Anda di halaman 1dari 17

LO

MAHASISWA MAMPU MENJELASKAN :

1. KONSEP ANTROPOLOGI KESEHATAN

2.SISTEM NORMA NILAI YANG BERLAKU DIMASYARAKAT

3. MASALAH YANG TERJADI DALAM ANTROPOLOGI KEBIDANAN

4. DAMPAK KESETARAN GENDER TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN

5. PERILAKU IBU, KELUARGA DAN MASYARAKAT YANG MEMPENGARUHI


KESEHATAN

6. FAKTOR SOSIAL BUDAYA, KESETARAAN GENDER YANG MEMPENGARUHI


PELAYANAN KESEHATAN (-)

7. PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA DALAM MENGATUR PELAYANAN


KEBIDANAN KOMUNITAS (POSITIF)

SHARING INFO :

1. KONSEP ANTROPOLOGI KESEHATAN

PENGERTIAN ANTROPOLOGI

Antropologi adalah ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menggambarkan
manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia"
atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau
secara etimologis antropologi berarti ilmu yang memelajari manusia.

Pengertian Antropologi menurut para ahli

David Hunter 

Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat
manusia.

Koentjaraningrat 

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

William A. Haviland 
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang
lengkap tentang keanekaragaman manusia.

Berdasarkan etimologinya

Kata antropologi berasal dari kata yunani “Antropo” yang berarti manusia dan “logy” atau
“logos” berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia

Menurut Ralfh L Beals dan Harry Hoijen : 1954: 2

antropologi adalah ilmu yang mempelajarai manusia dan semua apa yang dikerjakannya.

Tulian Darwin

The origin of spicies” Antropologi fisik berkembang pesat dengan melakukan penelitian-
penelitian terhadap asal mula dan perkembangan manusia. Manusia asalnya monyet, karena
makhluk hidup mengalami evolusi.Antropologi ingin membuktikan dengan melakukan
berbagai penelitian terhadap kera dan monyet di seluruh dunia.

Menurut orang awam

Membicarakan Antropologi hanyalah berfikir tentang fosil-fosil. Memang pemikiran yang


demikian tidak selamanya salah karena mempelajari fosil merupakan suatu cabang penelitian
Antropologi. Arkheologi pada dasarnya berbeda dengan Antropologi, di mana sesungguhnya
arkheologi merupakan salah satu cabang Antropologi

William A. Haviland

Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang
lengkap tentang keanekaragaman manusia.

Antropologi menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI)

Adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal usul, aneka warna dsn bentuk fisik, adat
istiadat dan kepercayaan pada masa lampau.
2.2  PENGERTIAN ANTROPOLOGI KESEHATAN

Hassan dan Prasad (1959):

Pada awal pendefinisian diusulkan bahwa antropologi kesehatan adalah cabang dari ilmu
“ilmu mengenai manusia” yang mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia
(termasuk sejarahnya) dari titik-tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical),
sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran (medico-legal), aspek sosial
kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah kesehatan manusia.

Hochstrasser dan Tapp (1970):

Antropologi kesehatan berkenaan dengan pemahaman biobudaya manusia dan karya-


karyanya, yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.

Lieban (1973):

 Antropologi kesehat-an mencakup studi tentang fenomena medis.

Fabrega (1972),

merumuskan bahwa pertanyaan antropologi kesehatan sebagai suatu yang:

1.      Menjelaskan berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan di dalam
atau mempengaruhi cara-cara di mana individu-individu dan kelompok-kelompok terkena
oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.

2.      Mempelajari masalah-masalah ini dengan penekanan terhadap pola-pola tingkahlaku.

Secara umum

antropologi kesehatan  didefinisikan sebagai aktivitas formal antropologi yang berhubungan


dengan kesehatan dan penyakit.

Sumber lain :    Pandangan Ilmu Antropologi terhadap Profesi Bidan

            Sebagaimana kita ketahui bahwa kebidanan merupakan salah satu disiplin ilmu
kesehatan. Adapun antropologi kesehatan itu adalah mempelajari gejala-gejala biobudaya
yaitu aspek bilogis dan budaya, ilmu antropologi kesehatan adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia, interaksi kesehatan dan penyakit dari berbagai segi terutama terkait
dengan budaya.

                  Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara antropologi dengan
ilmu kesehatan atau kebidanan adalah mendefinisikan secara komprehensif dan interpretasi
berbagai macam masalah tentang hubungan timbal balik biobudaya, antar tingkah laku
manusia  dimasalalu dan masakini dengan derajat kesehatan dan penyakit tanpa
mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Dan
hubungannya yang lain adalah ilmu antropologi dan kebidanan sama-sama
berpartisipasi dalam program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui
pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosio-budaya dengan
kesehatan serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik.

Dengan demikian pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan
dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak
dalam rangka mewujudkan kesehatan masyarakat dengan menggunakan pendekatan ilmu
antropologi. Yaitu dengan meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang harus diperhatikan,
dipertahankan, dan ditingkatkan derajat kesehatannya. Dan dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat seseorang yang berprofesi sebagai bidan harus mampu memahami
karakteristik manusia, budaya dan lingkungan sekitar dimana manusia itu tinggal. 

Seorang bidan harus memiliki keyakinan bahwa manusia itu adalah makhluk bio-psiko-sosio-
dan spiritual dan tidak bias dipisahkan meskipun hanya salah satu dari aspek tersebut.
Dengan demikian seorang bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan tidak boleh
menghilangkan kebudayaan pasien selama budaya tersebut tidek bertentangan dengan
tindakan medis.

B.                 Pandangan Ilmu Sosiologi terhadap  Profesi Bidan

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ilmu sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang manusia dan kemasyarakatan. Adapun hubungan antara ilmu sosiologi
dalam profesi kebidanan adalah bahwa manusia itu merupakan makhluk sosial yang
senantiasa selalu melakukan interaksi dengan manusia, dan lingkungannya dan tidak bias
berdiri sendiri.

Dalam aspek pelayanan kebidananya, diharapkan seorang bidan dalam menjalankan


profesinya sebagai bidan harus menempatkan posisinya sama dengan manusia lain, yaitu
membutuhkan bantuan dari manusia yang lain. Dan dalam hal ini seorang bidan juga
diharapkan tidak membuat perbedaan diantara pasien yang akan mereka layani baik dari segi
suku, agama, ras, dan status sosial. Dengan demikian maka pelayanan kesehatan akan merata
disetiap masyarakat.

Apabila seorang bidan telah menerapkan hal yang demikian didalam setiap pelayanan yang
diberikannya maka derajat kesehatan akan lebih baik, baik bagi mereka yang berstatus
ekonomi menengah ke atas atau yang menengah kebawa.
2.SISTEM NORMA NILAI YANG BERLAKU DIMASYARAKAT

1. J.Macionis, berpendapat bahwa pengertian norma merupakan suatu aturan dan


kumpulan harapan masyarakat agar dapat memandu tindakan atau perilaku para
anggotanya. 

2. Mz. Lawang, berpendapat norma merupakan gambaran mengenai apa yang


diinginkan sesuatu tersebut pantas dan juga baik sehingga sejumlah anggapan baik
serta butuh untuk dihargai itu sebagaimana mestinya.

3. Hans Kelsen, berpendapat Pengertian norma merupakan perintah yang secara tidak
personal serta anonim. 

4. Soerjono Soekano berpendapat bahwa, norma merupakan perangkat agar hubungan


yang terjadi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik.

5. Isworo Hadi Wiyono berpendapat, norma merupakan peraturan atau petunjuk hidup
guna memberikan panduan dalam bertindak yang mana itu boleh untuk dilakukan
serta tindakan atau perbuatan yang mana harus dihindari bahkan dilarang.

6. Antony Gidden berpendapat bahwa norma merupakan aturan atau prinsip yang
konkret yang mana seharusnya dapat untuk dijaga serta diperhatikan oleh masyarakat.

7. Bellebaum berpendapat bahwa norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-
orang agar melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada
beberapa sikap tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerja sama yang terjadi didalam
sebuah kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing
anggotanya agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini secara
bersama-sama.

8. Richard T. Schaefer & Robert P. Lamm berpendapat bahwa norma adalah standar
perilaku yang sudah mapan dan dipelihara oleh masyarakat.

9. Craig Calhoun berpendapat bahwa norma adalah pedoman atau aturan yang
menyatakan mengenai bagaimana seseorang supaya bertindak dalam situasi-situasi
tertentu.

10. Broom & Selznic berpendapat bahwa norma ialah rancangan yang sudah ideal
mengenai perilaku manusia yang mana memberikan batasan untuk anggota-anggota
masyarakat guna mendapatkan tujuan hidupnya.

acam-macam norma terbagi menjadi 2 yakni;


1. Norma Formal

Norma formal adalah ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat serta dibuat oleh
lembaga atau institusi yang sifatnya resmi atau formal. Norma formal mempunyai rasa
kepercayaan yang lebih tinggi mengenai kemampuannya untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, hal ini karena dibuat oleh lembaga-lembaga yang sifatnya formal atau resmi.
Contohnya : perintah presiden, konstitusi, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan lain
sebagainya.

2. Norma Non-formal

Norma non formal adalah ketentuan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak
diketahui tentang siapa dan bagaimana yang menerangkan mengenai norma tersebut. Ciri-ciri
dari norma non formal ialah tidak tertulis atau jika tertulis hanya sebagai sebuah karya sastra,
bukan dalam bentuk aturan yang baku yang disertakan dengan pembuat aturan itu sendiri.
Selain itu juga norma non formal mempunyai jumlah yang lebih banyak, hal ini karena
banyaknya variabel-variabel yang terdapat dalam norma non formal.

Berikut ini adalah macam-macam norma yang umum berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan diakui eksistensinya.

1. Norma Agama
Macam-macam norma yang pertama adalah norma agama. Norma agama adalah
aturan-aturan hidup yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, yang
oleh pemeluknya diyakini bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Aturan-aturan itu
tidak saja mengatur hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan (ibadah), tapi
juga hubungan horisontal, antara manusia dengan sesama manusia.

Pada umumnya setiap pemeluk agama menyakini bawa barang siapa yang
mematuhi perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan Tuhan akan
memperoleh pahala. Sebaliknya barang siapa yang melanggarnya akan berdosa
dan sebagai sanksinya, ia akan memperoleh siksa. Sikap dan perbuatan yang
menunjukkan kepatuhan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya tersebut disebut taqwa.
2. Norma Kesusilaan
Macam-macam norma yang kedua adalah norma kesusilaan. Norma kesusilaan
adalah aturan-aturan hidup tentang tingkah laku yang baik dan buruk, yang berupa
“bisikan-bisikan” atau suara batin yang berasal dari hati nurani manusia.

Berdasar kodrat kemanusiaannya, hati nurani setiap manusia “menyimpan” potensi


nilai-nilai kesusilaan. Karena potensi nilai-nilai kesusilaan itu tersimpan pada hati
nurani setiap manusia (yang berbudi), maka hati nurani manusia dapat disebut
sebagai sumber norma kesusilaan.

Tata susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya menganggap baik,
atau bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang
lain.Tidak jarang ketentuan-ketentuan norma agama juga menjadi ketentuan-
ketentuan norma kesusilaan, sebab pada hakikatnya nilai-nilai keagamaan dan
kesusilaan itu berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Karena sifatnya yang melekat pada diri manusia, maka nilai-nilai kesusilaan bersifat
universal. Dengan kata lain, nilai-nilai kesusilaan yang universal tersebut bebas dari
dimensi ruang dan waktu, yang berarti berlaku di manapun dan kapanpun juga.
Sebagai contoh, tindak pemerkosaan dipandang sebagai tindakan yang melanggar
kesusilaan, di belahan dunia manapun dan pada masa kapanpun juga.

3. Norma Kesopanan
Macam-macam norma yang ketiga adalah norma kesopanan. Norma kesopanan
adalah aturan hidup bermasyarakat tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik
baik, patut dan tidak patut dilakukan, yang berlaku dalam suatu lingkungan
masyarakat atau komunitas tertentu.

Norma ini biasanya bersumber dari adat istiadat, budaya, atau nilai-nilai
masyarakat. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik namun tidak
bersumber dari hati nurani. Tetapi, hanyauntuk sekedar menghargai orang lain
dalam pergaulan sosial. Maka, norma kesopanan bersifat kultural, kontekstual,
nasional atau bahkan lokal.

Berbeda dengan norma kesusilaan, norma kesopanan tidak bersifat universal. Suatu
perbuatan yang dianggap sopan oleh sekelompok masyarakat mungkin saja
dianggap tidak sopan bagi sekelompok masyarakat yang lain. Sejalan dengan sifat
masyarakat yang dinamis dan berubah, maka norma kesopanan dalam suatu
komunitas tertentu juga dapat berubah dari masa ke masa.

Suatu perbuatan yang pada masa dahulu dianggap tidak sopan oleh suatu
komunitas tertentu mungkin saja kemudian dianggap sebagai perbuatan biasa yang
tidak melanggar kesopanan oleh komunitas yang sama. Dengan demikian secara
singkat dapat dikatakan bahwa norma kesopanan itu tergantung pada dimensi ruang
dan waktu.

Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah berupa celaan, cemoohan,


atau diasingkan oleh masyarakat. Akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang
“tergantung” (relatif), maka tidak jarang norma kesopanan ditafsirkan secara
subyektif, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi tentang sopan atau tidak
sopannya perbuatan tertentu.

4. Norma Hukum
Macam-macam norma yang ke empat adalah norma hukum. Norma hukum adalah
aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang, yang mengikat
dan bersifat memaksa, demi terwujudnya ketertiban masyarakat.

Sifat “memaksa” dengan sanksinya yang tegas dan nyata inilah yang merupakan
kelebihan norma hukum dibanding dengan ketiga norma yang lain. Negara berkuasa
untuk memaksakan aturan-aturan hukum guna dipatuhi dan terhadap orang-orang
yang bertindak melawan hukum akan diancam dengan hukuman.
Ancaman hukuman dapat berupa hukuman badan atau hukuman benda. Di samping
itu masih dimungkinkan pula dijatuhkannya hukuman tambahan, yakni pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan
pengadilan.

Demi tegaknya hukum, negara memiliki aparat-aparat penegak hukum,


seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sanksi yang tegas dan nyata, dengan berbagai
bentuk hukuman seperti yang telah dikemukakan itu, tidak dimiliki oleh ketiga norma
yang lain.
Sumber hukum dalam arti materiil dapat berasal dari falsafah, pandangan hidup,
ajaran agama, nilai-nilai kesusilaam,adat istiadat, budaya, sejarah dan lain-lain.
Dengan demikian dapat saja suatu ketentuan norma hukum juga menjadi ketentuan
norma-norma yang lain.

Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan melawan hukum (tindak


pidana, dalam hal ini: kejahatan), yang juga merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, kesusilaan (asusila), maupun kesopanan
(asosial). Jadi, diantara norma-norma tersebut mungkin saja terdapat kesamaan
obyek materinya, akan tetapi yang tidak sama adalah sanksinya.

6. FAKTOR SOSIAL BUDAYA, KESETARAAN GENDER YANG


MEMPENGARUHI PELAYANAN KESEHATAN (-)

Gender bukan semata-mata perbedaan biologis; bukan jenis kelamin, bukan juga
perempuan, tetapi lebih merujuk pada arti sosial bagaimana menjadi perempuan dan menjadi
laki-laki. Perbedaan dan peran gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak
menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Perlu ditekankan bahwa meskipun
lakilaki dan perempuan dari sisi biologis berbeda, namun dari sisi sosial, laki-laki dan
perempuan idealnya mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama. Contohnya laki-laki
jadi ilmuwan, perempuan juga bisa jadi ilmuwan, lakilaki menjadi pemimpin, perempuan
juga bisa jadi pemimpin, dan lain-lain. Namun demikian, kondisi ideal tersebut belum
tercipta karena masih terjadi ketidakadilan dan ketidaksetaraan atau diskriminasi gender.
Ketidakadilan dan ketidaksetaraangender dapat terjadi dalam beberapa bentuk atau
manifestasi, yakni:
 Stereotipi: menempatkan wanita sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu
dilindungi, tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil
keputusan, dan lain-lain;
 Subordinasi: akibat bentuk stereotipi menempatkan perempuan pada posisi di bawah
laki-laki, tidak boleh mengambil keputusan dibandingkan laki-laki, tidak mempunyai
kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan, dan lain-lain;
 Marginalisasi: terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam berbagai hal,
yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lainlain.
 Beban Majemuk: perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-laki, dan lebih lama
waktu kerjanya, misalnya fungsi reproduktif dan peran sebagai pengelola rumah
tangga, termasuk bekerja di luar rumah.
 Kekerasan Berbasis Gender: perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual atau
psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan
bisa berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi diranah publik, tempat kerja, atau dalam
kehidupan rumah tangga.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gender itu dibentuk secara sosial, penting untuk
memahami dan menerima bagaimana laki-laki dan perempuan dikonstruksikan untuk
bersikap dan berperilaku berbeda sejak mereka dilahirkan. Selanjutnya, dengan pemahaman
ini, akan sangat penting untuk memulai proses dekonstruksi secara dini, sebelum pola-pola
relasi antara laki-laki dan perempuan terbentuk dan sebelum konstruksi tentang generasisasi
dan stereotipe laki-laki dan perempuan diinternalisasi.

Isu Gender dalam Bidang Kesehatan Isu Gender dalam bidang kesehatan adalah
masalah kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam hal akses, peran atau partisipasi, kontrol
dan manfaat yang diperoleh mereka dalam pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam upaya atau pelayanan
kesehatan secara langsung menyebabkan ketidaksetaraan terhadap status kesehatan
perempuan dan laki-laki, sehingga kesenjangan tersebut harus menjadi perhatian dalam
menyusun kebijakan/program sehingga kebijakan/program bisa lebih terfokus, efisien dan
efektif dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, isu kesehatan tidak boleh hanya dilihat pada
masalah service delivery (penyediaan layanan) saja, tetapi juga perlu melihat pada hubungan
sosial budaya yang menyebabkan perbedaan status dan peran perempuan dan laki-laki dan
relasi antara keduanya di masyarakat. Untuk mempermudah para perencana mengenal isu
gender, berikut ini beberapa contoh isu gender dalam kaitannya dengan upaya atau pelayanan
kesehatan.

1 Isu gender terhadap prevalensi dan tingkat keparahan penyakit

Perbedaan norma dan relasi gender menyebabkan perempuan dan laki-laki menderita
penyakit yang berbeda dan juga tingkat keparahannya. Publikasi ilmiah menyatakan bahwa:
Perempuan menderita anemia akibat kekurangan Fe pada ibu hamil dan menyusui serta
perempuan yang menstruasi sebagai akibat dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga yang
mempunyai peluang lebih besar mengkonsumsi makanan kaya Fe.

 Osteoporosis 8 kali lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki yang


berhubungan dengan faktor biologis dan gaya hidup.
 Demikian pula Diabetes, hipertensi dan kegemukan, lebih banyak pada perempuan
dibandingkan laki-laki.
 Depresi (dua sampai tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki
pada semua fase kehidupan) yang berhubungan dengan tipe personal dan pengalaman
dalam bersosialisasi dan perbedaan peluang antara perempuan dan laki-laki.
 Angka kematian yang tinggi pada kasus kanker perempuan pada usia dewasa, yang
berhubungan dengan rendahnya akses terhadap teknologi dan pelayanan kesehatan
dalam deteksi dini dan tindakan pengobatan.
 Laki-laki menderita lebih banyak Sirosis Hepatis yang berhubungan dengan perilaku
minuman beralkohol. Demikian pula Schizophrenia dan kanker paru-paru yang
berhubungan dengan perilaku merokok. Silicosis yang berhubungan dengan pekerja
tambang (100 % laki-laki). Demikian pula untuk kasus hernia pada laki-laki yang
berhubungan dengan jenis pekerjaan. Penyakit dengan gangguan pada Arteri
Coronaria merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pria pada saat kerja.
 Perempuan lebih berisiko dari laki-laki terhadap defisiensi micro-nutrient yang akan
berdampak buruk bagi status gizi dan kesehatannya sehingga mengurangi
produktivitas dan peluang investasi di bidang pendidikan.
 Malnutrisi pada bayi berhubungan dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat
pendidikan ibu.
2. Isu gender terhadap lingkungan fisik dan penyakit
Studi kasus di Zimbabwe menyatakan bahwa perempuan dewasa lebih berisiko tinggi
menderita Sistosomiasis (salah satu jenis cacing darah) dibandingkan laki-laki karena
perempuan bertugas mencuci pakaian dan perlengkapan dapur yang dilakukannya di sungai,
sementara remaja laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan remaja
perempuan karena mereka lebih sering bermain di sungai dan kanal.

3 Isu gender terhadap faktor risiko penyakit


 Perempuan mempunyai akses yang lemah terhadap keuangan keluarga sehingga
mengurangi kemampuannya untuk melindungi dirinya dari factor risiko penyakit.
 Riset WHO yang dilakukan pada laki-laki termasuk remaja pria di seluruh dunia
menunjukkan bagaimana norma-norma terhadap ketidakadilan gender mempengaruhi
interaksi laki-laki dengan pasangan wanitanya dalam banyak hal, termasuk
pencegahan transmisi HIV dan penyakit IMS lainnya, penggunaan alat kontrasepsi
dan prilaku laki-laki dalam mencari pelayanan kesehatan. Juga terkait dengan
pembagian peran dan tugas rumah tangga, serta pola parenting (proses bertindak
sebagai orang tua).
 Streotipi maskulin menyebabkan seorang laki-laki harus berani, pengambil resiko
berprilaku agnesi dan tidak menunjukkan sifat lemah berhubungan dengan angka
penggunaan alkohol dan Narkoba lebih tinggi pada laki-laki di seluruh belahan dunia.
Demikian pula dengan angka kesakitan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan
tindak kriminal.
 Terbatasnya akses terhadap air bersih pada perempuan, karena dalam beberapa
kelompok masyarakat laki-laki lebih didahulukan sebagai pengguna utama air bersih,
sedangkan perempuan dan anakanak harus membawa dan menyiapkannya tetapi
mendapatkan prioritas kedua.

4 Isu gender terhadap persepsi dan respon terhadap penyakit

 Perbedaan peran laki-laki dan perempuan mempengaruhi persepsi perasaan tidak


nyaman serta mempengaruhi keinginan wanita untuk menyatakan dirinya sakit. Peran
perempuan dalam mengurus rumah tangga mengakibatkan apabila perempuan jatuh
sakit tidak cepat mencari pengobatan karena merasa tidak nyaman melalaikan tugas
dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Kalaupun berobat penyakitnya sudah
dalam stadium lanjut. Demikian pula pada laki-laki dewasa mencari pengobatan
terhadap penyakitnya pada stadium lanjut karena peran maskulin laki-laki
menyebabkan laki-laki merasa harus kuat dalam menghadapi penyakit.
 Tidak masuknya target perempuan pada studi-studi klinis patologis, mengakibatkan
terapi hasil studi tersebut tidak realible diaplikasikan pada perempuan dan mungkin
berbahaya pada perempuan. Pertimbangan tubuh laki-laki sebagai standar dalam studi
klinis akan membatasi jumlah studi yang difokuskan pada kesehatan reproduktif dan
non-reproduktif perempuan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap dampak
pengobatan tertentu pada perempuan.
 Pelayanan Kelurga Berencana lebih fokus pada perempuan dibanding laki-laki
mengakibatkan laki-laki mempunyai akses yang terbatas terhadap pelayanan KB dan
mengakibatkan laki-laki mempunyai persepsi bahwa KB adalah urusan perempuan.
Disamping itu dalam relasi gender di sebuah keluarga, keputusan tentang penggunaan
kontrasepsi lebih banyak ditentukan oleh suami.

5 Isu gender terhadap akses secara fisik, psikologis dan sosial terhadap sarana
pelayanan kesehatan

Ketimpangan peran dan relasi gender menyebabkan perempuan mempunyai akses secara
fisik, psikologis dan sosial terhadap pelayanan kesehatan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Pada saat sakit, perempuan tidak dengan serta merta mengakses pelayanan kesehatan karena:

o Jam pelayanan (waktu) di sarana pelayanan kesehatan seringkali tidak sesuai dengan
kesibukan ibu rumah tangga.
o Dalam keadaan sakit perempuan harus mendapatkan ijin suami untuk berkunjung ke sarana
pelayanan kesehatan.

 Perempuan dengan penyakit IMS cenderung tidak ke sarana kesehatan karena takut
dengan stigma sosial yang ‘miring’ atau negatif tentang perempuan penderita
Penyakit Menular Seksual.
 Terbatasnya akses terhadap biaya, jarak/transportasi, informasi dan teknologi
memperburuk ketidakadilan gender. Jika perempuan mempunyai akses terhadap
pembiayaan, maka akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga dan
anggotanya. Tersedianya sumber daya keuangan akan berhubungan dengan
peningkatan tingkat kesehatan anak.

6 Isu gender terhadap keterpajanan dan kerentanan penyakit Perempuan lebih rentan
dibanding laki-laki terhadap infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual.

Perempuan lebih banyak terpajan oleh penyakit IMS yang menyebabkan peningkatan risiko
infeksi HIV/ AIDS. Studi menunjukkan bahwa perempuan mempunyai risiko terinfeksi dua
sampai empat kali lebih besar pada kasus ini. Banyak kasus IMS pada perempuan bersifat
asimptomatik (tidak bergejala) yang mengakibatkan lambatnya diagnosis dan pengobatan.

Dari penjelasan diatas kita melihat bahwa isuisu gender dan ketidaksetaraan gender
menghalangi hak individu untuk mendapatkan kesehatan yang optimal untuk diri sendiri,
keluarga dan komunitasnya. Ketidaksetaraan gender dan pelanggaran hak-hak dasar manusia,
termasuk hak seksual dan reproduksi (lihat lembar bacaan tentang seksualitas) berkontribusi
pada penolakan, penghindaran atau penundaan keterlibatan individu / kelompok pada
program dan atau layanan kesehatan (mulai dari pencegahan, perawatan dan dukungan,
pengobatan dan mitigasi dampak), yang berkontribusi pada penyebaran

HIV serta kematian dan kesakitan yang sebenarnya dapat dihindari. Pemahaman petugas
kesehatan dan pembuat kebijakan tentang isu gender menjadi sangat penting karena laki-laki,
perempuan; remaja laki-laki dan remaja perempuan; anak laki-laki dan anak perempuan;
kelompok keberagaman seksual - mempunyai kebutuhan perawatan kesehatan yang berbeda,
sehingga membutuhkan program dan layanan yang sadar akan perbedaan kebutuhan tersebut
dan terlatih untuk memenuhi kebutuhan spesifik tersebut.

Mengintegrasikan gender pada program dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi
(termasuk layanan HIV) akan berkontribusi pada kualitas layanan dan perlindungan klien,
terutama mereka yang sangat rentan. Sehingga, penting untuk memastikan bahwa program
dan layanan kita mempertimbangkan faktor risiko dan faktor kerentanan yang berbeda antara
berbagai kelompok – serta melihat bagaimana orang-orang (laki-laki; perempuan;
transgender) berinteraksi satu sama lain.

Hal-hak yang dapat kita lakukan adalah menyasar atau menantang norma-norma gender yang
merugikan, seperti kekerasan, stereotipe maskulin dan feminin dengan ketrampilan
komunikasi diantara pasangan, dan memastikan akses pendidikan/ketrampilan untuk semua
gender. Selain itu, edukasi dan kesadaran untuk semua anak/remaja/dewasa muda laki-laki
dan perempuan mengenai HIV, IMS, seksualitas, dan relasi. Hal ini harus dimulai dini –
sebelum pola perilaku seksual terbentuk – dan fokus pada ketrampilan hidup untuk
perlindungan diri (kesadaran, negosiasi, kepercayaan diri, komunikasi asertif, respek). Selain
itu, mulai melibatkan laki-laki (misalnya, meningkatkan keterlibatan pasangan pada
kunjungan pemeriksaan antenatal dan VCT), membuka akses pada teknologi baru dan metode
pencegahan yang dapat dikendalikan oleh perempuan (seperti kondom perempuan dan
mikrobisida), serta menyediakan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas
dan konfidensial.

7. PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA DALAM MENGATUR PELAYANAN


KEBIDANAN KOMUNITAS (POSITIF)

Contoh-Contoh  Pendekatan Sosial Budaya Dalam Praktek Kebidanan

v  Pendekatan melalui masing-masing keluarga, jadi setiap keluarga dilakukan pendekatan

v  Pendekatan melalui langsung pada setiap individunya sendiri, mungkin cara ini lebih
efektif

v  Sering melakukan penyuluhan di setiap PKK atau RT tentang masalah dan


penanggulangan kesehatan

v  Mengikuti arus sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut, kemudian kalau sudah
memahami, kita mulai melakukan pendekatan secara perlahan-lahan

v  Melawan arus dalam kehidupan sosial budaya mereka, sehingga kita menciptakan asumsi
yang baru kepada mereka, tapi cara ini banyak tidak mendapatkan respon positive.

    Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan

Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante
natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.

Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap
kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu
memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang
kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak
terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru
diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat
membawa akibat fatal yaitu kematian.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan,
permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor
nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu,
dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku,
yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang
relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat melahirkan.

Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu tradisi
upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan
seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada usia saat
kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara.
Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang
perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan
banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib.
Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang dikandungannya, melainkan orang lain
disekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut,
siperempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno. Masyarakat nuaulu
juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru
dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini ( masa
kehamilan 1-8 bulan ) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya
bentuk kehidupan.

Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal
ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi
dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak
heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah
pedesaan.

Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar  bayi yang dikandungnya
kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan
laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Dan memang, selain
ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran
Seorang Bidan

Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.

Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan
dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia
lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas,
peran serta tanggung jawabnya.

Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan pendekatan-
pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan khususnya calon
bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan peran
aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan.

Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:

1.     Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai


persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.

2.     Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan
melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.

3.      Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.

4.      Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.

5.     Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.

6.     Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.

7.      Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta
adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.

Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh
bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah
diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai
wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa
dengan cara:

1.      Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian
wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang
penduduk dari masing-masing RT.
2.      Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.

3.      Mempelajari data penduduk yang meliputi:

·         Jenis kelamin

·         Umur

·         Mata pencaharian

·         Pendidikan

·         Agama

4.      Mempelajari peta desa

5.     Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.

Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan
hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus dilakukan
bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat
setempat.

Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi
tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari,
pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
wilayah tersebut.

Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan social dan
budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di anugerahi pikiran,
perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa
seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan
apresiatif. Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan terhadap kesenian atau
kebudayaan seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Maka itu dalam
mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak cukup hanya bersimpati terhadap
kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati. Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan
tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan kepada
masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau
kebudayaan tradisional tersebut. Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui
pertunjukan ini diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan
pada akhir pertunjukan.

Anda mungkin juga menyukai