Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
memahami perjuangan dan sejarah bagi pembaca.
Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik secara
teknis maupun materi mengingat minimnya kemampuan yang dimiliki. Maka dari
itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dibutuhkan demi
penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhindda kepada pihak-pihak
yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan setimpal
kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan
itu sebagai ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Maka dari itu, pada sikap nasionalisme, bangsa menjadi elemen utama yang
menjadi dasar alami untuk menjalankan pemerintahan karena memiliki sumber
kekuatan politik yang sah berdasarkan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itulah, nasionalisme menganggap bahwa suatu bangsa harus dapat
mengatur dan menentukan nasib dirinya sendiri, tanpa campur tangan dari pihak
asing atau luar (bangsa lain). Nasionalisme dibangun melalui ikatan berdasarkan
karakteristik sosial suatu bangsa, seperti lokasi geografis, etnis, budaya, bahasa,
tradisi, agama, dan kepercayaan dalam sejarah tunggal bersama demi membangun
dan mempertahankan identitas nasional yang tunggal.
Agar lebih mudah memahami tentang apa yang dimaksud dengan nasionalisme,
berikut merupakan pengertian nasionalisme menurut para ahli yang bisa kamu
jadikan referensi, antara lain:
Nah, itulah ulasan singkat mengenai nasionalisme yang bisa kamu pelajari.
Selanjutnya, mari kita bahas tentang apa itu demokrasi, dan bagaimana sejarah
demokrasi di Indonesia, sebagai berikut:
Istilah demokrasi pertama kali muncul pada abad 508–507 SM di dalam pemikiran
politik dan filsafat Yunani kuno di negara–kota Athena. Pada masa itu, negara–
kota (polis) Athena dipimpin oleh Cleisthenes, seorang Athena yang mendirikan
apa yang umumnya dianggap sebagai demokrasi pertama di dunia. Oleh karena
itulah Cleisthenes dianggap sebagai bapak demokrasi Athena. Demokrasi Athena
pada masa itu mengambil bentuk demokrasi langsung dengan dua ciri yang
membedakannya, yaitu:
Pemilihan acak warga negara biasa untuk mengisi beberapa kantor administrasi
dan peradilan pemerintahan yang ada.
Majelis legislatif yang terdiri dari seluruh warga negara Athena pada masa
tersebut.
Pada sistem demokrasi Athena ini, rakyat terlibat secara langsung dalam majelis
yang disebut boule, atau dewan yang terdiri dari 500 warga yang ditunjuk untuk
melaksanakan urusan sehari-hari negara–kota, dan pengadilan. Sebagian besar
warga terlibat secara konstan dalam urusan publik negara–kota.
Semua warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak untuk berbicara dan
memberikan suara dalam majelis yang mengatur undang-undang negara–kota
Athena. Namun, demokrasi Athena ini memberikan pengecualian hak berbicara
dan bersuara tersebut pada perempuan, budak, orang asing, dan laki-laki di bawah
usia 20 tahun. Pengecualian ini didasarkan pada pemahaman kuno Yunani
mengenai kewarganegaraan yang berkaitan dengan kewajiban ikut perang dalam
kampanye perang.
Agar lebih mudah memahami pengertian demokrasi, berikut adalah pendapat para
ahli tentang demokrasi:
Hans Kellen menyatakan kalau demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan
untuk rakyat.
Abraham Lincoln menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
C.F. Strong menyatakan kalau demokrasi merupakan sebuah sistem
pemerintahan yang mayoritas anggota dewannya berasal dari masyarakat yang
ikut serta dalam politik, atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah
akhirnya mempertanggungjawabkan semua tindakannya pada mayoritas
tersebut.
Samuel Huntington menyebut demokrasi ada apabla para pembuat keputusan
kolektif paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum
yang adil, jujur, dan berkala, serta dalam sistem tersebut para calon bebas
bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat
memberikan suara.
Charles Costello menyebut demokrasi sebagai sistem sosial dan politik
pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi
hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perseorangan warga negara
tersebut.
Sekalipun tiga program dalam Politik Etis yang mencakup irigasi, imigrasi, dan
edukasi mengalami penyimpangan dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan
pendidikan bergaya Barat di Hindia Belanda pada masa itu menghasilkan golongan
elit baru yang juga disebut sebagai golongan priyayi baru.
Berkat pendidikan bergaya Barat yang mereka terima di sekolah, para priyayi baru
ini memiliki kesadaran bahwa masyarakat Bumiputra harus mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa lain dalam mencapai kemajuan modernitas.
Golongan priyayi baru ini banyak yang berprofesi sebagai guru, jurnalis, dokter,
dan aparatur pemerintahan. Melalui bidang pendidikan, pers, dan parlemen, para
priyayi baru ini menyebarkan ide-ide dan pemikiran mereka yang ingin membawa
kemajuan dan pembebasan Bumiputra dari segala bentuk penindasan kolonialisme
Belanda.
Beberapa organisasi awal pergerakan nasionalisme ini adalah Budi Utomo, Sarekat
Islam (sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam), dan Indische Partij. Pada
tahun 1913, para pemimpin Sarekat Islam dan Indische Partij juga mengajukan
tuntutan kebebasan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan politik dan
kebebasan menyatakan pendapat kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda memenuhi tuntutan mereka dengan
membentuk Dewan Rakyat (Volksraad).
Organisasi Keagamaan
Selain organisasi keagamaan, ada pula organisasi pemuda dan partai politik yang
muncul memperjuangkan kemerdekaan masyarakat Bumiputra. Sekalipun
organisasi-organisasi pemuda ini masih bersifat kedaerahan dalam menentang
kolonialisme Belanda, organisasi-orgasniasai ini memuliki tujuan kemerdekaan
untuk kebangsaan dan cinta tanah air.
Selain Jong Java, ada juga persatuan pemuda Sumatera yang dikenal dengan nama
Jong Sumatera Bond. Jong Sumatera Bond ini didirikan pada tahun 1917 di
Jakarta. Dua tokoh terkenal dari persatuan pemuda Sumatera ini adalah
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin.
Pada masa itu juga muncul banyak sekolah perempuan seperti Kautaman Istri,
sekolah-sekolah anak remaja putri, sekolah-sekolah Kartini, dan Kerajinan Amai
Setia (KAS). Beberapa organisasi perempuan lainnya juga turut muncul, seperti
Pawiyatan Wanito (1915), Wanita Susilo (1918), Sarekat Siti Fatimah (1918),
Wanito Rukun Santoso (1919), dan Putri Budi Sejati (1919).
Seiring dengan semakin banyaknya perempuan yang terdidik pada masa itu,
organisasi-organisasi perempuan pun semakin banyak. Mereka tidak hanya
bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial.
Beberapa organisasi perempuan tersebut adalah Aisyah (1914), Gorontalosche
Muhammedaansche Vrouwen Vereninging (1920), Nahdatul Fa’at (1920), Wanita
Utama (1921), Wanita Taman Siswa (1922), Wanita Khatolik (1924), Sarekat
Ambon (1927), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), Putri Indonesia
(1927), dan Organisasi Puteri Setia (1928).
Pemuda Indonesia
Perjuangan para priyayi baru ini tidak hanya terjadi di Hindia Belanda, tetapi juga
di Belanda, loh, Pahamifren. Pada tahun 1908, para pelajar Hindia Belanda yang
ada di Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging. Tiga
tokoh pendiri Indische Vereniging ini adalah R. Panji Sostrokartono, R.M
Notosuroto, dan R. Husein Jajadiningrat.
Mulanya organisasi yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan ini didirikan
sebagai wadah para anggotanya untuk bertukar pikiran mengenai situasi Hindia
Belanda. Namun, seiring dengan semakin banyaknya pemuda yang diasingkan ke
Belanda, aktivitas perkumpulan ini pun akhirnya membahas masalah-masalah
politik.
Rasa kebangsaan para pemuda tersebut juga semakin kuat, sehingga mereka
memutuskan mengganti nama organisasi mereka dengan nama Indonesische
Vereeniging pada tahun 1925. Indonesische Vereeniging dipimpin oleh Iwa
Kusuma Sumantri, Mohammad Hatta, JB. Sitanala, D. Mangunkusumo, dan
Sastramulyono. Nama ini pun kemudian berubah lagi menjadi Perhimpunan
Indonesia (PI).
Nama majalah mereka yang awalnya bernama Hindia Putra juga berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka untuk menunjukkan semangat kebangsaan mereka dan
keinginan mereka agar Indonesia bisa merdeka. Para pemuda ini juga menjadikan
merah putih sebagai lambang mereka serta Pangeran Diponegoro sebagai tokoh
perjuangan.
PI kemudian juga sering menyerukan pada semua pemuda di Hindia Belanda untuk
bersatu dalam pergerakan mereka. PI memiliki semboyan “self reliance, not
mediancy” (tidak meminta-minta dan tidak menuntut-nuntut). Mereka berpendapat
bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat diperoleh dengan kekuatan bangsa
Indonesia sendiri, tanpa adanya kerja sama dengan bangsa Belanda. Bangsa
Indonesia harus mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan tidak bergantung pada
bangsa lain.
Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922
turut membangun akar nasionalisme bangsa Indonesia. Taman Siswa pada masa itu
mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren dengan mengadakan
sistem pendidikan nasional, yang bercirikan kebudayaan asli Indonesia.
Salah satunya adalah Undang-Undang Ordonasi Sekolah Liar Tahun 1932 yang
melarang para guru yang terlibat politik mengajar di sekolah-sekolah. Kontribusi
Taman Siswa pada masa menjelang kemerdekaan sangat besar karena sudah
menyediakan pendidikan bagi rakyat Indonesia yang tidak disediakan oleh
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Sumpah Pemuda
Sejak tahun 1926 sampai 1928, perjuangan para pemuda berlangsung dengan
cepat. Mereka mengadakan beberapa pertemuan yang bertujuan untuk menyatukan
organisasi-organisasi yang ada. Namun, upaya tersebut masih belum maksimal
karena masih ada persoalan kedaerahan yang muncul.
Hingga akhirnya kalangan muda dan kalangan tua menyadari kalau kebutuhan
untuk bersatu sudah sangat mendesak. Bahkan para pelajar yang tergabung dalam
PI kembali ke tanah air demi merapatkan barisan di Hindia Belanda. Selama dua
tahun, para pemuda mengadakan pertemuan di Indonesische Clubgebouw secara
intensif untuk meningkatkan rasa nasionalisme.
PPPI kemudian membentuk panitia untuk mengadakan rapat pemuda yang diisi
dengan ceramah yang dimaksudkan untuk memperkuat rasa persatuan di antara
organisasi-organisasi pemuda yang ada di Indonesia.
Pada bulan Juni 1928 terbentuklah panitia yang dipimpin oleh Soegoendo
Djojopoespoto dari PPPI dengan wakil Djoko Marsaid dari Jong Java dan
Mohammad Yamin dari Sumatranen Bond yang bertindak sebagai sekretaris.
Hingga akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dilaksanakan
di gedung Indonesische Clubgebouw. Kongres tersebut dihadiri sekitar 1.000
orang.
Kongres ini kemudian menghasilkan isi keputusan demokratis yang sangat penting
bagi masa depan Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda yang mengedepankan
nasionalisme Indonesia. Di kongres ini pulalah bendera merah putih dugunakan
sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia dan lagu Indonesia Raya karya Wage
Rudolf Suparman dikumandangkan.