2. Ketersediaan Pendanaan
Rumah Sakit memiliki sumber daya yang merupakan pendapatan operasional yang
berasal dari masyarakat umum yang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di
rumah sakit. Pemanfaatan fasilitas rumah sakit tersebut meliputi: pelayanan rawat jalan,
pelayanan rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan penunjang medik, pelayanan
kefarmasian dan lain-lain. Selain itu pembiayaan rumah sakit bersumber dari penerimaan
rumah sakit sebagaimana disebutkan di atas, dapat juga berasal dari anggaran Pemerintah,
subsidi Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber
lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber
lain yang tidak mengikat sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat 1 UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit tidak diatur secara jelas. Dengan Demikian dimungkinkan rumah sakit
untuk berkreasi dalam mencari sumber pembiayaan rumah sakit dengan Batasan bahwa
sumber itu tidak mengikat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
BPJS Industri Obat
Badan
Pengatur Pemberi
Pemerintah Pinjaman
LN Bantuan
Pemerintah
Sebagai
Pembayar
3. Pengelolaan Informasi
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit (RS), dibutuhkan suatu
sistem informasi yang akurat guna peningkatan pelayanan baik kepada pasien maupun
pelayanan operasional terhadap semua pegawai.
Rumah sakit diatur melalui peraturan pemerintah RI mengenai Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit (SIM RS), yang diartikan sebagai suatu sistem teknologi informasi
komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan rumah
sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk
memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakan bagian dari Sistem Informasi
Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, profesionalisme, kinerja,
serta akses dan pelayanan rumah sakit, dimana diatur setiap rumah sakit wajib
menyelenggarakan SIM RS dan harus melaksanakan pengelolaan dan pengembangan SIM
RS. Penerapan SIM RS diketahui memiliki faktor-faktor yang dapat memengaruhi
kesuksesan penggunaannya antara lain faktor teknologi, faktor manusia, dan faktor
organisasi, yang ketiganya harus memiliki hubungan searah (positif) dan signifikan serta
memiliki latar belakang pendidikan teknologi informasi (IT, information technology) yang
sangat mendukung pengembangan dan keberlangsungan SIM RS. Kualitas sistem, kualitas
informasi dan kualitas pelayanan secara serentak memberi pengaruh positif terhadap
penggunaan sistem, yang secara menyeluruh memberikan manfaat secara individual bagi staf
instalasi farmasi dan secara organisasional bagi instalasi farmasi dalam memberikan
pelayanan yang cepat, tepat dan aman. Demikian pula dalam pengelolaan dan pengembangan
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) memberikan kemudahan dalam mengakses sistem
terintegrasi.
Para pengguna sistem informasi memiliki tingkat kepuasan tinggi dikarenakan sistem
informasi telah mempercepat proses kerja serta membuat pekerjaan menjadi lebih efisien.
Pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan banyak tenaga namun kini proses pelayanan
menjadi lebih cepat dan tepat dengan adanya sistem informasi ini. Selain itu juga dianggap
sangat mudah saat melakukan penginputan sehingga tidak menghambat pekerjaan lain di
Instalasi Farmasi. Salah satu tolok ukur kriteria dalam penilaian kualitas informasi yaitu
kemudahan dalam mengakses sehingga informasi yang dihasilkan cepat. Tolok ukur lainnya
yaitu kemudahan sistem informasi tersebut untuk dipahami sehingga meniminalisir terjadinya
kesalahan data dan pekerjaan yang dihasilkan berkualitas. Manfaat yang nyata nanti akan
dirasakan ketika pengadaan peralatan medik telah melibatkan SIM RS yaitu adanya efisiensi
dan kemudahan dalam pengontrolan, pemantauan dan menjadi lebih efektif (Poli, dkk.,
2023).
4. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Dalam mencapai Visi Misi Rumah Sakit diperlukan sumber daya manusia yang
kompeten di tiap bidangnya. perencanaan kebutuhan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit
ditetapkan berdasarkan analisa beban kerja dan tingkat standar kompetensi meliputi
pendidikan, keterampilan, pengetahuan dan persyaratan lain yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pasien, dengan mempertimbangkan misi Rumah Sakit, jenis pelayanan
yang disediakan, dan teknologi yang digunakan oleh Rumah Sakit yang tujuannya adalah
sebagai acuan dalam pemenuhan formasi kebutuhan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit.
Selanjutnya
akan melalui proses yang sesuai prosedur perencanaan SDM yang berlaku.
Mengacu pada standar pelayanan farmasi rumah sakit, KepMenKes no. 56 th 2014,
Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan
beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi
Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di
Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus
ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai
kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi
diklasifikasikan sebagai berikut:
Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:
Apoteker
Tenaga Teknis Kefarmasian
Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:
Operator Komputer yang memahami kefarmasian
Tenaga Administrasi
Pekarya/Pembantu pelaksana
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam
penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawabnya.
b. Persyaratan SDM
Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pelayanan Kefarmasian
harus di bawah supervisi Apoteker. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus
memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuaidengan ketentuan
yang berlaku. Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang
merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:
kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);
jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik dan
produksi);
jumlah Resep atau formulir permintaan Obat (floor stock) per hari; dan volume
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Penghitungan Beban Kerja (Satibi, 2014)
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan
Kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian informasi
Obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan
rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan
beban kerja pada Pelayanan Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan
farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep
penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya
dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian rawat inap dan
rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan
farmasi yang lain seperti di unit logistic medik/distribusi, unit produksi
steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi Obat dan lain-lain tergantung
pada jenis aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi
Farmasi. Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat inap
dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk
kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu, yaitu:
Unit Gawat Darurat;
Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus
Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU);
Pelayanan Informasi Obat;
Mengingat kekhususan Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat
intensif dan unit gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis mengenai
Pelayanan Kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang
akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
(Pokja KKS, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Poli., Saranita V.G., Gustaaf A.E.R. dan Fatimawali, 2023, Kajian Pemanfaatan Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit di Instalasi Farmasi dan Pengadaan Peralatan
Medik di RSU GMIM Siloam SonderStudy on Utilization of Hospital Management
Information System in Pharmaceutical Installations and Procuremen of Medical
Equipment at RSU GMIM Siloam Sonder, e-CliniC 2023 ; Vol.11(1)
Anief., Moh., 2014, Manajemen Farmasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Fakhriadi., Marchaban dan Pudjianingsih D., 2011, Analisis Pengelolaan Obat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Muhammadiyah Temanggung Tahun Practice, 2007 dan 2008,
Journal of Management and Pharmacy, Vol 1(2).
Nofriana., E., 2011, Analisis ABC dan VEN terhadap Belanja Obat di RSUD Dr. Soedarso
Pontianak Tahun 2010. Tesis Program Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Obat
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Yogyakarta
Pokja KKS, 2019, Pedoman Pengelolaan SDM RSUD Talisayan