Anda di halaman 1dari 8

BAB II.

DASAR TEORI

A. Pengertian Rekayasa Geoteknik


Rekayasa geoteknik merupakan aplikasi rekayasa teknologi yang dilakukan
terhadap bumi (Holtz, 1981). Dalam mempelajari geoteknik akan selalu
berhubungan dengan material alam, baik dari permukaan maupun dari dalam
bumi, dalam bentuk tanah maupun batuan. Untuk keperluan teknik, tanah dapat
diartikan sebagai lepasan aglomerasi mineral, material organik, dan sedimen
dengan caran dan las vang mengist rongga (Das, 2002), sedangkan batuan
adalah kumpulan dari bermacam-macam mineral yang kompak (Giani, 1992).

B. Prinsip Dasar
Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan (buatan manusia)
serta lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan
secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya
penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut
akan berada dalam kondisi yang stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan
lebih kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi
longsoran. Longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi untuk
mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru), di mana
gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya.

Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah Faktor


Keamanan (Safety Factor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahui
kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu
yang akan datang.

Faktor Keamanan (FK) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Gaya Penahan F∗¿


Faktor Keamanan= = ¿
Gaya Penggerak F

Apabila nilai FK untuk suatu lereng > 1,0 (gaya penahan > gaya penggerak),
lereng tersebut berada dalam kondisi stabil. Namun, apabila harga F < 1,0 (gaya
penahan < gaya penggerak), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak stabil
dan mungkin akan terjadi longsoran pada lereng tersebut.

C. Masalah Kestabilan Lereng


Dilihat dari jenis material penyusunnya, terdapat dua macam lereng, yaitu lereng
tanah dan lereng batuan, walaupun kenyataan yang dijumpai pada lereng
tambang selalu merupakan gabungan dari material tanah dan batuan.

Kestabilan lereng dipengaruhi oleh faktor geometri lereng, karakteristik fisik dan
mekanik material pembentuk lereng, air (hidrologi dan hidrogeologi), struktur
bidang lemah batuan (lokasi, arah, frekuensi, karakteristik mekanik), tegangan
alamiah dalam massa batuan, konsentrasi tegangan lokal, getaran (alamiah:
gempa; dan perbuatan manusia: efek peledakan, efek lalu lalang alat-alat berat),
iklim, hasil perbuatan pekerja tambang, serta pengaruh termik (Mos-hab, 1997).
Kenyataan di lapangan memang memperlihatkan bahwa masalah ketidakstabilan
lereng yang timbul dapat diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu,
faktor-faktor ini perlu mendapatkan perhatian agar kondisi lereng dapat dijaga
kestabilannya.

Selain itu, tanah dan batuan mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik asli tertentu
seperti sudut gesek dalam, kohesi (c), kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas,
nisbah Poisson, dan bobot isi (y) serta sifat fisik dan mekanik lainnya yang
sangat berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan batuan, serta
mempengaruhi kestabilan lereng (Hoek and Bray, 1981). Sifat-sifat tersebut
merupakan sifat yang dinamis, baik sebagai fungsi letak (kedalaman) maupun
fungsi dari faktor lainnya.

D. Klasifikasi Gerakan Massa Tanah dan Batuan


Gerakan tanah menurut M.M. Purbo Hadiwidjoyo (1992) dapat didefinisikan
sebagai berpindahnya massa tanah dan batuan pada arah tegak, mendatar, atau
miring dari kedudukannya semula. Jenis gerakan tanah dan batuan menurut
Irwandy Arif (2016) dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Longsoran (sliding)
b. Runtuhan (falling)
c. Nendatan (slump)
d. Amblesan (subsidence)
e. Rayapan (creep)
f. Aliran (flow)
g. Gerakan kompleks (complex movement)

E. Macam-Macam Longsoran yang Sering Terjadi pada Lereng Tambang


Lereng tambang yang tidak stabil akan mengalami longsoran sampai lereng
tersebut menemukan keseimbangan yang baru dan menjadi stabil. Berikut
adalah jenis longsoran yang sering terjadi pada lereng tambang menurut Irwandy
Arif (2016)
a. Longsoran Busur (Circular Failure)
Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk
atau sangat terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang
gelincir pada longsoran busur, sesai dengan namanya, akan menyerupai
busur bila digambarkan pada penampang melintang.
b. Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran ini disebabkan oleh adanya struktur geologi yang berkembang,
seperti kekar (joint) ataupun patahan yang dapat menjadi bidang luncur.
c. Longsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran baji merupakan jenis longsoran yang sering terjadi di
lapangan. Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga
diakibatkan oleh adanya struktur geologi yang berkembang. Perbedaan
pada longsoran baji adalah adanya dua struktur geologi yang berkembang
dan saling berpotongan.
d. Longsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada
batuan yang keras, di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom.
Longsoran guling terjadi apabila bidang-bidang lemah yang terdapat pada
lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan
lereng.

F. Macam-Macam Metode Analisis Kestabilan Lereng


Terdapat sejumlah metode yang dapat digunakan dalam analisis kestabilan
lereng, mulai dari yang sederhana, seperti metode grafik, metode stereonet,
metode kesetimbangan batas, hingga yang rumit dan canggih, seperti metode
elemen hingga (finite-element method) dan metode elemen diskret (discrete-
element method). Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan masing-
masing.

Untuk menyelesaikan persoalan geomekanika terdapat dua pendekatan, yaitu:


a. Tanah dan batuan dianggap sebagai suatu massa yang kontinu atau
menerus (Metode Kontinum), yang terdiri dari:
i. Metode beda hingga (Finite-difference method).
ii. Metode elemen hingga (Finite-element method)
b. Tanah dan batuan dianggap sebagai suatu benda yang tidak kontinu/tidak
menerus (Metode Diskontinu) seperti metode elemen diskret.

G. Rancangan Lereng Tambang


Sebelum perancangan lereng dibuat, sebaiknya dipertimbangkan terlebih dahulu
proses-proses alam yang mungkin terjadi. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Bieniawski (1984) yang mengatakan bahwa dalam proses merancang (teknik)
perlu diperhatikan metodologi pemecahan masalahnya.

Dalam tahap-tahap penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan terdapat 4


unsur penting, walaupun hal ini lebih sesuai untuk kasus lereng tambang yang
tidak stabil. Keempat unsur penting tersebut adalah (Sullivan, 1992):
a. Penilaian situasi (kategori lokasi)
b. Analisis masalah (identifikasi mekanisme keruntuhan dan analisis)
c. Analisis keputusan (perancangan lereng)
d. Analisis masalah yang mungkin terjadi

Pada praktiknya metode perancangan lereng tambang berpatokan pada


heuristic's atau rules of thumb (The Institution of Engineers Australia, 1990).
Dalam konteks geoteknik tambang, yang pada dasarnya berhubungan dengan
ilmu geologi, konsep perancangan lereng tambang lebih relevan dengan heuris-
tic's. Heuristic's didefinisikan sebagai: "suatu metode untuk memecahkan
masalah yang tidak sepenuhnya bergantung pada algoritma, tetapi lebih
tergantung pada pertimbangan induktif dari pengalaman akan masalah yang
serupa di masa lalu (Macquarie Dictionary, 1995). Algoritma sendiri dapat
didefinisikan sebagai logika, metode, dan tahapan (urutan) sistematis yang
digunakan untuk memecahkan masalah

H. Penyelidikan Lapangan
Langkah awal dari metodologi analisis kestabilan lereng tambang adalah
pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam analisis. Salah satu caranya
adalah dengan melakukan penyelidikan lapangan. Pemahaman mengenai
kondisi lapangan merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan analisis
kestabilan lereng. Penyelidikan lapangan harus dilakukan agar dapat diperoleh
kondisi aktual dari massa tanah dan batuan pembentuk lereng tambang.
a. Pemetaan Topografi
Topografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu topos yang berarti tempat dan
graphi yang berarti menggambar. Peta topografi memeta. kan tempat
tempat di permukaan bumi yang berketinggian sama (dihitung dari
permukaan laut) menjadi bentuk garis-garis kontur, di mana satu garis
kontur mewakili satu ketingglan

Secara umum, peta topografi adalah peta ketinggian titik atau kawasan
yang dinyatakan dalam bentuk angka ketinggian atau kontur ketinggian
yang diukur terhadap permukaan laut rata-rata. Untuk keperluan
pertambangan, skala peta yang digunakan harus sesuai dengan Lampiran
XII/-b Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1453
K/29/MEM/2000, yaitu 1 : 2000. Pada perencanaan tambang detail
diperlukan peta dengan skala 1 : 1000. Selain memberikan informasi
mengenai keadaan permukaan dan elevasi, peta topografi juga berfungsi
untuk menggambarkan bentuk dua dimensi dari bentuk tiga dimensi rupa
bumi sehingga dapat dihasilkan penam-pang lereng dalam bentuk 2D dan
3D.

b. Pemetaan Geologi
Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu
daerah/wilayah/kawasan dengan tingkat kualitas yang bergantung pada
skala peta yang digunakan. Peta geologi menggambarkan informasi
sebaran dan jenis serta sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur, tektonika,
fisiografi,serta potensi sumber daya mineral dan energi yang disajikan
dalam bentuk gambar dengan warna, simbol dan corak, atau gabungan
dari ketiganya (Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.
1452 K/10/MEM/2000). Peta geologi harus dilengkapi dengan simbol peta,
istilah, keterangan peta, penyajian peta, penerbitan, spesifikasi, dan
ukuran lembar peta yang sesuai dengan hasil pembakuan Standar
Nasional Indonesia (SNI) No.13-4691-1998.

c. Pengeboran Geoteknik
pengeboran geoteknik dilakukan untuk mengetahui strata atau perlapisan
tanah dan batuan di bawah permukaan bumi, jenis, serta kondisi tanah
dan batuan pada daerah yang akan diteliti. Hasil pengeboran akan
disusun dalam bentuk bor-log. Informasi yang dapat diperoleh dari bor-log
tersebut di antaranya (Didiek Djar-wadi, 2012):
i. Elevasi
ii. Kedalaman
iii. Deskripsi tanah dan batuan
iv. Titik pengambilan contoh tanah dan batuan
v. Contoh yang diperoleh (sample recovery) merupakan panjang
vi. Simbol tanah dan batuan
vii. Penetrasi
d. Pengambilan Contoh Inti (Core Sampling)
Pengambilan contoh inti diperoleh dari pengeboran inti. Lubang bor
biasanya dialiri fluida untuk mengeluarkan cutting dalam bentuk sludge.
Tingkat ketelitian drill core tergantung pada core recovery yang
didapatkan. Tingkat ketelitian cutting pengeboran relatif lebih rendah, baik
kadar (akibat salting) maupun posisi kedalaman (akibat lifting capacity).
Beberapa kesalahan yang biasa terjadi terkait pengeboran:
i. Inklinasi (kemiringan) lubang bor yang tidak sesuai dengan
kemiringan lapisan;
ii. Core recovery yang kurang baik;
iii. Pemilihan interval pengambilan contoh yang kurang sesual;
iv. Kesalahan dalam preparasi contoh; dan
v. Penanganan core yang kurang baik

e. Pengukuran Bidang Diskontinu (Metode Scanline)


Jarak pisah antar bidang diskontinu (kekar) adalah jarak tegak lurus
antara dua bidang diskontinu yang berurutan sepanjang sebuah garis
pengamatan yang disebut scan-line, dan dinyatakan sebagai intact length.
Panjang scanline minimum untuk pengukuran jarak diskontinuiti adalah
sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuiti yang hendak diukur. Namun,
menurut International Society for Rock Mechanics (ISM, 1981) panjang ini
cukup sekitar 10 kali, tergantung tujuan pengukuran scanline-nya.

f. Pengujian Mekanika Batuan In-situ


Uii mekanika batuan in-situ dilakukan untuk mendapatkan karakteristik
massa batuan di tempat asalnya serta pengaruh-pengaruh dari cacat
geologi, baik yang melewatinya maupun yang berada di dekat lokasi
pengujian. Dilakukannya uji in-situ untuk menentukan sifat mekanik
batuan in lebih menguntungkan dibandingkan dengan uji di laboratorium
karena volume batuan yang diuji lebih besar sehingga hasilnya lebih
representatif dan lebih menggambarkan keadaan massa batuan yang
sebenarnya.

Sifat-sifat massa batuan tidak hanya tergantung pada sifat-sifat batuan


utuh dan diskontinuitas secara terpisah, tetapi juga pada kombinasi kedua
faktor tersebut secara bersamaan. Jika massa batuan dikenai beban,
kurva tegangan-regangan tidak akan sama dengan batuan utuh pada
kondisi beban yang sama. Modulus deformasi massa batuan akan lebih
rendah dibandingkan modulus elastis batuan utuh, demikian juga
kekuatan puncaknya. Hasil pengujian laboratorium pada batuan utuh juga
tergantung pada ukuran con-toh karena setiap contoh akan mengandung
geometri diskontinuitas yang berbeda (Hudson, 1989). Dapat dikatakan
bahwa pendekatan yang dilakukan pada pengujian laboratorium untuk
menentukan karakteristik kekuatan massa batuan masih terbatas dan
ekstrapolasi karakteristik massa batuan dari uji laboratorium belum dapat
ditentukan secara akurat.

g. Pengujian Metode Geofisika


Geofisika adalah bagian dari ilmu bumi yang mempelajari bumi
menggunakan kaidah atau prinsip-prinsip fisika. Penelitian geofisika
dilakukan untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi. Metode
ini diterapkan dengan melakukan pengukuran di permukaan bumi dengan
parameter-parameter fisika yang dimiliki oleh batuan. Dari pengukuran ini
dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi di bawah permukaan
bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Survei geofisika yang sering
dilakukan selama ini antara lain metode gravitasi (gaya berat), magnetik,
seismik, geolistrik (resistivitas), dan elektromagnetik.

I. Uji Laboratorium
Untuk melakukan perancangan suatu lereng tambang diperlukan pengetahuan
mengenai karakteristik material penyusunnya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan penyelidikan lapangan.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pengujian di
laboratorium terhadap contoh (sample) batuan dari lapangan dengan bentuk
tidak beraturan atau blok

Pengujian di laboratorium dilakukan untuk mendapatkan:


i. Sifat fisik batuan, seperti bobot isi, specific gravity, porositas,
absorpsi, dan void ratio; dan
ii. Sifat mekanik batuan, seperti kuat tekan, kuat tarik, kuat geser,
modulus elastisitas, dan nisbah Poisson (Poisson's ratio).

a. Preparasi Contoh Batuan


Sebelum dilakukan pengujian di laboratorium, contoh batuan harus
dipreparasi terlebih dahulu agar sesuai dengan syarat-syarat pengujian.
Preparasi dapat dilakukan di lapangan dan di laboratorium.
b. Preparasi di lapangan
Dari hasil pengeboran inti (core drilling) yang dilakukan terhadap massa
batuan yang diselidiki di lapangan, diperoleh contoh yang berbentuk
silinder. Contoh tersebut dapat langsung digunakan untuk pengujian di
laboratorium dengan syarat tidak ada bidang diskontinuitas pada contoh
batuan yang akan diuji.
c. Preparasi di laboratorium
Pembuatan contoh batuan di laboratorium dilakukan dengan cara
mengcoring blok batuan yang diambil dari lapangan menggunakan mesin
bor inti. Contoh batuan yang diperoleh berbentuk silinder dengan diameter
pada umumnya antara 50 - 70 mm dan dengan tinggi dua kali diameter
tersebut (L/D = 2).
d. Uji Sampel Batuan di Laboratorium
Contoh inti yang sudah dipreparasi selanjutnya dilakukan pengujian sifat
fisik dan sifat mekanik tanah dan batuan (International Society for Rock
Mechanics/ISRM, 1981), yang meliputi:
i. Uji Sifat Fisik Dasar (ISRM, 1981)
Menentukan sifat fisik dasar batuan yang meliputi kepadatan atau
densitas (asli, jenuh, kering), berat jenis (asli, semu), kadar air,
derajat kejenuhan, porositas, dan angka pori.
ii. Uji Kuat Tarik Langsung (ISRM, 1981)
Mengetahui kuat tarik (tensile strength) dari conto batuan secara
tidak langsung.
iii. Uniaxial Compressive Strength Test (ISRM, 1981)
Mengukur kekuatan tekan batuan terhadap gaya aksial dan
mendapatkan modulus elastisitas serta nisbah Poisson.
iv. Uii Triaxial (ISRM, 1981)
Menentukan kekuatan tekan batuan yang diberi tegangan dari tiga
arah, mendapatkan selubung kekuatan batuan, kohesi, dan sudut
gesek dalam batuan.
v. Uji Geser Langsung (ISRM, 1981)
Mengukur kekuatan geser batuan terhadap gaya lateral yang
bekerja, serta mengetahui parameter kekuatan batuan, yaitu kohesi
dan sudut geek dalam dari bidang pecah karena geseran.
vi. Uji Point Load Strength Index (ISRM, 1981)
Mengukur kekuatan batuan terhadap bean terkonsentrasi.
vii. Uji Kecepatan Rambat Gelombang Ultrasonik (ISRM, 1981)
Mengukur kecepatan rambat gelombang ultrasonik (primer dan
sekunder) untuk menentukan Modulus Elastisitas dinamik dan
nisbah Poisson dinamik dari contoh uji.

Anda mungkin juga menyukai