Tiptapati kemudiam
bermukim di Bantar Peundeuy sehingga kedua tokoh ini merupakan leluhur warga di Bantar
Peundeuy di wilayah Desa Sukaraja. Vegetasi yang ada di kawasan makam adalah Pohon
Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.), Pohon Teureup (Artocarpus elasticus), Pohon Jati
(Tectona grandis), Pohon Tangkil (Gnetum gnemon) dan Pohon Ciciap (Ficus septica)

5. Situs Batu Kuda Gunung Galinggem

Situs Batu Kuda Gunung Galinggem berada di blok

Tarik Kolot, Kampung Cikiray, Desa Budiharja. Berada di kordinat 7°16'59.63"S 108°13'33.31"E
dengan ketinggian 394 dpl. Gunug Galinggem sebenarnya merupakan bukit kecil dengan
struktur berundak dengan luas puncaknya 57,4 m². didataran puncak terdapat 9 makam sudah
tidak dikenal lagi. Ragam nisan Makam-makam yang menggunakan batu alam sebanyak
makam dan 5 yang menggunakan nisan tipe demak troloyo. Sebanyak 4 makam. Gunung
Galinggem dikenal oleh masyarakat setempat karena keberadaan Batu Kuda yang masih
dianggap sakral. Batu kuda ini berada di pinggir bukit arah barat laut dengan kordinat
7°16'59.26"S 108°13'33.29"E dan 394 dpl. Batu Kuda berukuran tinggi 55 cm, lebar 60 cm dan
tebal 26cm. Batu kuda merupakan batu alam andesit yang berdiri tegak dengan kepala yang
menonjol runcing menyerupai kepala kuda. Arah tonjolannya menunjuk ke utara. Batu kuda
menunjukan gejala sebuah menhir yang merupakan lambang peribadatan masa pra Islam.

Penamaan Galinggem diambil dari sejenis tumbuhan yang bernama Galinggem (sunda). Nama
latinnya adalah Bixa orellana L. Galinggem ini dikenal ditempat lain sebagai bunga parada
(Bugis), kunyit jawa (Melayu), taluka (Ambon), kesumba (Minangkabau), dan sumba keling
(Jawa), rocouyer (Inggris).

Galinggem sejak lama sudah dikenal sebagai tanaman obat. sedangkan pada bagian biji
terdapat zat warna yang berwama merah yang masyarakat Indonesia umumnya menggunakan
secara tradisional untuk pewarna rambut dan kuku serta secara modern untuk lipstick.Selain
bermanfat untuk obat, pewarna kosmetik, digunakan juga sebagai pewarna makanan dan
pewarna tekstil yang diterapkan untuk batik.

MAMAT

Anda mungkin juga menyukai