PENDAHULUAN D
alam menerapkan suatu pajak tidak dapat diterapkan begitu saja. Suatu pajak perlu ditetapkan
terlebih dahulu penggolongannya baru kemudian ditentukan bagaimana pengenaannya, dan
setelah itu ditetapkan tarifnya. Ada beberapa kriteria yang dapat diterapkan sebelum pajak
tersebut diterapkan, yaitu: 1. pajak dikenakan atas apa; 2. siapa yang membayar pajak; 3. siapa
yang menanggung beban pajak; 4. siapa yang memungut pajak. Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan di atas kemudian dijabarkan pada pajak yang baru tersebut yaitu termasuk golongan
pajak apa dilihat dari instansi yang memungut, sifatnya, dan golongannya. Langkah berikutnya
adalah menetapkan tarifnya. Dalam menetapkan tarif ini masih ada langkah lain yang harus
dilihat terlebih dahulu yaitu apa subjek dan objek pajak tersebut. Setelah diketahui subjek dan
objek pajaknya, baru dibahas mengenai tarifnya. Setelah subjek, objek, dan tarif ini diketahui
maka akan muncul adanya utang pajak. Dilihat dari sifatnya apakah pajak baru tersebut termasuk
pajak langsung ataukah tidak langsung. Apabila termasuk pajak langsung, maka pajak tersebut
tidak dapat digeserkan beban pembayarannya. Namun, bila pajak tersebut termasuk pajak tidak
langsung, maka ada kemungkinan untuk dibebankan pada Wajib Pajak lain. Contoh yang paling
jelas adalah pada Pajak Pertambahan Nilai di mana yang menanggung pajak bukan pengusaha
kena pajak melainkan konsumen.
3.2 Administrasi Perpajakan Dengan mempelajari Modul 3 ini, Anda diharapkan dapat
menguraikan mengenai: penggolongan pajak, tarif pajak, serta pergeseran dan keterkenaan pajak.
Secara khusus, Anda diharapkan mampu: 1. menjelaskan penggolongan pajak; 2. menguraikan
tarif pajak; 3. menjelaskan pergeseran dan keterkenaan pajak.
ADBI4330/MODUL 3 3.5 a. hasil pajak daerah (pajak penjualan); b. hasil retribusi daerah
(PKB); c. sumbangan dari pemerintah. Sumber pungutan Pajak Pusat relatif tidak terbatas
sedangkan objek Pajak Daerah sangat terbatas jumlahnya, artinya objek pajak yang telah
dikenakan oleh negara tidak boleh lagi dikenakan oleh daerah supaya terhindarnya pengenaan
pajak berganda. Kemudian area pajak daerah adalah area pajak yang belum dikenakan pajak oleh
negara. Setelah pelaksanaan otonomi daerah yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001
maka pajak daerah dipernisi secara jelas agar tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya
sehingga tidak membebani rakyat (wajib pajak). Sesuai dengan pembagian administrasi daerah,
maka berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah, dapat digolongkan menjadi dua
macam yaitu Pajak Propinsi, dan Pajak Kabupaten/Kota: a. Pajak yang dipungut oleh propinsi
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000, jenis pajak provinsi terdiri dari: 1) pajak
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; 2) bea balik nama kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air; 3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor; 4) pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak yang dipungut oleh provinsi tersebut,
baik besarnya tarif maupun jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya,
provinsi tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah ditentukan. b.
Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2000,
jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: 1) pajak hotel, 2) pajak restoran, 3) pajak hiburan, 4)
pajak reklame, 5) pajak penerangan jalan,
3.6 Administrasi Perpajakan 6) pajak pengambilan bahan galian golongan C, 7) pajak parkir,
8) pajak lain-lain. Tarif dan penagihan pajak daerah diatur dalam peraturan pajak daerah yang
bersangkutan. Peraturan pajak daerah juga dapat diadakan ketentuan tentang keharusan wajib
pajak untuk mengisi semacam SPT yang berupa daftar isian yang disampaikan kepadanya yang
dapat digunakan untuk penetapan pajak. Penagihan pajak daerah dapat pula dilakukan dengan
Surat paksa yang ditandatangani oleh Kepala daerah setelah melalui peringatan dan teguran
terlebih dahulu. Pelaksanaan Surat Paksa dilakukan oleh Juru Sita. Dalam hal wajib pajak
keberatan atas ketetapan pajak maka dalam jangka waktu 3 bulan sesudah ketetapan pajak
diberikan atau dikirimkan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis yang
ditujukan kepada kepala daerah yang menetapkan pajak tersebut. Apabila keputusan atas
keberatan yang diajukan tidak dapat diterima oleh wajib pajak, maka wajib pajak dapat
mengajukan banding yang ditujukan kepada Peradilan Pajak di Jakarta menurut ketentuan yang
berlaku. Permohonan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan itu
diterima. B. BERDASARKAN GOLONGANNYA 1. Pajak Langsung (Direct Tax) Pajak
langsung adalah pajak yang pembayarannya atau pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
kepada orang lain. Misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Perseroan, dan Pajak Kekayaan. 2. Pajak
Tidak Langsung (Indirect Tax) Pajak tidak langsung adalah jenis-jenis pajak yang
pemungutannya tidak secara langsung kepada Wajib Pajak, dapat juga berarti pajak yang
pembayarannya atau pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: PPN dan
PPnBM, Cukai, dan Pita Rokok. Perbedaan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat
ditinjau dari beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
3.8 Administrasi Perpajakan 1. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal
pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya,
kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada hubungan
antara negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi, yang penting adalah subjeknya, yang
dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. Pajak subjektif adalah pajak yang
berpangkal pada diri orang yang dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan
orangnya, kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada
hubungan antara Negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi yang penting adalah
subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan usaha. 2. Pajak Objektif Pajak
objektif adalah pajak yang berpangkal pada obyek yang dikenakan pajak dan untuk mengenakan
pajaknya harus dicari objeknya. Pada pajak objektif dimulai dengan obyeknya seperti keadaan,
peristiwa, perbuatan dan lainnya, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar
pajaknya, yaitu subjeknya. Dalam pemungutan pajak objektif harus ada hubungan antara Negara
pemungut pajak dengan objek pajak. Pajak objektif selalu dipungut berdasarkan asas sumber,
sedangkan pajak subjektif selalu dipungut berdasarkan asas domisili dan asas nasionalitas.
Menurut Safri Nurmantu, penggolongan pajak juga dapat dilihat melalui pajak pribadi dan pajak
kebendaan. Yang termasuk pajak pribadi adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan
kondisi wajib pajak, misalnya apakah wajib pajak tersebut sudah menikah atau belum, apakah
wajib pajak tersebut mempunyai anak, seandainya punya ada berapa? Pajak pribadi ini dapat kita
lihat pertama pada Pajak Pendapatan 1944 yang dikenal dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak
(BPBP) yang memungkinkan seorang wajib pajak menikmati pengurangan BPBP sampai dengan
sepuluh anak. Kedua pada Pajak Penghasilan 1983 yang diwujudkan dalam Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), di mana jumlah maksimum pengurangnya adalah 3 anak/tanggungan. Yang
termasuk Pajak Kebendaan adalah pajak yang waktu pengenaannya tidak memperhatikan
keadaan wajib pajak. Pajak Kebendaan ini terdapat pada Pajak Penjualan 1951 dan Pajak
Pertambahan Nilai 1984 di
ADBI4330/MODUL 3 3.9 mana seorang pembeli minuman kaleng harus membayar harga
barang ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) tanpa terkecuali. LATIHAN Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Apakah
yang membedakan antara pajak langsung dan Pajak Tidak Langsung? 2) Uraikan secara singkat
dan berilah contoh serta tentukan perbedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif! 3) Coba
Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan tax shifting, dan beri contoh! Petunjuk Jawaban
Latihan 1) Untuk menjawab soal No. 1 ini, coba baca kembali pengertian pajak langsung dengan
pajak tidak langsung dan berilah masing-masing contoh. Dari situ akan terlihat perbedaan antar
pajak langsung dengan pajak tidak langsung. 2) Untuk menjawab soal No. 2 ini, coba baca
kembali pengertian pajak subjektif dengan pajak objektif dan berilah masing-masing contoh.
Dari situ akan terlihat perbedaan antar pajak subjektif dengan pajak objektif. 3) Tax shifting
terdiri dari dua, yaitu forward shifting dan backward shifting. Contoh untuk keduanya adalah
masalah bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB). Apabila Pak Amir beli bensin 20 liter dengan
harga Rp5.000 akan dikenai tarif 5% sehingga harus membayar sebesar Rp100.000 untuk bensin
dan Rp5.000 untuk BBKB dan jumlahnya menjadi Rp105.000. Ini merupakan forward shifting.
Namun, pada saat akan diterapkan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah di mana salah satunya adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor maka akan terjadi
pajak ganda dan ini memberatkan. Keputusan akhir pajak bahan bakar kendaraan bermotor
ditanggung oleh pengusaha kena pajak, yaitu Pertamina, dan ini merupakan backward shifting.
ADBI4330/MODUL 3 3.11 TES FORMATIF 1 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1)
Yang termasuk pajak berdasarkan golongannya adalah pajak .... A. langsung B. pusat C. negara
D. subjektif 2) Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak .... A.
tidak langsung B. langsung C. objektif D. subjektif 3) Pajak yang bebannya harus ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain disebut
pajak .... A. pusat B. langsung C. subjektif D. objektif 4) Yang dimaksud dengan Pajak Daerah
adalah pajak yang .... A. bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain B. wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah daerah C. bebannya ditanggung sendiri oleh wajib pajak D.
berdasarkan tempat tinggal dari wajib pajak 5) Berikut ini merupakan pajak daerah/kota, kecuali
pajak .... A. hotel dan restoran B. hiburan C. kendaraan bermotor D. penerangan jalan
3.12 Administrasi Perpajakan Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes
Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan
Belajar 1. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat
penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan
Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1,
terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.13 Kegiatan Belajar 2 Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak S etelah
mempelajari kita mengetahui penggolongan pajak dalam Kegiatan Belajar 1 maka dalam
Kegiatan Belajar 2 kita akan membahas mengenai pengenaan pajak dan tarif pajak. A.
PENGENAAN PAJAK Untuk dapat terutangnya suatu pajak (pengenaan pajak), paling tidak
harus memenuhi 3 unsur yaitu adanya Subjek pajak, Objek Pajak dan Tarif Pajak. Sebelum tarif
pajak ditetapkan terlebih dahulu ditentukan subjek dan objek pajaknya. Untuk itu langkah
pertama adalah membahas mengenai subjek dan objek pajak. 1. Subjek Pajak Subjek Pajak
dalam ketentuan UU dapat berarti orang (pribadi/person) atau kumpulan orang-orang yang dapat
bertindak sebagai person (Recht Person). Kumpulan orang dapat berbentuk Perseroan Terbatas
(PT), Perseroan Komanditer (CV), koperasi, Yayasan dan sebagainya yang dalam istilah UU
disebut badan atau Bentuk Usaha Tetap (lihat UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Perpajakan sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan UU No. 26 Tahun 2007). Kalau orang
dapat dituntut dan menuntut, maka kumpulan orang juga dapat dituntut dan menuntut. Demikian
juga apabila orang dapat memiliki harta dan atau kuasa menggunakan harta, maka kumpulan
orang pun demikian. 2. Objek Pajak Yang dimaksud dengan objek pajak atau dikenal juga
dengan istilah situs pajak adalah objek atau tempat di mana pajak dikenakan. Dasar hukumnya
adalah bahwa Negara di mana subjek akan dikenakan adalah bahwa Negara di mana subjek yang
akan dikenakan pajak terdapat di dalam Negara, mempunyai hak untuk memaksakan atau
mengenakan serta mengumpulkan (memungut) pajak. Objek pajak perlu dibahas karena subjek
pajak yang dapat memperoleh pendapatan, memiliki dan atau menguasai harta, mengadakan
transaksi, berada dalam suatu wilayah hukum Negara tersebut. Dengan
3.14 Administrasi Perpajakan demikian, dapat dikatakan bahwa objek pajak adalah membahas
tentang apa yang terkena pajak tergantung kepada beberapa hal (faktor), antara lain: a. sifat dan
subjek pajak yang bersangkutan dengannya seperti orang, harta, tindakan atau aktivitas; b.
kemungkinan keuntungan dan proteksi yang nantinya dimiliki baik oleh pemerintah maupun
wajib pajak; c. tempat tinggal atau kewarganegaraan wajib pajak; d. sumber pendapatan.
Sehubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap objek pajak, bisa saja terjadi
seseorang yang berada dalam wilayah hukum suatu negara, terkena berbagai macam pajak.
Sebagai contoh orang yang memiliki pendapatan tinggi, mempunyai harta yang cukup, dan
melakukan usaha dengan mengadakan transaksi, maka yang bersangkutan akan terkena Pajak
Penghasilan, PPN, PPnBM, PBB, dan sebagainya. B. TARIF PAJAK Setelah kita mengetahui
siapa Subjek Pajak, dan apa Objek Pajak, langkah berikutnya adalah menentukan Tarif Pajak.
Adapun tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai keadilan dalam pemungutannya. Salah
satu cara untuk mewujudkan keadilan dapat ditempuh melalui sistem tarif. Tarif pajak dapat
dibedakan atas. 1. Tarif Tetap Yang dimaksud dengan tarif tetap adalah tarif yang jumlah
pajaknya dalam rupiah (atau dolar) bersifat tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya. Misalnya
tarif Bea meterai yang berdasarkan pada UU No. 13 Tahun 1985 sebagai berikut. a. Bea Meterai
untuk cek dan bilyet giro yang dikenakan bea meterai sebesar Rp3.000. b. Nilai kuitansi
Rp250.000 s.d Rp1.000.000 dikenakan Bea meterai Rp3.000. c. Nilai kuitansi atau tanda terima
uang Rp1.000.000, Rp100.000.000, Rp10.000.000 dan seterusnya dikenakan Bea Meterai
Rp6.000.
3.16 Administrasi Perpajakan Contoh Tarif Progresif-Proporsional Absolut Dasar Tarif Pajak
Kenaikan Jumlah Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000
(10.000.000 x 10%) s.d Rp20.000.000 = 15% 5% Rp3.000.000 (20.000.000 x 15%)
Rp10.000.000 s.d Rp30.000.000 = 20% 5% Rp5.000.000 (30.000.000 x 20%) Di atas
Rp30.000.000 = 20% 5% Rp10.000.000 (40.000.000 x 25%) Rp20.000.000 Rp30.000.000
Rp40.000.000 Contoh Tarif Progresif-Proporsional Berlapis Dasar Tarif Pajak Kenaikan Jumlah
Pajak Pengenaan Tarif Pajak s.d. Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x
Rp10.000.000 5% 10%) di atas Rp10.000.000 15% 5% Rp20.000.000 s.d. Rp20.000.000 = 5%
Rp2.500.000 (20.000.000 x s.d. Rp30.000.000 = 20% 10% + 10.000.000 x 15%) Rp30.000.000
di atas Rp30.000.000 = 20% Rp4.500.000 (10.000.000 x Rp40.000.000 10% + 10.000.000 x
20%) Rp4.500.000 (10.000.000 x 10% + 10.000.000 x 15% + 10.000.000 x 20% + 10.000.000 x
25% ) Tarif Progresif-Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak
Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1984 sampai dengan Tahun 1994, dan diatur
dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No. 38
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan khususnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Contoh:
Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 15% - No. Dasar Pengenaan Pajak 25% 1. Sampai dengan
Rp10.000.000 35% 10% 2. Di atas Rp10.000.000 s/d Rp25.000.000 10% 3. Di atas
Rp25.000.000 b. Tarif Progresif-Progresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang
semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase
tersebut juga semakin meningkat. Tarif Progresif-Progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk
menghitung
ADBI4330/MODUL 3 3.17 Pajak Penghasilan. Tarif ini diberlakukan mulai tahun 1995
sampai dengan tahun 2000, dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun
2001, tarif ini masih diberlakukan tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,
dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak. Contoh Pajak orang pribadi: Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai dengan Rp25.000.000
30% 3% 2. Di atas Rp25.000.000 s/d Rp50.000.000 3. Di atas Rp50.000.000 Contoh Pajak
badan: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan Pajak 15% 5% 1. Sampai
dengan Rp50.000.000 30% 3% 2. Di atas Rp50.000.000 s/d Rp100.000.000 3. Di atas
Rp200.000.000 c. Tarif Progresif-Degresif, merupakan tarif berupa persentase tertentu yang
semakin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase
tersebut semakin menurun. Contoh: Tarif Pajak Kenaikan % Tarif 10% - No. Dasar Pengenaan
Pajak 15% 5% 1. Rp50.000.000 18% 3% 2. Rp100.000.000 3. Rp200.000.000 4. Tarif Regresif
Merupakan tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya maka makin rendah persentase tarifnya.
Regressive tax adalah suatu jenis pajak yang tidak memperhatikan keadaan subjek pajak, apakah
dia itu kaya atau miskin, tetap dikenakan tarif yang persentasenya sama. Sebagai contoh, Pajak
Pertambahan Nilai, dengan tarif umum sebesar 10% dikenakan pada konsumen kaya dan miskin
tanpa perbedaan. Tarif Pajak Penghasilan sesuai UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan yang terdiri dari dua macam, yakni yang pertama adalah tarif Pajak Penghasilan
untuk wajib pajak orang pribadi sebagaimana diatur pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan Tarif
Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf b
sebagai berikut.
3.18 Administrasi Perpajakan Tarif PPh Berdasarkan Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sampai dengan Rp25.000.000 5% di atas
Rp25.000.000 sampai dengan Rp50.000.00 10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan
Rp100.000.000 15% di atas Rp100.000.000 sampai dengan Rp200.000.000 25% di atas
Rp200.000.000 30% b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT sampai dengan Rp50.000.000
10% di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp100.000.00 15% di atas Rp100.000.000 30%
Lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak dalam tarif PPh disebut sebagai lapisan-lapisan
penghasilan kena pajak atau brackets. Dalam tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a yakni tarif PPh
untuk Wajib Pajak orang pribadi terdapat 5 buah brackets. Sedangkan pada tarif PPh Pasal 17
ayat (1) huruf a, yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak badan hanya terdapat 3 buah brackets. 5.
Tarif Degresif/Menurun Dikatakan tarif degresif apabila persentasenya semakin menurun dengan
semakin besarnya taxable capacity-nya (potensi pendapatan wajib pajak atau kemampuan
membayar /ability to pay) wajib pajak. Dengan perkataan lain, semakin besar kemampuan bayar
wajib pajak, semakin kecil pula jumlah pajak yang harus dibayar sesuai kenaikan objek pajak,
namun besarnya persentase kenaikan pajak semakin menurun dari tingkat ke tingkat. Tarif ini
pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris
maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Tarif ini sudah tidak berlaku lagi dikarenakan
akan menimbulkan kesulitan di mana pihak yang berpenghasilan besar akan bebas dari pajak
sehingga disarankan untuk tidak dipergunakan lagi. Contoh Pajak Terutang: 20% x
Rp25.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000 10% x Rp100.000.000 =
Rp25.000.000 5% x Rp50.000.000 = Rp17.500.000
ADBI4330/MODUL 3 3.19 6. Tarif Betham Tarif Betham ini selintas mirip dengan tarif
proporsional dengan suatu persentase tetap seperti pajak yang berlaku terhadap pajak kekayaan.
Misalnya 5%, tetapi hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas minimum, yaitu
Rp80.000.000,- Tarif Pajak ini diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu suatu
jumlah yang berasal dari penghasilan kotor setelah dikurangi berbagai potongan yang
diperkenankan oleh undang-undang. C. KEBIJAKAN TARIF Kebijakan tarif pajak mempunyai
hubungan yang erat dengan fungsi pajak dalam masyarakat, yaitu fungsi budgeter dan fungsi
regulerend (mengatur). Untuk menentukan hal ini, kebijakan pemerintah memegang peranan
yang sangat penting. Sudah tentu pajak adalah alat utama untuk memasukkan uang ke dalam kas
Negara yang sangat diperlukan untuk membiayai pengeluaran Negara. UU pajak dibuat terutama
dengan maksud untuk memasukkan uang ke dalam kas Negara. Tujuan untuk mengatur biasanya
merupakan tujuan sampingan yang berdasarkan berbagai alasan dan mempunyai berbagai
maksud yang ingin dicapai oleh pemerintah, umpamanya untuk menarik investasi baik berupa
penanaman modal asing atau modal dalam negeri, untuk mengembangkan pasar modal, untuk
menghambat penggunaan alkohol, atau melindungi (proteksi) produksi dalam negeri dan lain-
lain. Untuk mencapai tujuannya, baik yang bersifat politis maupun yang bukan politis,
pemerintah menggunakan kebijakan tarif dengan mengombinasikan penggunaan tarif pajak
tinggi dan tarif rendah (0%). Walaupun itu merupakan kebijakan, tetapi karena tarif termasuk
ketentuan material maka tarif harus dimuat dalam UU, kecuali jika UU memberi kuasa kepada
Pemerintah atau Menteri keuangan (delegation of authority). Besarnya tarif menentukan
besarnya jumlah pajak yang menjadi beban wajib pajak sekaligus jumlah penerimaan negara dari
pajak. Tapi, besarnya pajak tidak selalu menjadi beban Wajib Pajak karena dalam pajak tidak
langsung, beban pajak dilimpahkan/digeser kepada orang lain (tax shifting).
Pelimpahan/pergeseran pajak (tax shifting) dapat dibagi menjadi dua, yaitu pergeseran ke depan
(forward shifting) dan pergeseran ke belakang (backward shifting).
3.20 Administrasi Perpajakan Tarif pajak juga dapat untuk tujuan politis, misalnya digunakan
dalam rangka pemilihan umum oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum dengan
memberikan janji-janji jika terpilih nantinya (hal ini banyak digunakan di Negara-negara maju).
Di samping itu, dalam perjanjian- perjanjian pajak baik bilateral maupun multilateral sering kali
juga mengandung muatan politis. D. SISTEM TARIF Setiap negara miliki hak untuk
menentukan sistem tarif pajak yang paling tepat untuk diterapkan di negaranya. Demikian juga
dengan Indonesia yang seperti kita lihat, yaitu menggunakan tarif progresif untuk Pajak
Penghasilan, tarif proporsional untuk Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea Cukai, Pajak Bumi dan
Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menggunakan tarif Betham.
Sementara tarif bea masuk terikat dengan perjanjian General Agreement on Trade and Tariff
(GAAT), suatu konvensi internasional. Di samping itu, pemerintah masih menetapkan beberapa
tambahan misalnya Bea Masuk Tambahan. Sementara tarif ad valorem yang merupakan tarif
dengan persentase tertentu dipergunakan untuk harga atau nilai barang. E. UTANG PAJAK Saat
timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan: 1.
pembayaran pajak; 2. memasukkan surat keberatan; 3. menentukan saat dimulai dan berakhirnya
jangka waktu kadaluwarsa; 4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan lain-lain; 5. menentukan besarnya denda maupun
sanksi administrasi lainnya. Ada dua metode yang mengatur timbulnya utang pajak (saat
pengakuan adanya utang pajak), yaitu metode materiil dan formil. 1. Metode Materiil Di sini
dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya UU Perpajakan. Dalam metode ini
seseorang akan menentukan secara
ADBI4330/MODUL 3 3.21 aktif apakah dirinya dikenai pajak atau tidak sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku. Metode ini konsisten dengan penerapan self assessment
system. 2. Metode Formil Dalam metode ini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Untuk menentukan apakah seseorang dikenai
pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu
pembayarannya dapat diketahui dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten
dengan penerapan official assessment system. Berakhirnya Utang Pajak Utang pajak akan
berakhir atau hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut. a. Pembayaran Pelunasan
Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain,
pengkreditan pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib pajak ke kantor
penerima pajak (Bank-bank persepsi dan Kantor Pos). b. Kompensasi Kompensasi dapat
diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan pembayaran. c.
Daluwarsa Yang dimaksud dengan daluwarsa adalah telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam
jangka waktu tertentu suatu utang pajak tidak ditagih oleh pemungutnya, maka utang pajak
tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih lagi. Dalam UU No. 36
tahun 2008, utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10 tahun terhitung sejak
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun Pajak yang
bersangkutan. d. Pembebasan/Penghapusan Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak terhenti
dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan penyidikan dipandang perlu bahwa Wajib
pajak mengalami kebangkrutan atau mengalami kesulitan likuiditas.
3.26 Administrasi Perpajakan 4) Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi asas
keadilan dapat diberlakukan tarif .... A. pajak khusus (specific tax) B. degresif C. progresif D.
proporsional 5) Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada hakikatnya sama dengan tarif
pajak .... A. progresif B. degresif C. proporsional D. khusus atas dasar ukuran Cocokkanlah
jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini.
Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat
penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2. Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban
yang Benar 100% Jumlah Soal Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% =
baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda
harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.29 Jadi, pajak yang ditanggung oleh konsumen sebesar Rp4/unit dan
pengusaha Rp1/unit. C. SELURUHNYA DITANGGUNG KONSUMEN Dalam hal ini
pengusaha tidak menaikkan harga sehingga antara harga awal dan harga setelah pajak adalah
sama, sementara permintaan tetap. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat dan sifat barang
yang tidak memungkinkan menaikkan permintaan. Harga awal Rp20/unit dengan permintaan
2000 = 2000 x Rp20 = Rp40.000,- Harga kemudian Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x
Rp20 = Rp40.000,- Oleh karena harganya tetap maka seluruh beban pajak jatuh ke tangan
pengusaha. Apabila perusahaan yang harus menanggung beban pajak, maka pengusaha harus
mempertahankan eksistensinya meski terasa berat dan sulit. Untuk menghadapi masalah ini ada 3
macam cara bagi perusahaan untuk tetap bertahan. 1. Mengurangi keuntungan bersihnya, hal ini
dapat terjadi apabila keuntungan sebelumnya lebih besar daripada pajak yang harus dibayarkan.
2. Mengadakan cara kerja yang efisien sehingga diperoleh harga produk yang dapat menutup
pajak. Hal ini dapat terjadi apabila cara kerja berproduksi yang efisien dapat menutup seluruh
beban pajak. 3. Mengurangi keuntungan dan sekaligus efisiensi cara berproduksi. Hal ini dapat
dilakukan apabila tingkat keuntungan tidak cukup untuk menutup beban pajak dan efisiensi cara
kerja produksi tidak cukup besar untuk menutup beban pajak. Pergeseran dan keterkenaan pajak
ini merupakan satu dari enam macam pengelakan pajak yang biasa dipraktikkan dimana-mana,
yaitu kapitalisasi, transformasi, penyelundupan (evasion), penghindaran (avoidance), dan
pembebasan (exemption). Di samping keenam cara pengelakan pajak ini, masih ada satu lagi
cara yang tidak semata-mata sebagai pengelakan pajak, tetapi penundaan pembayaran pajak.
3.30 Administrasi Perpajakan Ada tiga konsep yang saling berhubungan dalam perpajakan
yang perlu dimengerti, yaitu dampak perpajakan (impact of taxation), pergeseran pajak
(shifting), dan insiden pajak (incidence of tax). 1. Dampak Perpajakan (Impact of Taxation)
Dampak perpajakan-perpajakan terjadi jika wajib pajak terkena pajak sehingga diwajibkan
membayar pajak kepada negara. Orang atau badan yang membayar pajak disebut subjek pajak.
Namun, tidak semua subjek pajak diwajibkan membayar pajak, misalnya orang yang mempunyai
penghasilan kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Pergeseran Pajak (Shifting)
Pada umumnya, pergeseran pajak (shifting) ada tiga, yaitu sebagai berikut. a. Pergeseran ke
depan (forward shifting) Bentuk shifting ini terjadi apabila beban pajak dipindahkan dari
pengusaha sebagai pembayar pajak kepada pembeli dalam hal ini konsumen melalui proses
distribusi barang. Jadi, pengusaha (pabrikan) yang menerima beban pajak pertama dapat
memindahkan (shifting) kepada whole saler yang kemudian whole saler yang kemudian whole
saler tersebut memindahkannya kepada retailer dan retailer memindahkannya kepada pembeli
atau konsumen. Pabrikan Whole saler Retailer Konsumen Subjek pajak Pembayar pajak b.
Pergeseran ke belakang (backward shifting) Bentuk shifting ini kebalikan dari forward shifting.
Pada backward shifting ini beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui proses
distribusi kepada produsen. Jadi pajak dapat dibebankan pada awalnya pada konsumen dan
konsumen dapat mentransfer kepada retailer dengan cara hanya membayar harga barang setelah
dikurangi dengan pajak dan begitu seterusnya sampai kepada pengusaha/pabrikan. Pabrikan
Whole saler Retailer Konsumen
ADBI4330/MODUL 3 3.31 c. Pergeseran berulang (onward shifting) Bentuk ini terjadi
apabila pajak dapat dipindahkan dua kali atau lebih, baik ke muka (dari pabrikan ke konsumen)
maupun ke belakang (dari konsumen ke produsen). Transfer pajak dari produsen ke konsumen
atau dari whole saler kepada pembeli adalah merupakan 1 shifting kemudian dari produsen ke
whole saler dan selanjutnya ke retailer termasuk 1 bentuk shifting lagi sehingga dari keadaan ini
kita dapati 2 shifting. Selanjutnya apabila pajak ditransfer lagi oleh retailer kepada konsumen
maka dari semuanya kita dapati 1 bentuk shifting. Produsen Whole Saler Retailer Konsumen 1
23 Berdasarkan data di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa cara shifting, yaitu proses
pengalihan pajak kepada orang lain yang dapat terjadi dalam 3 bentuk yang pada hakikatnya
merupakan bentuk penghindaran pajak. Pembebanan atau pengalihan pajak dapat terjadi, baik
seluruhnya atau sebagian dari beban pajak yang seharusnya dipikulnya. Di samping ketiga
bentuk pergeseran pajak melalui shifting, ada beberapa bentuk penghindaran pajak yang lain,
yaitu kapitalisasi (capitalization), transformasi (transformation), penyelundupan (evation),
penghindaran (avoidance), dan pembebasan (exemption). Untuk lebih jelasnya kita uraikan
sebagai berikut. d. Kapitalisasi (capitalization) Kapitalisasi pajak adalah merupakan pengurangan
harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli
seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pembeli
harta tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban ini tidak menjadi
tanggungan pembeli, beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta
tetap menjadi berkurang. Kapitalisasi ini termasuk pergeseran pajak ke belakang.
3.34 Administrasi Perpajakan c. Penghindaran pajak secara yuridis Perbuatan dengan cara
sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya
dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang. Hal inilah
yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: 1) Penetapan pajak
khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak
khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi
berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka merubah status tempat dansa umum tersebut
menjadi tempat dansa khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan
demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum. 2) Di Indonesia
pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan
terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan
menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini
dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik
bioskop menghindari pengenaan menekan harga produksi pajak ini dengan cara mengenakan
tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan. 3) Di Indonesia, untuk pegawai diberi
tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerja sama dengan
yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan
yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan
hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang. D. PEMBEBASAN PAJAK
(EXEMPTION) Yang dimaksud dengan exemption from taxation adalah pemberian kekebalan
kepada Wajib Pajak tertentu untuk tidak membayar pajak oleh negara kepada sebagian warganya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada dasarnya pembebasan sama dengan
evasion dan avoidance di mana pemerintah tidak menerima pajak. Perbedaannya, kalau pada
avoidance wajib pajak diberi kelonggaran untuk memilih, pada evasion pemerintah
ADBI4330/MODUL 3 3.35 dapat menuntut, maka pada exemption ini sama dengan bentuk
avoidance. Bedanya apabila pada avoidance masih terdapat kemungkinan wajib pajak tidak
membayar pajak, sedangkan pada exemption memang diberikan kekebalan untuk tidak
membayar pajak. Pemberian exemption ini adalah kewenangan pemerintah. Hal ini sejalan
dengan salah satu fungsi pajak yaitu mengatur. Exemption ini dapat diberikan untuk sebagian
(parsial) atau seluruhnya (total), dapat terjadi untuk waktu sementara waktu atau selamanya.
Pada umumnya, pemerintah dapat memberikan kekebalan pada warga negaranya yang bergerak
di bidang sosial seperti pendidikan dan keagamaan. Namun, tidak tertutup bagi yang bergerak di
bidang bisnis dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu meskipun sifatnya temporer. Misalnya
usaha baru dalam rangka PMDN dan PMA (tax holiday), pembebasan untuk penghasilan yang
menurut UU belum terkena pajak, pembebasan untuk bea meterai dari suatu kontrak yang kurang
dari jumlah tertentu. Insiden Pajak (Incidence of Tax) Insiden pajak dapat terjadi apabila terjadi
transfer beban pajak dari wajib pajak kepada pihak lain. Namun, adakalanya insiden pajak terjadi
tanpa penggeseran pajak yaitu bila terjadi transformasi Menurut Sophar dari keseluruhan
kegiatan pajak ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kesemuanya ini bermula dari dampak
perpajakan yang mengakibatkan munculnya pergeseran dan pengelakan pajak, kemudian insiden
pajak sebagai akhir dari lingkaran ini. Hal ini dapat kita lihat dari dampak perpajakan pada Pajak
Pertambahan Nilai. Pengusaha yang seharusnya menanggung pajak, menggeser beban pajak
tersebut pada konsumen dan konsumen akhirlah yang menanggung insiden pajak. Berbeda
dengan Pajak Penghasilan yang merupakan pajak langsung, di mana wajib pajak yang menerima
dampak perpajakan dan sekaligus dilanjutkan dengan insiden pajak. Dalam hal ini tidak terjadi
pergeseran pajak, karena Pajak Penghasilan sebagai pajak langsung tidak mengenal adanya
pergeseran pajak.
3.36 Administrasi Perpajakan LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai
materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! 1) Dalam kondisi tertentu apakah Wajib Pajak dapat
menggeser beban pajaknya kepada orang lain? 2) Bagaimana caranya bila Wajib Pajak akan
menggeser beban pajaknya ke belakang? 3) Apakah proses shifting dapat berulang? Petunjuk
Jawaban Latihan 1) Wajib pajak dapat menggeser beban pajaknya pada orang lain untuk jenis
pajak tertentu misalnya pada Pajak Pertambahan Nilai. 2) Wajib Pajak dapat menggeser beban
pajaknya ke belakang dan salah satu caranya adalah dengan menekan harga/biaya tenaga kerja.
3) Proses shifting dapat berulang dengan jalan mereka yang terkena pergeseran pajak
membebankan pajaknya kepada konsumen yang menggunakan produknya. RANGKUMAN
Pajak pada dasarnya dapat digeser bebannya kepada orang lain, meski tidak semua jenis pajak
dapat digeser bebannya. TES FORMATIF 3 Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1) Proses
pengalihan pajak disebut dengan .... A. shifting B. tax avoidance C. tax evation D. transformation
3.38 Administrasi Perpajakan Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% =
baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda
harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
ADBI4330/MODUL 3 3.39 Kunci Jawaban Tes Formatif Tes Formatif 1 1) A. Yang termasuk
pajak berdasarkan golongannya adalah pajak langsung. 2) D. Pajak yang memperhatikan
kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut pajak subjektif. 3) B. Pajak langsung merupakan pajak
yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. 4) B. Pajak yang wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah daerah. 5) A. Pajak Kendaraan Bermotor tidak termasuk
kelompok pajak daerah kabupaten/kota. Tes Formatif 2 1) A. Tarif yang dapat ditetapkan
sehubungan dengan perpajakan adalah tarif progresif dan proporsional. 2) A. Yang dimaksud
dengan tarif degresif adalah apabila persentase pajaknya semakin menurun bila dibandingkan
dengan semakin meningkatnya taxable volumenya. 3) C. Pajak Penghasilan yang berlaku
sekarang ini menganut tarif proporsional. 4) C. Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi
asas keadilan dapat diberlakukan tarif. 5) C. Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada
hakikatnya sama dengan tarif pajak proporsional. Tes Formatif 3 1) A. Proses pengalihan pajak
disebut dengan shifting. 2) B. Disebut forward shifting. 3) C. Perusahaan melakukan dengan
menekan harga produksi. 4) D. Disebut dengan transformasi. 5) A. Fungsi mengatur.
3.40 Administrasi Perpajakan Daftar Pustaka Abut., Hilarius. (2005). Perpajakan 2005 – 2006.
Jakarta: Diadit Media. Devano., Sonny dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep,
Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Fidel. (2008). Pajak Penghasilan
(Pembahasan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Dengan Komentar Pasal Per
Pasal). Jakarta: Carofin Publishing. Ichsan., H.M. (2004). Administrasi Perpajakan, Modul
Universitas Terbuka. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Lumban toruan., Sophar. (1996).
Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurmantu., Safri,
Azhari A. Samudra. (2003). Dasar-dasar Perpajakan. Jakarta: Modul Universitas Terbuka,
Penerbit Universitas Terbuka. Suandy., Erly. (2008). Hukum Pajak. Jakarta: Edisi 4, Penerbit
Salemba Empat.