DisusunOleh:
FAKULTAS SYARI’AH
KATA PENGANTAR…………….…………………………………………...ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. LatarBelakang.......................................................................................1
B. RumusanMasalah..................................................................................1
C. TujuanPenulisanMakalah.....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2
A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran …………………………………………………………………13.
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14
A. Konteks Penelitian
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam
masyarakat. Sebagai makhluk sosial dapat melakukan berbagai cara untuk memenuhi
hajat hidupnya, salah satu caranya adalah dengan gadai (rahn), konsep utama dari
gadai adalah pinjam-meminjam antara satu pihak yang kekurangan dana kepada yang
kelebihan dana dengan meminjamkan barang yang ia miliki sebagai jaminan sebagai
penguat kepercayaan kepada pihak yang meminjamkan dana. Hak gadai merupakan
hubungan hukum antara seseorang dengan tanah milik orang lain, yang telah
menerima uang gadai daripadanya. Selama uang itu dikembalikan, maka tanah yang
bersangkutan dikuasai oleh pihak yang memberi uang (pemegang gadai).1
Salah satu barang jaminannya merupakan tanah sawah yang menjadi obyek
jaminan gadai. Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi
sawah, baik secara terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman
palawija.2
Salah satu praktek muamalah yang dilakukan oleh masyarakat secara umum
dan kaum Muslimin secara khusus dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap dana
tunai adalah gadai tanah atau sawah. Menggadaikan tanah atau sawah kepada pihak
lain dijadikan sebagai solusi ketika mereka membutuhkan dana tunai secara
mendesak.
Gadai tanah atau sawah merupakan praktek muamalah yang sudah lama
dilakukan oleh masyarakat, dan belum ditemukan sebuah hasil penelitian tentang
sejarah munculnya praktek gadai tersebut, karena praktek gadai dilakukan secara non
formal atau hanya berlandaskan pada kesepakatan lisan dan kebiasaan saja. Bahkan
praktek gadai itu dilakukan oleh umat Islam tanpa mengindahkan prinsip-prinsip
dasar dalam bermuamalah berdasarkan syariah islamiyah.
Masyarakat di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
menggunakan sistem gadai (sawah) menjadi tiga macam, yaitu:
a) penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya, kemudian kedua belah
pihak membagi hasil sawah sama seperti “bagi hasil”, tetapi jika (sawah)
yang dijadikan barang jaminan masih ditanami oleh penerima gadai dan
masih belum panen. Maka pemberi gadai mengganti keuangan mulai dari
uang pembelian bibitnya sampai biaya penggarapannya,
1
Eddy Ruchyat, Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai Tanah Berdasarkan UU No. 56 (Prp) Tahun 1960,
(Bandung: Armico, 1983), hlm.66
2
Sarwono Hardjowinegoro dan M. Luthfi Rayes, Tanah Sawah (Malang: Bayumedia, 2005),hlm. 1
b) Pemegang gadai memegang sendiri sawah gadainya,
c) Pemegang gadai menyuruh pihak ketiga untuk menggarap sawahnya.
Umunya perjanjian dilakukan secara lisan antara kedua belah pihak tentang
luas sawah dan jumlah uang gadainya, dengan tidak menyebutkan masa gadainya,
yang akan menjadi persoalan dalam sistem pelaksanaan gadai sawah ini adalah petani
akan sulit mengembalikan uang kepada pemilik uang dikarenakan tanah tersebut
masih dalam perjanjian gadai, sawah yang menjadi pendapatan pokok keluarga
digarap oleh pemilik uang. Pelaksanaan gadai ini juga sering kali menyebabkan petani
terpaksa menjual tanahnya dengan harga yang murah. Selain itu, sering terjadi akad
yang telah jatuh tempo pelunasan yang sesuai dengan perjanjian di awal yang mana
pemberi gadai melakukan pelunasan, tetapi sawah yang dijadikan barang jaminannya
itu masih ditanami oleh penerima gadai dan masih belum panen, maka pemberi gadai
harus mengganti keuangan mulai dari uang pembelian bibit sampai biaya
penggarapannya. Hal ini mendorong petani untuk mencari pinjaman dan
mengakibatkan petani tidak memiliki pekerjaan lagi.
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dipaparkan mengenai pelaksanaan
gadai sawah yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu penulis memberi judul pada
permasalahan ini, dengan judul Pandangan Hukum Ekonomi Syariah Mengenai
Akad Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang
diangkat adalah :
1. Bagaimana praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep
2. Bagaimana tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah terhadap praktek pelaksanaan
Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa
Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Ekonomi Syari’ah terhadap
praktek pelaksanaan Gadai Sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng
Kabupaten Sumenep
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bisa bermanfaat sebagai kajian dan sumbangan pemikiran
akademik secara teoritis dan konseptuan berkenaan dengan ilmu di bidang Hukum
Ekonomi Syari’ah terkhusus dalam pembahasan akad dan praktek pelaksanaan gadai
sawah di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Selain itu, juga
dapat menjadi acuan bagi para pihak yang melakukan transaksi gadai di Desa
Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep, terutama dalam transaksi gadai
sawah agar dapat menajalnkan sesuai dengan Hukum Ekonomi Syariah
E. Definisi Operasional
Ekonomi Syariah adalah sebuah sistem perekonomian yang berlandaskan pada
ketentuan-ketentuan syariat (Islam), berdasrkan pada nilai-nilai mutlak yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan ciri utamanya adalah
tidak menggunakan sistem riba yang merupakan perbedaan mendasar antara sistem
perekonomian lainnya.
Ekonomi syariah merupakan usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
per orang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak
komersial menurut prinsip syariah. Istilah ini biasanya digunakan juga untuk
menyebut Ekonomi Islam.3
Diantara prinsip-prinsip dasar ekonomi syari’ah yang tertuang dalam Al-
Qur’an adalah sebagai berikut:
Kerjasama dan tolong menolong adalah anjuran pokok dan utama dalam
membangun kegiatan ekonomi syari’ah
C َعلَي ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق َويCَوتَ َعا َونُوْ ا
Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa
(Q.S. al-Maidah [5]:2).
Maka tidak berlebihan jika sikap tolong menolong ini dijadikan acuan utama
dalam gadai sawah sehingga seseorang menahan gadai tidak hanya memikirkan
keuntungan belaka.4
Transaksi hukum gadai dalam fiqih Islam disebut rahn. Rahn diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah fikih maupun dalam istilah hukum perdata
Indonesia. Dalam istilah fikih, rahn secara bahasa bermakna al-tsubut dan al-
habsadalah terkurung dan terjerat atau tetap, kekal dan jaminan. Istilah fikih
mu’amalah rahn secara bahasa diartikan dengan menyimpan suatu barang sebagai
tanggungan hutang.
Rahn merupakan suatu jenis perjanjian untuk menahan sutau barang sebagai
tanggungan hutang. Pengertian rahn dalam bahasa arab adalah al-tsubut wa al-dawam
bermakna tetap dan kekal. Definisi al-habsu dan al-tsubut diatrikan tetap dan kekal
yang maksudnya adalah menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materil.
Karena itu rahn diartikan, menjadikan suatu barang bersifat materi sebagai pengikat
hutang.
3
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.259.
4
Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 345
Gadai yang dalam bahasa Arabnya adalah rahn dapat diartikan juga dengan
al-habsu yang bermakna tetap dan lestari, bisa juga bermakna penahan. Menurut
bahasa rahn berarti penahanan, seperti kalimat rahintu sya’ian artinya aku
menetapkan sesuatu dengan terus-menerus, yang artinya pengertian tersebut tetap dan
kontinyu. Makna lain berkaitan dengan gadai, Ghufron A. Mas’udi menyatakan
bahwa yang dimaksud gadai adalah sebuah akad hutang yang disertai dengan
jamian/agunan. Sedangkan dalam syariah, gadai adalah memgang suatu yang
mempunyai nilai. Bila pemberian itu dilakukan pada waktu terjadinya piutang.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu disini berisi uraian singkat hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya tentang masalah sejenis. Diantaranya telah dilakukan
oleh:
1. Laila Isnawati (UIN Sunan Kalijaga: 2008) dengan judul skripsi
“Pemanfaatan Gadai Sawah di Dukuh Brunggang Sangen Desa Krajan
Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo”skripsi tersebut menjelaskan tentang
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat desa tersebut melaksanakan
5
M. Sulaeman Jajilu, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam (Yogyakarta: CV BUDI UTAMA, 2015),
hlm.97-101
gadai tanah (sawah) dan pemanfaatn barang jaminan oleh pihak
kreditur/murtahinsecara penuh tidak diperbolehkan karena barang tersebut
hanya sebagai jaminan hutang piutang untuk menambah kepercayaan kepada
kreditur.
2. Empip Hapipah (UIN Sunan Kalijaga: 2005) dengan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam di Desa Tegal Kunir Kidul Kecamatan Mauk
Kabupaten Tangerang Banten” berkesimpulan bahwa gadai yang telah terjadi
di Desa Tegal Kunir ini tidak sesuai dengan prinsip hukum Islam. Karena
dalam prakteknya gadai di Desa tersebut menggunakan ‘urf yang bertentngan
dengan nash dan prinsip hukum islam.
3. Azhari (UIN Sunan Gunung Djati Bandung: 2017) dengan artikel berjudul
“Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap gadai sawah di Desa
Sindangsari Kabupaten Ciranjang Kabupaten Cianjur” dari artikel ini ada
sebagian penjelasan yang tidak sesuai dengan Hukum Ekonomi Syariah, selain
itu di Desa ini jika akad sudah jatuh tempo tetapi barang jaminannya (sawah)
itu masih belum panen maka si pemberi gadai tidak harus mengganti semua
pebiayaannya, mulai dari bibit dan penggarapannya. Jadi semuanya
ditanggung oleh di pemberi gadai.
G. Kerangka Teori
1. Pengertian Gadai
Gadai dalah bahasa Arab disebut Rahn. Secara bahasa, rahn berarti
tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan.
Umpamanya, kita mengatakan, “ni’matun rahinah”, artinya nikmat yang tetap
lestari. Perjanjian lainnya yang hanya memindahkan penguasaan atas benda
(bezit) misalnya dalam sewa menyewa, pinjam pakai, gadai.
Allah berfirman:
)٣٨( ٌت َر ِه ْينَة ٍ ُكلُّ نَ ْف
ْ َس بِ َما َك َسب
Artinya: tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
(Q.S Al- Mudatstir 74:38)
Pengertian gadai secara istilah adalah menyandera sejumlah harta yang
diserhakn sebagai jaminan secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah
harta dimaksud sesudah ditebut. Sedangkan menurut Sabiq, rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.6
Sedangkan gadai menurut para sarjana adalah:
Menurut Iman Sudiyat, menjual gadai (Indonesia) menggadai
(Maningkabau), adol sande (Jawa), ngajual akad/gade (Sunda), yaitu
“Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai,
dengan ketentuan” sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali”.
Menurut Boedi Harsono gadai adalah, “Hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah epunyaannya orang lain, yang telah menerima uang
gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut
dikuasai murtahin dan hak tanah seluruhnya menjadi haknya. Pengembalian
uang gadai atau lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang
berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik
tanah belum mampu melakukan penebusan. Jadi dalam jual gadai terdapat dua
pihak, pihak yang menyerahkan tanah, atau pihak pemberi gadai atau rahin
dan pihak kedua adalah pihak penerima tanah atau murtahin. Pihak penerima
gadai inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada rahin
dengan tujuan membantu dan menolongnya.
Menurut Undang-Undang No. 56/Prp/1960 gadai menggadai yang
terjadi sebelum UUPA menurut Paal 7 maka gadai yang telah berumur 7 tahun
atau lebih, si pemiliknya dapat meminta kembali setiap waktu setelah panen,
tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan
berdasarkan rumus: (7 + ½) – waktu berlangsung hak gadai x uang gadai 7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai telah berlangsung 7 tahun
maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa
pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tenaman yang ada
selesai di panen.
Tanah hak milik yang dapat digadaikan, hak gadai bukan hak jaminan
atau hak tanggungan sebagaimana berlaku pada hipotik/crediverband, sebab
6
Abdul Ghafur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006),
hlm.112.
dalam gadai-menggadai tanah yang digadaikan beralih kekuasaannya, beralih
kepada pemegang gadai selama belum ditebus kembali secara sempurna,
sedangkan dalam hak tanggungan tanahnya tetap dinikmati oleh pemilik asal.
Pegadaian menurut Sosilo adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang
mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai
hutang. Seorang yang berhutang tersebut memberikan kekuasaan pada orang
lain yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah
diserahkan untuk melunasi hutang apabila pihak yang berpiutang tidak dapat
melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.7
9
Ibid, hlm. 125.
Dalam pelaksanaannya, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi
sehingga gadai tersebu sesuai dengan syariah. Rukun dan syarat tersebut
adalah:
a. Ar Rahin yaitu orang yang menggadaikan
Ar rahin disyaratkan merupakan orang yang sudah dewasa, berakal,
bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan.
b. Al Murtahin yaitu yang menerima gadai.
Al Murtahin merupakan orang, bank atau lembaga yang dipercaya oleh
rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
Tentang rahin dan murtahin diisyaratkan keduanya merupakan orang
yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan Hukum sesuai dengan
ketentuan Syari’at Islam yaitu berakal dan baligh.
c. Al Marhun/rahn yaitu barang yang digadaikan
Marhun merupakan barang yang digunakan rahin untuk dijadikan
jaminan dalam mendapatkan utang. Marhun disyaratkan sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Sehingga barang tersebut dijual
untuk memnuhi hak murtahin.
Dalam operasional pegadaian syariah, marhun disyaratkan,sebagai
berikut:
Dapat diperjualbelikan
Harus berupa harta yang bernilai
Harus bisa dianfaatkan secara syariah
Harus diketahui keadaan fisiknya
Harus dimilki rahin
d. Al Marhun bih (utang) yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin
kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk marhun bih, yaitu:
Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan
kepada pemiliknya.
Memungkinkan pemnfaatannya.
Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d. Sighat, Ijab dan Qabul yaitu kesepakatan antara rahin dan murthain
dalam melakukan transaksi gadai.
Syarat sighat yang harus dipenuhi dalam operasional pegadaian syariah
yaitu:
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat-syarat tertentu dan juga
dengan suatu waktu dimasa depan.
Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang
seperti halnya akad jal beli. Maka tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu dimasa depan.
Menurut Sayyid Shabiq, gadai itu baru dianggap sah apabila memnuhi
empat syarat, yaitu orangnya sudah dewasa, berfikiran sehat, barang yang
digadaikan, sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu
dapat diserahkan/dipegang oleh penggadai.
14
Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2010),hlm. 147.
Pada penelitian kali ini peneliti melakukan pencarian tempat yang akan
ditempun untuk melakukan penelitian. dan setelah menentukan lokasinya yaitu
di Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep inilah yang
dijadikan tempat untuk diteliti. Karena di Desa ini terdapat permasalahan yang
sangat layak dan menarik untuk diteliti dan di kaji, yaitu tentang gadai sawah
yang telah jatuh tempo pelunasan, tetapi jaminannya itu (sawah) masih belum
panen. Amak pemberi gadai harus mengganti semuanya dari biaya pembelian
bibit hingga pembiayaan penggarapannya.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, data diartikan sebagai
kenyataan yang ada yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun
suatu pendapat, keterangan yang benar, dan keterangan atau bahan yang
dipakai untuk penalaran dan penyelidikan. Jadi yang dimaksud dari sumber
data dari uraian diatas adalah subyek penelitian dimana data menempel.
Sumber data dapat berupa benda, gerak, manusia, tempat, dan sebagainya.
Apabila penelitiannya menggunakan kuisioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang
merespond atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis
maupun lisan. Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber
datanya bisa berupa benda, gerak atau proses tertentu. Contohnya penelitian
yang mengamati tumbuhnya jagung, sumber datanya adalah jagung,
sedangkan obyek penelitiannya adalah pertumbuhan jagung.15
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh atau langsung di lapangan oleh
peneliti. Adapun informan dalam penelitian adalah penyalur zakat dari
LAZISMU. Alasan dipilihnya informan ini adalah karena beliau dapat
memberikan keterangan dan penjelasan yang valid tentang keadaan
masyarakat di Desa Meddelan Kecamatn Lenteng Kabupaten Sumenep
dan bisa memberikan keterangan berupa program-programnya dan
dimanfaatkan untuk yang di salurkan oleh LAZISMU tersebut.
15
Uma Sekaran, Metodologi Penelitian (Jakarta: Selemba Empat, 2006),hlm. 25
b. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber
yang sudah ada. Data tersebut peneliti peroleh dari buku-buku dan
laporan penelitian terdahulu, majalah, arsip dan berupa literatur-
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk melakukan teknik pengumpulan data yang baik dan benar, ada
beberapa cara yang bisa dilaukan. Serikut ini penjelasannya:
a. Teknik Pengumpulan Data dengan Cara Observasi
Teknik pertama yang bisa dilakukan ialah dengan cara
observasi. Dan untuk teknik yang satu ini merupakan sebuah teknik
yang dilakukan dengan cara mengamati secara langsung suatu
keadaanataupun situasi dari sebuah subjek penelitian.
Bentuk data dari hasil observasi ini sendiri tak hanya dilihat
dari sikap subjek penelitian itu saja, akan tetapi ada pula dari berbagai
macam faktor yang wajib diperhatikan. Dengan berbagai macam
teknik yang ada didalamnya, bisa dikatakan bahwa untuk metode
pengumpulan data yang satu ini cukup konpleks. Hak tersebut karena
tidak hanya berfokus pada satu fenomena saja, namun juga dengan
fenomena lainnya.
Untuk teknik pengumpulan data observasi yang satu ini lebih
cocok jika digunakan untuk beberapa penelitian yang berkaitan dengan
prilaku manusia, gejala alam, dan lain sebagainya. Selain itu, metode
yang satu ini juga pas untuk digunakan dalam mencari data yang mana
subjek penelitiannya tiudaklah terlalu besar jadi bisa dikatakan bahwa
subjek penelitiannya lebih spesifik.
Teknik dari pengumpulan data itu sendiri ternyata dibagi
menjadi dua bagian. Yakni teknik Participan observation serta non
participant abservation. Dibawah ini akan dipaparkan mengenai
penjelasan dari dua teknik observation tersebut.
Participant Observation
Yang disebut dengan Participant Observation itu sendiri adalah
sebuah teknik pengumpuan data yang mana peneliti terlihat secara
langsung dengan kehidupan dari subjek penelitian. Peneliti akan ikut
serta merasakan secara langsung keadaan dan situasi dari sebuah
subjek penelitian.
Jadi, peneliti tidak hanya mengamati dari jauh saja untuk teknik
yang satu ini sangat tepat digunakan untuk sebuah penelitian yang
berkaitan dengan hubungan sosial antara masyarakat. Tidak sedikit
dari para peneliti yang menggunakan teknik satu ini untuk bisa
mendapatkan beberapa data yang lebih valid.
Keuntungan dari teknik participanyt observation adalah peneliti
dapat merasakan secara langsung serta bisa mengartikan subjek yang
diteliti secara lebih jelas ini karrena terkadang suatu hal yang dilihat
tidaklah selalu sama dengan apa yang dirasakan.
Non Participant Observation
Cukup berbeda dengan teknik penelitian sebelumnya, untuk
teknik pengumpulan data adalah satu ini peneliti tidak ikut terjun
langsung kelapangan untuk melakukan sebuah penelitian. Artinya sang
peneliti hanya mengamati objek yang diteliti saja. Kedua teknik
peneliti tersebut tentu saja memiliki kelebhan masing-masing jika
ditempatkan pada tempatnya jadi jika bisa menggunakan teknik yang
benar dalam melakukan sebuah penelitian baik itu terjun langsung
kelapangan atau hanya mengamati saja itu bukan menjadi masalah
selama bisa menggunakan teknik yang benar untuk sebuah penelitian.
WawancaraTerstruktur
Digunakan karena informasi yang akan diperlukan penelitian
sudah pasti. Proses wawancara terstruktur dilakukan dengan
menggunakan instrumen pedoman wawancara tertulis yang berisi
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Dalam wawancara
terstruktur pertanyaan-pertanyaan, runtutannya dan perumusannya
kata-katanya sudah ditetapkan dan tidak boleh berubah-rubah.
Pertanyaan wawancara dilakukan secara ketat sesuai dengan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan.
WawancaraTidakTerstruktur
Untuk jenis wawancara yang satu ini tidak terkait secara ketat
dengan daftar pertanyaan yang harus dibuat. Artinya teknik yang satu
disini juga disebut sebagai teknik wawancara bebas. Meski demikian
dalam melakukan sebuah wawncara sang peneliti tidak boleh
melakukannya secara sembarangan. Artinya harus ada pedoman
wawancaranya terlebih dahulu.
Dalam melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan
teknik wawancara ini, ternyata memiliki beberapa kelebihan. Salah
satunya adalah pewawancara bisa mengkonfirmasi satu hal kepada
subyek wawancara. Namun tetap dengan catatan tidak membahas tidak
terlebih jauh.
6. Analisis Data