Anda di halaman 1dari 17

Judul Artikel : Memahami Kata-kata Sumpah Dalam Terjemahan

Indinesia Surah As-Syams Dengan Pendekatan Hermeneutika Double


Movement Fazlur Rahman
Penulis : Paisal Ramdani
Nama Penerbit : Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat (sinta 3)
Tahun Terbit : 1 Juni 2022

Metode
Artikel ini bertujuan untuk mengatahui dan memahami kata-kata sumpah
dalam surah As-Syams Terjemahan Indonesia. Karena, Al-Qur'an ialah kitab suci
yang berasal dari Allah SWT. maka kita wajib untk memahaminya. Tetapi seiring
berjalannya waktu terdapat berbagai pengertian mengenai kata-kata yang
terkandung di dalam Al-Qur'an terutama kata-kata sumpah pada surah As-Syams.
Penulis disini menggunakan teori hermeneutika dari Fazlur Rahman. Metodologi
yang digunakan ialah metode kualitatif. Kata sumpah merupakan penggambaran
dari keseriusan dari sesuatu yang diucapkan. Sehingga penting untuk megetahui
dan memahami maksud dari kata sumpah tersebut. Terdapat beberapa kata-kata
sumpah yang ditemukan dalam surah As-syams
Materi Yang Dibahas
Terdapat banyak sekali aspek kebahasaan dalam kitab suci al-Qur’an yang
dapat dikaji, tetapi kata sumpah dalam al-Qur’an merupakan aspek kebahasaan
yang sangat menarik untuk dapat dikaji. Tentu saja karena al-Qur’an ditujukan
kepada nabi Muhammad saw. di daerah jazirah arab maka penilitian kali ini juga
tidak akan terlepas dari tradisi dan budaya bangsa arab pada saat itu. Dalam al-
Qur’an khususnya dalam surah As-syams terdapat banyak sekali ayat yang
dimaksudkan untuk menegaskan suatu pernyataan yang ingin disampaikan oleh
Allah SWT.
Sumpah dalam aspek kebahasaan al-Qur’an disebut dengan qasam dan
aqsam. Ditinjau dari segi bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata
qasama yang memiliki arti sebagai sumpah (Hidayah, 2009). Sedangkan
pengertian sumpah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah, (1) Pernyataan
yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu
yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan
sebagainya). (2) Penyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan
kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. (3)
Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu). Sementara itu jika ditinjau
dari segi terminologi, terdapat berbagai macam pengertian dan penafsiran dari
kata qasam. Kata qasam diartikan sebagai sebuah ungkapan yang dimaksudkan
untuk melakukan penegasan terhadap suatu pesan. (Zulihafani, 2019).
Ada pengertian lain yang. mengatakan bahwa sumpah merupakan
pengikat jiwa agar hilangnya niat untuk tidak melakukan sebuah perbuatan untuk
mengerjakannya, yang kemudian dipertegaskan oleh sesuatu yang telah
diagungkan oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut baik secara logis
ataupun hanya secara keyakinan saja. Lalu menurut Kazim Fathi alRawi (dalam
Zulihafnani, 2019) apa yang dimaksud sumpah merupakan sesuatu yang
diutarakan untuk memperkuat sesuatu yang telah dikehendaki bagi orang yang
telah bersumpah, hal ini dapat dimaksudkan untuk memastikan ataupun untuk
mengingkari sesuatu. Dan menurut Drs. Miftah Haridl dengan Drs. Agus
Syihabudin dalam (dalam Hidayah, 2009) mengatakan bahwasannya sumpah
adalah suatu alat taukid yang cukup baik dan efektif didalam kelazinan hubungan
sosial atau komunikasi.
Meninjau berbagai pengertian dan penafsiran yang telah dikemukakan
oleh berbagai penulis dan ahli diatas dapat disimpulkan bahwa sumpah
merupakan suatu ujaran/ungkapan atau tuturan yang diucapkan atau disampaikan
dengan maksud untuk menguatkan dan memberikan sebuah penegasan terhadap
suatu pesan bahwasannya pesan tersebut merupakan hal yang sangat penting.
Keberadaan kata-kata sumpah yangc terdapat di dalam al-Qur’an menurut Manna`
al-Qaththan (dalam Zahid, 2011) terdapat tiga tingakatan psikologis dari lawan
bicara, yaitu (1) Lawan bicara tidak memiliki asumsi apa apa sama sekali
mengenai pengujar atau penulis maka dinamakan sebagai kalam ibtidai/kalam
khabariy. (2) Kondisi dari lawan bicara itu terdapat keraguan kepada si pengujar
atau penulis, maka dinamakan kalam thalaby. (3) Lawan bicara sama sekali tidak
percaya dengan ucapan dari pengujar maka dinamakan kalam inkary.
Fazlur Rahman lebih dikenal sebagai seorang yang visioner dan filsuf
islam kontemporer yang berfikir kritis. Ia memiliki reputasi yang cukup baik di
dunia intenasional, khususnya bagi masyarakat akademisi barat. Hal ini
berbanding terbalik dengan kondisinya di negara asalnya sendiri, yaitu Pakistan,
pemikiran-pemikirannya yang sesuai dengan logika banyak mengalami
pertentangan oleh masyarakat pemeluk agama islam. Ia lahir di Hazara yang kini
merupakan daerah dari Pakistan pada 21 September 1919. Salah satu
pemikirannya ialah dengan menggunakan teori hermeneutika untuk memabaca al-
Qur’an secara kontekstual (Zaphrulkhan, 2017).
Dikarenakan sifat alQur’an yang memiliki nilai sejarah yang tinggi
sehingga menyebabkan adanya pemikiran dan teori hermeneutika atau metode
penafsiran. Teori ini dimaksudkan sebagai kerja dan pemikiran yang krusial untuk
dikembangkan untuk memahami maksud isi dari al-Qur’an secara menyeluruh
dan utuh (Sumantri, 2013). Hal ini diharapkan agar faktor-faktor teologis dan
etika resminya dapat ditempatkan dalam kesatuan yang padu. Dengan
menggunakan cara ini pandangan alam al-Qur’an dapat dimengerti oleh manusia.
Jika manusia sekiranya berminat dan dapat berfikir secara terencana dan dapat
memanfaatkan akal logikanya dengan sebaikbaiknya, kemudian ia akan mulai
untuk menyadari bahwa sebenarnya berkah dalam al-Qur’an yang paling besar
ialah pemikiran dan pengertian dari makna-makna dan juga maksud yang
dikandungnya, lalu kemudian dapat diterapkan dalam aktifitas yang berniali
keagamaan dan keduniaan. Menurut Rahman (dalam Dozan, 2019) alQur’an tidak
hanya berorientasi kepada kaidah-kaidah pemahaman masa lalu oleh ulama-ulama
klasik terdahulu.
Allah SWT. juga menggunakan sumpah untuk menyampaikan kalam-Nya
(Zahid. 2011). Menurut dari penjelasan mengenai ketiga sisi psikologis diatas,
pada kondisi lawan bicara ragu terhadapa ucapan pegujar dan pada kondisi lawan
bicara tidak percaya sama sekali terhadap pengujar dibutuhkan sesuatu yang
dipahami sebagai sebuah penegasan. Berasal dari keadaan psikologis inilah yang
kemudian al-Qur’an akan merangkumnya dalam konsep qasam atau sumpah yang
berasal dari kebiasaan bangsa Arab. Maka dari itu, dalam besumpah terdapat
beberapa hal yang setidaknya harus dipenuhi, yaitu (1) Sebaiknya hal yang
disumpahkan itu merupakan sesuatu hal yang memiliki urgensi yang sangat
penting. (2) Pastikan adanya rasa keraguan yang dialami oleh lawan bicara. (3)
Adanya rasa pengingkaran atau tidak percaya sama sekali dalam diri lawan bicara.
Hasil Peneltian
Kajian ini disusun dengan memanfaatkan metode kualitatif dengan
penngumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan, baik pada buku-buku,
artikel, jurnal yang relevan dengan penilitan ini yaitu yang membahas mengenai
kata sumpah dan teori hermeneutika double movement oleh Fazlur Rahman.
Menurut Yoni Ardianto (2019) menyatakan bahwa metode kualitatif lebih
berfokus kepada pengamatan fenomena dan lebih meneliti ke substansi makna
dari fenomena tersebut. Pada tulisan ini, fenomena yang dimaksud ialah kata-kata
sumpah dalam surah as-Syams. Data penelitian yang digunakan oleh penulis
sebagai bahan acuan untuk menerapkan toeri hermeneutika double movement oleh
Fazlur Rahman ialah teks surah as-Syams yang merupakan surah ke-91 dalam al-
Qur’an dan memiliki 15 ayat yang diturunkan setelah surah al-Qadr, serta dinamai
asy syams karena berpacu kepada perkataan asy syams yang terdapat pada ayat
permulaan pada surat ini.
Judul Artikel : Jilbab Sebagai Etika Busana Muslimah Dalam
Perspektif Al-qur’an
Penulis : Ratna Wijayanti
Nama Penerbit : Cakrawala (sinta 3)
Tahun Terbit : 23 Desember 2017

Metode
Menggunakan metode kuantitatif. Agama Islam merupakan agama yang
universal serta memiliki arti menampakkan ketundukan dan melaksanakan
syariah serta menetapi apa saja yang dating dari Rasulullah. Berkaitan
dengan hal tersebut, Allah juga memerintahkan umat Islam agar masuk ke
dalam Islam itu secara keseluruhan, yaitu memerintahkan kaum muslimin untuk
mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang begitu banyak
jumlah dan ragamnya. Mengamalkan apa saja yang diperintahkan dan
meninggalkan seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun, akhir-akhir ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan
oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah etika berpakaian yaitu
pemakaian jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum Muslimah yang tidak
mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka
kehilangan identitas diri sebagai Muslimahsehingga sulit dibedakan mana yang
Muslimah dan non Muslimah. Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh
ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang
lebih bahaya dari itu semua adalah adanya usaha mengaburkan bahwa
pemakaian jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk
budaya Arab.
Pengkaburan dari pemikiran yang benar ini telah dilakukan oleh
beberapa pihak, baik dari luar umat Islam maupun dari dalam umat Islam
sendiri.Al -Qur’anmerupakan kitab suci agama Islam, yang didalamnya terdapat
banyak aturan Allah, salah satunya adalah aturan tentang etika berpakaian
wanita muslimah. Wanita adalah makhluk yang sangat unik, sehingga setiap
apapun darinya sangat menarik untuk dikaji. Al-Qur’an menyebutnya dalam satu
surat khusus tentang wanita yaitu pada QS. alNisa’ atau biasa disebut alNisa’
alkubrâ(Depag, 1991:113)Selain itu alQur’an juga menyebutnya dalam surat-surat
lain tetapi hanya dalam pembahasan kecil. Masalah yang dibahas pun tidak
hanya dalam hal beragama saja, tapi juga dalam hal sosial, berpakaian dan
sikap(Nurjannah, 2003)Salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah etika
berpakaian tentang “jilbab” dimana dalam penafsirannya, para ulama’ berbeda
pendapat. Perintah Allah mengenai jilbab yang terkandung di dalam alQur’an
selalu diawali dengan kata-kata wanita yang beriman.kalimat ini menunjukkan
betapa asasinya kedudukan jilbab bagi wanita-wanita yang beriman. Oleh
karena itu, alangkah baiknya bila memusatkan perhatian dan pikiran mengenai
pembahasan tentang jilbab atau pakaian muslimah, terlebih dahulu dibahas
mengenai persoalan iman yang merupakan dasar perintah dan dasar dalam
mentaati Allah dan Rasulnya termasuk di dalamnya persoalan perintah berpakaian
dan berjilbab.
Materi Yang Dibahas
Pada Masa sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah identitas
Muslimah yang baik mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang
melingkupinya. Kaidah atau aturan berbusana semakin jauh dari etika Islam.
Jilbab yang semula merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang
berubah menjadi semacam Aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan
para wanita Islam.
Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya
ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan
jilbabnya ke punggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak
memancing laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah
budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa
banyak kita menyaksikan para Muslimah yang memakai jilbab dengan
mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan
telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi kewajiban mereka
menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut dengan kudung gaul
atau kudung gaya selebritis.
Islam secara spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana
Muslimah, namun yang jelas menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana
agar disebut sebagai busana Muslimah. Syarat-syarat busana Muslimah menurut
Al Albani (2002) adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan selain yang
dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang tidak
merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan
tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk
tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak
menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita
kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik
perhatian. Sedangkan menurut Prabun ingrate (1991), jilbab lebih merupakan
produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model
pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda antara
daerah satu dengan daerah lainnya.
Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung
dalam surat al-A'raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat 31 diketahui
bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan Taqwa bagi wanita Mukminah
mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan laki-
laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlak terpuji
dengan wanita yang berakhlak tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah
seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari Wanita
yang bersangkutan. Pakaian yang memenuhi empat prinsip ini seharusnya
memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali
muka dan telapak tangan, bahan yang digunakantidak terlalu tipis sehingga
tembus pandang atau transparandan berpotongan tidak ketat hingga dapat
menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.
Hasil Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab
pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh
bagian tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”Di antara
tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan kepalanya,
serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh badan dan separuh
wajah dengan memperlihatkan kedua mata; mengulurkan kain untuk menutup
kepala hingga dada. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli
tafsir dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah
sebuah kewajiban agama bagi kaum wanita.
Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan berbeda
pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke seluruh
tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali dua mata,
atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat M. Quraish
Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah
khilafiah jelas tidak berdasar. Sebab, para ulama ahli tafsir sejak dahulu hingga
sekarang telah bersepakat tentang kewajiban memakai jilbab bagi kaum
Muslimah. Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an
maupun hadits dan Qarinah (petunjuk) yang sangat kuat.
Judul Artikel : Literasi Wakaf Uang Berbasis Masjid
Penulis : Acep Zoni Saeful Mubarok
Nama Penerbit : Bimas Islam (sinta 2)
Tahun Terbit : 05 Juli 2021

Metode
Preferensi masyarakat Indonesia terhadap wakaf uang masih
rendah. Hal ini seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama RI pada Rakornas BWI tanggal 30
Maret 2021 bahwa sampai saat ini pengumpulan wakaf uang secara
nasional baru terkumpul sekitar Rp. 831 milyar dari potensi wakaf uang
sekitar Rp. 180 trilyun setiap tahunnya.1 Potensi ini jika dibanding dengan negara
lain di dunia.
Indonesia jauh melampaui lainnya. Selain aset wakaf berupa tanah yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke seluas 53.255,66 Ha dan tersebar di
398.434 titik,2 populasi penduduk muslim yang besar akan sangat mendukung
pengembangan wakaf uang.Realitas yang ada, Indonesia masih ketinggalan dalam
pengembangan wakaf uang. Beberapa negara tetangga di Asia Tenggara
sudah mulai memanfaatkan potensi wakaf uangnya dengan sangat baik,
diantaranya Malaysia dan Singapura. Pada mulanya aset wakaf di negeri
jiran ini tidak terurus dengan baik.3 Akan tetapi Malaysia mampu
mengelola wakaf tunai melalui Bank Muamalat
Malaysia Berhad. Pada tahun 2015 jumlah wakaf tunai yang
berhasil dihimpun, tercatat sebesar Rp. 26.932.690.554,00. Tidak ketinggalan
negara Singapura, walaupun bukan negara mayoritas muslim
memanfaatkan potensi wakaf negaranya dengan program aset wakaf dibiayai
melalui peluncuran Sukuk atau obligasi syariah di pasar modal menggunakan
akad bagi hasil yang dikenal dengan “Musharakah Bond”. Sukuk tersebut
diluncurkan untuk membiayai dua proyek wakaf produktif yang bernilai 60
juta dolar Singapura (Rp. 585 miliar rupiah).4Selain di beberapa negara Asia
Tenggara, negara di belahan lain seperti Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan
Turki sudah terlebih dahulu memberdayakan wakaf uang ini. Di Pakistan
wakaf uang ini dikenal dengan istilah cash wakaf atau waqf an-
nuqud,5bahkan di Bangladesh wakaf uang ini justru yang dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat dari kemiskinan.6Untuk mengejar
ketertinggalan ini, sesungguhnya Indonesia sudah berbenah diri.
Sebagai langkah pertama diawali dengan menerbitkan regulasi
sebagai dasar legal standing dalam pengembangan wakaf yaitu berupa
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf7. Selain itu, dukungan
pemerintah semakin memperkuat pengembangan wakaf uang setelah
Presiden RI meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang
(GNWU).8Kemudian apa yang menjadikan penyebab Indonesia belum secara
maksimal pengembangan wakaf uang. Salah satu penyebab belum
optimalnya wakaf uang di Indonesia adalah karena minimnya literasi dan
edukasi.9 Menurut penelitian Badan Wakaf Indonesia dan Kementerian Agama
RI, Indeks Literasi Wakaf (ILW) masih masuk kategori rendah, yaitu
dengan skor 50,48 yang terdiri dari Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar
sebesar 57,67 serta Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.
Materi Yang Dibahas
Wakaf merupakan salah satu tema kajian menarik di kalangan
para ulama baik klasik maupun kontemporer. Hal ini karena wakaf
merupakan salah satu filantropi dalam Islam yang dianjurkan oleh syari’atdan
senantiasa diamalkan langgeng dari generasi awal sampai sekarang. Disamping
itu secara esensial wakaf memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ibadah
ritual yang bertujuan pengabdian kepada Allah SWT dan fungsi muamalah untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.Dari latar tersebut, wakaf merupakan amaliyah
ubudiyah yang dapat dirasakan secara langsung kemanfaatannya secara sosial.
Hal ini tidak lepas dari makna wakaf itu sendiri al-habs
(menahan).15 Lebih rinci Imam Nawawi memberikan definisi atas wakaf
dengan: Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan
cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda-benda tersebut disalurkan
pada sesuatu yang diperbolehkan.16Dari pengertian wakaf tersebut melahirkan
prinsip-prinsip wakaf diantaranya aset wakaf harus kekal dan dimanfaatkan
untuk kepentingan yang diperbolehkan oleh syara. Menurut pandangan ulama
Hanafiyah wakaf merupakan sedekah yang kedudukannya seperti pinjam
meminjam (ariyah). Jadi harta yang diwakafkan adalah milik wakif sedangkan
yang disedekahkan adalah hanya manfaatnya saja.
17Makna wakaf menurut pandangan ulama klasik telah melahirkan
inspirasi baru makna wakaf kontemporer. Seperti halnya dalam regulasi
yang diterbitkan oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 14 Tahun 2004
tentang wakaf. Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang tersebut pengertian
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya
Uang memiliki posisi penting dalam kegiatan transaksi ekonomi di
dunia. Uang sekarang berbeda dengan masa lampau. Uang selain memiliki
fungsi alat tukar, tapi juga dianggap sebagai benda bahkan menjadi sesuatu
yang diperjualbelikan di berbagai bank Dari sinilah wakaf uang dapt dijadikan
objek wakaf. Wakaf uang masih merupakan hal baru di masyarakat, karena
selama ini objek wakaf dipersepsikan hanya berupa benda tidak bergerak seperti
tanah. Kekhawatiran lain karena wakaf uang dianggap tidak pernah ada
dalam kajian kitab-kitab fikih sehingga terjadi perdebatan tentang kebolehannya.
Terlepas dari terdapat pro dan kontra dalam hal ini, sebenarnya kajian wakaf uang
ini sudah menjadi kajian yang menarik di kalangan ulama. Walaupun terdapat
ulama yang tidak setuju, seperti Ibnu Qudamah, asy- Syirazi, dan Al-Bakri.
Alasan yang dikemukakan oleh mereka diambil dari aspek kekekalan zat
harta wakaf. Uang jika dimanfaatkan zatnya akan habis dan tidak kekal, ini
bertentangan dengan hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan kepada
Umar r.a untuk “menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya”.
Hampir semua masjid didirikan di atas tanah wakaf. Demikian pula
lahirnya wakaf-wakaf umat adalah insiatif masyarakat masjid. Kedua sejoli
ini yaitu amaliyah wakaf dan masjid merupakan inspirasi berkembangnya
wakaf di dunia Islam. Makna masjid yang terambil dari akar kata sajada-yasjudu
memiliki arti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim29.
Pengertian terpendek dari masjid adalah tempat sujud,30 sedangkan dalam
pengertian terminologis diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam,
khususnya dalam menegakkan shalat. Masjid sering disebut Baitullah (rumah
Allah), yaitu bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah.
Hasil Penelitian
Wakaf uang di Indonesia belum terlaksana secara optimal. Hal ini
dikarenakan kurangnya literasi di masyarakat. Indeks Literasi Wakaf di
Indonesia menempati skor rendah, bahkan preferensi masyarakat terhadap
wakaf uang belum menguat tapi masih cenderung mewakafkan benda bergerak.
Problem kurangnya literasi wakaf uang di Indonesia bisa diselesaikan
salah satunya literasi wakaf uang berbasis Masjid. Para pihak terkait, dalam
hal ini Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang
berada di level Kota Kabupaten sudah seharusnya mengadakan kegiatan
edukasi dan literasi berbasis Masjid. Dengan kegiatan tersebut masyarakat akan
mendapatkan akses untuk mendapatkan pengetahuan tentang wakaf uang.
Salah satu strategi dalam literasi wakaf uang berbasis masjid ini
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut membangun kerjasama
organisasi yang memiliki tugas dan fungsi pembinaan kemasjidan,
diantaranya Dewan Masjid Indonesia (DMI), Badan Koordinasi Majelis
Taklim Masjid (BKMM) dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid
(BKPRMI).Selain itu, pihak terkait perlu juga menyusun materi Majeis
Taklim dan khutbah tentang wakaf uang supaya menjadi bekal materi bagi
para da’i dan khatib dalam berbagai kegiatan ceramah, baik pengajian
ataupun khutbah jumat. Dengan tersusunnya materi materi yang baik,
diharapkan literasi kepada masyarakat secara langsung dapat tercapai.
Kemudian program berikutnya adalah menyelenggaran Training of
Trainer bagi para Khatib dan Da’i. Dengan adanya Training of Trainer
(TOT) atau Pelatihan untuk Pelatih diharapkan setelah selesai pelatihan, para
ulama mampu menjadi pelatih dan mampu mengajarkan materi pelatihan
tersebut kepada orang lain.
Saran yang diajukan dari penelitian ini adalah Kementerian Agama,
Dewan Masjid Indonesia (DMI), BKMM, BKPRMI, Pemerintah Daerah dan
tokoh agama agar melakukan kerjasama intensif guna pelaksanaan literasi wakaf
uang berbasis masjid terutama untuk daerah pedesaan. Melaksanakan
sosialisasi kepada masjid-masjid melalui ketiga organisasi kemasjidan tersebut
tentang manfaat wakaf uang berbasis masjid. Literasi wakaf uang berbasis masjid
ini jelas akan memberikan pengarus positif terhadap kesejahteraan masyarakat
secara nasional.
Judul Artikel : Indonesianisasi Islam : Penguatan Islam Moderat
Dalam Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Penulis : Toto Suharto
Nama Penerbit : Al-Tahrir : Jurnal Pemikiran Islam
Tahun Terbit : 24 Mei 2017

Metode
Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian lapangan ( field research ).
Penelitian lapangan adalah penelitian dengan karakteristik subjek atau masalah
yang diteliti berkaitan dengan latar belakang. Kondisi saat ini dan interaksinya
dengan lingkungan ( sugianto, 2017 ). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif, Data yang peneliti kumpulkan dalam penelitian
ini bukan berupa angka, melainka data tersebut berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya.
Sejarah mencatat bahwa Islam masuk Indonesia dilakukan melalui dakwah yang
penuh damai. Dakwah yang dilakukan penuh damai ini melahirkan Islam
Indonesia yang moderat. Islam moderat ini pada gilirannya menjadi ciri khas
Islam Indonesia, yang berbeda dengan Islam di belahan dunia lain. Namun,
karakter Islam moderat ini mulai mendapat tantangan, semenjak organisasi Islam
transnasional masuk ke Indonesia. Di sini terjadi pergumulan antara ideologi
Indonesianisasi Islam dengan ideologi Islamisasi Indonesia.
Materi Yang Dibahas
Islam di masa Orde Baru, khususnya di masa kepemimpinan KH. A. Latief
Muchtar, M.A.26 Salah satu temuan penelitian ini adalah adanya kategorisasi
pendidikan berbasis masyarakat dalam dua kategori, yaitu pendidikan berbasis
masyarakat organik dan pendidikan berbasis masyarakat tradisional. Pendidikan
berbasis masyarakat organik adalah pendidikan yang betul-betul segala
kebijakannya dibuat ‘dari’, ‘oleh’, dan ‘bersama-sama’ untuk memihak
masyarakat, sebagaimana keberpihakan intelektual organik terhadap
pemberdayaan civil society. Pendidikan berbasis masyarakat organik ini menjadi
berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat tradisional yang menjadi
“deputi” atau penyambung ideologi hegemoni negara.
Contoh yang dapat dikemukakan bagi pendidikan berbasis masyarakat
organik adalah lembaga pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan
kurikulum tersendiri, tidak mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Adapun
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan, baik berupa sekolah maupun
madrasah, dengan mengikuti kurikulum nasional pemerintah, maka pesantren tipe
ini masuk dalam kategori pendidikan berbasis masyarakat tradisional, karena
menjadi deputi pemerintah. Jadi, jelas tidak semua pesantren menerapkan
sepenuhnya konsep pendidikan berbasis masyarakat organik. Pesantren-pesantren
yang kurikulumnya mengukuti pola kurikulum pemerintah secara nasional, masuk
dalam kategori pendidikan berbasis masyarakat tradisional.
Temuan disertasi penulis tentang pendidikan berbasis masyarakat organik
di atas kiranya merupakan bentuk perwujudan dari konsepsi demokratisasi
pendidikan, yang meniscayakan adanya segala kebijakan pendidikan ditentukan
oleh masyarakat, bukan oleh pemerintah, karena memang masyarakat adalah
“tuan” dan “empunya” bagi pendidikan yang diselenggarakannya. Dengan
demikian, urgensi pendidikan berbasis masyarakat organik ini terletak pada
keberadaan masyarakat agar menjadi pemilik bagi pendidikannya secara utuh,
tanpa ada intervensi dan campur tangan pemerintah di dalamnya
Pendidikan Islam transnasional yang kini menjamur di Indonesia kiranya
dapat dikategorikan sebagai pendidikan berbasis masyarakat organik, karena
pendidikan model ini dilaksanakan dari, untuk dan dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat pendukungnya. Organisasi-organisasi transnasional yang
memang memiliki watak ideologis, sejak awal reformasi 1998, sudah mulai
masuk ke Indonesia dengan menancapkan unsur-unsur ideologisnya melalui
lembaga pendidikan sebagai alat penyemainya. Di Indonesia, telah ditemukan
banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta bercorak ideologis
Instalasi penguatan paham Islam moderat dalam lembaga pendidikan
Islam perlu dilakukan. Menurut Syamsul Arifin, peran dunia pendidikan dapat
diplot sebagai salah satu institusi yang dapat dioptimalisir untuk melakukan apa
yang disebut dengan deradikalisasi. Peran pendidikan terutama yang dikelola oleh
umat Islam diharapkan dapat melakukan peran tersebut, bersama institusi lainnya,
sehingga wajah Islam di Indonesia tetap terlihat ramah, toleran, moderat, namun
tetap memiliki martabat di mata dunia.27 Karenanya, lembaga Pendidikan.
Islam memiliki andil dan peran yang sangat strategis bagi penguatan
karakter moderat ini. Dalam rangka “Indonesianisasi Islam” untuk memperkuat
Islam moderat, lembaga pendidikan Islam dapat menginstalkan ideologi Islam
moderat kepada peserta didiknya. Instalasi ini dapat dilakukan dengan mengikuti
kerangka Gerald L. Gutek tentang ideologi pendidikan. Menurutnya, suatu
ideologi pendidikan, apapun bentuknya, dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu:
(1) di dalam menentukan kebijakan dan tujuan pendidikan, (2) di dalam
penyampaian nilai-nilai yang tersembunyi dalam hidden curriculum, (3) dan di
dalam formulasi kurikulum itu sendiri.28 Ketiga aspek ini senantiasa dipengaruhi
dan ditentukan bentuk dan formatnya oleh ideologi pendidikan yang dianut oleh
suatu lembaga pendidikan. Oleh karena itu, dalam instalasi ideologi Islam
moderat, ketiga aspek ini menjadi catatan yang harus diperhatikan.
Kurikulum pendidikan juga bersifat ideologis. Paradigma baru pendidikan
mengartikan kurikulum secara luas, yaitu sebagai semua yang menyangkut
aktivitas yang dilakukan dan dialami pendidik dan peserta didik, baik dalam
bentuk formal maupun nonformal, guna mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum
dalam paradigma baru bukan hanya sebagai program pendidikan, tetapi juga
sebagai produk pendidikan, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai
pengalaman belajar peserta didik.32 Menurut S. Nasution, di dalam menyusun
atau merevisi sebuah kurikulum pendidikan, ada empat asas yang perlu
diperhatikan, yaitu asas filosofis yang berkaitan dengan filsafat dan tujuan
pendidikan, asas psikologis menyangkut psikologi belajar dan psikologi anak,
asas sosiologi menyangkut perubahan dalam masyarakat, dan asas organisatoris
berkaitan dengan bentuk dan organisasi kurikulum.33 Asas filosofis kurikulum
inilah kiranya yang merupakan ajang penyemaian suatu ideologi pendidikan
kepada peserta didik.
Muatan kurikulum dengan demikian menjadi aspek penting dalam
instalasi ideologi Islam moderat. Dewasa ini materi ajar pendidikan Islam tersebar
bukan hanya dalam bentuk cetak, tetapi juga digital. Lembaga pendidikan Islam
harus mampu memilah dan memfilter mana materi ajar yang memuat ideologi
Islam moderat dan mana yang bukan. Kelompok-kelompok gerakan Islam
ideologis sudah melakukan penyebaran ideologinya melalui penerbitan dan
penerjemahan karya-karya yang sesuai ideologinya ke dalam bahasa Indonesia.
Demikian juga mereka telah mengonlinekan ajaranajaran ideologisnya berupa
bahan digital, yang tersebar dalam situssitus internetnya.
Hasil Peneltian
Pendidikan nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dewasa ini
dihadapkan pada tantangan yang sangat berat. Munculnya gerakan Islam
transnasional, yang menyebarkan ideologinya melalui lembaga-lembaga
pendidikan, membuat pendidikan nasional mendapat ancaman yang tidak dapat
diremehkan. Islam moderat yang menjadi karakter Islam Indonesia harus
diperkuat dan dipertahankan, selama bangsa dan negara ini masih bernama
Indonesia. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia dituntut untuk dapat
memainkan perannya dalam memperkuat Islam moderat melalui “Indonesianisasi
Islam”.
Peran yang dapat dilakukan lembaga pendidikan Islam dalam ranah ini
adalah instalasi ideologi Islam moderat kepada peserta didik dalam proses
pembelajarannya. Terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam instalasi ini,
yaitu penekanan Islam moderat dalam merumuskan tujuan pendidikan,
internalisasi nilai-nilai moderat dalam merancangbangunkan kurikulum
tersembunyi, dan melakukan filterisasi materi ajar sehingga ideologi Islam
moderat dapat diinstalkan kepada peserta didik. Proses instalasi ideologi Islam
moderat ini tentu saja bukan pekerjaan mudah. Di sini diperlukan kerjasama yang
sinergis antara pemerintah dengan kelompok-kelompok Islam kultural
nonideologis yang berparadigma “Indonesianisasi Islam”.

Judul Artikel : Kontestasi Keagamaan Dalam Masyarakat Muslim


Urban
Penulis : Saprillah, Hamdan Juhannis, Nurman Said, Hamzah Harun
Al-Rasyid
Nama Penerbit: Al-Qalam (sinta 2)
Tahun Terbit : Juni 29 2020

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi agama dan sosiologi
digital. Sosiologi agama mengacu pada relasi antara struktur dan kelompok
masyarakat dengan menggunakan agama sebagai basis. Sosiologi digital adalah
jenis pendekatan baru dalam kajian sosiologi (termasuk sosiologi agama) sebagai
bentuk respons terhadap perkembangan teknologi digital dan pengaruhnya
terhadap relasi sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah multi-case study
dan etnografi digital.
Studi kasus digunakan untuk mendekati realitas kasuistik dalam
masyarakat Islam. Sedangkan metode etnografi virtual atau netnografi digunakan
untuk mengeskplorasi media digital. Metode ini menempatkan media digital
sebagai society, bukan sebagai benda artifisial. Wacana yang tersimpan dan
terdialogkan dalam ruang virtual ini adalah representasi dari sistem berfikir yang
sedang berkembang dalam masyarakat. Netnografi dengan demikian menjadi
sebuah metode untuk menjelajahi pikiran masyarakat yang terlihat dalam ruang
digital. Observasi dan wawancara adalah dua metode standar dalam penelitian
kualitatif. Dalam penelitian ini, cara observasi tidak banyak dilakukan kecuali
dalam hal mengamati peristiwa-peristiwa kontestasi yang terjadi di media digital
dalam kurun 5 tahun terakhir.
Beberapa grup Facebook dan Link Youtube menyediakan ruang
“komentar” yang memungkinkan terjadinya perdebatan vis a vis antara satu pihak
dan pihak lain. Alasan lainnya adalah kasus yang diamati selain bersifat dikursus
juga karena peristiwanya sudah berlangsung sebelum penelitian ini dilakukan.
Cara yang paling utama digunakan adalah wawancara. Peneliti melakukan
wawancara kepada berbagai tokoh agama yang relevan dengan kasus keagamaan,
terutama yang kurang termuat di media sosial atau kelompok yang kurang ingin
mengeksplorasi identitasnya melalui media sosial. Metode penggalian data yang
cukup signifikan dalam penelitian ini adalah eksplorasi jejak digital. Sebagai
masyarakat digital, perdebatan keagamaan ter alihkan di media digital. Seluruh
kelompok keagamaan yang menjadi unit analisis ikut berkontribusi dalam
perdebatan di media sosial. Di dalam pendekatan sosiologi digital, cara ini disebut
sebagai etnografi media. Pencarian data dilakukan dengan mengambil sumber
utama dalam media Youtube dalam kurun waktu tertentu. Untuk menjaga
kebaruan perdebatan, peneliti hanya mengambil data dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir.
Materi Yang Dibahas
Kontestasi keagamaan di Indonesia, dengan melihat banyaknya kelompok
keagamaan yang saling berkontestasi, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar.
Pertama, kontestasi keagamaan antara kelompok keagamaan dalam rumah besar
Sunni. Kontestasi dalam mode ini yang berkembang di Indonesia akibat dari
perkembangan kelompok-kelompok Sunni dari berbagai arah pemikiran.
Pembahasan tentang kontestasi ini juga mendapatkan porsi penjelasan yang lebih
besar karena banyak kasus yang terjadi. Setidaknya ada dua bentuk kontestasi
dalam relasi antarkelompok Sunni, yaitu kontestasi wacana keagamaan dan
kontestasi gerakan keagamaan. Kontestasi NUMuhammadiyah misalnya dalam
kurun waktu panjang adalah prototipe kontestasi keagamaan dalam ideologi
Sunni. Di era Reformasi, kontestasi berjalan lebih acak. Formasi kontestasi
antarkelompok keagamaan Sunni tidak lagi tunggal.
Perubahan formasi tergantung bentuk dan tema keagamaan yang
dikontestasikan. Kedua, kontestasi dalam satu kelompok dengan minhaj
keagamaan yang sama. Misalnya kontestasi antara sesama kelompok Salafi dan
sesama kelompok Jamaah Tablig. Kontestasi antara kelompok berhaluan Salafi
dengan memperebutkan identitas salafisme. Kontestasi antara dua kelompok
Jamaah Tablig. Keduanya berkontestasi dalam memperebutkan ruang identitas,
siapa yang paling benar pasca munculnya amir Maulana Saad dan Syura Alamiah.
Ketiga, kontestasi antara kelompok mainstream Sunni dan kelompok sub-ordinat
non Sunni. Misalnya, antara FPI yang berhaluan Sunni dengan Ahmadiyah.
Antara Annas (Aliansi Nasional Anti Syiah) yang mengklaim diri sebagai Sunni
dengan IJABI yang berhaluan Syiah. MUI sebagai lembaga konsorsium ulama
Sunni di Indonesia menempati posisi strategis melalui fatwa yang diproduksinya
dalam kontestasi pola ini.
NU sejak awal sudah menentukan corak sebagai penganut paham
ahlusunnah wal jamaah annahdiyah. NU dengan demikian telah menyatakan
secara eksplisit bahwa ideologi Sunni yang berkembang di kalangan nahdiyin
adalah Ahlussunnah yang telah dimodifikasi sesuai dengan kepentingan dan cara
pandang keagamaan warga NU. Islam Nusantara yang dijadikan tema Muktamar
31 di Jombang, Jawa Timur diklaim sebagai bentuk lain terjemahan Ahlussunnah
Wal Jamaah an-Nahdliyyah. Dengan cara ini pula, NU telah siap untuk
‘menerima’ kenyataan bahwa identitas Sunni tidak tunggal dan setiap kelompok
Sunni boleh dan berhak menginterpretasikan kesunnian dalam kelompoknya.
Pilihan NU ini tidak diikuti oleh kelompok keagamaan lainnya. Muhammadiyah
tidak pernah secara eksplisit menyebut genre ideologi Sunni yang lebih spesifik.
Begitu pula kelompok keagamaan lainnya. Mereka menyebut diri
penganut Ahlussunnah wal jamaah. Di kelompok Salafi ada penambahan
salafussaleh yang menjadi dasar semantik penyebutan salafi. Alih-alih
mengonstruksi genre spesifik, kelompokkelompok ini justru mengklaim diri
sebagai kelompok pewaris dan pelaksana ajaran Islam yang ‘paling murni’ dari
Nabi Muhammad, sahabat, tabi, tabiin yang disebut sebagai generasi salafussaleh.
Dalam kontestasi menuju ‘hasrat’ yang paling murni itu, kelompok ini dengan
tegas menyebutkan perlunya ‘kembali ke Al-Qur’an dan Assunnah’. Yang
dimaksud adalah memurnikan ajaran Islam dari pengaruhpengaruh akal dan tradisi
manusia. Perlombaan menuju yang paling ‘murni’ ini juga yang berimplikasi pada
ramainya perdebatan wacana keagamaan. Tema-tema keagamaan yang
diperdebatkan di media sosial, masjid, kampus, dan ruang publik lain
merefleksikan luas dan sempitnya batasan ‘teologis’ dari masing-masing
kelompok. Sikap mereka terhadap isu kontemporer sangat tergantung pada
interpretasi terhadap jargon ‘Islam yang Kaffah’.
Hasil Penelitian
Kehadiran kelompok keagamaan dengan cara pandang keagamaan yang
berbeda berimplikasi pada banyaknya varian kontestasi. Kontestasi yang paling
alami adalah kontestasi wacana keagamaan. Gerakan kelompok berhaluan Salafi
yang membawa gerakan puritanisme baru mengoreksi tradisionalisme NU.
Serangan kelompok salaf sangat terasa di kalangan warga NU. Oleh karena,
sebagian besar tradisi NU dianggap bidah atau menyimpang oleh kelompok salaf
ini.
Tentu saja, kontestasi tentang hal ini bukan hal yang baru. Muhammadiyah
dan NU dalam kurun waktu yang cukup lama berkontestasi tentang hal-hal yang
bersifat furuiyah ini. Gagasan negaraagama menjadi topik perdebatan antara HTI
dan NU-Muhammadiyah plus keterlibatan negara yang pada akhirnya
mengeliminasi eksistensi HTI. Kontestasi wacana keagamaan tidak hanya terjadi
dalam kelompok yang berbeda haluan. Perbedaan dan kontestasi wacana terjadi
pula dalam satu kelompok yang sama, seperti kelompok Jamaah Tablig dan
kelompok salaf. Kontestasi muncul dalam dialektika dan dominasi. Kontestasi
wacana memiliki implikasi pada munculnya dialektika keagamaan.
Hal ini bisa sangat bermanfaat bagi pembangunan peradaban Islam di
tanah air. Tradisi saling berdebat dan saling berdiskusi adalah tipikal masyarakat
intelektual dan sebagai pra-syarat dari munculnya peradaban berbasis
pengetahuan. Kontestasi keagamaan yang bersifat dominatif terjadi antara
kelompok mainstream Islam (Sunni) dengan kelompok sub-ordinat. Selain
kelompok tarekat, Ahmadiyah dan Syiah yang paling rentan terhadap munculnya
kontestasi dominatif. Dominasi muncul dalam bentuk kekerasan baik kekerasan
simbolik (sebagai kelompok sesat, sempalan), maupun kekerasan fisik
(penyerangan, pembubaran kegiatan).
Secara substantif, kontestasi antarkelompok keagamaan bisa diredusir
dalam tiga hal. Pertama, kontestasi teologis. Kontestasi yang berpangkal dari
perbedaan sistem teologis, khususnya antara kelompok dominan dan subordinat,
dan berujung pada munculnya dominasi, subordinasi, serta konflik sosial.
Kontestasi teologis ini kemudian meluas dengan melibatkan aktor dari kelompok
mayoritas untuk melakukan pembelaan. Kontestasi teologis kemudian berhadapan
dengan cara pandang keagamaan yang bersifat kewargaan dan politis. Kedua,
kontestasi ideologis. Kontestasi yang bersumber pada perbedaan sistem ide
keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Kontestasi ini tidak hanya berlangsung dalam tataran debat wacana
(khususnya di media digital) juga berlangsung dalam tataran sosial dalam bentuk
penolakan terhadap kehadiran kelompok tertentu dan benturan fisik. Ketiga,
kontestasi yang bersifat sosiologis. Kontestasi pada tataran ini sebagai implikasi
dari dua bentuk (substantif) kontestasi. Terjadi penolakan, pengafiran, konflik
dalam skala kecil, intimidasi, dan pelarangan. Implikasi ini bisa memunculkan
destruksi sosial dan hilangnya hak satu kelompok untuk menjalankan keyakinan
sesuai dengan sistem teologis yang dianutnya.

Anda mungkin juga menyukai