Anda di halaman 1dari 4

Lika-Liku Kehidupan Amelia Si Anak Bungsu

dalam Novel Karya Tere Liye “Si Anak Kuat”


Judul buku : Si Anak Kuat
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : 397 halaman

Novel Si Anak Kuat merupakan salah satu karya Tere Liye


dari serangkaian serial miliknya yang dinamakan Serial Si Anak Nusantara. Beberapa
judul serial Si Anak Nusantara lainnya yakni “Si Anak Pemberani”, “Si Anak Spesial”,
“Si Anak Pintar”, “Si Anak Cahaya”, dan “Si Anak Badai”. Setiap judul memiliki jalan
ceritanya sendiri. Novel Si Anak Kuat menceritakan tentang kehidupan keluarga Syahdan
dan Nurmas dari sudut pandang Amelia yang selalu diejek sebagai ‘penunggu rumah’
sebab perannya sebagai anak bungsu yang dianggap tidak bisa melakukan apa- apa dan
tidak bisa pergi kemana saja, karena menurut masyarakat sekitarnya sejatinya anak bungsu
harus tetap tinggal di rumah dan tidak boleh pergi meninggalkan kampung halaman.
Namun, Amelia berbeda. Ia justru bertekad untuk mengubah anggapan tersebut dengan
pengetahuan dan kekuatan yang dimilikinya. Dalam novel ini, Tere Liye mengangkat tema
tentang keharmonisan, kesederhanaan dan kehangatan kehidupan sebuah keluarga.
Semua orang memanggil si bungsu dengan sebutan Amel. Tetapi Amel ingin
dipanggil dengan sebutan Eli, sama seperti nama kakak sulungnya. Ia ingin menjadi anak
sulung, Ia benci menjadi anak bungsu, karena hanya dirinya yang tidak bisa mengatur
siapapun di rumahnya dan selalu mendapatkan baju lungsuran dari kakanya. Ditambah dua
kakak laki-lakinya, yakni Kak Pukat dan Kak Burlian selalu mengolok Amel bahwa anak
bungsu itu manja, tidak bisa pergi jauh, dan akan terus menjadi penunggu rumah. Oleh
karena itu, Amel sangat benci dengan takdirnya sebagai anak terakhir. Meskipun begitu,
bapaknya selalu berkata walau Amel adalah anak bungsu, tetapi dalam keluarganya Amel
adalah sosok yang paling kuat. Bukan kuat dalam soal fisik, tapi kuat dari dalam. Amelia
memiliki keteguhan hati yang lebih baik mengenai pemahaman nilai-nilai kehidupan
dibanding kakak-kakaknya. Ia sangat peduli terhadap kepentingan keluarga, teman, dan
orang-orang sekitar yang ia sayangi. Pada akhirnya, Amelia pun mengerti dan menerima
dirinya sebagai anak bungsu.
Amelia merupakan sosok yang berani, cerdas, dan bisa diandalkan. Oleh karena itu,
dirinya menjadi anak murid kesayangan guru satu-satunya di sekolahnya, yaitu Pak Bin.
Suatu ketika, Pak Bin meminta bantuan kepada Amel untuk membantu temannya bernama
Chuck Norris. Norris adalah anak yang sangat nakal, biang masalah, dan cenderung
menolak untuk bergaul dengan teman-temannya. Ternyata sifat Norris yang demikian,
terbentuk karena dirinya tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Pak Bin
percaya, dengan kebaikan dan keteguhan hati yang dimiliki Amel, dirinya pasti dapat
merubah Norris secara perlahan menjadi anak yang baik. Dengan segala keraguan dalam
dirinya, Amel mengiyakan permintaan Pak Bin. Berkat kesabaran dan keyakinan
kuat yang ia miliki, pada akhirnya Amel pun dapat menaklukkan Norris untuk berubah
menjadi anak yang lebih baik.
Di sekolah, Amel memiliki teman sekelas yang ketiganya merupakan anak bungsu,
sehingga munculah ide untuk membuat geng anak bungsu yang terdiri atas Amel, Norris,
Maya, dan Tambusai. Bersama dengan geng anak bungsu, Amel ingin mewujudkan idenya
untuk mengganti seluruh tanaman kopi di kampungnya yang selama ini digunakan,
menjadi bibit unggul yang akan menghasilkan panen berlipat ganda. Ide tersebut
didapatkan saat Amel tak sengaja melihat buah kopi yang bagus dan lebat di hutan bersama
Paman Unus. Usulan Amel disampaikan dirinya saat para tetua kampung mengadakan
rapat terkait masalah yang terjadi akan hasil panen kopi di kampungnya. Usulan tersebut
tentunya mendapat banyak tantangan dari warga kampung mengingat ide yang
disampaikan Amel bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan dan memiliki resiko yang
cukup besar karena harus ditanggung dengan menebang dan menanami pohon yang baru.
Dengan tekat yang bulat dan kuat akhirnya Amel bersama geng anak bungsu serta
bantuan dari Paman Unus melakukan penyemaian bibit kopi di belakang sekolah atas ijin
Pak Bin. Sambil terus menyemai perkembangan bibit kopi, Amel beserta geng anak
bungsu terus berkeliling desa untuk memberikan penjelasan tentang idenya.
Keputusan berakhir di pertemuan besar kampung. Warga akhirnya sepakat untuk
mengganti bibit kopi yang lama dengan yang baru. Percobaan terlebih dahulu dilakukan
di ladang yang dibeli dengan uang kas desa.
Semua berjalan lancar sampai harapan itu hancur dan terhempas oleh alam. Banjir
datang saat bibit sudah ditanam di ladang percobaan dan tinggal menunggu hasilnya. Amel
menangis dan merasa gagal atas apa yang ia lakukan. Bapak dan ibunya menenangkan
Amel dan selalu berkata bahwa Amelia merupakan anak kuat dan bisa menyelesaikan
masalahnya. Dari kegagalan ini Amel mendapatkan kekuatan baru dan menyadari bahwa
semua kisahnya baru dimulai di sini.
Selang beberapa waktu setelah kejadian tersebut, atas izin kedua orang tuanya Amel
melanjutkan seluruh sekolah menengahnya di Kota Kabupaten, lantas menyusul kak
Pukat ke Belanda untuk menempuh pendidikan. 20 Tahun lamanya Amel mengejar
impiannya dan kembali ke kampungnya dengan cita-cita yang ia dapatkan dari cerminan
Pak Bin. Amel menjadi guru SD tanpa pernah memandang 2 gelar doctornya, Doctor
Pedegogi dan Kultur Jaringan yang semuanya didapat di luar negeri. Dirinya berjanji
bahwa tidak boleh ada lagi keterbatasan di kampung ini. Anak-anak kampung berhak atas
pendidikan terbaik. Penduduk desa juga berhak atas kehidupan yang lebih layak dan
berkecukupan. “Aku Amelia dan kampung ini adalah duniaku”.
Bagian menarik yang dapat membuat pembaca terhibur dan terharu adalah interaksi
antara Amel dengan saudara-saudaranya. Amel menganggap bahwa Kak Eli adalah si
tukang suruh-suruh yang cerewet dan tak jarang membuat Amel kesal. Tetapi
kekesalannya sirna saat ia melihat pengorbanan Kak Eli yang membantunya ketika
terjatuh di ladang karet dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis mencari kayu bakar.
Amel yang tidak bisa berjalan akhirnya digendong oleh Kak Eli selama perjalanan
pulang, sampai akhirnya mereka kembali ke rumah dan Kak Eli jatuh pingsan. Sejak saat
itu Amel menyadari bahwa omelan-omelan yang dilontarkan Kak Eli bermaksud untuk
mengajari Amel karena Kak Eli sangat menyayangi dirinya.
Keisengan Kak Pukat dan Kak Burlian yang mendapat julukan sebagai ‘dua sigung’
saat mereka kompak menjahili Amel juga menjadi pemanis dalam cerita ini. Bagian yang
cukup membuat terhibur yakni saat mereka melarikan diri di hari sunatnya yang membuat
semua orang susah payah untuk mengejar mereka.
Selain itu, hal yang menarik dalam novel ini yakni tentang pekerjaan perempuan. Jika
mayoritas masyarakat menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan
mencuci adalah pekerjaan perempuan, namun bagi Nurmas, ibu mereka, tak ada istilah
pekerjaan perempuan. Menurutnya, laki-laki pun harus bisa mengerjakan tugas-tugas
rumah. Itu pula yang membuat dua sigung itu selalu protes. Padahal sekali protes, akan
semakin banyak pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Novel ini merupakan salah satu karya Tere Liye yang layak untuk dibaca. Jalan
ceritanya sederhana, bagus, dan menarik. Karena selain mengisahkan tentang perasaan hati
seorang anak dan orang tua, juga terdapat kisah menyentuh dan memotivasi lainnya.
Seperti kisah Pak Bin, guru sekolah satu-satunya di kampung, puluhan tahun tidak pernah
lolos dalam tes PNS, namun pengabdiannya sungguh luar biasa, serta kisah Nek Kiba guru
mengaji sekampung yang sudah puluhan tahun mengajar dan selalu menyampaikan
nasihat-nasihat yang bijak kepada anak muridnya. Kisah yang inspiratif dan menyentuh
dengan bahasa yang mudah dipahami membuat novel ini sangat cocok dibaca semua
kalangan. Bahasa yang digunakan dalam novel ini pun beragam, mulai dari bahasa
Indonesia hingga bahasa Belanda yang kerap diselipkan oleh tokoh Wak Yati dalam
berbagai dialog juga semakin mempercantik jalan cerita novel ini.
Selanjutnya, kelemahan dari novel ini sendiri, yaitu adanya bagian yang tidak masuk
akal. Rasanya cukup tidak mungkin bagi anak seusia Sekolah Dasar melakukan hal-hal
yang bisa jadi berat bagi orang dewasa. Apa yang dilakukan Amel bersama teman-
temannya jelas bukan sesuatu yang mudah dinalar. Terlebih ketika Norris, sang biang
masalah bisa berubah menjadi anak baik dan mampu menggambar peta dunia persis
aslinya yang ukurannya sangat besar sampai melebihi badannya hanya dalam jangka
waktu 6 hari. Begitu pun dengan kelebihan Amelia dalam cara berpikir dan berbicara,
terutama ketika ia menasehati Norris di depan ayahnya yang dirasa kurang realistis dan
tidak sepadan dengan psikologis anak-anak pada umumnya, juga menjadi kekurangan
dalam novel ini.
Secara keseluruhan novel ini sangat menarik untuk dibaca khususnya bagi para
pembaca penggemar cerita keluarga. Percakapan antara Amel dan ayahnya tak jarang
membangun suasana yang hangat dan harmonis. Banyak pelajaran yang dapat diambil
dari kisah Amelia, gadis yang selalu benci ketika dipanggil dengan julukan si penunggu
rumah, akhirnya menyadari bahwa kampungnya adalah dunianya, dialah yang bisa
melakukan perubahan besar terhadap kampungnya. Dirinya kembali untuk menepati
janjinya, yakni melakukan perubahan dengan pengetahuan yang ia miliki. Tidak seperti
kebanyakan remaja sekarang yang ketika sukses enggan untuk kembali ke kampungnya.
Inilah penyebab banyak desa tertinggal karena banyak orang yang tidak ingin melakukan
perubahan. Dalam proses perubahan, hal yang terpenting adalah memulai perubahan
tersebut. Novel ini juga bisa mengambil sisi positif dari budaya anak bungsu bahwa setiap
anak memang tidak boleh pergi semua dari kampungnya karena harus ada yang
melestarikan kampung tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa novel ini memiliki karakter yang kuat. Orang dewasa juga
dapat belajar dari karakter Amelia. Sikapnya yang pantang menyerah membuat siapapun
yang membaca terkesan. Novel ini juga menginspirasi kita untuk terus berusaha dan
berani serta selalu berbuat baik kepada orang lain karena hati yang tulus dan jiwa yang
kuat akan memberi banyak manfaat bagi diri sendiri.

Anda mungkin juga menyukai