Anda di halaman 1dari 39

BAB IV

GEOTEKNIK

4.1. Prinsip Dasar Analitik Kestabilan Lereng


Geoteknik atau dikenal sebagai engineering geology merupakan bagian dari
rekayasa perencanaan tambang (mine plan) yang didasarkan pada pengetahuan yang
terkumpul selama sejarah penambangan. Seorang mine plan yang merancang
terowongan, jalan raya, bendungan atau yang lainnya memerlukan suatu estimasi
bagaimana tanah dan batuan akan merespon tegangan, sehingga dalam hal ini
penyelidikan geoteknik merupakan bagian dari uji lokasi dan merupakan dasar
untuk pemilihan lokasi. Bagian dari ilmu geoteknik yang berhubungan dengan respon
material alami terhadap gejala deformasi disebut dengan geomekanika.
Di dalam operasi penambangan, masalah kemantapan lereng akan ditemukan pada
Penggalian Tambang Terbuka (open pit ataupun open cut), bendungan untuk
cadangan air kerja, di tempat – tempat penimbunan bahan buangan (tailing
disposal) dan di penimbunan bijih (stockyard). Apabila lereng yang terbentuk
sebagai akibat dari proses penambangan (pit slope) maupun yang merupakan sarana
penunjang operasi penambangan (bendungan, jalan, dll) itu tidak stabil maka
kegiatan produksi akan terganggu.
Oleh karena itu suatu analisis kemantapan lereng merupakan suatu bagian yang
penting untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap kelancaran produksi maupun
terjadinya bencana yang fatal. Kemantapan (stabilitas) lereng merupakan suatu faktor
yang sangat penting dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan
penimbunan tanah, batuan dan bahan galian, karena menyangkut persoalan
keselamatan manusia (pekerja), keamanan peralatan serta kelancaran produksi.
Keadaan ini berhubungan dengan terdapat dalam bermacam-macam jenis pekerjaan,
misalnya pada pembuatan jalan, bendungan, penggalian kanal, penggalian untuk
konstruksi, penambangan dan lain-lain.
Kestabilan dari suatu lereng pada kegiatan penambangan dipengaruhi oleh kondisi
geologi daerah setempat, bentuk keseluruhan lereng pada lokasi tersebut, kondisi air

195
196

tanah setempat, faktor luar seperti getaran akibat peledakan ataupun alat mekanis
yang beroperasi dan juga dari teknik penggalian yang digunakan dalam
pembuatan lereng. Faktor pengontrol ini jelas sangat berbeda untuk situasi
penambangan yang berbeda dan sangat penting untuk memberikan aturan yang
umum untuk menentukan seberapa tinggi atau seberapa landai suatu lereng untuk
memastikan lereng itu akan tetap stabil.
Dalam operasi penambangan masalah kemantapan lereng ini akan diketemukan pada
penggalian tambang terbuka, bendungan untuk cadangan air kerja, tempat
penimbunan limbah buangan (tailing disposal) dan penimbunan bijih (stockyard).
Apabila lereng-lereng yang terbentuk sebagai akibat dari proses penambangan (pit
slope) maupun yang merupakan sarana penunjang operasi penambangan (seperti
bendungan dan jalan) tidak stabil, maka akan mengganggu kegiatan produksi.
Kestabilan lereng penambangan dipengaruhi oleh geometri lereng, struktur batuan, sifat
fisik dan mekanik batuan serta gaya luar yang bekerja pada lereng tersebut. Suatu
cara yang umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng penambangan adalah
dengan faktor keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan
yang membuat lereng tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan
terjadinya longsor.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa analisis kemantapan lereng
merupakan suatu bagian yang penting untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap
kelancaran produksi maupun terjadinya bencana yang fatal. Dalam keadaan tidak
terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya berada dalam keadaan seimbang
terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam. Karena sesuatu sebab mengalami
perubahan keseimbangan akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan,
erosi atau aktivitas lain, maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai
keadaaan yang baru secara alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau
pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran-longsoran atau gerakan-gerakan
lain sampai tercapai keadaaan keseimbangan yang baru.
Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah bekerja
tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air dari pori. Ketiga hal di atas
mempunyai peranan penting dalam membentuk kestabilan lereng.
197

Sedangkan tanah atau batuan sendiri mempunyai sifat-sifat fisik asli tertentu, seperti
sudut geser dalam (angle of internal friction), kohesi dan bobot isi yang juga sangat
berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan yang juga mempengaruhi
kemantapan lereng. Oleh karena itu dalam usaha untuk melakukan analisis
kemantapan lereng harus diketahui dengan pasti sistem tegangan yang bekerja pada
tanah atau batuan dan juga sifat-sifat fisik aslinya. Dengan pengetahuan dan data
tersebut kemudian dapat dilakukan analisis kelakuan tanah atau batuan tersebut
jika digali atau diganggu. Setelah itu, bisa ditentukan geometri lereng yang
diperbolehkan atau mengaplikasi cara-cara lain yang dapat membantu lereng
tersebut menjadi stabil dan mantap.
4.2. Faktor Kestabilan Lereng
Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan
(safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya- gaya yang menahan gerakan
terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila
dirumuskan sebagai berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
a) F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
b) F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
c) F < 1,0 : lereng tidak mantap
Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan
perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Data
yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai FK (Faktor
keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
1. Data lereng atau geometri lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang
lereng). Meliputi : sudut kemiringan lereng, tinggi lereng dan lebar jalan angkut
atau berm pada lereng tersebut.
2. Data mekanika tanah
a. Sudut geser dalam (ɸ)
b. Bobot isi tanah atau batuan (γ)
c. Kohesi (c)
198

d. Kadar air tanah (ω)


3. Faktor Luar
a. Getaran akibat kegiatan peledakan,
b. Beban alat mekanis yang beroperasi, dll.

Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah yang tidak terganggu
(Undisturb soil). Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama dalam perhitungan yang
menggunakan computer (terutama bila memerlukan data γdry atau bobot satuan isi
tanah kering, yaitu : γdry = γ wet / ( 1 + ω). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
dalam menganalisa kestabilan lereng penambangan adalah sebagai berikut : (Ir.
Karyono M.T, Diklat Perencanaan Tambang Terbuka, Unisba).

Gambar 4.1
Sketsa Lereng dan Gaya Yang Bekerja

 = cL + (W+V) cos  -  tan 


s = (W+V) sin 
F =  /s (sepanjang bidang gelincir)
Keterangan :
F = aktor Keamanan lereng (tak bersatuan)
L = panjang segmen bidang gelincir (meter)
 = gaya ketahanan geser / tahanan geser sepanjang L (ton/M2)
s = gaya dorong geser (ton/M2)
 = sudut geser dalam massa lereng (derajat)
W = bobot massa di atas segmen L (Ton)
199

V = beban luar (Ton)


 = tekanan pori ( air x h x L)
h = panjang garis ekuipotensial ke titik berat L (meter)
 = sudut yang di bentuk oleh bidang gelincir dengan bidang horisontal (derajat).

Ga mb
ar 4.2.
Sk ets
a
Ga ya
Ya ng
Be ker
ja (τ
dan
S)
Pa da
Sat u
Sa yat
an

τ
F=
s
 = W cos  tan  + c L

Dimana :
c L = kohesi sepanjang bidang gelincir L

1. Kuat Geser Tanah atau Batuan


Kekuatan yang sangat berperan dalam analisa kestabilan lereng terdiri dari sifat fisik
dan sifat mekanik dari batuan tersebut. Sifat fisik batuan yang digunakan dalam
menganalisa kemantapan lereng adalah bobot isitanah, sedangkan sifat mekaniknya
200

adalah kuat geser batuan yang dinyatakan dengan parameter kohesi (c) dan sudut
geser dalam. Kekuatan geser batuan ini adalah kekuatan yang berfungsi sebagai gaya
untuk melawan atau menahan gaya penyebab kelongsoran.
a. Bobot Isi Tanah Atau Batuan
Nilai bobot isi tanah atau batuan akan menentukan besarnya beban yang diterima pada
permukaan bidang longsor, dinyatakan dalam satuan berat per volume. Bobot isi
batuan juga dipengaruhi oleh jumlah kandungan air dalam batuan tersebut. Semakin
besar bobot isi pada suatu lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran
akan semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian laboratorium. Nilai bobot isi
batuan untuk analisa kestabilan lereng terdiri dari 3 parameter yaitu nilai Bobot isi
batuan pada kondisi asli, kondisi kering dan Bobot isi pada kondisi basah.
b. Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel dalam batuan, dinyatakan dalam
satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar jika kekuatan
gesernya makin besar. Nilai kohesi (c) diperoleh dari pengujian laboratorium yaitu
pengujian kuat geser langsung (direct shear strength test) dan pengujian triaxial
(triaxial test).
c. Sudut Geser Dalam
Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan antara tegangan
normal dan tegangan geser di dalam material tanah atau batuan. Sudut geser dalam
adalah sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material dikenai tegangan atau gaya
terhadapnya yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser dalam
suatu material maka material tersebut akan lebih tahan menerima tegangan luar yang
dikenakan terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam, dinyatakan dalam
persamaan berikut : τnt = σn tan ϕ + c
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
ϕ = Sudut Geser Dalam
c = Kohesi
201

Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga dikenal dengan shear box
test adalah menggeser langsung contoh tanah atau batuan di bawah kondisi beban
normal tertentu. Pergeseran diberikan terhadap bidang pecahnya, sementara untuk
tanah dapat dilakukan pergeseran secara langsung pada conto tanah tersebut. Beban
normal yang diberikan diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan.
2. Struktur geologi
Keadaan struktur geologi yang harus diperhatikan pada analisa kestabilan lereng
penambangan adalah bidang-bidang lemah dalam hal ini bidang ketidak selarasan
(discontinuity).
Ada dua macam bidang ketidakselarasan yaitu :
a) Mayor discontinuity, seperti kekar dan patahan.
b) Minor discontinuity, seperti kekar dan bidang-bidang perlapisan.
Struktur geologi ini merupakan hal yang penting di dalam analisa kemantapan lereng
karena struktur geologi merupakan bidang lemah di dalam suatu masa batuan dan
dapat menurunkan atau memperkecil kestabilan lereng.
3. Geometri lereng
Geometri lereng yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng meliputi tinggi lereng,
kemiringan lereng dan lebar berm (b), baik itu lereng tunggal (Single slope) maupun
lereng keseluruhan (overall slope). Suatu lereng disebut lereng tunggal (Single slope)
jika dibentuk oleh satu jenjang saja dan disebut keseluruhan (overall slope) jika
dibentuk oleh beberapa jenjang.
Lereng yang terlalu tinggi akan cenderung untuk lebih mudah longsor dibanding
dengan lereng yang tidak terlalu tinggi dan dengan jenis batuan penyusun yang sama
atau homogen. Demikian pula dengan sudut lereng, semakin besar sudut kemiringan
lereng, maka lereng tersebut akan semakin tidak stabil. Sedangkan semakin besar lebar
berm maka lereng tersebut akan semakin stabil.
4. Tinggi muka air tanah
Muka air tanah yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar basah dan
batuannya mempunyai kandungan air yang tinggi, kondisi ini menjadikan kekuatan
batuan menjadi rendah dan batuan juga akan menerima tambahan beban air
yang dikandung, sehingga menjadikan lereng lebih mudah longsor.
202

5. Iklim
Iklim berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena iklim mempengaruhi perubahan
temperatur. Temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang singkat akan
mempercepat proses pelapukan batuan. Untuk daerah tropis pelapukan lebih cepat
dibandingkan dengan daerah dingin, oleh karena itu singkapan batuan pada lereng
di daerah tropis akan lebih cepat lapuk dan ini akan mengakibatkan lereng
mudah tererosi dan terjadi kelongsoran.
6. Gaya luar
Gaya luar yang mempengaruhi kestabilan lereng penambangan adalah beban alat
mekanis yang beroperasi diatas lereng, getaran yang diakibatkan oleh kegiatan
peledakan, dll.
4.2.1. Data Dasar Analisis
Data utama sebagai dasar analisa kemantapan lereng adalah :
1. Geometri lereng
Geometri lereng yang perlu diketahui untuk menentukan kemantapan lereng
adalah
a. Tinggi dan kemiringan lereng (tiap jenjang)
b. Lebar jenjang
Tinggi, lebar dan kemiringan lereng jenjang dapat diukur berdasarkan pengukuran
secara langsung dilapangan atau dengan cara pengukuran dari hasil penggambaran
peta.
2. Struktur geologi
Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah adanya bidang-
bidang diskontiniu atau bidang-bidang lemah yang berada disekitar atau tepat
disuatu lereng, antara lain : sesar, kekar, rekahan, ketidakselarasan, perlapisan
foliasi dan perlipatan.
4.2.2. Sifat Fisik dan Mekanik
Sifat fisik dan mekanik yang diperlukan untuk menganalisa kemantapan lereng
adalah:
1. Berat isi
203

Nilai berat isi dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan di laboratorium, yaitu
pemeriksaan berat isi, dengan tujuan untuk mengetahui berat isi material dari
sampel yang diambil dari lokasi penelitian. Sampel tersebut dapat diperoleh
mengunakan tabung contoh / sampel.
Analisa dari perhitungan biasanya dilakukan sebanyak tiga kali kemudian
dihitung rata-ratanya dan dapat dibuat dengan persamaan sebagai berikut:
Ws
γ =
V
Dimana :
γ = Berat isi (Kg/cm3)
Ws = Berat contoh basah (Kg)
V = Volume contoh (cm3)
2. Sudut geser dalam dan Kohesi
Pemeriksaan kuat geser dapat dilakukan dilaboratorium. Alat yang digunakan
untuk pemeriksaan kuat geser langsung adalah Direct Shear Test. Sedangkan
contoh tanah atau batuan yang digunakan untuk pemeriksaan adalah contoh tidak
terganggu yang diperoleh dari lokasi penelitian dengan mengunakan tabung
contoh atau sampel. Dari hasil pemeriksaan dilaboratorium didapat data yang
kemudian digambarkan kedalam grafik untuk mengetahui nilai kohesi dan nilai
sudut geser dalam.
4.2.3. Metode Analisa Kemantapan Lereng
Metode yang dipakai untuk menghitung atau menganalisa kemantapan suatu
lereng adalah dengan cara keseimbangan batas, yaitu dihitung besarnya kekuatan
yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan lereng, dari perbandingan ini
diperoleh Faktor Keamanan (FK).
Metode untuk menganalisa kemantapan lereng, secara garis besar dapat dibagi
tiga bagian , yaitu :
a. Pengamatan visual
b. Secara analistis
c. Secara grafik
204

4.2.4. Klasifikasi Kelongsoran


Jenis atau bentuk longsoran tergantung pada jenis material penyusun dari suatu
lereng dan juga struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut. Karena batuan
mempunyai sifat yang berbeda, maka jenis longsorannya pun akan berbeda pula.
Menurut Dr. Ir, Made Astawa Rai, (1998) longsoran pada kegiatan pertambangan
secara umum diklasifikaskan menjadi empat bagian, yaitu :
1. Longsoran Bidang (plane failure)
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi disepanjang bidang
luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa rekahan, sesar maupun
bidang perlapisan batuan. Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang adalah :
a. Bidang luncur mempunyai arah yang tidak berbentuk lingkaran.
b. Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang luncur dapat dilihat di
muka lereng, dengan kata lain kemiringan bidang gelincir lebih kecil dari kemiringan
lereng.
c. Kemiringan bidang luncur lebih besar dari pada sudut geser dalamnya.
d. Terdapat bidang bebas pada kedua sisi longsoran.
2. Longsoran Baji (wedge failure)
Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga diakibatkan oleh adanya
struktur geologi yang berkembang. Perbedaannya adalah adanya dua struktur geologi
(dapat sama jenis atau berbeda jenis) yang berkembang dan saling berpotongan.
Syarat terjadinya longsoran baji adalah sebagai berikut :
a. Longsoran baji ini terjadi bila dua buah jurus bidang diskontinyu saling berpotongan
pada muka lereng
b. Sudut garis potong kedua bidang tersebut terhadap horizontal (i) lebih besar
dari pada sudut geser dalam (ϕ) dan lebih kecil dari pada sudut kemiringan lereng
(i).
c. Longsoran terjadi menurut garis potong kedua bidang tersebut.
3. Longsoran Guling (toppling failure)
Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras dengan bidang-
bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah
kemiringan lereng. Kondisi untuk menggelincir atau mengguling ditentukan oleh sudut
205

geser dalam dan kemiringan sudut bidang gelincirnya.


4. Longsoran Busur (circular failure)
Longsoran busur merupakan longsoran yang paling umum terjadi di alam,
terutama pada tanah dan batuan yang telah mengalami pelapukan sehingga hampir
menyerupai tanah. Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi
jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidan-bidang
lemah (rekahan) dengan jarak yang sangat rapat kedudukannya.
Dengan demikian longsoran busur juga terjadi pada batuan yang rapuh atau lunak
serta banyak mengandung bidang lemah, maupun pada tumpukan batuan yang hancur.
Pada dasarnya longsoran akan terjadi karena dua sebab, yaitu naiknya tegangan geser
(shear stress) dan menurunnya kekuatan geser (shear strenght). Adapun faktor
yang dapat menaikkan tegangan geser adalah :
a. Pengurangan penyanggaan lateral, antara lain karena erosi, longsoran terdahulu
yang menghasilkan lereng baru dan kegiatan manusia.
b. Pertambahan tegangan, antara lain karena penambahan beban, tekanan air
rembesan, dan penumpukan.
c. Gaya dinamik, yang disebabkan oleh gempa dan getaran lainnya.
d. Pengangkatan atau penurunan regional, yang disebabkan oleh gerakan
pembentukan pegunungan dan perubahan sudut kemiringan lereng.
e. Pemindahan penyangga, yang disebabkan oleh pemotongan tebing oleh sungai,
pelapukan dan erosi di bawah permukaan, kegiatan pertambangan dan
terowongan, berkurangnya/hancurnya material dibagian dasar.
f. Tegangan lateral, yang ditimbulkan oleh adanya air di rekahan serta pembekuan
air, penggembungan lapisan lempung dan perpindahan sisa tegangan. Sedangkan
faktor yang mengurangi kekuatan geser adalah :
a) Keadaan atau rona awal, memang sudah rendah dari awal disebabkan oleh
komposisi, tekstur, struktur dan geometri lereng.
b) Perubahan karena pelapukan dan reaksi kimia fisik, yang menyebabkan lempung
berposi menjadi lunak, di sinteggrasi batuan granular, turunnya kohesi,
penggembungan lapisan lempung, pelarutan material penyemen batuan.
c) Perubahan gaya antara butiran karena pengaruh kandungan air dan tekanan air
206

pori.
d) Perubahan struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang terdapat di
tebing / lereng.
4.2.5. Berbagai Cara Analisis Kestabilan Lereng
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan
cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan
dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan
bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil
maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman dilapangan (Pangular,
1985).
Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai
bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan
memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
2. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus
(Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara
Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis
kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan
tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
a. Tak Terdrainase,
b. Efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
c. Meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau
dengan kedalaman
d. Berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu)
atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air
tanah. Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng
tanah melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang
gelincir saya yang dapat dihitung.
3. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor,
Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk
207

material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen


(terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara
komputasi).
Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat
menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur
strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penulisan-penulisan yang dilakukan dan studi-studi yang
menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor
Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti
yang diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1.
Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
NILAI FAKTOR KEAMANAN KEJADIAN/INTENSITAS
LONGSOR
F kurang dari 1,07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng
labil)
F antara 1,07 sampai 1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)
F diatas 2,5 Longsor jarang terjadi (lereng relatif
stabil)

4.2.6. Cara Sederhana Perhitungan Faktor Keamanan Lereng


Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode.
Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F dapat dihitung dengan
metoda sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk suatu
lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai
faktor keamanannya dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi lereng longsor,
sebaiknya nilai F yang diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan
demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan dalam
suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai F (faktor keamanan lereng)
adalah sebagai berikut :
1. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng)
208

meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke
puncak lereng.
2. Data mekanika tanah
a. sudut geser dalam (φ; derajat)

b. bobot satuan isi tanah basah (γwet; g/cm3 atau kN/m3 atau ton/m3)

c. kohesi (c; kg/cm2 atau kN/m2 atau ton/m2)


d. kadar air tanah (ω; %)
Data mekanik tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak terganggu.
Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama dalam perhitungan yang menggunakan
komputer (terutama bila memerlukan data γdry atau bobot satuan isi tanah
kering, yaitu: γdry=γwet/(1+ω). Pada lereng yang dipengaruhi oleh muka air
tanah nilai F (dengan metoda sayatan, Fellenius) adalah sebagai berikut:

Keterangan:

c = kohesi (kN/m2)
φ = sudut geser dalam (derajat)
α = sudut bidang gelincir pada tiap sayatan (derajat)

µ = tekanan air pori (kN/m2)


l = panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m);
L = jumlah panjang bidang gelincir
µi x li = tekanan pori di setiap sayatan (kN/m)

W = luas tiap bidang sayatan (M2) X bobot satuan isi tanah (γ, kN/m3)
Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah sebagai
berikut:
209

4.3. Penyelidikan Lapangan


4.3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian termasuk ke dalam Kecamatan Soreang, Kabupaten
Bandung, tepatnya di Desa Sadu yang terletak di sebelah barat daya Kota
Bandung. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1997),
lokasi penelitian merupakan batuan terobosan atau intrusi andesit. Kecamatan
Soreang dikelilingi oleh endapan danau, dan dilator belakangi oleh intrusi
dasit dari arah timur laut hingga tenggara serta intrusi andesit dari arah
tenggara hingga barat daya. Seratus meter ke arah tenggara dari lokasi
penelitian, dapat dijumpai sungai berarah N 307°E dengan lebar 1 meter.
Sungai ini merupakan sungai interminten, yaitu sungai yang aliran airnya
tidak selalu ada sepanjang tahun. Aliran air hanya ada pada musim penghujan.
Keadaan Geologi Berdasarkan Silitonga (1979), Alzwar, dkk (1992),
Sudjatmiko, (1972), dan Koesmono, dkk (1972), daerah penelitian terdiri dari
lima satuan, yaitu: (1) Formasi Beser (Tmb; Tmbe); (2) Andesit (a; Tpia; Pa);
(3) Breksi Tuufaan, Lava Batupasir, Konglomerat (Pb); (4) Endapan Danau
(Ql;Qd); dan (5) Aluvium(Qa). Mayoritas material yang mengisi formasi-
formasi batuan tersebut ialah produk vulkanik (piroklastik). Selain itu,
terdapat juga intrusi Andesit Hornblenda dan Andesit Piroksen.
4.3.2. Data Pemboran Geoteknik
Pengeboran untuk keperluan pengambilan sample telah dilakukan pada 6 lubang
bor di wilayah konsesi PT. Pochinki Invesment (Kelompok 4), yaitu lubang bor
DH01 sampai DH06. Kedalaman pengeboran masing-masing lubang bor
210

bervariasi antara 18 m sampai dengan 30 m. Data lokasi dan kedalaman masing-


masing lubang bor dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2
Penampang Lubang Bor X

Lubang
Bor X Y Z dept
922092
DH01 776201 2 904 30
922101
DH02 776065 876
3 30
922104
DH03 776239 899
4 30
922112
DH04 776137 907
3 30
922114
DH05 775943 3 856 30
922117
DH06 776188 893
9 30

4.3.3. Kondisi Massa Batuan


4.3.3.1 Kondisi Massa Batuan Secara Umum
D i dalam Geoteknik, Klasifikasi Massa Batuan yang pertama diperkenalkan
sekitar 60 Tahun yang lalu yang ditujukan untuk Terowongan dengan
penyanggaan menggunakan Penyangga Baja. Klasifikasi Massa Batuan
dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dilapangan secara
cepat dan tidak ditujukan untuk mengganti studi analitik, observasi lapangan,
Pengukuran, dan Engineering Judgement. Tujuan dari Klasifikasi Massa Batuan
adalah untuk :
211

a) Mengidentifikasi parameter-parameter yang mempengaruhi kelakuan/sifat


massa batuan
b) Membagi massa batuan ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai
kesamaan sifat dan kualitas
c) Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat karakteristik setiap kelas massa
batuan
d) Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik
e) Menyediakan dasar acuan untuk komunikasi antara geologist dan engineer.
Dikarenakan kompleknya suatu massa batuan, beberapa penelitian berusaha untuk
mencari hubungan antara desain galian batuan dengan parameter massa batuan.
Banyak dari metode-metode tersebut telah dimodifikasi oleh yang lainnya dan
sekarang banyak digunakan untuk penelitian awal atau bahkan untuk desain akhir.

Beberapa klasifikasi massa batuan yang dikenal saat ini adalah :


a. Metode Klasifikasi Beban Batuan (Rock Load)
b. Klasifikasi Stand Up Time
c. Rock Quality Designation (RQD)
d. Rock Mass Rating (RMR)
e. Q-System

a. Klasifikasi Stand Up Time


Metode ini diperkenalkan oleh Laufier pada tahun 1958. Metode ini bahwa
dengan bertambahnya Span terowongan akan menyebabkan berkurangnya waktu
berdirinya terowongan tersebut tanpa penyanggaan. Stand Up Time berhubungan
langsung dengan Mus. Metode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan
klasifikasi massa batuan selanjutnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
Stand-Up Time adalah : arah sumbu terowongan, bentuk potongan melintang,
metode penggalian, dan metode penyanggaan. MUS juga berhubungan dengan
Klasifikasi ini. MUS (Maximal Unsupporting Span) MUS adalah maksimal jarak
bukaan Front tanpa penyangga yang diijinkan.

b. Rock Quality Designation (RQD)


212

RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan pada
perhitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih.
Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung
walaupun mempunyai panjang lebih dari 10 cm. Diameter inti optimal yaitu
47,5mm. Nilai RQD ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan penyanggaan
terowongan. Saat ini RQD sebagai parameter standar dalam pemberian inti
pemboran dan merupakan salah satu parameter dalam penentuan klasifikasi massa
batuan RMR dan Q-System. Walaupun metode penghitungan dengan RQD ini
sangat mudah dan cepat, akan tetapi metode ini tidak memperhitungkan faktor
orientasi bidang diskontinyu, material pengisi, dll. Sehingga metode ini kurang
dapat menggambarkan keadaan massa batuan yang sebenarnya.

c. Rock Mass Rating (RMR)


Metode RMR (Rock Mass Rating) dari Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu
klasifikasi masa batuan yang disebut Rock Mass Rating (RMR). Metode ini telah
dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang berbeda -
beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara, kestabilan
lereng, dan kestabilan pondasi. 6 Parameter yang digunakan dalam klasifikasi
massa batuan menggunakan Sistem RMR yaitu :

1. Kuat Tekan Batuan (Strength of Intact Rock Material)


2. Rock Quality Designation (RQD)
3. Spasi Bidang Diskontinyu (Spacing of Discontinuities)
4. Kondisi Bidang Diskontinyu (Condition of Discontinuities)
5. Kondisi Air Tanah (Groundwater Condition)
6. Orientasi/Arah Bidang Diskontinyu (Orientation of Discontinuities)
Kualitas massa batuan di daerah penelitian menurut metode RMR dari Bieniawski
(1992) dibagi menjadi empat kelas, yaitu baik, cukup, buruk, dan sangat buruk.

1. Kuat Tekan Batuan (Uniaxial Compresive Strength)


213

Untuk menentukan kekuatan batuan, digunakan klasifikasi Uniaxial Compressive


Strength (UCS). Semakin keras suatu batuan maka kekuatan kuat tekannya
semakin tinggi dan kualitas suatu batuan juga semakin bagus.
Tabel 4.3
Kuat tekan Batuan
Point Load For this low range
4 - 10
Strength >10 Mpa 2 - 4 Mpa 1 -2 Mpa uniaxial compressive
Mpa
Index test is preferred
Uniaxial
>250 100 - 250 50 - 100 25 - 50 5 - 25 1-5 <1
Comp.
Mpa Mpa Mpa Mpa
Strength Mpa Mpa Mpa
Rating 15 12 7 4 2 1 0

2. RQD (Rock Quality Designation)


RQD merupakan penjumlahan panjang inti bor yang lebih dari > 100 mm yang
kemudian dibagi dengan panjang total dan dinyatakan dalam persen. Apabila core
log tidak tersedia maka perhitungan RQD dapat diperoleh dengan metode tak
langsung. Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core
lost tersedia.
Table 4.4
RQD
RQD Kualitas massa batuan
< 25% Sangat jelek
25 – 50% Jelek
50 – 75% Sedang
75 – 90% Baik
90 – 100% Sangat baik
214

Total length of core run = 200


cm

∑ Length of core pieces >10 cm


RQD = [ Total lenght of core
∗100 ]
35+17+20+35
RQD =
[ 200 ]
∗100=55 %

3. Spasi Bidang Diskontinyu (Spacing of Discontinuities)


Spasi kekar merupakan jarak tegak lurus antar kekar yang berdekatan yang diukur
dengan garis bantu scanline. Dalam perhitungannya, spasi kekar dalam satu set
kekar dirata-ratakan berdasarkan jumlah kekar dalam satu set tersebut. Kemudian,
dalm satu garis scanline, spasi kekar rata-rata tiap set dirata-ratakan berdasarkan
jumlah set kekar. Apabila terdapat lebih dari satu set kekar dan spasi tiap set
bervariasi, maka dapat diberikan nilai bobot (rating) terendah.
Table 4.5
Spasi bidang kontinue
Spacing of 0.6 - 2 < 60
>2m 200 - 600 mm
Discontinuites m mm
Rating 20 15 10 5

4. Kondisi Bidang Diskontinyu (Condition of Discontinuities)


Ada lima karakteristik kekar yang masuk dalam pengertian kondisi kekar,
meliputi kemenerusan, jarak antar permukaan kekar, kekasaran kekar, material
pengisi dan tingkat kelapukan.
a. Kemenerusan (Continuity)
Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar dengan mengamati
panjang jejak kekar pada suatu bukaan. Pengukuran ini masih sangat kasar dan
belum mencerminkan kondisi kemenerusan kekar yang sebenarnya. Seringkali
215

panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar
sesungguhnya, sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak.

Tabel 4.6

Slightly Slickensided Soft gouge >


Very rough Slightly rough
rough Surfaces or 5mm thick
surfaces
Not Separation < Separation < 1 Gouge < 5 mm
or
Continuous 1m mm thick or
Slightly Separation >
No Highly Separation 1-5
Weathered 5 mm
Separation Weathered Wall mm Continuous
Wall Continuous
Unweathered
Wall Rock
30 25 20 10 0
Kemenerusan

a) Jarak antar permukaan kekar atau celah (Separation)


Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang berdekatan pada bidang
diskontinu. Celah tersebut dapat berisi material seperti lempungan atau pasir.
b)Kekasaran kekar (Roughness)
Tingkat kekasaran permukaan kekar dapat dilihat dari bentuk gelombang
permukaannya. Gelombang ini diukur relatif dari permukaan datar dari kekar.
Semakin besar kekasaran dapat menambah kuat geser kekar.
216

c) Material pengisi (Infilling/Gouge)


Material pengisi berada pada celah antara dua dinding bidang kekar yang
berdekatan. Sifat material pengisi biasanya lebih lemah dari sifat batuan induknya.
Beberapa material yang merupakan material pengisi antara lain breccia, clay, silt,
mylonite, sand, quartz dan calcite.
d)Tingkat pelapukan (Weathering/Corosion Level)
Penentuan tingkat pelapukan kekar didasarkan pada perubahan warna dan
disintegrasi (perubahan fisik) batuan. Semakin besar tingkat perubahan warna dan
tingkat disintegrasi, batuan semakin lapuk.

5. Kondisi Air Tanah (Ground Of Water)


Kondisi air tanah juga mempengaruhi proses penggalian, termasuk penggaruan.
Misal pada Shale, semakin tinggi kadar air maka semakin rendah kekuatan batuan,
tetapi dalam kondisi kering Shale dapat menjadi sulit digaru. Kondisi air tanah
yang ditemukan pada pengukuran kekar diidentifikasikan sebagai salah satu
kondisi berikut : kering (completely dry), lembab (damp), basah (wet), terdapat
tetesan air (dripping) atau terdapat aliran air (flowing).
Tabel 4.7
Kondisi Air Tanah
Aliran
0 <10  10 - 25 25 – 125 >125
(lt/mnt)
Kering Menetes Mengalir
Kondisi Lembab Basah
(Completel (Drippin (Flowin
Umum (Damp) (Wet)
y Dry) g) g)
Rating 15 10 7 4 0

6. Orientation
Parameter ini merupakan tambahan terhadap parameter lainnya. Orientasi kekar
yang dimaksud adalah strike dan dip kekar. Bobot yang diberikan untuk parameter
ini sangat tergantung pada hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada
dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu dalam perhitungan,
bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari kelima parameter lainnya.
217

Tabel 4.8
Orientasi
Very Very
Strike and Dip Favourabl Fai Unfavourab
Favourabl Unfavourab
Orientations e r le
e le
Tunnels &
0 -2 -5 -10 -12
Mines
Foundatio
Rating 0 -2 -7 -15 -25
ns

Slopes 0 -5 -25 -50

Strike perpendicular to
Strike parallel to tunnel axis
tunnel axis
Drive with dip – Dip 45- Drive with dip – Dip Dip 20-
Dip 45-90°
90° 20-45° 45°
Very favourable Favourable Very unfavourable Fair
Drive againts dip – Dip Drive againts dip – Dip Dip 0 - 20° -
45-90° 20-45° irrespective of strike
Fair Unfavourable Fair

Batas dari daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan


perubahan struktur geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan
perubahan jenis batuan. RMR ini dapat digunakan untuk terowongan, lereng, dan
pondasi. Pada awalnya, RMR memang digunakan untuk menghitung kestabilan
lubang bukaan pada pekerjaan penggalian bawah tanah. Namun, para peneliti
mengembangkan aplikasi sistem klasifikasi ini dalam pekerjaan penggalian
218

lainnya, termasuk penggaruan. Pada prinsipnya, orientasi kekar dihubungkan


dengan arah kemajuan penggalian.

7. Kondisi Massa Batuan Di Lapangan


Tabel 4.9
Analisis RMR
Lapisan Overburden A1 Tebal Lapisan 154.90 m
Elevas
Kedalaman 0.00 to 154.90 M 54.15 to 100.75 m
i
No Parameter Satuan Nilai Bobot
1 Kuat Tekan Batuan Utuh/UCS MPa. 0.723 0
2 Kualitas Inti Bor (RQD) % 78.80 17
3 Jarak/Spasi Kekar   meter 1.25 15
4 Kondisi Bidang Kekar   kelas 2.4 25
5 Air Tanah kelas 2.5 10
  Bobot Total Rock Mass Rating (RMR) 67
  Klasifikasi Massa Batuan Kelas II
  Diskripsi Massa Baatuan Batuan Baik

4.4 Pengujian Laboratorium


4.4.1 Uji Sifat Fisik Andesit
Uji sifat fisik pada penelitian ini dilakukan terhadap tiga contoh batuan andesit.
Dari hasil perhitungan uji ini akan akan diperoleh sifat-sifat fisik batuan seperti
bobot isi natural (ρn), bobot isi kering (ρd), bobot isi jenuh (ρs), kandungan air
alamiah (w), porositas batuan (n) dan angka pori (e). Pada Litologi yang lain bisa
dilihat di (Lampiran 4.4.)
219

Tabel 4.10
Hasil uji sifat fisik batuan
Un Ud Us w S n
Kode
No Litologi (gr/cm3 (gr/cm3 (gr/cm3 e
Contoh % % %
) ) )
1 SF 1 Andesit 2,30 2,21 2,41 3,95 46,03 19,75 0,25
2 SF 2 Andesit 2,28 2,24 2,38 1,73 28,00 14,08 0,16
3 SF 3 Andesit 2,32 2,23 2,43 3,79 44,44 19,75 0,25
Rata -rata 2,30 2,23 2,40 3,16 39,49 17,86 0,22

Keterangan : Un = bobot isi alamiah (gr/cm3)


Ud = bobot isi kering (gr/cm3)
Us = bobot isi jenuh (gr/cm3)
w = kandungan air alamiah (%)
S = derajat kejenuhan (%)
n = porositas (%)
e = angka pori
Dari Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa nilai sifat-sifat fisik tiga contoh batuan andesit
yang dihasilkan cenderung sama. Hal ini disebabkan karena batuan andesit
merupakan batuan beku aphanetik yang memiliki ukuran butir seragam (<1mm).
Besar bobot isi natural hasil penelitian ini mendekati besar bobot isi untuk batuan
andesit menurut Vutukuri dan Lama (1976) yaitu 2,4 – 2.,573 gr/cm3.
Nilai rata-rata porositas contoh batuan adalah 17,86%. Hal ini menunjukkan
bahwa 17,86% dari volume batuan adalah rongga atau celah-celah kecil (pre-
existing cracks) yang dapat mempengaruhi kekuatan batuan. Menurut Price
(1960), Kowalski, (1966) dan Smorodinov (1970), kekuatan batuan akan
menurun dengan meningkatnya porositas suatu batuan (Vutukuri, Lama & Saluja,
1974)

4.4.1 Uji Sifat Mekanik Andesit


220

1. Uji Kuat Tekan Uniaksial


Dari tabel 4.3, nilai rata-rata kuat tekan uniaksial adalah 27.08 MPa. Sehingga
dapat diklasifikasikan dalam golongan low strength (Bieniawski, 1973). Pada
penelitian ini, laju pembebanan yang diberikan berkisar 0,14 MPa/s. Besar laju
pembebanan ini masih dalam selang laju pembebanan standar yang disarankan
Horibe (1970) yaitu 0,1 – 1,0 MPa/s. Walaupun tidak masuk ke dalam selang laju
pembebanan yang disarankan ISRM yaitu 0,5 – 1,0 MPa/s

Tabel 4.11
Hasil Uji Kuat Tekan Uniaksial (UCS)

UCS
Jenis E Rata
D UCS Rata E
Sampel Materia P (mm) - Rata v
(mm) (Mpa) -Rata (Mpa)
l (Mpa)
(Mpa)
SF1 tufa 101,1 40,2 46,34 8,01 0,25
SF2 tufa 98,8 40,5 46,35 8,04 0,24
SF3 tufa 100 40 46,33 8,02 0,27
SF4 tufa 100,5 41,2 46,34 8,05 0,21
46,34 8,02
SF5 tufa 99,1 42 46,35 8,09 0,2
SF6 tufa 100,3 39,8 46,33 8,11 0,2
SF7 tufa 100,5 38,7 46,35 7,9 0,28
SF8 tufa 100,2 41,3 46,33 7,96 0,24
SF9 gravel 101,1 39,7 46,3 8,4 0,21
SF10 gravel 98,8 40,5 46,29 8,21 0,22
SF11 gravel 100 41,6 46,31 8,3 0,2
SF12 gravel 100,5 40 46,29 8,06 0,2
46,3 8,17
SF13 gravel 99,1 39,8 46,31 8,12 0,18
SF14 gravel 100,3 39 46,3 8,15 0,19
SF15 gravel 100,5 39 46,29 8 0,24
SF16 gravel 100,2 38 46,31 8,13 0,19
SF17 andesit 100 40,2 59,4 8,06 0,31
SF18 andesit 98,8 40,5 5,39 59,4 8,09 8,12 0,31
SF19 andesit 100,6 40 5,41 8,04 0,28
221

SF20 andesit 100 41,2 5,41 8,07 0/26


SF21 andesit 100,4 42 59,4 8,12 0,21
SF22 andesit 100 39,8 5,39 8,15 0,29
SF23 andesit 100 38,7 5,41 8,19 0,18
SF24 andesit 100 41,3 5,39 8,23 0,19
SF25 clay 100,9 39,8 46,31 8,21 0,21
SF26 clay 100 39 46,3 8,23 0,23
SF27 clay 100,6 39 46,32 8,07 0,2
SF28 clay 100 38 46,3 7,87 0,26
46,31 8,06
SF29 clay 100,4 40,2 46,32 8,12 0,21
SF30 clay 100 40,5 46,3 7,9 0,24
SF31 Clay 100 40 46,32 8,08 0,33
SF32 Clay 100,5 39,6 46,31 7,98 0,32

Dilihat dari bentuk pecah contoh batu andesit hasil uji kuat tekan uniaksial (lihat
Gambar 4.1 dan Lampiran D), ketiga contoh batu andesit pecah membentuk tipe
belahan arah aksial (axial splitting). Tipe belahan secara aksial ini ditandai oleh
sudut pecah (angle of rupture, E) yang searah dengan arah tegangan utama mayor
(V1).Hal ini terjadi karena tidak adanya tegangan geser (W = 0) yang terjadi
pada contoh batuan karena tegangan utama minor (V3) pada uji kuat tekan
uniaksial bernilai nol. Bentuk pecah ini menandakan permukaan contoh batuan
yang halus dan sejajar dan tegak lurus terhadap arah pembebanan, sehingga akan
menyebabkan terbentuknya rekahan yang sejajar sumbu pembebanan oleh
tegangan tarik dan akhirnya menyebabkan batuan hancur.

V
1

bidang
pecah
searah V1
(E 0)

Gambar 4.1
222

Bentuk pecah contoh batu hasil uji kuat tekan uniaksial


2. Uji Kuat Tarik Tak Langsung (Brazilian Test)
Uji kuat tarik tak langsung (Brazilian test) pada penelitian ini memberikan nilai
kuat tarik rata-rata sebesar 3,11 MPa (lihat Tabel 4.4).

Tabel 4.12
Hasil Uji Kuat Tarik Tak Langsung (Brazilian test)
Jenis
D σt
Sampel Materia P (mm) L/D
(mm) (Mpa)
l
SF1 tufa 101,1 40,2 2,51 2,7
SF2 tufa 98,8 40,5 2,44 2,8
SF3 tufa 100 40 2,50 2,7
SF4 tufa 100,5 41,2 2,44 2,8
SF5 tufa 99,1 42 2,36 2,7
SF6 tufa 100,3 39,8 2,52 2,8
SF7 tufa 100,5 38,7 2,60 2,7
SF8 tufa 100,2 41,3 2,43 2,8
SF9 gravel 101,1 39,7 2,55 2,7
SF10 gravel 98,8 40,5 2,44 2,8
SF11 gravel 100 41,6 2,40 2,7
SF12 gravel 100,5 40 2,51 2,8
SF13 gravel 99,1 39,8 2,49 2,7
SF14 gravel 100,3 39 2,57 2,7
SF15 gravel 100,5 39 2,58 2,6
SF16 gravel 100,2 38 2,64 2,8
SF17 andesit 100 40,2 2,49 2,7
SF18 andesit 98,8 40,5 2,44 2,7
SF19 andesit 100,6 40 2,52 2,7
223

SF20 andesit 100 41,2 2,43 2,8


SF21 andesit 100,4 42 2,39 2,6
SF22 andesit 100 39,8 2,51 2,8
SF23 andesit 100 38,7 2,58 2,6
SF24 andesit 100 41,3 2,42 2,7
SF25 clay 100,9 39,8 2,54 2,6
SF26 clay 100 39 2,56 2,7
SF27 clay 100,6 39 2,58 2,7
SF28 clay 100 38 2,63 2,7
SF29 clay 100,4 40,2 2,50 2,7
SF30 clay 100 40,5 2,47 2,7
SF31 clay 100 40 2,50 3,0
SF32 clay 100,5 39,6 2,54 2,1

menurut Jumikis (1982), besar kuat tarik batuan adalah ±10% dari kuat tekannya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini. Setelah dibandingkan antara nilai kuat
tarik batuan (Vt) dan kuat tekan (Vc) didapatkan besar kuat tarik batuan adalah
11,1% dari nilai kuat tekan.
Uji Brazilian dianggap valid apabila rekahan yang terbentuk adalah dalam arah
vertikal, berada pada bagian tengah contoh, dan sepanjang sumbu pembebanan
(Vutukuri, Lama & Saluja, 1974). Setelah melihat bentuk pecah hasil uji kuat
tarik tak langsung yang dilakukan pada penelitian ini (lihat Gambar 4.2 dan
Lampiran C), dapat dinyatakan bahwa hasil uji yang dilakukan valid

bidang pecah
searah F
224

Gambar 4.2
Bentuk pecah contoh batu hasil uji Brazilian yang searah dengan sumbu
pembebanan

3. Uji Triaksial
Salah satu pengujian ini merupakan pengujian yang terpenting dalam mekanika
batuan untuk menentukan kekuatan batuan dibawah tekanan Triaksial. Percontoh
yang digunakan berbentuk silinder dengan syarat-syarat sama pada pengujian kuat
tekan.
Dari hasil uji Triaksial dapat ditentukan :
1. Strength envelote (Kurva Intrisik), yaitu kurva yang menunjukan kekuatan
batuan terhadapa tahanan batuan yang ada berada diatasnya dimana terdapat
kohesi dan sudut geser dalam sebagai parameter keruntuhan batuan.
2. Kuat geser (Shear strength), yaitu gaya tahan internal yang bekerja persatuan
luas massa batuan untuk keruntuhan atau kegagalan sepanjang bidang runtuh
dalam massa batuan tersebut.
3. Sudut geser dalam (ϕ), yaitu sudut yang dibentuk dari hubungan antara
tegangan normal dan tegangan geser di dalam material tanah atau batuan.
Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material
dikenai tegangan atau gaya terhadapnya yang melebihi tegangan gesernya.
4. Kohesi (C), yaitu gaya tarik menarik antara partikel dalam batuan, dinyatakan
dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar jika
kekuatan gesernya makin besar.
225

4. Data Perhitungan Uji Triaksial


Data perhitungan Triaksial ini untuk menentukan Geometri Lereng yang akan
dicari. Pada perhitungan ini kami mengambil salah satu Litologi yang ada pada
litologi lubang bor.

Tabel 4.13
Data Uji Triaksial
Jenis
σ3 σ1
Sampel Materia Kohesi α (0)
(Mpa) (Mpa)
l
SF1 tufa 5 62,5 17,1 28
SF2 tufa 5 75,1 17,5 29
SF3 tufa 13 100,2 17,2 28
SF4 tufa 19 142,6 17,1 28
SF5 tufa 19 130,0 17,5 28
SF6 tufa 25 153,1 17 28
SF7 tufa 30 180,1 17,5 28
SF8 tufa 5 63,5 18,6 30
SF9 gravel 5 74,1 18,7 29
SF10 gravel 13 100,2 17,9 28
SF11 gravel 19 142,6 18,1 31
SF12 gravel 19 130,1 18 30
SF13 gravel 25 153,2 18,2 31
SF14 gravel 30 180,1 18,5 32
SF15 gravel 5 62,6 18,5 30
SF16 gravel 5 75,12 18,7 29
SF17 andesit 13 100,3 17 29
SF18 andesit 19 142,6 18 28
SF19 andesit 19 130,3 18 33
226

SF20 andesit 25 153,1 17 30


SF21 andesit 30 180,1 19 30
SF22 andesit 5 62,5 17 31
SF23 andesit 5 75,1 17 30
SF24 andesit 13 100,2 17 30
SF25 clay 19 142,6 18 29
SF26 clay 19 130,0 18,1 28
SF27 clay 25 153,1 18 28
SF28 clay 30 180,1 19 29
SF29 clay 5 62,48 18 30
SF30 clay 5 75,1 18 31
SF31 clay 6 80,2 17 29
SF32 clay 15 110,9 18 29
227

4.3 Metode Analisis Kestabilan Lereng


4.5.1 Metode Elemen Hingga
Struktur dalam istilah teknik sipil adalah rangkaian elemen-elemen yang sejenis
maupun yang tidak sejenis. Elemen adalah susunan materi yang mempunyai
bentuk relatif teratur. Elemen ini akan mempunyai sifat-sifat tertentu yang
tergantung kepada bentuk fisik dan materi penyusunnya. Bentuk fisik dan materi
penyusun elemen tersebut akan menggambarkan totalitas dari elemen tersebut.
Totalitas sifat elemen inilah yang disebut dengan kekakuan elemen. Jika diperinci
maka sebuah struktur mempunyai Modulus Elastis (E), Modulus Geser (G), Luas
Penampang (A), Panjang (L) dan Inersia (I). Inilah satu hal yang perlu dipahami
didalam pemahaman elemen hingga nantinya, bahwa kekakuan adalah fungsi dari
E,G,A,L,I.
Sebagaimana telah didefinisikan para pendahulu-pendahulu, bahwa energi itu
adalah kekal dan jika aksi (energi) dilakukan terhadap suatu materi, maka materi
akan melakukan suatu reaksi sebesar aksi tersebut. Reaksi dari pada materi ini
akan disebut dengan gaya dalam. ”gaya dalam“ yang ada dalam struktur
didefinisikan yaitu: gaya normal, gaya lintang, dan gaya momen yang akan
mempengaruhi bentuk fisik materi tersebut. Perubahan bentuk fisik materi ini
disebut dengan peralihan (displacement). Metode elemen hingga adalah suatu
metode pemaparan bagaimana perjalanan aksi hingga timbul reaksi dalam materi,
atau metode untuk memperkirakan besar reaksi dan reaksi apa yang timbul dari
materi tersebut. Kontinum dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil,
maka elemen kecil ini disebut elemen hingga. Proses pembagian kontinum
menjadi elemen hingga disebut proses “diskretisasi” (pembagian). Dinamakan
elemen hingga karena ukuran elemen kecil ini berhingga (bukannya kecil tak
berhingga) dan umumnya mempunyai bentuk geometri yang lebih sederhana
dibanding dengan kontinumnya. Dengan metode elemen hingga kita dapat
mengubah suatu masalah dengan jumlah derajat kebebasan tertentu sehingga
proses pemecahannya akan lebih sederhana. Misalnya suatu batang panjang yang
bentuk fisiknya tidak lurus, dipotong-potong sependek mungkin sehingga
228

terbentuk batang-batang pendek yang relatif lurus. Maka pada bentang yang
panjang tadi disebut kontinum dan batang yang pendek disebut elemen hingga.
Suatu bidang yang luas dengan dimensi yang tidak teratur, dipotong-potong
berbentuk segi tiga atau bentuk segi empat yang beraturan. Bidang yang dengan
dimensi tidak beraturan tadi disebut kontinum, bidang segitiga atau segi empat
beraturan disebut elemen hingga. Dan banyak lagi persoalan yang identik dengan
hal diatas. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa elemen hingga merupakan
elemen diskrit dari suatu kontinum yang mana perilaku strukturnya masih dapat
mewakili perilaku struktur kontinumnya secara keseluruhan. Pendekatan dengan
elemen hingga merupakan suatu analisis pendekatan yang berdasarkan asumsi
peralihan atau asumsi tegangan, bahkan dapat juga berdasarkan kombinasi dari
kedua asumsi tadi dalam setiap elemennya. Karena pendekatan berdasarkan fungsi
peralihan merupakan teknik yang sering sekali dipakai, maka langkah-langkah
berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman bila menggunakan pendekatan
berdasarkan asumsi tersebut :
1. Bagilah kontinum menjadi sejumlah elemen (Sub-region) yang berhingga
dengan geometri yang sederhana (segitiga, segiempat, dan lain sebagainya.
2. Titik-titik pada elemen yang diperlakukan sebagai titik nodal, dimana syarat
keseimbangan dan kompatibilitas dipenuhi.
3. Asumsikan fungsi peralihan pada setiap elemen sedemikian rupa sehingga
peralihan pada setiap titik sembarangan dipengaruhi oleh nilai-nilai titik
nodalnya.
4. Pada setiap elemen khusus yang dipilih tadi harus dipenuhi persyaratan
hubungan regangan peralihan dan hubungan rengangan-tegangannya.
5. Tentukan kekakuan dan beban titik nodal ekivalen untuk setiap elemen dengan
menggunakan prinsip usaha atau energi.
6. Turunkan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.
7. Selesaikan persamaan keseimbangan ini untuk mencari peralihan titik nodal.
8. Hitung tegangan pada titik tertentu pada elemen tadi.
9. Tentukan reaksi perletakan pada titik nodal yang tertahan bila diperlukan.
229

4.5.2 Metode Elemen Hingga Kestabilan Lereng


Metode yang paling fleksibel digunakan adalah metode elemen hingga.
Pemodelan pada metode ini hampir serupa dengan model analisis batas namun
metode elemen hingga memerlukan diskretisasi elemen massa tanah. Salah satu
keuntungan metode ini adalah tidak dibutuhkannya asumsi ataupun spekulasi
letak titik pusat bidang gelincir yang kritis. Hal tersebut tercermin dengan solusi
berupa identifikasi bagian mana dari lereng yang telah mencapai kondisi
keruntuhan. Umumnya keruntuhan progresif dapat dimodelkan dalam metode ini.
a) Analisis Batas
Solusi yang diperoleh berupa batas atas dan batas bawah. Solusi berupa batas
bawah memberikan jawaban yang lebih rendah dibandingkan kondisi
sesungguhnya. Solusi batas atas memberikan informasi beban keruntuhan lebih
rendah daripada beban yang berhubungan dengan mekanisme pergerakan jika
digunakan prinsip kerja virtual. Analisis batas merupakan alat yang baik dalam
menyelesaikan masalah stabilitas. Dalam aplikasinya, analisis batas ini mampu
memasukkan pemodelan material yang bersifat non elastis seperti sifat material
tanah itu sendiri. Kriteria yang umum digunakan dapat berupa keruntuhan Mohr
Coulomb ataupun teori plastisitas. Hasil yang diperoleh pada analisis batas berupa
suatu rentang yang diapit oleh batas atas dan batas bawah. Hal ini sebenarnya jauh
lebih realistis dibandingkan metode AKB dimana kondisi sesungguhnya terletak
di antara rentang yang relatif sempit itu. Namun, terdapat kesulitan dalam
menentukan batas bawah dari problem geoteknik ini. Analisis batas digunakan
untuk mengestimasi besarnya beban batas yang dapat dinyatakan sebagai tinggi
kritis atau FK. Solusi batas atas menggunakan pendekatan mekanisme translasi
dari blok kaku sehingga hasilnya mendekati/serupa dengan metode AKB.

4.5.3 Metode Elemen Hingga Phase2


Kestabilan lereng ditentukan oleh kekuatan batuan dan tegangan yang terjadi pada
batuan tersebut dan dinyatakan dengan faktor keamanan. Penentuan faktor
keamanan dapat ditentukan dengan metode kesetimbangan batas dan metode
elemen hingga. Pada penentuan faktor keamanan dibatasi dengan menggunakan
230

metode elemen hingga. Analisis perhitungan faktor keamanan pada lereng batuan
tuff menggunakan metode elemen hingga hanya membandingkan bentuk elemen
segitiga 3 nodal (T3) dan elemen segitiga 6 nodal (T6) dimana hasilnya
perhitungan faktor keamanan tersebut mana yang lebih mendekati keadaan
lapangan. Analisis perhitungan faktor keamanan lereng menggunakan metode
elemen hingga dengan elemen segitiga 3 nodal (T3) dan elemen segitiga 6 nodal
(T6) dan menggunakan software phase2 v.8. Analisis ini conto batuan yang
digunakan adalah tuff yang diambil dari Desa Sadu, Kecamatan Soreang,
Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Analisis ini membandingkan hasil nilai
faktor keamanan pada bentuk elemen segitiga 3 nodal (T3) dan segitiga 6 nodal
(T6) pada metode elemen hingga. Berdasarkan analisis yang dilakukan bentuk
elemen segitiga 3 nodal (T3) dan segitiga 6 nodal (T6) sangat mempengaruhi nilai
faktor keamanan lereng. Dimana nilai faktor kemanan dengan bentuk elemen
segitiga 3 nodal (T3) jumlah nodal 100 FK 2,69 sedangkan untuk jumlah nodal
1000 FK 1,88 dan nilai faktor keamanan dengan bentuk elemen segitiga 6 nodal
(T6) jumlah nodal 100 FK 1,88. Jadi saat perhitungan dengan menggunakan
elemen segitiga 3 nodal (T3) dengan 1000 nodal hasil nilai faktor keamanan yang
didapatkan akan sama hasilnya dengan menggunakan elemen segitiga 6 nodal
dengan 100 nodal.
Tutorialdasar bagaimana mendapatkan SF (Safety Factor – Faktor Keamanan),
agar lereng tambang yang kita buat tetap stabil namun tepat memenuhi kriteria
ekonomis.
Untuk lereng tambang, Faktor Keamanan yang terbaik adalah 1,300. Sebenarnya
suatu lereng sudah dapat dikatakan stabil bila FK-nya = 1,000, namun FK diangka
1,000 dinilai sangat kritis, karena apabila FK ˂ 1,000 maka lereng tersebut
longsor. Namun sangat berbeda dengan lereng tambang FK untuk lereng sipil
sangat amat besar yaitu ≥ 12 (CMIIW).
Dalam penentuan FK ini menggunakan metode SRF (Strenght Reduction Factor).
Phase2
1. Buat Geometri SRF seperti sebagai berikut dengan menggunakan software
Phase2.
231

 H merupakan jarak vertikal yang dihitung dari crest sampai dengan toe.

2. Import geometri yng telah dibuat dalam Phase2 tadi.


3. Tentukan satuan yang akan digunakan, dan penentuan Strength Reduction-
nya :Analysis > Project   setting.
4. Set up mesh yang akan digunakan : Mesh > Setup, kemudian ganti properties-
nya seperti pada gambar. 

Selanjutnya : Mesh > Discretize, kemudian : Mesh > Mesh. Maka gambar akan
menjadi seperti ini.

5. Hapus displacement yang di bagian permukaan model, dengan cara :


Displacement > free, lalu arahkan kursos ke tanda-tanda segitiga tersebut dan
di klik satu-satu sampai hilang.
6. Tambahkan kondisi air pada model, dengan cara seperti pada gambar :
Boundaries > Add piezometric line.

Arahkan kursos mulai dari ujung permukaan line, kemudian ikuti topo
permukaan, sampai ke ujung berikutnya. (Kondisi persis mengikuti topo spt ini
adalah kondisi dengan air jenuh.)

7. Tambahkan properties kekuatan gempa dengan cara : Loading > Seismic


loading, masukkan angka. Angka yang dimasukkan tersebut adalah angka
relatif, tergantung daerah penelitian.
8. Loading > Field Stress, ganti properties seperti pada gambar.
9. Masukkan parameter batuan. Hasil input parameter ini didapatkan dari
pengujian batuan di laboratorium Geomekanika. Caranya : Properties > Define
material, maka akan muncul pop-up seperti berikut,
232

4.6 Hasil Analisa & Pembahasan


4.6.1 Sifat Fisik Dan Sifat Mekanik Batuan
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium sifat fisik dan sifat mekanik batuan,
didaptkan hasil yang berbeda- beda pada setiap lapisan dan bervariasi pada sampel
batuan yang sama (tabel 4.14 & 4.15 )

Tabel 4.14

Rata – Rata Uji Sifat Fisik

Uji Sifat Fisik


N Litolo Un Ud Us w S n
o gi gr/cm gr/cm gr/cm e
% % %
3 3 3
Andes 39,4 17,8
1 2,3 2,23 2,40 3,16 0,22
it 9 6
14,6
2 Tufa 1,9 1,82 2,067 3,39 40,9
4
0,16
1,41 30,4 8,49 0,009
3 Gravel 1,88 1,803 1,903
3 1 6 3
0,98 22,7
4 Clay 1,38 1,36 1,416 5,62 0,063
3 4

Tabel 4.15

Rata – Rata Uji Sifat Mekanik

Uji Sifat Mekanik


wakt Laju
N Litolog Vc E
u pembebanan
o i X
(MPa (Gpa
(s) (Mpa/s)
) )
Andesit 196,3
1 59,4 7,89 0,24 0,14
e 3
46,3 0,24 196,3
2 Tufa 7,89 0,143
4 7 3
8,79 0,24 196,3
3 Gravel 46,3 0,153
6 3 3
46,3 8,01
4 Clay 0,25 201,5 0,135
1 5
233

Tabel 4.16

Hasil Analisis RQD Pada Litologi Lubang Bor

RQD
DH Sample depth
(%)
GT - 1 0-2 61
GT - 2 3-5 66
DH01
GT - 3 19 - 21 58
GT - 4 24 - 26 76
GT - 5 0-2 59
GT - 6 11 - 13 51
DH02
GT - 7 22 - 24 60
GT - 8 26 - 28 78
GT - 9 1-3 62
GT - 10 22 - 24 62
DH03
GT - 11 32 - 34 65
GT - 12 37 - 39 81
GT - 13 0-2 58
GT - 14 31 - 33 62
DH04
GT - 15 52 - 53 64
GT - 16 55 - 57 79

Tabel 4.17

Hasil Analisis RMR Menurut Data UCS Rata – Rata

Anda mungkin juga menyukai