masyrakat, terlihat beberapa wacana yang terlihat sebagai respon pemerintah dan masyarakat
terhadap potensi bencana, wacana tersebut kemudian dikelompokkan kedalam 2 (dua) bagian.
PEMERINTAH
WACANA
EKSEKUTIF
narasumber, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa respon sistem pemerintah terkait
Sistem komunikasi pemerintah kabupaten Morowali dalam hal ini lembaga eksekituf
menunjukkan respon yang kurang terkait isu potensi bencana sebagai hal yang penting untuk
mendapatkan perhatian lebih, dari wawancara yang dilakukan dengan Bupati sebagai kepala
daerah menunjukkan aspek pemahaman bencana yang kurang dalam memahami hal tersrebut
sementara resonansi lembaga pemerintah dalam hal ini perangkat daerah, menunjukkan
besarnya resonansi sistem politik dalam merespon isu potensi kebencanaan yang ada, hal ini
dapat dilihat dari wawancara dengan BPBD yang menunjukkan kurang efektifnya
pergantian pada orang-orang yang ada dalam struktur tugas yang menangani kerja sama antar
lembaga daerah terkait isu potensi bencana. Kerjasama antar lembaga pemerintah dalam
pembentukan RTRW kabupaten berjalan baik hal ini ditunjukkan oleh produk yang terbentuk
dalam Peta Rawan Bencana yang di keluarkan oleh Dinas PUPR kabupaten yang merevisi
Peta Rawan bencana yang sebelumnya, BAPPEDA merupakan lembaga pememrintah yang
memiliki tugas dan tanggung jawab dalam penjabaran Visi dan Misi Bupati dan Wakil Bupati
Morowali merespon isu potensi bencana dengan memperhatikan asepk bencana pada
dengan cukup terbatas dalam revitalisasi sungai dan penanaman mangrove yang dilakukan
sendiri tanpa adanya kerjasama antar lembaga daerah. Sementara resonansi legislatif
ditunjukkan dengan respon politik yang kurang, dalam melakukan tugas dan fungsi utama
lembaga ini dimana terdapat tiga fungsi utama yaitu, legislasi, pengawasan, dan
penganggaran, hanya fungsi pengawasan yang berjalan, hal ini terkait dengan resonansi
sistem fungsi politik pada level yang lebih tinggi dan sangat besar terhadap aktifitas
eksploitasi sumberdaya alam di kabupaten Morowali, hal ini juga diilihat dari respon
kebijakan sebagai ekspresi politik pemerintah daerah bahwa kebijakan pada tingkat daerah
belum merespon secara langsung terhadap isu potensi bencana, resonansi kebijakan daerah
lebih kepada sistem fungsi ekonomi yang ditunjukkan dengan peraturan daerah terkait
Komunikasi yang terjadi dalam konteks tidak termediasi dalam sistem masyarakat
menunjukkan resonansi sistem fungsi agama terhadap isu kebencanaan sangat besar, hal ini
dapat dilihat dari hasil wawancancara yang dilakukan kepada beberapa orang narasumber
yang mengaitkan pemahaman kebencanaan dengan isu kepercayaan atau hal yang dianggap
mistis yang berimplikasi pada bagaimana masyarakat memahami dan berkomunikasi terkait
isu kebencanaan, segala potensi bencana yang ada di sandarkan pada tuhan semata, bencana
dipahami sebagai upaya penghukuman yang diberikan tuhan kepada umat manusia sebagai
bentuk dari konsekuensi manusia dalam berlaku dalam kehidupannya, hal ini dilihat dari data
wawancara yang diperoleh terkait pemahaman bencana masyarakat. Selain sistem fungsi
agama, sistem seni juga ikut merespon isu kebencanaan, hal ini dapat dilihat dari produk-
produk kebudayaan masyarakat yang termanifestasi dalam bentuk kesenian tradisional yang
hadir sebagai media pesan dalam menyampaikan nilai-nilai ketahanan bencana pada
masyarakat adat di kabupaten Morowali, dan peninggalan budaya yang mengalami perubahan
Sistem komunikasi termediasi atau komunikasi yang terjadi pada sistem media di
bencana yang ada menunjukkan resonansi terkait isu kebencanaan yang ditangkap oleh
media, media lokal baik cetak maupun online yang kurang peka melihat isu potensi
kebencanaan yang ada dan pada sisi lain memperlihakan besarnya resonansi sistem ekonomi
dan politik yang terlihat dari potret pemberitaan jurnalis lokal yang cenderung memotret
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat lokal melalui konteks politik yang terkesan menjadi
corong juru bicara pemerintah terkait kebijakan dan program yang dikeluarkan dan
pengelolaan media lokal yang lebih cenderung kepada melihat kepada aspek modal atau
ekonomi yang dapat dihasilkan dalam produksi sebuah karya jurnalisme hal ini menunjukkan
penetrasi sistem ekonomi yang besar pada pengelolaan media lokal di kabupaten Morowali.
hasil penelitian resonansi sistem pemerintah dan masyarakat kabupaten Morowali terkait isu
potensi bencana alam, menunjukkan kapasitas resonansi yang dimiliki sistem terhadap
deteksi resonansi juga menemukan resonansi sistem fungsi yang secara langsung memberi
Dalam isu potensi bencana di kabupaten Morowali, dari hasil penelitian yang dilakukan,
terlihat bagaimana kapasitas resonansi sistem fungsi turut mempengaruhi bagaimana sistem
pemerintah dan masyarakat dalam merespon isu tersebut, resonansi sistem fungsi meliputi
pemahaman pemerintah hingga pembuatan kebijakan dan program terkait isu potensi bencana
daerah, sementara pada masyarakat terlihat bahwa sistem fungsi yang beresonansi
kebencanaan.
Sistem politik mengklaim terkait posisinya yang cukup spsesial didalam masyarakat.
Masyarakat merupakan sistem yang terbentuk secara politik, hal ini telah dipahami sejak
zaman Plato dan Aristoteles. Sebagai kekuatan yang tugasnya adalah mengatur segala
sesuatunya, sistem politik bekerja terutama dengan menghilangkan batasan daya tariknya dan
menumbuhkan kembali harapan dan kekecewaan lalu terus berkembang, karena tema yang
Masuknya kajian ekologi dalam sistem fungsi politik memperkuat efek pengamatan dalam
sistem politik yang menyebabkan semakin jelasnya terkait berapa banyak yang harus dicapai
politik dan seberapa sedikit yang bisa dicapai, sistem politik akan terus-menerus mencoba
untuk melebarkan batasnya melalui pemerintahan yang berbeda, partai politik yang berbeda,
hingga kosntitusi yang berbeda dengan kode berkuasa/tidak berkuasa mencapai penutupan
mode operasinya sendiri dan keterbukaan terhadap lingkungan dan perubahan program
politik. Memegang atau tidak memegang jabatan dalam otoritas politik terutama yang
mengatur siapa yang memiliki pengaruh besar dalam politik serta berbagai hal menjadi sangat
penting. Namun , hal ini tidak berarti bahwa politik tidak berdaya terhadap keputusan yang
dianggap berasal dari negara terhadap semua aktivitas yang mengarah kepada keputusan yang
bersifat politis jika berusaha memengaruhi program, bentuk organisasi, jabatan, atau
keputusan bidang tertentu. Struktur jabatan negara berfungsi sebagai kode politik, bahkan
sebagai kode pemersatu seluruh politik. Hal ini turut mendefinisikan prinsip posisi di
parlemen, pemerintahan dan administrasi yang hanya dapat dipegang atau tidak dipegang.
Dalam melihat resonansi sistem politik terhadap isu kebencanaan di kabupaten Morowali.
sistem politik memperlihatkan resonansi lembaga eksekuitf yang dalam jabatan tertinggi
dipegang melalui jalur pemilihan umum oleh seorang bupati, yang kemudian
memperlihatkan masih kurangnya keputusan atau program daerah yang merespon kepada isu
potensi kebencanaan, ini menunjukkan kapasitas resonansi politik melalui keputusan dan
program politik lembaga eksekutif masih sangat terbatas kepada hal yang berada diluar
jangkauan isu potensi kebencanaan yang juga turut mempengaruhi organisasi perangkat
daerah yang berada dibawah kekuasaan lembaga eksekutif daerah. Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) kabupaten Morowali sebagai perangkat teknis dalam menangani isu
kebencanaan memperlihatkan respon terkait isu potensi bencana dengan membentuk forum
pengurangan resiko bencana yang turut berkoordinasi dengan 12 perangkat daerah dalam
seringnya terjadi rotasi jabatan dalam lingkup pemerintah daerah yang juga merupakan tanda
dari kurangnya respon yang dipengaruhi oleh resonansi sistem politik, organisasi perangkat
Dinas Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat, dan Dinas Lingkungan Hidup Daerah
memperlihatkan respon terkait isu potensi kebencanaan yang cenderung berjalan masing-
masing yang menyebabkan kebijakan terkait program yang hampir menyentuh isu potensi
kebencanaan tidak berjalan secara komprehensif, sementara dalam lembaga legislatif sebagai
jabatan yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan langsung dengan tugas pokok dan
fungsi utama yang di amanatkan dalam konstitusi sama sekali tidak menunjukkan resonansi
sistem fungsi politik terkait isu potensi kebencanaan yang ada di kabupaten Morowali, hal ini
menunjukkan kurangnya kapasitas sistem fungsi politik dalam sistem pemerintah kabupaten
Morowali terhadap isu potensi kebencanaan yang ada. Dalam sistem masyarakat, sistem
Didalam Masyarakat banyak sistem fungsi yang berperan penting, namun sistem ekonomi
merupakan sistem fungsi yang mampu mempengaruhi sistem yang ada, seluruh operasi dari
sistem ini merupakan bentuk dari transaksi pembayaran dengan uang, uang merupakan
penanda utama dari sistem fungsi ini, ketika uang mengambil peran, secara langsung maupun
tidak langsung sistem ekonomi telah bekerja. yang dalam definisi sistem yang bekerja
resonansi yang meskipun tidak besar, namun memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap sistem pemerintah dalam hal resapon terhadap isu tersebut, transaksi ekonomi yang
kemudian menciptakan respon bupati sebagai institusi utama dalam lembaga eksekutif
pemerintahan daerah yang kemudian turut mempengaruhi respon sistem lembaga pemerintah
daerah terhadap isu potensi kebencanaan yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah, namun
menunjukkan pemahaman yang sangat kurang dalam merespon isu potensi kebencanaan,
menunjukkan respon yang kurang dalam melihat isu potensi kebencanaan sebagai isu yang
Kasus terkait isu potensi kebencanaan di kabupaten Morowali dilihat dari respon pemerintah
daerah tidak memperlihatkan resonansi sistem ekonomi lebih jauh, namun hal tersebut
tampak sangat mempengaruhi bagaimana pemahaman dan respon pemerintah daerah yang
berpengaruh terhadap program dan kebijakan pemerintah daerah pada isu terkait kebencanaan
dan terhadap hasil dari penelitian ilmiah lembaga non pemerintah yang dilakukan khususnya
resonansi pada referensi yang menjadi rujukan jurnalis lokal Morowali dalam menulis berita
terkait isu potensi bencana, hal ini dilihat dari tanggapan narasumber terkait referensi
pemberitaan potensi bencana yang ada, jurnalis lokal lebih cenderung membuat rilis berita
atau artikel yang pada media cetak maupun online dengan membahas pada sisi anggaran yang
digunakan dalam program pemerintah terkait isu potensi kebencanaan. Selain hal tersebut,
terkait pengelolaan media lokal yang masih sangat bergantung pada pemerintah dalam
masalah pendapatan media turut memberikan gambaran bagaimana resonansi sistem ekonomi
Sistem fungsi agama juga terlibat dalam diskusi terkait masalah lingkungan, Agama
menunjukkan kompetensi argumentatif dan termasuk dalam diskusi yang terlibat dengan
masalah lingkungan juga. Dalam sistem agama, motif dalam komunikasinya tidak dipandang
positif yang tidak dapat disangkal. Motif dan minat mereka tidak dipandang dengan
kecurigaan. Menurut Luhmann kontribusi sistem agama terhadap diskusi ekologi tetap tidak
terlalu memadai, karena wacana dalam sistem agama hanya mengulangi apa yang telah
menjadi isu dalam komunikasi sistem agama tanpa merujuk kepada agama tertentu. Apa yang
mereka tawarkan kebanyakan adalah hal-hal yang tidak menunjukkan masalah sebenarnya.
Ini biasanya disembunyikan dalam gambar, kata- kata, nasihat, dan seruan yang konkret. Lagi
pula, mereka mengusulkan untuk tidak menjadikan teknologi, sains, dan hubungan ekonomi
sebagai satu- satunya kendaraan dominasi yang berlaku. Malahan, mereka percaya bahwa
yang disebut terakhir harus menjadi pelengkap dalam pembentukan budaya manusia dalam
kondisi alam.' Hal- hal seperti itu lebih baik dibiarkan tak terucapkan. Mereka tidak
memadai, dan tidak ada bantuan yang lebih besar jika dirumuskan ulang secara teologis
dengan memohon kepada Tuhan. Mengingat hal ini, bagaimana hal- hal berdiri dengan
kapasitas resonansi dari sistem agama? Struktur apa yang memungkinkan resonansi sistem
ini, yaitu membatasinya? Jauh lebih awal daripada dalam kasus sistem lain (tetapi karena itu
jauh lebih berbahaya juga) perbedaan pengkodean dan pemrograman tampaknya telah
berhasil masuk ke dalam pertanyaan agama. Dalam agama- agama yang sangat awal, yang
sakral tetap bersifat paradoks, yaitu pesona dan teror, daya tarik dan rasa jijik pada saat yang
sama. Itu dicatat dalam bentuk ritual yang kaku (tetapi dapat digunakan secara pragmatis),
tabu, duplikasi yang terlihat secara simbolis atau bahkan cerita mitos. Latar belakang ini
memberikan penjelasan atas keberhasilan kode moral agama yang menerapkan dualitas
kegembiraan dan kecemasan pada kode moral perilaku baik dan buruk sehingga
Tuhan, sementara hanya karena perilaku buruk secara moral Dia harus ditakuti. Dengan cara
ini, keselamatan dan kutukan mulai terlihat. Tuhan adalah Tuhan yang baik yang darinya
kejahatan telah menghilang secara misterius atau memberikan tujuan yang misterius. Dengan
demikian, kosmos memperoleh prinsip yang valid dari mana perbedaan yang baik dan yang
jahat berasal. Tak lama kemudian, bentuk hirarkis dari eliminasi paradoks ini muncul
keraguan dan pertanyaan. Pengamat agama seperti Ayub, misalnya, melihat apa yang
tampaknya perlu bagi sistem itu sebagai kontingen dan mencari alasannya. Sekilas tentang
paradoks menyebabkan masalah bagi refleksi agama awal. Refleksi yang memandu sistem
harus mengakui bahwa tujuan agama bukanlah percabangan moral saja, yaitu konfirmasi
tegas atas perbedaan perilaku baik dan buruk. Pengkodean agama harus melintasi moralitas.
Bukan berarti pertanyaan moral tidak memiliki peran untuk dimainkan! Justru sebaliknya.
Namun karena agama ini tidak bisa mempertaruhkan segalanya pada perbedaan perilaku baik
dan buruk. Sebanyak mungkin telah ditumbuhi kosmologi moral seperti perbedaan antara
surga dan neraka, klasifikasi moral orang tidak pernah menjadi perhatian yang sebenarnya.
Sebaliknya hal ini terlihat, khususnya di akhir Abad Pertengahan, sebagai pekerjaan iblis;
sesuatu yang harus ditentang oleh Allah, melalui perantaraan Maria. Lagi pula, praduga
membuat penilaian tentang kebaikan dan kejahatan itu sendiri adalah hasil karya iblis. Jadi
gagasan bahwa moralitas berasal dari iblis selalu ada di suatu tempat. Konsekuensinya,
pengkodean agama tidak dapat mengidentifikasi dirinya dengan moralitas atau memisahkan
diri darinya (bahkan iblis adalah kekuatan yang dikondisikan oleh agama). Perbedaan
utamanya terletak pada perbedaan imanensi dan transendensi.2 Transendensi tidak lagi
dipahami dalam istilah dunia lain atau sebagai wilayah dunia yang tinggi atau rendah yang
terpisah dan tidak dapat dicapai, tetapi sebagai semacam makna kedua, yaitu, sebagai
lengkap, versi dunia kedua yang mencakup segalanya di mana referensi- diri hanya memiliki
makna sebagai referensi- lain, kompleksitas hanya memiliki makna sebagai impleksitas
(Valéry) dan transendensi memiliki makna sebagai apa yang tidak dapat ditransendensikan
Seperti karakteristik semua kode, realitas yang selalu hadir dan ditentukan sendiri secara
sosial diduplikasi oleh asumsi implisit. Itu diidentifikasi dengan perbedaan, yaitu,
ditunjukkan dalam konteks perbedaan ini. Kesatuan dari perbedaan ini (dan bukan
transendensi itu sendiri) adalah kode agama. Kode ini memiliki banyak semantik berbeda
yang membedakan sistem agama menjadi agama yang berbeda. Ambil contoh mitos
penciptaan. Melalui penciptaan perbedaan langit dan bumi, Allah mengucilkan diri- Nya dari
dunia. Atau ambil contoh institusi perbedaan antara yang sakral dan yang profan di mana
desakralisasi alam dijadikan syarat spesifikasi agama dan dicatat dengan tidak dapat ditarik
kembali atau contoh adopsi kepercayaan yang dikonfirmasi secara historis bahwa Yesus
adalah Kristus, atau pengkodean biner akhir abad pertengahan/ modern awal dari pemisahan
moral, yang menurutnya orang berdosa dapat diselamatkan melalui penyesalan dan anugerah,
sementara orang yang adil hilang justru karena percaya bahwa dirinya adil. Perbedaan murni
antara imanensi dan transendensi diperkaya dengan berbagai cara dan tunduk pada evolusi
kondisi yang masuk akal. Jika masyarakat, seperti yang tampak sekarang, menjumpai situasi-
situasi baru, tidak berarti bahwa kode agama harus segera diragukan. Tetapi jika hal ini
dilakukan pemaksaan semantik kosmologi dan teologi pada kode harus diperiksa secara
kritis. Oleh karena itu, kami akan memeriksa mediasi simbolik antara pengkodean dan
pemrograman pada saat yang bersamaan. Sebagaimana garis besar masalah pada gambar 3
memperjelas (lih. Gambar 2 pada bab 9 di atas) pertanyaan di sini agak berbeda dari
pertanyaan pada sistem fungsi yang tersisa. Jika benar bahwa masyarakat modern yang
yang lebih besar, maka sejauh menyangkut agama, masalahnya tidak terletak pada refleksi
kesatuan kode tetapi pada refleksi kesatuan programatik. sistem, tujuannya dan kondisi
atribusi yang benar dari nilai- nilainya. Di sinilah sistem bersaing dengan formula kebenaran
seperti keadilan, kemakmuran, dan pengetahuan yang sudah terdiferensiasi secara fungsional.
Karena kemajuan menjadi kemungkinan nyata dalam hal ini pada abad ketujuh belas dan
kedelapan belas, program atribusi yang tepat menjadi masalah bagi agama itu sendiri.
Perbedaan keselamatan dan kutukan yang berakar secara moral, surga dan neraka, cinta dan
takut akan Tuhan, surut. Neraka benar- benar kehilangan akal sehatnya. Di sisi lain, ada dua
gagasan yang diterima sebagai rukun iman dogmatis: (1) langkah intelektual dari 'Tuhan' ke
'agama yang diwahyukan'; dan (2) tuntunan akses transendensi melalui kaidah Kitab Suci. Ini
berarti bahwa de- diferensiasi [Entdifferenzierung] antara landasan moral kode, di satu sisi,
dan memaksa kesadaran kontingensi menjadi dogmatis, di sisi lain, saling mengkondisikan
dan saling membutuhkan. Kesatuan sistem - koneksi pengkodean dan pemrograman - hanya
dapat diamankan dengan cara yang tidak dapat lagi diadvokasi sebagai dogmatis. 66 97 Pada
saat yang sama, kosmologi yang didirikan secara religius dibuang. Bahkan tradisi- tradisi
yang sangat tua telah meninggalkan kualifikasi alam yang religius secara langsung karena ini
adalah satu- satunya cara yang memungkinkan munculnya formasi- formasi religius terpisah
yang berbeda dari dunia, misalnya desakralisasi alam sebagai syarat spesifikasi dari alam.
keagamaan. Pada awal modernitas desakralisasi alam ini hanya mengubah sistem acuannya.
Itu tidak lagi menjadi kebutuhan utama agama tetapi menjadi kebutuhan utama ilmiah atau
terutama ekonomi, dan agama tidak dapat ikut campur dalam proses ini karena harus
menyampaikan khotbah yang sama. perbedaan dan, dengan demikian, untuk menyelesaikan
paradoks tatanan dunia. Namun, dengan penolakan solusi- solusi ini, tatanan itu sendiri
menjadi sebuah paradoks. 'Kekacauan di dunia hanya tampak Dan di mana tampaknya yang
terbesar adalah di mana tatanan yang sebenarnya bahkan lebih besar lagi. Itu hanya lebih
tersembunyi dari kami.' Perbedaan imanensi dan transendensi dilarutkan atau diubah menjadi
perbedaan yang nyata dan yang laten. Jari telunjuk [Fingerzeig] Tuhan (providentia specialis)
menjadi 'tangan tak terlihat'. Ini memungkinkan seseorang untuk mengeksploitasi fakta
bahwa struktur manifes lebih sensitif terhadap penyimpangan daripada yang laten. Versi kode
menyelamatkan agama. Dengan cara ini sebuah masyarakat progresif yang optimistis dapat
mengingat ketidakpastian kontemporer tentang masa depan, hampir tidak cukup untuk
membayangkan keagungan tatanan dunia dalam apa yang tidak dapat dilihat. Bahkan
pertanyaannya tentang teodisi, tentang bagaimana Tuhan dapat mengizinkan semua ini
mengapa Dia tidak menciptakan atom yang sama sekali tidak dapat ditembus, mengapa Dia
menerima pemupukan kimiawi dan mengapa Dia mengizinkan kepala bisnis besar untuk
berguling dan bertransaksi juga tidak membantu Masalah yang sebenarnya terhalang oleh
pertanyaan pembenaran Tuhan atau, dalam hal apa pun, tidak dibahas. Masalahnya terletak
terjemahan untuk pengkodean apa pun, misalnya, teori pembentukan teori (teori sains) atau
legitimasi pembuatan hukum atau keunggulan ekonomi kapitalisme atau sosialisme. ts yang
diangkat dan dibenarkan oleh semantik terjemahan ini menghasilkan keraguan dalam setiap
upaya. Selama ini tidak berubah - dan perubahan tampaknya mustahil - agama (atau, dalam
namanya, teologi), akan memiliki sedikit kontribusi terhadap resonansi sosial terhadap
paparan bahaya lingkungan. Yang pasti, itu akan dapat memprotes penggundulan hutan,
polusi udara, bahaya nuklir, atau pendekatan medis yang berlebihan terhadap tubuh manusia
ketika masalah ini telah memperoleh bukti tertentu. Tetapi ia tidak akan dapat campur tangan
dengan bentuk masalah yang benar- benar independen karena ia tetap bergantung pada
kesadaran sosial sebelumnya dari yang terakhir. Di mana pun kepastian makna diperlukan, di
mana pun eksperimen lingkungan dengan konsekuensi yang berjangkauan jauh dan tak
terduga harus dilakukan, di situlah teologi menegur dan menciptakan ketidakpastian - atau
tetap diam. Sebenarnya, itu tidak memiliki agama untuk ditawarkan. Orang hampir mendapat
kesan bahwa agama dewasa ini berkembang sebagai semacam benalu terhadap situasi- situasi
masalah sosial benalu dalam pengertian Michel Serres sebagai reintroduksi 'tertium non datur'
ke dalam sistem. Dengan kata lain, agama mendapat keuntungan dari struktur biner dan
pengecualian 'tertium non datur' dalam semua kode lainnya. Ini menguntungkan karena dapat
kemungkinan ketiga yang dikecualikan, 'tertium non datur'. Tetapi apakah ini berarti bahwa
ia harus meninggalkan programatik dari apa yang benar pada sistem- fungsi sosial lainnya
dan hanya dapat menyediakan program- programnya sendiri yang lebih rendah, misalnya,
dengan cara fundamentalistik, konkretis, ajaib, eskatologis atau dalam bentuk 'mitos baru'?
Sekali lagi, seluruh masalah resonansi sosial terhadap bahaya sosial tercermin di sini seolah-
olah di cermin. Resonansi dapat dibuat hanya melalui pembatasan struktural, pengurangan
kompleksitas, pengkodean dan pemrograman selektif, yaitu hanya secara tidak memadai.
Setidaknya untuk saat ini, agama tampaknya hanya menegaskan hal ini melalui penolakan
terhadap reduksinya sendiri dan dengan demikian melalui penolakan terhadap resonansinya
sendiri. Tetapi jika ini terus menjadi presentasinya tentang keterbatasan dunia manusia,
bukankah semuanya bergantung, bagi agama Kristen, pada berpegang teguh pada kepastian
ditemani oleh Tuhan? Ini tidak mengarah pada etika lingkungan atau bahkan berlebihan
secara teologis terhadap tuntutan politik lingkungan. Tetapi dapat dibayangkan bahwa ada
keadaan- keadaan marginal ekologis maupun sosial di mana umat manusia tidak mungkin
mengalami kepastian iman dan mengharapkan penebusan. Setidaknya fakta bahwa ini harus