Anda di halaman 1dari 9

B.

FORMULASI SEDIAAN

1. Preformulasi zat aktif

a. struktur kimia :

b. rumus molekul : C7H6O3

c. nama kimia : salicylic acid, 2-hydroxybenzoic acid

d. pemerian : hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih, hamper tidak
berbau, rasa agak manis dan tajam.

e. berat molekul : 138,12

f. suhu lebur : antara 158,5° dan 161°

g. kandungan : asam β-hidroksi

h. pH/pka : 3,0/3,0

i. kelarutan : larut dalam 550 bagian air dalam 4 bagian etanol (95%) P, mudah larut
dalam kloroform P dan dalam eter P, larut dalam larutan ammonium asetat P, dinatrium
higrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrat P.

j. stabilitas : stabil dalam udara bebas. Formulasi sediaan asam salisilat yang efektif
adalah memiliki pH mendekati 2,97.

k. inkompatibilitas : tidak dapat dicampurkan kedalam vanishing cream sebab cincin


sromatiknya akan menghancurkan komponen sabun yang diperlukan dengan
pembentukan emulsi. Pencampuran asam salisilat dengan kolisi protein tidak
dianjurkan karena membuat senyawa tidak stabil.

l. penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.

m. nama dagang : afi salep, diprosalic, callusol, cloveril, kalpanax salep

n. khasiat : agen antikeratolitik

2. permasalahan zat aktif

Asam salisilat adalah senyawa turunan asam saisilat yang memiliki sifat
antiinflamasi, analgesik (pereda nyeri) dan keratolitik (mengelupas sel kuli mati). Karena
sifat-sifat ini, asam salisilat sering digunakan dalam sediaan salep untuk mengobati
berbagai kondisi kulit, seperti jerawat, psoriasis, eksim dan keratosis pilaris. Selain itu,
asam salisilat memiliki kemampuan untuk mengurangi pembentukan komedo atau pori-
pori yang tersumbat, sehingga banyak digunakan sebagai bahan aktif dalam sediaan
perawatan jerawat (sulistyaningrum, 2012).

Asam salisilat dibuat dalam sediaan salep dibanding dengan sediaan lain seperti
krim. Keunggulan asam salisilat dibanding krim adalah salep asam salisilat memiliki
konsistensi yang lebih kental dibanding krim, sehingga lebih cocok digunakan untuk
kondisi kulit yang lebih parah seperti eksim dan psoriasis. Salep asam salisilat juga
dapat menembus lapisan kulit terluar dan meresap kedalam jaringan kulit dengan lebih
efektif. Ini memungkinkan senyawa ini bekerja langsung pada area yang terkena
masalah kulit dan memberikan efek yang lebih cepat dan signifikan (sulistyaningrum,
2012).

3. eksipien

a. asam benzoate (Dirjen Pom, 1979)

1) uraian bahan

Nama resmi : acidum benzoicum

Nama lain : asam benzoat

Berat molekul : 122,12

Rumus molekul : C7H6O2

Rumus struktur :

pH/pka : -

pemerian : serbuk putih atau Kristal tak berwarna, tidak berasa dan berwarna, berbau
khas benzoin.

Kelarutan : larut dalam lebih kurang 350 bagian air, dalam lebih kurang 3 bagian etanol
(95%) P, dalam 8 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P.

Kegunaan : zat pengawet (preservative)

Stabilitas : larutan asam benzoa dapat disterilkan dengan autoclave atau filtrasi 0,1%
larutan yang mengandung asam benzoate dapat bertahan selama 8 minggu jika
disimpan dalam wadah polivinit dan suhu ruangan.
Inkompatibilitas : bereaksi bila dicampur asam organic, aktivitasnya sebagai pengawet
dapat menurun apabila dicampur kaolin.

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.

2) alasan penambahan

Penambahan asam benzoate pada sediaan dikarenakan inkompatibilitas zat


tambahan dengan zat aktif tidak banyak (Puspaningrum, 2014).

Selain penggunaan asam benzoate sebagai zat pengawet, terdapat zat lain yang
dapat digunakan sebagai zat pengawet, seperti asam sorbat. Namun asam benzoate
lebih sering digunakan sebagai zat pengawet dalam sediaan salep maupun dalam
makanan dikarenakan asam benzoate memiliki toksisitas yang relative rendah
dibanding asam sorbat dan zat pengawet lainnya (Rorong, 2013).

Penggunaan asam benzoate dengan konsentrasi 0,2% dimaksudkan untuk


sediaan topical. Penggunaan asam benzoate sebagai zat pengawet dikarenakan asam
benzoate memiliki sifat antiseptic bakteriostatik yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur, sehingga cocok digunakan sebagai zat pengawet
dalam sediaan salep (Jumiyati, 2021)

b. BHT (Butylated Hydroxy Toluene) (Rowe, 2009)

1) uraian bahan

Nama resmi : butilhydroxytoluene

Nama lain : BHT

Berat molekul : 220,35

Rumus molekul : C15H24O

Rumus struktur :

pH/pka :

pemerian : hablur padat, putih, bau khas

kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan propilenglikol. Larut dalam alcohol, kloroform
dan eter.

Kegunaan : agen antioksidan

Stabilitas : bila terpapar cahaya dan suhu ekstrim dapat mengubah warna dan
menyebabkan ketidakefektifan.
Inkompatibilitas : inkompatibel dengan oksidator kuat seperti peroksida dan
permanganate. Garam besi dapat mengubah warna dan menghilangkan aktivitas.
Pemanasan dengan katalis menyebabkan peningkatan dekomposisi dengan keluarnya
gas isobutene.

Penyimpanan : wadah tertutup rapat, sejuk, terlindung dari cahaya dan kering.

2) alasan penambahan

Pemilihan BHT sebagai antioksidan dikarenakan inkompatibilitas diantara zat ini


dengan zat aktif tidak terlalu banyak (Puspaningrum, 2014)

Selain BHT yang digunakan pada sediaan salep sebagai antioksidan, terdapat
zat lain yang mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai antioksidan, seperti BHA
(Butylated Hydroxy Anisole). Namun agen antioksidan yang sering digunakan adalah
BHT dikarenakan tidak beracun serta mempunyai kelarutan yang baik dalam
minyak/lemak dibanding zat antioksidan lainnya (Yuliana, 2015).

c. etanol (Rowe, 2009)

1) uraian bahan

Nama resmi : ethanolum

Nama lain : etanol, alkohol

Berat molekul : 46,07

Rumus molekul : C2H6O

Rumus struktur :

pH/pka : 7,33/15,9

pemerian : larutan jernih, tidak berwarna dengan karakter bau khas dan rasa terbakar
ketika memakannya.

Kelarutan : tidak larut dalam kloroform, eter dan gliserin, pada air juga apabila terjadi
peningkatan suhu dan terjadi kontraksi volume.

Kegunaan : pelarut zat

Stabilitas : dapat disterilkan dengan autoclave. Stabil dalam panas.

Inkompatibilitas : dalam kondisi asam, etanol bereaksi dengan zat teroksidasi,


pencampuran dengan alkil dapat membuat warna keruh. Etanol tidak boleh disimpan
dalam wadah alumunium dan dapat bereaksi dengan berbagai zat.
Penyimpanan : di wadah sejuk.

2) alasan penambahan

Penambahan etanol sebagai pelarut zat lebih efisien dibandingkan dengan


aseton, methanol dan zat pelarut lainnya. Selain efisien etanol merupakan zat yang
mudah didapatkan dan aman untuk digunakan (Hakim, 2020).

Penggunaan etanol sebagai pelarut zat pada pembuatan salep ini adalah
dengan konsentrasi secukupnya yang dimaksudkan sebagai pelarut dalam produk
topical (Rowe, 2009).

d. vaselin album (Dirjen Pom, 1979)

1) uraian bahan

Nama resmi : petrolatum, merkur, vaselinum album

Nama lain : vaselin album

Berat molekul : -

Rumus molekul : -

Rumus sruktur : -

pH/pka : -

pemerian : massa lunak, lengket, bening, jika dicairkan tidak berbau, hamper tidak
berasa.

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95%. Praktis larut dalam
kloroform pekat dan eter pekat dan eter minyak tanah pekat, larutan kadang-kadang
beropalesensi lemah.

Kegunaan : basis salep

Stabilitas : petrolatum adalah zat yang stabil. Ketika terpapar cahhaya zat ini
teroksidasi. Tingkat oksidasi tergantung kepada beberapa faktor.

Inkompatibilitas : petrolatum adalah zat inert dengan inkompatibilitas yang sedikit.

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, sejuk dan kering.

2) alasan penambahan

Penggunaan Vaseline album ditujukan sebagai dasar/basis salep, dimana


pemilihan zat ini dikarenakan warnanya yang putih dan apabila menggunakan dasar
salep yang lain seperti vaselin flavum akan tidak cocok karena warnanya yang kurang
bagus dan kurang menarik. Dikatakan kurang bagus, sebab warna dari vaselin flavum
adalah kuning. Sehingga akan lebih menarik jika menggunakan vaselin album. Selain
faktor warna, pemilihan vaselin album dilihat berdasarkan kompatibel dengan seluruh
zat yang dipilih pada sediaan ini. Vaselin album tidak perlu dipanaskan karena tidak ada
kombinasi basis (Puspaningrum, 2014).

Konsentrasi vaselin album pada sediaan ini digunakan sebanyak 89,7 gram
untuk 100 gram sediaan. Konsentrasi ini dimaksudkan untuk salep topical (Rowe,
2009).

4. formula baku

R/ asam salisilat 10%

BHT 0,1%

Asam benzoate 0,2%

Etanol q.s

Vaseline album ad.100%

5. farmakologi

a. indikasi

asam salisilat sebagai agen antikeratolitik atau keratoplastik pada penyakit kulit
seperti acne vulgaris (jerawat), vesuka vulgaris (common warts), kalus, psoriasis dan
dermatitis seboroik (Departemen Farmakologi, 2016).

b. mekanisme kerja

berbagai penelitian menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting


pada mekanisme kerja asam salisilat sebagai keratolitik, yaitu menurunkan ikatan
komeosit, melarutkan semen intraseluler, dan melonggarkan serta mendisintegrasi
komeosit. Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organic dan menghilangkan ikatan
kovalen lipid intraseluler yang berkaitan dengan cornified envelope disekitar keratinosit.
Mekanisme kerja zat ini adalah pemecahan strukur desmosome yang menyebabkan
disinegrasi ikatan antar sel korneosit ( Feladita, 2019 ).

c. dosis
berdasarkan aturan BPOM RI, 2019 ditegaskan bahwa dosis asam sallisilat yang
diperbolehkan tidak melebihi 2%. Alasannya karena untuk keefektifan pengobatan
kondisi kulit dan meminimalkan resiko efek samping yang tidak diinginkan (BPOM RI,
2019).

Penggunaan dosis asam salisilat 2% untuk menghilangkan mikromedo pada dahi


dan pembersih reduksi komedo. Penurunan jumlah komedo berhubungan dengan efek
komedolitik asam salisilat dapat mengeluarkan isi komedo dibandingkan dengan
penggunaan dosis 1-1,5% hanya untuk peremajaan kulit tampak kering dan kasar
(Wijayanti, 2001).

d. interaksi obat

Saat mengalami absorbs sistemik, 80-90% asam salisilat pada plasma berikatan
dengan protein (terutama albumin). Asam salisilat berkompetisi dengan berbagai obat
yang terikat pada albumin, yaitu tiroksin, triodotironin, penisilin, fenitoin, kaptopril,
probenesid dan berbagai obat antiinflamasi non-steroid. Penggunaan asam salisilat
secara bersamaan dengan antikoagulan lain ( sebagai contoh : warfarin dan heparin),
obat hipoglikemia, dan metotreksat perlu berhati-hati. Asam salisilat dapat
meningkatkan toksisitas obat-obat tersebut ( Sulistyaningrum, 2012).

e. efek samping

Penggunaan asam salisilat yang berlebihan dapat menimbulkan efek waja bebas
dari jerawat secara cepat, akan tetapi kondisi wajah akan terkikis dan menimbulkan
masalah kulit wajah lainnya seperti peradangan kulit, memerah, panas, ruam dan
dermatitis (BPOM RI, 2019).

f. kontraindikasi

Penggunaan asam salisilat topical relative aman. Zat ini digunakan sebagai obat
bebas di Amerika Serikat dalam konsentrasi 1-40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat
diberikan dengan kewaspadaan dan edukasi penggunaan yang tepat. Pasien dengan
riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadap asam salisilat topical sebaiknya tidak
diberikan preparat ini (Sulistyaningrum, 2012).

6. metode pembuatan sediaan

Pada proses pembuatan salep terdapat dua metode, yaitu metode pencampuran
dan metode pemanasan. Pemilihan metode tergantung pada sifat masing-masing
bahan yang akan digunakan. Pada pembuatan salep ini menggunakan bahan basis
atau dasar salep hidrokarbon, yaitu vaselin album (vaselin putih). Dengan demikian
basis dengan sifat tersebut cocok menggunakan metode pencampuran karena basis
atau dasar salep hidrokarbon hanya sejumlah kecil komponen yang ditambahkan
kedalam basis tersebut, jadi tidak perlu dilakukan pemanasan karena memang hanya
menggunakan vaselin album saja, tidak menggunakan kombinasi dengan basis lainnya
(Puspaningrum, 2014).

Metode pencampuran merupakan metode pembuatan salep yang dilakukan


dengan cara semua komponen salep yang akan digunakan dicampur secara bersama-
sama didalam mortir sampai semua komponen tersebut menjadi homogen. Metode ini
memiliki keuntungan dan kerugian, keuntungan dari metode ini adalah zat aktif dapat
tersebar merata dan cara pengerjaannya yang relative sederhana dan mudah.
Kerugiannya adalah memakan waktu yang relative lama, memerlukan tenaga yang
banyak dalam pencampuran bahan agar tercampur merata (Puspaningrum, 2014).

7. analisis titik kritis

Pada pembuatan salep asam salisilat terdapat kendala atau permasalahan


dalam pembuatannya, terutama pada zat aktif itu sendiri. Asam salisilat tidak larut
dalam air, sehingga diatasi dengan penggunaan etanol untuk melarutkan zat aktif.
Sediaan salep yang akan dibuat mudah ditumbuhi mikroorganisme lain, dengan
penambahan asam benzoate dapat mengatasi hal tersebut karena asam benzoate
berfungsi sebagai pengawet. Selanjutnya beberapa zat dalam sediaan ini mudah
teroksidasi, dengan penambahan BHT dapat mengatasi permasalahan tersebut,
dikarenakan BHT berfungsi sebagai antioksidan.

8. evaluasi sediaan

Evaluasi dari sediaan salep terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

a. uji organoleptis

uji ini dilakukan dengan mengamati bau, warna, bentuk dan penyebarannya.
Terdapat syarat-syarat dari uji organoleptic, yaitu :

1) bau dari sediaan tidak boleh tengik


2) warna harus sesuai dan enak dipandang
3) penyebaran dikulit harus mudah.

b. uji homogenitas
uji ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah zat aktif tercampur
homogen didalam sediaan. Jika tidak tercampur, maka efek terapi yang diberikan salep
akan langsung lama. Selain itu kulit pasien tidak akan nyaman jika ukuran zat padat
yang masih besar-besar mengenai kulit.

Adapun syarat dari uji homogenitas adalah sebagai berikut.

1) zat aktif harus terdispersi


2) jika ada zat aktif yang tidak terdispersi, ukuran partikel dari zat aktif tersebut
harus kecil.
3) Ketika dioleskan kekulit tidak menyebabkan lecet karena ukuran partikelnya yang
kasar menggores kulit.

c. uji pH

ketika uji pH yang dijadikan ukuran lolos uji atau tidaknya adalah keseragaman
pH. Syarat dari uji pH ini adalah pH ketiga sampel harus seragam.

d. uji daya sebar

uji daya sebar dilakukan untuk melihat kemampuan sediaan salep menyebar
pada kulit, dimana suatu basis salep sebaiknya memiliki daya sebar yang baik.

Anda mungkin juga menyukai