GEOTEKNIK
195
196
tanah setempat, faktor luar seperti getaran akibat peledakan ataupun alat mekanis
yang beroperasi dan juga dari teknik penggalian yang digunakan dalam
pembuatan lereng. Faktor pengontrol ini jelas sangat berbeda untuk situasi
penambangan yang berbeda dan sangat penting untuk memberikan aturan yang
umum untuk menentukan seberapa tinggi atau seberapa landai suatu lereng untuk
memastikan lereng itu akan tetap stabil.
Dalam operasi penambangan masalah kemantapan lereng ini akan diketemukan pada
penggalian tambang terbuka, bendungan untuk cadangan air kerja, tempat
penimbunan limbah buangan (tailing disposal) dan penimbunan bijih (stockyard).
Apabila lereng-lereng yang terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit
slope) maupun yang merupakan sarana penunjang operasi penambangan (seperti
bendungan dan jalan) tidak stabil, maka akan mengganggu kegiatan produksi.
Kestabilan lereng penambangan dipengaruhi oleh geometri lereng, struktur batuan, sifat
fisik dan mekanik batuan serta gaya luar yang bekerja pada lereng tersebut. Suatu
cara yang umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng penambangan adalah
dengan faktor keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan
yang membuat lereng tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan
terjadinya longsor.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa analisis kemantapan lereng
merupakan suatu bagian yang penting untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap
kelancaran produksi maupun terjadinya bencana yang fatal. Dalam keadaan tidak
terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya berada dalam keadaan seimbang
terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam. Karena sesuatu sebab mengalami
perubahan keseimbangan akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan,
erosi atau aktivitas lain, maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai
keadaaan yang baru secara alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau
pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran-longsoran atau gerakan-gerakan
lain sampai tercapai keadaaan keseimbangan yang baru.
Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah bekerja
tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air dari pori. Ketiga hal di atas
mempunyai peranan penting dalam membentuk kestabilan lereng.
197
Sedangkan tanah atau batuan sendiri mempunyai sifat-sifat fisik asli tertentu, seperti
sudut geser dalam (angle of internal friction), kohesi dan bobot isi yang juga sangat
berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan yang juga mempengaruhi
kemantapan lereng. Oleh karena itu dalam usaha untuk melakukan analisis
kemantapan lereng harus diketahui dengan pasti sistem tegangan yang bekerja pada
tanah atau batuan dan juga sifat-sifat fisik aslinya. Dengan pengetahuan dan data
tersebut kemudian dapat dilakukan analisis kelakuan tanah atau batuan tersebut
jika digali atau diganggu. Setelah itu, bisa ditentukan geometri lereng yang
diperbolehkan atau mengaplikasi cara-cara lain yang dapat membantu lereng
tersebut menjadi stabil dan mantap.
4.2. Faktor Kestabilan Lereng
Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan
(safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya- gaya yang menahan gerakan
terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila
dirumuskan sebagai berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
a) F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
b) F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
c) F < 1,0 : lereng tidak mantap
Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan
perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Data
yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai FK (Faktor
keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
1. Data lereng atau geometri lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang
lereng). Meliputi : sudut kemiringan lereng, tinggi lereng dan lebar jalan angkut
atau berm pada lereng tersebut.
2. Data mekanika tanah
a. Sudut geser dalam (ɸ)
b. Bobot isi tanah atau batuan (γ)
c. Kohesi (c)
198
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah yang tidak terganggu
(Undisturb soil). Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama dalam perhitungan yang
menggunakan computer (terutama bila memerlukan data γdry atau bobot satuan isi
tanah kering, yaitu : γdry = γ wet / ( 1 + ω). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
dalam menganalisa kestabilan lereng penambangan adalah sebagai berikut : (Ir.
Karyono M.T, Diklat Perencanaan Tambang Terbuka, Unisba).
Gambar 4.1
Sketsa Lereng dan Gaya Yang Bekerja
Ga mb
ar 4.2.
Sk ets
a
Ga ya
Ya ng
Be ker
ja (τ
dan
S)
Pa da
Sat u
Sa yat
an
τ
F=
s
= W cos tan + c L
Dimana :
c L = kohesi sepanjang bidang gelincir L
adalah kuat geser batuan yang dinyatakan dengan parameter kohesi (c) dan sudut
geser dalam. Kekuatan geser batuan ini adalah kekuatan yang berfungsi sebagai gaya
untuk melawan atau menahan gaya penyebab kelongsoran.
a. Bobot Isi Tanah Atau Batuan
Nilai bobot isi tanah atau batuan akan menentukan besarnya beban yang diterima pada
permukaan bidang longsor, dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot isi
batuan juga dipengaruhi oleh jumlah kandungan air dalam batuan tersebut. Semakin
besar bobot isi pada suatu lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran
akan semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian laboratorium. Nilai bobot isi
batuan untuk analisa kestabilan lereng terdiri dari 3 parameter yaitu nilai Bobot isi
batuan pada kondisi asli, kondisi kering dan Bobot isi pada kondisi basah.
b. Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel dalam batuan, dinyatakan dalam
satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar jika kekuatan
gesernya makin besar. Nilai kohesi (c) diperoleh dari pengujian laboratorium yaitu
pengujian kuat geser langsung (direct shear strength test) dan pengujian triaxial
(triaxial test).
c. Sudut Geser Dalam
Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan antara tegangan
normal dan tegangan geser di dalam material tanah atau batuan. Sudut geser dalam
adalah sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material dikenai tegangan atau gaya
terhadapnya yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser dalam
suatu material maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan luar yang
dikenakan terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam, dinyatakan dalam
persamaan berikut : τnt = σn tan ϕ + c
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
ϕ = Sudut Geser Dalam
c = Kohesi
201
Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga dikenal dengan shear box
test adalah menggeser langsung contoh tanah atau batuan di bawah kondisi beban
normal tertentu. Pergeseran diberikan terhadap bidang pecahnya, sementara untuk
tanah dapat dilakukan pergeseran secara langsung pada conto tanah tersebut. Beban
normal yang diberikan diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan.
2. Struktur geologi
Keadaan struktur geologi yang harus diperhatikan pada analisa kestabilan lereng
penambangan adalah bidang-bidang lemah dalam hal ini bidang ketidak selarasan
(discontinuity).
Ada dua macam bidang ketidakselarasan yaitu :
a) Mayor discontinuity, seperti kekar dan patahan.
b) Minor discontinuity, seperti kekar dan bidang-bidang perlapisan.
Struktur geologi ini merupakan hal yang penting di dalam analisa kemantapan lereng
karena struktur geologi merupakan bidang lemah di dalam suatu masa batuan dan
dapat menurunkan atau memperkecil kestabilan lereng.
3. Geometri lereng
Geometri lereng yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng meliputi tinggi lereng,
kemiringan lereng dan lebar berm (b), baik itu lereng tunggal (Single slope) maupun
lereng keseluruhan (overall slope). Suatu lereng disebut lereng tunggal (Single slope)
jika dibentuk oleh satu jenjang saja dan disebut keseluruhan (overall slope) jika
dibentuk oleh beberapa jenjang.
Lereng yang terlalu tinggi akan cenderung untuk lebih mudah longsor dibanding
dengan lereng yang tidak terlalu tinggi dan dengan jenis batuan penyusun yang sama
atau homogen. Demikian pula dengan sudut lereng, semakin besar sudut kemiringan
lereng, maka lereng tersebut akan semakin tidak stabil. Sedangkan semakin besar lebar
berm maka lereng tersebut akan semakin stabil.
4. Tinggi muka air tanah
Muka air tanah yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar basah dan
batuannya mempunyai kandungan air yang tinggi, kondisi ini menjadikan kekuatan
batuan menjadi rendah dan batuan juga akan menerima tambahan beban air
yang dikandung, sehingga menjadikan lereng lebih mudah longsor.
202
5. Iklim
Iklim berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena iklim mempengaruhi perubahan
temperatur. Temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang singkat akan
mempercepat proses pelapukan batuan. Untuk daerah tropis pelapukan lebih cepat
dibandingkan dengan daerah dingin, oleh karena itu singkapan batuan pada lereng
di daerah tropis akan lebih cepat lapuk dan ini akan mengakibatkan lereng
mudah tererosi dan terjadi kelongsoran.
6. Gaya luar
Gaya luar yang mempengaruhi kestabilan lereng penambangan adalah beban alat
mekanis yang beroperasi diatas lereng, getaran yang diakibatkan oleh kegiatan
peledakan, dll.
4.2.1. Data Dasar Analisis
Data utama sebagai dasar analisa kemantapan lereng adalah :
1. Geometri lereng
Geometri lereng yang perlu diketahui untuk menentukan kemantapan lereng
adalah
a. Tinggi dan kemiringan lereng (tiap jenjang)
b. Lebar jenjang
Tinggi, lebar dan kemiringan lereng jenjang dapat diukur berdasarkan pengukuran
secara langsung dilapangan atau dengan cara pengukuran dari hasil penggambaran
peta.
2. Struktur geologi
Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah adanya bidang-
bidang diskontiniu atau bidang-bidang lemah yang berada disekitar atau tepat
disuatu lereng, antara lain : sesar, kekar, rekahan, ketidakselarasan, perlapisan
foliasi dan perlipatan.
4.2.2. Sifat Fisik dan Mekanik
Sifat fisik dan mekanik yang diperlukan untuk menganalisa kemantapan lereng
adalah:
1. Berat isi
203
Nilai berat isi dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan di laboratorium, yaitu
pemeriksaan berat isi, dengan tujuan untuk mengetahui berat isi material dari
sampel yang diambil dari lokasi penelitian. Sampel tersebut dapat diperoleh
mengunakan tabung contoh / sampel.
Analisa dari perhitungan biasanya dilakukan sebanyak tiga kali kemudian
dihitung rata-ratanya dan dapat dibuat dengan persamaan sebagai berikut:
Ws
γ =
V
Dimana :
γ = Berat isi (Kg/cm3)
Ws = Berat contoh basah (Kg)
V = Volume contoh (cm3)
2. Sudut geser dalam dan Kohesi
Pemeriksaan kuat geser dapat dilakukan dilaboratorium. Alat yang digunakan
untuk pemeriksaan kuat geser langsung adalah Direct Shear Test. Sedangkan
contoh tanah atau batuan yang digunakan untuk pemeriksaan adalah contoh tidak
terganggu yang diperoleh dari lokasi penelitian dengan mengunakan tabung
contoh atau sampel. Dari hasil pemeriksaan dilaboratorium didapat data yang
kemudian digambarkan kedalam grafik untuk mengetahui nilai kohesi dan nilai
sudut geser dalam.
4.2.3. Metode Analisa Kemantapan Lereng
Metode yang dipakai untuk menghitung atau menganalisa kemantapan suatu
lereng adalah dengan cara keseimbangan batas, yaitu dihitung besarnya kekuatan
yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan lereng, dari perbandingan ini
diperoleh Faktor Keamanan (FK).
Metode untuk menganalisa kemantapan lereng, secara garis besar dapat dibagi
tiga bagian , yaitu :
a. Pengamatan visual
b. Secara analistis
c. Secara grafik
204
pori.
d) Perubahan struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang terdapat di
tebing / lereng.
4.2.5. Berbagai Cara Analisis Kestabilan Lereng
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan
cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan
dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan
bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil
maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman dilapangan (Pangular,
1985).
Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai
bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan
memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
2. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus
(Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara
Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis
kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan
tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
a. Tak Terdrainase,
b. Efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
c. Meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau
dengan kedalaman
d. Berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu)
atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air
tanah. Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng
tanah melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang
gelincir saya yang dapat dihitung.
3. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor,
Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk
207
Tabel 4.1.
Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
NILAI FAKTOR KEAMANAN KEJADIAN/INTENSITAS
LONGSOR
F kurang dari 1,07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng
labil)
F antara 1,07 sampai 1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)
F diatas 2,5 Longsor jarang terjadi (lereng relatif
stabil)
meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke
puncak lereng.
2. Data mekanika tanah
a. sudut geser dalam (φ; derajat)
b. bobot satuan isi tanah basah (γwet; g/cm3 atau kN/m3 atau ton/m3)
Keterangan:
c = kohesi (kN/m2)
φ = sudut geser dalam (derajat)
α = sudut bidang gelincir pada tiap sayatan (derajat)
W = luas tiap bidang sayatan (M2) X bobot satuan isi tanah (γ, kN/m3)
Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah sebagai
berikut:
209
Tabel 4.2
Penampang Lubang Bor X
Lubang
Bor X Y Z dept
922092
DH01 776201 2 904 30
922101
DH02 776065 876
3 30
922104
DH03 776239 899
4 30
922112
DH04 776137 907
3 30
922114
DH05 775943 3 856 30
922117
DH06 776188 893
9 30
RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan pada
perhitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih.
Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung
walaupun mempunyai panjang lebih dari 10 cm. Diameter inti optimal yaitu
47,5mm. Nilai RQD ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan penyanggaan
terowongan. Saat ini RQD sebagai parameter standar dalam pemberian inti
pemboran dan merupakan salah satu parameter dalam penentuan klasifikasi massa
batuan RMR dan Q-System. Walaupun metode penghitungan dengan RQD ini
sangat mudah dan cepat, akan tetapi metode ini tidak memperhitungkan faktor
orientasi bidang diskontinyu, material pengisi, dll. Sehingga metode ini kurang
dapat menggambarkan keadaan massa batuan yang sebenarnya.
panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar
sesungguhnya, sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak.
Tabel 4.6
6. Orientation
Parameter ini merupakan tambahan terhadap parameter lainnya. Orientasi kekar
yang dimaksud adalah strike dan dip kekar. Bobot yang diberikan untuk parameter
ini sangat tergantung pada hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada
dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu dalam perhitungan,
bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari kelima parameter lainnya.
217
Tabel 4.8
Orientasi
Very Very
Strike and Dip Favourabl Fai Unfavourab
Favourabl Unfavourab
Orientations e r le
e le
Tunnels &
0 -2 -5 -10 -12
Mines
Foundatio
Rating 0 -2 -7 -15 -25
ns
Strike perpendicular to
Strike parallel to tunnel axis
tunnel axis
Drive with dip – Dip 45- Drive with dip – Dip Dip 20-
Dip 45-90°
90° 20-45° 45°
Very favourable Favourable Very unfavourable Fair
Drive againts dip – Dip Drive againts dip – Dip Dip 0 - 20° -
45-90° 20-45° irrespective of strike
Fair Unfavourable Fair
Tabel 4.10
Hasil uji sifat fisik batuan
Un Ud Us w S n
Kode
No Litologi (gr/cm3 (gr/cm3 (gr/cm3 e
Contoh % % %
) ) )
1 SF 1 Andesit 2,30 2,21 2,41 3,95 46,03 19,75 0,25
2 SF 2 Andesit 2,28 2,24 2,38 1,73 28,00 14,08 0,16
3 SF 3 Andesit 2,32 2,23 2,43 3,79 44,44 19,75 0,25
Rata -rata 2,30 2,23 2,40 3,16 39,49 17,86 0,22
Tabel 4.11
Hasil Uji Kuat Tekan Uniaksial (UCS)
UCS
Jenis E Rata
D UCS Rata E
Sampel Materia P (mm) - Rata v
(mm) (Mpa) -Rata (Mpa)
l (Mpa)
(Mpa)
SF1 tufa 101,1 40,2 46,34 8,01 0,25
SF2 tufa 98,8 40,5 46,35 8,04 0,24
SF3 tufa 100 40 46,33 8,02 0,27
SF4 tufa 100,5 41,2 46,34 8,05 0,21
46,34 8,02
SF5 tufa 99,1 42 46,35 8,09 0,2
SF6 tufa 100,3 39,8 46,33 8,11 0,2
SF7 tufa 100,5 38,7 46,35 7,9 0,28
SF8 tufa 100,2 41,3 46,33 7,96 0,24
SF9 gravel 101,1 39,7 46,3 8,4 0,21
SF10 gravel 98,8 40,5 46,29 8,21 0,22
SF11 gravel 100 41,6 46,31 8,3 0,2
SF12 gravel 100,5 40 46,29 8,06 0,2
46,3 8,17
SF13 gravel 99,1 39,8 46,31 8,12 0,18
SF14 gravel 100,3 39 46,3 8,15 0,19
SF15 gravel 100,5 39 46,29 8 0,24
SF16 gravel 100,2 38 46,31 8,13 0,19
SF17 andesit 100 40,2 59,4 8,06 0,31
SF18 andesit 98,8 40,5 5,39 59,4 8,09 8,12 0,31
SF19 andesit 100,6 40 5,41 8,04 0,28
221
Dilihat dari bentuk pecah contoh batu andesit hasil uji kuat tekan uniaksial (lihat
Gambar 4.1 dan Lampiran D), ketiga contoh batu andesit pecah membentuk tipe
belahan arah aksial (axial splitting). Tipe belahan secara aksial ini ditandai oleh
sudut pecah (angle of rupture, E) yang searah dengan arah tegangan utama mayor
(V1).Hal ini terjadi karena tidak adanya tegangan geser (W = 0) yang terjadi
pada contoh batuan karena tegangan utama minor (V3) pada uji kuat tekan
uniaksial bernilai nol. Bentuk pecah ini menandakan permukaan contoh batuan
yang halus dan sejajar dan tegak lurus terhadap arah pembebanan, sehingga akan
menyebabkan terbentuknya rekahan yang sejajar sumbu pembebanan oleh
tegangan tarik dan akhirnya menyebabkan batuan hancur.
V
1
bidang
pecah
searah V1
(E 0)
Gambar 4.1
222
Tabel 4.12
Hasil Uji Kuat Tarik Tak Langsung (Brazilian test)
Jenis
D σt
Sampel Materia P (mm) L/D
(mm) (Mpa)
l
SF1 tufa 101,1 40,2 2,51 2,7
SF2 tufa 98,8 40,5 2,44 2,8
SF3 tufa 100 40 2,50 2,7
SF4 tufa 100,5 41,2 2,44 2,8
SF5 tufa 99,1 42 2,36 2,7
SF6 tufa 100,3 39,8 2,52 2,8
SF7 tufa 100,5 38,7 2,60 2,7
SF8 tufa 100,2 41,3 2,43 2,8
SF9 gravel 101,1 39,7 2,55 2,7
SF10 gravel 98,8 40,5 2,44 2,8
SF11 gravel 100 41,6 2,40 2,7
SF12 gravel 100,5 40 2,51 2,8
SF13 gravel 99,1 39,8 2,49 2,7
SF14 gravel 100,3 39 2,57 2,7
SF15 gravel 100,5 39 2,58 2,6
SF16 gravel 100,2 38 2,64 2,8
SF17 andesit 100 40,2 2,49 2,7
SF18 andesit 98,8 40,5 2,44 2,7
SF19 andesit 100,6 40 2,52 2,7
223
menurut Jumikis (1982), besar kuat tarik batuan adalah ±10% dari kuat tekannya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini. Setelah dibandingkan antara nilai kuat
tarik batuan (Vt) dan kuat tekan (Vc) didapatkan besar kuat tarik batuan adalah
11,1% dari nilai kuat tekan.
Uji Brazilian dianggap valid apabila rekahan yang terbentuk adalah dalam arah
vertikal, berada pada bagian tengah contoh, dan sepanjang sumbu pembebanan
(Vutukuri, Lama & Saluja, 1974). Setelah melihat bentuk pecah hasil uji kuat
tarik tak langsung yang dilakukan pada penelitian ini (lihat Gambar 4.2 dan
Lampiran C), dapat dinyatakan bahwa hasil uji yang dilakukan valid
bidang pecah
searah F
224
Gambar 4.2
Bentuk pecah contoh batu hasil uji Brazilian yang searah dengan sumbu
pembebanan
3. Uji Triaksial
Salah satu pengujian ini merupakan pengujian yang terpenting dalam mekanika
batuan untuk menentukan kekuatan batuan dibawah tekanan Triaksial. Percontoh
yang digunakan berbentuk silinder dengan syarat-syarat sama pada pengujian kuat
tekan.
Dari hasil uji Triaksial dapat ditentukan :
1. Strength envelote (Kurva Intrisik), yaitu kurva yang menunjukan kekuatan
batuan terhadapa tahanan batuan yang ada berada diatasnya dimana terdapat
kohesi dan sudut geser dalam sebagai parameter keruntuhan batuan.
2. Kuat geser (Shear strength), yaitu gaya tahan internal yang bekerja persatuan
luas massa batuan untuk keruntuhan atau kegagalan sepanjang bidang runtuh
dalam massa batuan tersebut.
3. Sudut geser dalam (ϕ), yaitu sudut yang dibentuk dari hubungan antara
tegangan normal dan tegangan geser di dalam material tanah atau batuan.
Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material
dikenai tegangan atau gaya terhadapnya yang melebihi tegangan gesernya.
4. Kohesi (C), yaitu gaya tarik menarik antara partikel dalam batuan, dinyatakan
dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar jika
kekuatan gesernya makin besar.
225
Tabel 4.13
Data Uji Triaksial
Jenis
σ3 σ1
Sampel Materia Kohesi α (0)
(Mpa) (Mpa)
l
SF1 tufa 5 62,5 17,1 28
SF2 tufa 5 75,1 17,5 29
SF3 tufa 13 100,2 17,2 28
SF4 tufa 19 142,6 17,1 28
SF5 tufa 19 130,0 17,5 28
SF6 tufa 25 153,1 17 28
SF7 tufa 30 180,1 17,5 28
SF8 tufa 5 63,5 18,6 30
SF9 gravel 5 74,1 18,7 29
SF10 gravel 13 100,2 17,9 28
SF11 gravel 19 142,6 18,1 31
SF12 gravel 19 130,1 18 30
SF13 gravel 25 153,2 18,2 31
SF14 gravel 30 180,1 18,5 32
SF15 gravel 5 62,6 18,5 30
SF16 gravel 5 75,12 18,7 29
SF17 andesit 13 100,3 17 29
SF18 andesit 19 142,6 18 28
SF19 andesit 19 130,3 18 33
226
terbentuk batang-batang pendek yang relatif lurus. Maka pada bentang yang
panjang tadi disebut kontinum dan batang yang pendek disebut elemen hingga.
Suatu bidang yang luas dengan dimensi yang tidak teratur, dipotong-potong
berbentuk segi tiga atau bentuk segi empat yang beraturan. Bidang yang dengan
dimensi tidak beraturan tadi disebut kontinum, bidang segitiga atau segi empat
beraturan disebut elemen hingga. Dan banyak lagi persoalan yang identik dengan
hal diatas. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa elemen hingga merupakan
elemen diskrit dari suatu kontinum yang mana perilaku strukturnya masih dapat
mewakili perilaku struktur kontinumnya secara keseluruhan. Pendekatan dengan
elemen hingga merupakan suatu analisis pendekatan yang berdasarkan asumsi
peralihan atau asumsi tegangan, bahkan dapat juga berdasarkan kombinasi dari
kedua asumsi tadi dalam setiap elemennya. Karena pendekatan berdasarkan fungsi
peralihan merupakan teknik yang sering sekali dipakai, maka langkah-langkah
berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman bila menggunakan pendekatan
berdasarkan asumsi tersebut :
1. Bagilah kontinum menjadi sejumlah elemen (Sub-region) yang berhingga
dengan geometri yang sederhana (segitiga, segiempat, dan lain sebagainya.
2. Titik-titik pada elemen yang diperlakukan sebagai titik nodal, dimana syarat
keseimbangan dan kompatibilitas dipenuhi.
3. Asumsikan fungsi peralihan pada setiap elemen sedemikian rupa sehingga
peralihan pada setiap titik sembarangan dipengaruhi oleh nilai-nilai titik
nodalnya.
4. Pada setiap elemen khusus yang dipilih tadi harus dipenuhi persyaratan
hubungan regangan peralihan dan hubungan rengangan-tegangannya.
5. Tentukan kekakuan dan beban titik nodal ekivalen untuk setiap elemen dengan
menggunakan prinsip usaha atau energi.
6. Turunkan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.
7. Selesaikan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.
8. Hitung tegangan pada titik tertentu pada elemen tadi.
9. Tentukan reaksi perletakan pada titik nodal yang tertahan bila diperlukan.
229
metode elemen hingga. Analisis perhitungan faktor keamanan pada lereng batuan
tuff menggunakan metode elemen hingga hanya membandingkan bentuk elemen
segitiga 3 nodal (T3) dan elemen segitiga 6 nodal (T6) dimana hasilnya
perhitungan faktor keamanan tersebut mana yang lebih mendekati keadaan
lapangan. Analisis perhitungan faktor keamanan lereng menggunakan metode
elemen hingga dengan elemen segitiga 3 nodal (T3) dan elemen segitiga 6 nodal
(T6) dan menggunakan software phase2 v.8. Analisis ini conto batuan yang
digunakan adalah tuff yang diambil dari Desa Sadu, Kecamatan Soreang,
Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Analisis ini membandingkan hasil nilai
faktor keamanan pada bentuk elemen segitiga 3 nodal (T3) dan segitiga 6 nodal
(T6) pada metode elemen hingga. Berdasarkan analisis yang dilakukan bentuk
elemen segitiga 3 nodal (T3) dan segitiga 6 nodal (T6) sangat mempengaruhi nilai
faktor keamanan lereng. Dimana nilai faktor kemanan dengan bentuk elemen
segitiga 3 nodal (T3) jumlah nodal 100 FK 2,69 sedangkan untuk jumlah nodal
1000 FK 1,88 dan nilai faktor keamanan dengan bentuk elemen segitiga 6 nodal
(T6) jumlah nodal 100 FK 1,88. Jadi saat perhitungan dengan menggunakan
elemen segitiga 3 nodal (T3) dengan 1000 nodal hasil nilai faktor keamanan yang
didapatkan akan sama hasilnya dengan menggunakan elemen segitiga 6 nodal
dengan 100 nodal.
Tutorialdasar bagaimana mendapatkan SF (Safety Factor – Faktor Keamanan),
agar lereng tambang yang kita buat tetap stabil namun tepat memenuhi kriteria
ekonomis.
Untuk lereng tambang, Faktor Keamanan yang terbaik adalah 1,300. Sebenarnya
suatu lereng sudah dapat dikatakan stabil bila FK-nya = 1,000, namun FK diangka
1,000 dinilai sangat kritis, karena apabila FK ˂ 1,000 maka lereng tersebut
longsor. Namun sangat berbeda dengan lereng tambang FK untuk lereng sipil
sangat amat besar yaitu ≥ 12 (CMIIW).
Dalam penentuan FK ini menggunakan metode SRF (Strenght Reduction Factor).
Phase2
1. Buat Geometri SRF seperti sebagai berikut dengan menggunakan software
Phase2.
231
Selanjutnya : Mesh > Discretize, kemudian : Mesh > Mesh. Maka gambar akan
menjadi seperti ini.
Arahkan kursos mulai dari ujung permukaan line, kemudian ikuti topo
permukaan, sampai ke ujung berikutnya. (Kondisi persis mengikuti topo spt ini
adalah kondisi dengan air jenuh.)
Tabel 4.14
Tabel 4.15
Tabel 4.16
RQD
DH Sample depth
(%)
GT - 1 0-2 61
GT - 2 3-5 66
DH01
GT - 3 19 - 21 58
GT - 4 24 - 26 76
GT - 5 0-2 59
GT - 6 11 - 13 51
DH02
GT - 7 22 - 24 60
GT - 8 26 - 28 78
GT - 9 1-3 62
GT - 10 22 - 24 62
DH03
GT - 11 32 - 34 65
GT - 12 37 - 39 81
GT - 13 0-2 58
GT - 14 31 - 33 62
DH04
GT - 15 52 - 53 64
GT - 16 55 - 57 79
Tabel 4.17