Anda di halaman 1dari 29

ABSTRAK

Ahmad Husaini, Dinamika Transformasi Kebutuhan Pasien di Rumah Sakit


(Studi atas Bimbingan Rohani RSUD Al Ihsan dan RSI Al Islam Bandung).
Agama dan spiritualitas individu akan meningkat bila terkelola dengan baik, ketika
sehat, sakit, hingga pasien menjelang ajal, maka hal tersebut dapat menghadirkan
keikhlasan dan kepasrahan kepada Sang Khaliq. Respon pasien dan keluarga terhadap
pelayanan kebutuhan agama dan spiritualitas pasien semakin meningkat dan bervariasi.
Maka, tersedianya formasi layanan kebutuhan agama dan spiritual memberikan dampak
positif dan memberikan ketenangan, baik bagi pasien maupun petugas pemberi layanan.
Penelitian ini bertujuan: menganalisa peran-transformasi agama terhadap
biopsikososio dan spiritual di RSUD Al Ihsan dan RSI Al Islam dalam pemenuhan
pelayanan sebagai kebutuhan dasar pasien, menganalisa faktor yang mempengaruhi
keberagamaan dan spiritualitas individu, menganalisa kualifikasi model dalam pembinaan
keagamaan di rumah sakit. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif metode
deskriptif-analitik, sebagai sumber data primer dari pasien, para praktisi (petugas
kerohanian), mahasiswa dan dosen tak terpisahkan dalam input, output dan outcome
sumber daya manusia. Sebagai data sekunder dari berbagai literasi yang berhubungan
dengan konsep dinamika transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, indepth interview, Focus Group
Discussion (FGD), dan dokumenter. Analitis data dilakukan dengan menggunakan
pendekatan fenomenologi, interaksi simbolik, etnometologi. Penelitian ini menggunakan
teori dinamika kebutuhan (grand theori), teori personologi dan keragaman sebagai
(middle range theori); konstruktivistik, transformasi, dan interaksi sebagai teori aplikatif
(applicative theory).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, pertama, fungsi dan transformasi
kebutuhan agama dan spiritualitas pasien bukan hanya sebatas fisik, akan tetapi holistik
(biopsikososio dan agama-spiritual), kedua, menganalisis dan menemukan faktor yang
mempengaruhi keberagamaan dan spiritualitas individu dan eksistensinya, ketiga, model
dan corak yang pelayanan yang di harapkan oleh pasien dan kemestiannya. Pengkajian
dilakukan menggunakan ranah; pengetahuan, kemampuan, dan kemauan pasien.
Akhirnya, dapat diketahui apakah pasien ini kategori kemandirian; total care, parsial
care atau minimal care, maka diperlukan; kebijakan, perangkat kebutuhan (man, metode,
materi), sehingga dapat menampilkan performa ideal. Peran akademisi sebagai ‘pencetak’
SDM diupayakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit, pasien semakin yakin bahwa
keberadaan petugas kerohanian tidak bisa pisahkan dari pelayanan di rumah sakit yang
berkontribusi dalam peningkatan coping positif berbasis kebutuhan agama dan spiritual.
Penelitian ini penting menunjukkan beberapa hal; (1) secara pragmatis agama dan
spiritualitas pasien memiliki daya dukung terhadap peningkatan koping pasien dalam
kesembuhan (2) kerohanian dan profesionalitas di rumah sakit adalah keniscayaan dalam
mengelola pasien dengan menggunakan model transformasi pelayanan kolaborasi
strategis dan holistik.

1
DINAMIKA TRANSFORMASI KEBUTUHAN AGAMA DAN SPIRITUALITAS
PASIEN DI RUMAH SAKIT
(Studi atas Bimbingan Rohani di RSUD Al Ihsan dan RSI Al Islam Bandung)

A. Latar Belakang
Manusia adalah individu atau kelompok memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang
diyakini untuk menetapkan pilihan dan melakukan tindakan. Leininger mengungkapkan
manusia memiliki kecenderungan mempertahankan budayanya setiap saat dan dimanapun
ia berada, agama adalah suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan
motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi kuat sekali
untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya bahkan di atas kehidupannya
sendiri.1
Agama dan keberagamaan adalah dua kata yang maknanya berbeda satu dengan
lainnya. Secara morfologis, masing-masing ungkapan tentu punya artinya sendiri. Sesuai
dengan kaidah kebahasaan, perubahan bentuk dari kata dasar agama menjadi
keberagamaan semestinya sudah cukup untuk mengingatkan bahwa keduanya harus
dipakai dan diberi makna yang berbeda. Adalah kekeliruan yang mesti dihindari bila
kedua kata ini diberi arti atau makna yang sama. Pemakaian kata ini dalam arti yang jelas
bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang semestinya. Agama merupakan kata
benda dan keberagamaan adalah kata sifat atau keadaan.
Agama sebagai sistem keyakinan menjadi sumber nilai inti dari sistem nilai yang
ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau
penggerak serta pengontrol tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Ketika
pengaruh ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem nilai dari kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang
maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama dan menjadi kerangka acuan. Dalam
keadaan demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari
eksistensi dan kegiatan dari berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga
ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan
oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya; dan terwujud
dalam kegiatan warga masyarakat sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh
simbol-simbol suci.2
Kata kepercayaan (belief) dalam studi agama biasanya selalu bersanding dengan
kata agama (religion), sehingga frasa religion and belief atau religion or belief kerapkali
ditemukan dalam referensi atau dokumen hak asasi manusia di Barat. Dalam The World
University Encyclopedia pengertian religion dijelaskan sebagai sebuah terma yang
menunjukkan hubungan antara manusia dengan satu atau lebih Tuhan. Beberapa bahasa

1
Leininger Sunrise Model merupakan pengembangan dari konseptual model asuhan keperawatan
transkultural Overview of Leininger’s Theory of Culture Care Diversity and Universality Original Source:
http://www.madeleine-leininger.com/cc/overview.pdf, diunduh 04/05/2017. Madeleine Leininger adalah
guru besar yang terkenal di seluruh dunia, penulis, pengembang teori, peneliti, dan pembicara publik.
Menjadi professor dari sekitar 70 perguruan tinggi, menulis 25 buku dan menerbitkan lebih dari 220 artikel
yang sekarang bisa dilihat sebagai arsip di Wayne State University yang digunakan juga sebagai bahan
penelitian. Beliau memberikan lebih dari 850 kuliah umum di seluruh dunia dan telah mengembangkan
software sendiri untuk perawat. Bidang keahliannya adalah keperawatan transkultural, perawatan manusia
komparatif, teori perawatan budaya, budaya di bidang keperawatan dan kesehatan, antropologi dan masa
depan dunia keperawatan. Magnificent Achievement. Dalam duniaiptek.com/biografi-madeleine-leininger
diunduh 04/05/2017.
2
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Persfektif Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000), 140.

2
mengaitkan religion dengan kata relegere, to gather, together (berkumpul bersama), atau
juga dikaitkan dengan kata religare, yang artinya mengikat kembali (to bind back) atau
mengikatkan (to fasten).3
Adagium ‘kesehatan adalah kekayaan’ menjelaskan pentingnya kesehatan bagi
kesejahteraan manusia. Di samping hak atas pangan, sandang dan perumahan, hak atas
kesehatan dan perawatan medis juga secara khusus disebutkan dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia sebagai unsur-unsur standar kehidupan yang layak bagi individu dan
keluarganya. Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya juga menerangkan bahwa kesehatan
adalah ‘hak asasi manusia yang tidak bisa diabaikan demi memanfaatkan hak asasi
manusia yang lain’ dan bahwa setiap manusia ‘layak menikmati standar tertinggi
kesehatan yang menghasilkan kehidupan bermartabat’. Jadi, Pasal 12 (1) mengakui ‘hak
setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental’ dan Negara-
negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan hak
ini secara penuh. Komentar Umum No. 14 yang menyeluruh dari Komite Ekonomi,
Sosial dan Budaya memperluas perspektif hak atas kesehatan dengan mempertimbangkan
peningkatan kualitas hidup manusia dalam hubungan dengan penikmatan kesehatan yang
baik.4
Konteks ke-Indonesia-an, hak kesehatan menjadi amanat konstitusi dalam Pasal
28H Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diejawantahkan di dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut diatur juga tentang
hak, kewajiban serta tanggung jawab pemerintah akan ketersediaan pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.5
Landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, khususnya Pasal 28A ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya,” Pasal 28 B ayat (2) ”Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”6
Provider Quality Controler sebagai skala internasional adalah JCI (Joint
Commision International) yang sudah dipergunakan di 92 negara hal tersebut sesuai

3
The World University Encyclopedia, Vol II, Washington, D.C. Publishers Company, Inc, 250. Lihat
juga dalam International Human Rights and Islamic Law Oleh Mashood A. Baderin Penerbit Oxford
University Press, 2003,120. Terlepas dari beragamnya kecenderungan ideologis dan keagamaan di dalam
masyarakat internasional, terdapat kebutuhan dasar, sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan, untuk
menerima gagasan inti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama dalam masyarakat modern
sebagaimana tertera dalam kalimat pertama Pasal 18 (1). Ini adalah salah satu dasar masyarakat pluralistik
dan demokratik. Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga menetapkan hak ini. Namun, upaya
mendeinisikan kandungan Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dalam
kerangka Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan memasukkan kalimat ‘hak ini mencakup
kebebasan untuk berganti agama atau keyakinan menghadapi tentangan terutama dari negeri-negeri Muslim
semisal Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan Afganistan, yang memaksakan pencoretannya.
4
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, ..., 212.
5
To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII, 2012), 190.
6
Disebutkan bahwa Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
(RPJP-N), pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengacu pada dasar: a) perikemanusiaan; b)
pemberdayaan dan kemandirian; c) adil dan merata; dan d) pengutamaan dan manfaat. Serta Pembangunan
kesehatan harus berlandaskan pada prinsip perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan
oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional, Kode D No. 1, h., 6. Dalam asas no 60, 61 dan
A1 62 SKN

3
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sedangkan skala
nasional adalah KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) pada tahun 2011 menteri
kesehatan mewajibkan semua rumah sakit berstandar internasional bagi rumah sakit besar
maupun kecil. Dari 2.300 rumah sakit di Indonesia, baru 1.300 yang terakreditasi nasional
menurut standar lama dan 65 rumah sakit terakreditasi sesuai dengan standar baru atau
internasional.7
Dokumen akreditasi Hak Pasien dan Keluarga (HPK), dalam JCI disebut PFR
(Patient and Family Right)8 Rumah Sakit bertanggung jawab menyediakan proses yang
mendukung hak-hak pasien dan keluarganya selama ia dirawat. HPK.1.1 Perawatan
diberikan secara tulus dan menghormati nilai-nilai serta keyakinan pribadi para pasien.
HPK.1.1.1 RS memiliki proses untuk menanggapi permintaan pasien dan keluarganya
dalam memperoleh pelayanan pastoral atau permintaan serupa yang berhubungan dengan
keyakinan agama dan spiritual mereka.9 Kemudian dalam HPK. 2.5 dan HPK.410 pada
intinya mereka memiliki hak yang harus ditunaikan berdasarkan standar akreditasi 2012
pada hak pasien dan keluarga.
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien terhadap
informasi tentang tujuan keperawatan dan pengobatan yang diberikan. Dengan peran ini
dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik
klien.
Prospek bisnis kesehatan di Indonesia kian menjanjikan dengan penerapan Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) mulai tanggal 01 Januari 2014, semua warga
Indonesia bisa mengakses layanan kesehatan. Dengan jumlah penduduk lebih dari 240
juta jiwa, bisa dibayangkan besarnya pasar kesehatan negeri ini. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebutkan, diawal program Jaminan Kesehatan
nasional (JKN), jumlah orang miskin menerima bantuan iuran dari pemerintah mencapai
86,4 juta. Dengan program Indonesia Sehat yang digagas oleh Presiden Joko Widodo,
cakupan kepesertaan penerima terus diperluas.
Langkah awal pemerintah dalam merespon akan pemenuhan kebutuhan religiusitas
di rumah sakit dengan membuat undang-undang baik dalam skala nasional maupun lokal
sebagai quality control terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat termasuk
penghormatan terhadap nilai-nilai keyakinan (agama) yang dianut oleh pasien di rumah
sakit.
Perkembangan ilmu kedokteran modern, para psikolog dan agamawan mulai
memandang penyakit dari sudut pandang yang berbeda. Di dunia Barat, ternyata sejak
abad pertengahan gereja mulai mengidentifikasi adanya hubungan antara keyakinan
7
Bersaing Menyehatkan Pasien, Kompas (Jakarta, 28 November 2012), 87.
8
Joint Commission International (JCI) Accreditation Standard for Hospital, A division of Joint
Commission Resources, Inc. (Oakbrook Terrace, Illinois 60181 U.S.A.: 2011), 61.
9
Setiap pasien memiliki budaya dan kepercayaan masing-masing dan membawanya kedalam proses
pelayanan. Beberapa nilai dan kepercayaan yang ada pada pasien sering bersumber dari budaya dan agama.
Terdapat pula nilai dan kepercayaan yang sumbernya dari pasien saja. Semua pasien didorong untuk
mengekspresikan kepercayaan mereka dengan tetap menghargai kepercayaan pihak lain. Oleh karena itu
keteguhan memegang nilai dan kepercayaan dapat mempengaruhi bentuknya pola pelayanan dan cara
pasien merespon. Sehingga setiap praktisi pelayanan kesehatan harus berusaha memahami asuhan dan
pelayanan yang diberikan dalam konteks nilai-nilai dan kepercayaan pasien. Apabila pasien atau
keluarganya ingin bicara dengan seseorang berkenaan dengan kebutuhan keagamaan dan rohaninya, rumah
sakit memiliki prosedur untuk melayani hal permintaan tersebut. Proses tersebut dapat dilaksanakan melalui
staf bidang kerohanian, dari sumber lokal atau sumber rujukan keluarga. Proses merespon dapat lebih rumit,
misalnya, rumah sakit atau negara tidak mengakui sumber agama atau kepercayaan tertentu yang justru
diminta. Dokumen Telusur Akreditasi, KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) tahun 2012, 3.
10
Staf rumah sakit diedukasi tentang peran mereka dalam mengidentifikasi nilai-nilai dan
kepercayaan pasien serta dalam melindungi hak-hak pasien.

4
beragama dengan penyakit non fisik. Mereka mencoba menggunakan sumber-sumber
spiritual sebagai cara untuk men-diagnosa penyakit yang berhubungan dengan gangguan
rohani manusia. Sejak awal abad kesembilan belas para ahli kedokteran mulai menyadari
akan adanya hubungan penyakit dengan kondisi psikis manusia. Hubungan timbal balik
menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik disebabkan oleh gangguan mental
(soma psikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan gangguan fisik
(psikosomatis). Dan diantara faktor mental yang diidentifikasikan sebagai potensial yang
dapat menimbulkan gejala tersebut adalah keyakinan agama. Hal ini antara lain
disebabkan sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental (mental illness)
sama sekali tak ada hubunganya dengan penyembuhan medis, serta berbagai
penyembuhan penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.11
Kepmenkes RI Nomor 812 tahun 2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
merupakan dasar pendekatan dari pelayanan rohani. Esensi kebijakan ini bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan,
peniadaan, identifikasi dini dan penilaian serta penyelesaian masalah-masalah fisik,
psikososial, dan spiritual. Sedangkan kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang
dipersepsikan sesuai dengan konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya termasuk
tujuan hidup, harapan, dan niatnya.
Kebijakan pemerintah pada skala nasional belum muncul secara detail pada tataran
petunjuk teknisnya tentang regulasi kebutuhan religiusitas, diera akreditasi tahun 2012
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012
Tentang Akreditasi Rumah Sakit dengan tujuan untuk:12 (a) meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit (b) meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit (c)
meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya (d) manusia rumah
sakit dan rumah sakit sebagai institusi (e) mendukung program pemerintah di bidang
kesehatan.
Adapun dasar kebijakan pemerintah daerah Jawa Barat termaktub dalam SK
Gubernur Jawa Barat No. 451.05/Kep.755-Yansos/2002 tentang Tim Pembina Pelaksana
Kegiatan Pelaksana kegiatan Perawatan Rohani Islam (Warois) tanggal 22 Juli 2002.13
Agama tidak berarti hanya digolongkan dalam konteks kepercayaan terhadap Tuhan
tetapi termasuk didalamnya kemungkinan adanya kesaksian manusia. Tidak terhitung
banyaknya bentuk agama yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. Pertanyaan
yang terkait dengan fetishism, totemisme dan penyembahan terhadap berhala selalu terkait
dengan agama. Satu fakta psikologis tentang manusia adalah bahwa kebanyakan manusia
membutuhkan pengakuan terhadap eksistensi Yang Maha Kuasa.
Ketika umat manusia masuk pada abad ke-21 yang sekaligus merupakan millenium
baru. Secara popular era yang kita masuki ini disebut dengan era informasi dan era
globalisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya menyentuh hampir seluruh
aspek kehidupan manusia, sejak aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai dan moral.
Secara sederhana, era global dapat diilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang
ekonomi dan politik, kemajuan sains dan teknologi, arus informasi yang sangat cepat, dan
perubahan sosial yang sangat tinggi.14
11
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), 153-154.
12
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012 Tentang Akreditasi
Rumah Sakit pasal 2.
13
Gubernur yang menjabat ketika itu HR Nuriana. Dalam Isep Zaenal Arifin, Disertasi (Bab I):Model
Bimbingan Konseling Islami untuk Kebutuhan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit, repsitory. upi.edu/a-
research upi.edu di entri tanggal 06-05-2015.
14
John Naisbit, Megatrends: Ten New Direction Transforming Out Lives (New York) Warner Brooks,
1984), dalam Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial, (Bandung: Penerbit Marja, 2013), 24.

5
Penelitian yang berkaitan dengan religiusitas di dunia rumah sakit salah satu subjek
dari pemberi layanan adalah petugas yang langsung berhubungan dengan pelayanan
pasien, banyak waktu untuk berkomunikasi intens bersama pasien sebagai objek
layanannya sehingga lebih banyak informasi yang dapat digali. Dalam hal ini, bagaimana
kebutuhan yang harus dimiliki oleh perawat dan petugas rohaniwan dalam meng-
advokasi, membina suasana, memberdayakan serta menjalin kemitraan bersama pasien
dan keluarga tentunya membutuhkan pemahaman religiusitas yang mumpuni.
Bila petugas mempunyai religiusitas tinggi akan mampu meningkatkan perilaku
prososial terhadap para pasiennya, sebaliknya jika perawat mempunyai religiusitas
rendah akan menurunkan perilaku prososial terhadap para pasiennya. Religiusitas yang
meliputi, kepercayaan seseorang akan adanya kehidupan dan kematian, kemampuan
seseorang dalam mengerjakan kewajiban ritual agamanya, penghayatan seseorang akan
menjalankan agama yang pernah dialaminya, kemampuan seseorang berupa pengetahuan
tentang agama dan kemampuan seseorang dalam mengaplikasikan ajaran agama dalam
kehidupan sosial.15
Pengetahuan tentang sasaran dan tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), yang telah
diidentifikasi sebagai peningkatan kemaslahatan manusia (mashlahah) dan pencegahan
kerusakan (mafsadah), adalah pendekatan holistis yang penting untuk mewujudkan
lingkup yang tepat dan luhur dari hukum Islam. Dalam pembahasannya soal teori al-
Syatibi tentang sasaran dan tujuan Syariat, Hallaq menekankan, antara lain, pandangan al-
Syatibi bahwa ‘maksud awal Allah dalam mewahyukan hukum (ialah) untuk melindungi
kepentingan-kepentingan manusia (baik duniawi maupun ukhrawi)’. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an, ‘Untuk tiap-tiap diantara kalian, Kami berikan aturan (syir’ah) dan
jalan yang terang (minhaj)’, yakni pendekatan untuk menerapkannya. Dengan demikian,
pendekatan maqashid dalam menafsirkan dan menerapkan syariat adalah jaminan
keadilan penuh (full equity) dalam hukum Islam.16
Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
karena sebagai semangat, atau motivasi untuk hidup, kebutuhan untuk mempertahankan,
mengembalikan keyakinan, dan membantu memenuhi kewajiban agama. Sebagai negara
berdasar Pancasila, Indonesia mengakui enam agama sebagai agama yang sah untuk
dipeluk oleh warga negaranya, disamping kepercayaan lokal yang tumbuh subur di negeri
ini. Indonesia adalah negara majemuk dalam agama. Karena keenam agama tersebut
merupakan agama-agama besar dunia, maka Indonesia pun memperoleh predikat “The
Meeting Place of Religion”.17
Nilai-nilai memberikan arahan dan arti bagi hidup dan memandu proses
pengambilan keputusan. Dalam profesi keperawatan, panduan untuk praktisi diterbitkan
oleh organisasi keperawatan negara bagian dan nasional, dan menjadi panduan bagi
profesional sebagai deklarasi publik mengenai standar profesi. Tujuan dari semua
panduan, prinsip etis, dan undang-undang legal adalah untuk melindungi pasien.
Menggabungkan panduan profesional dengan prinsip etis dan nilai-nilai pasien
memungkinkan asuhan keperawatan yang unik, penuh rasa hormat, dan efektif bagi setiap
pasien.18
Agama memberi makna pada kehidupan individu, kelompok, dan memberi harapan
tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat dijadikan sarana bagi manusia
15
Tutik Dwi Haryati, Kematangan Emosi, Religiusitas Dan Perilaku Prososial Perawat Di Rumah
Sakit, Persona, Jurnal Psikologi Indonesia-Program Studi Magister Psikologi Pascasarjana Untag Surabaya
Mei 2013, Vol. 2, No. 2, 162–172.
16
International Human Rights and ..., 39-40.
17
Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial, … 11.
18
Lisa Kennedy sheldon, Communication For Nurse: talking with Patiens, (Surabaya: Erlangga 2009),
31.

6
untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan dan mencapai
kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-norma kolompok, sanksi moral untuk
perbuatan perseorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang
menjadi landasan keseimbangan masyarakat.19
Pelayanan spiritual yang dimaksud identik dengan pelayanan rohani kepada pasien.
Hal ini menjadi penting karena pasien merasa terbantu dengan adanya perhatian
(attention), dukungan (sustaining), perdamaian (reconciling), bimbingan (guilding),
penyembuhan luka batin (inner-healing), serta do’a (praying). Apabila pasien terlayani
aspek rohaninya maka terjadi keseimbangan dalam hidup dan berdampak positif untuk
menjalani pengobatan penyakitnya.
Pasien-pasien yang mengidap penyakit berat mengalami berbagai kecemasan,
ketakutan, demikian juga pasien ketika menghadapi operasi dan pasca-operasi, pasien
yang menghadapi saat-saat kritis seperti menghadapi kematian (terminal), sakaratul maut
(naza’, dying), sudah bukan ranah persoalan perawatan medis semata, melainkan sangat
memerlukan pendampingan, layanan, dan bantuan spiritual. Karena itu salah satu
kebutuhan mendesak bagi pasien rawat inap di rumah sakit adalah perlunya bantuan dan
layanan spiritual untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.20
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi agama bagi manusia
yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat, fungsi perdamaian, fungsi pengawasan sosial,
fungsi pemupuk solidaritas, fungsi transformatif, fungsi kreatif dan fungsi sublimatif.
Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan
individu pengarahan atau bimbingan, dukungan, dan harapan, seperti halnya pada
dukungan emosi. Melalui berdo’a, ritual dan keyakinan agama dapat membantu seseorang
dalam koping pada saat mengalami stres kehidupan, peristiwa yang menekan,
kepercayaan umum dalam beragama dan pengamalannya harus diubah menjadi bentuk
koping yang spesifik. Bentuk koping yang spesifik inilah yang tampak memiliki implikasi
langsung terhadap kesehatan individu dalam ketika pada masa sulit. 21
Untuk melihat seberapa jauh religiusitas seseorang, maka dapat dilihat bagaimana
melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas. Menurut Glock dan Stark yang dikutip oleh
Ancok dan Suroso ada 5 dimensi religiusitas diantaranya:22
1. Dimensi Peribadatan; dimensi religiusitas ini mencakup tentang sejauh mana
individu mengerjakan kewajiban ritual dalam agama mereka mencakup upacara-
upacara, pemujaan, ketaatan, sembahyang, puasa, berdoa, dan lain-lain.
2. Dimensi Keyakinan; dimensi religiusitas ini berisikan tingkat sejauh mana
individu berpegang teguh pada neraka, malaikat dan lain-lain.
3. Dimensi Pengalaman; berisikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah
dialami dan dirasakan sebagai keajaiban yang datang dari Tuhan, misalnya
perasaan bersyukur kepada Tuhan, perasaan mendapatkan teguran dari Tuhan, dan
lain-lain.

Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern (Bandung: Putra
19

Setia, 2002), 38.


20
Isep Zainal Arifin, Bimbingan dan Konseling Islam untuk Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit, Jurnal
Ilmu Dakwah Vol. 6 No. 19 | Edisi Januari-Juni 2012, 171.
21
Muhana Sofiati Utami, Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan Subjektif, Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, Jurnal Psikologi Volume 39, No. 1, Juni 2012: 61.
22
Faktor yang mempengaruhi religiusitas seseorang ditentukan dari banyak hal, diantaranya;
pendidikan keluarga, pengalaman dan latihan yang dilakukan pada masa kecil atau anak-anak. Orang yang
mendapatkan pendidikan agama baik dirumah maupun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut
mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar
larangan agama. http:jalurilmu.blogspot.com/2011/10/religiusitas. Diakses tanggal 11 Mei 2015.

7
4. Dimensi Pengetahuan Agama; tingkat sejauh mana individu mengetahui tentang
ajaran-ajaran agamanya dan seberapa jauh aktifitasnya dalam menambah
pengetahuan agama, misalnya pengetahuan tentang isi kitab suci, pokok ajaran
agama, dan lain-lain.
5. Dimensi konsekuensi; pandangan teologis dan mengakui kebenaran doktrin-
doktrin tersebut, seperti surga, tingkat sejauh mana individu dimotivasi oleh
ajaran-ajaran agamanya didalam kehidupan sosialnya, seperti, suka menolong,
tidak korupsi, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian tersebut, dimensi religiusitas yang meliputi peribadatan atau
praktek agama, keyakinan, pengalaman, pengetahuan agama, memberikan konsekuensi
individual aspect, collective aspect dan actional aspect. Hal ini dikarenakan aspek-aspek
tersebut dinilai dapat mewakili aspek-aspek yang telah dikemukakan Pyne dan Pitard.
Selanjutnya aspek-aspek religiusitas Glock dan Stark digunakan oleh peneliti sebagai
dasar teoritik untuk membuat alat ukur religiusitas.23
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Fenomena bangkitnya semangat religius telah menggeser peta pemasaran dari titik
pasar rasional ke arah pasar emosional bahkan spiritual. Pola nilai konsumen akan ikut
pula berubah. Konsumen tidak lagi mempertimbangkan fungsi, harga cita rasa, ataupun
prestise, namun juga mempertimbangkan baik buruk, halal-haram yang berhubungan
dengan keyakinannya. Pakar marketing dunia, Kotler dan Clarke menjelaskan secara pasti
tentang pentingnya secara pasti apa yang menjadi “needs” dan “wants” dari konsumen
yang akan dibidik sebagai target pasar. Needs diartikan sebagai kebutuhan-kebutuhan
manusia yang harus terpenuhi sebagai teori hierarki kebutuhan yang digambarkan oleh
Abraham Maslow, mencakup mulai dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri atau
self esteem. Seharusnya seorang pemasar mempelajari sistem nilai yang ada di suatu
masyarakat agar dapat memahami perilaku konsumen, termasuk diantaranya semangat
spiritual serta kecenderungan nilai dan norma yang diyakini. Sementara wants adalah
ketertarikan terhadap produk yang spesifik dengan terdapatnya atribut-atribut produk
sesuai dengan keinginan konsumen.24
Dewasa ini perkembangan terapi di dunia kedokteran sudah berkembang ke arah
pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan
ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan
dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial.
Organisasi kesehatan sedunia (WHO), pada tahun 1984 telah menetapkan unsur spiritual
(agama) sebagai salah satu dari empat unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut
adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah
diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (American Psychiatric Association/APA) pada
tahun 1992, yang dikenal dengan “bio-psycho-sosio-spiritual”. 25
23
Muhammad Syukri Saleh, Religiosity in Development: A Theoretical Construct of an Islamic-Based,
International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 14 [Special Issue-July 2012]
Development Centre for Islamic Development Management Studies (ISDEV) School of Social Sciences,
Universiti Sains Malaysia.
24
Dumilah Ayuningtyas, Pelayanan Kesehatan Islami, (Jakarta: Penelitian kajian Administrasi rumah
Sakit Pasca UI Jakarta, 2007.
25
Spiritualitas merupakan kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan nilai-nilai
individu, persepsi, kepercayaan dan keterikatan di antara individu. Spiritualitas merupakan kebutuhan dasar
yang terdiri dari kebutuhan makna, tujuan, cinta, keterikatan, dan pengampunan (Kozier, et al, 1995).
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui do’a
dan ritual agama. Do’a dan ritual agama merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari individu
dan memberikan ketenangan pada individu (Kozier, et al, 1995). Selain itu, do’a dan ritual agama dapat
membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada seseorang yang sedang sakit yang dapat meningkatkan

8
Sebenarnya salah satu kebutuhan dasar manusia adalah rasa aman dan terlindung
(security feeling), yang artinya manusia memerlukan ‘pelindung’ yaitu Tuhan yang dapat
memberikan rasa ketenangan dalam hidup ini dan memberikan petunjuk dalam bentuk
taufik dan hidayah dalam penyelesaian dalam berbagai problem kehidupan yang
merupakan stresor psikososial. Dengan beribadah yaitu berdo’a dan berdzikir maka
Tuhan akan memudahkan yang mudah dan memudahkan yang sukar.
Larson pada tahun 1992 dalam penelitiannya yang dimuat dalam “Religion
Commitment and Health,” menyatakan antara lain bahwa komitmen agama sangat
penting dalam pencegahan agar seseorang tidak mudah jatuh sakit, meningkatkan
kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta
mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Larson dan kawan-kawan
melanjutkan studi banding pada pasien lanjut usia dengan pasien muda usia yang akan
menajalani operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa pasien-pasien lanjut
usia dan religius serta banyak berdo’a dan berdzikir kurang mengalami ketakutan dan
kecemasan, tidak takut mati dan tidak menunda-nunda jadwal operasi, dibandingkan
dengan pasien-pasien muda yang tidak religius.26
Matthews pada tahun 1996 dari Universitas Georgetown dalam pertemuan tahunan
‘the American Psychiatric Association”, mengatakan antara lain bahwa suatu saat ketika
para dokter akan menuliskan do’a dan zikir pada kertas resep, selain menuliskan resep
obat untuk pasien. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dari 212 studi yang telah
dilakukan oleh para ahli, ternyata 75% menyatakan bahwa komitmen agama (do’a dan
dzikir) menunjukkan pengaruh positif pada pasien. Dari hasil penelitian ilmiah yang
berkaitan dengan terapi medis yang digabung dengan terapi psiko-religius sebagaimana
telah diuraikan dimuka. Snyderman pada tahun 1996, dekan fakultas Kedokteran
Universitas Duke, menyatakan bahwa terapi medis saja tanpa disertasi do’a dan dzikir
tidaklah lengkap; sebaliknya terapi do’a dan dzikir saja tanpa terapi medis tidaklah
efektif.27
Pendekatan studi penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sosiologis dan
psikologis.28 Janet mengkaji pasien yang mengalami kekacauan mental di Salpetriere dan
memperhatikan elemen-elemen keagamaan yang terdapat di dalamnya, salah seorang
tokoh sesamanya yang masih muda darinya, Sigmund Freud memperhatikan hubungan
antar kondisi-kondisi psikologis abnormal dengan agama. Tulisan pertama dalam
masalah ini Obsessive Acts and Religion Practices tahun 1907, yang pada dasarnya
menyamakan antara aktivitas-aktifitas terperinci dan berulang yang dilakukan oleh orang
menderita obsesi dan memiliki perhatian secara detail terhadap sesuatu, dengan watak
repetitif ritual keagamaan.29

imunitas (kekebalan) tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan. Dadang Hawari, Manajemen
Stress, Cemas dan Depresi, (Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013), 139.
26
David Larson, Religious Commitment and Health, Journal Archive of Family and Medicine, 1998,
118; dalam http: triggered. Clockkss.org. diunduh tanggal 09/06/2017 lihat juga Dadang Hawari,
Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI Press, 2013), 144.
27
Dadang Hawari, Manajemenen Stress, Cemas, dan ...,147.
28
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa perilaku seseorang yang nampak lahiriah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang berjumpa saling mengucapkan salam, hormat
kepada orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah
merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama tidak
mempersoalkan benar atau tidaknya agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah
bagaimana keyakinan agama itu terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya. Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 50.
29
Peter Connoly (ed.), Approaches to The Study of Religion Terj. (Imam Khoiri) Aneka Pendekatan
Studi Agama, (Yogyakarta: LKis, 2011), 206

9
Parson memandang masyarakat sebagai sesuatu sistem sosial yang dapat disamakan
dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik
yang memberi kontribusi terhadap kesehatan dan vitalitas sistem sosial dan menjamin
kelangsungan hidupnya.30 Parsons berada dalam tradisi sosiologi yang disebut
fungsionalisme. Ia mengonseptualisasi masyarakat sebagai sistem sosial dari struktur
sosial yang paling berkaitan, yang setiap struktur sosial itu memainkan suatu fungsi
spesifik dalam membangun stabilitas dan integrasi individu-individu dan peranan-
peranan sosial mereka. Masyarakat adalah hasil dari berbagai pelaku yang menjalankan
peranan sosial mereka-misalnya, ibu, guru, dokter-dalam institusi sosial spesifik
keluarga, ruang kelas, dan rumah sakit. Institusi menjalankan fungsi spesifik yang
diperlukan bagi kelangsungan kehidupan sosial. Keluarga menyosialisasikan generasi
berikutnya, guru menyiapkan pekerja yang akan datang, dan dokter memulihkan dan
merehabilitasi, memungkinkan individu-individu untuk menjalankan peranan sosial
masing-masing.31
Mengikuti Durkheim tentang agama, dapat didefinisikan agama sebagai
seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang
menciptakan ikatan sosial antar individu. Agama dapat memberikan harapan, ganjaran
dan dukungan.32 Freud telah menyuguhkan bentuk-rinci penjelasan tentang agama yang
telah mempengaruhi pemikiran abad 20 ini. Sebuah pendekatan yang dinamakan oleh
teoretikus sekarang dengan fungsionalis reduksionisme. Setelah dengan radikal ia
menelanjangi agama, Freud mengklaim bahwa yang ia lakukan bukan saja menjelaskan
agama, tapi juga memberikan cara untuk mengatasi dan menyingkirkannya. Dalam
pandangannya agama secara utuh dapat “direduksi” menjadi sebatas bentuk ketertekanan
psikologis, menjadi sekumpulan ide dan keyakinan-keyakinan bila telah diresapi
penampilan luarnya akan bisa memenuhi ilusi-ilusi yang dilahirkan oleh alam bawah
sadar.33
Sekumpulan ide dan keyakinan tidak lepas dari perilaku manusia yang merupakan
hasil interaksi beberapa faktor internal dan eksternal. Namun dapat disimpulkan perilaku
manusia dapat dipengaruhi oleh faktor fisik, psikis, lingkungan dan sosial. Secara lebih
rinci Notoatmojo menggambarkan perilaku manusia seperti dalam gambar berikut ini:34
Perilaku kesehatan35 adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem layanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan. Agama dipeluk dan dihayati oleh manusia, praktek dan
penghayatan agama tersebut diistilahkan sebagai keberagamaan (religiusitas).
Keberagamaannya, manusia menemukan dimensi terdalam dirinya yang menyentuh
emosi dan jiwa. Oleh karena itu, keberagamaan yang baik akan membawa tiap individu
memiliki jiwa yang sehat dan membentuk kepribadian yang kokoh dan seimbang.

30
Michael S. Northcott, Approaches to The Study of Religion Terj. (Imam Khoiri) Aneka
Pendekatan Studi Agama,. Peter Connoly (Ed.), (Yogyakarta: LKis, 2011), 283.
31
Kevin White, In Introduction do Sociology of Health, Terj. Ahmad Fedyani S., Sosiologi
Kesehatan dan Penyakit, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2011), 141.
32
Bryan S. Turner, Relasi Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta: IRCisoD, 2012), 22.
33
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta: IRCisoD, 2012), 117.
34
Notoatmojo Dalam Ekowati Retnaningsih, Akses Layanan Kesehatan, (Jakarta: PT. Rajagafindo
Persada, 2013), 58.
35
Aspek perubahan perilaku merupakan yang sangat penting kaitannya dengan perilaku
kesehatandimana semua program kesehatan berupaya untuk mewujudkan perubahan perilaku kesehatan dari
negatif menjadi positif. Begitu juga terhadap layanan kesehatan, perilaku mempunyai peran pentinguntuk
menentukan seseorang yang telah mempunyai need layanan kesehatan sampai demand kesehatan. Ekowati
Retnaningsih, Akses Layanan Kesehatan ..., 60.

10
Becker, menjabarkan ada empat komponen yang terlibat dalam tindakan
seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan kesehatan yang biasa disebut
Health Believe Model,36 yakni; (a) kerentanan yang dirasakan (perseived suscetibility) (b)
keseriusan yang di rasakan (perseived Seriousness) (c) manfaat dan hambatan yang
dirasakan (perseived benefits and barriers) (d) isyarat atau tanda-tanda (cues).
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,
kegawatan dan manfaat tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-
faktor eksternal misalnya pesan-pesan media massa. Dengan adanya kebutuhan dalam diri
seseorang maka akan muncul motivasi atau penggerak sehingga individu beraktifitas atau
berperilaku, baru tujuan tercapai dan individu mengalami kepuasaan. Dalam hal ini
Kelman37 mengkategorikan teori atau cara agar terjadinya perubahan disebabkan karena:
1. Karena terpaksa (compliance), pada cara ini individu mengubah perilakunya
karena mengharapkan akan:
a. Memperoleh imbalan, baik materi ataupun non materi
b. Memperoleh pengakuan dari kelompoknya
c. Terhindar dari hukuman
d. Tetap terpelihara hubungan baik
2. Karena ingin meniru atau ingin dipersamakan (identification)
Pada cara ini karena individu mengunah perilakunya karena ingin disamakan
dengan orang yang dikaguminya.
3. Karena menyadari manfaatnya (internalization), pada cara ini perubahan benar-
benar mendasar, artinya benar-benar menjadi bagian hidupnya.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di atas, masalah utama dalam
penelitian yang pada umumnya rumah sakit belum banyak memahami kebutuhan agama
dan spiritualitas yang sangat mendasar bagi keberlangsungan kehidupan pasien. Sebagai
hipotesis penelitian kualitatif dalam hubungan sebab dan akibat adalah kehadiran pasien
ke rumah sakit secara umum bersifat fisik, tidak ada hubungan kehendak dengan
kebutuhan agama dan spiritualitas, tetapi keharusan mengamalkan agama adalah wajib
hukumnya.
Kemudian, perantara untuk mengamalkan kewajiban agama tersebut wajib
adanya. Peran agama hadir dalam konsep sehat dan sakit hingga masalah kematian.
Hadirnya peran dan fungsi agama dalam kehidupan dapat dirasakan kenikmatannya oleh
individu, inilah yang dimaksud spiritual dalam kontekstual adanya “spirit dan ritual.”
Dalam penelitian terdahulu bahwa agama dan spiritualitas dapat meningkatkan koping
untuk menuju kesembuhan atau keikhlasan dan kepasrahan kepada Sang Pencipta.
Maka penulis mengajukan beberapa pertanyaan masalah dan permasalahan terkait
dengan wacana tersebut di atas, sebagai key point sebagai berikut :
1. Bagaimana fungsi dan transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas pasien di
rumah sakit?
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas
terhadap pasien di rumah sakit?
3. Bagaimana bentuk pelayanan, kualifikasi, model ideal, dan implikasi layanan
keagamaan dan spiritualitas pada pasien di rumah sakit?
C. Tujuan dan Signifikansi
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diperolehnya rumusan model bimbingan
keagamaan di rumah sakit. Tujuan penelitian khusus penelitian ini adalah:
a. Menganalisis fungsi dan transformasi kebutuhan agama dan spiritual dalam
pelayanan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.
36
Ekowati Retnaningsih, Akses Layanan Kesehatan ..., 64-65.
37
Ekowati Retnaningsih, Akses Layanan Kesehatan ..., 66.

11
b. Faktor yang mempengaruhi transformasi keberagamaan dan spiritualitas individu.
c. Menganalisis bentuk layanan, kualifikasi, model, dan implikasi dalam pembinaan
keagamaan di rumah sakit.
Signifikansi penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika
transformasi pelayanan kerohanian di rumah sakit dan kebutuhan yang dipersiapkan oleh
pendidikan dalam memenuhinya.
a. Signifikansi Teoritis:
1) Memperkaya pemahaman teoritis, dengan rumusan konsep dan teori, terjadi
dalam proses metodologis, analisis dan penarikan kesimpulan terhadap respon
dinamika transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas di rumah rakit.
2) Memperkaya pemahaman teoritis dengan memberikan penjelasan keterkaitan
antara dinamika transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas di rumah
sakit.
b. Signifikansi Praktis
1) Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah diantaranya; kemenkes,
kemenag, dan institusi pendidikan serta seluruh rumah sakit baik swasta
maupun pemerintah dalam merespon kebutuhan religiusitas pasien baik dalam
bentuk kebijakan ataupun sumber daya insani.
2) Sebagai rujukan bagi peneliti berikutnya yang melaksanakan studi yang
menyoal tentang dinamika transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas
pasien di rumah sakit.

D. Asumsi Penelitian dan Penelitian Sebelumnya


Beberapa asumsi penelitian sebagai titik tolak dalam penelitian ini adalah:
1. Pada umumnya kehadiran pasien dirumah sakit, baik di rawat jalan, rawat
darurat, dan rawat inap dalam persepsi keinginan mereka adalah terbebas dari
masalah fisik, psikologis, dan sosial.
2. Perkembangan dan dinamika masyarakat dalam hal ini rumah sakit, menggali,
menelaah, dan berperan serta sebagai bagian dari transformasi beragama dalam
berbagai masalah kehidupan pasien di rumah sakit.
3. Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien, petugas (perawat, warois,
dokter, dan lainnya) diharapkan peka terhadap kebutuhan spiritualitas dan agama
bagi pasiennya, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan petugas
menghindar untuk memberikan asuhan spiritualitas dan agamanya.
Hal ini dapat di telaah dari beberapa literatur yang berhasil dikumpulkan oleh
peneliti baik berupa penelitian laporan seperti skripsi, tesis, disertasi, jurnal atau buku
yang memuat penelitian yang sama.
1. Isep Zaenal Arifin, Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2013 dalam
disertasi risetnya di RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat dengan judul Model
Bimbingan dan Konseling Islami untuk Kebutuhan Spiritual Pasien Rawat Inap di
Rumah Sakit.
2. Holistic Nursing: a handbook for practice. By Barbara Montgomery Dossey,
Lynn Keegan, Cathie E. Guzzetta.-4th ed, Printed in the United States of America.
Buku daras tersebut mengambarkan langkah praktis secara multi faith akan respon
integrasi dalam memberikan perawatan kepada pasien baik bio-sosio dan spiritual.
2. Penelitian Ahmad Husaini pada tahun 2010 tesis dengan judul: “Aplikasi Pola
Bimbingan Rohani Pasien”. Disusun dengan masalah di telitinya adalah
bagaimana pelayanan keperawatan terdapat adanya integrasi dengan menganut
pelayanan ‘Holistic Care’. Terdapat pola, SPO (Standar Prosedur Operasional),

12
SAKS (Standar Asuhan Keperawatan Spiritual) dan membangun kolaborasi dalam
aplikasi dilapangan bersama dokter, rohaniwan, dan lain-lain.
3. Oo Suprana,38 dalam risetnya tentang “Analisis Pengaruh Pelayanan Rohani
Terhadap Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto Semarang
tahun 2009”. Saran dalam penelitian ini adalah memberikan pelatihan komunikasi
interpersonal pastoral yang efektif kepada pasien, 2) memberikan pelatihan mikro
dan makro skill teknik konseling dan psikoterapi pastoral, 3) menentukan materi-
materi Alkitab yang relevan dengan kondisi penyakit pasien serta menyusun
teknik penyampaian yang mudah dipahami, 4) memberikan pembekalan
keterampilan komunikasi teraperutik interpersonal dan teknik konseling kepada
tenaga tambahan (volunteer) dari gereja sehingga dapat melakukan tugas
pelayanan yang baik dan tepat sasaran.
4. Penelitian tentang Analisis Karakteristik Pemasaran Berbasis Syariah Pada Pasien
Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2010, dari hasil
penelitian didapat teistis mempengaruhi karakteristik pemasaran
5. Nazila Isgandarova, disertasi tahun 2011 dari Wilfrid Laurier University dengan
judul Effective Islamic Spiritual Care: Foudation and Practices of Imam and
Other Muslim Spiritual Caregiver. Penelitian menunjukkan banyak petugas
perawat rohani muslim familiar dengan bahasa arabnya dan nilai-nilai Islam yang
dimiliki. Alhasil, betapa perlunya studi untuk menjembatani antara intervensi
islam dan paradigma psikoterapi kontemporer sehingga pelayanan spiritual care
menjadi lebih efektif.39
6. Komarudin,40 penelitian dalam sebuah jurnal bimbingan psiko-religious bagi
pasien rawat inap rumah sakit umum daerah di Jawa Tengah (Formulasi Ideal
Layanan Bimbingan dan Konseling Islam).
7.
8.

E. Kerangka Pemikiran
Aplikasi kerangka deskriptif-analitik diantaranya; pertama, kajian teori peran
agama dan bagaimana fungsi dan transformasi kebutuhan agama dan spiritualitas pasien
di rumah sakit spiritual dalam memenuhi kebutuhan pasien serta faktor yang
mempengaruhinya kebutuhan agama dan spiritualitas individu dan kedua, kajian praksis
dalam bingkai layanan teurapeutik agama dan spiritual di rumah sakit, ketiga, rumusan
hipotetik;
“Eksistensi pasien di rumah sakit berupaya menyelesaikan masalah fisiknya, maka
manajemen penanganan gejala fisik adalah langkah awal dalam transformasi agama
dan spiritual care. Maksud kehidupan adalah mengembalikan segala masalah
kepada Allah SWT., diri, dan lainnya. Keberagamaan dan spiritualitas
meningkatkan koping menuju kesembuhan, ikhlas, dan pasrah terhadap qadar
Allah. Mengamalkan agama wajib dilakukan, maka perantara untuk menunaikan
kewajiban tersebut wajib adanya.”
Keempat, validasi rasional sebagai lanjutan yang kuatkan melalui workshop para pakar
dan praktisi, kelima, validasi empirik dengan adanya formasi pemberian layanan
terapeutik agama dan spiritual di rumah sakit. Kelima, analisis deskripsi di atas

38
Beliau adalah alumni, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi administrasi
Rumah Sakit Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2009.
39
Nazila Isgandarova, Effective Islamic Spiritual Care: Foudation and Practices of Imam and Other
Muslim Spiritual Caregiver, Wilfrid Laurier University: 2011dalam http://scholar.wlu./etd di akses 14
Desember 2014.
40
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Universitas Islam Walisongo, Juli 2012.

13
melahirkan model praktisi di rumah sakit dan pelengkapnya yakni model edukasi-
akademisi.
Menurut fungsionalisme, masyarakat terdiri atas bagian-bagian sebagaimana sebuah
organisme yang satu dengan bagian lainnya yang mempunyai fungsi memelihara
keutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Semua unsur sosiokultural berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan atau prasarat biologis, psikologis, dan sosio-kultural. Allah
SWT., berfirman:
‫يح طَيِّبَ ٖة‬
ٖ ‫ك َو َج َر ۡينَ بِ ِهم بِ ِر‬ ِ ‫هُ َو ٱلَّ ِذي يُ َسيِّ ُر ُكمۡ فِي ۡٱلبَرِّ َو ۡٱلبَ ۡح ۖ ِر َحتَّ ٰ ٓى ِإ َذا ُكنتُمۡ ِفي ۡٱلفُ ۡل‬
ۡ‫ان َوظَنُّ ٓو ْا َأنَّهُمۡ ُأ ِحيطَ بِ ِهم‬ ۡ ِ ‫ُوا بِهَا َجٓا َء ۡتهَا ِري ٌح عَا‬ ْ ‫َوفَ ِرح‬
ٰٖ ‫ف َو َجٓا َءهُ ُم ٱل َم ۡو ُج ِمن ُكلِّ َم َك‬ ٞ ‫ص‬
َ‫نج ۡيتَنَا ِم ۡن ٰهَ ِذ ِهۦ لَنَ ُكون ََّن ِمنَ ٱل َّش ِك ِرين‬
َ ‫صينَ لَهُ ٱل ِّدينَ لَِئ ۡن َأ‬ ِ ِ‫ َد َع ُو ْا ٱهَّلل َ ُم ۡخل‬.
ِّ ۗ ¡‫ض بِ َغ ۡي¡ ِر ۡٱل َح‬
ۡ‫ق ٰيََٓأيُّهَ¡¡ا ٱلنَّاسُ ِإنَّ َم¡¡ا بَ ۡغيُ ُكم‬ ِ ‫¡ون فِي ٱَأۡل ۡر‬ َ ¡‫نج ٰىهُمۡ ِإ َذا هُمۡ يَ ۡب ُغ‬ َ ‫ فَلَ َّمٓا َأ‬٢٢
٢٣ ‫ون‬ َ ُ‫َعلَ ٰ ٓى َأنفُ ِس ُكمۖ َّم ٰتَ َع ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا ثُ َّم ِإلَ ۡينَا َم ۡر ِج ُع ُكمۡ فَنُنَبُِّئ ُكم بِ َما ُكنتُمۡ تَ ۡع َمل‬
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di
lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera
itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik,
dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila)
gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka
telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami
akan termasuk orang-orang yang bersyukur". Maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang
benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu
sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian
kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.”41

Baumester mengungkapkan tentang agama:


Religion deals with the highest levels of meaning. As a result, it can interpret each
life or each event in a context that runs from the beginning of time to future
eternity. Religion is thus uniquely capable of offering high-level meaning to human
life. Religion may not always be the best way to make life meaningful, but it is
probably the most reliable way. 42
Kematangan beragama terlihat kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama sesuai dengan meyakinannya
masing-masing. Kepercayaan bahwa agama tersebutlah yang baik, oleh karena itu
seseorang berusaha menjadi penganut yang baik dan keyakinannya itu ditampilkan dalam
sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.43
Agama-spiritualitas merupakan suatu kekuatan yang menyatukan seseorang, intisari
dari makhluk yang meresap ke dalam seluruh kehidupan, serta bermanifestasi pada diri,
pemahaman dan tindakan seseorang; berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, alam

41
QS. Yunus: 22-23
42
Dalam Raymond F. Paloutzian, Crystal L. at. al., Park Handbook of the Psychology of Religion and
Spirituality, (New York, The Guilford Press A Division of Guilford Publications, Inc. 72 Spring Street,
©2005 NY 10012), 295.
43
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 206.

14
dan Tuhan, sesuatu yang mutlak sukar dipahami. Sedangkan religiusitas yang dipahami
sebagai kepercayaan terorganisasi, tersusun, simbol, acuan praktisi ibadah yang menjadi
karakteristik spiritual seseorang.
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan)
tentang berabagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental
(rohani) yang sehat. Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam mencapai mentalnya
yang sehat, agama berfungsi sebagai berikut: (a) memelihara agama (b) memelihara jiwa
(c) memelihara akal (d) memelihara keturunan (e) memelihara harta (f) memelihara
kehormatan.

Bagan 14. Proses Transformasi Melalui Input, Proses, dan Output


Aspek spiritual dapat dilihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,
mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman,
dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup. Spiritual bertindak sebagai suatu
tema yang terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Spiritual seseorang akan berpengaruh
terhadap cara pandangnya terhadap kesehatan dilihat dari perspektif yang luas. Pada
tahun 1992, Fryback menemukan hubungan antara kesehatan dengan keyakinan terhadap
kekuatan yang lebih besar, yang telah memberikan seseorang keyakinan dan kemampuan
untuk mencintai. Kesehatan dipandang oleh beberapa orang sebagai suatu kemampuan
untuk menjalani kehidupan secara utuh. Pelaksanaan suatu agama merupakan suatu cara
seseorang berlatih secara spiritual. Ada beberapa agama yang melarang penggunaan
bentuk pengobatan tetentu. Perawat harus memahami dimensi spiritual klien sehingga
mereka dapat dilibatkan secara efektif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.44
Pengkajian spiritual dimaksudkan untuk menilai apa yang menjadi kebutuhan
pasien, dan kesadaran spiritual sering meningkat pada saat pasien sering belajar mengenai
penyakit-penyakit terminal. Pola Penkajian dengan model FICA:

Dasar Pengkajian dan Bagaimana Mengatakannya


44
A. Potter dan Anne Griffin Perry, Fundamental Of Nursing: Concepts, Process, And Practice. Terj.
Yasmin Asih dkk., (Jakarta: EGC, 2005), 3.

15
F (Faith; keyakinan) Apakah anda mempunyai sebuah keyakinan terhadap
kepercayaan? Apakah itu memberikan arti bagi hidup
anda?
I (Important or Apa pentingnya kepercayaan bagi anda dalam
Influence; makna kehidupan? Bagaimana kepercayaan tersebut
atau pengaruh) mempengaruhi hidup anda?
C (Community; Apakah ada seorang anggota komunitas keagamaan?
komunitas) Bagaimana dukungannya terhadap anda?
A(Address; aplikasi) Bagaimana saya mengaplikasikan ini ke dalam
perawatan anda?
Tabel 3. Matriks Pengkajian Menurut Puchalski C. M45
Dalam sebuah pertanyaan; apa hikmah manusia diuji dengan bisikan yang
mengganggu jiwa dan menyakitkan hati? Maka jawabannya: Jika kita dapat bersikap
proporsional tentu bisikan dan waswas tadi dapat menjadi pemicu untuk bangkit, sarana
untuk terus mencari, media untuk bersungguh-sungguh, serta dapat melenyapkan sikap
tidak peduli dan kurang hati-hati. Karena itu, Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijak menjadikan waswas sebagai satu bentuk cambuk motivasi yang diberikan kepada
setan agar dengannya di negeri ujian dan arena kompetisi ini manusia dapat mengetahui
sejumlah hikmah yang telah disebutkan. Ketika terasa sangat sakit, kita menuju kepada
Dzat Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana seraya mengucap: “A’udzubillaahi
minasyaithoo nirrojiim.” 46
Dinamika transformasi religiusitas kebutuhan pasien, Puchalski telah
merekomendasikan intervensi perawatan spiritual berikut:47 (1) menyediakan lingkungan
yang aman dan mendengarkan dengan penuh perhatian, jadi pasien dapat mengekpresikan
perasaan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyakit, masalah, dan kematiannya
(2) menyediakan kesempatan bagi pasien untuk mengekpresikan kesedihan, kemarahan,
keputusasaan, penderitaan, kegembiraan, kesenagan dan kebingungan (3) menyarankan
pentingnya suatu hubungan yang dapat membantu pasien (keluarga, penasihat, pendeta,
ustadz) (4) merujuk pada penyedia pelayanan spiritual yang profesional rohaniwan (5)
latihan spiritual seperti yoga, relaksasi, zikir, atau meditasi (6) ritual keagamaan (7) do’a,
sembahyang atau kebaktian lainnya (8) membaca kitab suci (Al Qur’an, bibel, Taurat) (9)
membaca bacaan yang reflektif dari puisi atau literatur lain (10) catatan harian pasien atau
keluarga.
Dalam dokumen PPK (Pendidikan Pasien dan Keluarga) atau PFE (Patien and
Family Education) 2.1 Pengetahuan dan keterampilan yang tinggi atau rendah harus
diketahui dan digunakan untuk merencanakan proses edukasi. Terdapat banyak variable
pasien yang menyatakan apakah pasien dan keluarga bersedia dan mampu untuk belajar.
Untuk itu, untuk merencanakan proses edukasi, rumah sakit harus mengkaji adanya; (a)
nilai-nilai dan kepercayaan dari pasien dan keluarga (b) kemampuan membaca tingkat
pendidikan dan bahasa (c) kendala emosi dan motivasi (d) keterbatasan fisik dan kognitif
(e) kesediaan pasien untuk menerima informasi.
Dokumentasi respon pasien menjamin komunikasi antar pemberi perawatan.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan
45
Margaret L. Campbell, Nurse to Nurse-Palliative Care, Terj. Dini Daniaty, (Jakarta: Salemba
Medika, 2013), 24.
46
Badiuzzaman Said Nursi, Kalimah Shaghirah fil ‘Aqidah wal ‘Ibadah (Nasihat Spiritual) , (Risalah
Nur Press: 2014), 113.
47
Puchalski C.M, Spirituality In Health: The Role of Spirituality In Critical Care. Critical Care Clinic,
487-504.

16
keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf
atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan
Tuhan. Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari
arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan
kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.  Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kebutuhan spiritual antara lain: (1) perkembangan (2) keluarga (3) ras atau
suku (4) agama yang dianut (5) kegiatan keagamaan.
Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar
mampu bertahan, yaitu: (1) adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (2)
pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya (3)
integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi
komponennya (4) pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan
menopang motivasi. Konstruksi penelitian ini adalah kualitatif melalui pendekatan sosio-
psikologi dengan grand teori sosiologi, onstruktivistik, behavioristik, dan humanistik.
Adapun tujuan dari hal tersebut mengelaborasi akan fungsi agama sebagai pranata
kehidupan di masyarakat praksis, merespon akan kebutuhan dasar manusia yakni sebagai:
Dinamika Transformasi Kebutuhan Agama dan Spiritualitas Pasien di Rumah Sakit
(Studi atas Bimbingan Rohani di RSUD Al Ihsan dan RSI Al Islam Bandung).

Kerangka Penelitian Dinamika Transformasi Kebutuhan Agama dan


Spiritual
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field
research).48 Metode ini dipilih juga banyak melibatkan analisis perbandingan
(komparatif) studi kasus antara institusi rumah sakit, pendidikan, dan regulasi pemerintah.
Sedangkan pendekatan yang digunakan bersifat multidisiplin dengan wawasan dibidang
teologi, antropologi agama, fenomenologi, sosiologi agama, psikologi, dan filsafat.
Adapun metode penelitian yang dapat digunakan dengan menggunakan pendekatan
ilmu jiwa agama, tidak berbeda dengan yang digunakan oleh ilmu-ilmu lainnya, metode
tersebut adalah:
1. Observasi (pengamatan), metode ini dilakukan untuk melihat peribadatan apa saja
yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat tertentu. Hal ini menyangkut kesadaran
beragama. Teknik pengumpulan data dengan observasi, teknik menawarkan perspektif
menyeluruh (holistic) dan gambaran atau deskripsi grafis mengenai kehidupan sosial.
Dalam observasi tidak lepas pada hal-hal sebagai berikut; (a) sifat-sifat observasi dalam
48
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 22.

17
riset kualitatif (b) peran sentral partisipasi dalam proses riset, dengan implikasi
keterlibatan pengamat yang lebih dekat atau lebih berjarak (c) perbedaan dimensi-dimensi
dasar yang mempermudah fokus riset (d) cara mengumpulkan data dan memunculkan
pertanyaan yang sesuai mengenai hal-hal yang dilihat (e) pentingnya pemeliharaan
catatan lapangan (fieldnotes) dan diari lapangan (field diary).49
2. Angket (memberikan sejumlah pertanyaan sebagai panduan wawancara tersetruktur),
membuat pertanyaan kepada objek atau responden dalam hal ini adalah pasien yang dapat
memberi data. Ini digunakan untuk mendapatkan data tentang keyakinan akan nilai,
dukungan (support), ibadah apa saja yang biasa dilakukan, kemudian perasaan yang
dialami, terkait pengetahuan, kemampuan, dan kemauannya.
3. Interview, yaitu mengadakan (FGD) tanya jawab atau temu ramah secara biasa atau
mendalam bersama pasien, untuk mengetahui sejauhmana kedalaman keyakinan atas
adanya Tuhan dan posisi agama dalam jiwanya. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam (Indepth Interview) terhadap informan kunci yakni; pasien,
keluarga pasien, dan petugas. Wawancara mendalam ini merupakan usaha untuk
mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan.
Wawancara secara mendalam ditujukan untuk menggali informasi lebih mendalam
mengenai pemikiran serta perasaan responden dan mengetahui lebih jauh bagaimana
responden memandang dunia berdasarkan persfektifnya. Pencarian informasi secara emic.
Informasi emic ini diolah, ditafsirkan, dan dianalisis oleh peneliti sehingga melahirkan
etic pandangan peneliti tentang data.50
4. Photography, memotret kebiasaan aktifitas keberagamaan di rumah sakit, kebijakan,
panduan pelayanan keagamaan, sistem referal pasien dan tata relasi-kolaborasi. Metode
lain yang digunakan adalah observasi partisipasi aktif dengan harapan agar dapat
diperoleh kedalaman data. Kemudian digunakan juga teknik dokumentasi, teknik ini
dimaksudkan untuk melengkapi hasil data yang diperoleh melalui wawancara dan
observasi. Dengan analisis dokumen ini diharapkan data yang diperlukan menjadi benar-
benar valid. Dokumen yang dapat dijadikan sumber antara lain; foto, video, rekaman, dan
dokumentasi tertulis lainnya.
Tujuan studi kasus dan lapangan dalam penelitian ini adalah meningkatkan
pengetahuan mengenai peristiwa atau issue kontemporer dalam respon layanan dinamika
transformasi kebutuhan religiusitas dan spiritual di rumah sakit. Secara implikasi
penelitian mencoba untuk menghidupkan nuansa komunikasi dengan menguraikan
‘segumpal’ kenyataan tentunya dengan cara:
a. Melakukan analisis mengenai kasus dan situasi tertentu.
b. Berusaha memahami dari sudut pandang personal dan instansi terkait.
c. Mengidentifikasi berbagai pengaruh dan aspek-aspek hubungan peran,
pengalaman, dan respons baik tataran praktis maupun regulasi.
d. Membangkitkan perhatian sehingga timbul keterkaitan satu sama lain pada unsur-
unsur rumusan penelitian ini.
5. Sumber Data dan Obyek Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian lapangan dan kepustakaan, untuk lapangan dengan
mengadakan observasi dan wawancara kepada pengguna layanan yakni pasien sebagai
data primer lapangan dan data sekunder lapangan kepada provider atau pemberi layanan
institusi yang bersangkutan (petugas kerohanian dan perawat), dan keluarga institusi
dimaksud baik pendidikan maupun pelayanan rumah sakit. Kepustakaan dengan

49
Christine Daymon dan Immy Holloway, Qualitative Research Methodes in Publik Relation and
Marketing Comunications, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2008), Terj. Cahya Wiratama, 319.
50
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: Putra setia, 2000), 158.

18
menggunakan sejumlah sumber data primer maupun sekunder, adapun obyek penelitian
kesemuanya berada di Bandung.
6. Analisis
Menurut Rusdi Muhtar bahwa penulisan kualitatif sudah harus memulai penulisan
laporan penulisan sejak berada di lapangan, karena proses analisis dilakukan bersamaan
dengan proses pengumpulan data, maka kecil kemungkinannya terjadi kekurangan data
karena penulis akan dengan mudah melihat unsur-unsur analisis yang hilang atau tidak
dibicarakan dengan informan ada saat penggunaan metode wawancara dan pengamatan
berlangsung.51 Analisis data akan dilakukan dengan tiga cara, yakni:
a. Reduksi data; data yang peroleh dilapangan diketik dalam bentuk uraian yang
lengkap dan banyak. Data tersebut dirangkum dan dipilih hal-hal yang pokok, dan
difokuskan pada hal yang penting dan berkaitan dengan masalah. Data yang telah
direduksi dapat memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
wawancara.
b. Display data; display ini adalah untuk memudahkan pemetaan dengan jelas seperti
membuat model, matriks, atau grafik secara keseluruhan dan bagian-bagian data
dapat di petakan dengan jelas.
c. Kesimpulan dan verifikasi; agar kesimpulan diperoleh lebih dalam (grounded),
maka perlu dicari data lain. Data tersebut ditujukan untuk melakukan pengujian
terhadap berbagai kesimpulan tadi.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data


Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan
berdasarkan beberapa kriteria dan teknik pemeriksaan tertentu, dalam kredibilitas,
kepastian, kebergantungan, kepastian berikut ini.
Penelitian kualitatif ini dilaksanakan dengan teknik pengumpulan data dengan
Focus Group Discussion (FGD), indepth interview dan outside observation. Dengan
wawancara mendalam, serangkaian pertanyaan disiapkan dengan tujuan untuk menjawab
research question. Pertanyaan yang diajukan tidak terstruktur mengalir mengikuti irama
saat dilakukannya FGD dan indepth interview dengan tujuan untuk menghilangkan
suasana kaku dan menjemukan. Sementara itu outside observation dilakukan untuk
memperoleh perspektif obyektif atas beberapa temuan baik yang ditemukan melalui
wawancara ataupun yang ditemukan melalui data sekunder yang ada. Pengamatan dari
luar juga bermanfaat untuk memperoleh bahan awal saat merancang atau mendesain
pertanyaan penelitian.
Wawancara mendalam dan pengamatan dilakukan oleh peneliti untuk dengan
mendatangi di tempat lokasi untuk beberapa informan antara lain:
a. Pasien di rumah sakit setelah menjalani perawatan lebih dari tiga hari atau pasien
lama yang berulang rawat.
b. Kepala kerohanian sebagai manajemen dan beberapa karyawan pelaksana
kerohanian yang bertugas melayani pasien secara langsung.
c. Sedangkan untuk kualifikasi pendidikan kepada beberapa dosen dan mahasiswa,
dan alumni.
Interview yang dimaksud dalam tulisan ini adalah teknis dalam upaya menghimpun
data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu, yang
51
Rusdi Muhtar. Teknik Penulisan Ilmiah (Bidang IPS): Modul Diklat Fungsional Penulis Tingkat
Pertama. (Cibinong: Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Penulis Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). 2007), h. 34 dalam jurnal, Syamsu A. Kamaruddin, AL-FIKR Volume 15 Nomor 3 Tahun
2011 Dampak Sosial Jamaah Tabligh Di Kota Makassar Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial UVRI Makassar,
437.

19
sesuai dengan data. Data yang diperoleh dengan teknis ini adalah dengan cara tanya
jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara seseorang atau beberapa orang
interviewer.52
Penelitian ini mengambil setting rumah sakit umum yang didirikan oleh organisasi
kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Pemilihan subyek penelitian ini di latar belakangi
bahwa rumah sakit keagamaan adalah tempat terbaik untuk melihat implementasi etika
dan nilai-nilai spirit di dalamnya.
Data akan dikumpulkan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) catatan
pengamatan di lapangan, dengan menggunakan alat bantu lainnya untuk
mendokumentasikan data. Hasil wawancara sebagian besar direkam dalam alat perekam
audio, dan melakukan pemotretan dengan menggunakan smartphone. Keperaktisan
kamera smartphone memungkinkan untuk dibawa ke mana-mana dan fleksibel untuk
digunakan kapan saja, termasuk bila informannya tidak nyaman bila merasa
diwawancarai. Data yang terkumpul juga dilengkapi dengan pengamatan di lapangan.
Pengumpulan data dan pengamatan di lapangan menjadi bahan penting bagi analisis
data dan pengolahan data. Hasil pengamatan dapat digunakan untuk mengontrol jawaban
panduan wawancara dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan uji
triangulasi. Atas jawaban manajemen, uji triangulasi diajukan kepada karyawan dan
expertice informan yaitu pembimbing disertasi. Sedang atas jawaban karyawan, uji
triangulasi diajukan kepada manajemen dan expertice informan yaitu pembimbing
disertasi.
Selanjutnya pada tahap transkripsi, data yang telah terkumpul dan tersimpan dalam
alat perekam baik secara audio maupun video atau audio-video sekaligus, dalam bentuk
gambar (foto-foto kegiatan layanan kesehatan dan kerohanian) dan catatan-catatan
lapangan, kemudian dituangkan dalam bentuk transkripsi interview. Dalam transkripsi ini
disajikan nama informan, atau inisial saja, dimana, kapan, dan informasi yang
didapatkan. Termasuk dalam tahap ini adalah pembuatan notulensi FGD yang
menginformasikan siapa informan dan apa informasinya.
Keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu dengan menguji jawaban
informan manajemen dengan informan karyawan dalam FGD serta fakta yang ditemukan
selama observasi dan dokumentasi. Sementara itu, expert opinion dijalankan manakala
suatu masalah atau pertanyaan sulit menemukan satu jawaban yang tegas dan pasti
dikarenakan beberapa pihak yang dimintai pendapat tidak memberikan satu jawaban tegas
yang sama maka diperlukan pendapat tenaga ahli yang mempunyai pengalaman dan
keahlian di bidang itu.
8. Pengamatan berperan-serta
Pengamatan peran serta, sering juga disebut etnografi atau penelitian lapangan,
yakni “pergi ke lapangan” yang jauh dari peradaban atau laboratorium. Tujuannya adalah
untuk menelaah sebanyak mungkin proses sosial dan perilaku dalam budaya tersebut,
yakni dengan menguraikan setting-nya dan menghasilkan gagasan-gagasan teoritis yang
akan menjelaskan apa yang dilihat dan didengar oleh peneliti. Sebagai metode kualitatif
yang inklusif atau menyeluruh (kombinasi metode dan teknik-teknik penelitian kualitatif),
pengamatan berperanserta lazim digunakan dalam meneliti masyarakat primitif, subkultur
menyimpang, organisasi yang kompleks (seperti rumah sakit, serikat, dan korporasi),
pergerakan sosial, komunitas, dan kelompok informal (seperti geng dan kelompok kerja
pabrik).
9. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan RSUD Al Ihsan dan RS Al Islam Bandung 53 dan Bimbingan
Konseling Islam dan STIKes ‘Aisyiah Bandung.
52
Wardi Bakhtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, (Jakarta: Logos). 72.

20
G. Hasil Penelitian, Pembahasan, dan Temuan
1. Hasil Penelitian
RSI Al Islam Bandung dan RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat, keduanya
memiliki landasan dan sejarah yang mirip yakni berangkat dari spirit nilai-nilai Islam.
Mengembangkan potensi umat, ulama, dan umara’ yang bersinergi dan berkhidmad
kepada umat yang membutuhkan pertolongan. Rumah sakit ini tumbuh dan berkembang
secara bertahap pada era tahun 90-an, geliat ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan
waktu itu dalam kondisi kondusif serta kebangkitan ghirah keislaman dirasakan
meningkat. Berangkat dari itu semua, hingga saat ini berbagai pelayanan semakin
dibutuhkan, termasuk nuansa agamis dan layanan-layanan yang ada. Terdapat fakta
perkembangan yang menarik, sektor pendidikan kesehatan pun berkompetisi untuk
menjawab kebutuhan pasar layanan kesehatan tak terkecuali pendidikan berbasis agama.
Hak kesehatan menjadi amanat konstitusi dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar
1945 yang kemudian diejawantahkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut diatur juga tentang hak, kewajiban serta
tanggung jawab pemerintah akan ketersediaan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat.
Provider Quality Controler sebagai skala internasional adalah JCI (Joint
Commision International) yang sudah dipergunakan di 92 negara hal tersebut sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sedangkan skala
nasional adalah KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) pada tahun 2011 menteri
kesehatan mewajibkan semua rumah sakit berstandar internasional bagi rumah sakit besar
maupun kecil. Dari 2.300 rumah sakit di Indonesia, baru 1.300 yang terakreditasi nasional
menurut standar lama dan 65 rumah sakit terakreditasi sesuai dengan standar baru atau
internasional.
Kepmenkes RI Nomor 812 tahun 2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
merupakan dasar pendekatan dari pelayanan rohani. Esensi kebijakan ini bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan,
peniadaan, identifikasi dini dan penilaian serta penyelesaian masalah-masalah fisik,
psikososial, dan spiritual. Sedangkan kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang
dipersepsikan sesuai dengan konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya termasuk
tujuan hidup, harapan, dan niatnya.
Kebijakan pemerintah pada skala nasional belum muncul secara detail pada tataran
petunjuk teknisnya tentang regulasi kebutuhan religiusitas, diera akreditasi rumah sakit
tahun 2012 mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012
Tahun 2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit dengan tujuan untuk:54 (a) meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit (b) meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit (c)
meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya (d) manusia rumah
sakit dan rumah sakit sebagai institusi (e) mendukung program pemerintah di bidang
kesehatan.
53
Rumah sakit tersebut sudah mengaplikasikan kajian Spiritual Care secara integrasi dalam
pelayanannya, spiritual care adalah perawatan pasien yang memperhatikan hubungan dengan kekuatan
dengan Sang Penciptanya yaitu Allah SWT, mohon ketenteraman dan kesabaran dalam menghadapi cobaan
sakit untuk memperkuat mental kepada Allah ta’ala dengan bimbingan ibadah dan do’a. Dalam Dede
Setiapriagung, Modul Rumah Sakit Syari’ah-Pengalaman Implementasi Di RS Al Islam Bandung, (RS Al
Islam Bandung,2015), 44.
54
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012 Tentang Akreditasi
Rumah Sakit pasal 2.

21
Sedangkan agama mengacu pada sistem keyakinan yang terorganisir mengenai
jalan, tujuan, dan sifat alam semesta yang dimiliki oleh sekelompok orang, dan praktek,
perilaku, menyembah, dan ritual dengan sistem tersebut. Agama menghubungkan orang
melalui bersama keyakinan, nilai, dan praktik, membuat jelas sistem kepercayaan tertentu
yang membedakan dengan sistem kepercayaan lain, dengan demikian mendefinisikan
perbedaan antara kelompok-kelompok manusia.
Spiritualitas merupakan esensi dari keberadaan kita. Hal ini meresapi hidup kita
dalam hubungan dan menanamkan kesadaran kita terungkapnya siapa, dan apa yang kita
itu, tujuan kita, dan sumber daya batin kita. Spiritualitas aktif dan ekspresif, ini terbentuk
dalam perjalanan hidup. Spiritualitas menginformasikan cara kita hidup dan pengalaman
hidup, cara kita menghadapi misteri, dan cara kita berhubungan dengan semua aspek
kehidupan. Melekat dalam kondisi manusia, spiritualitas diungkapkan dan dialami
melalui hidup keterhubungan kita dengan Sumber Suci yakni Allah SWT., diri, orang
lain, dan alam.
Dalam sebuah paradigma holistik, saling terkait dan saling memberikan tekanan
antara body-mind-spirit adalah sebuah persatuan; dengan demikian, pengalaman manusia
telah body-mind-spirit setiap komponen. Dalam sebuah pertimbangan akan kerohanian
dan penyembuhan, namun sangat bermanfaat untuk ingat bahwa kata-kata penyembuhan,
seluruh, dan kesucian berasal dari akar yang sama yakni makna holistik. Hal ini
mengindikasikan bahwa, oleh alam, kesembuhan adalah sebuah proses yang menghadiri
untuk rohani keutuhan dari seseorang. Ikhtiar dari keembuhan membutuhkan pengenalan
molekul dimensi rohani tiap orang, termasuk penyembuh, dan adanya kesadaran
spiritualitas meresapi setiap perjumpaan. Mengakui adanya hubungan berbagi rasa
kemanusiaan dan keterhubungan antara caregiver dan penerima adalah dasar untuk
penyembuhan, adalah sebuah manifestasi kerohanian.
Adapun dasar kebijakan pemerintah daerah Jawa Barat termaktub dalam SK Gubernur
Jawa Barat No. 451.05/Kep.755-Yansos/2002 tentang Tim Pembina Pelaksana Kegiatan
Pelaksana kegiatan Perawatan Rohani Islam (Warois) tanggal 22 Juli 2002.55
2. Pembahasan
Pelayanan agama dan spiritual yang dimaksud identik dengan pelayanan rohani
kepada pasien. Hal ini menjadi penting karena pasien merasa terbantu dengan adanya
perhatian (attention), dukungan (sustaining), perdamaian (reconciling), bimbingan
(guilding), penyembuhan luka batin (inner-healing), serta do’a (praying). Apabila pasien
terlayani aspek rohaninya maka terjadi keseimbangan dalam hidup dan berdampak positif
untuk menjalani pengobatan penyakitnya.
Dinamika transformasi religiusitas kebutuhan pasien sebagaimana dijelaskan di
studi pendahuluan, Puchalski telah merekomendasikan sebagai indikator intervensi
perawatan spiritual berikut:56
a. Menyediakan lingkungan yang aman dan mendengarkan dengan penuh perhatian,
jadi pasien dapat mengekpresikan perasaan dan pengalaman yang berhubungan
dengan penyakit, masalah, dan kematiannya.
b. Menyediakan kesempatan bagi pasien untuk mengekpresikan kesedihan,
kemarahan, keputusasaan, penderitaan, kegembiraan dan kebingungan.
c. Menyarankan pentingnya suatu hubungan yang dapat membantu pasien (keluarga,
penasihat, pendeta, ustadz).

55
Gubernur yang menjabat ketika itu HR Nuriana. Dalam Isep Zaenal Arifin, Disertasi (Bab I):Model
Bimbingan Konseling Islami untuk Kebutuhan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit, repsitory. upi.edu/a-
research upi.edu di entri tanggal 06-05-2015.
56
Puchalski C.M, Spirituality In Health: The Role of Spirituality In Critical Care. Critical Care Clinic,
487-504.

22
d. Merujuk pada penyedia pelayanan spiritual yang profesional (para rohaniwan,
ustadz, pendeta).
e. Latihan, ritual keagamaan dan spiritual seperti yoga, relaksasi, zikir
f. Do’a, sembahyang atau kebaktian lainnya.
g. Membaca kitab suci (Al Qur’an, bibel, Taurat).
h. Membaca bacaan yang reflektif dari puisi atau literatur lain.
i. Catatan harian pasien atau keluarga.
Peran-peran tersebut sejatinya dapat diadaptasikan oleh para petugas kerohanian
dalam pelayanannya, sehingga ada kesamaan dan kolaborasi yang intens tak terpisahkan.
Perawatan yang holistik mempertimbangkan aspek spiritualitas dan keagamaan
pasiennya. Karena hal tersebut menjadi sumber kekuatan (energy), kedamaian (inner
peace), ketabahan (inner strength), keyakinan & tata nilai (belief dan values), tahu tujuan
hidup (existensial reality), merasa dibimbing Allah (connectedness) dan keyakinan diri
bahwa ada alam perhitungan (self transcendense).
Fungsi dan transformasi kebutuhan pelayanan di rumah sakit tidak terbatas pada
fisik saja tetapi ada hal yang harus dipenuhi yakni kebutuhan agama dan spiritualitasnya.
Eksistensi pelayanan di rumah sakit, mencakup multidimensi kehidupan mulai dari
biologis, psikologis, sosial, dan spritualnya. \
3. Temuan Penelitian
Ketika umat manusia masuk pada abad ke-21 yang sekaligus merupakan millenium
baru. Secara popular era yang kita masuki ini disebut dengan era informasi dan era
globalisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya menyentuh hampir seluruh
aspek kehidupan manusia, sejak aspek ekonomi hingga aspek nilai-nilai dan moral.
Secara sederhana, era global dapat diilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang
ekonomi dan politik, kemajuan sains dan teknologi, arus informasi yang sangat cepat, dan
perubahan sosial yang sangat tinggi.57
Maka Temuan dari penelitikan ini diantaranya:
a. Fungsi dan transformasi agama dan spiritual sangat penting dalam meningkatkan
koping dalam proses kesembuhan, penerimaan kondisi dengan ikhlas, pasrah
terhadap qadar Allah serta dengan melibatkan pertolongan Allah sedini mungkin.
Itu semua merupakan rasa spiritual yang menjadi harapan individu adapun nilai
agama adalah adanya ‘ritual’ sebagai implementasi dari rasa tersebut. Bagi seorang
Muslim, dengan mengamalkan perintah Allah dalam kondisi apapun sesuai dengan
aturannya. Contohnya mendirikan shalat lima waktu, zakat, puasa, dan ibadah haji.
b. Faktor yang mempengaruhi transformasi kebutuhan agama dan spiritual terhadap
individu, diantaranya; (a) perkembangan (b) latar belakang etnik dan budaya (c)
keluarga (d) agama (e) pengalaman hidup (f) krisis dan perubahan (g) isu moral
terkait dengan terapi (h) asuhan pelayanan kurang sesuai. Dengan diketahuinya
faktor-faktor tersebut, pelayanan pasien berbasis patient centered dengan sistem
pelayanan kolaborasi maka, pelayanan holistik dan memandang pasien sebagai
makhluk yang utuh memiliki bio-psiko-sosio, agama dan spiritual dalam Islam
dikenal dengan Insan Kamil. Dengan berbagai kondisi pasien di rumah sakit,
petugas kerohanian melakukan assesment pasien dalam ruang lingkup; (a)
pengetahuan (b) kemampuan (c) kemauan. Pengkajian keyakinan dan nilai-nilai,
pasien serta keluarga secara normatif memiliki masalah yang dihadapi oleh pasien
yakni; (a) adanya konflik (b) keterasingan (c) pengaruh dukungan/support (d)

57
John Naisbit, Megatrends: Ten New Direction Transforming Out Lives (New York) Warner Brooks,
1984), dalam Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial, (Bandung: Penerbit Marja, 2013), 24.

23
munculnya penyadaran (e) pengaruh sendiri dan (f) akhirnya semua masalah
teratasi.
c. Deskripsi peneliti berkenaan dengan kualifikasi adalah meng-konstruksi kerangka
awal kependidikan dan keprofesian khusus bimbingan rohani pasien, sehingga
menjadi model edukasi spiritual care. Model ideal praktisi yang diharapkan adalah
adanya respon sebagai subjek layanan setiap permasalahan yang berhubungan
dengan transformasi agama dan spiritualitas yang ada di rumah sakit. Kerangka
tersebut juga harapannya menjadi dasar pendidikan khusus baik jenjang formal
atau informal Spiritual Care dalam menjawab kebutuhan rumah sakit, dalam skala
pendidikan tinggi strata 1, strata 2, hingga strata 3.
Melalui penelitian untuk mengatasi persoalan bagaimana kebutuhan spiritual pasien
di rumah sakit khususnya yang beragama Islam di rumah sakit semakin terpenuhi
dalam bentuk layanan bimbingan kerohanian secara holistik-komprehensif, terfokus,
lebih spesifik, diberikan oleh personil-personil yang profesional, berorientasi pada
situasi kebutuhan agama dan spiritual pasien, tersusun dalam sebuah program
secara mandiri, terencana, dan sistematis, serta memiliki kebijakan pemerintah
sebagai payung hukumnya.
Implikasi layanan kerohanian, dalam membantu pasien mencapai kondisi koping
positif, yang dibutuhkan diantaranya terapeutik psikologis untuk mempercepat
kesembuhan. Kehadiran pasien di kerumah sakit baik rawat jalan atau rawat inap
tidak semua disebabkan gangguan terhadap fisik saja, tidak sedikit disebabkan oleh
kondisi psikologis yang buruk. Melihat pentingnya layanan tersebut, tampak banyak
rumah sakit yang mulai mengembangkan layanan bimbingan rohani bagi pasiennya.
Bimbingan kerohanian sejatinya memiliki kreasi dalam bentuk model layanan
bimbingan dan konseling, layanan psikoterapi berbasis nilai keagamaan dan
spiritual, karena pelayanan pemenuhan kebutuhan spiritual akan lebih tepat jika
disampaikan sesuai dengan agama dan keyakinan pasien bersama petugas
kerohanian rumah sakit profesional.

H. Penutup
1. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi dan transformasi kebutuhan agama
dan spiritualitas menjadi isu saat ini dan sangat penting dalam meningkatkan koping
positif dalam proses kesembuhan, sense spiritual individu akan meningkat bila dikelola
dengan baik ketika pasien dalam keadaan sakit, hingga sehat atau bila menjelang ajal
maka dapat menghadirkan keikhlasan dan kepasrahan pada Sang Khaliq. Respon pasien
dan keluarga terhadap pelayanan kebutuhan agama dan spiritualitas pasien semakin
meningkat dan bervariasi. Maka, tersedianya formasi layanan kebutuhan agama dan
spiritual memberikan dampak positif dan memberikan ketenangan lahir batin, baik bagi
pasien maupun petugas pemberi layanan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi transformasi kebutuhan spiritual terhadap
individu yang paling dominan adalah agama dan keluarga. Maka, petugas kerohanian
melakukan assesment pasien dalam ruang lingkup; (a) pengetahuan (b) kemampuan (c)
kemauan. Dalam pengkajian keyakinan dan nilai-nilai, pasien serta keluarga secara
normatif memiliki masalah yang dihadapi oleh pasien yakni; (a) adanya konflik (b)
keterasingan (c) pengaruh dukungan/support (d) munculnya penyadaran (e) pengaruh
sendiri dan (f) akhirnya semua masalah teratasi.
Penulis mendeskripsikan berkenaan dengan kualifikasi adalah model ideal praktisi
yang diharapkan adalah adanya respon dari subjek layanan setiap permasalahan yang

24
berhubungan dengan transformasi agama dan spiritualitas yang rumah sakit diberikan
oleh personil yang profesional, berorientasi pada situasi kebutuhan spiritual pasien,
tersusun dalam sebuah program secara mandiri, terencana, dan sistematis serta memiliki
pengakuan khusus dari pemerintah. Model ideal akademisi adalah meng-konstruksi
kerangka awal kependidikan dan keprofesian khusus bimbingan rohani pasien, sehingga
menjadi model edukasi spiritual care holistik-komprehensif, spesifik.
2. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian, maka peneliti dapat mengemukakan saran-
saran dan rekomendasi sebagai berikut:
a. Bagi Akademik
1) Pengembangan Ilmu Religious Studies (Perbandingan Agama), khususnya terkait
dengan dinamika kebutuhan transformasi dan fungsionalisasi agama dalam hal ini
di rumah sakit umum daerah Al Ihsan dan rumah sakit Al Islam Bandung serta
institusi pendidikan yang menawarkan lulusannya untuk diserap dalam dunia
kesehatan, khususnya rumah sakit sebagai tenaga perawat atau warois (kerohanian)
dalam kondisi “siap pakai” baik strata satu, dua dan tiga. Terlebih lagi bila memiliki
asosiasi atau himpunan profesi kerohanian sebagai badan legalitas profesi.
Disarankan peneliti selanjutnya untuk menguji kembali hasil penelitian ini serta
untuk mengembangkan konsep-konsep yang berhubungan dengan dinamika
transformasi kebutuhan pasien terhadap agama dan spiritual khususnya di rumah
sakit.
2) Temuan dalam penelitian ini adalah konsep dalam meng-krontruksi sebuah disiplin
ilmu pelayanan spiritual yang dikembangkan di negara lain dan sangat tepat bila
dikembangkan dengan corak ke-Indonesia-an, sebuah negara dengan keberagaman,
etnis, ras, budaya, dan agama. Penelitian ini juga menjelaskan teori yang digunakan
masih cukup relevan dan aktual untuk mengukur dinamika kebutuhan pasien
terhadap agama dan spiritualitas sebagai fungsionalisasi agama dan nilai-nilainya.
b. Bagi Praktisi Rumah Sakit
Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian, maka secara praktis baik praktisi
pendidikan maupun praktisi rumah sakit dapat mengemukakan saran-saran sebagai
berikut:
1) Sehubungan dengan setiap masing-masing institusi memiliki visi dan misi maka hal
tersebut dapat di sosialisasikan kepada pada publik agar lebih dikenal apa yang
menjadi core velue dari visi misi tersebut.
2) Sebagai praktisi rumah sakit untuk lebih meningkatkan kemitraan, bina suasana,
advokasi dan pemberdayaan dalam bentuk formal MoU dengan organisasi
masyarakat perihal keberlangsungan pembinaan pelayanan kerohanian yang pasien
dan petugas juga bagian dari masyarakat. Sehingga ada sistem addressed atau
rujukan dengan kerja sama organisasi masyarakat tersebut.
c. Bagi Pemegang Kebijakan atau Regulasi
Saran kebijakan yang dapat dilakukan untuk:
1) Dari masing-masing institusi memiliki dewan pengawas atau pembina yang
memantau berjalannya organisasi tersebut. Dalam bidang tertentu untuk menjadikan
layanan kerohanian sebagai layanan tidak terpisahkan dalam tindakan dan
pelayanan di rumah sakit. Tempatkan pada posisi yang strategis baik secara
kebijakan maupun koordinasi pelayanan.
2) Bagi regulasi pemerintah, keberadaan petugas kerohanian belum termaktub dalam
undang-undang keprofesian. Undang-undang perumahsakitan pun belum cukup
kuat dan mengikat terhadap mekanisme keberadaan petugas kerohanian baik syarat

25
sumber daya manusia, kompetensi, dan asosiasi profesinya. Maka melalui
penelitian ini pihak terkait seperti Kemenkes, Kemenag, dan lainnya sebagai
regulasi pemerintah sudah saatnya merumuskan keberadaan status petugas
kerohanian di instansi kesehatan khususnya di rumah sakit sebagai profesi yang
dapat diandalkan dalam layanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim, Al Mu’asir, Terjemah Kontemporer, Bandung, Khazanah Intelektual,
tanda tashih Kementerian Agama, 2012.
Auda, Jasser. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah (Maqasid Shariah
as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, Bandung, PT. Mizan Media
Utama, 2015.
Bakhtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Dakwah, Jakarta: Logos.
Baderin, Mashood A. The World University Encyclopedia, Vol II, Washington, D.C.
Publishers Company, Inc, 250. Oleh Penerbit Oxford University Press, 2003.
Campbell, Margaret L. Nurse to Nurse-Palliative Care, Terj. Dini Daniaty. Jakarta,
Salemba Medika, 2013.
Christine, Daymon dan Immy Holloway. Qualitative Research Methodes in Publik
Relation and Marketing Comunications. Yogyakarta, PT. Bentang Pustaka,
2008.
Connoly, Peter (ed.). Approaches to The Study of Religion Terj. (Imam Khoiri) Aneka
Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKis, 2011.
Hawari, Dadang, Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta, Badan Penerbit FKUI,
2013.
Jalaludin, Psikologi Agama. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012
Kahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama Persfektif Ilmu Perbandingan Agama.
Bandung, Putra Setia, 2000.
Kahmad, Dadang. Tarekat Dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern. Bandung,
Putra Setia, 2002.
Kamarudin, Syamsu A. Jurnal AL-FIKR Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011 Dampak
Sosial Jamaah Tabligh Di Kota Makassar Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial UVRI
Makassar, 2011.
Kevin, White. In Introduction do Sociology of Health, Terj. Ahmad Fedyani S., Sosiologi
Kesehatan dan Penyakit. Jakarta, Raja Garfindo Persada, 2011.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2005.
Muhtar, Rusdi. Teknik Penulisan Ilmiah (Bidang IPS): Modul Diklat Fungsional Penulis
Tingkat Pertama. (Cibinong: Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Penulis
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2007.
Muhammad. Afif. Agama dan Konflik Sosial, Bandung, Penerbit Marja, 2013.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998.
Northcott, Michael S. Approaches to The Study of Religion Terj. (Imam Khoiri) Aneka
Pendekatan Studi Agama, Peter Connoly (Ed.). Yogyakarta, LKis, 2011.
Nursi, Badiuzzaman Said. Kalimah Shaghirah fil ‘Aqidah wal ‘Ibadah (Nasihat Spiritual)
, Risalah Nur Press, 2014.
Patricia A. Potter & Anne Grifin Perry, Fundamentals of Nursing; Concept, Process, and
Practice Terj. Devi Juliati dkk., Jakarta, EGC, 2005.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion. Yogyakarta, IRCisoD, 2012.

26
Raymond F. Paloutzian, Crystal L. at. al., Park Handbook of the Psychology of Religion
and Spirituality, (New York, The Guilford Press A Division of Guilford
Publications, Inc. 72 Spring Street, NY 10012.©2005.
Retnaningsih, Ekowati. Akses Layanan Kesehatan. Jakarta, PT. Rajagafindo Persada,
2013.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Sheldon, Lisa Kennedy. Communication For Nurse: talking with Patiens, Surabaya:
Erlangga, 2009.
Turner, Bryan S. Relasi Agama dan Teori sosial Kontemporer. Yogyakarta, IRCisoD,
2012.
Journal dan Artikel:
Bersaing Menyehatkan Pasien, Kompas, Jakarta, 28 November 2012.
Joint Commission International (JCI) Accreditation Standard for Hospital, A division
of Joint Commission Resources, Inc. (Oakbrook Terrace, Illinois 60181 U.S.A.: 2011.
To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia,
(Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM
UII),
Tutik Dwi Haryati, Kematangan Emosi, Religiusitas Dan Perilaku Prososial
Perawat Di Rumah Sakit, Persona, Jurnal Psikologi Indonesia-Program Studi Magister
Psikologi Pascasarjana Untag Surabaya, Vol. 2, No. 2, Mei 2013.
Nazila Isgandarova, Effective Islamic Spiritual Care: Foudation and Practices of
Imam and Other Muslim Spiritual Caregiver, Wilfrid Laurier University: 2011dalam
http://scholar.wlu./etd di akses 14 Desember 2014.
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Universitas Islam Walisongo, Juli 2012.
Jurnal, Syamsu A. Kamaruddin, AL-FIKR Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011
Dampak Sosial Jamaah Tabligh di Kota Makassar Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial UVRI
Makassar, 2011.

27
RIWAYAT HIDUP

AHMAD HUSAINI, Lahir di Bandung, Jawa Barat tanggal 14


Oktober 1977, anak keempat dari 5 (lima) bersaudara dari
pasangan H. Zainal Maksum dan ibu Hj. Marfu’ah. Saat ini
promovendus hidup sebagai suami dari isteri yang bernama
Novayanti bersama anak yang berdomisili di Cibisoro 01/16
Bojongsari Kec. Bojongsoang Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Pendidikan yang ditempuh:
Sekolah Dasar (SDN) Air Manjunto I, Mukomuko Provinsi
Bengkulu, lulus tahun 1990. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Air Manjunto Mukomuko Bengkulu, lulus tahun 1993. Sekolah
Perawat Kesehatan (SPK) Dep. Kes Provinsi Bengkulu, lulus tahun 1996. S1 Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fak. Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam
Bandung, lulus tahun 2002 dan S2 (Ilmu Dakwah) pada Program Pascasarjana UIN
Bandung, lulus tahun 2010.
Pengalaman pekerjaan; Tahun 1997 menjadi perawat pelaksana di RSI Al Ihsan
Bandung. Terhitung tahun 2009 promovendus sebagai kepala Unit Kerohanian dan
Kamar Jenazah sebagai Karyawan Non PNS pada Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan
Provinsi Jawa Barat. Pada tanggal 06 Juni 2017 promovendus sebagai kepala Instalasi
Kamar Jenazah dan Kerohanian sebagai Karyawan Non PNS. Promovendus aktif sebagai
pembimbing praktikan dan dosen tamu di STIKes ‘Aisyiah Bandung, Poltekkes Dr. Otten
Bandung, STIKes Budi Luhur Bandung.
Pengalaman di organisasi; Promovendus pernah aktif di senat mahasiswa, HMI,
dan Lembaga Dakwah Kampus. Promovendus pernah Ketua Komisariat PPNI RSI Al
Ihsan (1999-2001), Ketua Forum Karyawan RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat (2016-
sekarang), Dewan Pengawas Koperasi Karyawan RSUD Al Ihsan, Pembina Kemakmuran
Masjid RSUD Al Ihsan dan Masjid Bayt al-Rahmah Cibisoro Bojongsari Bojongsoang
Bandung.

********************************{}**********************************

28
29

Anda mungkin juga menyukai