Anda di halaman 1dari 21

Modul 3 Penggolongan, Pengenaan, dan Tarif Pajak Dra. Harmanti, M.Si.

PENDAHULUAN D
alam menerapkan suatu pajak tidak dapat diterapkan begitu saja. Suatu pajak perlu ditetapkan
terlebih dahulu penggolongannya baru kemudian ditentukan bagaimana pengenaannya, dan
setelah itu ditetapkan tarifnya. Ada beberapa kriteria yang dapat diterapkan sebelum pajak
tersebut diterapkan, yaitu: 1. pajak dikenakan atas apa; 2. siapa yang membayar pajak; 3. siapa
yang menanggung beban pajak; 4. siapa yang memungut pajak. Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan di atas kemudian dijabarkan pada pajak yang baru tersebut yaitu termasuk golongan
pajak apa dilihat dari instansi yang memungut, sifatnya, dan golongannya. Langkah berikutnya
adalah menetapkan tarifnya. Dalam menetapkan tarif ini masih ada langkah lain yang harus
dilihat terlebih dahulu yaitu apa subjek dan objek pajak tersebut. Setelah diketahui subjek dan
objek pajaknya, baru dibahas mengenai tarifnya. Setelah subjek, objek, dan tarif ini diketahui
maka akan muncul adanya utang pajak. Dilihat dari sifatnya apakah pajak baru tersebut termasuk
pajak langsung ataukah tidak langsung. Apabila termasuk pajak langsung, maka pajak tersebut
tidak dapat digeserkan beban pembayarannya. Namun, bila pajak tersebut termasuk pajak tidak
langsung, maka ada kemungkinan untuk dibebankan pada Wajib Pajak lain. Contoh yang paling
jelas adalah pada Pajak Pertambahan Nilai di mana yang menanggung pajak bukan pengusaha
kena pajak melainkan konsumen.

3.2 Administrasi Perpajakan  Dengan mempelajari Modul 3 ini, Anda diharapkan dapat
menguraikan mengenai: penggolongan pajak, tarif pajak, serta pergeseran dan keterkenaan pajak.
Secara khusus, Anda diharapkan mampu: 1. menjelaskan penggolongan pajak; 2. menguraikan
tarif pajak; 3. menjelaskan pergeseran dan keterkenaan pajak.

 ADBI4330/MODUL 3 3.3 Kegiatan Belajar 1 Penggolongan Pajak D alam berbagai literatur


Ilmu Keuangan Negara dan Pengantar Ilmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau
penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis pajak. Pembedaan atau
penggolongan pajak tersebut didasarkan pada suatu kriteria, yaitu: 1. siapa yang membayar
pajak; 2. siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; 3. apakah beban pajak dapat
dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain; 4. siapa yang memungut pajak; 5. sifat-sifat yang
melekat pada pajak yang bersangkutan; 6. pajak dikenakan atas apa. Pembagian pajak dapat
dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada bagan berikut ini. Pajak Langsung Berdasarkan Golongan Pajak tidak
Langsung Pajak Pusat/Negara Pajak Berdasarkan Wewenang (Pemungut) Pajak Daerah Pajak
Subjektif Berdasarkan Sifat Pajak Objektif Secara lebih rinci, penggolongan pajak terdiri atas
berikut ini. A. BERDASARKAN ORGANISASI PENGELOLANYA Pembedaan ini didasarkan
pada kriteria lembaga atau instansi yang memungut pajak. Pajak pusat adalah pajak yang
diadministrasikan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan, yakni Direktorat
3.4 Administrasi Perpajakan  Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang
dipungut oleh daerah, dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). 1. Pajak Pusat
Merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum (negara). Pajak yang pengelolaannya oleh Direktorat Jenderal Pajak, meliputi
berikut ini. a. Pajak Penghasilan (PPh) yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima oleh wajib pajak baik perorangan maupun badan hukum. b. Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas penyerahan barang dan jasa baik
ekspor maupun impor. c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu pajak yang dikenakan atas
bumi dan bangunan. d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. e. Bea Meterai yaitu pajak
yang dikenakan atas bea meterai. Pajak yang pengelolaannya oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, meliputi, berikut ini. a. Bea Masuk (UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006). b. Cukai Tembakau dan cukai lain-
lain (UU No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No. 39 Tahun
2007). c. PPN Impor. Pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Moneter,
meliputi berikut ini. a. Pajak ekspor dan penerimaan bukan pajak oleh Ditjen Moneter Dalam
Negeri. b. Pajak penerimaan/penghasilan minyak termasuk penerimaan lainnya, oleh Ditjen
Moneter Luar Negeri. 2. Pajak Daerah Merupakan pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah daerah guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Pajak daerah meliputi
pendapatan asli daerah yang terdiri atas:

 ADBI4330/MODUL 3 3.5 a. hasil pajak daerah (pajak penjualan); b. hasil retribusi daerah
(PKB); c. sumbangan dari pemerintah. Sumber pungutan Pajak Pusat relatif tidak terbatas
sedangkan objek Pajak Daerah sangat terbatas jumlahnya, artinya objek pajak yang telah
dikenakan oleh negara tidak boleh lagi dikenakan oleh daerah supaya terhindarnya pengenaan
pajak berganda. Kemudian area pajak daerah adalah area pajak yang belum dikenakan pajak oleh
negara. Setelah pelaksanaan otonomi daerah yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001
maka pajak daerah dipernisi secara jelas agar tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya
sehingga tidak membebani rakyat (wajib pajak). Sesuai dengan pembagian administrasi daerah,
maka berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah, dapat digolongkan menjadi dua
macam yaitu Pajak Propinsi, dan Pajak Kabupaten/Kota: a. Pajak yang dipungut oleh propinsi
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak provinsi terdiri dari: 1) pajak
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; 2) bea balik nama kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air; 3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor; 4) pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dipungut oleh provinsi tersebut,
baik besarnya tarif maupun jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya,
provinsi tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah ditentukan. b.
Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2000,
jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: 1) pajak hotel, 2) pajak restoran, 3) pajak hiburan, 4)
pajak reklame, 5) pajak penerangan jalan,

3.6 Administrasi Perpajakan  6) pajak pengambilan bahan galian golongan C, 7) pajak parkir,
8) pajak lain-lain. Tarif dan penagihan pajak daerah diatur dalam peraturan pajak daerah yang
bersangkutan. Peraturan pajak daerah juga dapat diadakan ketentuan tentang keharusan wajib
pajak untuk mengisi semacam SPT yang berupa daftar isian yang disampaikan kepadanya yang
dapat digunakan untuk penetapan pajak. Penagihan pajak daerah dapat pula dilakukan dengan
Surat paksa yang ditandatangani oleh Kepala daerah setelah melalui peringatan dan teguran
terlebih dahulu. Pelaksanaan Surat Paksa dilakukan oleh Juru Sita. Dalam hal wajib pajak
keberatan atas ketetapan pajak maka dalam jangka waktu 3 bulan sesudah ketetapan pajak
diberikan atau dikirimkan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis yang
ditujukan kepada kepala daerah yang menetapkan pajak tersebut. Apabila keputusan atas
keberatan yang diajukan tidak dapat diterima oleh wajib pajak, maka wajib pajak dapat
mengajukan banding yang ditujukan kepada Peradilan Pajak di Jakarta menurut ketentuan yang
berlaku. Permohonan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan itu
diterima. B. BERDASARKAN GOLONGANNYA 1. Pajak Langsung (Direct Tax) Pajak
langsung adalah pajak yang pembayarannya atau pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada orang lain. Misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Perseroan, dan Pajak Kekayaan. 2. Pajak
Tidak Langsung (Indirect Tax) Pajak tidak langsung adalah jenis-jenis pajak yang
pemungutannya tidak secara langsung kepada Wajib Pajak, dapat juga berarti pajak yang
pembayarannya atau pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: PPN dan
PPnBM, Cukai, dan Pita Rokok. Perbedaan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat
ditinjau dari beberapa hal, yaitu sebagai berikut.

 ADBI4330/MODUL 3 3.7 a. Dari segi administrasi pemungutan (yuridis) Pajak langsung


merupakan pajak yang secara periodik (berkala), artinya pajak dipungut secara teratur dalam
jangka waktu yang ditentukan, misalnya tiap tahun. Sedangkan pajak tidak langsung merupakan
pajak yang dipungut secara insidental, artinya pajak hanya dipungut jika terjadi kegiatan saja. b.
Dari segi pembebanan (ekonomis) Pajak langsung pembayarannya tidak dapat dilimpahkan
kepada pihak lain seperti PPh. Sedangkan pajak tidak langsung pembayarannya dapat
dilimpahkan pada pihak lain yang dapat berupa substitusi dan shifting, seperti pada PPN. Pada
saat membedakan pajak tersebut termasuk pajak langsung atau tidak langsung dari sudut
ekonomis, perlu dipelajari dan dipahami terlebih dahulu beberapa istilah seperti: tax burden
adalah beban pajak yang dipikul di atas bahu seseorang, tax incidence adalah akibat keterkenaan
pelimpahan beban pajak, dan tax destinaris (destinaris berasal dari bahasa Inggris yang berarti
tujuan), yaitu pihak yang memang dituju oleh undang- undang perpajakan untuk memikul beban
tersebut. Tax shifting merupakan proses pelimpahan beban pajak dari satu pihak kepada pihak
lainnya, tax shifting terbagi dua, yaitu pertama forward shifting, yaitu pelimpahan pajak ke
depan. Contohnya pengusaha rokok yang melimpahkan beban pajak berupa cukai yang
seharusnya ditanggungnya ke konsumen. Kedua backward shifting, yaitu pelimpahan beban
pajak ke belakang. Contohnya pengusaha rokok yang mengurangi pembelian tembakau dari
petani sehingga harga di petani tembakau menjadi jatuh. c. Dari lembaga yang menyelesaikan
perselisihan Pajak langsung merupakan pajak yang perselisihannya diselesaikan melalui
peradilan administrasi tidak murni, yaitu dengan cara mengajukan keberatan kepada Dirjen
Pajak. Jika masih belum puas dapat minta banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
Sedangkan pajak tidak langsung penyelesaian perselisihannya dilaksanakan di muka pengadilan
negara yang sekarang merupakan Pengadilan Administrasi Murni. C. BERDASARKAN
SIFATNYA Pembedaan pajak subjektif dan pajak objektif diperkenalkan oleh Prof. Dr. P.J.A.
Adriani dalam bukunya yang terkenal Het Belastingrecht.

3.8 Administrasi Perpajakan  1. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal
pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya,
kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada hubungan
antara negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi, yang penting adalah subjeknya, yang
dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. Pajak subjektif adalah pajak yang
berpangkal pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan
orangnya, kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada
hubungan antara Negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi yang penting adalah
subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. 2. Pajak Objektif Pajak
objektif adalah pajak yang berpangkal pada obyek yang dikenakan pajak dan untuk mengenakan
pajaknya harus dicari objeknya. Pada pajak objektif dimulai dengan obyeknya seperti keadaan,
peristiwa, perbuatan dan lainnya, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar
pajaknya, yaitu subjeknya. Dalam pemungutan pajak objektif harus ada hubungan antara Negara
pemungut pajak dengan objek pajak. Pajak objektif selalu dipungut berdasarkan asas sumber,
sedangkan pajak subjektif selalu dipungut berdasarkan asas domisili dan asas nasionalitas.
Menurut Safri Nurmantu, penggolongan pajak juga dapat dilihat melalui pajak pribadi dan pajak
kebendaan. Yang termasuk pajak pribadi adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan
kondisi wajib pajak, misalnya apakah wajib pajak tersebut sudah menikah atau belum, apakah
wajib pajak tersebut mempunyai anak, seandainya punya ada berapa? Pajak pribadi ini dapat kita
lihat pertama pada Pajak Pendapatan 1944 yang dikenal dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak
(BPBP) yang memungkinkan seorang wajib pajak menikmati pengurangan BPBP sampai dengan
sepuluh anak. Kedua pada Pajak Penghasilan 1983 yang diwujudkan dalam Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), di mana jumlah maksimum pengurangnya adalah 3 anak/tanggungan. Yang
termasuk Pajak Kebendaan adalah pajak yang waktu pengenaannya tidak memperhatikan
keadaan wajib pajak. Pajak Kebendaan ini terdapat pada Pajak Penjualan 1951 dan Pajak
Pertambahan Nilai 1984 di

 ADBI4330/MODUL 3 3.9 mana seorang pembeli minuman kaleng harus membayar harga
barang ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) tanpa terkecuali. LATIHAN Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apakah
yang membedakan antara pajak langsung dan Pajak Tidak Langsung? 2) Uraikan secara singkat
dan berilah contoh serta tentukan perbedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif! 3) Coba
Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan tax shifting, dan beri contoh! Petunjuk Jawaban
Latihan 1) Untuk menjawab soal No. 1 ini, coba baca kembali pengertian pajak langsung dengan
pajak tidak langsung dan berilah masing-masing contoh. Dari situ akan terlihat perbedaan antar
pajak langsung dengan pajak tidak langsung. 2) Untuk menjawab soal No. 2 ini, coba baca
kembali pengertian pajak subjektif dengan pajak objektif dan berilah masing-masing contoh.
Dari situ akan terlihat perbedaan antar pajak subjektif dengan pajak objektif. 3) Tax shifting
terdiri dari dua, yaitu forward shifting dan backward shifting. Contoh untuk keduanya adalah
masalah bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB). Apabila Pak Amir beli bensin 20 liter dengan
harga Rp5.000 akan dikenai tarif 5% sehingga harus membayar sebesar Rp100.000 untuk bensin
dan Rp5.000 untuk BBKB dan jumlahnya menjadi Rp105.000. Ini merupakan forward shifting.
Namun, pada saat akan diterapkan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah di mana salah satunya adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor maka akan terjadi
pajak ganda dan ini memberatkan. Keputusan akhir pajak bahan bakar kendaraan bermotor
ditanggung oleh pengusaha kena pajak, yaitu Pertamina, dan ini merupakan backward shifting.

3.10 Administrasi Perpajakan  RANGKUMAN Dalam membedakan atau menggolongkan


pajak didasarkan pada suatu kriteria, yaitu: a. siapa yang berwenang memungut pajak; b. saat
mulainya timbulnya utang pajak; c. apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada
pihak lain; d. siapa yang memungut pajak; e. sifat-sifat yang melekat pada pajak yang
bersangkutan; f. pajak dikenakan atas apa; g. administrasi perpajakan. Secara lebih rinci dapat
diketahui beberapa jenis pajak yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Berdasarkan
Organisasi Pengelolanya Dalam hal yang berhak memungut/mengelola adalah pemerintah pusat,
maka jenis-jenis pajaknya digolongkan sebagai pajak pusat/negara. Sebaliknya jenis-jenis pajak
yang pemungutannya merupakan hak pemerintah daerah disebut pajak daerah. 2. Berdasarkan
Golongannya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pajak langsung dan Pajak Tidak
langsung. Penggolongan pajak langsung dan pajak tidak langsung ditinjau dari administrasi
pemungut dan pembebanan. Disebut sebagai pajak langsung, karena administrasi
pemungutannya dilakukan secara periodik (berkala), dalam hal ini setahun sekali, dan tahun
tersebut adalah tahun pajak atau tahun takwim kebalikannya dengan pajak tidak langsung.
Dilihat dari pembebanan pajak adalah bahwa beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada
pihak ketiga. Sebaliknya, sifat pajak tidak langsung, beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada
pihak lain, dalam hal ini konsumen melalui penambahan pajak pada harga jual. 3. Berdasarkan
Sifatnya, pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. Analisis
mulai timbulnya kewajiban pajak ada yang mengawali dari subjek pajak dan ada pula dari objek
pajak. Jenis-jenis pajak yang mulai timbulnya kewajiban pajak diawali dari subjek pajak
digolongkan sebagai Pajak subjektif. Sebaliknya, jenis-jenis pajak yang mulai timbulnya
kewajiban pajak diawali dari objek pajak disebut pajak objektif.

 ADBI4330/MODUL 3 3.11 TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1)
Yang termasuk pajak berdasarkan golongannya adalah pajak .... A. langsung B. pusat C. negara
D. subjektif 2) Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak .... A.
tidak langsung B. langsung C. objektif D. subjektif 3) Pajak yang bebannya harus ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain disebut
pajak .... A. pusat B. langsung C. subjektif D. objektif 4) Yang dimaksud dengan Pajak Daerah
adalah pajak yang .... A. bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain B. wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah daerah C. bebannya ditanggung sendiri oleh wajib pajak D.
berdasarkan tempat tinggal dari wajib pajak 5) Berikut ini merupakan pajak daerah/kota, kecuali
pajak .... A. hotel dan restoran B. hiburan C. kendaraan bermotor D. penerangan jalan

3.12 Administrasi Perpajakan  Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes
Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan
Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat
penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan
Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1,
terutama bagian yang belum dikuasai.
 ADBI4330/MODUL 3 3.13 Kegiatan Belajar 2 Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak S etelah
mempelajari kita mengetahui penggolongan pajak dalam Kegiatan Belajar 1 maka dalam
Kegiatan Belajar 2 kita akan membahas mengenai pengenaan pajak dan tarif pajak. A.
PENGENAAN PAJAK Untuk dapat terutangnya suatu pajak (pengenaan pajak), paling tidak
harus memenuhi 3 unsur yaitu adanya Subjek pajak, Objek Pajak dan Tarif Pajak. Sebelum tarif
pajak ditetapkan terlebih dahulu ditentukan subjek dan objek pajaknya. Untuk itu langkah
pertama adalah membahas mengenai subjek dan objek pajak. 1. Subjek Pajak Subjek Pajak
dalam ketentuan UU dapat berarti orang (pribadi/person) atau kumpulan orang-orang yang dapat
bertindak sebagai person (Recht Person). Kumpulan orang dapat berbentuk Perseroan Terbatas
(PT), Perseroan Komanditer (CV), koperasi, Yayasan dan sebagainya yang dalam istilah UU
disebut badan atau Bentuk Usaha Tetap (lihat UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Perpajakan sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 26 Tahun 2007). Kalau orang
dapat dituntut dan menuntut, maka kumpulan orang juga dapat dituntut dan menuntut. Demikian
juga apabila orang dapat memiliki harta dan atau kuasa menggunakan harta, maka kumpulan
orang pun demikian. 2. Objek Pajak Yang dimaksud dengan objek pajak atau dikenal juga
dengan istilah situs pajak adalah objek atau tempat di mana pajak dikenakan. Dasar hukumnya
adalah bahwa Negara di mana subjek akan dikenakan adalah bahwa Negara di mana subjek yang
akan dikenakan pajak terdapat di dalam Negara, mempunyai hak untuk memaksakan atau
mengenakan serta mengumpulkan (memungut) pajak. Objek pajak perlu dibahas karena subjek
pajak yang dapat memperoleh pendapatan, memiliki dan atau menguasai harta, mengadakan
transaksi, berada dalam suatu wilayah hukum Negara tersebut. Dengan

3.14 Administrasi Perpajakan  demikian, dapat dikatakan bahwa objek pajak adalah membahas
tentang apa yang terkena pajak tergantung kepada beberapa hal (faktor), antara lain: a. sifat dan
subjek pajak yang bersangkutan dengannya seperti orang, harta, tindakan atau aktivitas; b.
kemungkinan keuntungan dan proteksi yang nantinya dimiliki baik oleh pemerintah maupun
wajib pajak; c. tempat tinggal atau kewarganegaraan wajib pajak; d. sumber pendapatan.
Sehubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap objek pajak, bisa saja terjadi
seseorang yang berada dalam wilayah hukum suatu negara, terkena berbagai macam pajak.
Sebagai contoh orang yang memiliki pendapatan tinggi, mempunyai harta yang cukup, dan
melakukan usaha dengan mengadakan transaksi, maka yang bersangkutan akan terkena Pajak
Penghasilan, PPN, PPnBM, PBB, dan sebagainya. B. TARIF PAJAK Setelah kita mengetahui
siapa Subjek Pajak, dan apa Objek Pajak, langkah berikutnya adalah menentukan Tarif Pajak.
Adapun tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai keadilan dalam pemungutannya. Salah
satu cara untuk mewujudkan keadilan dapat ditempuh melalui sistem tarif. Tarif pajak dapat
dibedakan atas. 1. Tarif Tetap Yang dimaksud dengan tarif tetap adalah tarif yang jumlah
pajaknya dalam rupiah (atau dolar) bersifat tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya. Misalnya
tarif Bea meterai yang berdasarkan pada UU No. 13 Tahun 1985 sebagai berikut. a. Bea Meterai
untuk cek dan bilyet giro yang dikenakan bea meterai sebesar Rp3.000. b. Nilai kuitansi
Rp250.000 s.d Rp1.000.000 dikenakan Bea meterai Rp3.000. c. Nilai kuitansi atau tanda terima
uang Rp1.000.000, Rp100.000.000, Rp10.000.000 dan seterusnya dikenakan Bea Meterai
Rp6.000.

 ADBI4330/MODUL 3 3.15 Contoh: Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko


elektronik berupa: a. 1 unit Air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000,- b. 1 unit Handphone merk
Nokia @ Rp1.900.000,- Semua barang yang dibeli dibubuhi meterai oleh toko elektronik. Oleh
karena pembelian barang di atas Rp1.000.000,- maka dikenakan meterai Rp6.000 untuk satu
kuitansi pembelian. 2. Tarif Proporsional Tarif proporsional adalah tarif yang persentasenya
tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Contohnya adalah Pajak Pertambahan
Nilai/PPN di mana semua harga barang di tingkat akhir dikenakan pajak PPN adalah sama
sebesar 10%. Contoh: Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko elektronik berupa:
a. 1 unit air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000 b. 2 unit Handphone merk Nokia @ Rp1.900.000
Semua barang yang dibeli oleh toko elektronik dikenakan PPN 10%, meskipun Barnabas Suebu
membeli barang tersebut lebih dari 1 unit. Dalam hal ini persentase tarifnya tetap (proporsional)
walaupun jumlah barang yang dibeli tidak tetap. PPN yang harus dibayar oleh Barnabas Suebu
adalah: untuk AC Rp600.000, untuk 2 handphone Rp380.000.-. 3. Tarif Progresif (Meningkat)
Tarif pajak disebut progresif adalah tarif pajak yang semakin besar jika dasar pengenaan
pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif
dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif proporsional dibedakan menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut. a. Tarif Progresif-Proporsional, merupakan tarif pajak di mana persentase
semakin meningkatnya dan besarnya peningkatan dari tarifnya sama besar. Jumlah pajak yang
terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.
Tarif Progresif-Proporsional ini terdiri dari Tarif Progresif-Proporsional Absolut dan Tarif
Progresif-Proporsional Berlapis.

3.16 Administrasi Perpajakan  Contoh Tarif Progresif-Proporsional Absolut Dasar Tarif Pajak
Kenaikan Jumlah Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000
(10.000.000 x 10%) s.d Rp20.000.000 = 15% 5% Rp3.000.000 (20.000.000 x 15%)
Rp10.000.000 s.d Rp30.000.000 = 20% 5% Rp5.000.000 (30.000.000 x 20%) Di atas
Rp30.000.000 = 20% 5% Rp10.000.000 (40.000.000 x 25%) Rp20.000.000 Rp30.000.000
Rp40.000.000 Contoh Tarif Progresif-Proporsional Berlapis Dasar Tarif Pajak Kenaikan Jumlah
Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d. Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x
Rp10.000.000 5% 10%) di atas Rp10.000.000 15% 5% Rp20.000.000 s.d. Rp20.000.000 = 5%
Rp2.500.000 (20.000.000 x s.d. Rp30.000.000 = 20% 10% + 10.000.000 x 15%) Rp30.000.000
di atas Rp30.000.000 = 20% Rp4.500.000 (10.000.000 x Rp40.000.000 10% + 10.000.000 x
20%) Rp4.500.000 (10.000.000 x 10% + 10.000.000 x 15% + 10.000.000 x 20% + 10.000.000 x
25% ) Tarif Progresif-Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak
Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1984 sampai dengan Tahun 1994, dan diatur
dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 38
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan khususnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Contoh:
Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 15% - No. Dasar Pengenaan Pajak 25% 1. Sampai dengan
Rp10.000.000 35% 10% 2. Di atas Rp10.000.000 s/d Rp25.000.000 10% 3. Di atas
Rp25.000.000 b. Tarif Progresif-Progresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang
semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase
tersebut juga semakin meningkat. Tarif Progresif-Progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk
menghitung

 ADBI4330/MODUL 3 3.17 Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1995
sampai dengan tahun 2000, dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun
2001, tarif ini masih diberlakukan tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,
dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak. Contoh Pajak orang pribadi: Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai dengan Rp25.000.000
30% 3% 2. Di atas Rp25.000.000 s/d Rp50.000.000 3. Di atas Rp50.000.000 Contoh Pajak
badan: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai
dengan Rp50.000.000 30% 3% 2. Di atas Rp50.000.000 s/d Rp100.000.000 3. Di atas
Rp200.000.000 c. Tarif Progresif-Degresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang
semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase
tersebut semakin menurun. Contoh: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan
Pajak 15% 5% 1. Rp50.000.000 18% 3% 2. Rp100.000.000 3. Rp200.000.000 4. Tarif Regresif
Merupakan tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya maka makin rendah persentase tarifnya.
Regressive tax adalah suatu jenis pajak yang tidak memperhatikan keadaan subjek pajak, apakah
dia itu kaya atau miskin, tetap dikenakan tarif yang persentasenya sama. Sebagai contoh, Pajak
Pertambahan Nilai, dengan tarif umum sebesar 10% dikenakan pada konsumen kaya dan miskin
tanpa perbedaan. Tarif Pajak Penghasilan sesuai UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan yang terdiri dari dua macam, yakni yang pertama adalah tarif Pajak Penghasilan
untuk wajib pajak orang pribadi sebagaimana diatur pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan Tarif
Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf b
sebagai berikut.

3.18 Administrasi Perpajakan  Tarif PPh Berdasarkan Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sampai dengan Rp25.000.000 5% di atas
Rp25.000.000 sampai dengan Rp50.000.00 10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan
Rp100.000.000 15% di atas Rp100.000.000 sampai dengan Rp200.000.000 25% di atas
Rp200.000.000 30% b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT sampai dengan Rp50.000.000
10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp100.000.00 15% di atas Rp100.000.000 30%
Lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak dalam tarif PPh disebut sebagai lapisan-lapisan
penghasilan kena pajak atau brackets. Dalam tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a yakni tarif PPh
untuk Wajib Pajak orang pribadi terdapat 5 buah brackets. Sedangkan pada tarif PPh Pasal 17
ayat (1) huruf a, yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak badan hanya terdapat 3 buah brackets. 5.
Tarif Degresif/Menurun Dikatakan tarif degresif apabila persentasenya semakin menurun dengan
semakin besarnya taxable capacity-nya (potensi pendapatan wajib pajak atau kemampuan
membayar /ability to pay) wajib pajak. Dengan perkataan lain, semakin besar kemampuan bayar
wajib pajak, semakin kecil pula jumlah pajak yang harus dibayar sesuai kenaikan objek pajak,
namun besarnya persentase kenaikan pajak semakin menurun dari tingkat ke tingkat. Tarif ini
pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris
maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Tarif ini sudah tidak berlaku lagi dikarenakan
akan menimbulkan kesulitan di mana pihak yang berpenghasilan besar akan bebas dari pajak
sehingga disarankan untuk tidak dipergunakan lagi. Contoh Pajak Terutang: 20% x
Rp25.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000 10% x Rp100.000.000 =
Rp25.000.000 5% x Rp50.000.000 = Rp17.500.000

 ADBI4330/MODUL 3 3.19 6. Tarif Betham Tarif Betham ini selintas mirip dengan tarif
proporsional dengan suatu persentase tetap seperti pajak yang berlaku terhadap pajak kekayaan.
Misalnya 5%, tetapi hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas minimum, yaitu
Rp80.000.000,- Tarif Pajak ini diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu suatu
jumlah yang berasal dari penghasilan kotor setelah dikurangi berbagai potongan yang
diperkenankan oleh undang-undang. C. KEBIJAKAN TARIF Kebijakan tarif pajak mempunyai
hubungan yang erat dengan fungsi pajak dalam masyarakat, yaitu fungsi budgeter dan fungsi
regulerend (mengatur). Untuk menentukan hal ini, kebijakan pemerintah memegang peranan
yang sangat penting. Sudah tentu pajak adalah alat utama untuk memasukkan uang ke dalam kas
Negara yang sangat diperlukan untuk membiayai pengeluaran Negara. UU pajak dibuat terutama
dengan maksud untuk memasukkan uang ke dalam kas Negara. Tujuan untuk mengatur biasanya
merupakan tujuan sampingan yang berdasarkan berbagai alasan dan mempunyai berbagai
maksud yang ingin dicapai oleh pemerintah, umpamanya untuk menarik investasi baik berupa
penanaman modal asing atau modal dalam negeri, untuk mengembangkan pasar modal, untuk
menghambat penggunaan alkohol, atau melindungi (proteksi) produksi dalam negeri dan lain-
lain. Untuk mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun yang bukan politis,
pemerintah menggunakan kebijakan tarif dengan mengombinasikan penggunaan tarif pajak
tinggi dan tarif rendah (0%). Walaupun itu merupakan kebijakan, tetapi karena tarif termasuk
ketentuan material maka tarif harus dimuat dalam UU, kecuali jika UU memberi kuasa kepada
Pemerintah atau Menteri keuangan (delegation of authority). Besarnya tarif menentukan
besarnya jumlah pajak yang menjadi beban wajib pajak sekaligus jumlah penerimaan negara dari
pajak. Tapi, besarnya pajak tidak selalu menjadi beban Wajib Pajak karena dalam pajak tidak
langsung, beban pajak dilimpahkan/digeser kepada orang lain (tax shifting).
Pelimpahan/pergeseran pajak (tax shifting) dapat dibagi menjadi dua, yaitu pergeseran ke depan
(forward shifting) dan pergeseran ke belakang (backward shifting).

3.20 Administrasi Perpajakan  Tarif pajak juga dapat untuk tujuan politis, misalnya digunakan
dalam rangka pemilihan umum oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum dengan
memberikan janji-janji jika terpilih nantinya (hal ini banyak digunakan di Negara-negara maju).
Di samping itu, dalam perjanjian- perjanjian pajak baik bilateral maupun multilateral sering kali
juga mengandung muatan politis. D. SISTEM TARIF Setiap negara miliki hak untuk
menentukan sistem tarif pajak yang paling tepat untuk diterapkan di negaranya. Demikian juga
dengan Indonesia yang seperti kita lihat, yaitu menggunakan tarif progresif untuk Pajak
Penghasilan, tarif proporsional untuk Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea Cukai, Pajak Bumi dan
Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menggunakan tarif Betham.
Sementara tarif bea masuk terikat dengan perjanjian General Agreement on Trade and Tariff
(GAAT), suatu konvensi internasional. Di samping itu, pemerintah masih menetapkan beberapa
tambahan misalnya Bea Masuk Tambahan. Sementara tarif ad valorem yang merupakan tarif
dengan persentase tertentu dipergunakan untuk harga atau nilai barang. E. UTANG PAJAK Saat
timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan: 1.
pembayaran pajak; 2. memasukkan surat keberatan; 3. menentukan saat dimulai dan berakhirnya
jangka waktu kadaluwarsa; 4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan lain-lain; 5. menentukan besarnya denda maupun
sanksi administrasi lainnya. Ada dua metode yang mengatur timbulnya utang pajak (saat
pengakuan adanya utang pajak), yaitu metode materiil dan formil. 1. Metode Materiil Di sini
dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya UU Perpajakan. Dalam metode ini
seseorang akan menentukan secara

 ADBI4330/MODUL 3 3.21 aktif apakah dirinya dikenai pajak atau tidak sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku. Metode ini konsisten dengan penerapan self assessment
system. 2. Metode Formil Dalam metode ini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Untuk menentukan apakah seseorang dikenai
pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu
pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten
dengan penerapan official assessment system. Berakhirnya Utang Pajak Utang pajak akan
berakhir atau hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut. a. Pembayaran Pelunasan
Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain,
pengkreditan pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib pajak ke kantor
penerima pajak (Bank-bank persepsi dan Kantor Pos). b. Kompensasi Kompensasi dapat
diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan pembayaran. c.
Daluwarsa Yang dimaksud dengan daluwarsa adalah telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam
jangka waktu tertentu suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya, maka utang pajak
tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Dalam UU No. 36
tahun 2008, utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10 tahun terhitung sejak
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun Pajak yang
bersangkutan. d. Pembebasan/Penghapusan Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak terhenti
dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan penyidikan dipandang perlu bahwa Wajib
pajak mengalami kebangkrutan atau mengalami kesulitan likuiditas.

3.22 Administrasi Perpajakan  F. PENAGIHANNYA Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan


tindakan penagihan pajak, bila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak
sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Tindakan Penagihan Pajak Apabila utang pajak
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan
penagihan pajak sebagai berikut. a. Surat teguran Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7
(tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran. b. Surat paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi,
diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan dibebani biaya
penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah). Utang pajak
harus dilunasi dalam jangka waktu 2  24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita
Pajak. c. Surat sita Utang pajak dalam jangka waktu 2  24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Juru Sita Pajak tidak dilunasi, Juru Sita Pajak dapat melakukan tindakan
penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar
Rp75.000,00 (Tujuh puluh lima ribu rupiah). G. LELANG Dalam jangka waktu paling singkat
14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan
dilanjutkan dengan

 ADBI4330/MODUL 3 3.23 pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara


lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat
14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya
pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk
pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan: Barang
dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa. 1. Hak
Wajib Pajak/Penanggung Pajak a. Meminta Juru Sita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda
Pengenal Juru Sita Pajak. b. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
c. Menentukan urutan barang yang akan dilelang. d. Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib
Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya
penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala
KPP yang bersangkutan. e. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang. 2. Kewajiban Wajib
Pajak/Penanggung Pajak a. Membantu Juru Sita Pajak dalam melaksanakan tugasnya: 1)
memperbolehkan Juru Sita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal
WP/Penanggung Pajak; 2) memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan. b. Barang
yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan. 3. Daluwarsa Penagihan a.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.

3.24 Administrasi Perpajakan  b. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: 1) diterbitkan


Surat Teguran dan Surat Paksa; 2) ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung
maupun tidak langsung; diterbitkan SKPKB atau SKPKBT. LATIHAN Untuk memperdalam
pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Coba Anda
menerapkan berbagai macam tarif yang dapat diberlakukan dalam pelaksanaan perpajakan.
Dalam kenyataannya apakah semua macam tarif yang Anda ketahui itu dapat dilaksanakan? 2)
Tarif progresif dianggap cara yang paling tepat dalam usaha menegakkan asas keadilan dalam
perpajakan, kenapa? 3) Pelaksanaan dari spesifik tax dan ad valorem tax dalam kenyataannya
menggunakan tarif yang sudah ada dan bukan merupakan tarif khusus/tersendiri, mengapa?
Petunjuk Jawaban Latihan 1) Pertama hendaknya Anda menyebutkan macam tarif yang dapat
diberlakukan dalam perpajakan. Setelah itu, coba terangkan tarif pajak pada jenis pajak yang
Anda ketahui. Dari berbagai macam tarif yang ada, coba hubungkan dengan fungsi pajak. Dari
sini Anda akan menemukan jawaban bias tidak tarif-tarif yang ada dapat ditetapkan atau tidak. 2)
Untuk menjawab latihan ini kemukakan dulu apa itu asas keadilan dalam pajak dan kemudian
hubungkan dengan tarif pajak progresif. 3) Hendaknya Anda mengemukakan dulu apa itu
specific tax dan ad valorem tax. Hubungkan dengan jawaban Anda pada latihan No. 1. dari
hubungan antarakeduanya specific dan ad valorem tax dengan tarif- tarifnya, Anda dapat
menyimpulkan apakah ad valorem tax dan specific tax merupakan suatu tarif tersendiri atau
sama dengan tarif yang telah Anda ketahui.

 ADBI4330/MODUL 3 3.25 RANGKUMAN Dalam pengenaan pajak oleh pemerintah kepada


Wajib Pajak harus diperhatikan prinsip keadilan. Selanjutnya sebagai manifestasi dari prinsip
keadilan itu dituangkan ke dalam bentuk tarif pajak, yaitu tingkatan persentase yang harus
dipenuhi sesuai dengan dasar kemampuan dan manfaat yang diperoleh wajib pajak, yang dalam
hal ini bias progresif, proporsional, dan degresif. Tarif progresif adalah tarif pajak yang
persentasenya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya taxable capacity/volumenya,
sedangkan tarif sebanding adalah besarnya pajak yang terutang sebanding dengan dasar yang
dikenakan pajak (tax base) dan tarif degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin
menurun dengan semakin meningkatnya taxable capacity. TES FORMATIF 2 Pilihlah satu
jawaban yang paling tepat! 1) Tarif yang dapat ditetapkan sehubungan dengan perpajakan adalah
.... A. progresif dan proporsional B. progresif, proporsional, dan degresif C. specific dan ad
valorem D. tarif tetap dan progresif 2) Yang dimaksud dengan tarif degresif adalah .... A. apabila
persentase pajaknya semakin menurun bila dibandingkan dengan semakin meningkatnya taxable
volumenya B. persentase pajak semakin menurun apabila penghasilan seseorang semakin
menurun C. jumlah rupiah yang dibayar semakin kecil dengan semakin besarnya pendapatan
seseorang D. persentase tetap saja, berapa pun jumlah penghasilan yang akan dikenakan pajak. 3)
Pajak Penghasilan yang berlaku sekarang ini menganut tarif .... A. degresif B. progresif C.
proporsional D. persentase

3.26 Administrasi Perpajakan  4) Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi asas
keadilan dapat diberlakukan tarif .... A. pajak khusus (specific tax) B. degresif C. progresif D.
proporsional 5) Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada hakikatnya sama dengan tarif
pajak .... A. progresif B. degresif C. proporsional D. khusus atas dasar ukuran Cocokkanlah
jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat
penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban
yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% =
baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda
harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

 ADBI4330/MODUL 3 3.27 Kegiatan Belajar 3 Pergeseran dan Keterkenaan Pajak Pajak


dikenakan pada orang pribadi maupun badan baik yang berhubungan dengan pendapatan,
transaksi, ataupun hartanya. Namun demikian pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada
kondisi tertentu, wajib pajaklah yang akan membayar, namun pada saat lain wajib pajak tersebut
akan membebankannya kepada orang lain baik sebagian maupun seluruhnya. Dengan kata lain
wajib pajak orang yang terkena pajak dapat mengelakkan sebagian dari beban pajak yang harus
ditanggungnya dan menggeserkannya pada orang lain. Proses pergeseran dapat di analisis
melalui mekanisme permintaan (D) dan persediaan (S). Andaikata mekanisme harga terjadi
karena adanya pertemuan antara permintaan dan persediaan pada titik harga tertentu (P1) dan
pada jumlah tertentu (Q1), dan apabila terhadap barang tersebut dikenakan pajak, maka kurva
permintaan akan bergeser ke atas pada harga yang baru (P2) dan pada jumlah permintaan tertentu
(Q2). Hal ini terjadi untuk mendapatkan barang yang diinginkan, pembeli/konsumen harus
bersedia untuk membayar dengan harga tinggi. Harga barang menjadi tinggi karena di dalamnya
terdapat pajak. Dengan cara menaikkan harga produksi, pengusaha telah melakukan pergeseran
maju. Artinya, pajak yang seharusnya ditanggung oleh pengusaha dikenakan kepada konsumen
melalui harga penjualan yang telah dinaikkan. Contoh: seperti kita ketahui bahwa rokok dikenai
cukai, dan cukai ini yang menanggung seharusnya pabrik rokok. Pabrik rokok yang seharusnya
menanggung cukai ini kemudian menggeser beban pembayaran cukai ini kepada konsumen
dengan cara menaikkan harga rokok di mana di dalamnya sudah tercakup besarnya pembayaran
pajak. Pabrikan dapat juga melakukan pergeseran ke belakang, yaitu pada faktor sebelum produk
akhir. Misalnya pabrik menurunkan permintaan barang kepada pemasok bahan baku. Akibat
penurunan permintaan akan bahan baku maka harga bahan baku akan menjadi turun. Akibatnya,
pajak yang dikenakan terhadap konsumen beralih kepada pemasok. Pabrikan bisa juga
melakukan pergeseran beban ini melalui otomatisasi mesin, yang berdampak pada penekanan
harga pokok.

3.28 Administrasi Perpajakan  Bagaimanakah keadaannya apabila permintaan terhadap barang


ada barang pengganti? Dalam hal ini pihak produsen yang akan memikul beban pajak. Hal ini
dapat terjadi apabila barang dianggap tidak penting atau barang ada penggantinya (substitusi)
sehingga produsen akan menanggung beban. Jika permintaan elastis (barang mudah dicari, ada
barang pengganti, bukan barang utama), konsumen akan mudah menggeser pajaknya pada
pengusaha dengan cara membatasi pembeliannya. Akan tetapi apabila produsen dapat dengan
mudah menggeser faktor-faktor produksinya sehingga barang yang diproduksi tidak akan tinggi
harganya (meskipun ditambah pajak) maka konsumen tetap memikul beban pajak. Dengan
demikian, dapat dikatakan seluruh maupun sebagian beban pajak dapat digeserkan
pengenaannya. A. SELURUH BEBAN DIPIKUL KONSUMEN Apabila seluruh beban dipikul
konsumen maka perhitungannya adalah sebagai berikut. Nilai transaksi pada tingkat harga
Rp20/unit, jumlah permintaan 2500 unit, = Rp50.000 Nilai transaksi pada tingkat harga
Rp25/unit, permintaan 2000 unit, = Rp50.000,- Hak pengusaha adalah 2000 x Rp20 =
Rp40.000,- Dengan demikian, pengusaha masih dapat menyetor pajak penuh sebesar 2000 x
Rp5,- = Rp10.000,-. Kesemua beban pajak sebesar Rp10.000,- (Rp5/unit) ditanggung konsumen.
B. SEBAGIAN DITANGGUNG KONSUMEN Apabila sebagian ditanggung konsumen maka
perhitungannya adalah sebagai berikut. Nilai transaksi pada tingkat harga Rp20/unit = 2000 unit
x Rp24 = Rp48.000 = 2000 x Rp5 Pajak = 2000 x Rp17 = Rp10.000 Yang menjadi hak
pengusaha = Rp38.000 Harga pokok = Rp34.000 Laba Rp4.000

 ADBI4330/MODUL 3 3.29 Jadi, pajak yang ditanggung oleh konsumen sebesar Rp4/unit dan
pengusaha Rp1/unit. C. SELURUHNYA DITANGGUNG KONSUMEN Dalam hal ini
pengusaha tidak menaikkan harga sehingga antara harga awal dan harga setelah pajak adalah
sama, sementara permintaan tetap. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat dan sifat barang
yang tidak memungkinkan menaikkan permintaan. Harga awal Rp20/unit dengan permintaan
2000 = 2000 x Rp20 = Rp40.000,- Harga kemudian Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x
Rp20 = Rp40.000,- Oleh karena harganya tetap maka seluruh beban pajak jatuh ke tangan
pengusaha. Apabila perusahaan yang harus menanggung beban pajak, maka pengusaha harus
mempertahankan eksistensinya meski terasa berat dan sulit. Untuk menghadapi masalah ini ada 3
macam cara bagi perusahaan untuk tetap bertahan. 1. Mengurangi keuntungan bersihnya, hal ini
dapat terjadi apabila keuntungan sebelumnya lebih besar daripada pajak yang harus dibayarkan.
2. Mengadakan cara kerja yang efisien sehingga diperoleh harga produk yang dapat menutup
pajak. Hal ini dapat terjadi apabila cara kerja berproduksi yang efisien dapat menutup seluruh
beban pajak. 3. Mengurangi keuntungan dan sekaligus efisiensi cara berproduksi. Hal ini dapat
dilakukan apabila tingkat keuntungan tidak cukup untuk menutup beban pajak dan efisiensi cara
kerja produksi tidak cukup besar untuk menutup beban pajak. Pergeseran dan keterkenaan pajak
ini merupakan satu dari enam macam pengelakan pajak yang biasa dipraktikkan dimana-mana,
yaitu kapitalisasi, transformasi, penyelundupan (evasion), penghindaran (avoidance), dan
pembebasan (exemption). Di samping keenam cara pengelakan pajak ini, masih ada satu lagi
cara yang tidak semata-mata sebagai pengelakan pajak, tetapi penundaan pembayaran pajak.

3.30 Administrasi Perpajakan  Ada tiga konsep yang saling berhubungan dalam perpajakan
yang perlu dimengerti, yaitu dampak perpajakan (impact of taxation), pergeseran pajak
(shifting), dan insiden pajak (incidence of tax). 1. Dampak Perpajakan (Impact of Taxation)
Dampak perpajakan-perpajakan terjadi jika wajib pajak terkena pajak sehingga diwajibkan
membayar pajak kepada negara. Orang atau badan yang membayar pajak disebut subjek pajak.
Namun, tidak semua subjek pajak diwajibkan membayar pajak, misalnya orang yang mempunyai
penghasilan kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Pergeseran Pajak (Shifting)
Pada umumnya, pergeseran pajak (shifting) ada tiga, yaitu sebagai berikut. a. Pergeseran ke
depan (forward shifting) Bentuk shifting ini terjadi apabila beban pajak dipindahkan dari
pengusaha sebagai pembayar pajak kepada pembeli dalam hal ini konsumen melalui proses
distribusi barang. Jadi, pengusaha (pabrikan) yang menerima beban pajak pertama dapat
memindahkan (shifting) kepada whole saler yang kemudian whole saler yang kemudian whole
saler tersebut memindahkannya kepada retailer dan retailer memindahkannya kepada pembeli
atau konsumen. Pabrikan Whole saler Retailer Konsumen Subjek pajak Pembayar pajak b.
Pergeseran ke belakang (backward shifting) Bentuk shifting ini kebalikan dari forward shifting.
Pada backward shifting ini beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui proses
distribusi kepada produsen. Jadi pajak dapat dibebankan pada awalnya pada konsumen dan
konsumen dapat mentransfer kepada retailer dengan cara hanya membayar harga barang setelah
dikurangi dengan pajak dan begitu seterusnya sampai kepada pengusaha/pabrikan. Pabrikan
Whole saler Retailer Konsumen
 ADBI4330/MODUL 3 3.31 c. Pergeseran berulang (onward shifting) Bentuk ini terjadi
apabila pajak dapat dipindahkan dua kali atau lebih, baik ke muka (dari pabrikan ke konsumen)
maupun ke belakang (dari konsumen ke produsen). Transfer pajak dari produsen ke konsumen
atau dari whole saler kepada pembeli adalah merupakan 1 shifting kemudian dari produsen ke
whole saler dan selanjutnya ke retailer termasuk 1 bentuk shifting lagi sehingga dari keadaan ini
kita dapati 2 shifting. Selanjutnya apabila pajak ditransfer lagi oleh retailer kepada konsumen
maka dari semuanya kita dapati 1 bentuk shifting. Produsen Whole Saler Retailer Konsumen 1
23 Berdasarkan data di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa cara shifting, yaitu proses
pengalihan pajak kepada orang lain yang dapat terjadi dalam 3 bentuk yang pada hakikatnya
merupakan bentuk penghindaran pajak. Pembebanan atau pengalihan pajak dapat terjadi, baik
seluruhnya atau sebagian dari beban pajak yang seharusnya dipikulnya. Di samping ketiga
bentuk pergeseran pajak melalui shifting, ada beberapa bentuk penghindaran pajak yang lain,
yaitu kapitalisasi (capitalization), transformasi (transformation), penyelundupan (evation),
penghindaran (avoidance), dan pembebasan (exemption). Untuk lebih jelasnya kita uraikan
sebagai berikut. d. Kapitalisasi (capitalization) Kapitalisasi pajak adalah merupakan pengurangan
harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli
seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pembeli
harta tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban ini tidak menjadi
tanggungan pembeli, beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta
tetap menjadi berkurang. Kapitalisasi ini termasuk pergeseran pajak ke belakang.

3.32 Administrasi Perpajakan  e. Transformasi (transformation) Yaitu pengelakan pajak yang


dilakukan oleh perusahaan industri dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan
terhadapnya. Penghindaran pajak ini lebih dikenal dengan mekanisme pemindahan hak (transfer
pricing) di mana harga jual diturunkan sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak yang
dibayar oleh pembeli menjadi lebih kecil. Cara ini biasanya dilakukan oleh produsen sehingga
kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya. Agar keuntungan perusahaan tidak
berkurang, maka perusahaan melakukan efisiensi perusahaan. Pengelakan pajak di sini tidak
dilakukan dengan menggeser beban pajak melainkan dengan mengubah pajak (transformasi) ke
dalam keuntungan yang diperoleh melalui efisiensi produksi f. Penyelundupan pajak (tax
evasion) Yaitu penghindaran pajak yang dilakukan secara ilegal atau penipuan untuk tidak
membayar pajak yang dibebankan kepada wajib pajak. Sebagai contoh wajib pajak
menghilangkan data-data keuangan serta pengecilan omzet penjualan, memperbesar biaya
sehingga labanya menjadi kecil. Pengelakan seperti ini akan dikenakan dengan sanksi yang berat.
Umumnya, tax evasion dilakukan dengan: 1) memperkecil penghasilan yang diperoleh dengan
cara antara lain, hanya melaporkan sebagian penghasilan, atau menurunkan harga jual maupun
kuantitas barang yang dijual; 2) meninggikan harga pokok barang yang dijual dengan cara
menaikkan harga pembelian, membuat pembelian fiktif, dan membebankan Pajak Masukan yang
telah dikreditkan ke dalam harga pokok penjualan; 3) memperbesar biaya usaha dengan cara
membuat utang fiktif guna memperbesar biaya bunga dan biaya fiktif yang tidak didukung
dokumen ekstern; 4) menggunakan penghasilan bersama-sama dengan memperkecil biaya
sehingga angka laba bruto tampak tinggi; 5) menaikkan harga impor barang atau jasa dari
perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri; 6) merendahkan harga ekspor barang
kepada perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri;

 ADBI4330/MODUL 3 3.33 7) merendahkan besarnya penghasilan pegawai atau pembayaran


lainnya dalam rangka penghitungan PPh Pasal 21, sementara di dalam perhitungan PPh
perusahaan ditinggikan; 8) pembayaran dividen kepada pemegang saham secara terselubung
dengan cara menciptakan seolah-olah pembayaran utang sebagai upaya untuk menghindarkan
pengenaan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. 3. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran pajak di sini terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib
pajak tidak secara jelas melanggar undang- undang meskipun kadang-kadang dalam menafsirkan
undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Tax Avoidance
dilakukan dengan 3 cara, yaitu: a. Menahan diri Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib
pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh: 1) Tidak merokok agar terhindar
dari cukai tembakau. 2) Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar
terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat
pinggang dari plastik. b. Pindah lokasi Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang
tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan
keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah
lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang
transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitas yang menunjang usaha mereka. Hal
ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang
mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru
membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang
baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.

3.34 Administrasi Perpajakan  c. Penghindaran pajak secara yuridis Perbuatan dengan cara
sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya
dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang. Hal inilah
yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: 1) Penetapan pajak
khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak
khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi
berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka merubah status tempat dansa umum tersebut
menjadi tempat dansa khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan
demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum. 2) Di Indonesia
pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan
terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan
menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini
dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik
bioskop menghindari pengenaan menekan harga produksi pajak ini dengan cara mengenakan
tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan. 3) Di Indonesia, untuk pegawai diberi
tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerja sama dengan
yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan
yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan
hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang. D. PEMBEBASAN PAJAK
(EXEMPTION) Yang dimaksud dengan exemption from taxation adalah pemberian kekebalan
kepada Wajib Pajak tertentu untuk tidak membayar pajak oleh negara kepada sebagian warganya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada dasarnya pembebasan sama dengan
evasion dan avoidance di mana pemerintah tidak menerima pajak. Perbedaannya, kalau pada
avoidance wajib pajak diberi kelonggaran untuk memilih, pada evasion pemerintah

 ADBI4330/MODUL 3 3.35 dapat menuntut, maka pada exemption ini sama dengan bentuk
avoidance. Bedanya apabila pada avoidance masih terdapat kemungkinan wajib pajak tidak
membayar pajak, sedangkan pada exemption memang diberikan kekebalan untuk tidak
membayar pajak. Pemberian exemption ini adalah kewenangan pemerintah. Hal ini sejalan
dengan salah satu fungsi pajak yaitu mengatur. Exemption ini dapat diberikan untuk sebagian
(parsial) atau seluruhnya (total), dapat terjadi untuk waktu sementara waktu atau selamanya.
Pada umumnya, pemerintah dapat memberikan kekebalan pada warga negaranya yang bergerak
di bidang sosial seperti pendidikan dan keagamaan. Namun, tidak tertutup bagi yang bergerak di
bidang bisnis dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu meskipun sifatnya temporer. Misalnya
usaha baru dalam rangka PMDN dan PMA (tax holiday), pembebasan untuk penghasilan yang
menurut UU belum terkena pajak, pembebasan untuk bea meterai dari suatu kontrak yang kurang
dari jumlah tertentu. Insiden Pajak (Incidence of Tax) Insiden pajak dapat terjadi apabila terjadi
transfer beban pajak dari wajib pajak kepada pihak lain. Namun, adakalanya insiden pajak terjadi
tanpa penggeseran pajak yaitu bila terjadi transformasi Menurut Sophar dari keseluruhan
kegiatan pajak ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kesemuanya ini bermula dari dampak
perpajakan yang mengakibatkan munculnya pergeseran dan pengelakan pajak, kemudian insiden
pajak sebagai akhir dari lingkaran ini. Hal ini dapat kita lihat dari dampak perpajakan pada Pajak
Pertambahan Nilai. Pengusaha yang seharusnya menanggung pajak, menggeser beban pajak
tersebut pada konsumen dan konsumen akhirlah yang menanggung insiden pajak. Berbeda
dengan Pajak Penghasilan yang merupakan pajak langsung, di mana wajib pajak yang menerima
dampak perpajakan dan sekaligus dilanjutkan dengan insiden pajak. Dalam hal ini tidak terjadi
pergeseran pajak, karena Pajak Penghasilan sebagai pajak langsung tidak mengenal adanya
pergeseran pajak.
3.36 Administrasi Perpajakan  LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai
materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Dalam kondisi tertentu apakah Wajib Pajak dapat
menggeser beban pajaknya kepada orang lain? 2) Bagaimana caranya bila Wajib Pajak akan
menggeser beban pajaknya ke belakang? 3) Apakah proses shifting dapat berulang? Petunjuk
Jawaban Latihan 1) Wajib pajak dapat menggeser beban pajaknya pada orang lain untuk jenis
pajak tertentu misalnya pada Pajak Pertambahan Nilai. 2) Wajib Pajak dapat menggeser beban
pajaknya ke belakang dan salah satu caranya adalah dengan menekan harga/biaya tenaga kerja.
3) Proses shifting dapat berulang dengan jalan mereka yang terkena pergeseran pajak
membebankan pajaknya kepada konsumen yang menggunakan produknya. RANGKUMAN
Pajak pada dasarnya dapat digeser bebannya kepada orang lain, meski tidak semua jenis pajak
dapat digeser bebannya. TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Proses
pengalihan pajak disebut dengan .... A. shifting B. tax avoidance C. tax evation D. transformation

 ADBI4330/MODUL 3 3.37 2) Proses pengalihan beban pajak dari produsen ke konsumen


disebut .... A. onward shifting B. forward shifting C. backward shifting D. inward shifting 3)
Perusahaan mebel Sinar Jaya menjual barang produksinya dengan harga di bawah harga standar.
Apabila perusahaan tetap mendapatkan keuntungan, maka yang dilakukan perusahaan adalah ....
A. mengurangi gaji pegawai B. tidak melaporkan usahanya ke kantor pajak C. menekan harga
produksi D. mengurangi mutu barang. 4) Apabila perusahaan melakukan perbaikan faktor
produksi, maka kegiatan dalam penghindaran pajak disebut dengan .... A. the impact B.
incidence C. backward shifting D. transformasi 5) Pemerintah memberikan kebebasan pajak
kepada Yayasan Al-Barokah yang berusaha di bidang keagamaan. Tindakan ini sesuai dengan
sifat pajak, yaitu .... A. mengatur B. memaksa C. adil D. sederhana Cocokkanlah jawaban Anda
dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah
jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar
100% Jumlah Soal

3.38 Administrasi Perpajakan  Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% =
baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda
harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.

 ADBI4330/MODUL 3 3.39 Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) A. Yang termasuk
pajak berdasarkan golongannya adalah pajak langsung. 2) D. Pajak yang memperhatikan
kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak subjektif. 3) B. Pajak langsung merupakan pajak
yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. 4) B. Pajak yang wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah daerah. 5) A. Pajak Kendaraan Bermotor tidak termasuk
kelompok pajak daerah kabupaten/kota. Tes Formatif 2 1) A. Tarif yang dapat ditetapkan
sehubungan dengan perpajakan adalah tarif progresif dan proporsional. 2) A. Yang dimaksud
dengan tarif degresif adalah apabila persentase pajaknya semakin menurun bila dibandingkan
dengan semakin meningkatnya taxable volumenya. 3) C. Pajak Penghasilan yang berlaku
sekarang ini menganut tarif proporsional. 4) C. Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi
asas keadilan dapat diberlakukan tarif. 5) C. Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada
hakikatnya sama dengan tarif pajak proporsional. Tes Formatif 3 1) A. Proses pengalihan pajak
disebut dengan shifting. 2) B. Disebut forward shifting. 3) C. Perusahaan melakukan dengan
menekan harga produksi. 4) D. Disebut dengan transformasi. 5) A. Fungsi mengatur.

3.40 Administrasi Perpajakan  Daftar Pustaka Abut., Hilarius. (2005). Perpajakan 2005 – 2006.
Jakarta: Diadit Media. Devano., Sonny dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep,
Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fidel. (2008). Pajak Penghasilan
(Pembahasan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Dengan Komentar Pasal Per
Pasal). Jakarta: Carofin Publishing. Ichsan., H.M. (2004). Administrasi Perpajakan, Modul
Universitas Terbuka. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Lumban toruan., Sophar. (1996).
Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurmantu., Safri,
Azhari A. Samudra. (2003). Dasar-dasar Perpajakan. Jakarta: Modul Universitas Terbuka,
Penerbit Universitas Terbuka. Suandy., Erly. (2008). Hukum Pajak. Jakarta: Edisi 4, Penerbit
Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai