Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL

PANDANGAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH MENGENAI AKAD GADAI


SAWAH DIDESA MEDDELAN KECAMATAN LENTENG KABUPATEN
SUMENEP

DisusununtukmemenuhiTugas Mata Kuliah “Metodologi Penelitian”

DosenPengampu: Zulaekah, M.E.I

DisusunOleh:

Farihatul Munawarah (18382042044)

PROGRAM STUDY HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA (IAIN)

TAHUN AKADEMIK 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………….…………………………………………...ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A. LatarBelakang.......................................................................................1
B. RumusanMasalah..................................................................................1
C. TujuanPenulisanMakalah.....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2

A. Pengertian dan dasar hukum Zakat dan Wakaf....................................2


B. mengenal kerajaan saudi Arabia dan negara Mesir serta manajemen wakafnya 5
C. pengelolaan zakat dan wakaf di Saudi Arabia dan Mesir.....................8

BAB III penutup...............................................................................................13

A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran …………………………………………………………………13.

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14
A. Konteks Penelitian
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam
masyarakat. Sebagai makhluk sosial dapat melakukan berbagai cara untuk memenuhi
hajat hidupnya, salah satu caranya adalah dengan gadai (rahn), konsep utama dari
gadai adalah pinjam-meminjam antara satu pihak yang kekurangan dana kepada yang
kelebihan dana dengan meminjamkan barang yang ia miliki sebagai jaminan sebagai
penguat kepercayaan kepada pihak yang meminjamkan dana. Hak gadai merupakan
hubungan hukum antara seseorang dengan tanah milik orang lain, yang telah
menerima uang gadai daripadanya. Selama uang itu dikembalikan, maka tanah yang
bersangkutan dikuasai oleh pihak yang memberi uang (pemegang gadai).1
Salah satu barang jaminannya merupakan tanah sawah yang menjadi obyek
jaminan gadai. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi
sawah, baik secara terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman
palawija.2
Salah satu praktek muamalah yang dilakukan oleh masyarakat secara umum
dan kaum Muslimin secara khusus dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap dana
tunai adalah gadai tanah atau sawah. Menggadaikan tanah atau sawah kepada pihak
lain dijadikan sebagai solusi ketika mereka membutuhkan dana tunai secara
mendesak.
Gadai tanah atau sawah merupakan praktek muamalah yang sudah lama
dilakukan oleh masyarakat, dan belum ditemukan sebuah hasil penelitian tentang
sejarah munculnya praktek gadai tersebut, karena praktek gadai dilakukan secara non
formal atau hanya berlandaskan pada kesepakatan lisan dan kebiasaan saja. Bahkan
praktek gadai itu dilakukan oleh umat Islam tanpa mengindahkan prinsip-prinsip
dasar dalam bermuamalah berdasarkan syariah islamiyah.
Masyarakat di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
menggunakan sistem gadai (sawah) menjadi tiga macam, yaitu:
a) penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya, kemudian kedua belah
pihak membagi hasil sawah sama seperti “bagi hasil”, tetapi jika (sawah)
yang dijadikan barang jaminan masih ditanami oleh penerima gadai dan
masih belum panen. Maka pemberi gadai mengganti keuangan mulai dari
uang pembelian bibitnya sampai biaya penggarapannya,
1
Eddy Ruchyat, Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah Berdasarkan UU No. 56 (Prp) Tahun 1960,
(Bandung: Armico, 1983), hlm.66
2
Sarwono Hardjowinegoro dan M. Luthfi Rayes, Tanah Sawah (Malang: Bayumedia, 2005),hlm. 1
b) Pemegang gadai memegang sendiri sawah gadainya,
c) Pemegang gadai menyuruh pihak ketiga untuk menggarap sawahnya.

Dari hasil observasi yang penulis lakukan, di Desa Meddelan Kecamatan


Lenteng Kabupaten Sumenep dalam hal gadai sawah disini bisa dibilang berbeda
dengan masyarakat yang lain, karena apa diDesa ini terdapat masalah sawah yang
mana, akad yang telah disepakati itu telah masuk jatuh tempo pelunasan untuk
pemberi gadai. Tetapi sawah yang pada saat itu dijadikan jaminan masih ditanami
oleh penerima gadai dan masih belum panen. Maka pemberi gadai harus menggati
semua keuangan mulai dari pembelian bibitnya hingga biaya penggarapannya. Maka
jika sudah terjadi hal seperti ini, si penerima gadai pasti tidak akan ikut campur dalam
hal keuangannya. Dan pemberi gadai harus siap atas semunya pembiayaan tersebut.
Dari hal ini bagaimanakah tinjauan hukum ekomi syariah dalam hal tersebut.
Khususnya mengenai perekonomiannya, yang mana dalam masalah ini di pemberi
gadai harus tanggung resiko jika sawah tersebut telah jatum tempo dan jaminannya
masih belum panen.

Umunya perjanjian dilakukan secara lisan antara kedua belah pihak tentang
luas sawah dan jumlah uang gadainya, dengan tidak menyebutkan masa gadainya,
yang akan menjadi persoalan dalam sistem pelaksanaan gadai sawah ini adalah petani
akan sulit mengembalikan uang kepada pemilik uang dikarenakan tanah tersebut
masih dalam perjanjian gadai, sawah yang menjadi pendapatan pokok keluarga
digarap oleh pemilik uang. Pelaksanaan gadai ini juga sering kali menyebabkan petani
terpaksa menjual tanahnya dengan harga yang murah. Selain itu, sering terjadi akad
yang telah jatuh tempo pelunasan yang sesuai dengan perjanjian di awal yang mana
pemberi gadai melakukan pelunasan, tetapi sawah yang dijadikan barang jaminannya
itu masih ditanami oleh penerima gadai dan masih belum panen, maka pemberi gadai
harus mengganti keuangan mulai dari uang pembelian bibit sampai biaya
penggarapannya. Hal ini mendorong petani untuk mencari pinjaman dan
mengakibatkan petani tidak memiliki pekerjaan lagi.
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dipaparkan mengenai pelaksanaan
gadai sawah yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu penulis memberi judul pada
permasalahan ini, dengan judul Pandangan Hukum Ekonomi Syariah Mengenai
Akad Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang
diangkat adalah :
1. Bagaimana praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep
2. Bagaimana tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah terhadap praktek pelaksanaan
Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa
Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah terhadap
praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng
Kabupaten Sumenep

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bisa bermanfaat sebagai kajian dan sumbangan pemikiran
akademik secara teoritis dan konseptuan berkenaan dengan ilmu di bidang Hukum
Ekonomi Syari’ah terkhusus dalam pembahasan akad dan praktek pelaksanaan gadai
sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Selain itu, juga
dapat menjadi acuan bagi para pihak yang melakukan transaksi gadai di Desa
Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, terutama dalam transaksi gadai
sawah agar dapat menajalnkan sesuai dengan Hukum Ekonomi Syariah

E. Definisi Operasional
Ekonomi Syariah adalah sebuah sistem perekonomian yang berlandaskan pada
ketentuan-ketentuan syariat (Islam), berdasrkan pada nilai-nilai mutlak yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan ciri utamanya adalah
tidak menggunakan sistem riba yang merupakan perbedaan mendasar antara sistem
perekonomian lainnya.
Ekonomi syariah merupakan usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
per orang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak
komersial menurut prinsip syariah. Istilah ini biasanya digunakan juga untuk
menyebut Ekonomi Islam.3
Diantara prinsip-prinsip dasar ekonomi syari’ah yang tertuang dalam Al-
Qur’an adalah sebagai berikut:
Kerjasama dan tolong menolong adalah anjuran pokok dan utama dalam
membangun kegiatan ekonomi syari’ah
C‫ َعلَي ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َوي‬C‫َوتَ َعا َونُوْ ا‬
Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa
(Q.S. al-Maidah [5]:2).

Tolong menolong dan kerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan


umat sangat dianjurkan dalam islam. Hal ini merupakan motivasi dalam mengurangi
kesenjangan antara si kaya dan si miskin, ekonomi mapan dan ekonomi lemah, jika
kedua dimensi social ini saling terpadu maka tidak mustahil tatanan perekonomian
mampu menciptakan keseimbangan dalam msyarakat.

Maka tidak berlebihan jika sikap tolong menolong ini dijadikan acuan utama
dalam gadai sawah sehingga seseorang menahan gadai tidak hanya memikirkan
keuntungan belaka.4

Transaksi hukum gadai dalam fiqih Islam disebut rahn. Rahn diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah fikih maupun dalam istilah hukum perdata
Indonesia. Dalam istilah fikih, rahn secara bahasa bermakna al-tsubut dan al-
habsadalah terkurung dan terjerat atau tetap, kekal dan jaminan. Istilah fikih
mu’amalah rahn secara bahasa diartikan dengan menyimpan suatu barang sebagai
tanggungan hutang.

Rahn merupakan suatu jenis perjanjian untuk menahan sutau barang sebagai
tanggungan hutang. Pengertian rahn dalam bahasa arab adalah al-tsubut wa al-dawam
bermakna tetap dan kekal. Definisi al-habsu dan al-tsubut diatrikan tetap dan kekal
yang maksudnya adalah menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materil.
Karena itu rahn diartikan, menjadikan suatu barang bersifat materi sebagai pengikat
hutang.

3
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.259.
4
Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 345
Gadai yang dalam bahasa Arabnya adalah rahn dapat diartikan juga dengan
al-habsu yang bermakna tetap dan lestari, bisa juga bermakna penahan. Menurut
bahasa rahn berarti penahanan, seperti kalimat rahintu sya’ian artinya aku
menetapkan sesuatu dengan terus-menerus, yang artinya pengertian tersebut tetap dan
kontinyu. Makna lain berkaitan dengan gadai, Ghufron A. Mas’udi menyatakan
bahwa yang dimaksud gadai adalah sebuah akad hutang yang disertai dengan
jamian/agunan. Sedangkan dalam syariah, gadai adalah memgang suatu yang
mempunyai nilai. Bila pemberian itu dilakukan pada waktu terjadinya piutang.

Para ulama al-madzhabal-arba’ah memberikan istilah tahn dalam perspektif


fikih. Diantara imam adalah Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Keduanya menjalaskan
bahwa rahn diartikan dengan, “menjadikan materi barang sebagai jaminan hutang
yang dapat dijadikan pembayar hutang, apabila orang yang berhutang tidak membyar
hutangnya”. Imam Maliki menjelaskan bahwa rahn adalah harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat. Imam Hanafi
mengatakan, tahn adalah menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak
piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik
seluruhnya maupun sebagian.

Berdasrkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, gadai adalah suatu


sistem dalam mu’amalah dimana pihak yang satu memberikan pinjaman dan pihak
yang kedua menyimpan barang berhaga atau bernilai sebagai jaminan atas pinjaman
terhadap orang yang menerima gadai.5

F. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu disini berisi uraian singkat hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya tentang masalah sejenis. Diantaranya telah dilakukan
oleh:
1. Laila Isnawati (UIN Sunan Kalijaga: 2008) dengan judul skripsi
“Pemanfaatan Gadai Sawah di Dukuh Brunggang Sangen Desa Krajan
Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo”skripsi tersebut menjelaskan tentang
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat desa tersebut melaksanakan

5
M. Sulaeman Jajilu, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam (Yogyakarta: CV BUDI UTAMA, 2015),
hlm.97-101
gadai tanah (sawah) dan pemanfaatn barang jaminan oleh pihak
kreditur/murtahinsecara penuh tidak diperbolehkan karena barang tersebut
hanya sebagai jaminan hutang piutang untuk menambah kepercayaan kepada
kreditur.
2. Empip Hapipah (UIN Sunan Kalijaga: 2005) dengan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam di Desa Tegal Kunir Kidul Kecamatan Mauk
Kabupaten Tangerang Banten” berkesimpulan bahwa gadai yang telah terjadi
di Desa Tegal Kunir ini tidak sesuai dengan prinsip hukum Islam. Karena
dalam prakteknya gadai di Desa tersebut menggunakan ‘urf yang bertentngan
dengan nash dan prinsip hukum islam.
3. Azhari (UIN Sunan Gunung Djati Bandung: 2017) dengan artikel berjudul
“Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap gadai sawah di Desa
Sindangsari Kabupaten Ciranjang Kabupaten Cianjur” dari artikel ini ada
sebagian penjelasan yang tidak sesuai dengan Hukum Ekonomi Syariah, selain
itu di Desa ini jika akad sudah jatuh tempo tetapi barang jaminannya (sawah)
itu masih belum panen maka si pemberi gadai tidak harus mengganti semua
pebiayaannya, mulai dari bibit dan penggarapannya. Jadi semuanya
ditanggung oleh di pemberi gadai.

G. Kerangka Teori
1. Pengertian Gadai
Gadai dalah bahasa Arab disebut Rahn. Secara bahasa, rahn berarti
tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan.
Umpamanya, kita mengatakan, “ni’matun rahinah”, artinya nikmat yang tetap
lestari. Perjanjian lainnya yang hanya memindahkan penguasaan atas benda
(bezit) misalnya dalam sewa menyewa, pinjam pakai, gadai.
Allah berfirman:
)٣٨( ٌ‫ت َر ِه ْينَة‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
ْ َ‫س بِ َما َك َسب‬
Artinya: tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
(Q.S Al- Mudatstir 74:38)
Pengertian gadai secara istilah adalah menyandera sejumlah harta yang
diserhakn sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah
harta dimaksud sesudah ditebut. Sedangkan menurut Sabiq, rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.6
Sedangkan gadai menurut para sarjana adalah:
Menurut Iman Sudiyat, menjual gadai (Indonesia) menggadai
(Maningkabau), adol sande (Jawa), ngajual akad/gade (Sunda), yaitu
“Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai,
dengan ketentuan” sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali”.
Menurut Boedi Harsono gadai adalah, “Hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah epunyaannya orang lain, yang telah menerima uang
gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut
dikuasai murtahin dan hak tanah seluruhnya menjadi haknya. Pengembalian
uang gadai atau lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang
berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik
tanah belum mampu melakukan penebusan. Jadi dalam jual gadai terdapat dua
pihak, pihak yang menyerahkan tanah, atau pihak pemberi gadai atau rahin
dan pihak kedua adalah pihak penerima tanah atau murtahin. Pihak penerima
gadai inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada rahin
dengan tujuan membantu dan menolongnya.
Menurut Undang-Undang No. 56/Prp/1960 gadai menggadai yang
terjadi sebelum UUPA menurut Paal 7 maka gadai yang telah berumur 7 tahun
atau lebih, si pemiliknya dapat meminta kembali setiap waktu setelah panen,
tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan
berdasarkan rumus: (7 + ½) – waktu berlangsung hak gadai x uang gadai 7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai telah berlangsung 7 tahun
maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa
pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tenaman yang ada
selesai di panen.
Tanah hak milik yang dapat digadaikan, hak gadai bukan hak jaminan
atau hak tanggungan sebagaimana berlaku pada hipotik/crediverband, sebab

6
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006),
hlm.112.
dalam gadai-menggadai tanah yang digadaikan beralih kekuasaannya, beralih
kepada pemegang gadai selama belum ditebus kembali secara sempurna,
sedangkan dalam hak tanggungan tanahnya tetap dinikmati oleh pemilik asal.
Pegadaian menurut Sosilo adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang
mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai
hutang. Seorang yang berhutang tersebut memberikan kekuasaan pada orang
lain yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah
diserahkan untuk melunasi hutang apabila pihak yang berpiutang tidak dapat
melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.7

2. Dasar Hukum Gadai


a. Al-Qur’an
‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذى‬
ُ ‫ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬،ٌ‫ضة‬ َ ْ‫َان َّم ْقبُو‬
ٌ ‫َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِره‬
‫ َوهللاُ بِ َما‬،ُ‫م قَ ْلبُه‬Cٌ ِ‫ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّهُو َءاث‬،َ‫ ال َّشهَا َدة‬C‫ َواَل تَ ْكتُ ُموا‬،ُ‫ق هللاَ َربَّه‬ِ َّ‫ َو ْاليَت‬،ُ‫اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَه‬
)٢٨٣( ‫تَ ْع َملُوْ انَ َعلِ ْي ٌم‬
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang di percayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Baqarah: 283).8
b. Hadits
Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari
seseorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (Hr.
Bukhari dan Muslim). Selain itu dari Abu Hurairah ra. Berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda:”apabila ada ternakdigadaikan, punggunya
boleh dinaiki (oleh yang menrima gadai), karena ia telah mengeluarkan
7
Purwahid Patrik, Hukum Jaminan (Makalah, Fakultas Hukum Undip, 2003), hlm.13
8
QS. Al-Baqarah (2) : 283.
biaya (menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya
yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (perawatannya) (HR Jamaah Kecuali
Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
c. Ijma’
Jumhur ulama berpendapat memperbolehkan gadai dan tidak ada
perselisihan tentang gadai. Humhur ulama berpendapat bahwa
disyariatkan pada waktu tidak bepergian atau waktu bepergian yang
berlandaskan pada hadits nabi diatas tersebut.
d. Kaidah Fiqh
Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali ada
dalil yang mengharamkan. Dalam konteks hukum di Indonesia telah
ditemukan produk hukum yang berkaitan dengan rahnnini, baik dalam
peraturan perundag-undangan maupun dalam bentuk Fatwa yang
Dikeluarkan Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
(DSN-MU). Undang-Undnag pertama yang menyebutkan istilah ijarah
adalah Iundang-Undang Nomor 10 Tahun1998 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dalam
Undang-Undang ini, rahn disebut dengan istilah agunan yang berarti
jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur atau pembiayaan
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Ketentuan ini diperkuat ladi dalam
pasal 1 Ayat 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah yang menyebutkan bahwa rahn (agunan) adalah
jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang
tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank
syariah dan/atau unit Usaha Syariah (UUS), guna menjamin pelunasan
kewajiban nasabah penerima fasilitas.
3. Akad pada Pegadaian Syari’ah
Secara umum, akad yang digunakan pegadaiansyari’ah berlandaskan
konsep rahn memiliki dua akad, yaitu:
a. Akad rahn
Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak
sebagai aminan atas utang nasabah.
b. Akad Ijarah
Akad Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang dan
ataujasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad iajarah
ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan
akad.

Namun demikian, sesuai kebutuhan nasabah dalam penggunaan pinjaman


terdapat tiga akad yang dapat digunakan dalam pegadaian syariah, yaitu:

a. Akad Al-Qardul Hasan


Akad Al-Qardul Hasan dilakukan pada kasus nasabah yang
menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan
demikian nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee
kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang
gadaian (marhun).
b. Al-Mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha. Dengan demikian rahin akan
memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin
sesuai dengan kesepakatan sampai modal yang dipinjam lunas.
c. Akad Ba’i Al-Muqayyadah
Akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan
barangnya untuk keperluan produktif. Dengan demikian murtahin akan
membeli barang yang sesuai dengan keingingan rahin atau rahin akan
memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan
pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang ditentukan.9

4. Syarat dan Rukun Gadai

9
Ibid, hlm. 125.
Dalam pelaksanaannya, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi
sehingga gadai tersebu sesuai dengan syariah. Rukun dan syarat tersebut
adalah:
a. Ar Rahin yaitu orang yang menggadaikan
Ar rahin disyaratkan merupakan orang yang sudah dewasa, berakal,
bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan.
b. Al Murtahin yaitu yang menerima gadai.
Al Murtahin merupakan orang, bank atau lembaga yang dipercaya oleh
rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
Tentang rahin dan murtahin diisyaratkan keduanya merupakan orang
yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan Hukum sesuai dengan
ketentuan Syari’at Islam yaitu berakal dan baligh.
c. Al Marhun/rahn yaitu barang yang digadaikan
Marhun merupakan barang yang digunakan rahin untuk dijadikan
jaminan dalam mendapatkan utang. Marhun disyaratkan sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Sehingga barang tersebut dijual
untuk memnuhi hak murtahin.
Dalam operasional pegadaian syariah, marhun disyaratkan,sebagai
berikut:
 Dapat diperjualbelikan
 Harus berupa harta yang bernilai
 Harus bisa dianfaatkan secara syariah
 Harus diketahui keadaan fisiknya
 Harus dimilki rahin
d. Al Marhun bih (utang) yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin
kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk marhun bih, yaitu:
 Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan
kepada pemiliknya.
 Memungkinkan pemnfaatannya.
 Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d. Sighat, Ijab dan Qabul yaitu kesepakatan antara rahin dan murthain
dalam melakukan transaksi gadai.
Syarat sighat yang harus dipenuhi dalam operasional pegadaian syariah
yaitu:
 Sighat tidak boleh terikat dengan syarat-syarat tertentu dan juga
dengan suatu waktu dimasa depan.
 Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang
seperti halnya akad jal beli. Maka tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu dimasa depan.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh


memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahn jual
beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

Menurut Sayyid Shabiq, gadai itu baru dianggap sah apabila memnuhi
empat syarat, yaitu orangnya sudah dewasa, berfikiran sehat, barang yang
digadaikan, sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu
dapat diserahkan/dipegang oleh penggadai.

Disyaratkan kedua orang yang menggadaikan dan yang menerima


gadai harus sehta akal fikirannya, mereka tidak perlu harus sudah dewasa. Jadi
seorang anak yang bisa membedakan baik dan buruk (mamayiz) dapat menajdi
rahin (yang menggadaikan) atau murtahin (yang menerima gadai).

Ulama Hanafiyah mensyaratkan gadai sebagai berikut:

a. Dalam hal lafadz, dapat dilakukan, dapat dilakukan dalam bentuk


tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung maksud
adanya perjanjian gadai di antara pra pihak.
b. Orang yang berakad disyaratkan orang yang cakap untuk melakukan
sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, yaitu
berakal dan baligh.
c. Harta yang dijadikan agunan haruslah merupakan barang milik si
pemberi gadai, dan barang itu ada pada saat diadakan perjanjian gadai.
Menyangkut barang yang dijadikan agunan ini dapatdari macam-
macam jenis yang penting agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan utang, dan barang gadaian tersebut berada di bawah
penguasaan penerima gadai.
d. Utang disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata utang
tersebut bukan utang bertambah-tambah dan utang merupakan hak
wajib dikembalikan kepada kreditur serta utang bisa dilunasi dengan
agunan tersebut.10
5. Status Barang Gadai
Status barang gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang
piutang ang dibarengi dengan penyerahan jaminan. Misalnya ketika seseorang
penjual meminta pembeli menyerahkan jeminan seharga tertentu untuk
pembelian suatu barang dengan kredit.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan
keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya. Ini berarti jika
seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi
sebagian nyamaka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan
penerima gadai sampai orang yang menggadaikan (rahin) melunasi seluruh
utangnya.11
6. Operasionalisasi Hukum Gadai
Pelaksanaan hukum-hukum gadai, menurut Al-Jazairi (2005:532-534),
sebagai berikut:
Barang gadai (rahn) harus berada ditangan murtahin dan bukan
ditangan rahin. Jika rahin meminta pengembalianrahn dari tangan murtahin
dan bukan ditangan rahin maka tidak diperbolehkan. Adapun murtahin, ia
diperbolehkan mengembalikan rahn kepada pemliknya, karena ia mempunyai
hak didalamnya.
Barang-barang yang tidak diperjualbelikan tidak boleh digadaikan,
kecuali tanaman dan buah-buahan yang di pohonnya belum masak, karena
penjualan kedua barang tersebut haram, namun bisa dgadaikan diperbolehkan,
karena tidak ada gharar di dalamnya bagi murtahin, karena piutangnya tetap
ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami
kerusakan.
7. Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang yang digadaikan itu bukan untuk menjadi
tanggungan (jaminan) dalam pinjaman. Barang gadai itu hanya boleh
10
Muhammad Turmudi, Operasional Gadai Dalam Sistem Hukum Ekonomi Islam (Institut Agama Islam Negri
Kendari : Jurnal Al-‘Adl, vo.9, no.1, 2016),hlm. 165-167
11
Ibid, hlm.201
dipergunakan dan ambil hasilnya oleh yang punya hak, bukan pemegang
gadai, namun demikian murtahin boleh mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan sepanjang tidak mengurangi nilai aslinya dan mendapat izin yang
rahin. Misalnya kuda ditunggangi, mobil dikendarai, dan sebagainya,
begitupun agar murtahin dapat memperoleh manfaat dari sistem gadai sawah
atau kebun yakni dengan cara membagi hasilnya antara pemilik dan
penggadai. Dengan demikian seolah-olah jaminan itu milik penggadaian
selama piutangnya belum dikembalikan.
Dalam pemgambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para
ulama berbeda pendapat, di antaranya:
a. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin yang
mengizinkannya, karena hal itu termasuk kepada utang yang dapat
menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Selain itu,
perjanjian dilaksanakan hanyalah untuk menjamin hutang, bukan untuk
mengambil sesuatu keuntungan. Memanfaatkan barang gadaian
merupakan perbuatan qirodh yang melahirkan kemafaatkan, dan setiap
jenis qirodh yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai riba.
b. Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, bahwa jika
barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau
binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai
dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan
dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan
atau binatang ternak itu ada padanya.
c. Menurut segolongan fuqaha diperbolehkan menggunakan barang gadai
kalau diizinkan oleh pemiliknya, sebab barang tersebut miliknya,
sedangkan pemilik arang berhak memberikan izin kepada siapa saja
yang dikehendaki untuk memanfaatkan barang jaminan. Menurut
ualam Madzhab Hanafi pemanfaatan barang jaminan adalah
pemanfaatan yang berdasarkan izin dan tidak karena itu pinjaman, oleh
karena itu tidak haram.
d. Menurut ulama Hanafi, pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian
itu atas seizin pemiliknya, sebab pemilik barang itu boleh mengizinkan
kepada siapa saja yang dikehendakinya, termasuk penggadai dapat
mengambil manfaat dan tidak termasuk riba.12
8. Penjualan Brang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Karena merupakan jaminan atas utang yang jika jatuh tempo
penggadai tidak bisa melunasi utangnya tetapi bisa diambilkan dari barang
gadaian tersebut, pelunasan melalui penjualan barang gadai haruslah sesuai
dengan besarnya tanggungan yang harus dipikul oleh penggadai (rahin).
Artinya, jika setelah barang tersebut terjual ternyata harganya melebihi
tanggungan penggadai maka selebihnya adalah menjadi hak penggadai.
9. Rusak dan Berakhirnya Barang Gadai
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Menurut sebagian
ulama, barang gadai adalah amanah dari orang yang menggadaikan. Pemegang
gadai sebagai pemegang amanah tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau
kerusakan tanggungannya, entah karena tidak sengaja merusaknya, entah
karena lalai.
Pendapat lain mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi dalam barang
gadai ditanggung oleh penerima gadai (murtahin), karena barang gadai adalah
jaminan atas uang, sehingga jika barang rusak maka kewajiban melunasi
hutang juga hilang. Akad gadai berakhir dengan hal berikut ini :
a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya (rahin).
b. Rahin telah membayar utangnya.
c. Pembebasan utang dengan cara apapun.
d. Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari rahin.
e. Rusaknya barang gadai bukan karena tindakan murtahin.
f. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin.
g. Memanfaatkan barang gadai dengan cara menyewakan, hibah, atau
hadiah, baik dari pihak rahin maupun murtahin.
10. Riba dan Perjanjian Gadai
Di Indonesia dalam transaksi perjanjian gadai ditemukan istilah
“sarem” yang oleh ulama’ terjadi selisih pendapat; satu pihak, berkeberatan
menerimanya, karena mengandung unsur riba ulama lain tidak keberatan
karena sarem membutuhkan biaya pemeliharaan barang gadai.13
12
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), Cet.ke I, hlm.256.
13
Harun dan Slamet Warsidi, Fiqh Muamalah (Jilid 1), (Surakarta:FAI UMS, 2001), hlm.42-43
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif lebih tepat untuk
menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian, yaitu
Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengambangkan konsep sensitivita
pada masalah yang dihadapimenerangkan realitas yang berkaitan dengan
penelusuran teori dari bawah (grounded theory) dan mengembangkan
pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi. Dasar
penelitian kualitatif adalah konstruktivitas yang berasumsi bahwa kenyataan
itu berdimensi jamak, interaktiv dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang
di interprestasikan oleh setiap individu.
Sedangkan jenis penelitian yangdigunakan adalah kualitatif deskripsi.
Jenis penelitian ini lebih relevan dengan judul yang akan diteliti dan sesuai
untuk jawaban semua yang berkaitan dengan focus penelitian. Penelitian
deskriptif adalah jenis penelitian dengan cara mengembangkan data-data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum atau generalisasi.14
2. KehadiranPeneliti
Penelitian yang diguanakn dalam penelitian murni, yang mana
kehadiran penelitian dilapangan sanagt diperlukan untuk memperoleh
informasi secara langsung agar mendapat informasi yang nyata sesuai dengan
fakta yang ada, sehingga tidak ada data yang sifatnya bibuat-buat karena
tujuan keberadaan penelitian ditempat yang diteliti sebagai pengumpulan data.
Adapun lokasi penelitian yang dipakai dalam penelitian kali ini di Desa
Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, yang mana didesa ini
telah mengalami masalah dalam hal agadai sawah. Penelitian ini dilaksanakan
pada Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep di Jlan Asam
Wulung Meddelan.
3. LokasiPenelitian

14
Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2010),hlm. 147.
Pada penelitian kali ini peneliti melakukan pencarian tempat yang akan
ditempun untuk melakukan penelitian. dan setelah menentukan lokasinya yaitu
di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep inilah yang
dijadikan tempat untuk diteliti. Karena di Desa ini terdapat permasalahan yang
sangat layak dan menarik untuk diteliti dan di kaji, yaitu tentang gadai sawah
yang telah jatuh tempo pelunasan, tetapi jaminannya itu (sawah) masih belum
panen. Amak pemberi gadai harus mengganti semuanya dari biaya pembelian
bibit hingga pembiayaan penggarapannya.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, data diartikan sebagai
kenyataan yang ada yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun
suatu pendapat, keterangan yang benar, dan keterangan atau bahan yang
dipakai untuk penalaran dan penyelidikan. Jadi yang dimaksud dari sumber
data dari uraian diatas adalah subyek penelitian dimana data menempel.
Sumber data dapat berupa benda, gerak, manusia, tempat, dan sebagainya.
Apabila penelitiannya menggunakan kuisioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang
merespond atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis
maupun lisan. Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber
datanya bisa berupa benda, gerak atau proses tertentu. Contohnya penelitian
yang mengamati tumbuhnya jagung, sumber datanya adalah jagung,
sedangkan obyek penelitiannya adalah pertumbuhan jagung.15

Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh atau langsung di lapangan oleh
peneliti. Adapun informan dalam penelitian adalah penyalur zakat dari
LAZISMU. Alasan dipilihnya informan ini adalah karena beliau dapat
memberikan keterangan dan penjelasan yang valid tentang keadaan
masyarakat di Desa Meddelan Kecamatn Lenteng Kabupaten Sumenep
dan bisa memberikan keterangan berupa program-programnya dan
dimanfaatkan untuk yang di salurkan oleh LAZISMU tersebut.

15
Uma Sekaran, Metodologi Penelitian (Jakarta: Selemba Empat, 2006),hlm. 25
b. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber
yang sudah ada. Data tersebut peneliti peroleh dari buku-buku dan
laporan penelitian terdahulu, majalah, arsip dan berupa literatur-
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk melakukan teknik pengumpulan data yang baik dan benar, ada
beberapa cara yang bisa dilaukan. Serikut ini penjelasannya:
a. Teknik Pengumpulan Data dengan Cara Observasi
Teknik pertama yang bisa dilakukan ialah dengan cara
observasi. Dan untuk teknik yang satu ini merupakan sebuah teknik
yang dilakukan dengan cara mengamati secara langsung suatu
keadaanataupun situasi dari sebuah subjek penelitian.
Bentuk data dari hasil observasi ini sendiri tak hanya dilihat
dari sikap subjek penelitian itu saja, akan tetapi ada pula dari berbagai
macam faktor yang wajib diperhatikan. Dengan berbagai macam
teknik yang ada didalamnya, bisa dikatakan bahwa untuk metode
pengumpulan data yang satu ini cukup konpleks. Hak tersebut karena
tidak hanya berfokus pada satu fenomena saja, namun juga dengan
fenomena lainnya.
Untuk teknik pengumpulan data observasi yang satu ini lebih
cocok jika digunakan untuk beberapa penelitian yang berkaitan dengan
prilaku manusia, gejala alam, dan lain sebagainya. Selain itu, metode
yang satu ini juga pas untuk digunakan dalam mencari data yang mana
subjek penelitiannya tiudaklah terlalu besar jadi bisa dikatakan bahwa
subjek penelitiannya lebih spesifik.
Teknik dari pengumpulan data itu sendiri ternyata dibagi
menjadi dua bagian. Yakni teknik Participan observation serta non
participant abservation. Dibawah ini akan dipaparkan mengenai
penjelasan dari dua teknik observation tersebut.
 Participant Observation
Yang disebut dengan Participant Observation itu sendiri adalah
sebuah teknik pengumpuan data yang mana peneliti terlihat secara
langsung dengan kehidupan dari subjek penelitian. Peneliti akan ikut
serta merasakan secara langsung keadaan dan situasi dari sebuah
subjek penelitian.
Jadi, peneliti tidak hanya mengamati dari jauh saja untuk teknik
yang satu ini sangat tepat digunakan untuk sebuah penelitian yang
berkaitan dengan hubungan sosial antara masyarakat. Tidak sedikit
dari para peneliti yang menggunakan teknik satu ini untuk bisa
mendapatkan beberapa data yang lebih valid.
Keuntungan dari teknik participanyt observation adalah peneliti
dapat merasakan secara langsung serta bisa mengartikan subjek yang
diteliti secara lebih jelas ini karrena terkadang suatu hal yang dilihat
tidaklah selalu sama dengan apa yang dirasakan.
 Non Participant Observation
Cukup berbeda dengan teknik penelitian sebelumnya, untuk
teknik pengumpulan data adalah satu ini peneliti tidak ikut terjun
langsung kelapangan untuk melakukan sebuah penelitian. Artinya sang
peneliti hanya mengamati objek yang diteliti saja. Kedua teknik
peneliti tersebut tentu saja memiliki kelebhan masing-masing jika
ditempatkan pada tempatnya jadi jika bisa menggunakan teknik yang
benar dalam melakukan sebuah penelitian baik itu terjun langsung
kelapangan atau hanya mengamati saja itu bukan menjadi masalah
selama bisa menggunakan teknik yang benar untuk sebuah penelitian.

b. Teknik pengumpulan data dengan wawancara

Cara kedua dalam teknik pengumpulan data ialah dengan


wawancara. Teknik yang satu ini dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan secara langsung kepada subjek penelitian itu
sendiri. Dahulu ,untuk melakukan teknik yyang satu ini dilakukan
dengan cara bertatap muka secara langsung.

Sebelum melakukan sebuah wawancara, biasanya peneliti akan


membuat beberapa pertanyaan terlebih dahulu. Untuk membuat
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada sumber juga tidak boleh
dilakukan dengan cara sembarangan. Peneliti harus membuat
pertanyaan yang sesuai dengan topic yang akan dibahas.
Untuk teknik wawancara ini sendiri dibagi menjadi dua bagian,
yakni wawancara berstruktur serta teknik wawancara yang tidak
berstruktur. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan dari kedua teknik
wawancara tersebut.

 WawancaraTerstruktur
Digunakan karena informasi yang akan diperlukan penelitian
sudah pasti. Proses wawancara terstruktur dilakukan dengan
menggunakan instrumen pedoman wawancara tertulis yang berisi
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Dalam wawancara
terstruktur pertanyaan-pertanyaan, runtutannya dan perumusannya
kata-katanya sudah ditetapkan dan tidak boleh berubah-rubah.
Pertanyaan wawancara dilakukan secara ketat sesuai dengan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan.
 WawancaraTidakTerstruktur
Untuk jenis wawancara yang satu ini tidak terkait secara ketat
dengan daftar pertanyaan yang harus dibuat. Artinya teknik yang satu
disini juga disebut sebagai teknik wawancara bebas. Meski demikian
dalam melakukan sebuah wawncara sang peneliti tidak boleh
melakukannya secara sembarangan. Artinya harus ada pedoman
wawancaranya terlebih dahulu.
Dalam melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan
teknik wawancara ini, ternyata memiliki beberapa kelebihan. Salah
satunya adalah pewawancara bisa mengkonfirmasi satu hal kepada
subyek wawancara. Namun tetap dengan catatan tidak membahas tidak
terlebih jauh.

6. Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai