Anda di halaman 1dari 154

RINGKASAN

A. Latar Belakang

Indonesia kaya akan warisan budaya berupa benda (tangible cultural

heritage) mulai dari situs, bangunan dan monumen bersejarah buatan manusia

hingga pusaka saujana serta warisan budaya takbenda (intangible cultural

heritage) seperti tradisi lisan, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat, ritus,

dan perayaan- perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam

dan semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional. Konvensi Warisan

Budaya (World Heritage Convention) dan Arahan-arahan Operasional

Pelaksanaan Konvensi Warisan Dunia (Operational Guidelines for the

Implementation of the World Heritage Convention) merupakan dua referensi

utama untuk menyusun atau memperbaiki berkas nominasi (dossier). Arahan

Operasional tersebut direvisikan sesewaktu oleh Komite Warisan Dunia.

Pulau Penyengat merupakan zonasi pada kelurahan yang berada di

kota Tanjungpinang Kepulauan Riau Republik Indonesia yang dibangun

berdasarkan sejarah, budaya, dan adat Melayu. Pulau Penyengat yang

berseberangan langsung dengan negara Malaysia dan Singapura, kondisi

strategis ini mendukung potensi pariwisata untuk dikembangkan secara

profesional yang akan menimbulkan keuntungan baik dalam perkembangan

daerah serta devisa negara dalam hal pariwisata. Secara historis, Pulau

Penyengat memiliki hubungan yang khas, karena merupakan bagian masa

lalu yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Riau Lingga (Melayu) dengan

negara Malaysia. Himpunan dari data sejarah, Pulau Penyengat, Singapura,

ix
dan Johor Malaysia merupakan satu imperium di bawah Kerajaan Melayu

Riau Lingga1.

Pulau Penyengat terletak di Kelurahan Penyengat, Kecamatan

Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Secara

geografis wilayah Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0º40' LS dan

07º19' LU serta antara 103º3' BT sampai dengan 110º 00' BT.

Pulau Penyengat memiliki kekayaan tinggalan budaya berupa

bangunan, struktur, dan lanskap budaya yang unik. Pulau dengan aneka

bangunannya itu membentuk kompleks pemerintahan eksklusif yang dibatasi

oleh lautan. Berdasarkan karakteristiknya, tidak diragukan lagi bahwa Pulau

Penyengat termasuk salah satu wilayah pusat kebudayaan Melayu.

Kebudayaan Melayu merupakan “roh” kebudayaan Indonesia, yang

berkembang dan berpengaruh sejak lama.

Pulau Penyengat meupakan warisan budaya, warisan budaya terdiri

atas dua jenis, yaitu warisan budaya benda (tangible heritage) dan warisan

budaya takbenda (intangible heritage). Warisan budaya takbenda adalah

sistem yang mengatur segala kehidupan masyarakat dalam bentuk sistem,

yaitu sistem pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, kepercayaan, organisasi

sosial, dan ekonomi. Termasuk ke dalamnya adalah sikap bahasa, sastra,

tekstil tradisional, seni teater, musik dan tarian, sistem kepercayaan, adat-

istiadat (perkawinan dan pergaulan), kuliner, dan bagian budaya terkecil

lainnya. Sementara itu, warisan budaya benda adalah bukti fisik

1
Novendra, dkk., Tempat-Tempat Bersejarah di Kepulauan Riau, Bappeda Kepri, Tanjungpinang,
2000, hlm.37.

x
keberlangsungan sistem budaya tersebut. Bukti fisik itu berupa benda,

bangunan, struktur, situs dan lanskap. Sebenarnya sudah banyak para peneliti

atau penulis yang membahas masalah warisan budaya Melayu takbenda itu,

tetapi masih diperlukan pemetaan budaya yang konkret. benda konkret yang

dapat disentuh (tangible) berupa benda hasil buatan manusia untuk memenuhi

kebutuhan tertentu. Warisan budaya yang dapat disentuh mempunyai

sejumlah aspek intangible yang berkenaan dengan konsep mengenai benda itu

sendiri, perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, kebermaknaan

dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, isi pesan yang terkandung di

dalamnya, khususnya apabila terdapat tulisan pada benda itu, teknologi untuk

membuatnya, serta pola tingkah laku yang terkait dengan benda budaya itu 2.

Secara konseptual Darvill (1995, 4045) menyodorkan delapan

potensi eksternal yang dapat digali dan dikembangkan dari warisan budaya

kebendaan menjadi nilai-nilai yang berkenaan dengan (1) penelitian ilmiah

(scientific research) untuk semua disiplin ilmu; (2) seni kreatif (creative arts)

atau sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis, dan fotografer;

(3) pendidikan (education) dalam upaya menanamkan rasa cinta dan bangga

terhadap kebesaran bangsa dan tanah airnya; (4) rekreasi dan turisme

(recreation and tourism), objek wisata budaya dan sekaligus sebagai tempat

rekreasi yang positif; (5) representasi simbolis (symbolic representation),

yang dapat memberikan suatu gambaran secara simbolis tentang “pelajaran”

2
W.Djuwita Sudjana Ramelan, Dkk, Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif.
AMERTA, h.66. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-
74.

xi
bagi kehidupan manusia; (6) legitimasi tindakan (legitimation of action), yang

dapat digunakan untuk kepentingan politis; (7) solidaritas dan integritas sosial

(social solidarity and integrity), yang dapat mewujudkan bentuk solidaritas

dan integrasi sosial dalam masyarakat; (8) keuntungan moneter dan ekonomi

(monetary and economic gain), yang dapat mendatangkan keuntungan

ekonomi, baik lokal maupun nasional. Sementara itu, Lipe (1984, 2-10)

memberikan gambaran bahwa warisan budaya benda memiliki nilai ekonomi

yang digali dari konteks nilai potensi ekonomi; nilai estetika yang digali dari

konteks nilai standar estetika; nilai asosiatif atau simbolik yang digali dari

konteks nilai pengetahuan tradisional; dan nilai informational yang digali dari

konteks nilai penelitian formal.

Aktivitas perekonomian masyarakat Pulau Penyengat sangat

beragam. Perbedaan jenis mata pencaharian ini dipengaruhi oleh keadaan

alam yang ada dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan jenis

mata pencaharian penduduk yang utama adalah nelayan, PNS/ABRI, pegawai

swasta, pertanian, wiraswasta, perdagangan, buruh, dan sektor informal.

Secara umum tingkat perekonomian masyarakat Pulau Penyengat termasuk

baik, dan mayoritas penduduk usia produktif memiliki pekerjaan sesuai

dengan keahlian dan keinginannya.

Di Pulau Penyengat terdapat banyak bangunan bersejarah, terutama

peninggalan abad ke-19 yang menunjukkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

agama pada masa tersebut yang sudah tidak utuh lagi dan beberapa hanya

tinggal puing-puingnya saja. Namun masih ada bangunan bersejarah yang

xii
masih utuh dan difungsikan sampai sekarang seperti Istana Marhum Kantor

dan Masjid Agung Sultan Riau. Selain itu masih terdapat istana, makam dan

benteng yang keberadaannya kurang terawat dengan baik. Karena letaknya

yang cukup strategis bagi pertahanan Kerajaan Riau yang berpusat di Hulu

Sungai (Riau Lama), Pulau Penyengat dijadikan pusat kendali dan pertahanan

utama. Pulau ini berkali-kali menjadi medan pertempuran, bahkan ketika

terjadi perang antara Riau dengan Belanda (1782-1784), yang waktu itu

dipimpin oleh Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV (Raja Haji Syahid

Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang). Raja tersebut mendirikan benteng

pertahanan Kerajaan Riau di Pulau Penyengat, dimana benteng-benteng yang

dibuat menggunakan sistem pertahanan gaya Portugis yang telah

dikembangkan. Benteng-benteng yang tersisa yang dapat kita lihat sisanya

saat ini adalah benteng yang berada di Bukit Penggawa, Bukit Tengah, dan

Bukit Kursi. Benteng-benteng tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam

dalam berbagai ukuran dan parit-parit sebagai tempat pertahanan dan

persembunyian.

Potensi benda cagar budaya di Pulau Penyengat menjadi salah satu

tujuan wisata sejarah dan budaya. Obyek wisata budaya merupakan

sumberdaya budaya manusia yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan

daya tarik wisata, sehingga orang akan tertarik untuk melakukan perjalanan

wisata ke Pulau Penyengat. Seni dan budaya serta tata cara hidup yang unik

dan khas perlu dipertahankan dan dikembangkan, selain itu menjadi daya

tarik tersendiri juga sebagai kebanggaan dan jati diri bangsa.

xiii
Permasalahan yang terjadi pada saat ini adalah kondisi lingkungan

sekitar dan fisik benda cagar budaya tersebut sangat memprihatinkan. Hal ini

terjadi karena pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, sehingga

kebutuhan perumahan juga meningkat, karena itu terjadi konflik pemanfaatan

lahan. Akibat yang dapat dilihat adalah kawasan benda cagar budaya (situs)

menjadi semakin sempit, bahkan ada kecenderungan masyarakat mendirikan

bangunan di atas areal benda cagar budaya yang hanya tinggal puing-

puingnya saja. Di samping semakin padatnya pemukiman penduduk,

pemeliharaan benda cagar budaya di Pulau Penyengat sangat tergantung

kepada kepedulian Pemerintah Pusat dan Daerah.

Situs-situs bersejarah di kawasan Pulau Penyengat mempunyai nilai

historis terhadap keadaan masyarakat sekarang, adapun situs-situs

peninggalan sejarah di Pulau Penyengat sesuai keputusan Walikota Tanjung

Pinang Nomor 229 Tahun 2017 Tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis

Pulau Penyengat Sebagai Cagar Budaya sebagai berikut3:

1) Gedung Hakim ;

2) Gedung Mesiu;

3) Gedung Tabib Kerajaan;

4) Masjid Raya Sultan Riau Penyengat;

5) Rumah Raja Daud;

6) Perigi Putri;

7) Istana Bahjah dan Taman Pantai;

3
Surat Keputusan Walikota Tanjung Pinang Nomor 229 Tahun 2017; Tentang Penetapan Satuan
Ruang Geografis Pulau Penyengat Sebagai Cagar Budaya.

xiv
8) Benteng Bukit Kursi;

9) Benteng Bukuit Penggawa;

10) Benteng Tanjung Nibung;

11) Kubu Pertahanan;

12) Kolam Kecik / Raja Musa;

13) Kompleks Makam Aceh (Makam Puteri Puteh);

14) Kompleks Makam Baqa;

15) Parit Kuno;

16) Perigi Sulu;

17) Perigi Tua 1;

18) Perigi Tua 2;

19) Perigi Tua 3;

20) Perigi Tua 4;

21) Perigi Tua 5;

22) Perigi Tua 6;

23) Perigi Tua 7;

24) Perigi Tua 8

25) Perigi Tua 9

26) Perigi Tua 10 (Sisi Barat Daya Masjid Penyengat);

27) Tapak Dermaga Lama;

28) Tapak Dermaga Sultan Sisi Selatan

29) Tapak Istana Kuning;

30) Tapak Istana Laut;

xv
31) Tapak Istana Raja Marewah;

32) Tapak Percetakan Kerajaan dan Rusydiah Club;

33) Tapak Rumah Engku Embi;

34) Tapak Dermaga Lama;

35) Perigi Kursi;

36) Istana Kedaton;

37) Istana Ali Marhum Kantor;

38) Istana Engku Bilik;

39) Kompleks Makam Embung Fatimah;

40) Kompleks Makam Raja Abdurrahman;

41) Kompleks Makam Raja Haji Fisabilillah (YDMR IV);

42) Kompleks Makam Raja Jafar (YDMR VI);

43) Makam Datuk Ibrahim;

44) Makam Datuk Kaya Mepar;

45) Makam Habib Syeikh Bin Habib Alwi Asegaf;

46) Kompleks Makam Engku Puteri Raja Hamidah;

47) Pulau Penyengat;

Pelestarian situs Cagar Budaya diamanatkan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, yang selanjutnya disebut

UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Peraturan tersebut merupakan

turunan dari Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUDNRI

xvi
1945. Pasal 32 ayat (1) UUDNRI 1945 menjelaskan bahwa negara

mempunyai kewenangan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia

ditengah peradapan dunia, untuk itu keberadaan situs budaya wajib dilindungi

oleh negara Indonesia yang berdasarkan Peraturan PerUndang-Undangan4.

Pasal 33 ayat (3) menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung dalam wilayah negara Indonesia merupakan kekuasaan negara

Indonesia dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia, sehingga

dalam pelestarian dan eksploitasi situs budaya diprioritaskan untuk

kemakmuran rakyat5.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa

benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, situs

Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu

dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahun, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses

penetapan.6 Pulau Penyengat telah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya

yang merupakan situs kerajaan yang masih memiliki artefak bangunan

arsitektural dan makam yang diperiksa oleh tim ahli Cagar Budaya yang

sudah ditentukan oleh negara.

4
Lihat Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5
Lihat Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

xvii
Pulau Penyengat ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya karena telah

memenuhi dua unsur yang dirumuskan dalam Pasal 9 UU No.11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya, yaitu: mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan

Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya, dengan adanya artefak,

masjid, dan makam-makam peninggalan Kerajaan Riau Langga; dan

menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu, yaitu pada masa

Kerajaan Riau Lingga.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya, situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air

yang mengandung benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, dan/atau

struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian

pada masa lalu7. Pulau Penyengat mempunyai banyak situs peninggalan

sejarah Kerajaan Riau Lingga (Melayu), sehingga Pulau Penyengat dapat

dikategorikan sebagai situs Cagar Budaya yang mempunyai sejarah

peradaban pada masa kerajaan Riau Lingga yang merupakan moyang dari

pulau tersebut.

Melihat potensi wisata budaya sejarah peradaban yang ada di Pulau

Penyengat, Pemerintah sebagai penguasa hendaknya memberikan pelestarian

dan perlindungan terhadap situs warisan sejarah tersebut. Sejalan dengan

pelestarian cagar budaya sebagai jati diri bangsa, berdasarkan Pasal 3 huruf e

UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, salah satu tujuan pelestarian

Cagar Budaya adalah mempromosikan warisan budaya bangsa kepada

7
Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

xviii
masyarakat internasional. Tujuan tersebut akan terealisasi apabila Cagar

Budaya yang dimiliki Indonesia dikenalkan pada dunia internasional.

Promosi Cagar Budaya dalam taraf internasional dapat diwujudkan

dengan mendaftarkan Cagar Budaya tersebut ke UNESCO (United Nation

Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai Wolrd Heritage.

Pendaftaran tersebut bertujuan untuk mengenalkan Cagar Budaya yang ada di

Indonesia beserta sebagai wujud kerjasama pelestarian Cagar Budaya yang

dimiliki. Pendaftaran tersebut sesuai dengan Pasal 96 ayat (2) huruf d UU

No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang berbunyi, “mengusulkan

Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat

internasional”. Pendaftaran Cagar Budaya sebagai World Heritage tidak lepas

dari asas kemanfaatan dan berkelanjutan, dengan didaftarkan sebagai World

Heritage, UNESCO juga mempunyai peranan dalam pelestarian Cagar

Budaya tersebut, sehingga pendaftaran tersebut bermanfaat untuk

perlindungan Cagar Budaya. Pendaftaran juga bertujuan untuk

keberlangsungan kelestarian Cagar Budaya, sehingga asas berkelanjutan juga

terpenuhi.

Pulau Penyengat Kepulauan Riau berada diurutan 11 daftar tunggu

untuk diajukan ke “ United Nations Education, Scientific, and Culture

Organization (UNESCO)“ menjadi warisan budaya Dunia. Pada tahun 2015

Pulau Penyengat menjadi daftar tunggu 11 dari 20 nominasi sementara

UNESCO. Padahal UNESCO hanya menerima satu dalam satu tahun untuk

satu negara. Butuh 11 tahun lagi menjadi masa tunggu, ini perlu turut campur

xix
pemerintah daerah dalam pembentukan panitia, karena pulau penyengat sudah

terdaftar sejak 1995. Indonesia sudah mendaftarkan sebanyak 5000 sehingga

diperkirakan juga 5000 tahun lagi untuk diakui.

Memperhatikan latar belakang yang telah dipaparkan oleh peneliti,

maka peneliti menganggap sangat perlu adanya penetapan Pulau Penyengat di

kota Tanjungpinang sebagai World Heritage sebagai implementasi UU

No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Permasalahan tersebut

memunculkan gagasan peneliti untuk membuat suatu penelitian disertasi

dengan judul “Rekonstruksi Hukum Cagar Budaya Sebagai

World Heritage Berbasis Nilai Keadilan (Penetapan Pulau

Penyengat di Kota Tanjungpinang)”.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang belum Ditetapkan

sebagai World Heritage?

2. Apa saja kelemahan penetapan Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang

sebagai World Heritage?

3. Bagaimana rekonstruksi Hukum terhadap penetapan Pulau Penyengat di

Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage berbasis nilai keadilan?

C. Tujuan Penelitian

xx
1. Untuk menganalisis Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang belum

Ditetapkan sebagai World Heritage.

2. Untuk menganalisis kelemahan dari penetapan Pulau Penyengat di Kota

Tanjungpinang sebagai World Heritage.

3. Untuk merekonstruksi hukum terhadap penetapan Pulau Penyengat di

Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage berbasis nilai keadilan.

D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengharapkan adanya

manfaat yang dapat dipergunakan dalam ilmu pengetahuan mengenai ilmu

hukum terkhusus dalam hal permasalahan penetapan kawasan Cagar Budaya

yang masih mempunyai beberapa kelemahan dan membutuhkan rekonstruksi

terhadap sistem maupun mekanismenya. Dari penelitian ini diharapkan

mampu memberikan gambaran serta rujukan dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan mengenai penetapan Pulau Penyengat di Kota

Tanjungpinang sebagai World Heritage dalam implementasi UU No.11

Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Sehingga dapat memberikan rujukan baik bagi kalangan akademisi,

praktisi hukum, pemerintah, maupun masyarakat dalam melakukan telaah

terhadap penetapan kawasan atau situs menjadi World Heritage yang

berdasarkan UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Adapun manfaat

yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

xxi
1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah ilmu pengetahuan hukum mengenai penetapan

Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage,

serta dapat menjadi fasilitas pendorong minat untuk lebih mendalami

permasalahan yang berkaitan dengan penetapan suatu wilayah atau

situs menjadi World.

b. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

c. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan penambahan

pemikiran untuk dijadikan arah penelitian yang lebih lanjut pada masa

yang akan datang.

d. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis,

selanjutnya juga sebagai pedoman penelitian yang lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa

Memberikan gambaran mengenai sistem maupunn mekanisme

penetapan Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang sebagai World

Heritage. Peneliti berharap dapat memotivasi mahasiswa untuk lebih

mendalami ilmu hukum dan melakukan penelitian yang bermanfaat

untuk ilmu hukum di negara Indonesia.

b. Bagi Pengajar

Penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran mengenai

penetapan Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang sebagai World

xxii
Heritage, terutama dalam hal konstruksi hukum, sistem, mekanisme,

permasalahan, dan rekonstruksi idealnya. Pendidikan terkait hukum

mengenai Cagar Budaya dalam hukum lingkungan juga membutuhkan

perhatian karena Cagar Budaya merupakan kekayaan alam/budaya

yang dimiliki negara Indonesia, sehingga dapat menjadi penghasilan

negara Indonesia. Pembelajaran ilmu hukum lingkungan terkait Cagar

Budaya diperlukan pendekatan yang lebih kompleks agar dapat

menghasilkan lulusan-lulusan hukum yang berkualitas dan mencintai

tanah air dengan mempertahankan kekayaan alam/budayanya.

E. Kerangka Teori

Dalam Penelitian ini peneliti akan melakukan konstruksi hukum

yang ideal, dengan beberapa teori-teori yang akan digunakan sebagai pijakan

untuk penelitian ini sebagai berikut.

1. Teori Negara Hukum Sebagai Grand Theory

Teori Negara Hukum

Istilah Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah ”rechtsstaat”.8

Istilah lain yang digunakan dalam alam hukum Indonesia adalah the rule of law,

yang juga digunakan untuk maksud “Negara hukum”. Notohamidjojo

8
Philipus M.Hadjon,1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang Prinsip-
prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu. Surabaya , hlm.30.

xxiii
menggunakan kata-kata “…maka timbul njuga istilah Negara hukum atau

rechtstaat”9. Djokosoetono mengatakan bahwa “negara hukum yang demokratis

sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita hilangkan democratische

rechtsstaat, yang penting dan primair adalah rechtsstaat10”.

Negara hukum itu tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses dan

perjuangan yang panjang, dalam konteks ini Jaenal Aripin mengemukakan, bahwa

konsep negara hukum memiliki akar historis dalam perjuangan menegakkan

demokrasi, karena pengertian negara hukum kerap dijadikan suatu istilah, yaitu

konsep negara hukum yang demokratis11.

Pemikiran tentang Negara dan hukum, seperti dikemukakan oleh Syaiful

Bakhri dimulai sejak abad kelima sebelum Masehi. Pandangan baru itu,

dipaparkan dengan indahnya oleh Agustinus, dengan ungkapan bahwa peradaban

Yunani yang telah runtuh dilukiskan sebagai surgawi, untuk memuliakan diri.

Pada abad itu setiap penggagas hukum modern menginsyafi, bahwa pandangan

negara yang timbul dalam Negara adalah suatu pendapat umum, dengan

kebebasan pribadi, dengan adanya ikatan kesusilaan yang erat dalam lingkungan

masyarakat.12

9
O. Notohamidjojo,1970. Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hlm.27.
10
Padmo Wahyono,1984. Guru Pinandita, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 67
11
Jaenal Aripin,2008. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 88-89
12
Syaiful Bakhri,2010. Ilmu Negara Dalam Konteks Negara Hukum Modern, Total Media,
Jakarta, hlm. 132-134

xxiv
Sementara itu, Muhammad Yamin Menggunakan kata Negara hukum

sama dengan rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat

berikut ini:

“polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang

pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara Republik Indonesia ialah

negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang

tertulis berlaku, bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga

senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.”(kursif-

penulis).”13

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dalam literature hukum Indonesia,

selain istilah rechtsstaat untuk menunjukkan makna Negara hukum, juga dikenal

istilah the rule of law. Namun istilah the rule of law yang paling banyak

digunakan hingga saat ini.

Menurut pendapat Hadjon,14 kedua terminologi yakni rechtsstaat dan the

rule of law tersebut ditopang oleh latar belakang sistem hukum yang berbeda.

Istilah Rechtsstaat merupakan buah pemikiran untuk menentang absolutisme,

yang sifatnhya revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang

disebut civil law. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner,

yang bertumpu atas sistem hukum common law. Walaupun demikian perbedaan

13
Muhammad Yamin,1982. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonseia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 72.
14
Philipus M.Hadjon. Op. Cit., hlm. 72

xxv
keduanya sekarang tidak dipermasalahkan lagi, karena mengarah pada sasaran

yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Meskipun terdapat perbedaan latar belakang paham antara rechtsstaat atau

etat de droit dan the rule of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran

istilah “negara hukum” atau dalam istilah Penjelasan UUD 1945 disebut dengan

“negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”, tidak terlepas dari pengaruh kedua

paham tersebut. Keberadaan the rule of law adalah mencegah penyalahgunaan

kekuasaan diskresi. Pemerintah juga dilarang menggunakan privilege yang tidak

perlu atau bebas dari aturan hukum biasa. Paham negara hukum (rechtsstaat atau

the rule of law), yang mengandung asas legalitas, asas pemisahan (pembagian)

kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, kesemuanya

bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan

bertindak sewenang-wenang, tirani, atau penyalahgunaan kekuasaan.

Pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,

dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat‟. Sedangkan

dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas

kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl,

konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu mencakup

empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintah berdasarkan undng-undang.

xxvi
4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

1. Supremacy of Law.

2. Equality before the law.

3. Due Process of Law.

Keempat prinsip “rechtsstaat‟ yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “Rule of

Law‟ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara

Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission

of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip

peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary)

yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara

demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut

“The International Commission of Jurists” itu adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.

3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara

hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern 15. Negara

hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,

yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua,

15
Utrecht,1962. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hlm. 9.

xxvii
yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian

keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya “Law in a

Changing Society‟ membedakan antara “rule of law‟ dalam arti formil yaitu

dalam arti, “organized public power‟, dan, “rule of law‟ dalam arti materiel yaitu,

the rule of just law‟.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi

negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif,

terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi

oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran

pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti

peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang

dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin

keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah “the rule of law” oleh

Friedman juga dikembangikan istilah “the rule of just law‟ untuk memastikan

bahwa dalam pengertian kita tentang “the rule of law‟ tercakup pengertian

keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan

perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap

“the rule of law‟, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup

dalam istilah “the rule of law‟ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang

Negara hukum di zaman sekarang.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, terdapat dua-belas prinsip pokok

Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas

prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri

xxviii
tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The

Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

Adapun prinsip-prinsip dimaksud adalah sebagai berikut 16:

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law); Adanya pengakuan normatif dan

empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan

dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law); Adanya persamaan

kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara

normative dan dilaksanakan secara empirik.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law); Dalam setiap Negara Hukum,

dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of

law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis.

4. Pembatasan Kekuasaan; Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-

organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara

vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.

5. Organ-Organ Eksekutif Independen; Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di

zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan

pemerintahan yang bersifat “independent‟, seperti bank sentral, organisasi

tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-

lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum,

16
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper. Disampaikan dalam
Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004 dalam
Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614

xxix
lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan

atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam

kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga

tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk

menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi

lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin penting

untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh

pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak; Adanya peradilan yang bebas dan tidak

memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak

memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan

tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena

kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).

7. Peradilan Tata Usaha Negara; Meskipun peradilan tata usaha negara juga

menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya

secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan

tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap

warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan

dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh

pejabat administrasi negara.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); Di samping adanya pengadilan

tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi

xxx
tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan

gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia; Adanya perlindungan konstitusional terhadap

hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui

proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut

dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu

Negara Hukum yang demokratis.

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat); Dianut dan dipraktekkannya

prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan

keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat);

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial; Adanya transparansi dan kontrol sosial yang

terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga

kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi

dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara

langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

Dicey sebagaimana dikutip oleh Jaenal Aripin mengemukakan, bahwa ada

tiga ciri yang terpenting dari prinsip rule of law, yaitu:

xxxi
a. Supremasi hukum, dari regular law untuk menentang pengaruh arbitrary

power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionery

authority yang luas dari pemerintah ;

b. Persamaan di hadapan hukum, (equality before the law) dari semua golongan

kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini

berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat

maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama;

c. Konstitusi adalah hasil dari ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi

bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang

dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum

privat melalui tindakan peradilan.17

Ciri khusus yang melekat dalam negara hukum menjunjung tinggi hak

asasi manusia, Baharuddin Lopa mengutip dari Jan Materson dari Komisi PBB

yang menegaskan, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada

setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia 18.

Ciri negara hukum diungkapkan antara lain oleh Ahmad Sukardja dalam

tulisannya yang mengatakan, bahwa dalam sebuah Negara hukum, ada ciri khusus

yang melekat pada negara hukum tersebut, yaitu menjunjung tinggi posisi hak

asasi manusia, kesetaraan dan kesamaan derajat antara satu dengan yang lainnya

17
Jaenal Aripin, Op.Cit, hlm. 88, lihat juga HLM. Irianto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak
Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan mahkamah Konstitusi,
PT. Alumni, Bandung, 2008, mengungkapkan dengan pemakaian angka (1) ganti huruf a. dan
tambahan dalam kurung setelah supermasi hukum (supremacy of law), hlm. 4
18
Triwulan Tuti,2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,
Kencana, Jakarta, hlm. 21

xxxii
di samping berpegang teguh kepada aturan-aturan, norma-norma yang telah

ditetapkan dan diberlakukan bagi warga negaranya tanpa ada perkecualian19.

Salah satu lembaga peradilan tersebut adalah Badan Peradilan Tata Usaha

Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dengan fungsi

yang dijalankan peradilan, yaitu untuk menjamin tertib hukum, penegakan hukuk,

dan pencapaian tujauan hukum, ketertiban dan keadilan sosial bagi seluruh warga

Negara.

2. Teori Sistem Hukum Sebagai Middle Theory

Civil Law adalah sistem hukum yang saat ini dianut oleh Negara-

negara Eropa Kontinental atas dasar resepsi corpus iuris civilis. Sistem

hukum civil law merupakan proses romanisasi hukum Romawi dalam rangka

mengisi kekosongan-kekosongan hukum dalam perundang-undangan dan

kebiasaan-kebiasaan hukum pribumi di Eropa Barat20. Romanisasi hukum

Romawi pada umumnya berlangsung dalam tempo yang lamban. Perembesan

hukum Romawi tidak berlangsung dengan kekuatan yang sama, dengan kata

lain derajat Romanisasi bervariasi dari Negara ke Negara, dimana Romanisasi

yang lebih mendasar berlangsung di Italia, Jerman, dan Belanda, sedang

Perancis tidak terjadi resepsi secara resmi karena hukum Romawi diterima

19
Ahmad Sukardja,2012. Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NKRI 1945, Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Sinar Grafika,
Jakarta,hlm. 15
20
Ibid, hlm. 336.

xxxiii
hanya sebagai ratio scripta (akal tertulis)21, namun sebagian besar Code Civil

tahun 1804 sesungguhnya dipengaruhi secara langsung oleh hukum Romawi.

Berbeda dengan Inggris hampir sama sekali tidak dipengaruhi oleh

Romanisasi karena hukum pribumi yakni common law telah berkembang

sejak Negara tersebut ditaklukan oleh Willem sang Penakluk tahun 106622.

Meskipun proses Romanisasi tidak merata, namun pada akhir abad

pertengahan dan memasuki zaman-zaman modern unsur-unsur dan

pemakaian terminologi hukum bersama atas hukum Romawi telah ditafsirkan

pada saat sekarang ini sebagai tatanan hukum benua Eropa (continental / civil

law)23.

Karena proses Romanisasi tidak berlangsung secara merata di

Negara-negara Eropa Kontinental, maka sangat wajar bila hukum di benua

Eropa Kontinental tidak terselenggara suatu unifikasi hukum, kendatipun

ilmu pengetahuan hukum di semua Negara Eropa Kontinental

mempergunakan pengertian-pengertian yang hampir sama, namun hukum

positif dari Negara yang satu dengan Negara yang lain menunjukkan

perbedaan-perbedaan yang mencolok sebagai akibat sejarah lahirnya sendiri

dan evolusi masing-masing24.

Sistem hukum common law adalah sistem hukum yang berkembang

di Negara Persemakmuran Inggris (Amerika Utara, Kanada, Amerika

21
Ibid, hlm. 301.
22
Ibid, hlm. 351.
23
Ibid, hlm. 304.
24
Ibid, hlm. 305.

xxxiv
Serikat). Pada awalnya yakni abad I sampai dengan abad V, Inggris

merupakan bagian dari Negara Romawi, namun proses Romanisasi di dalam

hukum dan institusi-institusi boleh dibilang tidak meninggalkan bekas-

bekasnya dalam periode-periode berikutnya 25.

Setelah jatuhnya Negara Roma Suci Barat, di Inggris pun sejak abad

VI, telah terbentuk sejumlah kerajaan-kerajaan Germania, sebagai akibat

penyerangan-penyerangan kaum-kaum Angel-Sekson dan Denmark, sehingga

pencatatan-pencatatan hukum dilakukan. Namun suatu perbedaan yang besar

dengan Negara Eropa Kontinental bahwa pencatatan hukum yang dilakukan

di Inggris tidak dengan bahasa latin, melainkan dengan bahasa rakyat

setempat26.

Sistem hukum di Indonesia harus mengacu atau berlandaskan kepada cita

hukum (rechtsidee) Pancasila. Dalam perspektif teori keadilan bermartabat,

sejalan dengan pendapat Gustav Radbruch, namun dalam hal tujuan hukum, cita

hukum (rechtsidee) itu tidak lain adalah keadilan dan harus sejalan dengan konsep

negara hukum, atau apa yang dikenal dalam sistem civil law dengan rechtsstaat

dan di dalam sistem common law dikenal dengan rule of law27.

Selain itu para pemikir positivis hukum seperti H.L.A Hart, John Austin,

bahkan Jeremy Bentham yang seharusnya layak menyandang bapak ilmu hukum

25
Van Caenegem menamakan periode Romawi tersebut “halaman kosong” di dalam sejarah
Inggris.
26
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika
Aditama, hlm. 350.
27
Tommy Leonard, 2013, Op. Cit., h. 43.

xxxv
Inggris karena dialah yang dengan gigih memperjuangkan untuk merombak

hukum di Inggris yang kacau menurutnya dengan melakukan kodifikasi28 adalah

pemikir positive hukum yang berkebangsaan Inggris. Tokoh-tokoh pencetus

aliran positivisme hukum tersebut yang mempengaruhi dan membentuk sistem

hukum civil law pada abad modern di Eropa Kontinental. Namun gagasan mereka

tidak diterapkan dalam sistem hukum Inggris sebagaimana perjuangan Jeremy

Bentham untuk melakukan kodifikasi di Inggris mengalami kegagalan. Oleh

karenanya, Inggris selain mengakui hukum kebiasaan sebagai sumber hukum

dalam sistem hukumnya, juga pula mengakui hukum tertulis seperti Magna

Charta, Bill of Rights, dan Acts of Union, walaupun pada dasarnya Inggris tidak

memiliki undang-undang yang terkodifikasi.

Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Lawrence

M. Friedman menyatakan, sistem hukum meliputi: Struktur hukum (legal

structure), terkait bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem

atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya kepolisian,

kejaksaan, pengadilan. Substansi Hukum (Legal Substance), mengenai hasil

aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya putusan hakim yang

berdasarkan Undang-undang. Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik

atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem

28
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 269.

xxxvi
hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum

memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. 29

Struktural mencakup wadah atau bentuk dari sistem hukum yang

mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-

lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Substansi mencakup isi

norma-norma hukum serta perumusannya maupun arah penegakannya yang

berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Kultur pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai baik atau buruk suatu perilaku

atau tindakan. Nilai antara baik dan buruk merupakan dua hal yang memerlukan

keserasian dalam kehidupan bermasyarakat.

Otje Salman mengatakan perlu ada suatu mekanisme pengintegrasian

hukum, bahwa pembangunan hukum harus mencakup tiga aspek di atas, yang

secara ilmiah berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan

pembuatan aturan (Legislation Planing). Proses pembuatannya (law making

procces), sampai kepada penegakan hukum (law inforcement) yang dibangun

melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.30

Terhadap implementasi penegakan hukum, Soerjono Soekanto

mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-

faktor tersebut adalah sebagai berikut:

29
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali. PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm.153.
30
Ibid, hlm.154.

xxxvii
a. Faktor hukumnya sendiri

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, hak cipta 31 dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup32.

Faktor-faktor tersebut mempunyai keterkaitan, hal tersebut dikarenakan

faktor-faktor yang merupakan esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolok

ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Berdasarkan faktor-faktor tersebut,

Gunnar Myrdal menyatakan sebagai Soft Development dimana hukum-hukum

tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala

semacam itu akan timbul apabila terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi

hambatan faktor-faktor tersebut, dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak

31
Anis Masdurohatun, 2012. Problematika Perlindungan Hak Cipta Di Indonesiayustisia Vol.1
No.1 Januari – April. Pandangan Islam terhadap Hak Cipta Pemikir Islam Imam al- Qaraafi adalah
tokoh Islam pertama yang membahas masalah hak cipta. Dalam kitabnya yang berjudul al-
Ijtihadat, Imam al-Qaraafi berpendapat bahwa hasil karya cipta (hak cipta) tidak boleh diperjual
belikan karena hak tersebut tidak bisa dipisahkan dalam sumber aslinya. Namun demikian
pendapatnya ini dibantah oleh Fathi al-Daraini yang berpendapat bahwa hak cipta merupakan
sesuatu yang dapat diperjual belikan, karena adanya pemisahan dari pemiliknya. Dalam hak cipta
ia mengatakan harus ada standar orisinalitas yang membuktikan keaslian ciptaan tersebut. Karena
hak cipta tersebut hak milik pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan
pemilik hak cipta), baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan bisnis.
32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.8.

xxxviii
hukum, para pencari keadilan (Jastitabeken) maupun golongan-golongan lain di

dalam masyarakat33.

Parson memiliki gagasan bahwa sistem hukum dapat berfungsi secara

efektif, jika menyelesaikan beberapa masalah terlebih dahulu. Masalah-masalah

tersebut adalah:

1) Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturan-

aturan).

2) Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan

kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).

3) Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan

siapa yang menerapkannya).

4) Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa

menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang berhak diatur oleh

perangkat norma itu34.

Mengenai sistem hukum, erat kaitannya dengan tiga teori yaitu : teori

kepastian hukum; teori keadilan; dan teori kemanfaatan. Keterkaitan ketiga teori

tersebut karena pada hakekatnya suatu hukum harus menciptakan suatu kepastian

hukum sebagai dasar bertindak. Hukum diciptakan untuk mewujudkan keadilan

bagi kehidupan bermasyarakat dan tidak berat sebelah. Hukum juga diciptakan

tidak semata-mata untuk sekedar tulisan dalam selembar kertas, melainkan harus

33
Ibid., hlm.127.
34
Ibid, hlm.15.

xxxix
memiliki manfaat yang berguna untuk kehidupan umat manusia. Berikut dibawah

ini penjelasan ketiga teori tersebut:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan

tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam

paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kaum

positivistik menganggap bahwa kepastian hukum merupakan jaminan

dari penguasa.

Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi

diperundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh Negara. Kepastian

hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum

dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi. Namun demikian, pada

paradigma positivistik, bahwa sistem hukum tidak diadakan untuk

memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan hanya sekedar

melindungi kemerdekaan individu.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara

normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara

pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia

menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang

xl
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi

norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk

kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan

konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-

keadaan yang sifatnya subjektif.

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban

masyarakat35. Sedangkan Gustav Radbruch menyatakan teori kepastian

hukum menyatakan adalah sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau

tujuan.36

Ketertiban dalam masyarakat akan terwujud, apabila diusahakan

adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat

teratur, hal tersebut merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi

hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat

lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak.

Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan

35
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2002,
hlm.130.
36
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, Raja Garfindo
Persada, Jakarta, 2011, hlm.123.

xli
olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan

kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal dalam

masyarakat tempat dia hidup37.

Mengenai kepastian Hukum Islam telah merumuskan dalam Al-

Qur’an surat Al-Israa’ ayat 15 dan Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 95.

‫ض ُّل َعلَ ۡيهَ ۚا َو ََل ت َِز ُر‬ َ ‫ٱهتَ َد ٰى فَإِنَّ َما يَ ۡهتَ ِدي لِن َۡف ِس ِۖۦه َو َمن‬
ِ َ‫ض َّل فَإِنَّ َما ي‬ ۡ ‫َّم ِن‬

‫ث َرس ا‬
٥١ ‫ُوَل‬ َ ‫ة ِو ۡز َر أُ ۡخ َر ٰٰۗى َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذ ِب‬ٞ ‫از َر‬
َ ‫ين َحتَّ ٰى ن َۡب َع‬ ِ ‫َو‬

Artinya :

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah

(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk

(keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa

yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi

(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang

berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan

Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus

seorang rasul (Q.S Al-Israa’ ayat 15)

ْ ُ‫وا ََل ت َۡقتُل‬


‫ُۚم َو َمن قَتَلَ ۥهُ ِمن ُكم ُّمتَ َع ِّم ادا‬ٞ ‫وا ٱلص َّۡي َد َوأَنتُمۡ ُحر‬ َ ‫ٰيََٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ ُ‫ين َءا َمن‬

‫ ِّم ۡث ُل َما قَتَ َل ِم َن ٱلنَّ َع ِم يَ ۡح ُك ُم بِِۦه َذ َوا َع ۡد ٖل ِّمن ُكمۡ هَ ۡد َۢيَا ٰبَلِ َغ ۡٱل َك ۡعبَ ِة أَ ۡو‬ٞ‫فَ َج َز َٰٓاء‬

37
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm.3.

xlii
ٰ
َّ ‫ق َوبَا َل أَمۡ ِر ٰۗ ِهۦ َعفَا‬
‫ٱَّللُ َع َّما‬ َ ‫صيَ ااما لِّيَ ُذو‬ َ ِ‫ين أَ ۡو َع ۡد ُل ٰ َذل‬
ِ ‫ك‬ َ ٰ ‫ة طَ َعا ُم َم‬ٞ ‫َكفَّ َر‬
َ ‫س ِك‬

٥١ ‫يز ُذو ٱنتِقَ ٍام‬ َّ ‫ٱَّللُ ِم ۡن ۚهُ َو‬


ٞ ‫ٱَّللُ َع ِز‬ َ ۚ َ‫َسل‬
َّ ‫ف َو َم ۡن َعا َد فَيَنتَقِ ُم‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.

Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan

sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang

ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut

putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-

yad yang dibawa sampai ke Ka´bah atau (dendanya)

membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang

miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang

dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari

perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu.

Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya

Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi

mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. (Q.S al-Maidah

ayat 95)

b. Teori Keadilan

Menurut Plato (427 SM-347 SM), keadilan akan dapat terwujud

apabila negara dipimpin oleh para filsuf (aristocrat), karena apabila

xliii
negara dipimpin oleh pemimpin yang cerdik, pandai dan bijaksana,

maka akan lahir suatu keadilan yang sesungguhnya. Plato menganggap

negara yang dipimpin oleh filsuf, meskipun tanpa hukum akan

menciptakan kebahagiaan bagi masyarakat dengan terwujudnya

keadilan. Berlaku sebaliknya jika negara tidak dipimpin oleh para filsuf,

maka keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya hukum.

Menurut Plato hukum dibutuhkan dalam keadaan negara dipimpin oleh

filsuf, untuk menghadirkan keadilan dalam kondisi ketidakadilan38.

Pandangan lain muncul dari murid Plato, yaitu Aristoteles dalam

bukunya nichomachean ethics. Aristoteles berpandangan bahwa

keadilan sebagai pemberian hak persamaanrataan, dan menyatakan hak

persamaan sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak dipandang

manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama, oleh karena itu

terdapat persamaan di hadapan hukum bagai seluruh warga negara.

Kesamaan proporsional memberikan setiap orang apa yang

menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah

dilakukan. Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua

macam keadilan, keadilan distributive dan keadilan kommulatif. Kedua

38
Marwan, Effendy, Teori Hukum, Materi Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2014, hlm.22.

xliv
pengertian tersebut merupakan varian dari asas persamaan, yang

umumnya dipandang sebagai inti dari keadilan39.

Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada

tiap orang sesuai porsi menurut prestasinya. Keadilan distributive

memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak

menuntut supaya tiap-tiap orang mendapatkan bagian yang sama

banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Sedangkan

keadilan kommulatif memberikan sama banyak kepada setiap orang

tanpa membeda-bedakan prestasinya, dalam hal ini berkaitan dengan

peranan tukar menukar barang dan jasa. Keadilan komulatif

memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

mengingat jasa-jasa perseorangan40.

Di belahan bumi Amerika terdapat John Rawls seorang filsuf

pada abad ke-20 dalam karyanya A theory of justice, Political

Liberalism dan The law of people, yang memberikan pengaruh

pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.

John Rawls yang yang mempunyai perspektif “liberal-

egalitarian of social justice “, berpendapat bahwa keadilan adalah

kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social

institutions). Kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

39
. B.Arief Sidharta, terjemahan Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.
40
. Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm.12.

xlv
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang

telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah pencari

keadilan.41

Aliran positivistik mempunyai padangan lain mengenai

keadilan, tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen. Hans Kelsen dalam

bukunya yang berjudul general theory of law and state, berpandangan

bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila

dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya 42.

Hans Kelsen juga mengakui bahwa keadilan mutlak berasal dari

alam, yakni lahir dari hakekat suatu benda atau hakekat manusia, dari

penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut

diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum

alam menganggap bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan

manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan

sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran

manusia atau kehendak Tuhan. Hans Kelsen yang menganut aliran

positivisme, juga mengakui kebenaran dari hukum alam. Sehingga

41
.Marwan Effendi, Op Cit., hlm.26.
42
Ibid., hlm.7.

xlvi
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara

hukum positif dan hukum alam.43

Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan

karakteristik dari hukum alam serupa dengan dualisme metafisika

tentang dunia realitas dan dunia model Plato. Inti dari filsafat plato ini

adalah doktrinya tentang dunia ide, yang mengandung karakteristik

mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang

pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap melalui indera

yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.

Hans Kelsen mengemukakan dua konsep keadilan yaitu, tentang

keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita

irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat

bewujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya

menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik

kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatanan yang

memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan

yang lain atau dengan berusaha mecapai suatu kompromi menuju suatu

perdamaian bagi semua kepentingan. Kemudian konsep keadilan dan

legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu

tatanan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan”

bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil“, jika ia

43
Ibid., hlm.14.

xlvii
benar-benar diterapkan. Sementara itu suatu peraturan umum adalah

“tidak adil“ jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada

kasus yang lain yang serupa44. Konsep keadilan dan legalitas inilah

yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang

memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai

payung hukum (umbrella act) bagi peraturan-peraturan hukum nasional

lainya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki

daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam

peraturan hukum tersebut.

c. Teori Kemanfaatan

Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar

"manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau

guna. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan

hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan

bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan

atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat 45.

Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan

kemanfaatan atau kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban

44
Ibid., hlm.16.
45
Artidjo Alkostar, “Fenomena-fenomena Paradigmatik Dunia Pengadilan Di Indonesia
(Telaah Kritis Terhadap Putusan Sengketa Konsumen)”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26
No. 11 (Mei 2004), FH UII, Yogyakarta, 2004, hlm.130-131.

xlviii
dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat karena hukum

merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai

cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. 46

Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa masyarakat

mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.

Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan

hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah

akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri47.

Sedangkan menurut Jeremy Betham tujuan hukum adalah

memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya

kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang

mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan

kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. 48 Menurutnya

hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari

46
Teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat
untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan
petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum. Lihat Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum Cet. Ke-3, Alumni, Bandung, 1991, hlm.13.
47
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.161.
48
Darji Darmodihardjo dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum; Edisi lengkap (Dari
Klasik sampai Postmoderenisme), Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011, hlm.159.

xlix
kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The

Greatest Happines for the greatest number”49.

Jeremy Bentham berpendapat, inti filsafat adalah alam telah

menempatkan manusia di bawah kekuasaan, kesenangan dan

kesusahan. Kesenangan dan kesusahan menyebabkan kita mempunyai

gagasan-gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup

kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk membebaskan diri dari

kekuasaan, tidak mengetahui apa yang ia katakan. Tujuannya hanya

untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan, perasaan-

perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi

pokok studi para moralis dan pembuat undang-undang. Prinsip

kegunaan menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal

tersebut50.

John Stuar Mill sepakat dengan pendapat Jeremy Bentham, yang

menyatakan bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk

mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Keadilan harus bersumber

pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang

diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang

mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup

49
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm.44.
50
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad
Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm.112.

l
semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat

manusia51. Suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian

kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila

menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan,

standar keadilan hendaknya didasarkan pada kegunaannya, akan tetapi

bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada

kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk

mempertahankan diri dan perasaan simpati.

Menurut John Stuar Mill, keadilan bersumber pada naluri

manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik

oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari

kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,

penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan

lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan

diri kita sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua

persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat

manusia52.

Sedikit perbedaan antara konsep keadilan John Stuar Mill

dengan Jeremy Bentham, yaitu: Pertama, bahwa kesenangan dan

kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Kualitas kebahagiaan harus

51
H.R. Otje Salman, S, Op Cit., hlm. 44.
52
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
hlm.277.

li
dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi

mutunya dan ada yang rendah; Kedua, bahwa kebahagian bagi semua

orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang

saja yang bertindak sebagai pelaku utama, kebahagiaan satu orang tidak

boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain53.

John Stuar Mill juga menghubungkan keadilan dengan

kegunaan umum yang mempunyai pendekatan yang berbeda dengan

Jeremy Bentham. Tekanannya berubah yakni atas kepentingan individu

ke tekanan atas kepentingan umum dan kenyataannya ialah bahwa

kewajiban lebih baik daripada hak, atau mencari sendiri kepentingan

atau kesenangan yang melandasi konsep hukumnya. Pertentangan

antara kepentingan sendiri dan kepentingan bersama ditiadakan dalam

teorinya dengan mengadu domba naluri intelektual dengan naluri non-

intelektual dalam sifat manusia. Kepedulian pada kepentingan umum

menunjuk pada naluri intelektual, sedangkan pengagungan kepentingan

sendiri menunjuk pada naluri non-intelektual sehingga menghasilkan

kesimpulan yang sama dan menakjubkan dalam meniadakan dualisme

antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dan perasaan

keadilannya54.

53
Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta,
2011, hlm.183-184.
54
W. Friedman, Op Cit, hlm. 121

lii
Paparan mengenai teori sistem hukum dan beberapa teori yang

ada di dalamnya seperti teori kepastian hukum, teori keadilan, dan teori

kemanfaatan akan digunakan peneliti sebagai bahan untuk menganalisis

ketiga permasalahan dalam disertasi ini, yaitu: pertama, Mengapa Pulau

Penyengat di Kota Tanjungpinang Tidak Ditetapkan sebagai World

Heritage; kedua, Apa saja kelemahan penetapan Pulau Penyengat di

Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage; ketiga,bagaimana

Rekonstruksi Hukum terhadap penetapan Pulau Penyengat di Kota

Tanjungpinang sebagai World Heritage. Beberapa teori tersebut sangat

sinkron untuk dijadikan bahan uji ketiga permasalahan yang diangkat

oleh peneliti dalam disertasi ini.

3. Teori Good Governance Sebagai Applied Theory

Governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk

mengganti istilah government, yang menunjuk penggunaan otoritas politik,

ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan55.

Menurut Kooiman, governance merupakan serangkaian proses

interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai

bidangyang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi

pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Governance merupakan

mekanisme-mekanisme, proses-proses, dan institusi-institusi melalui warga

55
Setyawan, Darma, Manajemen Pemerintahan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004,
hlm.223.

liii
negara mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memediasi

perbedaan-perbedaan mereka, serta menggunakan hak dan kewajiban legal

mereka. Governance merupakan proses lembaga-lembaga pelayanan,

mengelola sumber daya publik dan menjamin realita hak asasi manusia. Good

governance memiliki hakekat yang sesuai yaitu bebas dari penyalahgunaan

wewenang dan korupsi serta dengan pengakuan hak berlandaskan pada

pemerintahan hukum56.

Istilah good governance berasal dari bahasa Eropa, Latin, yaitu

gubernare yang diserap ke bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer

(menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah).

Good governance adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi

kepada pembangunan sektor publik oleh pemerintah yang baik. 57 menurut

Bank Dunia, good governance adalah suatu konsep dalam penyelenggaraan

menejemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan

demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi

yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,

menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework

bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Bank Dunia juga menyamakan

56
Ibid., hlm.224.
57
Mardiasmo, Otonomi Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah, Andy Offset, Jakarta,
1998, hlm.18.

liv
good governance sebagai hubungan sinergis dan konstruktif diantara negara,

sektor, dan masyarakat58.

Penerapan good governance kepada pemerintah adalah upaya warga

negara memastikan bahwa mandat, wewenang, hak dan kewajiban telah

dipenuhi dengan baik. Tujuan dan harapan dari good governance adalah

terciptanya pemerintahan yang proporsional, yang dikelola oleh orang-orang

yang mempunyai kualifikasi profesional, yaitu yang orang-orang yang

mempunyai ilmu pengetahuan, yang mampu mentransfer ilmu dan

pengetahuan menjadi skill serta dalam pelaksanaan berdasarkan etika dan

moralitas yang tinggi.

Teori good governance, akan digunakan oleh peneliti sebagai applied

theory. Teori good governance juga digunakan dalam menganalisis dan

menjawab ketiga permasalahan dalam disertasi ini.

4. Teori Keadilan Bermartabat Sebagai Applied Theory

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai

sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori,

keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika

Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,

menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi

sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut

58
Effendi, Sofian, Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam
Pembangunan, UGM Press, Yogyakarta, 1996, hlm.47.

lv
kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: “Kita tidak hidup di

dunia yang adil”. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus

dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia

yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori

keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari

keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri

tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakan segala sesuatunya pada

tempatnya.

Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf

terkagum-kagum sejak Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena

ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat.

Dalam Republik, Plato meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan

bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau

keprihatinan), dan keadilan. Penambahan kata sosial adalah untuk

membedakan keadilan sosial dengan konsep keadilan dalam hukum.

Keadilan sosial juga merupakan salah satu butir dalam Pancasila. 45

butir pengamalan Pancasila seperti yang tertuang dalam P4 (Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada Tap MPR No. I/MPR/2003.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah sebagai berikut 59:

a) mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan

suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan;

59
Ibid.

lvi
b) mengembangkan sikap adil terhadap sesama;

c) menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;

d) menghormati hak orang lain;

e) suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri;

f) tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat

pemerasan terhadap orang lain;

g) tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan

dan gaya hidup mewah;

h) tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau

merugikan kepentingan umum;

i) suka bekerja keras;

j) suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi

kemajuan dan kesejahteraan bersama;

k) suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang

merata dan berkeadilan sosial.

Keadilan bermartabat adalah suatu teori hukum atau apa yang dikenal

dalam dalam literatur berbahasa Inggris dengan konsep legal theory,

jurisprudence atau philosophy of law dan pengetahuan mengenai hukum

substantif dari suatu sistem hukum. Ruang lingkup teori keadilan bermartabat

tidak hanya pengungkapan dimensi yang abstrak dari kaidah dan asas-asas

hukum yang berlaku. Lebih jauh daripada itu, teori keadilan bermartabat

mengungkap pula semua kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku di dalam

sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum dimaksud sistem hukum positif

lvii
Indonesia atau sistem hukum berdasarkan Pancasila. Itu sebabnya, Keadilan

Bermartabat sebagai suatu teori hukum berdasarkan Pancasila60.

Teori keadilan bermartabat tidak hanya menaruh perhatian kepada

lapisan fondasi hukum yang tampak di permukaan dari suatu sistem hukum.

Teori keadilan bermartabat juga berusaha menelusuri dan mengungkap lapisan

fondasi hukum yang berada dibawah permukaan fondasi hukum dari sistem

hukum yang tampak itu. Teori keadilan bermartabat, sesuai dengan ciri

filosofis lama di bawah permukaan fondasi sistem hukum yang baru yang

tampak saat ini, serta mendobrak dari bawah landasan kolonial. Fondasi yang

sudah lama ada di dalam jiwa bangsa oleh teori keadilan bermartabat

dipandang sebagai bottom-line dari suatu sistem hukum dimana seluruh isi

bangunan sistem itu diletakkan dan berfungsi mengejar tujuannya yaitu

keadilan.

Keadilan itu mempunyai nama lain, yaitu keadilan sosial sebagaimana

yang disebutkan oleh Ahmad Fadlil Sumadi, bahwa61 keadilan sosial

merupakan tampilan lain dari keadilan. Selanjutnya Ahmad Fadlil Sumadi

menjelaskan, bahwa62 substansi keadilan harus diformulasikan pada tiga

tingkat, yaitu Pertama; pada tingkat outcome. Kedua; pada tingkat prosedur.

Ketiga; pada tingkat sistem. Pada tingkat outcome, keadilan berhubungan

dengan pembagian (distributive) dan pertukaran (comutative), sehingga

60
Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media,
Bandung, h. 43
61
Ahmad Fadlil Sumadi, 2012, Hukum Dan Keadilan Sosial, Materi Peruliahan
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Tanpa Penerbit, Jakarta, h. 5.
62
Ibid., h. 5-6.

lviii
keadilan dalam hal ini berhubungan dengan suatu objek yang dalam

praktiknya, antara lain, dapat berupa benda atau jasa.

Teori Keadilan Bermartabat berangkat dari postulat bahwa Pancasila

sebagai Volksgeist, atau norma funfamental negara (staatsfundamentalnorm)

dan cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu dalam pembentukan,

penerapan dan pelaksanaan hukum di Indonesia 63. Oleh karena itu,

pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia harus didasarkan pada nilai-

nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Salah satu nilai tersebut adalah

keadilan sebagaimana terdapat dalam sila kedua, yakni Kemanusiaan Yang

Adil dan Beradab. Dalam sila kedua ini terkandung beberapa nilai

kemanusiaan, antara lain:

(1) Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dengan segala hak

dan wajib asasinya;

(2) Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, diri sendiri, alam

sekitar dan terhadap Tuhan;

(3) Manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya yang memiliki daya

cipta, rasa, karsa dan keyakinan64.

Dengan demikian, pengamalan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

mencakup peningkatan martabat hak dan kewajiban asasi warga negara,

63
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, 2012, Filsafat, Teori dan Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 384.
64
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional
di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, dalam Majalah Hukum Nasional, Nomor 1, 1995,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 97.

lix
penghapusan penjajahan, kesengsaraan dan ketidakadilan dari muka bumi65.

Dalam rangka memenuhi sifat adil, Bung Hatta, sebagaimana dikutip Yudi

Latif, mengingatkan “yang harus disempurnakan dalam Pancasila adalah

kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa

bersaudara”. Oleh karena itu pula, sila kemanusiaan yang adil dan beradab

langsung terletak di bawah sila pertama. Konstruksi ini menegaskan bahwa

keadilan yang dikehendaki oleh Pancasila merupakan keadilan yang

bermartabat, yakni keadilan yang merujuk pada nilai-nilai ilahi dan

menempatkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan

kewajiban dasar yang harus dijunjung tinggi.

Teori keadilan bermartabat, merupakan suatu hasil pergumulan

pemikiran filsafat yang dilakukan secara terus menerus. Penelusuran terhadap

sumber dimana teori ini mulai digagas ditemukan bahwa teori keadilan

bermatabat adalah teori hukum yang dibangun atas dasar pemahaman bahwa

menyelami pikiran tentang teori dan paradigma hukum yang dikemukakan oleh

para pakarnya haruslah dirunut dan diteliti dari latar belakang politik dan

kondisi sosial masyarakat tempat ahli pikir tersebut hidup, sehingga bisa

ditentukan paradigma yang diajukan oleh ahli pikir tersebut masih relevan atau

tidak dalam memahami hukum pada saat ini dengan kondisi dan struktur sosial

yang sangat berbeda dengan latar belakang sosial dimana paradigma tersebut

diajukan oleh ahlinya 66.

65
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Op.Cit, h. 375.
66
Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum, 2012, Op. Cit., h. 138.

lx
Memperhatikan postulat dasar pengajuan teori sebagaimana

dikemukakan oleh penggagas teori keadilan bermartabat di atas, dapat

diketahui bahwa teori keadilan berartabat adalah suatu alat atau instrumen

filsafati yang dibuat dengan sengaja, hasil dari proses berpikir untuk

menemukan kebenaran yang sangat panjang dalam rangka melakukan analisis

dan justifikasi terhadap gejala hukum. Dalam konteks penelitian ini, teori

keadilan bermartabat merupakan hasil pemikiran secara terus menerus dalam

menjelaskan prinsip pertimbangan hakim terhadap sengketa para pihak dalam

sistem hukum Indonesia dengan berbasis nilai keadilan.

Kutipan postulat di atas mengisyaratkan bahwa teori keadilan

bermartabat adalah reaksi keilmuan untuk memberikan justifikasi terhadap

ketentuan hukum, atau melakukan pemahaman terhadap ketentuan kaidah dan

asas hukum yang berlaku secara kontekstual. Kebutuhan untuk membuat dan

menggunakan teori yang sesuai dengan latar belakang sosial dari penggagas itu

sangat penting.

Sebab, menurut Teguh Prasetyo, sistem hukum nasional Indonesia yang

dibentuk dan diberlakukan seyogyanya adalah sistem hukum Indonesia sendiri,

yaitu suatu sistem yang dibangun dari proses penemuan, seperti yang dilakukan

melalui penelitian ini, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari

berbagai sistem yang telah ada. Kaitan dengan itu, didalam konteks teori

keadilan bermartabat, hukum yang identik dengan keadilan (justice) sebagai

suatu sistem, dalam hal ini sistem hukum Indonesia setidak-tidaknya harus

bersumber dari bumi Indonesia sendiri. Fraseologi bumi Indonesia yang

lxi
dipergunakan dalam teori keadilan bermartabat dimaksud sejatinya merupakan

analogi dari pikiran orang Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, postulat lainnya

yang ada di dalam teori keadilan bermartabat adalah bahwa sistem hukum

Indonesia, termasuk semua komponen yang ada di dalamnya, bahkan

eksistemsi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana

penipuan di tingkat penyidikan berbasis nilai kemanfaatan67 haruslah

mencerminkan jiwa bangsa (Volkgeist) Indonesia.

Postulat berikutnya yang diajukan teori keadilan bermartabat adalah

bahwa sebagai obyek pembangunan dan pembaruan, hukum, yang identik

dengan keadilan68 itu dipandang sebagai suatu sistem. Dalam hal ini hukum

nasional harus dianggap sebagai sistem69, karena:

a. Terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/ variabel yang

saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau

beberapa asas.

b. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum

nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, disamping sejumlah kaedah dan asas hukum

67
Cetak tebal oleh penulis dalam rangka kontekstualisasi grandtheory yang dirujuk dan
digunakan untuk analisis dalam penelitian ini.
68
Pendirian bahwa hukum itu hakikatnya adalah keadilan itu sendiri, selain yang dikenal
dlam perspektif teori keadilan bermartabat, dapat juga dibandingkan dengan karya-karya filsafat
seperti Raymond Wacks, 2006, Philosophy of Law a Very Short Introduction, Oxford University
Press, Oxford, h., 58.
69
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum, 2013, Op. Cit., h. 82.

lxii
yang lain, yang berlaku universal maupun lokal, atau di dalam dan bagi

disiplin hukum yang tertentu70.

Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema”, yang mempunyai

pengertian: (a) suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyakbagian

(whole compounded of severalpart)71; (b) hubungan yang berlangsung di

antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized, functioning

relationship among unites or components)72.

Secara garis besar, sistem dalam teori keadilan bermartabat merupakan

satu dari postulat penting teori dimaksud. Sistem yang diacu dalam teori ini

pada menunjuk kepada wujudnya yang abstrak dan koseptual dan oleh sebab

itu disebut dengan deskriptif. Deskripsi mengenai sistem itu susunan dasarnya

sudah dikemukakan di atas, dimulai dari Pancasila, dan selanjutnya diikuti

dengan norma fundamental berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 beserta Ketetapan-Ketetapan MPR yang mengandemen

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli.

Dalam perspektif Islam prinsip tentang keadilan dapat dijelaskan seperti

berikut; Keadilan berasal dari kata ‘adil”, yang apabila dilihat dari asal katanya

adalah kata serapan dari Bahasa Arab, yaitu al-‘adl, yang berarti “tengah” atau

“pertengahan”. Kata al-‘adl sinonim dengan kata inshaf, yang dapat berarti

70
Ibid., merujuk, Wicipto Setiadi, 2012, Arti Penting Lembaga-Lembaga Hukum di
Indonesia dalam Merespos Perubahan Sosial, dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum
Indonesia, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, h. 66.
71
Ibid.
72
Ibid.

lxiii
“sadar”, yakni sadar dalam mengambil keputusan/sikap yang tepat73. Kata al-

‘adl lawan kata dari zalim (al-zhulm) dan kejahatan (al-jur)74. Kata al-‘adl juga

berarti ungkapan tentang perkara (perbuatan) yang pertengahan antara dua sisi

yang melampaui batas (al-ifrath).

Terminologi yang dibuat oleh para ahli Hukum Islam, al-‘adl dalam

pengertian subyek (orang) yang berbuat adil, berarti orang yang menjauhi

perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil, namun

dominan perbuatan benarnya, serta menjauhi perbuatan yang rendah75. Dalam

versi lain kata al-‘adl berarti al-adalah, yakni berdiri tegak dan konsisten,

yakni condong kepada kebenaran.

Pengertian syariat adil adalah ungkapan tentang konsistensi pada jalan

kebenaran dengan cara menjauhi apa-apa yang dilarang dalam agamanya.76

Jadi secara literal, arti adil dalam bahasa Arab klasik adalah suatu kombinasi

dari moral dan nilai-nilai sosial yang menunjukkan arti berbuat baik (fairness),

keseimbangan (balance), kesederhanaan (temperance), dan kejujuran

(straightforwardness).77

73
Nurcholish Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta, h. 512
74
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut, hlm. 491
75
Ahmad Ali MD, 2012, Keadilan Hukum Bagi Orang Miskin, Jurnal Mimbar Hukum
dan Keadilan, Edisi No. 75, h. 132
76
Al-Jurjan, 2003, al-Ta’rifat, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, hlm. 150
77
Majid Khadduri, 1984, The Islamic Conception of Justice, The Johns Hopkins
University, USA, h. 8.

lxiv
Keadilan dalam Islam sama dengan suatu keyakinan suci, suatu

kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan

dengan sungguh-sungguh dan jujur. Karena itu, keadilan adalah kualitas

berlaku adil secara moral dan rahmat dalam memberikan kepada setiap

manusia atas haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al Qur’an, yakni kata “amanat”

sebagai jamak dari “amanah”, terdiri dari segala bentuk amanah yang harus

dilaksanakan oleh seseorang, dimana yang paling utama adalah keadilan, dan

dalam otoritas manusia tidak boleh menghakimi menurut tingkah laku mereka

namun harus secara ketat sesuai dengan firman Allah78.

Keadilan dalam Islam berasal dari jantung penerapan syariat, dan bukan

teori yang otonom diluar hukum-hukum syariat.79 Keadilan universal Islam

tidaklah temporer dan mengalami perubahan., yang mengalami perubahan dan

dinamika sesuai situasi dan kondisi (konteks) ruang dan waktu adalah hukum-

hukum yang bersifat cabang (furu’), karena hukum-hukum semacam ini

tidaklah dijadikan tujuan, sebab yang dijadikan tujuan dari hukum-hukum

tersebut adalah pencapaian realisasi keadilan syar’i, dan tidak ada nilai

penalaran ijtihad jika bukan penalaran yang sahih secara syara’, yaitu

pendapat/putusan hukum yang murni, terhindar dari hawa nafsu (kepentingan)

individual dan syahwat yang menafikan tujuan syara’ yang universal dalam

mewujudkan perdamaian dan kebaikan80.

78
Muhammad Muslehudin, 1985, Philoshophy of Islamic Law and The Orientalist; a
Comparative Study of Islamic Legal System, Markazi Makatab Islami, Delhi, h. 101-102
79
Wahbah al Zuhaili, 2009, al-Fiqh Islam wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Juz IX, Beirut, h.
411
80
Ibid., h. 412
lxv
Menegakkan keadilan merupakan cita-cita tertinggi dalam hukum,

namun menegakkan keadilan bukan terletak pada teks-teks hukum semata,

melainkan pada manusia yang menerima amanah sebagai penegak hukum,

yaitu polisi, jaksa penuntut umum, advokat, dan hakim. Oleh karenanya,

diantara tugas hakim adalah memutus pihak-pihak yang berbuat dzalim dari

tindakan mengambil hak orang lain secara tidak sah, dan melampaui batas,

serta menolong pihak-pihak yang teraniaya dan menyampaikan hak kepada

setiap yang berhak81. Itulah keadilan hukum yang harus ditegakkan, namun

keadilan hukum itu menjadi mahal karena tidak ada yang mampu membelinya,

namun keadilan akan menjadi murah tatkala para penegak hukum tidak lagi

berlaku jujur dan amanah dalam menjalankan profesinya 82.

F. Kerangka Konseptual Disertasi

Dalam bahasa Belanda rekonstruksi disebut re-constructie yang

berarti pembinaan/pembangunan baru, pengulangan suatu kejadian. Arti

rekonstruksi menurut bahasa Inggris yaitu reconstruction kata “re“ yang

artinya “perihal“ atau “ulang“ dan kata “construction” yang artinya

“pembuatan” atau “bangunan” atau “tafsiran” atau “susunan” atau “bentuk”

atau “bangunan”.

Rekonstruksi yang diartikan disini adalah “membangun kembali”

atau “membentuk kembali” atau “menyusun kembali” atau “menyusun

81
Wahbah al Zuhaili, Op.Cit., h. 402
82
Al Jurjawi, 2007, Hikmat al Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz II, Beiru,t: Dar al Fikr, h.
102-110

lxvi
kembali”. Rekonstruksi yang diharapkan adalah pembangunan kembali

terkait penetapan Pulau Penyengat sebagai World Heritage.

Cagar budaya yang diprogramkan dalam legislasi daerah kota

Tanjungpinang melalui Perda No. 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2014-2034, Pemerintah Daerah

telah menetapkan Pulau Penyengat dalam berbagai status, yaitu penataan:

a. Pulau Penyengat sebagai pusat budaya;

b. Pulau Penyengat sebagai pusat belanja budaya;

c. Pulau Penyengat sebagai pelabuhan pengumpan;

d. Pulau Penyengat dalam jaringan sumber daya air;

e. Pulau Penyengat sebagai kawasan lindung budaya;

f. Pulau Penyengat sebagai kawasan pariwisata;

g. Pulau Penyengat sebagai kawasan strategis Kota Tanjungpinang.

Kota Tanjungpinang yang memiliki Kelurahan Pulau Penyengat

Kecamatan Tanjungpinang Kota, terletak disebelah Barat Kota

Tanjungpinang dengan jarak sekitar 1,5 km, dan dapat ditempuh dengan

menggunakan pompong (perahu motor) selama 15 menit. Adapun batas

wilayah dengan administrasi negara tetangga adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kelurahan Senggarang;

Sebelah Selatan : Desa Pangkil;

lxvii
Sebelah Timur : Kelurahan Tanjungpinang Kota dan Tanjungpinang Barat;

Sebelah Barat : Kelurahan Senggarang;

Pulau Penyengat memiliki luas wilayah daratan, pantai dan laut

sebesar 240 Ha. Wilayah darat hanya seluas 3,5 km² yang terbagi menjadi

enam kampung yaitu Kampung Jambat, Kampung Balik Kota, Kampung

Datuk, Kampung Baru, Kampung Bulang dan Kampung Ladi. Sedangkan

untuk pembagian wilayah dalam rukun warga dan rukun tetangga terdiri dari

5 RW dan 11 RT.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya, yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya

bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di

darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki

nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan melalui proses penetapan.83

Pelestarian Cagar Budaya pada Pasal 2 UU No.11 Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya menggunakan beberapa asas diantaranya: Pancasila;

Bhineka Tunggal Ika; kenusantaraan; keadilan; ketertiban dan kepastian

hukum; kemanfaatan; keberkelanjutan; partisipasi; dan transparansi dan

akuntabilitas.84 Dengan beberapa asas tersebut diharapkan pelestarian Cagar

83
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
84
Lihat Pasal 2 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

lxviii
Budaya yang ada di Indonesia dapat dilakukan dengan baik dan sesuai dengan

tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyat.

Tujuan dari pelestarian Cagar Budaya tercantum dalam Pasal 3 UU

No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, antara lain: melestarikan warisan

budaya bangsa dan warisan umat manusia; meningkatkan harkat dan martabat

bangsa melalui Cagar Budaya; memperkuat kepribadian bangsa;

meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan mempromosikan warisan budaya

bangsa kepada masyarakat internasional85.

Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh

negara, kecuali secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat,

hal ini sesuai dengan Pasal 13 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya.86 Penetapan status Cagar Budaya dilakukan oleh Bupati/Walikota

paling lama 30 setelah rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya yang

menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang

geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya, sesuai dengan Pasal

32 ayat (1) UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. 87 Pemerintah

kabupaten/kota menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi

dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah Pusat.

World Heritage (warisan dunia) merupakan peristilahan yang

digunakan oleh UNESCO dalam memberikan status terhadap benda, struktur,

85
Lihat Pasal 3 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
86
Lihat Pasal 13 UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
87
Lihat Pasal 32 ayat (1) UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

lxix
kawasan, dan/atau situs yang mempunyai nilai sejarah. Heritage memiliki

banyak pengertian, Menurut UNESCO heritage yaitu sebagai warisan

(budaya) masa lalu, apa yang saat ini dijalani manusia, dan apa yang

diteruskan kepada generasi mendatang. Heritage dapat dikatakan sebagai

sesuatu yang seharusnya diteruskan dari generasi ke generasi, umumnya

karena dikonotasikan mempunyai nilai sehingga patut dipertahankan atau

dilestarikan keberadaannya. Dalam kamus Inggris-Indonesia susunan John M

Echols dan Hassan Shadily, heritage berarti warisan atau pusaka. Sedangkan

dalam kamus Oxford, heritage ditulis sebagai sejarah, tradisi, dan nilai-nilai

yang dimiliki suatu bangsa atau negara selama bertahun-tahun dan diangap

sebagai bagian penting dari karakter mereka. Dalam buku Heritage:

Management, Interpretation, Identity, Peter Howard memberi makna heritage

sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya

material maupun alam. Selama ini warisan budaya lebih ditujukan pada

warisan budaya secara publik, seperti berbagai benda yang tersimpan di

museum. Merujuk pada Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang

dideklarasikan di Ciloto 13 Desember 2003, heritage disepakati sebagai

pusaka.

Heritage (pusaka) di Indonesia meliputi Pusaka Alam, Pusaka

Budaya, dan Pusaka Saujana. Pusaka Alam adalah bentukan alam yang

istimewa. Pusaka Budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang

istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-

sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan

lxx
budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka Budaya mencakup

pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible).

G. Kerangka Pemikiran Disertasi

Alur berfikir dalam penelitian ini mengenai penetapan Pulau

Penyengat di Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage yang berdasarkan

konsep negara hukum, konstitusi, Undang-Undang, dan aturan pelaksana.

Penelitian ini akan meneliti mengenai rekonstruksi penetapan Pulau

Penyengat di Kota Tanjungpinang sebagai World Heritage dalam

implementasi UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

lxxi
UUD 1945

Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (6)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Normatif Yuridis:
Landasan Teori: 1. Studi
1. Teori Negara Hukum (Grand Theory); Kepustakaan;
2. Teori Sistem Hukum (Midle Theory); 2. Dokumentasi;
3. Teori Good Governance (Applied Theory) 3. Wawancara;
Teori Keadilan Bermartabat (Applied 4.
Theory) Sosiologis Yuridis:
1. Angket ;

konstruksi penetapan Pulau Penyengat di kelemahan dari konstruksi penetapan


Kota Tanjungpinang sebagai World Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang
Heritage sebagai World Heritage

rekonstruksi Hukum terhadap penetapan Pulau Penyengat di Kota


Tanjungpinang sebagai World Heritage

Mengetahui konstruksi penetapan Pulau Penyengat di kota Tanjungpinang sebagai World


Heritage dan mengetahui kelemahan-kelemahan penetapan Pulau Penyengat di Kota
Tanjungpinang sebagai World Heritage

Terwujudnya rekonstruksi Hukum penetapan Pulau Penyengat di kota Tanjungpinang


sebagai World Heritage

lxxii
H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan disertasi

ini adalah metode penelitian kualitatif. Dalam penilitian ini juga mengacu

pada metode perbandingan yang bertujuan untuk mengerjakan tepat, dalam

penilitian ini dimulai dengan kejadian tertentu dari sutau wawancara, catatan

atau dokumen dan membandingkannya dengan kejadian lain dalam kumpulan

data yang sama atau dalam dengan kejadian lain dalam kumpulan data yang

atau dalam kumpulan data yang lain88.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis

sosiologis. Contoh isu-isu hukum (Legal Issues) yang dapat diangkat dalam

penelitian sosiologis, dapat dilihat bahwa ruang lingkup yang menjadi

permasalahan kemasyarakatan hukum sangat luas89.

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yangakan diperoleh

dari wawancara langsung dengan stakeholders yang terkait dengan obyek

penelitian.90Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum

yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum

yang mempunyai pengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum,

88
Merriam, S. (1998). Qualitative Research and Case Study Applications in Education. Revised
and Expanded from: Case Study Research in Education. Jossey-Bass. San Francisco. h. 20
89
Johnny Ibrahim, Op Cit., h. 284.
90
Ibid., h. 295.

lxxiii
yurisprudensi, dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan berkaitan

dengan topik penelitian91.

Paradigma penelitian yang dilakukan yaitu paradigma

konstruktivisme (interpretatif). Paradigma konstruktivisme merupakan

Paradigma yang mencoba melihat bahwa kebenaran suatu realitas hukum

bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh

pelaku sosial. Realitas hukum merupakan realitas majemuk yang beragam,

berdasarkan pengalaman sosial individual karena merupakan konstruksi

mental manusia, sehingga penelitian yang dilakukan menekankan empati dan

interaksi dialektik antara peneliti dan yang diteliti untuk merekonstruksi

realitas hukum melalui metode kualitatif.

I. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

1. Pulau Penyengat Di Kota Tanjungpinang Tidak Ditetapkan Sebagai

World Heritage

Pemerintah Daerah Kota Tanjungpinang melakukan penetapan

Pulau Penyengat sebagai kawasan strategis kota, pariwisata, lindung

budaya, pelabuhan pengumpan, pusat budaya, dan pusat belanja budaya.

Penetapan tersebut diatur melalui Perda Kota Tanjungpinang No. 10

Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang

Tahun 2014– 2034. Sebelumnya, melalui Peraturan Gubernur Kepulauan

Riau No. 11/2006 dibentuk Badan Pengelola Kawasan Budaya Pulau

Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Kebijakan itu tentu memerlukan


91
Ibid., h. 296.

lxxiv
dukungan penelitian ilmiah. Dengan memperhatikan keadaan tersebut,

penelitian ini berkenaan dengan permasalahan penentuan konsep zonasi di

setiap situs di Pulau Penyengat sebagai salah satu langkah perlindungan

dalam pelestarian cagar budaya.

Kebijakan lainnya yang dilakukan untuk Pulau Penyengat sebagai

Kawasan Cagar Budaya Nasional bahwa pada 2018 beberapa bangunan

dan struktur di Pulau Penyengat telah ditetapkan sebagai benda cagar

budaya melalui SK Mendikbud No.112/M/2018. Namun, dengan

mengikuti amanat UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

diperlukan penetapan ulang sesuai dengan kriteria yang ditentukan

melingkupi satu kawasan bukan per bangunan atau struktur. Apabila telah

ditetapkan sebagai kawasan dan akan dikelola, diperlukan penetapan batas

keruangan di setiap situsnya. Penelitian tentang konsep zonasi diawali

dengan penggalian terhadap sikap masyarakat Pulau Penyengat terhadap

pelestarian cagar budayanya karena mereka juga memiliki hak atas

keputusan pelestarian warisan budayanya.

Pada Tahun 2019, komite yang bertanggung jawab atas daftar

nominasi Situs Warisan Dunia UNESCO memulai musyawarah selama 11

hari di Kota Baku, Azerbaijan92. Musyawarah itu dilakukan untuk

memutuskan destinasi mana yang akan masuk ke dalam daftar Situs

Warisan Dunia UNESCO. Saat ini telah ada 1.092 situs dari 167 negara

92
Sri Anindiati Nursastri, 2019 “Kota di Indonesia Masuk Nominasi Situs Warisan Dunia
UNESCO 2019” . kompas .com. PT. kompas Cyber Media.

lxxv
yang telah masuk dalam daftar tersebut. Destinasi yang berhasil masuk

dalam Situs Warisan Dunia UNESCO akan semakin dikenal. Tak hanya

itu, destinasi itu juga akan mendapat perlindungan dari UNESCO dan bisa

dibilang sejajar dengan berbagai destinasi terkenal lain di dunia. Sejak

diresmikan pada 1978 silam, daftar Situs Warisan Dunia UNESCO

mencakup berbagai destinasi terkenal seperti Taman Nasional Yellowstone

di AS, Taj Mahal di India, Petra di Yordania, dan Kepulauan Galapagos di

Ekuador.

Tiga kategori dalam daftar nominasi 2019, tiga kategori yang

berbeda dalam daftar nominasi tersebut. Kategori pertama adalah situs

alam. Kategori kedua adalah situs budaya, dan yang ketiga ialah gabungan

antara unsur budaya dan alam. Destinasi mana yang akan masuk ke

dalam Situs Warisan Dunia UNESCO telah melalui evaluasi panjang dari

para ahli lapangan.

Di antara 44 nominasi destinasi untuk daftar Situs Warisan Dunia

UNESCO 2019 ini, salah satunya ternyata berasal dari Indonesia.

Tentunya ini merupakan kabar gembira bagi masyarakat Indonesia.

Destinasi itu adalah Sawahlunto yang berada di Provinsi Sumatera Barat.

Menurut keterangan di situs web resmi UNESCO, Sawahlunto merupakan

kota penambangan batubara tertua di Asia Tenggara. Aktivitas

penambangan batubara telah dilakukan di sana pada abad ke-19 saat

Hindia Belanda berkuasa. Penambanan batu bara telah mengubah

Sawahlunto, dari wilayah terpencil menjadi dikenal dunia luar. Berbagai

lxxvi
infrastruktur mulai dibangun untuk mendukung aktivitas pertambangan,

seperti jaringan kereta api ke pantai barat Sumatera, hingga Pelabuhan

Emmahaven yang dikenal sebagai Teluk Bayur. Operasi penambangan

batu bara selama dua abad telah menjadikan Kota Sawahlunto kental

dengan interaksi budaya timur dan barat. Hal itu terlihat dari tata ruang

kota yang unik. Hingga saat ini, masih ada beberapa peninggalan sejarah

di sana.

Pada tahun 2015 Pulau Penyengat di Kepulauan Riau yang pernah

diusulkan sejak tahun 1995 kembali tidak masuk daftar penilaian tahun

ini. Ketidak jelasan penyebab pulau di Tanjung Pinang Kepulauan Riau itu

tidak masuk daftar penilaian. Apakah karena tidak diusulkan lagi atau ada

alasan lain. Hal yang jelas, tidak ada satupun usulan dari Indonesia yang

masuk daftar penilaian komite tersebut tahun ini. Dari Asia Tenggara

hanya ada usulan dari Thailand, Vietnam, dan Singapura.

2. Kelemahan penetapan pulau penyengat di kota Tanjungpinang

sebagai world heritage.

Kebijakan Pemerintah Daerah dengan menetapkan Pulau Penyengat

sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional pada beberapa bangunan dan

struktur di Pulau Penyengat melalui SK Kemendikbud No. 112/M/2018

tentang Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat Sebagai Kawasan Cagar

Budaya Pringkat Nasional mempunyai kelemahan tersendiri. Apabila ditinjau

dari amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya maka

diperlukan penetapan ulang sesuai dengan kriteria yang ditentukan

lxxvii
melingkupi satu kawasan bukan per bangunan atau struktur saja. Apabila

telah ditetapkan sebagai kawasan dan akan dikelola, hendaknya diperlukan

penetapan batas keruangan di setiap situsnya.

Seperti telah diamanatkan dalam undang-undang cagar budaya,

apabila telah ditentukan suatu lokasi menjadi situs atau kawasan, zonasinya

harus segera ditentukan. Dalam zonasi perlu dilakukan penentuan batas

keruangan dan peruntukannya sebagai zona inti, zona penyangga, zona

pengembangan, dan/atau zona penunjang. Penentuan garis batas setiap zona

dilakukan berdasarkan pertimbangan arkeologis, geografis, antropologis, tata

ruang, administratif, dan lainnya.

Dalam pembuatan situs atau kawasan zonasi harus dibuat rambu-

rambu yang jelas sehingga dapat meminimalkan ancaman kerusakan situs dan

kawasan cagar budaya. Pada kenyataannya muncul berbagai kendala dalam

pelaksanaan kegiatan zonasi situs. Zonasi situs yang selama ini dilaksanakan

ternyata lebih memungkinkan diterapkan pada situs yang memiliki wilayah

luas sehingga dapat dibagi ke dalam zona inti, zona penyangga, zona

pengembangan, dan/atau zona penunjang.

Kendala muncul pada situs yang berada dalam permukiman padat

masyarakat sekarang atau situs yang telah terlanjur pengembangannya tanpa

mempertimbangkan pelestarian situs. Hal itulah yang terjadi di kawasan

Pulau Penyengat. Penerapan zonasi terhadap situs semacam itu tentunya akan

berbeda dengan yang lazimnya. Dengan demikian, zonasi yang akan

lxxviii
diterapkan harus dapat mengakomodasi berbagai kondisi situs. Kegiatan yang

bersifat teknis, khususnya zonasi situs dalam upaya pelestarian struktur dan

bangunan cagar budaya, telah banyak dilakukan dan didasarkan pada

ketentuan, baik akademis maupun undang-undang yang berlaku.

Dalam meningkatkan sumber daya budaya daerah Pulau Penyengat

sebenarnya pemerintah daerah memiliki perhatian besar. Terbukti dengan

terbitnya Perda Kota Tanjungpinang No. 10 Tahun 2014 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2014-2034, Pemerintah

Daerah telah menetapkan Pulau Penyengat dalam berbagai status, yaitu

penataan:

a. Pulau Penyengat sebagai pusat budaya;

b. Pulau Penyengat sebagai pusat belanja budaya;

c. Pulau Penyengat sebagai pelabuhan pengumpan;

d. Pulau Penyengat dalam jaringan sumber daya air;

e. Pulau Penyengat sebagai kawasan lindung budaya;

f. Pulau Penyengat sebagai kawasan pariwisata;

g. Pulau Penyengat sebagai kawasan strategis Kota Tanjungpinang.

Indikator Kelemahan Pulau Penyengat Sebagai World Heritage Sebagai

Berikut :

lxxix
1. Kebijakan atau Koordinasi antara pemerintah pusat dengan Pemerintah

Daerah.

2. Masyarakat Pulau Penyengat masih terkotak – kotak dengan

kepetingan pribadi.

3. Kurang serius dalam penanganan Menjadikan Pulau Penyengat

Sebagai World Heritage.

4. Belum adanya Perda “ Pengelolaan Pembangunan Wisata Budaya di

pulau Penyengat

5. Masih Kurangnya peraturan yang mengatur Kawasan cagar budaya

Nasional (KCN).

3. Rekonstruksi Hukum Terhadap Penetapan Pulau Penyengat Di Kota

Tanjungpinang Sebagai World Heritage Berbasis Nilai Keadilan

Undang undang disebut juga sebagai aturan, norma dan aturan norma

memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Pertama berisi ide-ide dan cita-

cita. Kedua, hukum berfungsi (dimanfaatkan) sebagai alat untuk mncapai

cita-cita hukum. berkaitan dengan cita-cita Negara Indonesia, berdasarkan

teks pembukaan UUD 1945 dapat dilihat bahwa cita-cita atau tujuan

pendirian negara kesatuan Republik Indonesia memiliki dimensi internal dan

eksternal.

Dimensi internal, mengacu pada perlindungan seluruh bangsa

Indonesia dan seluruh darah Indonesia yang tumpah dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, untuk mendidik kehidupan bangsa. Dimensi eksternal,

lxxx
menerapkan tatanan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.

Kedua dimensi ini mendasari kemerdekaan bangsa Indonesia dalam

UUD 1945 yang dibentuk berdasarkan pemahaman kedaulatan rakyat

berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Inilah yang membedakan sebagai ciri khas

ideologi negara Indonesia dengan ideologi lain, baik sosialis maupun liberal.

Rekonstruksi Hukum terhadap Penetapan Pulau Penyengat Di Kota

Tanjungpinang Sebagai World Heritage Berbasis Nilai Keadilan tidak dapat

terlepas dari good governance dan norma keadilan bermartabat karena

warisan dunia pulau penyengat adalah warisan benda yang telah ada sejak

jaman leluhur bangsa Indonesia. Warisan Dunia atau world Heritage

merupakan bagian dari jiwa bangsa dan oleh teori keadilan bermartabat

dipandang sebagai Bottom –line pondasi dasar penghormatan terhadapan

peninggalan sejarah bangsa selain itu untuk menciptakan Keadilan,

kemakmuran berdasarkan pancasila sesuai dengan sila Ke 2 dan sila Ke- 4

Pancasila.

J. PENUTUP

1. Simpulan

1.1 Pulau Penyengat dikota tanjungpinang tidak ditetapkan sebagai world

heritage karena : a) Belum dieksplorasinya pulau penyengat sebagai

pusat kota pemerintahan di kerajaan Riau Lingga yang terkenal di

singapura (melayu singapura), melayu malaysia, melayu filipina, dan

lxxxi
beberapa kerajaan di burma ataupun Thailand; b) belum ditetapkannya

pulau penyengat sebagai kota pusaka dan menjadi anggota kota pusaka

c) Pengakuan negara di sekitar yang pernah menggunakan bahasa

melayu pada saat itu baik tinggalan bukti sejarah fisik non fisik yang

tertulis; d) bahasa melayu yang merupakan pemersatu kerajaan Riau

Lingga harus di kategorikan bentuk jenis dan simbol hurup yang

digunakan agar dapat membedakan melayu tradisional dan melayu

modern; e) tata pemerintahan kerajaan Riau Lingga perlu digali lagi

apakah menggunakan sistem kerajaan monarckhi atau monarchi

absolut, atau sistem kerajaan kekhalifahaan berpusat di kerajaan Turki

usmani. f) keseriusan Pemerintah Daerah dan Kota terhadap pulau

penyengat dengan merevitalisasi bangunan sehingga menumbuhkan

kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya: Pemanfaatan dengan

pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya

kesejahteraan rakyat. Adaptasi sebagai upaya pengembangan Cagar

Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini

dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan

kemerosotan nilai Cagar Budya.

1.2 Kelemahan penetapan pulau penyengat di kota tanjungpinang sebagai

world heritage dari hasil penelitian memiliki Indikator Kelemahan

Sebagai Berikut ; a) Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya pasal 46 penjelasan didalamnya belum mengurai secara rinci

kriteria untuk menjadi world heritage; b) Kebijakan atau Koordinasi

lxxxii
antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah; c) Masyarakat

Pulau Penyengat masih terkotak – kotak dengan kepentingan pribadi; d)

Kurang serius dalam penanganan Menjadikan Pulau Penyengat Sebagai

World Heritage; e) Belum adanya Perda “ Pengelolaan Pembangunan

Wisata Budaya di pulau Penyengat; f) Masih Kurangnya peraturan yang

mengatur Kawasan cagar budaya Nasional (KCN) dalam hal ini

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia.

1.3 Rekonstruksi hukum terhadap penetapan pulau penyengat sebagai

world heritage dengan merekonstruksi pasal 1, pasal 3 dan pasal 46

yang berbunyi dalam rekonstruksi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010

pasal pasal 1 butir 26 tentang Cagar Budaya, maka hendaknya

direkonstruksi menjadi :“Zonasi adalah penentuan batas-batas

keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai

dengan kebutuhan serta disepakati bersama baik oleh tim ahli,

Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Masyarakat pemilik

Lahan dalam penetapan batas-batas zonasinya.”;. Pasal 3 Pelestarian

Cagar Budaya bertujuan: a) Melestarikan Warisan Budaya Bangsa dan

warisan umat manusia. b) Meningkatkan harkat dan martabat bangsa

melalui cagar budaya. c) Memperkuat kepribadian Bangsa. d)

Merekomendasikan warisan budaya bangsa dan atau warisan

budaya umat manusia yang ada di Indonesia menjadi World

Heritage atau Islamic World Heritage e) Meningkatkan Kesejahteraan

Rakyat. f) Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat

lxxxiii
Internasional. Pasal 46 : Cagar Budaya Peringkat Nasional Yang Telah

Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya Nasional Dapat Diusulkan Oleh

Pemerintah Menjadi Warisan Budaya Dunia sesuai dengan Konvensi

UNESCO untuk Perlindungan Warisan Budaya dan Warisan Alam

Dunia. Warisan Budaya berupa benda (tangibel cultural herritage)

yang memiliki Nilai Universal yang Luar Biasa (Outstanding

Universal Value) OUV. Warisan Budaya berupa tak benda

(intangibel cultural herritage) yang memiliki Nilai Universal yang

Luar Biasa (Outstanding Universal Value) OUV. Kemudian dalam

Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 7 Tahun 2015

tentang Cagar Budaya untuk menjadikan Pulau Penyengat Menjadi

World Heritage yakni Pasal 3 : Pelestarian dan Pengelolaan Cagar

Budaya bertujuan:a) melestarikan warisan budaya daerah dan warisan

umat manusia;b) mempertahankan kearifan lokal;c) meningkatkan

harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;d) memperkuat

kepribadian bangsa;e) meningkatkan kesejahteraan rakyat;f)

merekomendasikan cagar budaya daerah sebagai cagar budaya

peringkat nasional menuju world heritage.g) mempromosikan

warisan budaya daerah kepada masyarakat.

2. Saran

1. Melestarikan warisan budaya daerah dan warisan umat manusia

memberikat dampak spirit kuat terhadap masyarakat dilingkungan

lxxxiv
kebudayaan tersebut dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Dalam penelitian yang penulis lakukan masih perlu adanya peneliti lain

yang memfokuskan pada bidang antropologi budaya dan hukum

menelusuri kesejarahan pulau penyengat dengan mendalami kekuasaan

kerajaan Riau Lingga di negara-negara di sekitar Pulau Penyengat

sehingga informasi yang dibutuhkan sangat komperhensif. Dengan

melakukan riset lanjutan yang memfokuskan pada kekuasaan Riau

Lingga dan Pengaruhnya di semenanjung Melayu dengan demikian

negara-negara yang terpecah menjadi negara baru tidak bisa mengelak

pengakuannya pernah menjadi bagian Imperium Kerajaan Riau Lingga

yang jaya di Jamannya.

2. Kenyataan di lapangan menunjukkan ada beberapa permasalahan yang

harus segera ditindaklanjuti.

a. Kepemilikan salah satu isu pokok yang harus segera diatur dan

ditetapkan secara terperinci dalam pelestarian cagar budaya adalah

masalah kepemilikan dan penguasaan cagar budaya.

b. Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Tanjungpinang.

Pemerintah Kota Tanjungpinang harus segera membentuk tim ahli

cagar budaya agar semua bangunan, struktur, situs, dan kawasan di

Pulau Penyengat dapat segera ditetapkan.

c. Penetapan dan Pemeringkatan Status Cagar Budaya. Pulau Penyengat

pantas dikategorikan sebagai suatu kawasan cagar budaya. Oleh

karena itu, setelah dibentuk tim ahli cagar budaya, Pulau Penyengat

lxxxv
dapat ditentukan status dan peringkatnya, yaitu dengan; i)

Mengajukan kembali penetapan dan pemeringkatan status keempat

bangunan yang telah sebelumnya ditetapkan sebagai cagar budaya

pada tahun 2018 melalui SK Mendikbud No.112/M/2018; ii)

Mengajukan semua benda, bangunan, dan struktur yang belum

ditetapkan menjadi cagar budaya; iii) Mengajukan situs tempat

berdirinya bangunan dan struktur cagar budaya sebagai situs cagar

budaya; dan iv) Mengajukan sekumpulan situs cagar budaya menjadi

kawasan cagar budaya;

3. Implikasi Kajian Disertasi

1. Implikasi Teoritis

Secara teoritik bahwa hasil penemuan baru dari penelitian yang diperoleh

mengenai “Rekonstruksi Hukum Cagar Budaya Sebagai World

Heritage Berbasis Nilai Keadilan (Penetapan Pulau Penyengat di Kota

Tanjungpinang)”. masih memerlukan kajian yang lebih mendalam,

diperlukannya persiapan ulang dengan melakukan perbaikan materi dan

rill situs yang belum memenuhi kategori World Heritage. Perlunya tim

ahli dan konsistensi peran pemerintah, negara dan masyarakat dalam

penanganan pulau penyengat untuk mendapatkan predikat World Heritage

atau Islamic World Heritage baik yang dikeluarkan oleh UNESCO atau

ICESCO.

1. Implikasi Paradigmatik

lxxxvi
Perlu adanya perubahan paradigma baru terhadap pengusulan yang

ditujukan kepada UNESCO (United Nations Educational, Scientific and

Cultur Organization) dengan persyaratan yang begitu komplek dan perlu

tahapan yang panjang. Oleh karena itu untuk mendapatkan predikat world

heritage tidak hanya lembaga UNESCO saja yang dapat mengeluarkan

sertifikat penghargaaan tersebut, namun ada lembaga Islam dibawah

Organisasi Dunia yaitu ISESCO (Islamic Educational, Scientific and

Culture Organization) yang berdiri Sejak Tahun 1979 yang berpusat di

Kingdom Of Marocco. Indonesia menjadi member sejak tahun 1986.

Apabila diusulkan dalam waktu dekat dan disetujui, maka akan

mendapatkan predikat Islamic World Heritage karena kebudayaan yang

diusulkan lebih cenderung merupakan peradaban Islam.

2. Implikasi Praktis

a. Bagi Pemerintah dan Negara

Predikat World Heritage atau Islamic World Heritage merupakan

predikat kebanggan daerah dan juga negara karena predikat tersebut

merupakan lebel pemerintah daerah yang sukses dan berhasil

membawa daerah tersebut menjadi terkenal baik secara nasional

maupun Internasional. Dengan predikat tersebut memeberikan

dampak positif selain secara politik pariwisata (tranding Icon) juga

menjadikan sumber devisa untuk mendatangkan wisatawan baik lokal

maupun mancanegara.

lxxxvii
b. Keuntungan bagi masyarakat

Masyarakat pulau penyengat selain menjadi bagian ekosistem

pariwisata pulau penyengat di tanjung pinang yang akan memperoleh

predikat World Heritage dan atau Islamic World Heritage, masyarakat

akan diuntungkan dengan menawarkan kuliner khas ataupun souvenir

menarik hasil kerajinan adat yang dijual. Ini akan memberikan efek

pendapatan daerah yang ujung ujungnya akan mensejahterakan

masyarakat.

lxxxviii
SUMMARY

A. Background

Biting the island is a village located in the city of Tanjungpinang

Riau Islands of Indonesia are built based on the history, culture and Malay

customs. Biting the opposite island with Malaysia and Singapore, the

strategic conditions supporting the potential of tourism to be developed in a

professional manner that will lead to good advantage in the development of

the area as well as foreign countries in terms of tourism. Historically, the

island Biting have a typical relationship, because the past is part and parcel

of the Riau Lingga (Malay) with Malaysia. The set of historical data, Biting

Island, Singapore, and Malaysia Johor is one of empire under the Royal

Malay Riau Lingga93,

Island Biting Biting is located in the Village, District City

Tanjungpinang, Tanjungpinang, Riau Islands Province. Geographically, Riau

Islands Province located between 0º40 'latitude and 07º19' latitude and

between 103º3 'E up to 110º 00' east longitude.

Biting island has a wealth of cultural form of buildings, structures,

and unique cultural landscape. The island with a variety of buildings that

form the exclusive government complex bounded by the ocean. Based on the

characteristics, no doubt that the island Biting is one of the central region of

1
Novendra, et al., Historic Places in Riau Islands, Bappeda Riau, Tanjungpinang, 2000, hlm.37.

lxxxix
the Malay culture. Malay culture is the "spirit" of Indonesian culture,

growing and influential for a long time.

Brazilians Biting island's cultural heritage, cultural heritage

consists of two types, namely the objects of cultural heritage (tangible

heritage) and the intangible cultural heritage (intangible heritage).

Intangible cultural heritage is a system that regulates all public life in the

form of the system, the system of science, technology, art, language, beliefs,

social organization, and economy. Included in it is the attitude of the

language, literature, traditional textiles, art, theater, music and dance, belief

systems, customs (marriage and promiscuity), culinary, and other parts of the

smallest culture. Meanwhile, the objects of cultural heritage is the physical

evidence of the continuity of the cultural system. Physical evidence in the

form of objects, buildings, structures, sites and landscapes. Actually, many

researchers or writers who discuss the intangible cultural heritage of Malay,

but still required the concrete cultural mapping. concrete objects that can be

touched (tangible) in the form of man-made objects results to meet specific

needs. The cultural heritage that can be touched to have a number of aspects

of intangibles related to the concept of the thing itself, the symbolism of which

is realized through it, the significance in terms of the function or usage, the

contents of the message contained in it, especially when there is writing on it,

xc
the technology for making, as well as patterns of behavior associated with the

cultural property94,

Conceptually Darvill (1995, 4045) thrusts eight external potential

that can be explored and developed from material cultural heritage into the

values relating to (1) scientific research (scientific research) for all

disciplines; (2) the creative arts (creative arts) or a source of inspiration for

artists, poets, writers, and photographers; (3) education (education) in an

effort to instill a love and pride in the greatness of the nation and homeland;

(4) recreation and tourism (recreation and tourism), cultural attractions and

recreational areas as well as a positive; (5) a symbolic representation

(symbolic representation), which could provide a symbolic illustration of the

"lessons" to human life; (6) the legitimacy of the action (legitimation of

action), which can be used for political purposes; (7) solidarity and social

integrity (social solidarity and integrity), which can realize a form of

solidarity and social integration in society; (8) economic and monetary gain

(monetary and economic gain), which can bring economic benefits, both

locally and nationally. Meanwhile, Lipe (1984, 2-10) gives an overview of

cultural heritage objects that have economic value extracted from the context

of the potential economic value; aesthetic value extracted from the context of

the value of aesthetic standards; associative or symbolic value extracted from

the context of the value of traditional knowledge; and informational value

extracted from the context of formal research value. (8) economic and

94
Sudjana W.Djuwita Ramelan, et al, Biting Island Zoning Concept: An Alternative. AMERTA,
h.66. Journal of Archaeological Research and Development Vol. 35 No. 1 June 2017: 1-74.

xci
monetary gain (monetary and economic gain), which can bring economic

benefits, both locally and nationally. Meanwhile, Lipe (1984, 2-10) gives an

overview of cultural heritage objects that have economic value extracted from

the context of the potential economic value; aesthetic value extracted from the

context of the value of aesthetic standards; associative or symbolic value

extracted from the context of the value of traditional knowledge; and

informational value extracted from the context of formal research value. (8)

economic and monetary gain (monetary and economic gain), which can bring

economic benefits, both locally and nationally. Meanwhile, Lipe (1984, 2-10)

gives an overview of cultural heritage objects that have economic value

extracted from the context of the potential economic value; aesthetic value

extracted from the context of the value of aesthetic standards; associative or

symbolic value extracted from the context of the value of traditional

knowledge; and informational value extracted from the context of formal

research value. associative or symbolic value extracted from the context of

the value of traditional knowledge; and informational value extracted from

the context of formal research value. associative or symbolic value extracted

from the context of the value of traditional knowledge; and informational

value extracted from the context of formal research value.

Economic activity Biting Island communities are very diverse. The

different types of livelihood is affected by the existing natural circumstances

and expertise possessed by the public. While this type of main livelihood is

fishing, PNS / Armed Forces, private employees, agriculture, entrepreneurs,

xcii
trade, labor, and the informal sector. In general, the economy of the

community, including good Biting Island, and the majority of the productive

age population has a job commensurate with their skills and wishes.

On the island there are Biting many historical buildings, especially

relics of the 19th century showing the progress of science and religion in the

past that are no longer intact and only a few ruins alone. But there are still

historic buildings that are still intact and functioned until now as the Palace

and the Office Marhum Sultan Riau Grand Mosque. In addition there are

palaces, tombs and forts whose existence is less well maintained. Because of

its strategic location for defense Riau kingdom centered in Upper River (Old

Riau), made Biting Island control center and the main defense. The island is

many times become a battleground, even when there is a war between Riau

and the Netherlands (1782-1784), who was headed by Raja Haji Yang

Dipertuan IV (Raja Haji Shahid Fisabilillah Teluk Ketapang Marhum). The

king built a fortress defense Biting the Riau Island, where castles are made

using Portuguese style defense system has been developed. The remaining

fortresses that we can see the rest of today is a historic fortified complex at

penggawa Hill, Middle Hill, and Hill Chair. Fortresses are equipped with

cannons in a variety of sizes and trenches as defensive and hiding places.

Potential objects of cultural heritage on the island Biting into one of

the historical and cultural tourism destination. Cultural tourism is a human

cultural resources that can be utilized as objects and tourist attraction, so

people will be interested to travel to the island Biting. Arts and culture and

xciii
the way of life that is unique and distinctive needs to be maintained and

developed, in addition to the main attraction as well as the pride and national

identity.

Problems that occur at this time is the physical environmental

conditions and cultural heritage objects are very alarming. This happens

because of the high population growth, so the demand for housing also

increased, because it happened to land use conflicts. A result that can be seen

is the area of cultural heritage objects (sites) are becoming increasingly

narrow, there is even a tendency for people building on the area of cultural

heritage objects which only ruins stay only. In addition to the more dense

residential areas, maintenance of objects of cultural heritage on the island

Biting is very dependent on central and local government concern.

Historic sites on the island of Biting have historical value to the state

of society today, while the historical heritage sites in accordance Biting

Island Tanjung Pinang Mayor's decision No. 229 Year 2017 On

Establishment of Space Geographical Unit For Biting Island Heritage as

follows95:

1) Building Judges;

2) Munitions Building;

3) Physician building the Kingdom;

4) Biting Masjid Raya Sultan Riau;

5) House of King David;

95
Tanjung Pinang Mayor's Decree No. 229 Year 2017; On Establishment of Space Geographical
Unit For Biting Island Heritage.

xciv
6) Women cistern;

7) Bahjah palace and Parks Beaches;

8) Fortress Hill Chair;

9) Fortress Bukuit retainer;

10) Fortress Cape Nibung;

11) Kubu Defense;

12) Swimming Kecik / Raja Musa;

13) The tomb complex Aceh (Makam Puteri Puteh);

14) The tomb complex Baqa;

15) Ancient trench;

16) Sulu cistern;

17) Old cistern 1;

18) Old cistern 2;

19) Old cistern 3;

20) Old cistern 4;

21) Old cistern 5;

22) Old cistern 6;

23) Old shaft 7;

24) Old cistern 8

25) Old cistern 9

26) Old cistern 10 (side Southwestern Biting Mosque);

27) Old Pier footprint;

28) Tread Sultan Pier South Side

xcv
29) Tread Yellow Palace;

30) Tread Sea Palace;

31) Tread Marewah King's Palace;

32) Tread Printing kingdom and Rusydiah Club;

33) Engku house tread on the EMBI;

34) Old Pier footprint;

35) Chair cistern;

36) Kedaton palace;

37) Ali palace Marhum Office;

38) Engku palace room;

39) The tomb complex Embung Fatimah;

40) The tomb complex of King Abdurrahman;

41) Makam Raja Haji Complex Fisabilillah (YDMR IV);

42) The tomb complex Raja Jafar (YDMR VI);

43) Makam Datuk Ibrahim;

44) Makam Datuk Kaya Mepar;

45) Tomb of Sheikh Habib Habib Alwi Bin Asegaf;

46) The tomb complex Engku Puteri Raja Hamidah;

47) Biting Island;

Preservation of Cultural Heritage sites mandated by the Law of the

Republic of Indonesia Number 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage,

the State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2010 No. 130, hereinafter

referred to as Act 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage. The

xcvi
regulation is a derivative of Article 32 paragraph (1) and Article 33

paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945,

hereinafter referred to UUDNRI 1945. Article 32 paragraph (1) UUDNRI

1945 explained that the state has the authority to promote national culture

Indonesia amid the world's civilization, to the existence of cultural sites

should be protected by the Indonesian state based legislations96, Article 33

paragraph (3) explains that the earth, water and natural resources contained

within the territory of Indonesia is an Indonesian state power and used for

the welfare of the people of Indonesia, resulting in the preservation and

exploitation of cultural sites prioritized for the prosperity of the people 97,

Pursuant to Article 1 paragraph 1 of Law 11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage, Heritage is immaterial cultural heritage in the form of

objects Heritage, Heritage buildings, structures Heritage, Cultural Heritage

site, and Cultural Reserve area on land and / or water which needs to be

preserved its existence because of significance for the history, science,

education, religion and / or culture through setting process. 98 Biting island

has been designated as a Cultural Heritage site which is a site that still have

royal architectural artifacts and tomb building being examined by a team of

Cultural Heritage that have been determined by the state.

96
See Article 32 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945.
97
See Article 32 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945.
98
See Article 1 paragraph 1 of Law 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.

xcvii
Biting island designated as a Cultural Heritage site because it has

met the two elements defined in Article 9 of Act 11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage, namely: Contains Objects of Cultural Heritage Buildings,

and / or structure of the Cultural Heritage, with artefacts, mosques and tombs

relics of the kingdom of Riau Langga; and stores information on past human

activity, namely during the Riau Lingga Kingdom.

Pursuant to Article 1 paragraph 5 of Law 11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage, Cultural Heritage sites are locations on land and / or

water-containing objects Heritage, Heritage buildings, and / or structure of

the Cultural Heritage as a result of human activities or evidence of events in

the past99, Biting island has many heritage sites Riau Lingga Kingdom

(Malay), so that the island Biting can be categorized as Heritage sites that

have a history of civilization in the kingdom Riau Lingga which is the

ancestor of the island.

Seeing the potential of cultural tourism history of civilization in the

island Biting, Government as a ruler should provide preservation and

protection of the historical heritage sites. In line with the preservation of

cultural heritage as their national identity, based on Article 3 paragraph e of

Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage, one of the objectives is

to promote the preservation of the Cultural Heritage of the nation's cultural

heritage to the international community. The objectives will be realized if the

Heritage is owned by Indonesia introduced to the international world.

99
See Article 1 point 6 Act No. 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.

xcviii
Promotion of Cultural Property in the international level can be

realized by registering the Cultural Heritage of the UNESCO (United Nations

Educational, Scientific, and Cultural Organization) as a Wolrd Heritage. The

registration aims to introduce Heritage in Indonesia as well as a form of

cooperation between the preservation of the Cultural Heritage owned. The

registration in accordance with Article 96 paragraph (2) d of Law No.11 of

2010 Concerning the Cultural Heritage, which reads, "National Heritage

proposed as world heritage or international nature of Cultural Property".

Registration as a World Heritage Cultural Heritage can not be separated

from the principles of beneficial and sustainable, to be registered as a World

Heritage, UNESCO also has a role in the preservation of the Cultural

Heritage, so that the registration useful for the protection of Cultural

Property. Registration also aims for sustainable preservation of cultural

preservation, so that sustainable principles are also met.

Biting Island Riau Islands was ranked 11 waiting list to be submitted

to the "United Nations Education, Scientific, and Culture Organization

(UNESCO)" World cultural heritage. In 2015, the island Biting into a waiting

list 11 of the 20 nominations while UNESCO. Though UNESCO received only

one year for the country. It took 11 years longer the waiting period, these

local governments need to intervene in the formation of the committee,

because the island is already registered stinger since 1995. Indonesia has

registered 5000 it is estimated that 5000 was also another year to be

recognized.

xcix
Noting the background has been described by the researchers, the

researchers believe it is necessary stipulation in Tanjungpinang Biting Island

as a World Heritage as implementation of Law No.11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage. Those problems led to the idea of researchers to create a

research dissertation with the title "The Reconstruction of the Law of

Cultural Heritage as a World Heritage Based on Justice Value

(Determination of Penyengat Island in Tanjung Pinang City)".

B. Formulation of the problem

1. Why Biting Island in Tanjungpinang Not Yet Designated as a World

Heritage?

2. Any weakness determination Biting Island in Tanjungpinang as World

Heritage?

3. The law of the determination of how reconstruction Biting Island in

Tanjungpinang as a World Heritage based on values of justice?

C. Research purposes

1. To analyze Penyengat in Tanjungpinang Not Yet Designated as a World

Heritage.

2. To analyze the weaknesses of the determination Biting Island in

Tanjungpinang as World Heritage.

3. To reconstruct the law of the determination of Biting Island in

Tanjungpinang as a World Heritage-based justice.

c
D. Benefits of Research

In conducting this study the authors expect any benefits that may be

used in the science of jurisprudence especially those between the problems

determination Heritage region that still has some weaknesses and require

reconstruction of the system and mechanism. This research is expected to

provide an overview as well as a reference in solving issues concerning the

establishment of Biting Island in Tanjungpinang as World Heritage in the

implementation of Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.

So that it can provide a good reference for academics, legal

practitioners, government, and society in conducting the study on the

determination of the region or become World Heritage sites are based on

Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage. The benefits expected

from this study include:

3. Theoretical benefits

a. To increase knowledge of law concerning the establishment of Biting

Island in Tanjungpinang as World Heritage, and can become the

driving facilities of interest to learn more about the problems

associated with the determination of a region or site become World.

b. Can be used as a donation scientific work in the development of

science in the field of law.

c. It is expected from this research can provide additional thought to be

a further research directions in the future.

ci
d. Can be useful in conducting similar research, further research as well

as other guidelines.

4. Practical benefits

a. for Students

Provides an overview of the mechanism for setting the system

maupunn Biting Island in Tanjungpinang as World Heritage.

Researchers hope to motivate students to learn more about the science

of law and conduct useful research to jurisprudence in the country of

Indonesia.

b. for Teachers

This study may provide an illustration of the determination

Biting Island in Tanjungpinang as World Heritage, particularly in

terms of legal construction, systems, mechanisms, problems, and

ideally reconstruction. Law-related education on the Cultural

Heritage in environmental law also requires attention for Cultural

Preservation is a natural resources / culture of the Indonesian state,

so it can be income of the Indonesian state. Learning the science of

environmental law related to the Cultural Heritage of more complex

approach is required in order to produce graduates qualified law and

love my homeland by maintaining natural resources / culture.

E. Theoretical framework

cii
In this study researchers will conduct the legal construction of the

ideal, with some theories that will be used as the basis for this study as

follows.

5. Theory of State Law As a Grand Theory

State Theory of Law

The term rule of law is a translation of the term "rechtsstaat".100Another

term used in Indonesian legal nature is the rule of law, which is also used to mean

"rule of law". Notohamidjojo use the words "... then the resulting njuga term State

laws or rechtstaat"101, Djokosoetono said that "democratic rule of law actually

this term is wrong, because if we remove democratische rechtsstaat, the important

and the primary is rechtsstaat102".

State laws do not come suddenly, but through a process and a long

struggle, in this context Jaenal Aripin argued that the law state concept has

historical roots in the struggle for democracy, for understanding the state of law

is often used as a term, namely the concept of a state of law democratic 103,

100
Philip M.Hadjon, 1987. Legal Protection for Principles for People A Study On principle,
Handling by the Court of General Jurisdiction In And Establishment Environmental Justice Public
Administration, Development Studies. Surabaya, hlm.30.
101
O. Notohamidjojo, 1970. Meaning of State of Law, Christian Publisher Agency, Jakarta,
hlm.27.
102
Padmo Wahyono, 1984. Teacher Pinandita, Publisher Firm Faculty of Economics, University of
Indonesia, Jakarta, p. 67
103
Jaenal Aripin 2008. Religious Courts In the Frame Law Reform in Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, p. 88-89

ciii
Thoughts on the State and the law, as stated by Saiful Bakhri began in the

fifth century BC. The new view, presented beautifully by Augustine, by saying that

the Greek civilization to crumble described as heavenly, to glorify themselves. In

that century every modern realize the initiators of the law, that view state arising

in the state is a common opinion, with personal freedom, with their close ties

decency in society.104

Meanwhile, Muhammad Yamin Using the same law with rechtsstaat State

or government of law, as quote the following opinions:

"Police or military state, where police and soldiers holding the

government and justice, are not also the Republic of Indonesia is a country

of law (rechtsstaat, government of law) where justice is written applies,

not state power (machtsstaat) where the power of weapons and the power

of the body to do ill -wenang. "(kursif- author)."105

Based on the above description, in Indonesian legal literature, in addition

to the term rechtsstaat to show the meaning of rule of law, also known as the term

the rule of law. But the term the rule of law is the most widely used today.

In the opinion of Hadjon,106rechtsstaat both the terminology and the rule

of law is supported by the background of different legal systems. The term

Rechtsstaat is the fruit of thought to oppose absolutism, which sifatnhya

104
Saiful Bakhri 2010. State Science in the Context of Modern Legal State, Total Media, Jakarta, p.
132-134
105
Muhammad Yamin, 1982. Proclamation and the Constitution of the Republic of Indonseia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, p. 72.
106
Philip M.Hadjon. Op. Cit., P. 72

civ
revolutionary and resting on the continental legal system called civil law. Instead,

the rule of law is developing evolutionary, which is based on the common law

system. However the differences were now no question anymore, because it leads

to the same goal, namely the protection of human rights.

Although there are differences in background misunderstanding between

rechtsstaat or etat de droit and the rule of law, but it is undeniable that the

presence of the term "state of law" in the words of explanation the 1945 so-called

"state based on law (rechtsstaat)", can not be separated from the influence of both

ideologies. The existence of the rule of law is to prevent the misuse of

discretionary powers. The government also prohibited from using privileged

unnecessary or free from the rules of ordinary law. Understand the state law

(rechtsstaat or the rule of law), which contains the principle of legality, the

principle of separation (division) of power, and the principle of independent

judicial power are, all of which aim to control the state or government of the

possibility of acts of arbitrary, tyrannical, or misuse power.

In modern times, the concept of the State of Law in Continental Europe

developed among others by Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,

and others using the German term, namely "rechtsstaat", While the Anglo-

American tradition, the concept of rule of law developed on the pioneering AV

Dicey called "The Rule of Law". According to Julius Stahl, the concept of the

State of Law which he called by the term "rechtsstaat" it includes four essential

elements, namely:

5. Protection of human rights.

cv
6. The division of power.

7. The government based undng reserved.

8. State judicial administration.

While AV Dicey decipher their three important characteristics in any State

of Law which he called as "The Rule of Law", namely:

4. Supremacy of Law,

5. Equality before the law,

6. Due Process of Law.

The fourth principle of "rechtsstaat" developed by Julius Stahl mentioned

above essentially be combined with the three principles of "Rule of Law"

developed by AV Dicey to mark the characteristics of the modern State of Law

today. In fact, by "The International Commission of Jurists", the principles of the

Constitutional State coupled with the principle of free and impartial judiciary

(independence and impartiality of the judiciary) are today increasingly felt

absolutely necessary in any democracy. The principles that are considered

essential feature State of Law by "The International Commission of Jurists" are:

4. State must comply with the law.

5. The government respects the rights of individuals.

6. An independent judiciary and impartial.

Professor Utrecht distinguish between formal law or State Country

classical law, and state law or state law materiel modern107, State laws

concerning the formal legal sense formal review and narrow, ie in the sense of the

107
Utrecht, 1962. Introduction to Indonesian State Administrative Law, Ichtiar, Jakarta, p. 9.

cvi
legislation is written. While the second, namely the State of Law Materiel more

recently also includes the notion of justice in it. Therefore, Wolfgang Friedman in

his book "Law in a Changing Society" distinguish between the "rule of law" in

formal sense that in a sense, "organized public power"And "rule of law" in the

sense of material, namely, the rule of just law",

This distinction is intended to make clear that in the conception of the state

of law, justice is not necessarily going to happen substantially, mainly because of

the understanding of people about the law itself can be influenced by the flow of

the formal legal sense and can also be influenced by the flow of material legal

mind. If the law is rigidly and narrowly understood in the sense of the legislation

alone, surely understanding the law states that developed also be narrow and

limited and not necessarily guarantee substantive fairness. Therefore, in addition

to the term "the rule of law" Friedman also dikembangikan term "the rule of just

law" to ensure that in our understanding of "the rule of law"covered esensiel

understanding of justice is more than just the proper functioning of legislation in

the narrow sense. Even if the terms used remains "the rule of law",

Comprehensive understanding that is expected to be covered by the term "the rule

of law" used to refer to the conception of the rule of law today.

Based on the descriptions above, there are twelve main principles of the

State of Law (Rechtsstaat) that applies today. Twelfth of the basic principles are

the main pillars that hold up the establishment of a modern state that can be

called as the State of Law (The Rule of Law, or Rechtsstaat) in the true sense.

cvii
The principles in question are as follows 108:

1. Rule of Law (Supremacy of Law); The existence of normative and empirical

recognition of the principle of the rule of law, namely that all problems are

resolved with the law as the supreme guideline.

2. Equality in law (Equality before the Law); Their equal position of each person

in law and government, recognized normative and empirical implemented.

3. The principle of legality (Due Process of Law); In every State of Law, required

the enactment of the principle of legality in all its forms (due process of law),

namely that all government action should be based on legislation valid and in

writing.

4. Power restrictions; The limitation of State power and organs of State by

applying the principle of division of powers separation of powers vertically or

horizontally.

5. Independent Executive Organs; In order to limit the power that, in the current

era also developing their institutional arrangements of government that is

"independent", as the central bank, the organization of the army, the police and

the prosecutor's organization. In addition, there are also new institutions such

as the Human Rights Commission, Election Commission, the Ombudsman, the

Broadcasting Commission, and others. Institutions, agencies or organizations

have previously considered entirely within the executive power, but has now

developed into a fully independent so it is no longer an absolute right of a chief

108
Asshiddiqie, Cita State of Law Indonesia Contemporary, Papper. Delivered in a graduation
ceremony Law Faculty of Law, University of Sriwijaya Palembang, March 23, 2004 in Simbur
Light No. 25 Year IX May 2004 ISSN No. 14110-0614

cviii
executive to determine the appointment or dismissal of leaders. The

independence of the institutions or organs is deemed critical to ensure essential

to guarantee democracy,

6. Independent and Impartial Judiciary; The existence of an independent judiciary

and impartial (as impartial and independent judiciary). Independent and

impartial judiciary is an absolute must have in every State of Law. In performing

its duties judisialnya, the judge should not be influenced by anyone, either

because of the interest positions (political) as well as the interests of money

(economy).

7. Administrative Courts; Although the administrative courts also involves the

principle of free and impartial judiciary, but penyebutannya specifically as the

main pillar of the State of Law still needs to be confirmed separately. In every

State of Law, should open the opportunity for every citizen to sue the State

administration official decisions and the exercise of state administrative judge's

decision (administrative court) by officials of state administration.

8. State Administrative Court (Constitutional Court); In addition to the

administrative court is expected to provide a guarantee justice for every citizen,

the modern State of Law is also prevalent adopt the idea of a constitutional

court in a subdivision system.

9. Protection of Human Rights; Their constitutional protection of human rights

with legal guarantees for their enforcement demands through a fair process. The

protection of human rights are promoted widely in order to promote respect for

cix
and protection of human rights as an important feature of a democratic State of

Law.

10. Democratic nature (Democratische Rechtsstaat); Professed and practiced the

principles of democracy or sovereignty of the people which ensures public

participation in the decision making process of state, so any legislation that

established and enforced reflect a sense of justice who live in the community.

11. Serves as a Means of Achieving Objectives of Stateless (Welfare Rechtsstaat);

Law is the means to achieve the goal of idealized together.

12. Transparency and Social Control; Transparency and social control that is open

to every process of making and law enforcement, so that the weaknesses and

deficiencies contained in the formal institutional mechanisms can be equipped

complementarily by direct public participation (direct participation) in order to

ensure fairness and truth.

Dicey was quoted as saying by Jaenal Aripin stated that there are three

important characteristics of the principle of rule of law, namely:

a. The rule of law, from regular law to oppose the influence of arbitrary power

and eliminate arbitrariness, prerogative or discretionery broad authority of

government;

b. Equality before the law, (equality before law) of all classes to the ordinary

law of the land carried out by an ordinary court, this means that no one is

above the law, both officers and ordinary citizens are obliged to obey the

same law ;

cx
c. The constitution is the result of the ordinary law of the land, that the

constitution is not a source of law but is a consequence of individual rights

formulated and confirmed by the court, in short the principles of private law

through judicial action.109

The special characteristic inherent in state law upholds human rights,

Baharuddin Lopa quote from Jan Materson of the United Nations Commission

emphasized that human rights are rights inherent in every human being, without

which the human being impossible to live as a human 110, Characteristic law

countries expressed among others by Ahmad Sukardja in his article said that in a

State of law, there is a special characteristic inherent in a state of law, namely to

uphold the position of human rights, equality and equality between one another in

addition to adhering to firmly to the rules, the norms that have been established

and put in place for its citizens without exception111,

One of these judicial institutions are State Administrative Agency

established by Act No. 5 In 1986, the judicial function is executed, namely to

ensure the rule of law, enforcement hukuk, and the achievement of tujauan law,

order and social justice for all citizens.

109
Jaenal Aripin, op.cit, p. 88, see also HLM. Baso irianto A. Ence, State Legal & Judicial
Assessing the Constitutionality of the Constitutional Court against the Authority of the
Constitutional Court, PT. Alumni, Bandung, 2008, disclose the use of numbers (1) replace the
letter a. and additions in brackets after the supremacy of law (supremacy of law), p. 4
110
Tuti quarter of 2010. Construction Indonesia Constitutional Law Post-Amendment 1945,
Kencana, Jakarta, p. 21
111
Ahmad Sukardja 2012. Medina Charter and the Constitution of the Republic of Indonesia in
1945, Comparative Study On Basic Living Together in the Pluralistic Society, Sinar Grafika,
Jakarta, p. 15

cxi
6. Theory of Legal System As Middle Theory

Civil Law is a legal system that is currently held by the Continental

European countries on the basis of the reception corpus iuris civilis. Civil law

system is the process of romanization of Roman law in order to fill the legal gaps

in the legislation and customs of indigenous law in Western Europe 112,

Romanization of Roman law in general take place in a slow tempo. Permeation

Roman law did not take place with the same strength, in other words the degree of

Romanization vary from country to country, where Romanization more basic

underway in Italy, Germany, and the Netherlands, while France does not occur

receptions officially because Roman law accepted only as ratio scripta (written

sense)113But most of the 1804 Civil Code in fact directly influenced by Roman law.

In contrast to the UK is almost entirely not influenced by Romanization for the

indigenous legal common law has evolved since the country was conquered by

Willem the Conqueror in 1066114,

Although the process of Romanization uneven, but in the late Middle Ages

and into modern times and the use of elements common legal terminology on

Roman law has been interpreted at the present time as the legal system of

continental Europe (continental / civil law)115,

112
ibid, P. 336.
113
ibid, p. 301.
114
ibid, p. 351.
115
ibid, p. 304.

cxii
Because the process of Romanization did not take place evenly across

European countries Continental, then it is natural that the law on the European

continent Continental is not established a law unification, despite the knowledge

of law in all countries of continental Europe using notions are almost the same,

but the positive law of country to another country shows striking differences as a

result of the birth of its own history and evolution of each116,

The common law system is the legal system that developed in the

Commonwealth of England (North America, Canada, United States). At first the

first century until the fifth century, England was part of the Roman state, but the

process of Romanization in its laws and institutions arguably leaves no traces in

subsequent periods117,

After the fall of the Holy Roman West Country, in England even since the

sixth century, has formed a number of kingdoms Germania, as a result of the

attacks clans Angel-Sekson and Denmark, so the law registries do. However, a

big difference with the continental European countries that recording is done in

English law is not the Latin language, but the language of local people118,

The legal system in Indonesia should be based, or based on the ideals of

law (rechtsidee) Pancasila. In the perspective of the theory of justice with dignity,

in line with the opinion of Gustav Radbruch, but in terms of objective law, ideals

of law (rechtsidee) is none other than justice and should be in line with the

116
ibid, p. 305.
117
Van Caenegem called the Roman period "blank page" in the history of England.
118
John Gilissen and Frits Gorle, 2005, An Introduction to Legal History, Bandung: Refika
Aditama, p. 350.

cxiii
concept of a state of law, or what is known in the civil law system with rechtsstaat

and in the system known by the common law rule of law119,

Besides the legal positivist thinkers such as HLA Hart, John Austin, even

Jeremy Bentham who should deserve the father of English law since he

tenaciously fight to overhaul the chaotic law in England according to the

codified120is a positive thinker who was a British law. Figures originator of the

legal positivism flow affecting and shaping civil law system in modern times in

Continental Europe. But their ideas were not implemented in the British legal

system as Jeremy Bentham struggle for codified in Britain have failed. Therefore,

besides English common law recognizes as a source of law in the legal system, as

well as the written law also recognizes the Magna Carta, the Bill of Rights, and

the Acts of Union, although basically the UK does not have codified laws.

The theory of the legal system put forward by Lawrence M. Friedman.

Lawrence M. Friedman, legal systems include: The legal structure (legal

structure), related to the moving parts in a mechanism or a system of existing

facilities and set up in the system, such as police, prosecutors, courts. Substance

Law (Legal Substance), the actual results published by the legal system, such as

the judge's decision under the Act. Culture Law (Legal Culture), that public

attitudes or values of moral commitment and awareness that drives the operation

119
Tommy Leonard, 2013, Op. Cit., P. 43.
120
Satjipto Rahardjo, 2000, Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, p. 269.

cxiv
of the legal system, or all factors that determine how the legal system derive a

logical place within the framework of community-owned culture.121

Structural include a container or form of the legal system which includes

the order of formal legal institutions, the relationship between these institutions,

rights and obligations. Substance includes the contents of legal norms as well as

the formulation and enforcement prevailing direction for implementation of the

law and the justice seekers. Kultur basically covers the underlying values of the

applicable law, the values of which are abstract conceptions of the good or bad a

behavior or action. Values between good and bad are two things that need

harmony in social life.

Otje Salman said there needs to be a mechanism of integration of law, that

the legal development should include three aspects above, which is scientifically

walk through strategic measures, ranging from planning rulemaking (Legislation

Planing). The manufacturing process (law making procces), to the rule of law

(law inforcement) built by the awareness of law (law awareness) community. 122

On the implementation of the rule of law, Soerjono Soekanto said there

are several factors that affect the applicability of the law. These factors are as

follows:

a. Factors own law

121
Otje Salman and F. Anton Susanto, Legal Theory Given, Collecting and Reopened. PT
Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm.153.
122
Ibid, hlm.154.

cxv
b. Law enforcement apparatus, namely the parties to form and apply the

law.

c. Factors supporting facilities for law enforcement

d. Community factors, namely the environment in which they may apply or

applied

e. Cultural factors, namely as a result of works, copyright, copyright123 and

a sense that is based on human initiative in social life124,

These factors have a relationship, it is because the factors that constitute

the essence of law enforcement, also is a measure of the effectiveness of law

enforcement. Based on these factors, Gunnar Myrdal declared as Soft

Development where certain laws were established and applied, it was not

effective. Such symptoms will arise if there are certain factors that are a barrier

to these factors, can be derived from forming legal, law enforcement, justice

seekers (Jastitabeken) and other community groups in the community125,

Parson had the idea that the legal system can function effectively if it solve

some problems first. These problems are:

123
Anis Masdurohatun, 2012. Copyright Protection Problems In Indonesia yustisia Vol.1 # 1 from
January to April. Islam views Muslim thinker Copyright Imam al Qaraafi is the first Muslim
leaders to discuss copyright issues. In his book entitled al Ijtihadat, Imam al-Qaraafi found the
work of authorship (copyright) should not be traded for the rights inherent in the original source.
However, this opinion is disputed by Fathi al-Daraini who argue that copyright is something that
can be traded, because of the separation from their owners. In the copyright he said there should
be a standard of originality that proves the authenticity of the creation. Because of the copyright
private property, religion prohibits unauthorized people (not the owner of the copyright),
124
Soerjono Soekanto, Factors Affecting Law Enforcement, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, in 2004, hlm.8.
125
Ibid., Hlm.127.

cxvi
1) The problem of legitimacy (which became the basis for the arrangement to

the rules).

2) Interpretation problem (which comes to the determination of rights and

obligations of the subject, through the process of applying certain rules).

3) The issue of sanctions (penalties confirms what, how it is applied and who

is applying it).

4) Juridical issues that define lines of authority for the ruling upholding the

rule of law, and what groups are entitled are governed by the norms

devices126,

Regarding the legal system, closely related to the three theories, namely:

the theory of legal certainty; theory of justice; and the theory of expediency.

Linkage of these theories because in essence a law should create a rule of law as

the basis for action. Laws are created to achieve justice for social life and not

one-sided. The law also created not merely to simply writing a piece of paper, it

should have useful benefits for the life of mankind. Here below is an explanation

of these theories:

d. Theory of Legal Certainty

Legal certainty must always uphold whatever the cost and there is no

reason to not uphold it, because in the paradigm of positive law is the only law.

The positivistic considers that legal certainty is a guarantee of the authorities.

126
Ibid, hlm.15.

cxvii
Legal certainty is a legal question diperundangkan and implemented with

certainty by the State. Legal certainty means that each person can demand that

the law be implemented and demands that must be met. However, the positivist

paradigm, that the legal system is not organized to provide justice for the people,

but simply to protect individual liberties.

Legal certainty is a question that can only be answered in a normative, not

sociology. Normative legal certainty is when a rule is made and enacted exactly

as set out clear and logical. Obviously in the sense not cause doubts (multi-

interpretation) and logical in the sense that it becomes a system of norms the

other norms that do not clash or conflict norm. Conflict norms arising from the

uncertainty of rules can be shaped konsestasi norms, reduction or distortion norm

norm. Legal certainty pointed to a clear law enforcement, remains, consistently

and consequently the implementation of which can not be influenced by

circumstances subjective nature.

Legal certainty is yustisiabel protection against arbitrary action, which

means that a person will be able to obtain something that is expected in certain

circumstances. Society expects legal certainty, because of the lack of legal

certainty the public will be more orderly. Legal charge of creating legal certainty

cxviii
because it aims public order127, While Gustav Radbruch stated theory states legal

certainty is something that is made definitely have a dream or goal. 128

Order within the community will be realized, if sought certainty in

relationships between people in the community regularly, it is an absolute

requirement for an organization of life beyond the confines of the present moment.

That's why there are legal institutions, such as marriage, property rights and

contracts. Without the rule of law and public order are incarnated by her man can

develop the talents and abilities God has given him optimally within the

community where he lives129,

Legal certainty regarding Islam has formulated in the Quran surah Al-

Israa verse 15 and the Qur'an surat al-Maidah verse 95.

‫من ٱهتدى فإنما يهتدي لنفسه ومن ضل فإنما يضل عليها وَل تزر‬

51 ‫وازرة وزر أخرى وما كنا معذبين حتى نبعث رسوَل‬

This means:

"Whoever berbuatin accordance with the guidance

(of Allah), then indeed he did it for (safety) itself;

and whoever is misguided then indeed he lost to

127
Sudikno Mertokusumo, Know the Law: An Introduction, Liberty, Yogyakarta, 2002,
hlm.130.
128
Mohammed Erwin, Philosophy of Law: Reflections on the crisis of the law, King
Garfindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.123.
129
Mochtar Kusumaatmadja & Arief B. Sidharta, Introduction to Law, An Introduction to
the First Scope of Applicability of Legal Sciences, Alumni, Bandung, 2000, hlm.3.

cxix
(loss) himself. And a sinner can not bear the sins of

others, and we are not going to punish until We sent

a Messenger (Al-Israa verse 15)

‫يأيها ٱلذين ءامنوا َل تقتلوا ٱلصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا‬

‫فجزآء مثل ما قتل من ٱلنعم يحكم به ذوا عدل منكم هديا بلغ ٱلكعبة أو‬

‫كفرة طعام مسكين أو عدل ذلك صياما ليذوق وبال أمره عفا ٱَّلل عما‬

51 ‫سلف ومن عاد فينتقم ٱَّلل منه وٱَّلل عزيز ذو ٱنتقام‬

This means:

"O ye who believe, do not kill game, when you're ihram.

Whoever among you kill him on purpose, then the penalty is

substitute with balanced by prey animals are killed,

according to two people a fair judgment of you as-yad had

brought to the Kaaba or (penalties) to pay kaffarat by

feeding the poor or fasting balanced with foods that issued

it, so he felt bad consequences of his actions. Allah has

pardoned what is past. And whoever is back to do it, Allah

will torture him. Allah Almighty again have the (power to)

torture ". (Surah al-Maidah verse 95)

e. theory of Justice

cxx
According to Plato (427 BC-347 BC), justice will be achieved if the state

is led by philosophers (aristocrat), because if the state is led by the leader of

ingenious, clever and wise, it will be born a real justice. Plato considered the

country led by the philosopher, though without the law will create happiness for

the community with the realization of justice. Opposite applies if the country is not

led by philosophers, then justice can not be realized without the law. According to

Plato legally required in the state of the state is led by philosophers, to bring

justice in conditions of injustice130,

Other views emerged from a student of Plato, which Aristotle in his ethics

nichomachean. Aristotle argued that justice as entitlements persamaanrataan,

and proclaimed the right of equality in accordance with the right proportion. The

similarity of human rights is seen as a unit or the same container, and therefore

there is equality before the law like all citizens.

Similarity proportional giving everyone what they are entitled in

accordance with the abilities and achievements that have been made. Justice

according to Aristotle's view is divided into two kinds of justice, distributive

justice and fairness kommulatif. The second definition is a variant of the principle

of equality, which is generally seen as the core of justice131,

130
Marwan Effendy, Legal Theory, Subject Matter Doctoral Program of Law, Faculty of
Law, University of Airlangga, Surabaya, 2014, hlm.22.
131
, B.Arief Sidharta, translation pengembanan Meuwissen of Law, Jurisprudence, Legal
Theory and Philosophy of Law, Refika Aditama, Bandung, 2007, p.

cxxi
Distributive justice is justice gives to each person according to the portion

according to their achievement. Distributive justice gives to each person ration

according to his services, he did not demand that everyone get the same part

number, not equality but proportionality. While justice kommulatif give as much

to everyone without distinction accomplishments, in this case related to the role of

the exchange of goods and services. Justice cumulative giving to everyone as

much by not considering the merits of individual132,

In the American hemisphere are John Rawls a philosopher in the 20th

century in his work A theory of justice, Political Liberalism and The law of

people, which gives effect to the discourse thinking big enough justice values.

John Rawls who have a perspective of "liberal-egalitarian of social

justice", argues that justice is the main virtue of the presence of social institutions

(social institutions). Virtues for the whole community can not be ruled out or sue

the sense of justice of any persons who have a sense of justice, especially the weak

people seeking justice.133

Positivistic have other pastures flow of justice, this flow figure is Hans

Kelsen. Hans Kelsen in his book, the general theory of law and state, argued that

the law as a social order that can be expressed only fair that can regulate human

actions in a satisfactory way so that they can find happiness in it134,

132
, Appeldorn, Introduction to Law, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm.12.
133
.Marwan Effendi, Op Cit., Hlm.26.
134
Ibid., Hlm.7.

cxxii
Hans Kelsen also admitted that absolute justice comes from nature, which

is born of the essence of an object or human nature, of human reason or will of

God. Thought is essential as the so-called doctrine of natural law. The doctrine of

natural law considers that there is an order of human relations which differ from

positive law, higher and are fully valid and fair, because it comes from nature,

from human reason or will of God. Hans Kelsen menganutaliran positivism, also

acknowledging the truth of natural law. So thoughts on the concept of justice

would lead to dualism between positive law and natural law.135

Dualism between positive law and natural law makes the characteristics of

a natural law similar to the metaphysical dualism of the world of reality and the

world a model of Plato. The core of the philosophy of this plateau is doktrinya

about the world of ideas, which contain deep characteristics. The world is divided

into two distinct areas: the first is the visible world can be captured through the

senses is called reality; The second world of ideas that do not appear.

Hans Kelsen put forward two concepts of justice, namely, justice and

peace. Justice sourced from irrational ideals. Justice rationalized through a

knowledge that can bewujud interests that ultimately lead to a conflict of interest.

The settlement of a conflict of interest can be achieved through an order which

satisfy one interest at the expense of others or by trying mecapai a compromise

towards a peace for all interests. Then the concept of justice and legality. To

enforce on a solid basis of a certain social order, according to Hans Kelsen

135
Ibid., Hlm.14.

cxxiii
notion of "Justice" bermaknakan legality. A general rule is "fair", if he really

applied.136, The concept of fairness and legality of this is implemented in the

national laws of Indonesia, who interpret that national law may be used as a legal

umbrella (umbrella act) for the rules of national law other according to the level

and degree and laws that have holding capacity of the material are loaded (the

substance) in such regulations.

f. Benefit theory

Etymologically, the word "benefit" is derived from the word "benefit",

which, according to Indonesian Dictionary, means avail or order. Society expects

benefits in the implementation or enforcement. law is for humans, then the

implementation of the law or law enforcement must provide benefits or usefulness

to society. Do not let it be implemented or enforced because of legal concerns

raised in the community137,

Basically the rule of law that brings benefit or usefulness of the law is to

create order and peace in the society because the law is the artery of the life of a

nation to achieve the ideals of a just and prosperous society. 138

136
Ibid., Hlm.16.
137
Artidjo Alkostar, "World paradigmatic phenomena Courts in Indonesia (Critical Review
Of Consumer Dispute Verdict)", Journal of Law Ius Quia Iustum, Vol. 26 No. 11 (May 2004), FH
UII, Yogyakarta, 2004, hlm.130-131.
138
Theory usefulness (usefulness) law could be seen as a community fixture to create order
and regularity. Therefore, it works by giving clues about the behavior and the form of norms (rules
of law. See Satjipto Rahardjo, Cet Legal Studies. All 3, Alumni, Bandung, 1991, hlm.13.

cxxiv
Sudikno Mertokusumo argues, that the public would benefit in the

implementation or enforcement. The law is for humans, then the implementation

of the law or law enforcement must provide benefits or usefulness to society. Do

not let it be implemented or enforced as the law will actually arise anxiety in the

community itself139,

Meanwhile, according to Jeremy Betham purpose of the law is to provide

benefit and happiness as much to citizens based on a social philosophy which

reveals that every citizen has longed for happiness, and the law is one

tool.140According to the nature of happiness is a pleasure and a life free from

misery. Bentham states that "The aim of law is The Greatest Happines for the

greatest number"141,

Jeremy Bentham argued, is the core philosophy of nature has placed

mankind under the power, pleasure and distress. Pleasure and distress caused us

to have ideas, all opinions and all conditions in our lives affect. Anyone wishing

to free themselves from the rule, not knowing what he said. The goal is only to

seek pleasure and avoid distress, feelings are always there and unbearable is

139
Sudikno Mertokusumo, op.cit., Hlm.161.
140
Darji Darmodihardjo in Hyronimus Rhiti, Philosophy of Law; Full Edition (From
Classical to Postmoderenisme), Atma Jaya University Press, Yogyakarta, 2011, hlm.159.
141
HR Otje Salman, S, Philosophy of Law (Development & Dynamics Problems), Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm.44.

cxxv
supposed to be the subject of study of moralists and legislators. The principle of

utility put all things under the power of these two things142,

John Stuar Mill agreed with the opinion of Jeremy Bentham, which states

that an act should aim to reach the largest possible happiness. Justice must be

based on human instinct to reject and reply to the damage suffered, either by

themselves or by anyone who is getting sympathy from us, so that the nature of

justice includes all the moral requirements that are vital to the welfare of

mankind143, An action let devoted to the pursuit of happiness, rather an act is

wrong if it produces something that is the opposite of happiness, standards of

fairness should be based on its usefulness, but that the origins of consciousness of

justice is not found on usability, but on two things: the stimulus to defend

themselves and sympathy.

According to John Stuar Mill, justice rooted in human instinct to reject

and reply to the damage suffered, either by themselves or by anyone who gets

sympathy from us. A sense of justice will rise against damage, suffering, not only

on the basis of individual interests, but more than that up to others that we

identify with ourselves, so that the nature of justice includes all the moral

requirements are very essential for the wellbeing of mankind144,

142
W. Friedman, Theory and Philosophy of Law; Philosophical idealism and the Problem of
Justice, translated from the original book by Muhammad Arifin Legal Theory, edited by Nasir
Ahmad Budiman and Saqib Suleman, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm.112.
143
HR Otje Salman, S, Op Cit., P. 44.
144
Bodenheimer in Satjipto Rahardjo, Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.277.

cxxvi
Slight differences between the concept of justice John Stuar Mill with

Jeremy Bentham, namely: First, that pleasure and happiness should be measured

quantitatively. Quality happiness must be considered as well, because there is a

higher pleasure and there is a low quality; Second, that the happiness of all the

people involved in an incident, not the happiness of one person who acted as the

main actors, the happiness of the people should not be considered more important

than the happiness of others145,

John Stuar Mill also connect justice with a common purpose that has a

different approach with Jeremy Bentham. The pressure to change that is above

individual interests to the pressure on the public interest and the fact is that the

duty is better than the right, or seek its own interest or pleasure that underlies the

concept of law. The contradiction between its own interests and common interests

dispensed in theory by pitting the intellectual instinct with non-intellectual

instincts in human nature. Concern for public interest refers to the intellectual

instinct, while the exaltation of his own interests point to the non-intellectual

instinct to the same conclusion and amazing in negating the dualism between

individual interests and social interests and feelings of fairness146,

Exposure to the theory of the legal system and several theories exist in it

as the theory of legal certainty, equity theory, and the theory of the benefit will be

used researchers as materials to analyze three problems in this dissertation,

145
Muh. Erwin, Philosophy of Law; Critical Reflection Against the Law, Eagle Press,
Jakarta, 2011, hlm.183-184.
146
W. Friedman, op cit, p. 121

cxxvii
namely: first, Why Penyengat in Tanjungpinang Not Designated as World

Heritage; second, Any weakness determination Biting Island in Tanjungpinang as

World Heritage; third, how the law Reconstruction of the determination Biting

Island in Tanjungpinang as World Heritage. Some of these theories are very in

sync to be used as the third test of the issues raised by the researchers in this

dissertation.

7. Good Governance Theory As Applied Theory

Governance is a term used to replace the government term, which refers to

the use of political authority, economy and administration in managing the affairs

of state147,

According Kooiman, governance is a process of social and political

interaction between government and society in various bidangyang relating to the

public interest and government intervention on these interests. Governance is the

mechanisms, processes and institutions through citizens articulate their interests,

mediate their differences, and to use their legal rights and obligations.

Governance is the process of service agencies, manage public resources and

guarantee the human rights reality. Good governance has the appropriate nature

that is free from abuse and corruption as well as the recognition of the rights

based on the rule of law148,

147
Setyawan, Darma, Indonesia Government Management, Djambatan, Jakarta, in 2004,
hlm.223.
148
Ibid., Hlm.224.

cxxviii
The term good governance comes from Europe, Latin, namely gubernare

absorbed into the English language becomes govern, which means steer (steer,

control), direct (direct), or rule (govern).

Good governance is a concept-oriented approach to the development of

the public sector by the government is good.149according to the World Bank, good

governance is a concept in the organization of management of the construction of

a solid and responsible in line with the democratic and efficient market,

avoidance of wrong allocations and investments are scarce and the prevention of

corruption both politically and administratively run budget discipline and the

creation of a legal and political framework for the growth of entrepreneurial

activity. The World Bank also equate good governance as synergistic and

constructive relations between countries, sectors, and communities150,

Implementation of good governance to the government is a citizen effort to

make sure that the mandate, powers, rights and obligations are met as well.

Objectives and expectations of good governance is the creation of a government

that is proportionate, which is managed by people who have a professional

qualification, namely that those who have the knowledge, which is able to transfer

knowledge and knowledge into skills as well as in the implementation based on

ethics and morality ,

149
Mardiasmo, Autonomy and Local Financial Management, Andy Offset, Jakarta, in 1998,
hlm.18.
150
Effendi, Sofian, Building Human Dignity: The Role of Social Sciences in Development,
Press UGM, Yogyakarta, 1996, hlm.47.

cxxix
The theory of good governance, will be used by researchers as applied

theory. The theory of good governance is also used to analyze and address the

three issues in this dissertation.

8. Dignity Justice Theory As Applied Theory

Justice is an ideal condition morally truth about something, either in

relation to objects or people. According to most theories, justice has a great

level of interest. John Rawls, the philosopher United States is considered one

of the leading political philosopher of the 20th century, states that "Justice is

the excess (virtue) of the first social institutions, as well as the truth of the

system of thought". But, according to most theories as well, not to mention

justice is achieved: "We do not live in a world that is fair". Most people

believe that injustice must be confronted and punished, and many social and

political movements around the world who struggle for justice. However, the

large number and variety theory of justice gives the idea that it is not clear

what is required of justice and the reality of injustice, because the definition of

what justice is itself unclear. Justice essence is to put everything in place.

Social justice is a concept that makes philosophers fascinated the

young philosopher since Plato denied, Thrasymachus, as he states that justice

is whatever is determined by the strongest. In The Republic, Plato inaugurates

the reason that an ideal state will lean on four virtues: wisdom, courage,

abstinence (or concerns), and justice. The addition of the word social is to

distinguish social justice to the concept of justice in law.

cxxx
Social justice is also one of the points included in Pancasila. 45 grains

of Pancasila as contained in P4 (Guidelines The Pancasila) on MPR Decree

No. I / MPR / 2003. Social justice for the whole people of Indonesia are as

follows151:

l) develop noble deeds, which reflect the attitude and atmosphere of

kinship and mutual cooperation;

m) develop fair attitude toward others;

n) maintaining a balance between rights and obligations;

o) respecting the rights of others;

p) Like giving aid to others to provide for themselves;

q) do not use the property for businesses exploitative towards others;

r) do not use the property for things that are wasteful and lavish lifestyle;

s) do not use proprietary to conflict with or detrimental to the public

interest;

t) hardworking;

u) Like appreciate the work of others that are beneficial to the progress

and prosperity;

v) like doing activities in order to achieve equitable progress and social

justice.

Dignified justice is a theory of law or what is known in the English

literature to the concept of legal theory, jurisprudence or the philosophy of law

and knowledge of the substantive law of a legal system. The scope of the theory

151
Ibid.

cxxxi
of justice with dignity not only the disclosure of the abstract dimension of the

rules and principles of applicable law. Beyond that, the theory of justice too

dignified uncover all of the rules and principles of law that applies in the legal

system, in this case the legal system is positively Indonesian legal system or

legal system based on Pancasila. That is why, Justice Dignity as a legal theory

based on Pancasila152,

The theory of justice with dignity not only paying attention to the legal

foundation layer that appears on the surface of a legal system. Dignified

justice theory also trying to discover and reveal the legal foundation layer

under the surface of the legal foundation of the legal system that looks it. The

theory of justice with dignity, in accordance with the characteristics of the old

philosophical beneath the surface of the new foundation of the legal system

that looks at the moment, as well as to break down the runway of the colonial.

The foundations that have long existed in the soul of the nation by dignified

justice theory is seen as a bottom-line of a legal system where the entire

building was placed and functioning system pursue its goal of justice.

Justice it has another name, namely social justice as stated by Ahmad

Fadlil Sumadi, that153Social justice is another view of justice. Furthermore

Fadlil Ahmad Sumadi explained that154the substance of justice should be

formulated at three levels, namely the First; at the level of outcome. Second; at

152
Teguh Prasetyo, in 2015, Dignity Justice, Legal Theory Perspective, Nusa Media,
Bandung, p. 43
153
Ahmad Fadlil Sumadi, 2012, Law and Social Justice, Peruliahan Materials Science
Doctoral Program Law Sultan Agung Islamic University, Without Publishers, Jakarta, p. 5.
154
Ibid., P. 5-6.

cxxxii
the level of the procedure. Third; at the system level. At the level of outcome,

fairness associated with the distribution (distributive) and exchange

(comutative), so that justice in this case relates to an object in practice, among

others, may be objects or services.

Dignity Justice Theory postulates that departs from Pancasila as

Volksgeist, or norm funfamental countries (staatsfundamentalnorm) and legal

ideals (rechtsidee) is the guiding star in the establishment, implementation and

enforcement of laws in Indonesia155, Therefore, the establishment and

enforcement in Indonesia should be based on the values embodied in the

principles of Pancasila. One of these values is the principle of justice as

contained in the second, the Just and Civilized Humanity. In this second

principle contained some human values, among others:

(4) The recognition of the dignity of human beings with all their human

rights and compulsory;

(5) Fair treatment of fellow human beings, themselves, the surrounding

nature and against God;

(6) Mankind as a civilized and cultured who have creativity, taste,

intention and belief156,

Thus, the practice of the precepts Just and Civilized Humanity include an

increase in the dignity of human rights and duties of citizens, the elimination of

155
Teguh Prasetyo and Abdul Halim Barakatullah, 2012, Philosophy, Theory and Legal
Studies: Thoughts Towards Equitable and dignified, King Grafindo Persada, Jakarta, p. 384.
156
Mochtar Kusumaatmadja, Cita Stabilization Law and National Law Principles in the
Present and Future to Come, the National Law Magazine, Number 1, 1995, the National Law
Development Agency Department of Justice, Jakarta, p. 97.

cxxxiii
colonialism, misery and injustice from the earth 157, In order to meet the nature

of the fair, Bung Hatta was quoted Latif, warned "that must be perfected in

Pancasila is the place of humanity as a servant of God, each other should feel

brothers". Hence also, please just and civilized humanity directly located

under the first principle. This construction confirms that justice required by

Pancasila is a dignified justice, namely the justice that refers to the values of

divine and human beings put God has the right and fundamental obligation

that must be upheld.

Dignified justice theory, is a result of the struggle of philosophy which

carried out continuously. The search for a source where this theory began

conceived discovered that the theory of justice dignity is a legal theory that is

built on the understanding that dive into the mind of the theories and

paradigms of law raised by the experts to be traced and investigated from

different political and social conditions of the communities in which experts

think that life, so that it can be determined paradigm proposed by the experts

think is still relevant or do not understand the law at the moment with the

conditions and the social structure that is very different social backgrounds

where the paradigm proposed by the expert158,

Noting the basic postulates of filing the theory as presented by the

originator of the theory of justice dignified above, it can be seen that the theory

of justice berartabat is a tool or instrument philosophical created intentionally,

157
Teguh Prasetyo and Abdul Halim Barakatullah, op.cit, p. 375.
158
Teguh Prasetyo, Philosophy, Theory and Jurisprudence, 2012, Op. Cit., P. 138.

cxxxiv
the result of the thought process to find the truth very long in order to perform

the analysis and justification of symptoms law. In the context of this study, the

theory of justice with dignity is the result of continuous thought in explaining

the principle of consideration of the judge to dispute the parties in the

Indonesian legal system with value-based justice.

Postulates above quote suggests that the theory of justice with dignity is

the scientific reaction to give justification to the provisions of the law, or do an

understanding of the provisions of the rules and principles of applicable law

contextually. The need to make and use the theory in accordance with the

social background of the initiators is very important.

Because, according to Teguh Prasetyo, Indonesian national legal system

established and enforced should is the Indonesian legal system itself, which is

a system that is built from the discovery process, as was done through the

research, development, adaptation, and even a compromise of various existing

systems. Linkages to it, within the context of the theory of justice with dignity,

the law is synonymous with justice (justice) as a system, in this case the

Indonesian legal system should at least come from Indonesia itself. Earth

Indonesia phraseology used in the theory of justice is actually an analogy

dignity of Indonesian people's own mind. Therefore, other postulates that in the

dignity of justice theory is that the Indonesian legal system, 159 should reflect

the spirit of the nation (Volkgeist) Indonesia.

159
Bold by the author in order to contextualise grandtheory referenced and used for
analysis in this study.

cxxxv
The next Postulate proposed dignified justice theory is that as the object

of development and reform, the law, which is synonymous with justice160it is

seen as a system. In this case national law should be regarded as a system161,

Because:

a. Consists of a number of elements or components or functions /

variables that influence each other and linked to one another by one or

several principles.

b. The main principle that ties all the elements or components of national

law is Pancasila and the Constitution of the Republic of Indonesia

Year 1945, in addition to a number of kaedah and other legal

principles, which apply universally and locally, or in and for certain

legal discipline162,

The system is derived from the Greek "Systema", who has an idea: (a) a

whole composed of the banyakbagian (whole compounded of severalpart)163;

(B) the relationship taking place between units or components on a regular

basis (an organized, functioning relationship among unites or components)164,

160
The establishment of that law was essentially a justice itself, in addition to those
known in the development of the perspective of the theory of justice with dignity, can also be
compared with the philosophical works such as Raymond Wacks 2006, Philosophy of Law A Very
Short Introduction, Oxford University Press, Oxford, pp., 58.
161
Teguh Prasetyo, Law and Legal System, 2013, Op. Cit., P. 82.
162
Ibid.,referring, Wicipto Setiadi, 2012, The Importance of Legal Institutions in
Indonesia in Merespos Social Change, in Dialectic Indonesian Legal System Reform, Judicial
Commission of Indonesia, Jakarta, p. 66.
163
ibid,
164
Ibid.

cxxxvi
Broadly speaking, dignified justice system in theory is one of the

important postulate the theory in question. The system is referred to in this

theory refers to his form of abstract and conceptual, and therefore is called

descriptive. A description of the system arrangement is essentially already

stated above, starting from the Pancasila, and then followed with a norm of

fundamental form of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945

along with Decree-MPR that mengandemen Constitution of the Republic of

Indonesia Year 1945 original.

In the Islamic perspective the principle of justice can be explained as

follows; Justice comes from the word 'fair', which, when viewed from the origin

he is a loan word from Arabic, al-'adl, which means "middle" or "mid". Said

al-'adl synonym inshaf, which can mean "conscious", ie consciously taking the

decision / right attitude165, Said al-'adl opposite of the unjust (al-zhulm) and

evil (al-jur)166, Said al-'adl also means the expression of the cases (actions) are

midway between the two sides of the transgressors (al-ifrath).

The terminology made by experts of Islamic law, al-'adl within the

meaning of the subject (person) to do justice, means a person who avoid big

sin and do not continue sinning small, but dominant true deeds, and avoid

actions that lower167, In another version of the word al-'adl mean al-is, ie

standing upright and consistent, which is inclined towards the truth.

165
Nurcholish Madjid, 1992, Islamic Doctrine and Civilization: A Critical study of the
problem of the Faith, Humanity, and modernity, Paramadina Wakaf Foundation, Jakarta, p. 512
166
Al-Munjid fi al-lughah wa al-'Alam, Beirut, p. 491
167
Ahmad Ali MD, 2012, Justice For The Poor Law, Journal of Law and Justice pulpit,
Issue No. 75, p. 132
cxxxvii
Definition of fair law is an expression of consistency in the way the truth

by means stay away from anything that is forbidden in the religion. 168 So

literally, the meaning of justice in classical Arabic is a combination of moral

and social values denoting good (fairness), balance (balance), simplicity

(Temperance) and honesty (straightforwardness). 169

Justice in Islam is equal to a sacred belief, an obligation (taklif) charged

to humans to be implemented in earnest and honest. Hence, justice is the

quality of moral justice and mercy in giving to every man on his right. This is

described in the Qur'an, the word "mandate" as the plural of "trustworthy",

consisting of all forms of trust that must be carried by a person, where the

main thing is justice, and the human authority should not be judged according

to their behavior but it should be strictly in accordance with the word of

God170,

Justice in Islam comes from the heart of the application of the law, and

not an autonomous theory beyond the laws of Sharia.171 Universal justice in

Islam is not temporary and subject to change., Which changes and dynamics

appropriate to the circumstances (context) of space and time are the laws that

are branches (furu '), because the laws of this kind are not used as a

168
Al-Jurjan 2003, al-Ta'rifat, Dar al Pole al Ilmiyah, Beirut, p. 150
169
Majid Khadduri, 1984, The Islamic Conception of Justice, The Johns Hopkins
University, USA, p. 8.
170
Muhammad Muslehudin, 1985, Philoshophy of Islamic Law and The Orientalist; A
Comparative Study of Islamic Legal System, Markazi Makatab Islami, Delhi, p. 101-102
171
Wahbah al Zuhaili 2009, al-Fiqh wa Adillatuhu Islam, Dar al-Fikr, the Section IX,
Beirut, p. 411

cxxxviii
destination, because that made the purpose of these laws is the realization of

justice syar'i, and there is no reason ijtihad value if not a valid reason in

Personality ', the opinion / decision purely legal, protected from lust (interest)

and the lust of denying individual goal Personality 'that is universal in

bringing about peace and kindness172,

Justice is the highest ideals of the law, but justice is not on legal texts

alone, but the man who received the mandate as law enforcement, the police,

public prosecutors, lawyers, and judges. Therefore, the task of the judge is to

decide between parties who do dzalim of the act of taking the rights of others

unlawfully, and beyond its limits, and to help those who persecuted and

delivered right to every eligible173, That legal justice must be upheld, but the

legal justice it becomes expensive because no one can afford it, but justice will

be cheap when law enforcement officials are no longer being honest and

trustworthy in their profession174,

F. Dissertation Conceptual Framework

In the Dutch language is called re-Constructie reconstruction which

means coaching / new construction, the repetition of an event. Meaning

reconstruction according to the English language is a reconstruction of the

word "re" meaning "about" or "reset" and the word "construction" which

172
Ibid.,h. 412
173
Wahbah al Zuhaili, op.cit., P. 402
174
Al Jurjawi 2007, Hikmat al tasyri 'wa Falsafatuhu, the Section II, Beiru, t: Dar al-Fikr,
p. 102-110

cxxxix
means "manufacture" or "building" or "interpretation" or "arrangement" or

"form" or "building" ,

Reconstruction defined herein are "rebuilding" or "reshaping" or

"recast" or "recast". The expected reconstruction is the rebuilding related to

the determination Biting Island as a World Heritage.

Cultural heritage can be saved in local legislation Tanjungpinang

through Regulation No. 10 of 2014 on Spatial Planning Tanjungpinang Year

2014-2034, the local government has set Penyengat in various states, namely

the arrangement:

a. Biting island as a cultural center;

b. Biting island as a cultural shopping center;

c. Biting island as feeder ports;

d. Biting island in the network of water resources;

e. Biting island as a protected area of culture;

f. Biting Island as a tourism area;

g. Biting Island as a strategic area of Tanjungpinang.

Tanjungpinang who have Biting Island Village District of

Tanjungpinang city, located on the western city of Tanjungpinang a distance

of about 1.5 km, and can be reached by pompong (powerboat) for 15 minutes.

As for the administrative borders with neighboring countries is as follows:

cxl
North : Village Senggaran;

South side : Village Pangkil;

East : Village Tanjungpinang Tanjungpinang City and West;

West Side : Village Senggaran;

Biting island has an area of land, the beach and the sea of 240

hectares. Only a land area of 3.5 km² which is divided into six villages

namely Kampung Jambat, City Balik Kampung, Kampung Datuk, Kampung

Baru, Kampung Kampung Bulang and Ladi. As for the division of territory in

the pillars of the neighborhood residents and consists of 5 RW and 11 RT.

Pursuant to Article 1 paragraph 1 of Law 11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage, is a Heritage is immaterial cultural heritage in the form of

Objects of Cultural Heritage Buildings, Structures Heritage, Heritage Site,

and Region Heritage on land and / or in the presence of water that needs to

be preserved because of significance for the history, science, education,

religion and / or culture through setting process.175

Preservation of Cultural Heritage in Article 2 of Law No.11 of 2010

on Heritage using some of the principles include: Pancasila; Unity in

Diversity; kenusantaraan; justice; order and legal certainty; expediency;

sustainability; participation; and transparency and accountability.176 With

some of these principles is expected to preservation of the Cultural Heritage

175
See Article 1 paragraph 1 of Law 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.
176
See Article 2 of Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.

cxli
in Indonesia can be done well and in accordance with the purpose of the state

is the people's welfare.

The purpose of the preservation of the Cultural Heritage listed in

Article 3 of Law 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage, among others:

to preserve the nation's cultural heritage and the heritage of mankind;

improve the dignity of the nation through the Cultural Heritage;

strengthening the national identity; improve the welfare of the people; and

promote the cultural heritage of the nation to the international community 177,

Heritage region can only be owned and / or controlled by the state,

except for generations owned by indigenous and tribal peoples, this is in

accordance with Article 13 of Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural

Heritage.178 Determination of the status of Cultural Heritage by the Regent /

Mayor later than 30 after the recommendation of the Expert Team Heritage

stated object, building, structure, location, and / or units of geographical

space that is listed worthy as the Heritage, in accordance with Article 32

paragraph (1) Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.179

District / city governments present the results of the determination to the

provincial government and subsequently forwarded to the Central

Government.

177
See Article 3 of Law 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.
178
See Article 13 of Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.
179
See Article 32 paragraph (1) of Act 11 of 2010 Concerning the Cultural Heritage.

cxlii
World Heritage (World heritage) is the terminology used by

UNESCO in giving the status of the object, structure, area, and / or sites that

have historical value. Heritage has a lot of sense, namely heritage According

to UNESCO as a heritage (cultural) past, what is currently undertaken

humans, and what is passed on to future generations. Heritage can be

considered as something that should have been passed on from generation to

generation, generally because connoted has a value that should be

maintained or preserved its existence. In the English-Indonesian dictionary

arrangement of John M Echols and Hassan Shadily, heritage or heirloom

heritage means. While in the Oxford dictionary, written as a historical

heritage, traditions, and values that are owned by a nation or state for many

years and considered as an important part of their character. In the book

Heritage: Management, Interpretation, Identity, Peter Howard gives the

meaning of heritage as everything you want to be saved, including the

cultural and natural materials. During this cultural heritage is more aimed at

publicly cultural heritage, such as the various objects stored in the museum.

Referring to the Charter of the Indonesian Heritage Conservation Ciloto

declared on December 13, 2003, agreed as heirloom heritage. During this

cultural heritage is more aimed at publicly cultural heritage, such as the

various objects stored in the museum. Referring to the Charter of the

Indonesian Heritage Conservation Ciloto declared on December 13, 2003,

agreed as heirloom heritage. During this cultural heritage is more aimed at

publicly cultural heritage, such as the various objects stored in the museum.

cxliii
Referring to the Charter of the Indonesian Heritage Conservation Ciloto

declared on December 13, 2003, agreed as heirloom heritage.

Heritage (Heritage) in Indonesia include Natural Heritage, Cultural

Heritage, and Heritage Saujana. Natural heritage is the construct of nature.

Cultural heritage is the result of creativity, taste, intention, and works that

spring from over 500 ethnic groups in the homeland of Indonesia,

individually, as the unity of Indonesia, and in interactions with other cultures

throughout history. Cultural heritage includes intangible heritage (tangible)

and intangible heritage (intangible).

G. Framework Dissertation

Flow think in this study concerning the establishment of Biting

Island in Tanjungpinang as World Heritage by the concept of a state of law,

the Constitution, the Act and the implementing rules. This study will examine

the establishment reconstruction Biting Island in Tanjungpinang as World

Heritage in the implementation of Law No.11 of 2010 Concerning the

Cultural Heritage.

cxliv
1945

Article 32 paragraph (1) and Article 33 paragraph (6)

Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945

Law No.11 of 2010 Concerning the Cultural


Heritage.

normative
Theoretical basis: Juridical:
1. Theory of State Law (Grand Theory); 1. Library Studies;
2. Legal System Theory (Midle Theory); 2. Documentation;
3. Theory of Good Governance (Applied 3. Interview;
Theory) 5.
Dignity Justice Theory (Applied Theory) sociological
Juridical:
2. questionnaire;

construction determination Biting Island the weakness of the construction


in Tanjungpinang as World Heritage determination Biting Island in
Tanjungpinang as World Heritage

Legal reconstruction of the determination Biting Island in


Tanjungpinang as World Heritage

Knowing the determination of construction in the city of Tanjungpinang Biting Island as a World
Heritage and know the weaknesses determination Biting Island in Tanjungpinang as World
Heritage

Realization of Legal determination reconstruction Biting Island in the city of


Tanjungpinang as World Heritage

cxlv
H. Research methods

The research method that I use in writing this dissertation is a

qualitative research method. In this research also refers to a comparison

method that aims to do right, in this research begins with certain events of

sutau interviews, record or document and compare it to other events in the

same data set or in the other events in a data set or in aggregate Additional

data180,

In this study using sociological juridical legal research methods.

Examples of legal issues (Legal Issues) which can be raised in sociological

research, it can be seen that the scope of the law is very broad social

problems181,

This study uses primary legal materials and secondary law, primary

legal materials constitute legal material which shall be obtained from direct

interviews with stakeholders related to the object of research.182While the

secondary law is a law material consisting of textbooks (textbooks) written by

lawyers who have influence (de herseende leer), legal journals,

jurisprudence, and the results of the symposium to-date related to the topic of

research183,

180
Merriam, S. (1998). Qualitative Research and Case Study Applications in Education. Revised
and Expanded from: Case Study Research in Education. Jossey-Bass. San Francisco. h. 20
181
Johnny Ibrahim, Op Cit., P. 284.
182
ibid., H. 295.
183
Ibid., P. 296.

cxlvi
Conducted research paradigm is the paradigm of constructivism

(interpretive). Constructivism is a paradigm that is trying to see that the truth

of a legal reality is relative, apply appropriate specific context considered

relevant by the social actors. Legal reality is the reality of diverse compound,

based on individual social experience as it is a mental construct of man, so

that research conducted emphasizes empathy and dialectical interaction

between researcher and researched to reconstruct the legal reality through

qualitative methods.

I. Results and Discussion

1. Biting island in Tanjungpinang Not Set For World Heritage

Tanjungpinang City Government fixing Biting Island as a strategic

area of the city, tourism, cultural protection, feeder ports, a cultural

center, and the shopping center culture. Such determination is regulated

through Tanjungpinang City Regulation No. 10 of 2014 on Spatial

Planning Tanjungpinang Year 2014- 2034. Previously, through the Riau

Islands Governor Regulation No. 11/2006 established the business Biting

Island Cultural District, Riau Islands Province. The policy would require

the support of scientific research. By paying attention to these

circumstances, research is concerned with the problem of determining the

concept of zoning at each site on the island Biting as one step in the

preservation of cultural heritage protection.

Other measures undertaken for Biting Island as a National

Heritage Area that in 2018 some of the buildings and structures on the

cxlvii
island Biting has been designated as objects of cultural heritage through

the Ministry of Education Decree 112 / M / 2018. However, following the

mandate of Law No. 11 Year 2010 on Heritage needed repricing in

accordance with the specified criteria surrounding the area is not a

building or structure. If it has been set as the region and will be managed,

the necessary delimitation of space in each website. Research on zoning

concept begins with the excavation of the island community attitudes

towards the preservation of cultural heritage Biting as they also have the

right to cultural heritage preservation decisions.

In 2019, the committee in charge of the nomination list of

UNESCO World Heritage Sites begin deliberations for 11 days in the city

of Baku, Azerbaijan184, The workshops were conducted to determine

which destination will be entered into the list of UNESCO World Heritage

Site. Currently there are 1,092 sites from 167 countries have been

included in the list. Successful destinations included in the UNESCO

World Heritage Site will be known. Not only that, the destination will also

get the protection of UNESCO and arguably align with other famous

destinations in the world. Since it was established in 1978 ago, the list of

UNESCO World Heritage Sites include a variety of well-known

destinations such as Yellowstone National Park in the United States, the

184
Sri Anindiati Nursastri, 2019 "Cities in Indonesia Sign Nomination UNESCO World
Heritage Site in 2019". .com compass. PT. compass Cyber Media.

cxlviii
Taj Mahal in India, Petra in Jordan, and the Galapagos Islands in

Ecuador.

Three categories in the nomination list in 2019, three different

categories in the nomination list. The first category is a natural site. The

second category is the cultural sites, and the third is a combination of

cultural and natural elements. Destinations which will be entered into the

UNESCO World Heritage Site has been through a lengthy evaluation of

experts in the field.

Among the 44 nominations destinations to the list of UNESCO

World Heritage Sites in 2019, one of which was derived from Indonesia.

Surely this is good news for the people of Indonesia. The destination is

Sawahlunto located in the province of West Sumatra. According to

information on the official website of UNESCO, Sawahlunto is a coal

mining town of the oldest in Southeast Asia. Coal mining activities have

been carried out there in the 19th century when the Dutch East Indies in

power. Penambanan coal has changed Sawahlunto, from remote areas

became known to the outside world. Various infrastructure was built to

support mining activities, such as the rail network to the west coast of

Sumatra, to the Port Emmahaven known as Teluk Bayur. Coal mining

operations for two centuries has made Sawahlunto thick with the

interaction of eastern and western culture. It was seen from a unique city

layout. Until now, there are still some relics of history there.

cxlix
In 2015, the island in the Riau Islands Biting proposed ever since

1995 returns are not included in the list of this year's assessment.

Obscurity cause of the island in Tanjung Pinang Riau Islands that does

not make the valuation list. Is it because there is proposed again, or there

are other reasons. It is clear, none of the proposals from Indonesia which

entered the list of the committee vote this year. Of Southeast Asia there are

only a proposal from Thailand, Vietnam, and Singapore.

2. Weakness determination stinger island in Tanjungpinang city as a world

heritage.

Government policy by setting Biting Island as a National Heritage

Area on some of the buildings and structures on the island Kemendikbud

Biting through Decree No. 112 / M / 2018 on the island of Heritage Region

Biting As pringkat National Heritage Area has its own weaknesses. When

viewed from the mandate of Law No. 11 Year 2010 on Heritage will require

reestablishment in accordance with the specified criteria surrounding the one

area not per building or structure alone. If it has been set as the region and

will be managed, should be required spatial delimitation in each website.

As mandated by law heritage, if it has been determined a location to

sites or areas, the zoning should be immediately determined. In the zoning

necessary spatial delimitation and designation as the core zone, buffer zone,

development zone, and / or a support zone. The determination of the

cl
boundary line of each zone, based on consideration of archaeological,

geographical, anthropological, spatial, administrative, and others.

In making the sites or regional zoning should be made clear signposts

so as to minimize the threat of damage to the site and the heritage area. In

fact appears difficulties in the implementation of the zoning of the site.

Zoning site which has been implemented is more enabling applied to sites

that have large areas that can be divided into core zone, buffer zone,

development zone, and / or a support zone.

Obstacles appear on sites that are in a dense residential community

now or sites that have already development without considering the

preservation of the site. That's what happens on the island of Biting. The

application of such a zoning of the site will certainly be different to the usual.

Thus, the zoning to be implemented should be able to accommodate a wide

range of site conditions. Technical activities, especially zoning sites in the

conservation of cultural heritage structures and buildings, have been carried

out and based on the provisions, both academic and applicable laws.

In improving the cultural resources Biting Island area is actually the

local government has a strong interest. As evidenced by the issuance of

Tanjungpinang City Regulation No. 10 of 2014 on Spatial Planning

Tanjungpinang Year 2014-2034, the local government has set Penyengat in

various states, namely the arrangement:

a. Biting island as a cultural center;

cli
b. Biting island as a cultural shopping center;

c. Biting island as feeder ports;

d. Biting island in the network of water resources;

e. Biting island as a protected area of culture;

f. Biting Island as a tourism area;

g. Biting Island as a strategic area of Tanjungpinang.

Weakness indicator Biting As the World Heritage Island as following:

1. Or policy coordination between central and local government.

2. Biting Island community still fragmented - to pursue their personal

interests box.

3. Making less serious in handling Biting Island as World Heritage.

4. The absence of regulation "Management of Cultural Tourism

Development in Penyengat

5. Still lack of regulations governing the national cultural heritage

Region (KCN).

3. Reconstruction Law Against the Establishment of the island Biting On

Tanjungpinang As Justice Value-Based World Heritage

Legislation referred to as the rules, norms and norms have two sides

that can not be separated. The first contains the ideas and ideals. Second, the

legal function (used) as a tool for law mncapai ideals. associated with the

clii
ideals of the State of Indonesia, based on the text of the opening 1945 can be

seen that the goals or purpose of establishing the unitary Republic of

Indonesia has internal and external dimensions.

Internal dimensions, referring to the protection of the entire

Indonesian nation and the entire Indonesian blood was spilled and to

promote the general welfare, to educate the nation's life. External

dimensions, applying world order based on freedom, lasting peace and social

justice.

These two dimensions underlying the Indonesian independence in

1945 were established based on the understanding of popular sovereignty

based on the values of Pancasila. This is what distinguishes it as the hallmark

of the Indonesian state ideology with another ideology, whether socialist or

liberal.

Reconstruction of the Law on Establishment of the island Biting On

Tanjungpinang As a World Heritage City Value-Based Justice can not be

separated from good governance and dignified standard of justice for the

world heritage island stinger is a legacy object that has existed since the days

of the ancestors of the Indonesian nation. World Heritage or World Heritage

is part of the soul of the nation and by the theory of justice dignified Bottom-

line is seen as a basic foundation of the nation's tribute terhadapan historical

heritage in addition to creating justice, prosperity based on Pancasila in

accordance with the precepts Into the 2nd and 4th principle of Pancasila.

cliii
J. CLOSING

1. Conclusions

1.1 Biting island city of Tanjungpinang not designated as a world heritage

because: a) There dieksplorasinya stinger island as the downtown

government in Riau Lingga empire famous in Singapore (Singapore

Malay), Malay, Malaysia, the Malay Philippines, and some royal in

burma or Thailand; b) have not been determined as a stinger island

heritage city and a member of the heritage town c) Recognition of

countries around ever use the Malay language at the time either

remains non-physical evidence physical history is written; d) the Malay

language which is unifying Riau Lingga empire should be categorized

form types and symbol letters that is used to distinguish the traditional

Malay and modern wither; e) Riau Lingga empire governance need to

be excavated again whether to use the imperial system monarckhi or

absolute monarchy, or the imperial system centered kekhalifahaan

Ottoman empire. f) the seriousness of the Local Government and State

against the island stinger to revitalize the building so regrow important

values of Heritage: Exploiting the Cultural Heritage utilization for the

benefit of the welfare of the people. Adaptation as Heritage's efforts to

develop more activities in accordance with the needs of today by

making limited changes that will not result in deterioration of the value

of Reserve Budya. f) the seriousness of the Local Government and State

against the island stinger to revitalize the building so regrow important

cliv
values of Heritage: Exploiting the Cultural Heritage utilization for the

benefit of the welfare of the people. Adaptation as Heritage's efforts to

develop more activities in accordance with the needs of today by

making limited changes that will not result in deterioration of the value

of Reserve Budya. f) the seriousness of the Local Government and State

against the island stinger to revitalize the building so regrow important

values of Heritage: Exploiting the Cultural Heritage utilization for the

benefit of the welfare of the people. Adaptation as Heritage's efforts to

develop more activities in accordance with the needs of today by

making limited changes that will not result in deterioration of the value

of Reserve Budya.

1.2 Weakness determination stinger island in Tanjungpinang city as a

world heritage of research has weaknesses indicators as following; a)

According to Law No. 11 Year 2010 on Heritage Article 46 has not

parse the description therein in detail the criteria to become a world

heritage; b) policy or coordination between the central government and

regional government; c) Public Biting Island still fragmented - a box

with personal interests; d) Less serious in handling Making Biting As

the World Heritage Island; e) The absence of regulation "Management

of Cultural Tourism Development in the island Biting; f) There is still

lack of regulations governing the national cultural heritage Region

(KCN) in this case the Government Regulation (PP) of the Republic of

Indonesia.

clv
1.3 Reconstruction of the law on the determination of the island

stinger as world heritage by reconstructing article 1, article 3

and article 46, which reads in the reconstruction of the Act No.

11 Year 2010 with article 1 paragraph 26 of the Cultural

Heritage, it should be reconstructed to be: "Zoning is the

determination of the boundaries of spatial Site of Cultural and

Regional Cultural Property in accordance with the needs and

agreed both by a team of experts, Local Government, Central

Government and Society Land owners in defining the limits of

the zoning. ";. Article 3 Preservation of the Cultural Heritage

aims: a) Preserving National Cultural Heritage and the heritage

of mankind. b) Increase the dignity of the nation through cultural

heritage. c) Strengthening the Nation's personality. d)

Recommend a national heritage or cultural heritage of mankind

in Indonesia to become a World Heritage or Islamic World

Heritage e) Improve Social Welfare. f) promoting the cultural

heritage of the nation to the international community. Article 46:

The National Heritage Rating Defined as the National Heritage

Proposed by the Government to Become a World Cultural

Heritage in accordance with the UNESCO Convention for the

Protection of Cultural Heritage and Natural Heritage Site

National Rankings Preserved as National Preservation Can be

Proposed by the Government to Become World Cultural

clvi
Heritage in accordance with the UNESCO Convention for the

Protection of Cultural Heritage and World Natural Heritage.

Cultural Heritage in the form of objects (tangible cultural

herritage) that has an OUV Outstanding Universal Value.

Cultural Heritage in the form of intangible cultural herritage

which has an OUV Outstanding Universal Value. Later in Riau

Islands Provincial Regulation No. 7 of 2015 on Cultural

Heritage to make Biting Island Become World Heritage, namely

Article 3: Preservation and Management of Cultural Heritage

aims to: a) preserve the cultural heritage of the area and

heritage of mankind; b) maintaining local knowledge;

2. Suggestion

1. Preserving cultural heritage areas and heritage of mankind memberikat

strong impact on the community spirit of the cultural environment and

improve the dignity of the nation. In research by the author still need the

other researchers who focus on cultural anthropology and historical

excursions law stinger island to explore Riau Lingga royal power in

countries around the island so that the information needed Biting very

comprehensively. By conducting further research focusing on Riau

Lingga power and influence in the Malay peninsula and is therefore

divided the countries into a new state could not avoid the confession

never part Imperium Riau Lingga Kingdom victorious in his era.

clvii
2. In reality there are several problems that must be followed up.

a. Ownership one of the key issues that must be regulated and defined

in detail in the preservation of cultural heritage is the issue of

ownership and control of cultural heritage.

b. Establishment of Cultural Property Expert Team Tanjungpinang.

Tanjungpinang City Government should immediately set up a team

of experts of cultural heritage for all buildings, structures, sites and

areas in the island Biting can be defined.

c. Determination and Ratings Cultural Heritage Status. Biting

inappropriate Island categorized as a heritage area. Therefore,

having formed a team of experts of cultural heritage, can be

determined Biting island status and rank, that is; i) Asking the rating

status of the stipulation and four buildings that have been previously

designated as a cultural heritage in 2018 through the Ministry of

Education Decree 112 / M / 2018; ii) To submit all the objects,

buildings, and structures that have not been established into the

cultural heritage; iii) To submit the site where the establishment of

buildings and structures of cultural heritage as a site of cultural

heritage; and iv) Asking a bunch of sites of cultural heritage into a

cultural heritage area;

3. Dissertation Research Implications

1. Theoretical implications

clviii
Theoretically that the result of new discoveries from research obtained

regarding "The Reconstruction of the Law of Cultural Heritage as a World

Heritage Based on Justice Value (Determination of Penyengat Island in

Tanjung Pinang City)". "still requires a deeper study, the need for the

preparation of the by improving the material and the real sites that do not

meet the category World Heritage. The need for a team of experts and the

consistency of the role of government, the state and society in the handling

of stinging island to get the title of World Heritage or Islamic World

Heritage either issued by UNESCO or ICESCO.

2. implications paradigmatic

It needs a new paradigm shift towards the nomination, addressed

to UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultur

Organization)the requirements are so complex and need long stage.

Therefore, to obtain the title of world heritage not only of UNESCO who

can issue a certificate acknowledged that, but there are Islamic institution

under the World Organization that ISESCO (Islamic Educational,

Scientific and Culture Organization) which stands Since 1979, based in

Kingdom Of Marocco. Indonesia became a member since 1986. If the

proposed and approved in the near future, it will be awarded the Islamic

World Heritage for the proposed cultural more likely an Islamic

civilization.

3. Practical implications

a. For the Government and the State

clix
The title of World Heritage or Islamic World Heritage is the predicate

of the pride of the region and also the state because the predicate is

successful label local government and managed to bring the area into

a well-known both nationally and internationally. With the title

memeberikan apart politically positive impact of tourism (Tranding

Icon) also make this source of foreign exchange to bring in both local

and foreign travelers.

b. Benefits for the community

Stinging island communities in addition to being part of the ecosystem

of the island tourism stinger in cape nut that would predicate or

Islamic World Heritage and World Heritage, the public will benefit by

offering a unique culinary souvenirs or traditional handicrafts are

sold. This will give the effect of the tip ends of revenue going to the

welfare of society.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan Disertasi dengan judul “REKONSTRUKSI HUKUM CAGAR

BUDAYA SEBAGAI WORLD HERITAGE BERBASIS NILAI KEADILAN”

(Penetapan Pulau Penyengat di Kota Tanjungpinang) yang menjadi syarat

clx
untuk mengikuti ujian tertutup tahapan ujian pada Program Doktor Ilmu Hukum

UNISSULA Semarang.

Atas selesainya penulisan disertasi ini, sebagai ungkapan rasa syukur dan

terima kasih yang tak terhingga nilainnya kepada:

1. Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, Bapak Ir.

Prabowo Setiyawan, MT., Ph.D. beserta staff dan dosen yang telah

membantu selama studi lanjut di Program Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Semarang.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang Prof. Dr.H Gunarto, S.H, S.E,Akt, M.Hum yang telah

memberikan masukan dan kemudahan penulis dalam mengerjakan studi di

Unissula Semarang.

3. Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si, selaku Promotor yang sangat sabar

dan selalu memberi masukan-masukan serta pemikiran-pemikiran dan selalu

memberi semangat kepada penulis.

4. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi

Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNISSULA dan Co-Promotor yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan

masukan-masukan dalam penyusunan disertasi ini, sehingga rancangan

disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

5. Segenap Dosen pengajar Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Unissula yang telah banyak memberikan ilmunya kepada saya

promovendus.
clxi
6. Segenap para staf PDIH FH UNISSULA, ucapan terimakasih atas

bantuannya yang berharga dalam memberikan pelayanan yang prima.

7. Keluarga yang selalu mendukung dan memberikan semangat dan doa bagi

penulis untuk menyelesaikan disertasi.

Dengan iringan doa semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan rakhmat

dari sekaligus balasan yang setimpal dari Allah SWT baik di dunia maupun

akhirat. Amin.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini adalah jauh dari harapan, oleh

karenanya kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca, baik dari

kalangan dosen, mahasiswa, praktisi hukum sangat penulis harapkan. Semoga

penulisan disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembang ilmu hukum.

Semarang, Maret 2020


Penulis

Meitya Yulianty
PDIH. 03.V.14.0199

clxii

Anda mungkin juga menyukai