Anda di halaman 1dari 13

AB

Kajian Produksi Ruang pada Kampung Pelangi 200


Bandung Berdasarkan Teori The Production of Space
Oleh Henri Lefebvre
25222028 - Brilliant Kholifal Amin, 25222052 - Adira Damai Reforma, 25222059 - Sevilla Aziza

Abstrak

Kampung Pelangi 200 merupakan kampung kota hasil relokasi dari lahan yang sekarang digunakan sebagai
asrama ITB, keberadaanya saat ini sebagai objek wisata kampung kota merupakan hasil upaya pemerintah
dalam meningkatkan sektor ekonomi dan pariwisata di Kawasan perkotaan. Keputusan pemerintah dalam
mewujudkan konsepsi tersebut dan bagaimana produksi ruang yang terjadi di Kampung Pelangi dapat dikaji
menggunakan teori The Production of Space oleh Henri Lefebvre yaitu praktik spasial, representasi ruang,
dan ruang representasional. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mempelajari serta mengkaji peran
masyarakat, pemerintah, serta sektor swasta dalam produksi ruang di Kampung Pelangi 200. Pembahasan
dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan untuk analisis berupa data primer
dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi foto.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui berita dan literatur yang membahas tentang Kampung Pelangi
200. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Kampung Pelangi 200
terbagi menjadi dua bagian, yaitu pembentukan awal Kampung Pelangi 200 dan pembentukan Kampung
Pelangi 200 sebagai objek wisata. Adapun pembentukan awal Kampung Pelangi 200 dimulai dengan
representasi ruang yang kemudian timbul praktik spasial dan ruang representasi. Sedangkan proses
pembentukan Kampung Pelangi 200 karena adanya konsepsi ruang oleh pemerintah kota sebagai usaha
memperliharkan hegemoninya dan memperluas citra serta eksistensinya.

Kata-kunci: Kampung Pelangi 200, produksi ruang, wisata kampung, Kota Bandung.

Latar Belakang

Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan
tempat tinggal, selain itu urbanisasi juga mengambil bagian dalam faktor terjadinya sebuah kampung kota.
Kampung kota secara umum diketahui sebagai suatu permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa
perencanaan infrastruktur dan ekonomi kota (Nursyahbani dan pigawati, 2015). Selain itu kampung kota dapat
diartikan bagian dari kota berupa kelompok perumahan dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kurangnya
sarana prasarana, tidak terdapat patokan luasan yang jelas (bisa lebih besar dari sebuah kelurahan) dan
mengandung arti perumahan yang dibangun secara informal.

Di sisi lain, kapitalisme memerlukan urbanisasi untuk menyerap nilai lebih yang dibawa oleh para migran,
buruh dan karyawan. Hukum “coercive laws of competition” atau persaingan antar pemilik perusahaan di
perkotaan menyerap setiap individu untuk menjadi kaum urban baru dengan nilai tenaga kerja yang murah
dengan menghasilkan produksi yang massif sehingga menghasilkan nilai yang lebih bagi para pengusaha di
wilayah perkotaan.

Permukiman informal di Indonesia dalam rentang pengaruh perkotaan ditandai dengan pembangunan
perumahan swadaya dalam skala yang sangat masif. Rumah swadaya merupakan suatu fenomena yang terjadi
di seluruh Indonesia, dimana ikatan komunitas antar keluarga dan tetangga terjalin kuat (Tunas and Peresthu,
2010). Menurut Kusala (2008), kampung kota merupakan akar budaya permukiman khas di Indonesia.
Kampung kota memiliki karakteristik yang khas pada pola fisik yang beragam, organik, dan seringkali
surprising. Ciri ciri kampung kota antara lain penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan
pedesaan, dimana ikatan kekeluargaan masih terjalin dengan erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan
kurang baik serta tidak beraturan, kepadatan bangunan dan penduduk yang tinggi, sarana pelayanan dasar
seperti infrastruktur dan sarana air bersih yang kurang layak (Susanti dan Ikaputra, 2020).

Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian menjadikannya kota terpadat kedua di Jawa
Barat dengan nilai 14.957 jiwa/km2 (BPS tahun 2019). Hal tersebut akan menciptakan heterogenitas, dalam
kota terdapat hubungan plural bersifat antagonis atau pertentangan. Salah satu antagonisme adalah karena
terjadinya extraction of value, di mana hampir semua warga kota saling melakukan proses sirkulasi nilai dan
nilai-nilai yang mereka hasilkan ini kemudian terserap kembali ke dalam sirkulasi hutang dan konsumsi
sehingga menyebabkan kaum urban tetap tinggal dalam kehidupan subsisten. Kelas yang tercipta dari proses
tersebut dapat menjadi sebuah kesenjangan di masyarakat, terlihat pada perbedaan kawasan di perkotaan
salah satunya yaitu Kampung Pelangi.

Kampung pelangi 200 merupakan kawasan permukiman padat penduduk yang berada tepian sungai
Cikapundung, tepatnya di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Mayoritas penduduk
di kampung ini berasal dari masyarakat yang terkena dampak penggusuran karena pembangunan asrama ITB.
Penduduk yang mengalami penggusuran tersebut tetap diperbolehkan bermukim di lahan milik ITB di tempat
lain, yang sekarang dikenal sebagai kampung pelangi 200. Nama 200 sendiri diambil dari jumlah kompensasi
yang diberikan kepada warga yang terkena dampak penggusuran.

Dalam perkembangannya, kampung pelangi 200 menjadi destinasi wisata yang cukup dikenal oleh
masyarakat. Kondisi ini dan terbentuknya kampung yang tergolong masih baru, yaitu berusia sekitar 30 tahun
merupakan salah satu alasan lokasi ini menjadi menarik untuk dibahas. Makalah ini bertujuan untuk
mempelajari pembentukan ruang Kampung Pelangi 200 berdasarkan teori The Production of Space yang
dicetuskan oleh Henri Lefebvre.

Teori yang Hendak Didalami

The production of Space Henry Lefebvre

Henri lefebvre seorang cendekiawan neo- marxis dan filosof existentialist memperkenalkan beberapa konsep
tentang kehidupan sosial dan masalah kota, urbanisme dan ruang. Menurutnya dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat, kapitalisme masuk dan memproduksi dirinya lalu menjadikan berbagai alat dan pelayanan
sebagai zona konsumsi. Selain itu, kapitalis modern menjadikan ruang secara spasial sebagai arena
pertarungan yang tidak pernah selesai diperebutkan. Hegemoni dipertahankan oleh semua pihak yang
berkepentingan demi mendominasi pemakaian atau pemanfaatan atas suatu ruang dan mereproduksi segala
pengetahuan. Dengan kata lain, ruang bersama akan selalu menyesuaikan kepentingan kapitalistik.

Terciptanya produksi ruang sosial yang disebutkan oleh Henri Lefebvre yakni relasi produksi antara ruang
secara spasial dengan masyarakat dalam hal ini akan mempengaruhi mentalitas para penghuninya. Oleh
karena itu, Lefebvre menganjurkan agar kita memahami ruang dalam kaitannya dengan sejarah dan konteks
secara spesifik.

Menurut Lefebvre space (ruang) mewujudkan kehendak untuk memamerkan dirinya karena ruang maupun
komoditas harus digunakan sehingga memiliki nilai. Ruang sosial terdiri dari aktivitas sosial, baik individu
maupun kelompok. Ia merupakan aktivitas sosial yang memberi “makna” pada pemahaman ruang spasial oleh
mereka yang mengisi dan menghidupkannya. Produksi ruang sosial terkait dengan bagaimana praktik spasial
diwujudkan dengan persepsi lingkungan yang dibangun melalui jaringan yang menghubungkan aktivitas sosial
seperti pekerjaan, kehidupan pribadi, dan waktu luang. Lefebvre menggambarkannya sebagai hubungan
dialektis antara ruang hidup (spasial dan sosial), ruang yang dipersepsikan, dan ruang yang dikonsepsikan,
yaitu disebut sebagai "tiga rangkaian konseptual atas ruang".

Tiga rangkaian konseptual atas ruang yang dimaksud Lefebvre menjelaskan bagaimana suatu ruang sosial
dihasilkan, yaitu sebagai berikut:

1. Praktik spasial: konsep ini menunjuk dimensi material dari kegiatan sosial dan interaksinya. Klasifikasi
spasial menekankan aspek aktivitas yang simultan. Secara konkret, praktik spasial merupakan jaringan
interaksi dan komunikasi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, koneksi sehari-hari antara
tempat kerja dan hunian) atau dalam proses produksi (produksi dan hubungan pertukaran). Praktik spasial
merujuk pada ruang material yang dipersepsikan yaitu bagaimana masyarakat membangun, menggunakan
dan mempersepsikan ruang.

2. Representasi ruang: representasi ruang ini memberikan gambaran atau konseptualisasi sehingga sesuatu
didefinisikan sebagai ruang. Representasi ruang muncul pada tingkat wacana atau yang dikonsepsikan, dia
muncul dalam bentuk-bentuk yang diucapkan seperti deskripsi, definisi, dan terutama teori ruang. Lefebvre
memberi contoh representasi ruang ini bisa dilihat pada peta, gambar rencana ruang, informasi dan notasi
dalam gambar ruang. Ilmu khusus yang berkaitan dengan representasi ruang ini adalah arsitektur, desain
interior, perencanaan wilayah, dan juga ilmu-ilmu sosial (dalam hal khususnya geografi).

3. Ruang representasional: dimensi ketiga dari produksi ruang merupakan kebalikan dari "representasi
ruang." Ruang representasi menyangkut dimensi simbolik ruang. Ruang representasi tidak mengacu pada
ruang itu sendiri tetapi pada sesuatu yang lain: kekuatan pikiran, negara, prinsip maskulin atau feminin, dan
sebagainya. Dimensi produksi ruang ini mengacu pada proses pemaknaan yang menghubungkan dirinya
dengan simbol. Simbol ruang bisa diambil dari alam, seperti pohon atau formasi topografi yang menonjol; atau
bisa pula artefak, bangunan, dan monumen; mereka juga bisa mengembangkan dari kombinasi keduanya,
misalnya sebuah "lanskap."

Sebuah teori ketika diungkapkan ke publik akan memberikan manfaat kepada setiap pihak yang akan
menggunakannya, teori produksi ruang akan bermanfaat bagi arsitek dalam memecahkan isu sosial dengan
memahami ruang dalam kaitannya dengan sejarah dan konteks secara spesifik. Di sisi lain, teori ini akan
memperkuat kapitalis modern dalam mencari celah bagaimana caranya untuk dapat masuk dan memanfaatkan
ruang tersebut.

Metode Penelitian

Pembahasan mengenai pembentukan ruang Kampung Pelangi 200 menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Adapun pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Metode sampling yang
digunakan dalam penentuan narasumber yaitu non probability sampling-convenience (Khumar, R. 2011).
Wawancara dilakukan terhadap penghuni Kampung Pelangi 200 yang dijumpai ketika observasi dilakukan.
Selain itu digunakan juga data sekunder berupa berita dan literatur yang membahas mengenai Kampung
pelangi 200.

Pembahasan/Kajian Kritis

1. Gambaran Umum Studi Kasus


Kampung Pelangi 200 merupakan sebuah kampung padat penduduk dengan luas 2,09 Ha yang terletak di
sepanjang daerah hulu sungai Cikapundung. Secara administratif, Kampung Pelangi 200 terdiri dari 225 KK
yang terbagi kedalam 4 Rukun Tetangga (RT), yaitu RT 04, RT 03, RT 10, dan RT 11. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Fatimah dkk (2020), Mayoritas penduduk Kampung pelangi 200 tergolong ke dalam
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (Rp. 1.000.000 - Rp. 3.000.000 perbulan). Sedangkan
sebagian kecil penduduk Kampung pelangi 200 tergolong ke dalam masyarakat berpenghasilan tinggi (sekitar
Rp. 5.000.000 perbulan). Selain itu, ditemukan bahwasanya mayoritas laki-laki yang tinggal di kampung
pelangi 200 bekerja sebagai buruh pabrik atau karyawan swasta dan perempuan bekerja sebagai ibu rumah
tangga atau melakukan kegiatan berjualan di rumah.

Gambar 1. Peta Wilayah Kampung Pelangi 200


Sumber: Fatimah, et al., 2020
2. Pembentukan Awal Kampung Pelangi 200
Kampung Pelangi 200 terbentuk karena adanya masyarakat sekitar kampung ini mengalami penggusuran
karena pembangunan asrama ITB pada tahun 1994-1995. Warga yang mengalami penggusuran tersebut
diberikan tempat oleh ITB pada lokasi kampung Pelangi 200 saat ini. Oleh karena itu, sebagian besar warga
yang tinggal di Kampung Pelangi 200 merupakan warga yang mengalami penggusuran tersebut dan sebagian
kecil adalah warga yang sudah lebih dulu tinggal di kawasan tersebut (Fatimah, et al., 2020).

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, masyarakat yang terkena penggusuran akibat pembangunan
asrama ITB diberikan lahan pengganti yang saat ini menjadi Kampung Pelangi 200 oleh ITB. Besaran
pembagian tanah yang diberikan disesuaikan dengan status bangunan yang dimiliki sebelumnya. Adapun
mekanisme penggantian lahan antara lain:

1. Warga yang memiliki bangunan pribadi mendapatkan 1 kavling tanah yang telah disediakan oleh ITB
2. Warga yang tidak memiliki bangunan pribadi atau menyewa bangunan mendapatkan ½ kavling tanah
yang telah disediakan oleh ITB
3. Pembagian lokasi tanah dilakukan dengan cara diundi berdasarkan pembagian tanah yang telah
dilakukan oleh ITB

Pembagian besaran tanah dan penentuan sirkulasi atau jalan merupakan representasi ruang yang dilakukan
oleh ITB. Selain itu, pembagian lokasi dengan cara diundi merupakan praktik spasial yang dilakukan oleh
masyarakat. Berdasarkan kasus yang terjadi pada Kampung Pelangi 200 representasi ruang mendahului
praktik spasial.

Masyarakat Kampung Pelangi 200 membangun rumah tinggal dan sarana prasarana pendukung secara
swadaya oleh masyarakat. Kondisi rumah Kampung Pelangi 200 pada saat ini terdiri dari bangunan satu hingga
tiga lantai. Pada umumnya, pembangunan rumah dilakukan oleh pemilik secara bertahap untuk
mengakomodasi kebutuhan yang semakin bertambah dan kondisi ekonomi pemilik rumah yang semakin
membaik. Selain itu, masyarakat juga membangun sarana prasarana pendukung secara swadaya seperti TPQ,
Masjid, Balai warga, dan tempat parkir sebagai respon masyarakat terhadap kebutuhan akan ruang komunal,
pendidikan dan agama. Adapun proses pembangunan atau cara pembangunan rumah tinggal dan sarana
prasarana pendukung yang dilakukan secara swadaya tersebut merupakan bagian dari praktik spasial yang
dilakukan oleh masyarakat.

a b c
d e f

Gambar 2. (a) Kondisi rumah masyarakat, (b) Kondisi rumah masyarakat , c) Masjid ,
(d) Balai Warga, (e) Area Parkir, dan (f) TPQ

Sumber: dokumentasi pribadi, 2023

Dalam perkembangannya, area sirkulasi atau jalan mengalami penambahan fungsi ruang sebagai area
bersosialisasi. Hal ini dapat dilihat dari penambahan area komunal yang tersebar di beberapa titik di samping
area sirkulasi atau jalan. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan area sirkulasi sebagai tempat jual beli dan
balai warga sebagai tempat olahraga. Lebih lanjut, terdapat beberapa perubahan material jalan yang
menyerupai material lantai rumah di sampingnya. Perubahan material tersebut dapat diartikan sebuah simbol
yang merepresentasikan ruang tersebut sebagai bagian dari teras rumah. Modifikasi dan cara pemanfaatan
ruang dilakukan oleh masyarakat tersebut merupakan bagian dari ruang representasi dan merupakan salah
satu ekspresi masyarakat Kampung Pelangi 200 dalam mengembangkan kawasan yang ditinggalinya sebagai
ruang hidup.

c
a b d

Gambar 3. (a) Ruang Komunal, (b) Penambahan material, c) Kegiatan jual beli masyarakat, dan
(d) Kegiatan olahraga masyarakat

Sumber: dokumentasi pribadi, 2023

3. Pembentukan Kampung Pelangi Sebagai Objek Wisata


Kampung Pelangi awalnya hanyalah sebuah permukiman masyarakat di sempadan sungai Cikapundung yang
merupakan hasil relokasi dari penggusuran yang dilakukan oleh ITB. Masyarakat yang tinggal di kampung
tersebut rata-rata bekerja sebagai tukang bangunan, pekerjaan itulah yang membawa mereka pindah ke kota
sebagai kaum migran yang dibutuhkan oleh kapitalisme modern.

Masyarakat kampung (hasil relokasi) membangun rumahnya sendiri secara swadaya dan berdasarkan
keterampilan yang mereka miliki, lokasi yang diberikan oleh ITB jika dilihat saat ini dinilai tidak aman karena
lahan berada di tebing sungai dan bangunan berbatasan langsung dengan sungai tanpa ada jarak garis
sempadan. Selain tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan, ITB tidak melihat praktik spasial
yang akan terjadi kedepannya yaitu salah satunya akses sirkulasi di kampung tersebut kurang baik karena
kemiringan tanah yang curam dan sirkulasi yang sangat kecil.

Kekurangan-kekurangan yang telah dilakukan oleh pihak yang merelokasikan kampung ini, justru
menjadikannya sebuah kampung kota yang terlihat unik di mata beberapa orang. Pemerintah daerah yang
saat itu dipimpin oleh Ridwan Kamil sebagai walikota Bandung melihat kampung di pinggiran sungai
Cikapundung tersebut memiliki potensi sebagai tempat pariwisata kampung kota. Seakan tidak ingin
ketinggalan tren “kampung pelangi” yang muncul di berbagai kota di Indonesia saat itu, Ridwan Kamil sebagai
seorang walikota dan juga arsitek berusaha mengkonsepsikan kampung tersebut menjadi Kampung Pelangi.
Dengan cara tersebut pemerintah berusaha memperlihatkan hegemoninya dan memperluas citra serta
eksistensinya dengan merealisasikan kampung pelangi 200.

Gambar 4. Artikel tentang kampung pelangi di Indonesia

Sumber: Google search-dokumentasi pribadi, 2023

Pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta (produsen cat) sebagai sponsor sangat jelas memperlihatkan
bahwa kapitalis menjadikan ruang sebagai komoditas. Keberadaan ruang tersebut diproduksi sebagai sebuah
ruang abstrak oleh arsitek yang merencanakan ruang itu sebagai gambaran ideal terhadap penataan kawasan
perkotaan. Perubahan tampilan fisik kampung kumuh yang “dipercantik” dan pembentukan citra baru
kampung yang dikonsepkan dan dikembangkan sebagai kawasan wisata untuk menarik pengunjung.

a b

Gambar 5. (a) Gerbang utama memasuki kawasan Kampung Pelangi 200 (b) Jalan menuju
kawasan Kampung Pelangi 200

Sumber: dokumentasi pribadi, 2023

Akses jalan menuju Kampung Pelangi awalnya hanya ada satu yaitu melalui Jalan Cisitu, namun setelah
direncanakan menjadi tempat wisata maka pemerintah membangun akses jalan baru melalui Jalan Tamansari.
Jalan yang dibangun oleh pemerintah ini merupakan bagian dari representasi ruang di Kampung Pelangi 200.
Dengan hadirnya jalan baru dan didukung pula oleh pembangunan taman tematik yaitu Teras Cikapundung
menjadikan Kampung Pelangi 200 sebagai tujuan pariwisata masyarakat urban yang bosan dengan
kesehariannya dalam bekerja namun ternyata Kampung Pelangi 200 merupakan hasil hegemoni pemerintah
dan kapitalis industri semata.

Hadirnya wisatawan memunculkan peluang pekerjaan baru bagi masyarakat Kampung Pelangi 200, pekerjaan
tersebut bagian dari sektor informal yang rentan karena bersifat paruh waktu, menghasilkan upah yang
rendah, dan musiman. Menciptakan potensi ketergantungan akan bantuan swasta dan faktor eksternal lain.
Mewujudkan pariwisata kampung kota hanya upaya kosong dalam mengesampingkan permasalahan sosial
ekonomi yang lebih krusial.

4. Kondisi Kampung Pelangi 200 Saat Ini Sebagai Objek Wisata


Wisatawan yang mengunjungi kampung pelangi pada umumnya datang melalui akses jalan yang dibangun
oleh pemerintah. Dalam perkembangannya hingga saat ini, banyak masyarakat yang tinggal di sepanjang
jalan akses ini memanfaatkan kondisi yang ada untuk membuka warung/tempat makan di depan rumah
mereka. Selain itu, juga terdapat tempat parkir kendaraan yang disediakan oleh salah satu warga.
Penambahan fungsi bangunan sebagai warung/tempat makan menjadi salah satu bagian dari ruang
representasi yang diproduksi karena adanya Kampung Pelangi 200.
Gambar 6. Warung makan pada jalan menuju Kampung Pelangi 200
Sumber: dokumentasi pribadi, 2023

Pengembangan Kampung Pelangi 200 menjadi sebuah objek wisata merupakan inisiatif yang dilakukan oleh
pemerintah. Walaupun begitu, masyarakat menjadi pihak yang memiliki peran besar dalam pengembangan
kampung ini sebagai objek wisata. Beberapa masyarakat secara swadaya memperindah ruang yang ada.
Beberapa penambahan yang dilakukan antara lain penambahan kolam ikan, tempat pemancingan, dan taman
pada jalan yang ada di depan rumah mereka. Selain itu, ditemukan juga terdapat yang mengecat kembali
rumah mereka. Modifikasi ruang yang dilakukan masyarakat menjadi bagian dari ruang representasi sebagai
ekspresi masyarakat Kampung Pelangi 200 dalam mengembangkan kawasan yang mereka tinggali.

Gambar 7. Kolam ikan dan taman yang dibangun oleh masyarakat


Sumber: dokumentasi pribadi, 2023
Sebagai objek wisata, Kampung Pelangi 200 banyak didatangi oleh wisatawan. Hal ini menjadikan kampung
ini sebagai ruang publik. Hal ini tentunya bertentangan dengan kebutuhan penghuni akan privasi. Menanggapi
hal ini, beberapa masyarakat menambahkan pagar pada bagian rumahnya sebagai simbol batas antara ruang
publik dan ruang privat.
Gambar 8. Pagar sebagai pembatas ruang privat dan publik

Sumber: dokumentasi pribadi, 2023

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, data hasil observasi dapat dirangkum pada tabel dibawah ini:

Tahapan pembentukan Proses pembentukan ruang Momen Produksi


Kampung Pelangi 200 Ruang
Pembentukan awal Pembagian lahan untuk ditinggali dan sirkulasi oleh Representasi ruang
Kampung Pelangi 200 ITB
Pengundian pembagian kavling oleh masyarakat Praktik spasial

Pembangunan rumah tinggal secara swadaya dan


bertahap
Adanya ruang parkir warga di bagian timur kawasan
kampung pelangi
Pembuatan masjid secara swadaya sebagai respon
kebutuhan masyarakat akan tempat ibadah dan
komunal
Pembuatan TPQ sebagai respon masyarakat akan
kebutuhan pendidikan
Pembuatan ruang komunal sebagai balai
perkumpulan
Penambahan fungsi ruang di area sirkulasi sebagai Ruang Representasi
ruang sosial
Perubahan material jalan yang diartikan simbol yang
merepresentasikan ruang tersebut sebagai bagian
dari teras warga
Penggunaan area sirkulasi sebagai tempat kegiatan
jual beli kebutuhan masyarakat
Pemanfaatan balai warga sebagai tempat kegiatan
berolahraga
Pembentukan Kampung Pemerintah menkonsepsikan kampung hasil relokasi Representasi ruang
Pelangi 200 sebagai objek asrama ITB menjadi Kampung Pelangi
wisata Akses jalan baru menuju kawasan Kampung Pelangi
yang dibuat oleh pemerintah
Teras Cikapundung sebagai taman tematik yang
mendukung keberadaan Kampung Pelangi
Kondisi Wisata Kampung Penambahan fungsi yang ada di sekitar jalan menuju Ruang representasi
Pelangi 200 saat ini Kampung Pelangi 200 menjadi tempat makan dan
lahan parkir
Penambahan kolam dan taman oleh masyarakat
untuk mengembangkan kampung sebagai objek
wisata
Penambahan fungsi rumah warga sebagai
warung/tempat berjualan
Penambahan pagar pada area sirkulasi yang
diartikan sebagai simbol ruang privat masyarakat
Pengembangan ruang sebagai tempat pemancingan

Diskusi

Pembentukan Kampung Pelangi 200 merupakan suatu hal yang unik. Pembagian kavling yang dilakukan oleh
pihak ITB menjadi titik awal pembentukan Kampung Pelangi 200. Selanjutnya pembangunan kampung ini
dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Pembagian kavling yang dilakukan belum dapat
menjawab kebutuhan masyarakat akan ruang sosial, sehingga masyarakat secara swadaya membuat berbagai
perubahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keterlibatan yang rendah antara pemerintah dan ITB sebagai
pemilik lahan dengan masyarakat pada awal pembentukan Kampung Pelangi 200 menyebabkan kualitas ruang
yang ada menjadi kurang baik. Tidak adanya regulasi yang jelas terhadap pemanfaatan ruang, seperti garis
sempadan sungai juga berpotensi membahayakan penghuni.

Pengembangan Kampung Pelangi 200 sebagai destinasi wisata oleh pemerintah memberikan dampak positif
dan negatif bagi masyarakat yang tinggal. Dampak positif yang dirasakan adalah peningkatan ekonomi dan
peningkatan kualitas ruang. Peningkatan ekonomi terjadi karena dengan adanya wisatawan yang datang,
masyarakat dapat membuka warung dan melakukan kegiatan jual beli dengan wisatawan. Selain itu,
peningkatan kualitas ruang terjadi karena adanya intervensi pemerintah untuk melakukan penataan pada
Kampung Pelangi 200 sehingga tumbuh kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya. Dampak negatif
dari pengembangan Kampung Pelangi sebagai destinasi wisata adalah batasan antara ruang privat masyarakat
dengan ruang publik untuk wisatawan menjadi kurang jelas.
Sesuai dengan pemikiran Henri Lefebvre, tiga momen produksi ruang pada Kampung Pelangi 200 saling
berkaitan. Adanya representasi ruang yang dilakukan oleh ITB berupa pembagian kavling dan jalan sirkulasi
mengakibatkan ruang yang terbentuk hanya berupa ruang sebagai tempat tinggal dan sirkulasi. Berdasarkan
pembagian kavling tersebut, masyarakat melakukan praktik spasial berupa pembangunan rumah tinggal dan
sarana prasarana yang dibutuhkan secara swadaya menyesuaikan kemampuan ekonomi yang ada. Dalam
perkembangannya, jalan yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai sirkulasi dimanfaatkan juga sebagai
ruang representasi terhadap ruang sosial. Selain itu ruang representasi juga terjadi pada area komunal,
dimana area komunal dimanfaatkan sebagai tempat berolahraga.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, terdapat beberapa aspek yang dapat dijadikan pembelajaran atau
bahan renungan. Dalam proses perancangan sebuah ruang, perlu adanya kerja sama antara pihak-pihak
terkait agar terjadi pembentukan ruang yang dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Hal ini sesuai dengan
pemikiran Henri Lefebvre bahwa perancang dan pembuat kebijakan perlu memperhatikan bagaimana
masyarakat yang tinggal memanfaatkan ruang yang ada.

Teori “Hak atas Kota” yang disampaikan oleh Lefebvre yaitu kebebasan individu untuk mengakses sumber-
sumber daya yang dimiliki suatu kota. Kebijakan yang paling dominan dalam memahami urbanisasi, terutama
dalam perencanaan tata kelola ruang di perkotaan, selama ini didasari oleh logika kapitalis pasar dan negara
di mana produksi atas ruang khususnya di perkotaan ditujukan bagi kontestasi komodifikasi melalui
serangkaian modus “kehendak untuk memamerkan diri”. Dalam konteks untuk “memamerkan diri” itulah kota
dibangun dan acapakali harus mengabaikan kepentingan paling esensial dari para penghuni kota itu sendiri,
yakni menurut Lefebvre, hak-hak asasi manusia.

Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa pengorganisasian warga kota melalui suatu gerakan sosial untuk merebut
kembali kedaulatan mereka sebagai penghuni kota dan mengakhiri diskriminasi pemanfaatan ruang akibat
kepentingan-kepentingan kapitalistik yang mengabaikan keseimbangan ekologi, sosial, dan kultural.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan diskusi yang telah dilakukan, momen produksi ruang yang terjadi pada
Kampung Pelangi 200 dimulai dengan representasi ruang yang kemudian timbul praktik spasial dan ruang
representasi. Sedangkan proses pembentukan Kampung Pelangi 200 sebagai objek wisata dimulai dari praktik
spasial yang kemudian menimbulkan representasi ruang dan ruang representasi. Selain itu, seorang perancang
perlu memperhatikan cara pemanfaatan ruang oleh masyarakat dalam proses perancangan agar tercipta ruang
yang dapat mengakomodasi kebutuhan secara baik.

Makalah yang membahas mengenai pembentukan ruang pada Kampung Pelangi 200 masih jarang dilakukan.
Makalah ini mencoba untuk mempelajari pembentukan Kampung Pelangi 200 berdasarkan momen
pembentukan ruang yang dicetuskan oleh Henri Lefebvre. Kekurangan dari makalah ini adalah sumber data
yang didapatkan belum dapat melihat proses pembentukan Kampung Pelangi 200 secara utuh. Hal ini
dikarenakan proses pengambilan data yang dilakukan berupa observasi lapangan dan wawancara singkat
kepada masyarakat yang dijumpai. Oleh karena itu diperlukannya penelitian lebih lanjut dengan sumber data
yang lebih lengkap berupa data dari semua stakeholder yang terlibat.
Referensi

Fatimah, W. M., Sarli, P. W., Soewondo, P., & Zakiyya, N. M. (2020, November). Strategic thinking to improve
sanitation in Kampung Pelangi 200, Bandung City: in comparison with Kampung Jodipan-Ksatrian, Malang
City. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 592, No. 1, p. 012018). IOP
Publishing.
Hasbullah, R. A. (2021). TA: IDENTIFIKASI SENSE OF PLACE PADA PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK (STUDI
KASUS: KAMPUNG PELANGI 200, KELURAHAN DAGO, KECAMATAN COBLONG) (Doctoral dissertation,
Institut Teknologi Nasional Bandung).
Nursyahbani, R., & Pigawati, B. (2015). Kajian Karakteristik Kawasan Pemukiman Kumuh di Kampung Kota
(Studi Kasus: Kampung Gandekan Semarang). Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 4(2), 267-281.
Tunas, D., & Peresthu, A. (2010). The self-help housing in Indonesia: The only option for the poor?. Habitat
International, 34(3), 315-322.
Lefebrev, H. (1991). The Production of Space. Blackwell
Detik.com (2022) Asal-usul Kampung Pelangi 200, Pemukiman Padat di Bandung. Diakses pada 9 Mei 2023,
dari https://www.detik.com/jabar/wisata/d-6455481/asal-usul-kampung-pelangi-200-
pemukiman -padat-di-bandung

Kumar, R. (2011). Research Methodology a Step by Step Guide for Beginners (3rd ed.). Sage Publications.

Indo Progress., Arie, S. P., (2016) Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Henri Lefebvre. Diakses
pada 25 April 2023, dari https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-
menurut-henri-lefebvre/
Setiawan, A., (2017, Januari). Produksi Ruang Sosial Sebagai Konsep Pengembangan Ruang Perkotaan (Kajian
Atas Teori Ruang Henry Lefebvre). Haluan Sastra Budaya 33(1):11
Hertanius, F., (2019). Proses Inovasi Munculnya Ide Dan Kreativitas Dalam Terciptanya Kampung Pelangi
Wonosari Semarang. Universitas Kristen Satya Wacana.

Sudah baik, tapi kesimpulannya terlalu analitis. Coba buat sebuah argumen konklusif dengan menggunakan
teori lefevbre. Yang intinya mengandung tiga bahsan kritis berikut:

spatial practice - Buat sebuah argumentasi berdasarkan data data yang sudah dikumpulkan di atas, misalnya
bahwa pada prakteknya kampung pelangi kini adalah, misalnya: ... jalur utamanya menjadi tempat tracking dan
jalan jalan, rumah yang di warna warna itu sudah tak ada warnanya, ada beberapa angsa yang menarik,
dibuatnya signage penunjuk jalan, mungkin ada kos kosan mahasiswa? dsb... apa betul penghuninya tinggal
disitu semua?

representation of space -Berikan gambaran cita-cita yang diharapkan oleh perancangnya, dan ini ada beberapa
skema kan, anda bisa jelaskan representasi apa saja yang sudah dibuat: relokasi asrama hamasiswa, industri
kreatif ridwankamil, atau apa ada lagi? adakah proyek-proyek revitalisasi seperti KOTAKKU? dsb?

spaces of representation - di sini anda jelaskan negosiasi spatial apa saja yang dilakukan oleh para agen
agennya. Misalnya:
1. Para penghuni harus mau menerima masuknya orang luar untuk melihat lihat rumah mereka
2. mungkin ada penghuni yang tidak betah sehinga menjual rumahnya
3. Batau mungkin ada bisnis baru yang mengemuka
dst
dst dst

Silakan lengkapi saja kesimmpulannya

Anda mungkin juga menyukai